Selasa, 23 Maret 2010

Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintahan Daerah Sumatera Barat 1 : Gubernur Harun Zain (1966-1977)

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum (Dosen Jur. SKI/Dekan FIBA)

Harun Zein (lengkapnya : Drs. Harun Al Rasyid Zein) adalah gubernur Sumatera Barat pertama di masa Orde Baru. Masa tugasnya sebagai gubernur diawali dengan pengangkatan oleh Presiden. Hasil sidang DPRD-GR yang dilaksanakan tanggal 17 Maret 1966, sebenarnya ia mendapatkan suara terbanyak kedua setelah Sapoetro Brotodihardjo. Ada dua calon yang diusulkan untuk jabatan gubernur Sumatera Barat pada waktu itu, yaitu Sapoetro Brotodihardjo yang didrop oleh Mendagri, dan Drs. Harun Al Rasyid Zain sendiri sebagai calon yang dimunculkan dari daerah.

Dalam pemilihan ternyata anggota dewan memberi dukungan lebih banyak kepada calon pertama. Namun karena perobahan politik nasional , maka dua bulan berikutnya (tanggal 5 Mei 1966) Presiden mengeluarkan surat Keputusan (No.93/1966) yang menyatakan bahwa Harun Zain, yang pada waktu itu menjabat sebagai Rektor Universitas Andalas, dipercayakan memimpin daerah ini. Bagi Harun Zain ini adalah awal karirnya dalam bidang politik dan pemerintahan, karena sebelumnya ia lebih banyak aktif sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi.

Sehubungan dengan pengangkatan ini, tidaklah terlalu sulit untuk memahami alasan kenapa presiden waktu itu menjatuhkan pilihan pada Harun Zain. Pertama, sebagai rektor Unand, ia banyak memberi dukungan terhadap aksi mahasiswa dalam pembersihan sisa-sisa PKI dan dalam penegakan Orde Baru di Sumatera Barat . Kedua, sebagai bekas tentara pelajar di Jawa Timur, ia memiliki banyak kerabat dekat di jajaran elit politik pemerintahan pusat. Ketiga, ia adalah putra daerah, meski memiliki basis sosial yang tidak kuat di daerahnya , karena semenjak kecil lebih banyak berada di luar daerahnya sendiri. Akan tetapi ia memiliki massa dari kalangan intelektual. Yang terakhir ini merupakan asumsi yang akan menjadi bagian yang integral pada bahasan selanjutnya terutama dalam melihat apakah basis sosial itu menjadi faktor penentu bagi prilaku politiknya dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Pada awal pemerintahan Harun Zein di Sumatera Barat, banyak kalangan yang meragukan kemampuannya untuk memimpin daerah ini, karena, kenyataan bahwa kondisi sosial di Sumatera Barat yang secara fisik dan psikis sudah begitu parah akibat PRRI, sedangkan kepemimpinan Harun Zein tidak mempunyai akar di tengah-tengah masyarakat . Karena itu, kemampuannya untuk memimpin dan memperbaiki kondisi sosial itu diperkirakan akan menghadapi banyak kendala.

Meskipun demikian, bagi Harun Zein, kritik serta sikap sinisme yang dia alami di awal kepemimpinannya, tidak melunturkan semangatnya, --malah menjadi pemicu-- untuk kemudian membuktikan bahwa dialah pemimpin yang diharapkan di Sumatera Barat . Dalam priode awal kepemimpinannya (1966-1970) ia berhasil menciptakan suasana yang kondusif untuk meletakkan kerangka dasar bagi pembangunan Sumatera Barat. Kerangka itu antara lain pertama : memperbaiki kondisi sosial dengan mengembalikan kepercayaan diri masyarakat Sumatera Barat sebagai landasan untuk pembangunan ekonomi, kedua : mengembalikan citra Sumatera Barat di mata pemerintahan pusat untuk memperoleh dukungan dana pembangunan dan perbaikan sarana fisik daerah yang sangat diperlukan dalam peningkatan perekonomian rakyat .

Kedatangannya pertama kali ke Sumatera Barat sebagai dosen terbang untuk Universitas Andalas pada tahun 1962 memberi pengalaman yang baik baginya untuk memahami kehidupan masyarakat di daerah ini, terutama menyangkut dengan akibat-akibat sosial yang dialami rakyat pasca operasi militer yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Kehidupan masyarakat yang suram tidak bergairah hampir terlihat di mana-mana, nagari-nagari yang sunyi karena ditinggalkan oleh tokoh-tokoh mereka yang frustrasi akibat tekanan-tekanan militer, ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang morat marit. Rakyat Sumatera Barat pada waktu ini seakan kehilangan kebanggaan atas daerah mereka yang pada waktu lalu banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, kebanggaan atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kemerdekaaan bangsa dan masa revolusi. Kondisi sosial seperti ini dinilai sangat tidak kondusif untuk pembangunan.

Di samping itu, situasi politik di daerah ini dilatari oleh suasana pembersihan bekas aktivis dan anggota partai Komunis beserta ormas-ormasnya di setiap jajaran pemerintahan. Aksi pembersihan ini telah mengakibatkan terganggunya kelancaran kegiatan beberapa lembaga pemerintahan, tak terkecuali juga di jajaran pemerintahan daerah dan DPRD-GR sendiri. Keadaan itu akan sangat mempengaruhi kinerja gubernur yang baru diangkat ini.

Namun demikian, Harun Zain yang dikenal terbuka dan akrab dengan segenap lapisan masyarakat dan dekat dengan kalangan intelektual dan tokoh masyarakat, bahkan dengan kalangan militer, tidak terlalu canggung untuk menghadapi situasi daerah seperti yang digambarkan itu . Dukungan yang diperolehnya dari mereka dapat dimanfaatkannya untuk secara bersama-sama memperbaiki kondisi daerah dan melaksanakan program-program pembangunan selanjutnya.

Simbiosa Pusat dan Daerah

Priode 1966-1970 bagi pemerintah Orde Baru pada dasarnya adalah priode di mana rezim ini memberi prioritas pada penyusunan strategi untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas kekuasaannya . Legitimasi mana, sebenarnya sangat ditentukan oleh dukungan politik yang diberikan oleh rakyat. Cara yang absah untuk mendapatkan dukungan itu adalah dengan melibatkan rakyat dalam proses politik, yaitu melalui Pemilihan Umum. Menjelang akhir tahun 1969 pemerintahan Soeharto membuat keputusan bagi penjadwalan pemilihan umum pada tahun 1971, lebih jauh akan dijadikan agenda politik lima tahunan di negara ini. Karena itu berbagai strategipun disusun untuk keperluan itu, terutama bagaimana kekuatan politik pemerintah (dalam hal ini adalah Golongan Karya) dapat memenangkan pemilihan itu. Untuk itu, suara rakyat di daerah akan sangat diper-lukan, terutama di wilayah pedesaan.

Apa yang dikemukakan itu bila dihubungkan dengan kondisi Sumatera Barat pada waktu yang sama, maka sebenarnya terdapat hubungan simbiosis antara pusat dengan daerah. Pemerintah pusat memerlukan dukungan daerah untuk mengumpulkan suara mayoritas rakyat di daerah ini dalam memenangkan pemilihan umum, sementara daerah memerlukan dukungan dana untuk memperbaiki kondisi daerah, terutama sarana dan prasarana fisik yang sangat diperlukan bagi peningkatan perkenomian rakyat. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi kepemimpinan Harun Zain di masa awal pemerintahannya, karena dengan demikian, untuk program meletakkan fondasi pembangunan ekonomi yang ia canangkan, yang diperlukan hanya membangun appeal politik ke pusat kekuasaan.

Salah satu cara yang efektif untuk menarik perhatian pusat pada waktu ini adalah dengan menawarkan jaminan loyalitas rakyat didaerah ini terhadap kepemimpinan Orde Baru. Artinya adalah kemenangan Golongan Karya di daerah ini akan sangat besar artinya untuk membangun kepercayaan pusat atas daerah ini. Ini sekaligus akan sangat menentukan bagi kelancaran pengaliran dana dari pemerintah pusat ter-hadap daerah.

Namun demikian, untuk memastikan kemenangan itu tidaklah mudah. Ini disebabkan pertama : Pada pemilu 1955 sebahagian besar rakyat di daerah ini memberikan suaranya terhadap Partai Islam , kedua : Golongan Karya hingga akhir tahun enam puluhan belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat di daerah ini. Bahkan organisasi kekaryaan --yang merupakan manifestasi kekuatan politik Orde Baru-- ini belum terorganisir dengan baik . Tenggang waktu menjelang Pemilu adalah merupakan hari-hari kerja keras bagi tokoh-tokoh Golkar di daerah ini untuk menggalang kekuatan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin dukungan dari masyarakat. Berbagai strategi dipasang untuk keperluan itu seperti mengadakan pendekatan dengan unsur tokoh masyarakat seperti ninik mamak, ulama, dan kalangan intelektual sebagai unsur elit yang masih dominan sebagai panutan masyarakat di daerah ini. Selain itu yang lebih penting lagi ialah peran militer dan pemerintah daerah sendiri yang dengan segenap kemampuan berupaya mensosialisasilan cita-cita Orde Baru serta menjadikan pengalaman pahit masa lalu daerah ini sebagai retorika politik yang disampaikan dalam berbagai kesempatan .

Apa yang sesungguhnya perlu kita tangkap dari masa-masa menjelang Pemilu 1971 ialah kondisi kesalingtergantungan antara pusat dan daerah telah menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kondisi ini mendorong pemerintah pusat untuk menawarkan janji kepada rakyat Sumatera Barat melalui para pemimpinnya, bahwa kepentingan etnis dan regional mereka akan dijamin, bila mereka memberikan loyalitas terhadap pemerintah . Bagi pemerintah daerah, terpenuhinya keinginan pemerintah pusat adalah merupakan jalan keluar satu-satunya untuk mengembalikan kondisi sosial ekonomi mereka.

Di samping itu, kondisi sebagai yang disebutkan, justru telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh pemerintah daerah sejak awal kepemimpinan Harun Zain. Ia berhasil menggaet dana dari pusat untuk memperbaiki sarana-sarana perekonomian yang sangat vital seperti jalan, irigasi dan sebagainya . Hal ini sangat diperlukan untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian rakyat yang sejak PRRI sangat terkendala oleh rusaknya berbagai sarana itu. Sampai pada awal tahun tujuh puluhan, kondisi perekonomian rakyat sudah mulai membaik dibanding dengan waktu sebelumya.

Terbukanya Katup Wacana Keminangkabauan

Di awal-awal kepemimpinan Harun Zain di Sumatera Barat suasana ketegangan hubungan antara pusat dan daerah masih saja terasa, meski rezim Orde Lama telah berakhir. Masyarakat di daerah ini masih merasa "sungkan" untuk menunjukkan identitas sebagai orang Minangkabau, karena dengan sendirinya akan dicap sebagai "etnis pemberontak". Kondisi ini tak terkecuali juga sangat mempengaruhi kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak banyaknya muncul wacana-wacana keminangkabauan dari tokoh-tokoh masyarakat daerah ini.

Suasana ini mulai agak mencair ketika muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini. Gagasan bagi pendirian lembaga ini sebenarnya bukanlah muncul dari kalangan pemuka adat, namun justru dari kalangan militer tepatnya dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan kemudian direalisasikan oleh Panglima Kodam III/17 Agustus, Kolonel Poniman . Pada Tahun 1966 Panglima menugaskan bawahannya Mayor Ahmad Syahdin, Kepala Sejarah Militer Kodam III bersama Kapten Saafroeddin Bahar untuk mengkondisi-kan para ninik mamak dalam rangka menghimpun potensinya ke dalam satu wadah. Pertama sekali, melalui musyawarah ninik mamak terbentuklah Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak pada bulan Maret tahun 1966. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sebagai organisasi ninik mamak dan penghulu se-Sumatera Barat . Organisasi ini pada awalnya ditujukan untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu dalam satu wadah yang bersih dari unsur-unsur PKI, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa ini merupakan bahagian dari upaya pemerintah agar ninik mamak di daerah ini tidak lagi terlibat dengan kegiatan politik praktis . Dengan demikian akan lebih mudah diarahkan untuk memberi dukungan terhadap pemerintahan dan pembangunan.

Sebenarnya tidak banyak yang dapat diharapkan dari keberadaan lembaga itu untuk membangkitkan kembali otoritas adat yang selama ini terpinggirkan , namun setidaknya gagasan yang muncul dari atas ini dirasakan sebagai kehormatan bagi identitas Minangkabau, karena adanya perhatian dari pihak militer dan penguasa terhadap budaya daerah yang selama ini sangat terabaikan. Kebanggaan akan keluhuran adat yang selama ini telah terkuburkan seiring adanya rasa ketakutan akan kecurigaan pusat atas etnis ini, mulai sedikit terkuak. Masyarakat dan kalangan tokoh daerah tidak lagi merasa risi untuk membicarakan adat dan budaya mereka.

Dengan pembentukan LKAAM, dirasakan bahwa kesempatan untuk kembali menghidupkan wacana-wacana tentang keminangkabauan dengan segala perangkat strukturalnya, mulai terbuka. Karena itu, para tokoh dan intelektual Sumatera Barat berupaya menyelenggarakan seminar-seminar tentang kebudayaan Minangkabau. Tiga kali seminar dilaksanakan setiap tahunnya sejak 1968 setelah lebih dari sepuluh tahun kegiatan seperti ini terhenti, tepatnya sejak seminar di Bukittinggi pada tahun 1953. Mulai tahun 1968 dan berikutnya tahun 1969 diselenggarakan seminar kebudayaan Minangkabau di Padang dan kemudian pada tahun 1970 seminar yang sama dilaksanakan pula di Batu Sangkar. Seperti halnya pembentukan LKAAM, seminar ini pada dasarnya tidak banyak menghasilkan formula-formula bagi kebangkitan kembali nilai-nilai kultural daerah. Ini terlihat dari pemikiran-pemikiran yang muncul tidak memberi solusi yang aplikatif, seperti pemikiran seputar perlunya kembali kepada konsensus "Adat basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah" yang mengemuka dalam diskusi ini, ternyata tidak mengemukakan secara eksplisit tentang implementasi dan aktualisasi falsafah itu sendiri . Demikian juga keberadaan adat dengan segala struktur yang menyertainya yang makin lama makin terpinggirkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal tampaknya masih saja jadi pembicaraan pada tingkat bawah dan belum terbuka sebagai topik yang "dapat" diangkatkan pada forum formal seperti seminar itu.

Pengukuhan Kembali Sistem Nagari

Pada tahun 1968 pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat (SK. No. 015/GSB/ 1968 Tanggal 18 Maret 1968). Peraturan yang baru ini menggantikan Peraturan yang pernah dikeluarkan pada tahun 1963 (SK. Gub. No.02/Desa/GSB/Prt./1963) yang dinyatakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat nagari. Disamping itu Undang-Undang Desapradja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada bulan September 1965 (U.U. No. 19 Tahun 1965) ditunda pelaksanaannya karena masih perlu ditinjau kembali (berdasarkan Instruksi Mendagri No. 29 Tahun 1966) .

Di sini, pertimbangan internal mungkin lebih dapat diterima sebagai alasan pemerintah daerah untuk mengambil langkah mengukuhkan kembali sistem pemerintahan Nagari. Pertimbangan itu lebih didorong oleh kenyataan yang terdapat di hampir semua nagari di Sumatera Barat pada waktu ini antara lain disamping telah berakhirnya masa jabatan Kepala Nagari sejak bulan Juli tahun sebelumnya, juga terdapat sejumlah jabatan di sebahagian besar nagari di Sumatera Barat mengalami kekosongan seperti Kepala Nagari, Pamong Nagari dan anggota Badan Musyawarah Nagari sebagai akibat terjadinya peristiwa G.30 S. PKI.

Hal yang dapat dinilai positif dengan dikeluarkannya peraturan itu antara lain adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal. Dengan demikian sistem kepemimpinan nagari otonom seperti yang berlaku pada waktu-waktu sebelumnya tetap dapat dipertahankan. Di beberapa bahagian wilayah lain di Indonesia, --sebagai akibat kekosongan peraturan perundangan ini--,telah mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kehidupan desa tradisional demokratis sebagaimana digambarkan oleh Fraksi PDI dalam Pemandangan Umum Fraksi PDI Mengenai Rencana Undang-Undang Pemerintahan Desa :
… Di sementara tempat tidak ada lagi pemilihan kepala desa… Kepala Desa diganti dengan kepala desa yang diang-kat oleh Bupati yang kebanyakan terdiri dari pensiunan yang didatangkan dari luar….Umumnya mereka menunjukkan sikap yang otoriter ….pemerintahan desa yang tadinya ditata menurut sistem demokrasi sekarang telah menjurus kepada absoluut bestuur stelsel….

Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dari sistem pemerintahan Nagari dengan sistem pemerintahan Nagari tradisional namun tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat ini setidaknya telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memim-pin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat . SK yang ter-akhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK sebelumnya, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan Nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.

Intervensi Pusat : Beberapa Gejala Awal

Persoalan hubungan antara pusat dan daerah sering ditentukan sejauh mana daerah punya keleluasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan seberapa jauh pula otoritas kekuasaan pemerintahan pusat ikut mencampuri urusan-urusan internal mereka. Di Sumatera Barat, pengaturan sistem pemerintahan terendah hanya sampai tingkat kecamatan. Sedangkan Nagari sebagai wilayah kesatuan hukum adat, meskipun berada di bawah kecamatan, namun tetap memiliki otonomi untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, sistem, serta nilai-nilai tradisional yang mereka anut.

Pada priode pertama kepemimpinan Harun Zain, hubungan pusat dan daerah terlihat "mesra", meskipun kondisi internal sendiri sebenarnya masih sangat runyam dan belum pulih sepenuhnya dari keadaan sebelumnya. Kemesraan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya kondisi saling membutuhkan, apalagi di masa-masa awal pemerintahannya, rezim Orde Baru belum memiliki legitimasi yang kuat atas kekuasaaan yang dipegangnya. Setidaknya sejak akhir tahun 1960 dan awal tahun 70an, masyarakat di daerah ini telah merasakan "budi baik" pemerintah pusat dengan pa-sokan dana pembangunan yang sangat mereka butuhkan .

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.6 tahun 1969 otoritas pemerintah pusat atas persoalan internal di daerah mulai dirasakan. Undang-undang ini menyatakan tidak berlakunya pelbagai Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan di daerah yang dikeluarkan sebelumnya. Sejak saat itu pemerintah pusat sebenarnya mulai menunjukkan keinginan untuk mengatur sistem pemerintahan nasional sampai ke tingkat pedesaan .

Keinginan pemerintah untuk menyeragamkan struktur pemerintahan sampai ke tingkat terendah (desa) di seluruh Indonesia telah terlihat dengan di keluarkannya beberapa kali edaran Mendagri tentang pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat pada tahun 1976. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya edaran Mendagri ini a.l.:
bahwa desa merupakan sumber potensi kekayaan alam dan tenaga kerja sehingga kedudukan, peranan dan fungsi daerah pedesaan, baik sebagai basis pemerintahan nasional maupun sebagai basis pembangunan nasional menjadi semakin nyata dan semakin menentukan terutama di bidang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang diarahkan ke daerah pedesaan

Pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat diarahkan untuk pendewasaan desa menjadi desa yang definitif dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai ketentuan-ketentuan dalam edaran pemerintah pusat Pembentukan desa yang definitif ditetapkan dengan Surat Keputusan Mendagri yang dikeluarkan setiap tahunnya. Ini ditujukan untuk persiapan penentuan jumlah anggaran di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, baik untuk Inpres, Bantuan Pembangunan Desa, maupun subsidi-subsidi lainnya .

Sumatera Barat sendiri, selama pelita I, menerima bantuan desa sebanyak jumlah Nagari yang ada, yaitu : 543 nagari, karena pada waktu ini di Sumatera Barat Nagari masih ditetapkan sebagai unit pemerintahan terendah setingkat desa dan berada di bawah kecamatan. Karena di dorong oleh keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi jumlah bantuan desa, maka pada bulan Juli tahun 1977 pemerintah daerah mengambil kebijaksanaan untuk menetapkan Jorong (yang pada waktu ini merupakan bagian dari nagari) menjadi setingkat desa. Beberapa bulan berikutnya pemerintah daerah mengeluarkan penjelasan tentang penetapan itu dan kembali menegaskan bahwa pengertian desa yang sesuai dengan keputusan Mendagri tentang pemerintahan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyeleng-garakan rumah tangganya sendiri, tidak dapat dilaksanakan di Sumatera Barat, karena itu hak otonomi tersebut tetap dimiliki oleh Nagari . Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak ingin kehilangan status dan fungsi Nagari sebagai lembaga kepemimpinan yang diakui di dalam masyarakat.

Keputusan pemekaran/pembentukan desa atau daerah yang setingkat ini, oleh Pemerintah Daerah, pada awalnya ditujukan untuk semata menampung realisasi bantuan desa yang disediakan oleh pemerintah sebanyak desa yang ditetapkan dan disahkan dengan Keputusan Mendagri itu. Pemerintah daerah masih mengakui keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah dengan penegasan bahwa untuk status, kedudukan, dan fungsinya dalam bidang pemerintahan tetap mempedomani SK. Gubernur No. 155/ GSB/1974. Pemerintah daerah sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan dikeluarkan peraturan perundangan tentang pemerintahan Desa , akan tetapi Keputusan tentang pemekaran/ pembentukan desa tersebut tetap dikeluarkan. Pada waktu ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan bahwa penetapan yang beriming-iming bantuan desa itu akan menjebak pemerintah daerah untuk "menerima" keputusan pemerintah pusat menjadikan desa (jorong) sebagai unit pemerintahan terendah dan pada gilirannya tentu akan mengkebiri otoritas Nagari sebagai struktur pemerintahan tradisional yang otonom di Sumatera Barat.

@ Irhash A. Shamad

Selengkapnya...

Snouck Hourgronje : Kolonialisme yang Berlindung Dibalik Penelitian Ilmiah

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Entah kenapa, dalam minggu ini, saya tertarik membaca (kembali) tentang Muslim "murtad" Snouck Hourgronje. Antroplog yang dianggap "layar sejarah" Indonesia sebagai pengkhianat berkedok agama. Namun terlepas dari semua itu, buku "Surat-Surat Snouck Hourgronje kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia" Jilid I - XV yang saya baca dalam beberapa hari belakangan ini, setidaknya membuat saya sedikit salut pada-nya. Kemampuan metodologis dan analisis serta rekomendasinya sangat bagus dan terukur, ilmiah dan terkesan provokasi namun juga mengesankan kompromistis pada aspek-aspek tertentu. Saya masih ingat, waktu saya kecil ketika mendengar ceramah-ceramah ulama-ulama "kelas lokal" dikampung saya, paling sering menyinggung nama Snouck Hourgronje, bukan memuji, tapi memposisikannya seperti Abu Lahab dan Abu Jahil.

Siapa Snouck Hourgronje ? Nama lengkapnya, Christian Snouck Hourgronje, lahir di pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Ia tumbuh dan berkembang dalam tradisi Protestan. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arab-nya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekah, 1884. Di Mekah, keramahannya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah kolonial Belanda, figur Snouck Hurgronje adalah sosok kontroversial khususnya bagi kaum Muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh. Bagi penjajah Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding, untuk tidak menyebut "selevel" dengan Abu Jahil dan Abu Lahab.

Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik. Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembanagan selanjutnya. Snouck berpendapat bahwa Al-Quran bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia. Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya. Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam“. Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah (Ini juga disinggungnya dalam buku Surat-Surat Snouck Hourgronje ..... terbitan INIS).

Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda. Pada saat yang sama perang Aceh mulai bergolak. Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui ke-Islaman Anda“. Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi ini tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda. Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu. Snouck kemudian menawarkan diri pada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ‘Ulama asal Aceh di Mekah. Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Benaker Hourdec menyiapkan asisten-asisten untuk menjadi pembantunya. Seorang di antaranya adalah warga keturunan Arab Pekojan, yaitu Sayyid Utsman Yahya Ibn Aqil al Alawi. Ia adalah penasehat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum Muslim atau asisten honorair.

Misi utama Snouck adalah “membersihkan” Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh. Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan pada bagian ini, bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ‘Ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena mereka hanya memikirkan bisnisnya. Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah. Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ‘Ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut di sini, bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen mata-mata dari kalangan pribumi. Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membantunya berasumsi bahwa Snouck adalah seorang saudara semuslim. Dalam suatu korespondensinya dengan ‘Ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan “Wahai Fadhilah Syekh AIlamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti negeri Jawa. “

(Artikel utuh belum dipublikasikan)

Selengkapnya...

Selasa, 02 Maret 2010

Islam dan Kebangsaan : Ideologi Politik PERMI

Oleh : Drs.H. Rusydi Ramli (Dosen Jur. SKI)

Permi adalah organisasi pergerakan yang lahir dan berpengaruh luas di Minangkabau. Iklim pergerakan nasional Indonesia ada saat kelahiran tengah dilanda konflik ideologi antara kelompok pergerakan yang berideologikan Islam dengan kelompok pergerakan yang berideologikan Nasionalis. Masing-masing kelompok saling mengecam dan merasa ideologinya yang paling ideal dalam pergerakan kemerdekaan. Permi mencoba menjembatani jurang pemisah tersebut menawarkan jalan keluar dari krisis itu dengan mengambil Islam dan Kebangsaan sebagai ideologi pergerakannya.

Cikal bakal Permi berasal dari perguruan Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib adalah lembaga pendidikan Islam moderen yang berasal dari lembaga pendidikan tradisional Minangkabau yakni Surau Jembatan Besi Padangpanjang yang didiri¬kan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada akhir abad ke sembilanbelas. Setelah Abdullah Ahmad pindah ke Padang pada tahun 1906 kepemimpinan surau ini diteruskan oleh sahabatnya, Haji Rasul. Pada masa inilah dilakukan pembaharuan yakni dengan memadukan sistem pendidikan barat dengan sistem pendidikan Islam (Taufik Abdullah, 1971: 34).

Termotivasi oleh keberadaan Sumatera Thawalib di Padangpanjang Syeik Ibrahim Musa dari Parabek mengganti pula nama suraunya yang semula Moedzakaratoel Ichwan menjadi Sumatra Thawalib. (Burhanudin Daya, 1995: 89). Berikutnya surau-surau yang dikelola oleh para ulama Kaum Muda lainnya berganti nama, seperti Sumatera Thawalib Sungayang di Batusangkar di bawah pimpinan Syekh Thaib Umar dan Sumatera Thawalib Padangjapang di Limapuluh Kota di bawah pimpinan Syekh Abdullah Abbas. Pada tahun 1920-an Suma¬tera Thawalib telah tersebar hampir di seluruh pelosok Alam Minangkabau. Bahkan sampai ke Aceh dan Tapanuli. Jaringan sekolah ini menjadi embrio bangkitnya nasionalisme di Minangkabau kemu¬dian hari.
Pada tanggal 22 Januari 1922 dibentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib untuk mempersatukan seluruh pelajar-pelajar Sumatera Thawalib. Ketua Dewan Pusat Sumatra Thawalib pertama adalah Djalaludin Thaib, guru Sumatera Thawalib Padang Panjang. (Danil M. Chaniago, op.cit.,: 74-75).
Perkembangan Sumatera Thawalib mendapat reaksi yang besar dari pemerintah kolonial, terutama setelah adanya pertemuan pengurus Thawalib tanggal 16 April 1922 yang menginginkan agar Sumatera Thawalib juga berpartisipasi di bidang politik. Pemerintah kolonial mencurigai Sumatera Thawalib sedang berusaha untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. (Taufik Abdullah, 1987: 224-225). Kecurigaan pemerintah semakin nyata dengan masuknya pengaruh komunis ke dalam tubuh Sumatera Thawalib yang dibawa oleh Haji Datuk Batuah, guru sekaligus pengurus Sumatra Thawalib Padang Panjang (Mestika Zed, 1980:64). Datuak Batuah mendirikan Partai Komunis Indonesia Cabang Padang Panjang yang berbasis di Sumatera Thawalib. Dari sini paham komunis menyebar hampir ke seluruh pelosok Alam Minangkabau. Penyebaran paham komunis akhirnya berhenti dan kemudian lenyap setelah Partai Komunis mengalami kegagalan dalam pemberontakan pada awal tahun 1927. Sejak peristiwa itu, Sumatera Thawalib mengalami masa krisis.
Usaha membangkitkan kembali organisasi dan sekolah Sumatera Thawalib baru tercapai pada tahun 1928 yang dimulai dengan adanya pertemuan antara tokoh-tokoh Sumatera Thawalib pada tang¬gal 17-19 November 1928 di Padang Panjang. Dalam perte¬muan ini dibentuk Persatuan Sumatera Thawalib. Dewan Pengurus Persatuan Sumatera Thawalib terdiri dari kalangan berbagai organisasi baik pendidikan, sosial, maupun politik. Komposisi pengurus Persatuan Sumatera Thawalib adalah Ketua: Haji Djalaluddin Thaib (PGSA), Wakil Ketua: Ali Emran Djamil (Thawalib Parabek), Sekretaris: H.Syu'ib el-Yunusi (Thawalib Padang panjang), Bendahara: Thaher Bei (Diniyah School), Komisaris: Duski Samad (PSI Maninjau), Saalah Sutan Mangkuto (Muhammadiyah), dan H.Alauddin (Thawalib Maninjau)" (Burhanuddin Daya, op.cit.: 266)
Pada Konferensi Persatuan Sumatera Thawalib yang kedua di Batusangkar pada tanggal 20-21 Mei 1929 timbul keinginan untuk menjadikan Sumatera Thawalib sebagai organisasi yang berskala nasional. Keinginan ini disampai¬kan oleh para penceramah pada acara rapat umum terbuka Persatuan Sumatera Thawalib sehari setelah konferensi ditutup. Setelah pertemuan itu Sumatera Thawalib memperluas keanggotaannya dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk menjadi anggota. Secara perlahan-lahan Sumatera Thawalib bergerak dan tumbuh menjadi suatu organisasi massa.
Proses perubahan itu semakin gencar setelah beberapa putra Minangkabau kembali dari perantauan di Timur Tengah bergabung dengan Sumatera Thawalib, seperti Iljas Ja'cub (Mesir), Mansyur Daud (Turki), dan Rasul Hamidi (Saudi Arabia). Pada konferensi Sumatera Thawalib di Bukittinggi tanggal 20-21 Mei 1930 para perantau ini berperan besar pergantian nama Sumatera Thawalib menjadi Persatoean Moeslim Indonesia disingkat P.M.I.(Maillrapport no. 812/30; Medan Ra'jat, no.2, 10 September 1932:1) Dalam konferensi ini Iljas Ja’coub mengusulkan agar menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas perjuangan P.M.I.
Dalam Konferensi PMI pertama yang diadakan di Payakumbuh pada tanggal 5-9 Agustus 1930 usul Iljas Ja’coub disetujui dan dimasukkan dalam statuta P.M.I. Keputusan lain di antaranya adalah ditetapkannya kota Padang sebagai tempat atau kedudukan hooft bestuur P.M.I. Adapun komposisi hoofd bestuur (Pengurus Besar) P.M.I. yang terpilih adalah; Ketua Umum: H.Abdul Madjid Abdullah, Wakil Ketua: Iljas Ja'coub, Sekretaris: Mansur Daud Rasyidi, Wakil Sekretaris: Darwis Thaib, Bendahara: H. Syue'ib el Jutusy, Seksi Pelajaran: Ali Emran Jamil, Seksi Penyiaran Islam dan Pertahanan: Rasul Hamidi, Seksi Kepanduan: A.Gafar Ismail" (Burhanuddin Daya, op.cit.: 269)
Sejak itu sekolah-sekolah Sumatera Thawalib dikelola oleh Dewan Pelajaran P.M.I. Beberapa lembaga pendidikan juga didirikan P.M.I. seperti; Islamic College; Amabach School; dan Thawalib School. (Medan Ra'jat, no.4, 15 Maret 1931, h.39; no.7-8, 1-15 Mei 1931, h. 73, no. 13, 1 Oktober 1931, h. 143) Hanya ketiga sekolah inilah yang benar-benar didirikan P.M.I.selebihnya sekitar 58 sekolah Thawalib muncul lebih dulu dari P.M.I. Sekolah-sekolah Thawalib yang bernaung di bawah P.M.I. secara tidak langsung membantu P.M.I. dalam memperluas jangkauan dan propaganda organisasinya.
Dalam bidang ekonomi P.M.I. secara intens mempropagandakan agar memakai produksi sendiri (swadesi). Untuk itu P.M.I. menganjurkan kepada anak cabangnya supaya membuka perusahaan-perusahaan. P.M.I.Cabang Payakumbuh mendirikan pabrik minyak goreng; Cabang Pariaman mendirikan pabrik sabun; dan anak cabang Kayutanam mendirikan pabrik roti. Di Parabek Ali Emran Djamil mendirikan toko buku. Semua hasil produksi warga P.M.I. selalu dicantumkan logo P.M.I. yakni keris terhunus dan matahari. Untuk menampung hasil-hasil produksi Hoofd Bestuur P.M.I. mendirikan koperasi di bawah pimpinan Faqih Hasyim (Danil M. Chaniago, op.cit).
Inisial Persatoean Moeslim Indonesia yang semula P.M.I.ditukar menjadi Permi dalam kongres di Padang pada tanggal 24 Oktober hingga 1 November 1932 P.M.I. Pergantian inisial ini seiring dengan bergantinya haluan organisasi menjadi organisasi politik yang non-kooperatif. Setelah menjadi organisasi politik, penyebaran Permi justru semakin pesat. Ricklefs mencatat bahwa pada pertengahan Juli 1933 tercatat tidak kurang dari 200 Cabang Permi di 180 nagari. Pada tahun yang sama Permi memiliki tidak kurang dari 10.000 anggota di mana sekitar 40 persennya adalah wanita. (M.C.Ricklefs, 1993: 286)
Kecenderungan Permi melancarkan propaganda-propagan¬da politiknya yang radikal dan mengecam pemerintah menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karenanya pada tahun 1933 pemerintah membatasi aktifitas Permi dan beberapa tokohnya dikena¬kan spreekdelict. Bahkan tokoh-tokoh Permi yang dipandang mengganggu rust en orde ditangkap dan dipenjara serta dijadikan interniran. Sejak itu kegiatan Permi lebih sering dilakukan secara tersembunyi. Dalam kondisi seperti inilah tampil Ratna Sari seorang tokoh Permi Putri mempimpin Permi lantaran tidak seorang pun dari kaum pria Permi yang berani tampil. Namun hal ini hanya sementara saja. Sebab tanggal 18 Oktober 1937 setelah mendapat tekanan-tekanan yang cukup berat Permi dibubarkan pemerintah.

A. Pengaruh Pergerakan Kemerdekaan Mesir
Gerakan nasional di Mesir ditandai dengan munculnya tokoh agama dan nasionalis yakni Muhammad Abduh (Rektor Universitas Al Azhar) dan Musthafa Kamil yang dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan yang berpengaruh luas di kalangan rakyat Mesir. Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh agama (Islam) sedangkan Mustafa Kamil adalah seorang tokoh nasionalis yang dikenal sangat radikal dan tidak pernah mau berkompromi dengan penjajah Inggris. Musthafa Kamil inilah yang pertama kali mengumandangkan istilah “Mesir untuk bangsa Mesir dan bangsa Mesir untuk Mesir”. Kedua tokoh ini sangat tegas dan keras dalam menentang penjajahan Inggris di Mesir (L. Stoddard, 1964: 154-165).
Situasi pergerakan kemerdekaan di Mesir ketika itu juga diwarnai oleh adanya semangat untuk menggabungkan ideologi Islam dan Kebangsaan oleh partai Wafd dan Hizbul Wathan, dua partai politik yang berpengaruh di Mesir ketika itu. Tokoh-tokoh agama Mesir ikut bergabung dengan partai yang berasaskan kebangsaan itu seperti Syekh Mohammad Harun, Syekh Al Kajati, dan Syekh Abdul Muthalib yang merupakan Syekhul Universitas Al Azhar. Meskipun tokoh-tokoh agama ini berjuang dengan menggunakan ideologi Kebangsaan (nasionalisme) namun mereka selalu menjunjung tinggi agama Islam.
Situasi pergerakan nasional di Mesir ini sangat berpengaruh dalam memperkokoh rasa nasionalisme mahasiswa Indonesia, termasuk Iljas Ja’coub putra Minangkabau asal Pesisir Selatan dan Mukhtar Luthfi asal Balingka yang sedang belajar di negara itu. Semangat inilah yang dibawa dan dikembangkan oleh kedua putra Minangkabau itu setibanya mereka di tanah air. Kedua orang ini kelak menjadi tokoh sentral Permi.
Pergerakan kemerdekaan Indonesia pada saat itu tengah dilanda konflik ideologi. Akibatnya muncul dua kelompok besar yaitu golongan Islam dan golongan Kebangsaan (Nasionalis), seperti yang terjadi di Mesir. Jalan keluar dari konflik tersebut menurut Iljas Ja’coub adalah menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas perjuangan. Inilah yang kemudian berlaku pada Permi.
Mukhtar Luthfi juga bergabung dengan Permi. Asas Permi sekarang diperkuat dengan tujuannya yang dirumuskan oleh Luthfi yakni menuju Islam yang mulya dan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Mukhtar Luthfi menjadi juru bicara yang sangat efektif untuk mempropagandakan slogan Islam dan Kebangsaan. Sejak kehadiran tokoh ini, gerak Permi semakin radikal. Jika Iljas Ja’coub dikenal sebagai ideolog Permi maka Mukhtar Luthfi dikenal sebagai propagandis Permi. Kedua tokoh inilah sesungguhnya yang menjadi penggerak utama Permi.
B. Konflik Ideologi
Sampai tahun 1930-an, setidaknya ada 3 (tiga) ideologi yang menjadi haluan politik kaum pergerakan itu, yakni Islam, Komunis, dan Nasionalis. Organisasi pergerakan (baca: Partai Politik) yang berideologikan Islam diwakili oleh Syarikat Islam (SI), sedangkan ideologi komunis diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi nasionalis diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Di antara ketiga ideologi itu, hanya Islam dan Nasionalis (kebangsaan) yang mempunyai banyak pengikut.
Lenyapnya ideologi komunis dari arena pergerakan nasional Indonesia pascakegagakan pemberontakan tahun 1926 dan 1927 di Jawa Barat dan Sumatera Barat, membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan idelogi nasionalis (kebangsaan). Perhimpunan Indonesia (PI) yakni organisasi pergerakan yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia di Belanda (1926) dan menjadi embrio gerakan nasionalisme Indonesia. Aktifis PI inilah yang mendorong berdirinya PNI (1927) di Jakarta. (Ingelson, 1988: 2-18) PNI yang berideologikan kebangsaan (nasionalisme) pada dasarnya pelampiasan kekecewaan sebagian tokoh pergerakan atas perpecahan SI dan PKI, serta perpecahan di kalangan kaum nasionalis sendiri.
Sejak kehadiran PNI, dalam kancah pergerakan kemerdekaan Indonesia, iklim politik diwarnai oleh konflik 2 ideologi besar yakni Islam dan kebangsaan. Konflik ini dapat dilihat dari polemik antara Haji Agus Salim dan Soekarno yang mewakili kedua ideologi tersebut. Surat kabar Fadjar Asia pada edisi tanggal 29 Juli 1929 memuat tulisan Agus Salim, salah satu tokoh teras SI yang diberi judul “Tjinta Bangsa dan Tanah Air”(Umi R. Humairah, 2004). Tulisan itu mengkritisi pemahaman nasionalisme (kebangsaan) Soekarno yang menurutnya tidak sesuai dengan jiwa seorang muslim karena lebih mengutamakan kepentingan duniawi dan jauh dari nilai-nilai agama terutama Islam. Bahkan dengan tegas Salim selaku “wakil” dari kalangan Islam menyebutkan bahwa kaum nasionalis lebih mencintai paham kebangsaannya dibanding ajaran agamanya. Menurutnya, paham ini membawa orang untuk menjadikan nasionalisme sebagai agama yang menghambakan usia kepada berhala tanah air.
Kritikan Agus Salim disambut oleh Soekarno dalam tulisannya yang dimuat dalam media yang sama. Dalam tulisan yang diberi title “Ke Arah Persatoean: Menjamboet Toelisan H.A.Salim” Soekarno juga mengkritisi komentar Agus Salim. Menurut tokoh kubu nasionalis (Kebangsaan) ini, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme ketimoeran jang memboeat kita mendjadi perkakasnja Toehan” (Ke Arah Persatoean Menjamboet Toelisan H.A.Salim, Fadjar Asia, No. 193, 20 Agustus 1928) Tulisan Soekarno disudahi dengan harapan dan ajakannya selaku pimpinan PNI kepada PSI agar perbedaan pandangan tentang paham kebangsaan tidak menimbulkan perceraian dan maju ke arah persatuan.
Munculnya Permi di arena konflik ideologi di kalangan kaum pergerakan itu mendorong Permi untuk menjembatinya. Maka Permi menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas pergerakannya. Dengan demikian, Permi telah menempuh jalan penyelesaian yang moderat untuk mengatasi konflik tersebut.
C. Iljas Ja’coub: Ideolog Permi
Islam dan Kebangsaan sebagai asas Permi merupakan hasil pemikiran Iljas Ja’coub yang dikenal sebagai ideologi Permi. Iljas Ja'coub lahir hari Jumat bulan Rajab tahun 1904 di Asam Kumbang, Pesisir Selatan. Ayahnya H. Ja’coub adalah anak seorang ulama terkemuka di Pesisir Selatan, Haji Abdurrahman. Ibunya, Siti Hijir dikenal sebagai wanita yang taat beragama. Iljas Ja’coub adalah anak ketiga dari empat bersaudara
Iljas Ja'coub memulai pendidikan formalnya pada Gouvernement Inlandsche School (1912) di Asam Kumbang. Setelah menamatkan pendidikan formalnya Iljas Ja'coub bekerja di tambang Batubara Ombilin sebagai juru tulis (klerk) se lama dua tahun (1917-1919). Rasa nasionalismenya mulai tumbuh saat menyaksikan dari dekat penderitaan yang dialami oleh para kuli atau buruh tambang. Mereka dipaksa untuk meneken kontrak kerja dengan pengelola pertambangan dengan gaji yang tidak memuaskan. Hal ini merupakan proses pemiskinan bagi si buruh lantaran terpaksa untuk memper¬panjang masa kontraknya. Peristiwa ini semakin menya¬darkannya betapa pahit dan sengsaranya hidup sebagai bangsa yang terjajah.
Setelah berhenti bekerja Iljas Ja'coub kembali ke kampung halamannya dan kemudian menambah ilmu agamanya pada Syeikh Abdul Wahab seorang ulama terkemuka di Koto Barapak yang kemudian menjadi mertuanya. Setelah dua tahun mendalami ilmu agama Iljas Ja'coub diajak gurunya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dari sini ia terus ke Mesir menambah pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Selama di Mesir Iljas Ja'coub tidak hanya kuliah, tetapi juga aktif di organisasi mahasiswa seperti Al-Jami'ah Al-Khairiyah, organisasi mahasiswa Indonesia - Malaysia yang ia dirikan dan bertujuan memperlancar studi anggo¬tanya dan mendiskusikan masalah kolonialisme dan imperialisme yang dialami kedua negeri itu. Iljas Ja'coub duduk sebagai sekre¬taris sedangkan ketuanya adalah Djanan Thaib.
Iljas Ja'coub juga bersahabat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir, seperti Mustafa Kamil, Syeikh Mahmoud Abdul Youm dan Abdul Hamid Bey. Persahabatan ini membuatnya terjun di bidang politik. Setelah mengundurkan diri dari Al-Jami'ah Al-Khairiyah, bersama Mochtar Lutfi ia mendirikan Perhimpunan Pendjaga Indonesia (12 April 1926), organisasi yang berorientasi politik. Anggota PPI adalah orang Indonesia yang didominasi oleh putera-putera Minangkabau. Ketua PPI adalah Muchtar Luthfi, sedangkan Iljas Ja'coub sebagai penasehat.
Selain aktif di organisasi Iljas Ja'coub juga giat di bidang jurnalistik. Pada bulan September 1925 ia menerbit¬kan majalah Seroean Al-Azhar yang menjadi organ resmi Al-Djami'ah Al-Khairiyah. Pada tahun yang sama bersama Muchtar Luthfi ia mendirikan majalah Pilihan Timoer. Tulisan-tulisan Iljas Ja'coub di kedua media masa ini banyak merefleksikan sikapnya terhadap praktek kolonialisme yang sedang melanda berbagai daerah di Asia dan Afrika.
Aktifitas Iljas Ja'coub di bidang organisasi dan jurnalistik mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir. Iljas Ja'coub menjadi tamu tetap di markas besar Partai Hizbul Wathan dan diikutsertakan dalam acara-acara informal partai itu. Hal ini ikut mempen¬garuhi jalan pikiran dan sikap anti kolonialnya. Iljas Ja'coub bahkan dijadikan juru bicara anti kolonial oleh tokoh-tokoh pergerakan Mesir.
Sikap dua tokoh pergera¬kan Mesir yakni Muhammad Abduh dan Mustafa Kamil sangat mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Indonesia, serta mengilhami pemikiran politik Iljas Ja'coub. Selama di Mesir Iljas Ja'coub lebih banyak melakukan aktifitas politik dari pada kuliah sehingga ia tidak menamatkan kuliahnya.
Pada tahun 1929 Iljas Ja'coub pulang ke tanah air. Kepulangannya saat iklim pergerakan nasional Indonesia diwarnai konflik ideologi antara golongan nasionalis sekuler yang berideologikan kebangsaan dengan golongan nasionalis agama yang berideologikan Islam, sangat selaras dengan pengalamannya di Mesir. Hal itu memotivasinya untuk ikut terlibat dalam kancah pergerakan nasional. Tidak lama setelah itu, Iljas Ja'coub pergi ke Jawa untuk menjalin hubungannya dengan tokoh-tokoh PNI dan Syarikat Islam. Pertemuan Iljas Ja'coub dengan kedua tokoh pergerakan yang berbeda ideologi ini membuatnya berpikir mencari corak organisasi yang diperlukan dalam pergerakan nasional Indonesia. Akhirnya ia menemukan konsepsi berupa perpaduan antara ideologi kedua partai tersebut yakni Islam dan kebangsaan.
Ketika P.M.I. didirikan pada tahun 1930 di Bukittinggi Iljas Ja'coub mengemukakan ideologi Islam dan kebangsaan untuk P.M.I. Ide yang ditawarkan itu pada dasarn¬ya adalah usaha Iljas Ja'coub untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam. Iljas Ja'coub memperingatkan kaum pergerakan bahwa perpecahan dalam dunia pergerakan nasional Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat menghambat cita-cita kemerdekaan.
Iljas Ja'coub secara intens mempropagandakan ide-ide pergerakan Islam dan Kebangsaan yang diusungnya. Pada tanggal 15 Februari 1931 Iljas Ja'coub menerbitkan majalah Medan Ra'jat di Padang. Melalui media yang diterbitkannya ini Iljas Ja'coub memberi kesempatan pada kaum pergerakan untuk melontarkan ide-ide pergerakannya.
Pada tahun 1934 Iljas Ja'coub ditang¬kap dan diasingkan ke Digul karena aktifitas politiknya dianggap menggangu kelangsungan kolonialisme Belanda di Indone¬sia Sepuluh tahun kemudian dipin¬dahkan ke Australia. Akibat sikap non kooperatifnya, ketika dikembalikan ke Indonesia ia dilarang mendarat di Tanjung Priok Jakarta. Ia lalu diasingkan ke Kupang, Timor, Labuhan, Singapura, Serawak serta Brunai dan kembali lagi ke Labuhan. Tahun 1946 baru kemba¬li ke tanah air.
Empat bulan setelah tiba di tanah air Iljas Ja'coub terus ke Sumatera dan langsung bergabung dengan kaum pejuang republiken. Pada masa Pemerintahan Darurat Repub¬lik Indonesia (PDRI) dibentuk Iljas Ja'coub mendapat tugas khusus yaitu menghimpun semua partai dan barisan untuk bergabung dengan PDRI untuk menghadapi aksi polisionil Belanda. Puncak karir politik Iljas Ja'coub pada masa kemerdekaan adalah sebagai ketua DPRD Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi dan sekaligus merangkap seba¬gai penasehat pribadi Gubernur Sumatera Tengah. pada tanggal 2 Agustus 1958 Iljas Ja'coub meninggal dunia setelah mengecap nikmatnya alam kemerdekaan. (Danil M. Chaniago, Op.Cit)
D. Islam dan Kebangsaan: Ideologi Pergerakan Permi
Islam dan Kebangsaan merupakan ideologi pergerakan dan prinsip yang sangat mendasar bagi Permi. Paham kebangsaan merupakan jalan untuk menujukkan kecintaan pada tanah air sedangkan mencintai tanah air tidak dilarang oleh agama (Islam) bahkan dianjurkan. Orang Islam yang tidak mencintai tanah air adalah orang Islam yang diragukan keimanannya. Oleh karenanya seorang muslim adalah seorang nasionalis sejati.
Menurut Permi, nasionalisme itu dapat diibaratkan seperti Keris yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan dapat juga dipergunakan untuk menyerang orang lain. Tetapi ada juga nasionalisme dalam bentuk lain yakni pada mulanya dipergunakan untuk mempertahankan diri kemudian berbalik menjadi senjata untuk menindas bangsa lain. Kebangsaan yang dianut Permi adalah Kebangsaan yang diridhoi Allah bukan paham kebangsaan yang dapat mendatangkan bencana dan menjauhi penganutnya dari Allah Azza wa Jalla (Medan Ra’jat, No. 3, 20 September 1932 h. 2)
Permi juga menyadari bahwa dengan ideologi Islam, ideologi Kebangsaan sudah termasuk di dalamnya. Akan tetapi perlu juga mencantumkan Islam dalam asasnya karena ia merupakan suatu yang asasi dalam perjuangan melawan penjajah. Artinya nasionalisme Permi adalah rasa kebangsaan yang tidak agresif dan tidak menyerang bangsa lain dan tidak mengandung keinginan untuk bertindak sewenang-wenang.
Kemerdekaan wajib dicapai sebagai salah satu syarat untuk dapat menjalankan syari’at Islam. Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat mewujudkan cita-cita persatuan umat. Sebab, Islam tidak hanya mengatur hubungan menusia dengan Khalik-Nya saja tetapi juga mengatur hubungan antar sesama manusia. Islam adalah cita-cita yang paling tinggi sedangkan nasionalisme adalah semangat hidup agar dalam menjalankan Islam secara komprehensif.
Menurut Permi, nasionalisme yang dianutnya adalah nasionalismenya bangsa Timur yang hanya bergerak dan berasal dari keinginan untuk untuk melawan dan mengusir imperialis dan kapitalis. Berbeda dengan nasionalismenya Barat yang tumbuh dan berkembang karena didasari nafsu untuk menguasai dan menindas bangsa lain untuk kepentingan bangsa sendiri (Nasionalisme dan Islamisme, Medan Ra’jat,No. 10, 1 desember 1932, h. 2)
Dalam risalah yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Permi disebutkan bahwa Kebangsaan yang menjadi salah satu aspek dari basis ideologi Permi adalah kebangsaan yang tidak mengandung nafsu imperialis yang kejam dan sadis.(PB Permi, Semangat I, t.t. h 18) Permi mengkritik paham kebangsaan Barat atau Eropa telah membawa pengikutnya kepada jalan yang sesat karena menghisap darah rakyatnya sendiri dan merusak bangsa lain. Atas nama tanah air bangsa Austria menjajah Italia dan Swiss, dan atas nama tanah air pula bangsa Prusia melumat bangsa Austria.
Dalam risalah lainnya Permi menyatakan bahwa dalam Islam paham kebangsaan diridhoi oleh Allah dan harus mempunyai niat yang suci. Demikian pula halnya dengan Kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan pergerakan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia adalah satu rasa kebangsaan yang diridhoi oleh Allah. Karena dalam Al Qur’an umat Islam diperintahkan untuk berusaha sendiri untuk dapat merobah nasibnya (Q.S. Ar Ra’ad ayat 11) Sedangkan kebangsaan yang tidak diridhoi Allah adalah kebangsaan yang dapat menimbulkan pekerjaan yang haram atau pekerjaan yang mengandung menghinaan, penganiyaan, dan penindasan sesama manusia, seperti yang terjadi dan dilakukan oleh Bangsa Eropa.( PB. Permi, Semangat II, t.t., h. 6).
Tidak adanya pertentangan antara Islam dengan Kebangsaan dimuat dalam Medan Ra’jat dalam artikelnya yang diberi title “Soerat-Soerat dari Mesir”. Dalam tulisan ini disebutkan bahwa pergerakan kemerdekaan yang didasarkan pada Islam dan kebangsaan tidak akan bertentangan bahkan keduanya akan saling menopang; yang bergerak dengan paham kebangsaan tidak akan menjadi kafir asal tetap menjalankan syari’at Islam dan memuliakan hukum Islam dan tidak keluar dari ajaran Islam. Akan tetapi akan lebih baik lagi jika bergerak atas dasar Islam dan Kebangsaan. Pegerakan yang didasarkan atas paham Islam dan kebangsaan tidak akan mengurangi atau menghilangkan hak-hak non muslim sebagai putra bangsa.(Medan Ra’jat, No. 9, 20 November 1932)
Pada Rapat Umum Partai Indonesia (Partindo), Minggu 26 Oktober 1932 di Semarang yang dihadiri tidak kurang dari 3000 orang, Mukhtar Luthfi sebagai tamu kehormatan diberi kesempatan pidato. Dalam Pidatonya Luthfi mengatakan, di antara agama-agama yang ada di dunia ini hanya Islamlah yang tidak mempertentangkan paham Kebangsaan. Karena menurut Luthfi “… soal kebangsaan ini ialah soal menentukan hidoep dan mati diatas doenia jang soedah diperserahkan ketangan kita oleh Toehan Allah Ta’ala”.(Medan Ra’jat No. 6, 20 Oktober 1932, h. 2.) Bangsa Indonesia harus selalu mewaspai kelicikan kaum imperialis dan bersikap pro nasionalisme. Dengan kata lain, Luthfi mengingatkan bahwa harga kemanusiaan dan kemuliaan rakyat Indonesia tergantung kepada Indonesia merdeka.
Sebelumnya, Mukhtar Luthfi juga telah berpidato dihadapan Massa Partindo di Bandung dalam acara openbarevergaadering (rapat umum) partai nasionalis itu yang dihadiri oleh ribuan massa. Dalam pidatonya Luthfi juga menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang kebangsaan untuk mencapai hak suci bagi tiap-tiap bangsa untuk merobah nasibnya. Dalam kesempatan ini nasionalisme Permi juga dipertanyakan. Mukhtar Luthfi memberi jawaban bahwa nasionalisme Permi adalah nasionalime (kebangsan) yang secara Islam; nasionalisme yang diridhoi Allah. “ Ada poela jang bertanja, kenapa Islam dibatas dengan national. Djawab Toean H.M.Loethfi boekan membatas, tetapi menenoekan hak. Kita tidak akan damai sebeloemdapat hak jang soetji”.(Medan Ra’jat, No. 6, 20 Oktober 1932, h. 4)
Penjelasan Mukhtar Luthfi mengenai asas pergerakan Permi pada gilirannya telah menyadarkan kaum nasionalis tentang kekeliruannya terhadap Islam yang selama ini diyakini dapat menghambat pergerakan kemerdekaan. Bahkan Soekarno yang merupakan tokoh kaum nasionalis yang sebelumnya masih ragu-ragun tentang Islam; anti kebangsaan atau tidak setelah mendengar pidato-pidato Luthfi jadi hilang keraguannya. Hal yang sama juga dialami oleh Soetomo, tokoh nasionalis yang pernah menyebutkan “dibuang ke Digul lebih mulia daripada pergi haji ke Mekkah”, setelah bertemu dengan tokoh Permi lainnya, Jalaluddin Taib.
Bagaimanapun juga dengan mengambil Islam dan Kebangsaan sebagai pilar ideologinya Permi telah menciptakan miss understanding di antara sesama kaum pergerakan baik di kalangan nasionalis (Kebangsaan) maupun kalangan Islam. Muhammadiyah menilai Permi telah melakukan kesalahan yang sangat fatal karena memakai selain Islam sebagai asas pergerakannya. Hal ini, menurut Muhammadiyah, telah membawa Permi kepada perbuatan musyrik dan kafir. Selain itu, Permi juga dianggap telah mendua dan kurang percaya dengan kekuatan Islam selaku agama yang ajarannya mencakup seluruh persoalan dunia dan akhirat.
Sebaliknya Permi menuduh Muhammadiyah Sumatera Barat yang sama-sama lahir dari rahim Sumatera Thawalib sebagai penakut dan penjilat ekor Belanda karena bersikap kooperatif dengan pemerintah dan mau menerima bantuan sana (subsidi) pemerintah. Menurut Permi siapapun yang mau bekerjasama dengan Belanda yang nota benenya kaum kafir maka dia juga kafir. Orang kafir adalah musuh Islam yang sangat berbahaya bagi perkembangan syi’ar Islam.
Muhammad Natsir putra Minangkabau yang juga Persatuan Islam, menyatakan ideologi Islam sudah cukup: “Kelihatannya bahwa mereka (pimpinan Permi) tidak puas dengan Islam mereka. Mereka kelihatannya merasa bahwa Islam tidak cukup, bahwa mereka menganggap perlu menambahkan sesuatu. Islam yang mereka akui sebagai fondasi esensial dalam prakteknya akan digantikan oleh Kebangsaan yang mulanya dianggap sebagai ide pendukung. Padahal rasa kebangsaan di Indonesia telah lama tumbuh dan ditumbuhkan oleh Islam di Indonesia. Misalnya saja, Syarikat Islam dan Muhammadiyah yang telah menyebar di seluruh Nusantara tanpa melihat batas-batas etnis. Dengan demikian, pada dasarnya Islam telah lama membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Oleh karenanya dengan menggunakan Islam sebagai ideologi pergerakan sudah cukup dan tidak perlu ditambah-tambah lagi.”
Pernyataan Natsir segera ditanggapi oleh Permi. Dalam risalah tanggapannya Permi menyebutkan bahwa dengan menambah ideologi lain setelah Islam bukan berarti Permi mengganggap Islam belum mencukupi sebagai dasar perjuangan. Permi menyadari bahwa ajaran Islam telah mencukupi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia dan akhirat, tetapi Permi juga tidak dapat menutup mata bahwa di daerah koloni seperti Indonesia ini ajaran Islam hanya tinggal dalam Al Qur’an saja. Oleh karenanya Permi tidak hanya berasaskan Islam tetapi juga Kebangsaan karena Permi juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.( PB. Permi, op.cit., h. 4)
Tokoh Islam lainnya, Ahmad Hassan yang juga dari Persis di Bandung mengecam Permi. Menurut tokoh ini kebangsaan identik dengan ashabiyyah dan merupakan realita bahwa orang Islam Indonesia terpisah dengan umat Islam lainnya di dunia. Padahal sesama umat Islam itu bersaudara, di manapun dia berada. Oleh karenanya menurut tokoh ini, organisasi yang didasarkan pada Kebangsaan dan menolong organisasi yang berdasarkan Kebangsaan sangat bertentangan dengan ajaran Islam (Deliar Noer, 1996: 280(.
Anggapan A.Hassan yang menyamakan Kebangsaan dengan Ashabiyyah dijawab oleh Permi dengan menyebutkan bahwa ashabiyyah yang dimaksudkan tersebut adalah Kebangsaan yang sempit dan tidak didasarkan pada ajaran agama. Sedangkan Kebangsaan yang dianut Permi adalah Kebangsaan yang diridhoi Allah dan Kebangsaan yang tidak merugikan Islam. Pembahagian bangsa, menurut Permi bukan dijadikan oleh manusia tetapi ciptaan Allah. Untuk menguatkan argumen itu Permi mengutip ayat Al Qur’an yang artinya “ Aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal”. Kebangsaan yang dipromosikan Permi merupakan usaha untuk memberantas semua sisa-sisa feodalisme dan semua penderitaan yang disebabkan terutama oleh kolonialisme. (Taufik Abdullah, Op. Cit.,201).
Menanggapi berbagai kritik yang disampaikan tokoh-tokoh Islam, Iljas Ja’coub selaku pencetus ide bagi asas perjuangan Permi tetap pada pendiriannya. Bagi Iljas Ja’coub Islam dan Kebangsaan adalah perasaan yang suci dan pantas meresap dalam sanubari setiap pemuda Indonesia sampai mengalir ke seluruh tubuhnya setiap saat. Pada gilirannya ia akan menjadi tunas yang unggul dan mampu serta berani menjadi pembela agama, bangsa,dan negara (Medan Ra’jat, No. 20-22, 10 Juli-1 Agustus 1933, h. 6).
Iljas Ja’coub juga merasakan, bahwa sampai awal-awal tahun 1930-an persatuan dan kesatuan belum terwujud di kalangan bangsa Indonesia. Pertikaian dalam hal basis ideologi pergerakan nasional masih mewarnai iklim politik pergerakan ketika itu. Pada saat itu, Iljas Ja’coub mengajak semua kaum pergerakan agar menjalin kesatuan dan persatuan tanpa harus berpedoman pada satu agama. Menurut Ja’coub perpecahan yang terjadi di kalangan kaum pergerakan merupakan sebuah tragedi dan kehadiran Permi yang berlandaskan Islam dan Kebangsaan adalah jalan keluar untuk menghentikan tragedi itu.
V. P E N U T U P
Permi merupakan organisasi politik khas Minangkabau dan merupakan partai yang dapat mempersatukan segala golongan muslim.(Burhanuddin Daya, 1992: 278) Mengutip pernyataan tersebut, semestinya bangsa Indonesia baik yang mengutamakan Islam sebagai ideologi ataupun kebangsaan mengambil sintesa dari perjalanan sejarahnya sendiri.
Permi sebagai organisasi sosial politik juga dapat disebut sebagai diaspora dunia pendidikan ke arah pemikiran politik yang cerdas dan bernuansa intelektual. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan Permi yang dimulai dari ide gerakan pembaharuan yang diwujudkan dalam dunia pendidikan (Sumatera Thawalib) hingga menjadi organisasi kemasyarakatan dan sosdial Politik. Maka, ide yang Islam dan kebangsaan yang diusungnya menrupakan sintesa dari pertarungan ideologi pergerakan nasional pada masa itu.
Kemunculan Permi di arena konflik ideologi di kalangan kaum pergerakan itu berhasil dijembatani dengan cara yang arif. Belajar dari sejarah Permi tersebut semestinya seluruh anak bangsa Indonesia yang sedang “konflik” atas nama kepentingan apapun, dapat mensintesa dan mencari jalan tengah untuk memenuhi kepentingan bersama. Karena, pepatah luhur bangsa Indonesia mengajarkan, Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya.


Selengkapnya...