Jumat, 20 Maret 2009

Penetapan Kalender Hijriah Dalam Perkembangan Historiografi Islam

Oleh : Drs. Muhapril Musri, M.Ag

Diskursus tentang arti penting penetapan tahun Hijriyah bagi studi sejarah pada masa awal Islam yang diprakarsai oleh Khalifah Umar bin Khattab, kurang mendapat perhatian, terutama dari kalangan akademisi dan ilmuwan muslim hingga ke hari ini. Pada hal jika dilihat dari kedudukannya dalam studi sejarah masa awal Islam, memiliki arti penting dan strategis. Arti penting dan strategis tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta, antara lain, pertama, bahwa umat Islam telah memiliki sistem penanggalan yang dapat dijadikan rujukan dalam menentukan dan menetapkan setiap arah gerak dan langkah yang ingin dicapai dalam kehidupan bernegara.

A. Pendahuluan

Kedua, penetapan sistem penanggalan Islam berdasarkan tahun Hijriyah merupakan momentum bersejarah bagi munculnya sebuah kesadaran sejarah (historisitas) di kalangan umat Islam bahwa perjalanan sejarah mereka haruslah diukur berdasarkan suatu moment bersejarah pula. Setelah melalui beberapa pertimbangan matang, maka moment bersejarah yang dijadikan dasar titik tolak adalah peristiwa hijrah. Hijrah sebagai suatu gerakan perjuangan Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin ke Madinah menuju suatu tatanan kehidupan yang dilandasi nilai-nilai dan moralitas ke-Islaman.
Setelah menelusuri beberapa literatur terkait dengan sejarah tahun hijriyah, tulisan-tulisan yang ada hanya membahas secara ringkas. Substansi dari tulisan yang ada hanya berkisar tentang sejarah dan peranan Umar bin Khattab dalam menetapkan peristiwa hijrah sebagai titik awal penghitungan sistem kalender dalam Islam. Tulisan-tulisan tentang itu pun tidak terlalu banyak.
Muhammad Husein Haikal, yang secara khusus membahas tentang biografi Khalifah Umar bin Khattab secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul al-Fârûq Umar, diterbitkan oleh Dâr al-Ma’ârif, Kairo-Mesir, 1974, yang edisi terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Umar bin Khattab: Sebuah Teladan Mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu, diterbitkan oleh penerbit Litera Antar Nusa, 2000, hanya membahas tidak lebih dari satu halaman.
Buku lain yang membahas tentang hal itu adalah sebuah biografi lengkap khalifah Umar bin Khattab dalam bahasa Inggris, buah karya Syibli Nu’mani di bawah judul Al-Faruq: Life of Omar the Great, Second Caliph of Islam, diterbitkan oleh SH Muhammad Ashraf, Lahore–Pakistan, 1976. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Karsidjo Djojosuwarno dengan judul Umar bin Khaththab yang Agung: Sejarah dan Analisis Kepemimpinannya, diterbitkan oleh penerbit Pustaka Bandung 1981 dan 1994. Pembahasan tentang sistem penanggalan Hijriyah juga hanya dilakukan secara ringkas saja yakni hanya satu halaman. Isinya hanya seputar sejarah penetapan hijrah Rasul SAW dan umat Islam ke Madinah sebagai titik tolak penanggalan Islam.
Buku yang agak panjang mengulas tentang sistem penanggalan Islam Hijriyah adalah karya Hasan Mu’arif Ambari di bawah judul Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998. Pembahasan tentang tahun Hijriyah secara khusus dimuat dalam sub judul ”Penggunaan Kalender Hijriyah di Indonesia”, halaman 271 sampai dengan 277. Keterbatasan pembahasan buku ini dapat dilihat dari lingkup dan batasan spasialnya yang hanya meliputi kawasan kepulauan nusantara-Indonesia. Secara eksplisit tidak mewakili apa yang ingin diungkap dalam makalah ini.
Pengungkapan dan penulusuran bibliografis di atas sangat penting dilakukan untuk melihat sejauh mana telaah ilmiah telah dilakukan berkaitan dengan arti penting penetapan tahun Hijriyah dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam telah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Dari sumber-sumber yang ada ternyata kajian tentang tahun Hijriyah hanya berkisar pada sejarah penetapannya sebagai awal kalender Islam. Pada hal jika dilihat secara komprehensif, penetapan tahun Hijriyah memiliki implikasi sangat luas termasuk relevansinya dengan studi sejarah pada masa awal Islam.

B. Argumen-Argumen Tentang Penentapan Kalender Hijriyah

Hijrah, sebagai sebuah fase penting dalam perjalanan sejarah umat Islam secara substansi mencakup tiga aspek penting yakni, meninggalkan negeri asal yang berada di bawah kekuasaan kafir menuju negeri yang damai tempat membina masyarakat dan negara Islam, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan sebagai permulaan tarikh Islam.
Atas dasar substansi tersebut beberapa argumen yang dijadikan motivasi bagi penetapan peristiwa hijrah sebagai momentum permulaan sistem penanggalan dalam Islam dapat ditelusri dari beberapa hal berikut: pertama, peristiwa hijrah Nabi SAW dan Umat Islam ke Madinah terjadi pada bulan Muharram memiliki momentum politik, sosial budaya dan peradaban dalam masyarakat Islam.
Selain peristiwa hijrah di atas, berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai kepada kita bahwa beberapa peristiwa penting dalam peradaban manusia sebelum Islam juga terjadi pada bulan Muharram. Peristiwa-peristiwa antara lain: Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS, kapal Nabi Nuh AS selamat dari tragedi banjir besar, Nabi Ibrahim AS dilahirkan, Nabi Ya’cub AS sembuh dari penyakit buta, Nabi Yusuf selamat dan diangkat dari sumur tempat pembuangannya, Nabi Musa AS dan pengikutnya Bani Israil selamat dari kejaran Fir’aun sedangkan Fir’aun dan tentaranya tenggelam di laut Merah dan bahkan fathu Makkah terjadi pada bulan Muharram.
Kedua, di kalangan masyarakat Arab pra-Islam hingga periode awal pemerintahan Umar bin Khattab, tidak adanya kalender khusus dan sistematis yang dipakai untuk memelihara catatan-catatan resmi negara (pemerintahan). Pada masa itu penghitungan kalender dibuat dengan petunjuk beberapa peristiwa penting. Umpamanya, untuk kurun waktu yang agak lama, tahun-tahun dihitung semenjak dari kematian Ka’ab bin Lawi (salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan suku-suku Arab) atau momentum perang antar suku (kemenangan atau kekalahan) atau ’Âm al-Fîl (tahun gajah) yakni tahun penyerangan Abrahah al-Asyrâm atas Mekkah (dengan maksud ingin meruntuh Ka’bah sebagai simbol ubudiyah yang bayak dikunjungi orang). Ataupun juga ’Âm al-Fujjâr (tahun orang-orang yang berdosa) dan moment-moment bersejarah lainnya. Umumnya moment-moment tersebut sarat dengan nuansa jahiliyah. Pada hal, kedatangan Islam sebenarnya merupakan antiklimaks dari hegemoni jahiliyah atas kehidupan masyarakat Arab-Islam dan menggantinya dengan peradaban yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam (tauhid).
Ketiga, dalam suatu kesempatan di tahun 16 H, muncul kegelisahan intelektual Khalifah Umar bin Khattab. Kegelisahan ini berawal ketika ia menerima sebuah naskah surat yang akan digunakan untuk suatu keperluan pemerintahan. Di dalamnya tercantum perkataan Sya’ban (maksudnya bulan Sya’ban). Umar menanyakan bagaimana ia akan tahu apakah yang dimaksudkan Sya’ban tahun lalu atau tahun sekarang. Para pembantu dekatnya ternyata tidak dapat menjawab. Lalu Umar mengundang para pembantu ahlinya yang terdiri dari para sahabat senior untuk membicarakan penentuan permulaan tahun Islam. Ada yang mengusulkan sistem penanggalan yang berlaku di Persia - kalender Mahruz, diadopsi menjadi sistem kalender Islam, ada yang mengusulkan al-Ayyam al-Arab (peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan masyarakat Arab jahiliyah). Bahkan ada yang mengusulkan menggunakan kalender Miladiyyah (berlaku di kekaisaran Romawi). Namun semua itu ditolak dengan dasar pertimbangan bahwa tidak memiliki semangat ke-Islam-an karena ada unsur jahiliyahnya. Ketika Ali bin Abi Thalib mengajukan peristiwa Hijrah Rasul SAW dan Umat Islam ke Madinah, semua yang hadir dalam majelis pemerintahan khalifah Umar, menyatakan setuju.
Persetujuan ini diperkuat pula oleh riwayat-riwayat yang menceritakan peristiwa-peristiwa besar dan penting terjadi di dalam kehidupan para Nabi Allah pada masa lalu justru ada bulan Muharram. Didukung pula oleh kenyataan bahwa pada tahun ke-16 H itu sejumlah kemenangan diperoleh kaum Muslimin di wilayah-wilayah musuh, seperti merebut kota Mada’in, pembebasan Bayt al-Maqdis di Yerussalem sekaligus membangun kembali Masjid al-Aqsha berdampingan dengan Gereja Anastasias.
Seluruh hadirin menyerahkan draf persetujuan sidang majelis kepada Khalifah Umar bin Khattab dengan melampirkan usulan-usulan yang masuk. Setelah membandingkan seluruh usulan yang ada, Khalifah Umar bin Khattab menyatakan persetujuannya dengan sebuah catatan bahwa kesepakatan yang telah diambil hadirin adalah tepat dan sistem kalender ini telah menerjemahkan suatu peristiwa terbesar dalam sejarah dunia. Atas dasar itulah Khalifah Umar bin Khattab menetapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat Islam. Sekaligus menjadi wahana bagi pemeliharaan catatan-catatan resmi negara dan agama secara teratur.

C. Tahun Hijriyah dan Studi Sejarah

Dilihat dari ruang lingkupnya, objek kajian dan penelitian sejarah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan dalam konteks apapun peristiwa-peristiwa itu terjadi. Namun mengingat luasnya bidang kajian ilmu sejarah, maka diperlukan pembatasan-pembatasan ruang lingkup sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam disiplin ilmu sejarah itu sendiri. Pembatasan tersebut penting dilakukan agar telaah terhadap peristiwa masa lalu itu menjadi lebih fokus dan analisisnya lebih tajam.
Dalam konteks ini penetapan sistem penanggalan tahun Hijriyah, tidak hanya sebatas prestasi gemilang sebuah rezim pemerintahan yang memprakarsai munculnya ide tersebut, akan tetapi lebih dari itu keberadaannya memiliki korelasi yang sangat erat dengan perkembangan disiplin ilmu sejarah. Korelasi itu dapat dilihat dari sisi keberadaan komponen ontologis sebuah peristiwa sejarah. Komponen-komponen ontologis itu meliputi manusia, peristiwa dan dimensi waktu. Ketiga komponen ini bertujuan memudahkan penentuan fokus pengamatan penelitian. Dari sisi ini penetapan penanggalan Islam dengan berdasarkan kepada peristiwa hijrah, memberi patokan yang jelas dan terukur bagi pemeliharaan catatan-catatan berbagai peristiwa yang terjadi di kalangan umat Islam. Di sisi lain penjelajahan ilmiah semakin mudah karena sudah ada patokan waktu. Analisis berbagai aspek sejarah peradaban Islam dapat menjadi lebih tajam dengan kerangka kerja keilmuan sejarah yang ada..
Arti penting penetapan sistem penanggalan Hijriyah yang dilakukan khalifah Umar semakin mempertegas dan memperjelas kerangka berfikir ilmiah dalam penelitian sejarah umat Islam, sistem penanggalan tersebut telah menjadi sebuah batasan temporal bagi penelitian dan penulisan sejarah Islam pada masa-masa berikutnya. Dengan demikian dapat ditarik benang merah tentang urgensi penanggalan Hijriyah bagi perkembangan studi sejarah Islam pada masa awal adalah mempertegas batasan temporal dengan menitikberatkan batasan waktu peristiwa sejarah. Inilah salah satu cikal bakal lahirnya pendekatan urutan waktu dalam penulisan sejarah pada masa awal Islam. Kepentingan sistem penanggalan ini berbanding sama dengan peranan hadis dalam perkembangan historiografi pada masa awal Islam dalam bentuk metode penelitian sejarah yakni metode isnad.
Dilihat dari sudut kajian historiografi, penulisan karya sejarah berdasarkan urutan waktu (tahun) baru dimulai pada abad kedua hijriyah atau lebih kurang dua abad setelah penetapan sistem penanggalan Hijriyah diberlakukan. Karya-karya sejarah dengan pendekatan tersebut dinamakan dengan hawliyât atau analistic form. Sejarawan-sejarawan Muslim masa awal yang menulis sejarah dengan mempertimbangkan pendekatan tahun antara lain seperti al-Wâqidî (130-207 H). Ia telah menulis beberapa karya sejarah di antaranya seperti kitab al-Maghâzi (sejarah perang Rasul SAW melawan kaum kafir Quraisy), Futûh al-Syâm (penaklukan kota Syam). Haytsam bin ’Âdi (w. 208 H), Ja’far bin Muhammad bin al-Azhâr (w. 276 H), Ammar bin Wasimah al-Mishri (w. 289 H). Namun karya-karya mereka tidak lagi teridentifikasi hingga ke hari ini.
Sejarawan Muslim yang datang kemudian menulis sejarah Islam berdasarkan metode hawliyât adalah Ibn Jarîr al-Thabarî (225-310 H/839-923 M). Ia dianggap sebagai sejarawan yang berjasa mengembangkan pendekatan hawliyât dalam penulisan sejarah ke arah yang lebih komprehensif dan maju. Karya terbesarnya dalam bidang ini dan menjadi rujukan penting bagi sejarawan yang datang kemudian adalah Târîkh al-Umâm wa al-Mulûk terdiri 28 jilid. Kitab yang sampai kepada kita saat ini dengan judul tersebut hanyalah dalam bentuk ringkasan dari karya aslinya yang 10 kali lebih besar dari ringkasannya itu. Informasi sejarah yang disusun dalam kitab tersebut berdasarkan urutan waktu (tahun), yakni dimulai semenjak kedatangan Islam, khususnya semenjak tahun pertama hijrah Nabi SAW beserta umat Islam ke Madinah hingga tahun 302 H. Sedangkan uraian tentang sejarah pra-Islam tidak disusun berdasarkan pendekatan urutan waktu (tahun), karena ia menyadari terdapatnya kesulitan-kesulitan teknis yang berada di luar kemampuannya untuk menjangkau masa terjadinya peristiwa sejarah tersebut.
Menurut penulis, itu terjadi karena rumitnya memperoleh data akurat tentang peristiwa yang terjadi pada masing-masing kelompok masyarakat pra-Islam mengingat begitu panjangnya rentangan waktu dan sumber-sumber tertulis tentang peristiwa yang dipaparkan tidak tersedia dengan cukup. Kebanyakan data yang diperoleh al-Thabarî untuk peristiwa sejarah pra-Islam tersebut adalah informasi-informasi yang bersandar kepada riwayat-riwayat lisan (oral transmition). Sejarawan menerima riwayat-riwayat tersebut hanya melalui pendengaran (al-sima’). Sehingga sangat sulit untuk menelusuri dan menetukan patokan waktu terjadinya peristiwa. Kalaupun sistem penanggalan non Islam sudah ada, seperti sistem penanggalan Milâdiyah (Romawi), sistem penanggalan Mahruz (Persia), dan lain-lain. Namun itu belum diakui sesuatu yang berlaku umum, penggunaan sistem penanggalan tersebut hanya berlaku pada tingkat lokal (kekaisaran) di mana sistem penanggalan tersebut digunakan.
Setelah al-Thabarî, penyusunan sejarah berdasarkan pendekatan urutan waktu (tahun) terus mengalami perkembangan. Ini terlihat dari munculya penulis-penulis sejarah seperti Ibn Maskawaih (w. 421 H). Karya terbesarnya dalam bidang sejarah adalah Tajârub al-Umam. Isinya mengupas tentang kondisi Dinasti Abbasiyah semenjak tahun 295 H sampai 369 H, termasuk uraian tentang kondisi kondisi sosial politik kekhalifahan. Ibn al-Jawzi (582-684 H). Karya sejarahnya yang berjudul Mir`ah al-Zamân fî Târîkh al-A’yân. Penulisan sejarah dalam karyanya tersebut disusun berdasarkan urutan waktu dari tahun 495 H sampai tahun 654 H dengan berbagai peritiwa yang terjadi dalam masa itu. Ibn al-Atsir (555-630 H). Karya sejarahnya yang terbesar adalah al-Kâmil fî Târîkh. Kitab ini adalah salah satu kitab sejarah penting dan kronologis mengupas berbagai peristiwa dalam sejarah umat Islam hingga tahun 628 H, termasuk di dalamnya uraian tentang peristiwa heroik Perang Salib. Abu al-Fida’ (w. 1338 M), seorang militer yang sejarawan. Ia menulis karya sejarah berjudul Mukhtashar Târîkh al-Basyar. Uraian buku ini meliputi sejarah masyarakat sebelum masa kenabian dan sejarah Dunia Islam hingga tahun 729 H., dan lain-lain.
Kitab-kitab sejarah tersebut tidak hanya disusun berdasarkan perkembangan pertahun, akan tetapi sudah menjangkau sistem periodisasi waktu yang lebih panjang (sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun, bahkan abad). Karya-karya sejarah dengan pendekatan kronologis tersebut dalam judul-judul kitabnya banyak menggunakan kata-kata mi`ah, abad, qarn.
Maraknya penulisan sejarah dengan pendekatan hawliyât atau analistic form di kalangan sejarawan Muslim, menurut Franz Rosenthal, lebih diilhami oleh corak penulisan sejarah yang telah berkembang di Yunani. Titik tolak Rosenthal beranggapan demikian adalah karena adanya kesamaan metode yang digunakan oleh sejarawan Muslim dalam menulis sejarah dengan ilmuwan-ilmuwan Yunani. Kontak sejarawan muslim dengan karya sejarah Yunani terjadi melalui hubungan komunikasi dan kontak budaya mereka yang sangat intens dengan ilmuwan Kristen asal Siryani (sekarang Syiria) serta melalui sumber-sumber asli Yunani secara langsung. Dengan kata lain sejarawan Muslim terinspirasi oleh pendekatan kronologis (tahun) yang digunakan dalam penulisan sejarah Yunani. Namun Rosenthal tidak menyebut secara kongkrit sumber-sumber asli mana yang mempengaruhi penulis-penulis sejarah Muslim.
Pendapat Rosenthal ini kemudian dibantah oleh penulis-penulis sejarah Muslim modern seperti Abdul Azîz Salîm dan Abdul Hamîd al-’Ibâdi. Aziz, menolak anggapan Rosenthal yang mengatakan metode hawliyât dalam sejarah Islam diambil (terinspirasi) langsung dari metode sejarah Yunani melalui ilmuwan Kristen asal Siryani. Bahwa yang dikutip oleh penulis sejarah Muslim hanya terbatas pada bidang-bidang seperti filsafat, matematika, ilmu falak, geografi, kimia, kedokteran. Sementara al-Ibâdî, mengatakan bahwa metode hawliyât dalam sejarah Muslim tidak ada hubungannya dengan sistem kronologis sejarah yang berkembang di Yunani. Apalagi jika dikaitkan dengan kesulitan-kesulitan yang ditemui beberapa penulis sejarah Muslim seperti al-Thabarî dalam mengidentifikasi peristiwa sejarah pra-Islam yang tidak disusun secara kronologis, telah memperkuat alasan untuk menolak pernyataan Rosenthal tersebut. Jika memang sejarawan muslim mengadopsi sistem kronologis penulisan sejarah Yunani, tentulah mereka akan sangat mudah dapat mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa yang begitu panjang sebelum Islam, bahkan sejarah Nabi Adam, AS atau sejarah semenjak bumi diciptakan. Namun harus diakui bahwa sumber-sumber sejarah tentang Arab pra-Islam banyak diambil dari sumber-sumber Yahudi, dan Nasrani (Isrâiliyât).
Hal senada juga dibantah oleh Muin Umar, bahwa pendekatan waktu dalam penulisan sejarah Islam berasal dari Yunani melalui kontak budaya dengan masyarakat Kristen Siryani. Dari hasil penelusuran ilmiahnya, Muin Umar mengatakan tidak pernah ada naskah klasik historiografi Yunani sampai ke dunia Arab. Selama periode transformasi ilmu pengetahuan Yunani ke dalam Islam melalui aktivitas penterjemahan, ilmuwan-ilmuwan Muslim untuk pertama kalinya berkenalan dengan klasifikasi bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tentang sejarah belum termasuk dalam kerangka ilmu-ilmu yang sudah ada pada waktu itu. Klasifikasi Yunani mengenai ilmu pengetahuan yang diambil alih oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim tidak menetukan tempat khusus bagi sejarah.
Penulis Muslim yang mengatakan adanya pengaruh Yunani dalam penulisan sejarah Islam adalah Nizar Ahmed Faruqi. Namun, Nizar, tidak secara konkrit mengatakan adanya pengaruh sistem kronologis historiografi Yunani dalam penulisan sejarah (Historiografi) Islam. Ia hanya menyebut bahwa dalam pengambilan sumber sejarah Arab pra-Islam, beberapa penulis Muslim menggunakan sumber-sumber Yahudi, Nasrani dan Yunani.
Berdasarkan perkembangan tersebut di atas, dapat pahami bahwa penulisan sejarah umat Islam berdasarkan pendekatan urutan waktu, merupakan hasil ijtihad (kreativitas) penulis-penulis sejarah Islam sendiri. Oleh karenanya penetapan sistem penanggalan Islam dengan mengambil momentum peristiwa hijrah, telah memberikan implikasi posistif ke arah penyusunan sejarah umat Islam dengan pendekatan hawliyât (periodisasi sejarah berdasarkan urutan waktu). Walaupun pada tahap-tahap awal keberadaan metode ini masih memiliki beberapa kelemahan, karena kontiniuitas sejarah tidak utuh (terpotong-potong), namun pada masa-masa berikutnya kesinambungan sejarah dan keakuratan data menjadi pertimbangan yang sangat penting dilakukan. Perbaikan ke arah kesempurnaan terus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor waktu kapan karya sejarah itu ditulis.
Namun perlu juga dipahami bahwa terdapatnya beberapa kelemahan metode dalam suatu karya sejarah wajar saja terjadi, sebab keberadaan karya sejarah dan metode yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual umat pada masa itu. Kritikan demi kritikan terjadi karena cara pandang dan masa hidup mereka berbeda dari masing-masing sejarawan. Mereka yang hidup lebih belakangan tentulah memilki metode yang lebih baru dari mereka yang hidup sebelumnya karena cara berfikir yang terus berkembang pula.
Akhirnya, tulisan ini baru sebuah penjelajahan awal bagi pengungkapan fenomena-fenomena sejarah yang terjadi dalam sejarah umat Islam, khususnya dalam bentuk penulisan sejarah berdasarkan pendekatan periodisasi (urutan waktu).











1 komentar:

  1. zaman sekarang sangat sedikit org yg tahu ttg sejarah kalender hijriyah, saya mohon tambahkan lagi fungsi dan kegunaan kalenderr ini bagi umat Islam, lbih khusus lagi tlg krmi ke email saya

    BalasHapus