Oleh : Drs. H. Syamsir Roust, M.Ag
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 19 November 1912 merupakan alternatif dan jawaban dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Masalah utama yang dihadapi pada awal kelahirannya, antara lain, meringkuk di bawah cengkraman penjajahan kolonial Belanda, kemudian hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta kebodohan.
A. Pendahuluan
Selanjutnya, pada umat Islam terlihat ketidakmurnian amalan Islam, meluasnya pengaruh kristenisasi, sementara lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa sangat terbatas dan belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah di muka bumi. Pada waktu itu, menurut Abuddin Nata sistem pendidikan ditandai dengan adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah terhadap ajaran Islam serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di segala bidang terutama bidang pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui organisasi yang rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal kelahirannya memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan. Bahkan sampai sekarang amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan lebih banyak dari pada bidang sosial lainnya yaitu memiliki 5755 lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD sampat ke Perguruan Tinggi dan belum termasuk Taman Kanak-Kanak. Sedangkan amal usaha bidang sosial dan ekonomi berupa, rumah sakit, balai kesehatan, poliklinik, panti asuhan dan santunan keluarga, bank perkreditan rakyat, baitut tamwil Muhammadiyah (BMT) koperasi warga Muhammadiyah, BUMM berupa PT berjumlah 1579 buah.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan seorang antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang ada di Indonesia. Bahkan, pada saat ini ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura, Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Oleh karena seluruh amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap agama bangsa dan negara, maka pemerintah menetapkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional, dan beliau juga dipandang sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Berdasarkan hal yang demikian, maka mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam merupakan kajian menarik dan penting apalagi dalam pengembangan pendidikan Islam dewasa ini.
B. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 1923. Sewaktu kecil ia diberi nama Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakiarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Sejak kecil Ahmad Dahlan dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Di samping Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Dalam melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H. Tamim, H. Syarkawi, dan H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras mendukung segera mendirikan sekolah agama yang bersifat moderen adalah Mas Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah organisasi Muhammadiyah didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan sosial sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.
C. Pemikirannya Tentang Pendidikan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid’ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan.
Jadi berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Syekh Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia.
Mengenai pelaksanaan pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hala in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengemabangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Pemikiran Ahmad Dahlan yang demikian itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dibawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses kepada sektor-sektor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berangkat dari pandangan di atas, sesungguhnya Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pole pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.
Dengan pola pembaharuan pendidikan di atas, maka sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Pembaharuan di bidang ide dan penyelenggaraan dirumuskan oleh Ahmad Dahlan dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam, dengan memasukkan pendidikan agama ke sekolah umum dan pengetahuan umum ke sekolah agama. Sedangkan di bidang teknik penyelenggaraan, pembaharuan yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Islam merupakan agama taghyyir yang menghendaki modernisasi (tajdid). Prinsip ini ditegaskan Allah dalam al-Qur`an, bahwa tidak akan terjadi modernisasi pada suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang berupaya ke arah tersebut (Q.S 13:11). Di sini, Islam mencela sifat jumud dan taqlid yang membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian --menurut Dahlan-- disebut dengan proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Proses tersebut dilakukan manakala otoritas-otoritas yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulsi tajdid yang strategis dalam memahami ajaran Islam (al-Qur`an dan Hadis) secara proporsional.
Dalam hal ini, sepertinya Dahlan menyadari bahwa umat Islam telah demikian lama terpasung oleh faham dan amal agama yang menyimpang dari universalitas ajaran Islam.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya Dahlan mecoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses peawarisan adat dan sosialisasi prilaku individu maupun sosialisasi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat diologis. Padahal, menurut Dahlan, pengemangan daya kritis, sikap diologis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengtahuan tertinggi. Dari batasan ini terlihat bahwa Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Menurut Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah , pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Berpijak pada pandangan di atas, sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Komimen Dahlan terhadap pendidikan agama demikian kuat. Oleh karena itu, ai antara faktor utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya. Strategi yang ditempuhnya dimaksudkan untuk membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota organisasi Boedi Oetomo pada umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintahan waktu itu. Komitmenmya terhadap pedidikan agama selanjutnya menjadi salah satu ciri khas oraganisasi yang didirikan pada tahun 1912, yaitu oraganisasi Muhammadiyah.
Tanpa mengurangi pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasana pembaharuannyasempat mendapat tantangan masyarakat waktu itu, terutama dari lingukungan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepadan berbagai pesoalana kehidupan yangn semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dna memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Meskipun demikian, tidak semua pihak yang menyambut kehadiran Muhammadiyah itu positif. Pemerintah kolonial Belanda misalnya, meskipun mereka mengizinkan Muhammadiyah berdiri, karena mereka ingin mendapat simpati dan mengurangi sikap reaksi kaum muslimin terhadap pemerintahan kolonial, di samping pula organisasi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Menurut Deliar Noer, meskipun pemerintah kolonial mengizinkan Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak bisa berbuat leluasa, pernah pemerintah kolonial melarang tabligh Muhammadiyah, dan guru-guru Muhammadiyah pernah dilarang untuk mengajar.
Di samping pemerintah kolonial Belanda, orang-orang nasionalis juga menuduh Muhammadiyah mempunyai hubungan dengan Belanda dan bekerja sama dengan Belanda. Mereka bersikap negatif terhadap Muhammadiyah karena Muhammadiyah mendasari gerakannya dengan politik. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang akan membersihkan Islam dari pengaruh tradsional. Di sinilah pertentangan semakin tajam karena menyangkut dengan keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu kaum tradisionalis menolak setiap perubahan, karena dianggap sebagai rongrongan terhadap ajaran agamanya. Di sisi lain , Muhammdiyah memandang perlu adanya perubahan selama kebiasaan-kebiasaan tersebut dinilai sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar.
Ide pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya didasarkan kepada realitas sosial, di mana sejak awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai dengan masih adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang tradisional.
F. Kesimpulan
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya merupakan hasil telaah dan pemahaman beliau terhadap ajaran Islam setelah belajar agama Islam di Mekkah, dan mendapat pencerahan dan inspirasi dari kitab-kitab ulama modernis seperti Ibnu Qoyyim, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridho, Syekh Jamaluddin Al-Afghani.. Disamping itu, juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan sosial bangsa dan sosial keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu meringkuk di bawah penjajahan kolonial Belanda dan penjaajahan pemikiran yang ditandai dengan meraja lelanya perbuatan syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat dan dhidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Untuk membebaskan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dan umat Islam dari berbagai belenggu penjajajahan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan memusatkan kegiatannya pada bidang pendidikan di samping bidang-bidang sosial lainnya. Langkah ini di ambil, karena menurut Ahmad Dahlan bangsa Indonesia tidak akan bisa dibebaskan dari berbagai belenggu penjajajahan tanpa ditingkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan, di samping meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Guna meningkatkan ilmu pengetahuan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan beragama Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang dikelolanya secara moderen yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan umum yang pada waktu itu, dunia pendidikan ditandai dengan sistem dikotomis, yaitu memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Demikian pula pengelolaannya yang dilaksanakan secara profesional dan moderen dengan mencontoh sistem pengelolaan sekolah Belanda.
Menurut Ahmad Dahlan, landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur an dan Sunnah dan tujuannya harus sesuai menurut penciptaan manusia yang tertera dalam Al-Qur an dan sunnah yaitu membentuk manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, segala potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia harus dikembangkan melalui sarana pendidikan.
Meskipun ide-ide pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah adalah ingin merubah kondisi tersebut dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kaum muslimin dan kesadaran beragama dan bernegara serta membersihkan umat Islam dari pengaruh yang salah Namun, dalam perjalanan sejarahnya gerakan Muhammadiyah tidak berjalan dengan mulus. Muhammadiyah mendapat banyak tantangan baik dari pemerintah kolonial Belanda, dan komunitas masyarakat tradisional
Tetapi sebagaimana dibuktikan kemudian, apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah dengan ribuan amal usahanya adalah sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan agama. Bahkan kaum tradisionalis, yang pada awalnya menentang ide pembaharuan Muhammadiyah, secara pelan-pelan terbiasa dengan ide pembaharuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990
Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.
M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005
Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990
Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005
Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982
Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998
Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990
Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.
PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005
Mushtafa Kamal Pasha, Bed dan Ahmad Adabi Darban, SU, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : LPPI, 2000
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005
Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, PP. Muhammadiyah 2005
Suara Muhammadiyah, No. 05 TH Ke-92/1-15 Maret 2007, Sajian Utama, Istiqamah Bermuhammadiyah, Yogyakarta : PP Muhammadiyah, 2007.
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005.
K.H. Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I Solo : Mutiara, 1982
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta : LP3ES, 1982
Fakhry Ali, dan Bakhtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Indonesia, Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar