Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si
Ada jenis puisi yang disebut syair “munasibat” (occasional verse) sama artinya dengan “sajak peristiwa” (occasional poetry). Sajak ini ada beberapa bentuk, pertama bentuk vers de societe sifatnya serius dan satiris, kedua bentuk upacara perayaan seperti perayaan pemasangan mahkota kesultanan atau raja, upacara perkawinan , upacara proyek-proyek kesejahteraan dan upacara syukuran atas sebuah sukses besar dll., ketiga konteks sosialnya dapat melampaui beberapa konvensi masyarakat pendukungnya. Namun yang jelas jenis puisi ini digubah berkaitan dengan peristiwa.
Mencermati kumpulan puisi mahasiswa dalam buku ini, terkesan bahwa puisi mereka ini dekat dengan syair “munasibat”. Ini dimungkinkan karena dimensi kehidupan mahsiswa sebagai unsur muda sarat dengan berbagai peristiwa para belia. Dari berbagai peristiwa itu dapat mereka sikat esensi kehidupan. Pintar menyikat esensi kehidupan dalam berbagai peristiwa yang dialaminya itu dalam kata dan baris-baris yang indah, jadilah sajak jenis syair “munasibat” ini.
Sepertinya ada gambaran jelas proses dan dinamika kehidupan unsur muda ini dalam puisi-puisi mereka. Diawali dari adanya cita (asa) dan harapan membentuk dunia ide, diproses dengan sebuah perjuangan yang berhadapan dengan realita. Hasilnya sesuatu yang faktual memperlihatkan bahwa harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan kadang malah memperlihat dunia dan kehidupan yang tidak lebih dari fatamorgana. Benturan keras kehidupan kandas, melahirkan aksi. Aksi dan mungkin konvensasi –negatif– melahirkan aksi protes seperti bentuk demonstrasi. Konvensasi positif mungkin melahirkan tasyakkur dan berbagai perayaan. Bagi insan yang tetap memegang potensi dasarnya kepercayaan (akidah) dan ingin survival (kelangsung hidup) pastilah melahirkan upaya kembali kepada Tuhan.
Cita, Ide dan Fakta
Sebagai seorang manusia pasti memiliki asa (cita) dan harapan. Perjuangan dapat mengolah cita menjadi ide (ideologi). Ide dalam proses implementasinya berhadapan dengan realita dan fakta. Yang tadinya ada harapan, namun tidak selamanya harapan itu menjadi kenyataan. Sekali lagi sering berbeda harapan dengan kenyataan itu. Siklus ini melukiskan sebuah proses pencarian unsur muda tentang substansi kehidupannya. Secara samar fakta ini terlihat dalam dua baris Pernik-pernik nurani/ Syafriyon berikut:
Bila asa yang terpotong
Luruh ditelan gemuruh
Unsur muda dalam melayari hidup menunjukkan dinamika hidup menarik. Satu sisi diakui, meraih sukses, cita memasuki dunia ide memerlukan pengorbanan dalam berjuang. Di sisi lain kekuatan sebuah realita kadang dirasakan tidak tertahankan. Gambaran dinamika hidup seperti itu tidak berarti sebuah penyerahan terhadap sebuah realita. Illustrasi ini dapat dirasakan dalam lirik Dinamika Hidup/ Syafriyon, mahasiswa Fakultas Dakwah jurusan KI berikut ini:
Tak ada yang terwujud jika tak sudi berkorban
Di satu sisi…
Mimpi kembangnya hidup
Tak berarti ditelan realita
Tawanya candanya hidup
Tak terdengar dijajah kemelaratan
Kukuh menghadapi sebuah realita, hidup akan tetap dihiasi tawa dan canda meskipun secara kategoris orang melihatnya sedang digerogoti suasana melarat. Sebaliknya tidak kukuh menghadapi dahsatnya sebuah realita tanpa disadari melahirkan getaran nada lain dalam kehidupan. Kenyataan ini dirasakan dalam nada lirik Percaturan Cinta/ Bismaryunir berikut ini:
Terlalu sumbang suaramu berbicara
Ketika ingin kuungkap semua fakta
Terlalu kelu lidahmu berbicara
Ketika kuminta apa adanya
Kenyataan, Hidup dan Fatmogana
Ada –memang– elanvital mendorong nuansa perjuangan, kadang justeru perasaan sendiri “meninabobokan”, terlena bahkan pulas. Kadang seperti tak tahu apa yang sebenarnya yang dikejar. Kata Bismaryunir:
…
Terlalu pulas dalam lena
Tak lebih dari fatamorgana
…
Ketika hidup menemukan kenyataan lain, meskipun perjuangan sudah ekstra keras, harapan serta merta berubah dan jadi hampa, sepertinya hidup ini tidak lebih dari fatamorgana. Langkah lunglai, hati menjerit dan serasa tak lagi bisa mejalani tuntutan “jam terbang” kehidupan. Fenomena ini juga terlihat dalam lirik Jeritan Hati/ Rahmi Surya Dewi, mahasiswi Fakultas Dakawah jurusan KPI berikut:
Langkahku terseok-seok manapaki jalan ini
Sayapku patah dan tak bisa terbang lagi
…
Ini karena harapan yang melambung tinggi
Kenyataan yang tak sesuai dengan harapan
Kebahagiaan yang kutemukan
hanya fatamorgana
Hidup yang ditemukan bagaikan fatamorgana itu tidak saja dalam kehidupan individual, tetapi juga mengambil bentuk dalam kepentingan dan hak orang banyak. Bukan saja karena ketidaktahuan tetapi juga dimungkinkan karena ketidakkuasaan menuntut berbagai pemerkosaan hak azasi, menangkal kekerasan dan diskriminasi. Yang ditemukan akhirnya sebuah harapan ditelan fatamorgana. Lihatlah lirik Kaca Kehidupan/ Wati, mahasiswi Fakultas Tarbiya jurusan PA berikut:
Kejahilan menghiasi roda kehidupan
Hak manusia dirampas, kandas…
Hilang ditelan masa ke-fatamorgana-an
Aksi dan Pencarian Hidup
Hidup yang kandas, pencarian hidup yang menemukan jalan buntu, melahirkan aksi. Mungkin bentuk protes seperti demontrasi. Fenomena ini sering direkam seniman penyair dalam karya syairnya jenis syair munasibat (occasional verse). Di Indonesia bentuk puisi ini ada wujud puisi demonstran 1966 awal orde baru menjelang era Soeharto. Juga puisi demonstran tahun 1998 awal era reformasi pasca Soeharto yakni era BJ. Habibie dan era Gus Dur sekarang. Mahasiswa IAIN Imam Bonjol yang memulai menulis puisi juga merekam fenomena ini di era reformasi. Lihatlah misalnya lirik occasional poetry bertajuk Menit ke-144 031 dst…/ M.Nasir seorang aktivis mahasiswa Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol berikut:
Ia seorang demonstran energik.
dst…
ia menyadari bahwa catatan ku tak lagi sanggup
menampungnya
tetapi “reformasi akan tetap terus dan terus”, katanya
…
Sebuah tekad dan mungkin nekad, membersit menjadi kritik pedas dalam lirik. Mungkin saja untuk sosok opportunis yang sekarang banyak orang berharap kepadanya, “keselamatan Indonesia ada di tangannya”. Sebuah kritik tajam kekhawatiran terkontaminasi dengan kepentingan sesa’at, kekhawatiran perang ideologi yang memperlihatkan kurang perasaan dan kurang rasional. Arus kekhawatiran ini tergambar dalam lirik munasibat “…Min Daril Futun”/ M.Nasir:
waktunya terbang bersama kepenting
perang…perang
peranglah asa
duniaku malang, disetubuhi manusia malang
manusia kurang, kurang raso pareso
Reformasi memang harus jalan terus. Bahayanya yang salah urus, reformasi melahirkan buah buruk dan terpuruk busuk. Para elit seperti para politisi penuh debat dan alot. Perang. Mempertahankan golongan sendiri. Tidak saja lenyap kelangsungan hidup bangsa di eas timor juga lebih parah melenyapkan kepedulian, hanya arogansi dan snobisme. Terjebak nato (no action talk only)- hanya bicara doang (saja). Generasi muda rusak dirasuk pekat (penyakit masyarakat) terlibat juara (judi dan narkoba). Ketidak berdayaan dalam reformasi ini bagaikan sandiwara saja. Fenomena ini menjadi esensi lirik Sebuah Sandiwara/ Nori Bahar berikut:
Para pemuda banyak yang terbius oleh ganja
Itukah kehidupan
…
Para golongan atas yang sibuk berdebat
Mempertahankan golongan masisng-masisng
Yang tanpa peduli orang lain
…
Di dunia sekarang tidak ada ideologi yang tidak mengalami konflik. Semua orang sibuk urusannya. Ada warna KKN. Dua goyang, rumah tangga runtuh jadi puing. Fenomena ini terdeskripsi dalam sajak munasibat topik Globalisasi/ Asmanto, mahasiswa Fakultas Syari`ah jurusan Ahwal Syakhshiyah berikut:
Bumi tergoncang
Manusia sibuk segala urusan
Puing-puing rumah tangga berantakan
Namun korupsi, kolusi meraja lela
Itukah arus globalisasi
Nada keras juga menusuk yang kemaren tertuding maling dan terguling. Lihat lirik Bola Hitam/ Mardatul Hamidah berikut:
Sekian tahun dia menjadi maling
Kemaren dia dituding
Sekarang telah terguling
Ibarat selara jatuh daun muda tumbuh. Alih generasi terjadi. Apakah lengser atau terguling, yang jelas patah tumbuh hilang berganti. Konsensus dipertegas lagi. Yang lama yang mapan dibilang status quo. Falsafah hidup kembali murni menunggu sang konsekwen. Kenyataan pun juga jadi terbalik. Tudingannya status quo, prilakunya quo vadis. Disintegrasi sosial sudah mengambil bentuk. Konsensus yang konsesus, yang terjadi penuh sassus. Ironis ini seperti buah buruk reformasi juga direkam puisi Sepakat/ Ridardon berikut:
…kutahu mereka hanya sepakat
sepakat untuk sepakat
Wajah ironis semakin jelas. Kalau dulu di era orba pengambilan keputusan idealnya “musyawarah mufakat” dan pelaksanaannya mufakat duhulu musyawarah kemudian, keputusan? tinggal ketuk palu di meja sidang, tapi aman. Kini ciri era ini –apakah juga buah buruk reformasi? –. Cirinya menonjol dalam pengambilan keputusan. Idealnya juga belum bergeser “musyawarah mufakat”. Implementasinya “musyawarah dahulu disusul voting baru gilirannya mufakat”. Kenapa voting, interupsi tidak ketulungan. Tunjuk tangan tunjuk hidup. Kadang tertunjuk belang. Gila benar. Fenomena ini seperti diarifi syair Interupsi/ Ridardon berikut:
…
jika dalam sidang mengamuk
suara bertabir diselimuti kibaran bendera
…
oh ya siapa yang interupsi setelah ini
dia gila.
Tidak hanya nada keras buah buruk reformasi, pada akhirnya ada yang jenuh. Timbul kritik nada simpatik. Banding saja Jakarta yang semula demikian memikat serta merta jadi keras. “oh…Jakarta/ Kota fatamorgana” kata Ashari, mahasiswa Fakutas Adab dalam sajak Jakarta-nya.
Masih di sudut Jakarta. Pernah terjadi (Mei, 1998) peristiwa memilukan di Tri Sakti, sebuah peristiwa berdarah menjadi esensi puisi. Situasi keras itu menjadi renungan penyair, immajinasi mekar, bagaimana bisa Jakarta keras jadi tenang dan akrab. Ia berharap sebuah fantasi dari jemari yang lentik skill bermain piano dan musik, adalah musik untuk memadamkan api Jakarta. Hasrat ini terlihat dalam kearifan penyair pada lirik Sasa Nurikanti/ Henni Puspita, putri kelahiran Medan 8 Sept 1979, mahasiswi program D-2 jurusan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi, Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol:
Di sudut Jakarta
Seorang gadis dengan rambut tergerai
Duduk menghadapi piano lalu jemari yang lentik itu
Memainkan fantasi improptu dari chopin
maka Jakarta yang beringas macet dan pengab itu
tiba-tiba luruh dalam gerimis lembut
…
Ah, sasa ajarilah mereka melihat angka
tidak sebagi dewa tapi nyanyian yang bermakna
gimana lagi hati seniman studi angkutan tepatnya
ditrisakti semester sembilan
maka pilih piano ketimbang berkutat
dengan angka-angka yang bernyawa tapi berkuasa
Kata sepertinya kehilangan makna kearifa. Sudah dua belas pas saja, difinalti. Arogansi mungkin karena kekuasaan, karifan lenyap. Rasa malu tiada lagi, bagaima manusia telanjang, mati rasa. Satiris ini seperti terungkap dalam syair munasibat/ Hayati, mahasiswi Fakultas Adab, jurusan sastra, kelahiran Kerinci, asal Taluk Batangkapas, Pesisir Selatan berikut:
…
Kau promosikan kekuasaan
Dia tanggalkan rasa malu
Kau telanjangi rasa kemanusiaan
…
Berkutat sana berkutat sini. Yang satu demi rakyat, yang lain demi rakyat. Entah rakyat yang mana. Yang jelas ironis, rakyat yang diatasnamakannya pun dilibas juga. Katanya demi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Apa tak salah, tidakkah sisa daulat tuanku?. Wajah political euforia terang sekali. Seperti itu pula soal demokrasi, kembangkan. Kenyataannya hanya pada tingkat retorika manis, pelaksanaannya ada prilaku buruk menciderai demokrasi terjadi setiap sa’at. Ternyata mengeritik mudah, sa’at bola bergulir sering mati di kaki sendiri. Rasa manis, diteguk rasanya pahit. Dunia –sekali lagi– memang fatamorgana. Tuhanlah Yang Maha Tahu. Fenomena ini dapat dilihat dalam puisi Fatamorgana/ Murnalisa Yuliet berikut:
Genangan air berada nun jauh di ujung sana
Ku kejar seiring larinya jarum jam
Ku cari dan kucari, pandangan mata tadi
Sayang, tak satupun yang kutemui
…
Tuhan…
…
Kelangsungan Hidup dan Tuhan
Ada kesan tingkat keterdidikan dan wawasan akademisi penulis pemula untuk puisi ini. Meskipun bentuknya secara kategoris seperti untaian kata singkat dan transparan, namun ada nilai yang ditawarkan. Ilmu dan iman jadi satu. Derajat terangkat. Dengan keilmuan terasa ada nafas optimistik. Dengan basis iman yakin dengan kekuatan Tuhan. Seperti ungkap Abu `Athahiyah: “hidup ini sudah pahit/ namun harus dihidupi/ jang ditambah pahit juga”. Perjuangan tidak harus berhenti. survival (kelangsungan hidup) harus diperjuangkan. Justru adidaya luar biasa diyakini ada Tuhan. Nafas ini terlihat dalam banyak puisi buku ini, di antaranya terasa dalam lirik Tunduk/ Erni Afifah, mahasiswa Fakultas Tarbiyah berikut:
…
daun-daun harakah bertebaran disetiap sudut dan ujung
perjuangan…karena beratya perjuangan ini
…
berikanlah kesempatan kepadaku…
secuil ketundukan yang menjadikan ku ‘abid yang tunduk
Keyakinan dan semangat hidup seperti ini bagaikan sebuah kemestian diwariskan. Mimpi-mimpi harus dibuka dari selimut. Kebekuan pecahkan. Ismiati Irzain dalam sajak Hidup-nya mengajak:
Wahai pemimpin tidur
Bangunlah akhiri mimpimu
Lihat air tak mengalir lagi
Denyut nadi berdetak lemah
Ridardon dalam sajaknya Pada Diri menawarkan introspeksi diri pemimpin:
…
pantaskah kutangisi
puluhan tahun sudah bersama mimpi
tak pernah ziarahi kubur sendiri
Kekuatan memecah kebuntuan, lahirlah sebuah kata kunci bernama kesadaran. Semua orang ingin selalu berada dalam dunia sadar, tidak ingin sama sekali berada di ambang sadar, apalagi tak sadar sadar, meskipun sudah punya nama sadar. Kebutuhan seperti ini juga dirindui Noni Putri Dewi, mahasiswi Fakultas Adab jurusan sastra arab dalam sajaknya Kesadaran. Lihatlah liriknya berikut:
oh…kesadaran
Datanglah…datanglah kembali
Jangan hanya hadir dikala susah
Sa’at inipun aku membutuhkanmu
…
Betapa besar harapan timbulnya kesadaran. Tidak saja harapan serta merta timbul dari diri sendiri, tapi juga memerlukan legitimasi dan kekuatan Tuhan. Sajak Kesadaran/ Noni Putri Dewi, mahasiswi, Fakultas Adab jurusan Sastra Arab memperlihatkan berikut ini:
Tuhan
Tetapkan kesadaranku
Antarkan aku kesisi kemuliaan-Mu
Perubahan itu sesungguhnya di tangan sendiri, meskipun pada akhirnya tunduk kepada ketentuan Tuhan. Sebuah kesadaran memang penting. Kerjakan yang patut, tinggalkan godaan dan hal yang melenyapkan cinta. Syair Marhaban Ilallah/ Mira Susanti mahasiswi Fakultas Adab jurusan Sastra Arab berikut seperti menggugah:
Semua makhluk telah kutinggalkan
Karena cintaku kepada Engkau
…
Orang arif itu insaf. Sadar. Betapa banyak orang tidak sadar, ada kekuatan di luar dirinya menjaga. Ada orang berharap kepada dirinya tempat bernaung. Syair Pohon di Tepian Jalan/ Fakhrizal seperti mengingatkan:
kau selalu dipelihara
sebab kau tempat berlindung
Suatu hal yang harus disadari, tumbuhkan dalam hidup ini,“kata, rasa cinta kita semua”. Kalimat kunci ini seperti diisyaratkan dalam puisi Inilah Hidup/ Nurlianti berikut:
Dalam kata ada rasa
Dalam rasa ada cinta
Dalam cinta ada kita
Dalam kita ada semua
Ke-kita-an dalam perspektif kehidupan masa depan penting. Kata kunci ini membuka skat skat bahkan tembok besar nepotisme (berfikir kelompok). Ya, semua kita pemilik hari esok, ya penuh madu. Dunia bukan alu pencongkel duri, menyakitkan, adalah sebuah amanat untuk cinta kasih sesama. Syair Untuk Sebuah Cinta/ Hayatin Nismah berikut seperti menggugah:
Adakah hari esok bagi kita berdua
Yang penuh siraman madu asmara
Kalau jalan di bumi sudah dipagar mati, jalan kelangit pasti masih terbuka. Tuhan menerima semua hamba yang kembali kepada-Nya. Tuhan harapan dan tumpuan do’a. Jeritan perasaan ini tergambar dalam syair munasibat Aku Datang …Ya … Allah…/ Adelon Nurman, mahasiswa Fakultas Adab jurusan bahasa dan sastra Arab berikut ini:
Yang menangis tersedu-sedu di atas sajadah…
Yang mendo’akan akan anaknya selamat dan
Senang dalam hidupnya
Seorang anak manusia tak selamanya sukses. Gagal perjuangan, imannya membawa ke jalan Tuhan, lahirlah sebuah penyerahan. Abdi Tuhan yang beriman pastilah akhirnya mencari Tuhan. Lihatlah sebuah jalan hidup anak manusia dalam Setiaku/ Ka’bati, mahasiswi jurusan jurnalistik Islam Fakultas Dakwah, sekarang wartawati Skh. Mimbar Minang Padang berikut:
Berjalan panjang tanpa garis finish yang pasti
Gelap…jalanku seorang abdi
Jalan tak berujung dan jalan gelap adalah pengalaman manusia dapat dirasakan siapa saja. Tapi optimisme terus tumbuhkan. Yang jelas tidak selama hidup menemukan jalan buntu. Tidakkah biasa disebut, “di mana ada kemauan di situ ada jalan”. Sebuah amanat, berfikir dan tunjukan “ku tahu mana yang ku mau”. Isyarat ini tergores dalam versi perjalanan manusia yang direkam Ridho dalam sajaknya Dengarkan berikut ini:
…
Kulihat, orang berbuat semua
Ku cium, bau aroma yang memprihatinkan
Kurasakan derap langkah yang gontai
Ku berkata, mengapa semua ini terjadi
…
Ku menangis menyesali hal yang terjadi
Ku tafakur membersihkan diri
Syukur syukur sebuah kesadaran. Sesal dahulu pendapatan. Pikir pelita hati. Seperti Rhido, ingin bersih dan taffakur, mencari Tuhan. Lihat pula sajak Cangkir Persahabatan/ Youm Arfeat yang pada akhirnya juga menyerah pada Tuhan berikut:
dan selalu kuserahkan pada Yang Satu
semoga cangkir pershabatan kita selalu
Diberi tahu dan tahu, dari Tuhan, persahabatan yang abadi itu dalam Islam. Amah Islam sahabat terus dengan silaturrahmi, sambung. Biar, “Tertatih jejakan langkah/ Menapak tanjakan kian sarat/ Kan kujejakan kaki di puncakmu/ Kan ku tancapkan pilar persahabatan”, kata Fhalian dalam sajaknya Merapi. Kalau toh di sana Tuhan, pasti semua ada harapan. Tuhan justeru harapan terakhir dan tumpuan doa’.
Bagi manusia beriman do’a esensinya adalah harapan mendapat pertolongan. Justru Tuhan itu “Al-Shamad” (tempat meminta). Menolong hamba-Nya tidak pernah bosan. Sa’at meminta, sikap tidak mendua, hanya Allah. Karena kata-Nya “iyaka na`budu wa iyaka nasta`in” (hanya kepada-Nya mengabdi dan hanya kepada-Nya minta tolong”. Lahir do’a. Seindah-indah kata adalah do’a. Mutiara Farida dalam sajak Kata Hati-nya, mengisaratkan sebuah keinsafan manusia dan tentu harap pertolongan Tuhan. Lihatlah bait do’anya berikut:
Oh…Tuhan
Cobaankah ini?
Atas kesalahan
Kekhilafan
Kesombongan
Benar-benar yakin, berdo’a sungguh, sadari kesalahan lama ada khilaf ada sombong, sadar suatu kali berhadapan dengan cobaan, Tuhan tak sia-sia. Cahaya harapan datang. Duka jadi bahagia. Esensi ini hendak dikomunikasikan Rahmi Surya Dewi mahasiswi Fakultas Dakawah berikut ini:
..
Kini kuyakini di sisi-Mulah teletak semua harapan
Kini kuyakini di sisi-Mulah terltak hakekat kebahagiaan
***
Kumpulan puisi mahasiswa ini, sebenarnya pada awal mula didorong sebagai sebuah pewarisan memori salah satu kegiatan tahunan pada sebuah lembaga sastra yakni SSIA (Studio Sastra Islam dan Arab) Fakultas Adab. Mahasiswa dan peminat dilatih bersastra dan membedahnya. Karena kumpulan puisi ini sebagai sebuah memori kegiatan, puisi yang dipublikasi tidak diseleksi ketat. Setidaknya ini sebuah motivasi, menulis dan menulis, bersastra dan bersastra.
Namun pada akhirnya disadari, walaupun puisi kontemporer mahasiswa IAIN Imama Bonjol ini masih bercorak puisi anak sekolah berbentuk syair munasibat (occasional poetry), transparan dan kadang seperti dipaksakan, satu dua pasti ada nilai kehidupan di dalamnya. Setidak-tidaknya ada esensi sebuah peristiwa zamannya yang menarik diketahui sejarah esok. Setidaknya sebuah amanat kepada dirinya sebagai “student to day and leader tomorrow” (mahasiswa sekarang, pemimpin esok). Zaman mereka hari ini pastilah turut membentuk hari esok generasi hari ini dan generasi berikutnya. Selamatlah, Studio Sastra Islam dan Arab merespon memberikan penghargaan bagi peminat dan yang berbakat bersastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar