Rabu, 29 April 2009

Minat Baca Masyarakat dan Perpustakaan di Sumatera Barat

Oleh : Dra.Hj. Nurhayati Zein, M.Ag (Dosen Prodi PAD)

Keberadaan perpustakaan di Sumatera Barat sudah berjalan dalam perjalanan waktu yang panjang. Perpustakaan ada karena digerakkan oleh manusia sebagai makhluk yang suka berfikir untuk memenuhi kepentingan manusia yang suka mencari informasi dan ilmu pengetahuan, karena perpustakaan itu adalah tempat berhimpunnya hasil daya cipta, pikiran, ide, pengalaman, dan pesan manusia yang dituangkan dalam bentuk cetak ataupun dalam bentuk non cetak, yang dikelola secara sistematis untuk dilayankan kepada pengguna jasa perpustakaan.

PENDAHULUAN
Barangkali dalam catatan sejarah Indonesia keberadaan perpustakaan di Sumatera Barat lebih dahulu ada dibanding dengan yang berada di daerah-daerah lain. Hal ini mengingat hasil karya tulis masa dahulu lebih diungguli oleh penulis-penulis dari Minangkabau. Ini dapat dibuktikan bahwa pada zaman dahulu, ketika Sumatera Barat masih dalam penjajahan Belanda, bermunculan penulis-penulis dan ilmuwan dari Sumareta Barat lebih banyak dibanding dari daerah-daerah lain seperti: Karim Amarullah, Hamka, Agus Salim, Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Sutan Takdir Alisyahbana, Nur Sutan Iskandar, dan lain-lain.
Hanya saja akhir-akhir ini masyarakat pembaca yang suka mengunjungi perpustakaan menjadi kurang, bahkan jarang terlihat orang-orang yang duduk dengan aktifitas membaca seperti di negara tetangga. Penulis berasumsi bahwa gejala ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; yang pertama karena pengaruh tontonan atau televisi (TV) yang ditayangkan sepanjang hari, yang kedua kurikulum belajar di sekolah-sekolah kurang mendorong peserta didik untuk suka membaca, dan yang ketiga perhatian pihak-pihak terkait tentang pengelolaan perpustakaan semakin menurun.
Untuk lebih terfokus ada baiknya dilihat jenis, fungsi dan tujuan perpustakaan itu sendiri.

JENIS, FUNGSI, dan TUJUAN PERPUSTAKAAN
Menurut Sulistyo Basuki dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan bahwa dilihat dari segi koleksi dan penggunanya, maka jenis perpustakaan dapat dibagi kepada :
1. Perpustakaan Nasional
2. Perpustakaan Umum
3. Perpustakaan Sekolah
4. Perpustakaan Perguruan Tinggi
5. Perpustakaan Khusus
6. Perpustakaan Pribadi.

Sementara itu menurut buku Pengelolaan Perpustakaan Khusus tercatat bahwa jenis perpustakaan itu dapat dibagi kepada dua jenis:
1. Perpustakaan Umum
2. Perpustakaan Khusus

Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang mengelola koleksi yang berisi berbagai ragam ilmu dan digunakan oleh berbagai pengguna dari berbagai kalangan. Sementara pengertian perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang berdiri dan menjadi bahagian dari suatu instansi atau lembaga atau perusahaan atau komunitas untuk membantu tugas-tugas badan induknya mengelola koleksi yang bersifat khusus untuk dipakai oleh pengguna yang berasal dari kalangan khusus pula.
Adapun fungsi perpustakaan antara lain adalah :
1. Sebagai sarana pengumpulan ilmu pengtahuan dan informasi
2. Sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran
3. Sebagai sarana penelitian
4. Sebagai sarana pelestarian, penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan

Adapun tujuan perpustakaan itu pada umumnya adalah untuk membantu manusia yang suka berfikir dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi demi mencapai kecerdasan dan pendidikan.
Penulis teringat akan kata kata Ali bin Abi Thalib RA bahwa “Bila ku beri engkau ilmu, engkau akan menjadi raja; dan apabila aku beri engkau harta, engkau akan menjadi hamba sahaya“ . Selain itu sebaiknya penulis catatkan disini Mukaddimah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia bahwa “……Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemeritah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan yang abadi, dan keadilan sosial,…” .

Di sini timbul pertanyaan mengapa tidak perintah shalat dulu atau perintah lain-lainnya yang duluan diturunkan Allah? Hal ini tentu saja karena wahyu itu ditujukan kepada manusia. Manusia dilengkapi dengan potensi akal untuk berfikir dan belajar. Dengan demikian terlihat bahwa sedemikian penting membaca dan belajar dipandang dari ketiga sudut diatas yakni :
1. Dipandang dari sifat dan fitrah kejadian manusia
2. Dipandang dari kemuliaan dan kemahamuliaan Allah
3. Dipandang dari tulisan, buah pena dan kecerdasan manusia.

PERPUSTAKAAN DI SUMATERA BARAT
Pada saat sekarang ini sudah banyak berdiri perpustakaan di Sumatera Barat diantaranya adalah :
1. Badan Perpustakaan Nasional Daerah Sumatera Barat, yang berdiri di jalan Diponegoro no. 1 Padang. Perpustakaan ini sudah berdiri sejak lama. Menurut riwayatnya Perpustakan Nasional Daerah Sumatera Barat ini pernah bernaung dibawah Departemen P&K Kanwil Sumatera Barat kemudian berkembang menjadi perpustakaan negara sehingga statusnya berubah, yakni sudah dipisahkan dari Kanwil P&K. Seterusnya berobah lagi menjadi Perpustakaan Wilayah Sumatera Barat. Dan sekarang dikenal dengan Badan Perpustakaan Nasional Daerah Sumatera Barat. Disamping itu pemerintah daerah sedang giat pula membangun perpustakaan bertaraf nasional lainnya di Bukittinggi yakni Perpustakaan Proklamator Bung Hatta berlantai lima berdekatan dengan kantor walikota Bukittinggi. Insyaallah akan diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 14 September 2006 mendatang. Menurut informasi Walikota Bukittinggi dalam pidatonya pada Dies Natalis Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2006 ini menyampaikan bahwa Perpustakaan Proklamator Bung Hatta ini setingkat dengan Perpustakaan Bung Karno di Blitar.

2. Perpustakan Perguruan Tinggi yang ada di Sumatera Barat, seperti :
- Perpustakaan Universitas Andalas di kampus Limau Manis
- Perpustakaan Universitas Negeri Padang di kampus Air Tawar
- Perpustakaan IAIN Imam Bonjol di kampus Lubuk Lintah Padang
- Perpustakaan STIQ di kampus jalan Abdullah Ahmad di Jati Padang
- Perpustakaan Universitas Bung Hatta di kampus Ulak Karang Padang
- Perpustakaan Universitas Eka Sakti di Kampus Belakang Bandar Damar Padang
- Perpustakaan Universitas Muhammadiyah di Kampus Pasir Putih Padang
- Perpustakaan STAIN Syekh Jamil Jambek di Kampus Garegeh Bukittinggi
- Perpustakaan STAIN Mahmud Yunus di Kampus Batusangkar
- Perpustakaan Universitas M Yamin di Solok
- Dan lain-lain
Perpustakaan perguruan tinggi ini sering diabaikan oleh pimpinan atau oleh pengambil kebijakan. Perlakuan yang diterima perpustakaan dari pimpinan adalah; yang pertama petugas yang disuruh bekerja di sana adalah orang- orang yang tidak layak pakai, maksudnya orang-orang yang tidak bisa bekerja, sakit-sakitan, tidak disiplin, bahkan dikirim orang yang tidak ada ilmunya di bidang pengelolaan perpustakaan dan selain itu bahkan tidak ada kemauannya untuk bekerja di perpustakaan. Apa jadinya perpustakaan itu? Tentu saja tidak dapat dimanfaatkan dengan baik untuk peningkatan mutu akademisi perguruan tinggi tersebut.
Yang kedua tentang biaya operasional; perpustakaan kadang amat susah diberi prioritas pengucuran dana untuk kegiatan yang sudah seharusnya diadakan, misalnya biaya untuk proses administrasi pelayanan, untuk biaya kebersihan, biaya perbaikan, pengelolaan bahan pustaka, biaya perawatan koleksi, alat-alat elektronik dan apalagi untuk melanggan bahan pustaka jenis terbitan berseri yang berisi informasi terkini seperti jurnal, majalah, surat kabar, tabloid, dan lain-lain.
Dan yang ketiga adalah tentang koleksi yang harus dikembangkan demi memenuhi kebutuhan pengguna. Kadang-kadang dana yang sudah dikumpulkan dari mahasiswa untuk kegiatan perpustakaan tidak jadi sampai ke perpustakaan karena berbagai alasan, misalnya karena pimpinan menganggap ada bagian yang lebih perlu disupport dibanding dengan keperluan perpustakaan, pembelian dan pengembangan koleksi yang tidak pada tempatnya, dan lain-lain. Ini membuat perpustakaan perguruan tinggi jadi kehilangan arah, dan hak-hak pemakai jadi terzalimi. Seharusnya koleksi yang diadakan adalah bahan kajian wajib bagi proses belajar mengajar, tetapi ternyata diputar arah kepada yang lain dengan berbagai alasan, tidak terdapat di pasaranlah, mahal, sulit dicarilah, pembelian koleksi adalah wewenang bagian rumah tanggalah, bukan wewenang perpustakaan, dan seterusnya, dan seterusnya.

3. Perpustakaan Sekolah. Pada umumnya sekolah-sekolah di Sumatera Barat mulai dari tingkat TK sampai ke tingkat SMA sudah dilengkapi dengan perpustakaan walaupun pada sebahagian besar belum tertata sebagaimana mestinya. Dari pengalaman penulis pada tahun 1980 sampai sekarang bila berkomunikasi dengan teman-teman para penyelenggara perpustakaan sekolah yang tergabung pada organisasi IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah tersebut banyak ditemukan posisi dan tata letak perpustakaannya terkucilkan, ada yang di bawah tangga saja dengan tata letak seperti gudang, ada yang terkurung di belakang dekat tumpukan perabot bekas, dan perlakuan yang kadang-kadang membelakangi kaidah yang sudah diakui masyarakat ilmuwan bahwa perpustakaan sebagai unit pelaksana teknis bagi sekolah dengan kata lain sebagai sumber belajar mengajar. Perpustakaan sekolah yang agak beruntung adalah perpustakaan SMP 1 Padang dan Perpustakaan SMA 1 Padang. Kedua sekolah itu terletak di pusat kota di Padang. Keberuntungan itu tentu saja atas dukungan dari kepala sekolahnya yang bekerjasama dengan komite sekolah tersebut.

4. Perpustakaan Instansi, yakni perpustakaan yang berdiri dalam lingkungan instansi itu sendiri dan menjadi bahagian kerja pada instansi itu. Inipun ada yang bernasib sama dengan perpustakaan sekolah yang malang. Misalnya disini perlu koleksi terbitan berseri, seperti surat kabar, buletin, dan informasi terkini lainnya terabaikan. Ada instansi itu melanggan surat kabar tapi tidak sampai ke perpustakaan tempat mengelola informasi, tapi diarahkan ke meja tertentu. Kadang-kadang belum sempat dimanfaatkan oleh pengguna, dibawa pulang oleh oknum petugas yang tidak paham dengan fungsi koleksi perpustakaan atau digunakan sebagai pembungkus bawaan pulang. Di Sumatera Barat banyak instansi yang memiliki perpustakaan seperti perpustakaan DPR, Perpustakaan PT Semen Padang, Perpustakaan BKKBN, Perpustakaan BNI 46, dan lain lain.

5. Perpustakan Rumah Ibadah. Di Sumatera Barat ini ada yang disebut dengan perpustakaan mesjid. Perpustakaan mesjid ini pada umumnya dikelola oleh pengurus mesjid, kemudian disamping itu ada pula perpustakaan gereja, perpustakaan wihara, dan lain-lain.Contohnya:
- Perpustakaan Mesjid Jihadu Walidaina di Padang Panjang
- Perpustakaan Islamic Center di Mesjid Nurul Iman Padang
- Perpustakaan Mesjid Al-Azhar Air Tawar Padang

6. Perpustakaan Pribadi. Di Sumatera Barat banyak berdiri perpustakaan pribadi. Perpustakaan pribadi adalah perpustakan yang didirikan oleh seseorang/ pribadi yang mengumpulkan buku-buku dan bahan pustaka lainnya untuk menjadi kumpulan koleksi tersendiri, mungkin berasal dari buku-buku hasil tulisan atau karyanya sendiri dan atau berisi koleksi buku yang dimilikinya dari hasil karya pengarang lain yang sudah dipunyainya sendiri dengan jalan dibeli dan sebagainya yang disusun secara sistematis untuk dilayankan kepada pengguna tertentu. Contoh perpustakaan pribadi ini antara lain :
- Perpustakan Bung Hatta di Padang Panjang
Pada perpustakaan ini banyak koleksinya berasal dari hasil karya pribadi Bung Hatta termasuk biografinya semasa hidup, dan buku-buku lain yang dimilikinya yang mungkin dibelinya sendiri untuk kebutuhan pendidikannya di bidang ekonomi dan sosial mayarakat serta ilmu-ilmu lainnya.
- Perpustakaaan Mohammad Yamin di Sawahlunto
Di perpustakaan inipun koleksinya terdiri dari buku-buku yang dimilikinya, yang digunakan untuk pendidikannya serta biografinya semasa berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Banyak ditemukan di sini koleksi buku-buku ketatanegaraan dan ilmu-ilmu tentang hukum dan lain-lain.
- Perpustakaan Buya HAMKA di Maninjau
Banyak buku yang ditulis dan dikarang oleh Hamka sendiri kita temukan di perpustakaan ini, ditambah dengan buku buku yang pernah dibacanya untuk memperkaya keilmuannya. Karya besarnya adalah tafsir Al Azhar yang terdiri dari 30 jilid itu memang mengagumkan para pembaca ada di situ. Kursi dan meja yang pernah digunakannya untuk membaca dan menulis semasa hidupnya dipamerkan juga di ruang displaynya. Gedung yang ditempati perpustakaan Buya Hamka itu adalah bekas rumah Hamka sendiri. Disamping buku-buku tersebut di atas adalagi buku yang berisi biografinya sendiri bahkan biografi ayahnya yang terkenal sebagai ulama besar di Minangkabau yang hidup pada zaman hidupnya surau di Minangkabau. Karya Hamka pada umumnya diantar dengan bahasa seni; indah dan lembut. Mungkin karena pengaruh letak daerahnya yang indah di pinggir danau Maninjau yang sarat dengan pemandangannya yang indah, udaranya sejuk, alamnya nyaman, tentram dan damai, penduduknya yang ramah, hasil buminya yang lezat seperti ikan danau, air kelapa muda, dan lain-lain.
- Perpustakaan Mahmud Yunus di Batusangkar
Seperti perpustakaan pribadi lainnya koleksinya banyak dikumpulkan dari hasil karya tulis karangan Mahmud Yunus itu sendiri ditambah dengan buku-buku koleksi pribadi yang dimilikinya semasa hidupnya ditambah dengan biografinya. Koleksinya banyak berisi ilmu-ilmu tentang pendidikan serta pendidikan Islam. Tafsir karya beliau juga ada di sana.
- Perpustakaan M.Natsir di Alahan Panjang Kabupaten Solok
Muhammad Natsir berasal dari Alahan Panjang yang terletak di kabupaten Solok. Alahan Panjang terletak di pegunungan, daerah itu berhawa dingin, sangat dingin. Minyak goreng saja bisa membeku karena sangat dinginnya. Pantas sekali perpustakaannya itu berada di Solok karena Natsir dilahirkan di Solok. Koleksi perpustakaannya beragam banyaknya antara lain berkisar pada buku-buku bahasa, Arab-Inggris, Belanda, dan Jepang, serta bahasa Indonesia. Di sini juga ada buku biografi Muhammad Natsir itu sendiri. Diantara karyanya yang terkenal adalah Capita Selecta.
- Rumah Baca Shoufni Khalid di Kamang
Perpustakaan ini baru berdiri sekitar dua tahun ini. Lokasinya terdapat di kabupaten Agam menempati bangunan rumah tempat tinggal Shoufni di masa kecil bersama orang tua, saudara-saudaranya, dan kakek neneknya. Rumah itu karena tidak ada lagi yang menempati maka ditatanyalah menjadi sebuah perpustakaan yang menarik. Banyak kalangan yang berkunjung ke sana untuk membaca. Suasananya hidup karena diproses sesuai dengan ilmu perpustakaan. Pantas memang karena Shoufni Khalid adalah mantan pustakawan senior di Sumatera Barat. Catatan hidupnya selama menjadi pegawai negeri beliau bekerja di perpustakan sebuah perguruan tinggi terkenal di Sumbar yakni pada Universitas Andalas Padang. Ini dapat terlihat dari koleksinya yang terdiri dari berbagai jenis koleksi terutama karya ilmiah mliknya dan anak-anaknya serta karya ilmiah beberapa ilmuwan lainnya ditambah dengan buku-buku cetak lainnya hasil karya para tokoh ilmuwan di Indonesia. Biografi yang bersangkutan juga ada di sana. Sosok pustakawan yang gigih memajukan dunia pustaka sejak beliau aktif bekerja di perpustakaan sampai sekarang. Walaupun sudah menjalani masa pensiun. Namun semangat juang beliau masih belum pudar. Shofni Chalid adalah sosok pustakawan teladan dan telah mencapai peringkat keteladanan secara nasional pada tahun 1990 yang lalu. Berkat ketekunannya Shoufni dapat membangun perpustakaan universitas bergengsi di Sumatera Barat ini menjadi perpustakaan yang bagus, pada gedung mewah tersendiri berlantai 5 terletak di tengah-tengah kampus tersebut. Sejak tahun 2000 yang lalu sudah menjalani masa pensiun, namun beliau tetap berusaha mencerdaskan bangsa, berkiprah melalui dunia pustaka.
- Perpustakaan Asma di komplek mesjid Nurzikrillah Sungai Lareh Lubuk Minturun Padang.
Perpustakaan pribadi ini menempati salah satu ruang di komplek mesjid Nurzikrillah. Mesjid ini didirikan oleh suaminya dengan biaya sendiri di kaki bukit di daerah Sungai Lareh. Mesjid ini amat megah karena bangunnya agak mirip dengan disain mesjidil haram di Mekkah dan dilengkapi dengan benda-benda peragaan untuk melakukan manasik haji. Terlihat juga disana bangunan mini ka’bah, terowongan mina ukuran mini, jumrah, dan jamarat lainnya berukuran mini. Perpustakaannya berdiri langsung diresmikan oleh Menteri Agama RI pada tahun 2003 yang lalu. Ini merupakan perpustakaan bergengsi. Buku-buku koleksinya berasal lebih banyak dari Saudi arabia dan buku-buku milik suaminya Haji Nurli Zakir dan buku-buku yang dikumpulkan oleh anak dan menantu berisi ilmu pengetahuan yang bermacam-macam terutama tentang tuntunan pelaksanaan peribadatan Islam. Ada karya yang menonjol di sana adalah buku-buku dan informasi rekaman tentang peribadatan haji.
- Perpustakaan M Syarbaini (nama orang tua dari Ibuk Aisyah Amini) di Magek Bukittinggi
Perpustakaan ini berisi banyak tentang koleksi ilmu-ilmu hukum dan fiqih, disamping ada koleksi-koleksi lain seperti buku-buku tafsir dan bahasa Arab, sejarah, serta ilmu akhlak dan tasawuf. Cuma koleksi hukum dan fiqih ini lebih menonjol dibanding koleksi dari ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu Bahasa Arab, tafsir, hadis dan sejarah. Perpustakaan ini sedang berproses yakni sedang dalam pembenahan, dibantu oleh mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN IB Padang yang kebetulan sedang menjalani masa praktek kerja lapangan. Akan tetapi yang menakjubkan pengunjung adalah seni kaligrafi yang dipelihara di sana sungguh suatu karya mengagumkan. Dindingnya hampir semuanya berisi tulisan ayat-ayat al Qur an al karim. Indah sesuai qaidah penulisan huruf arab indah (Khat) serta warna warni yang harmonis menarik menghidupkan suasana keilmuan dan kesyukuran. Di ruang tengah, ruang pamer, terpajang bangunan seperti buku besar terbuka bertuliskan beberapa ayat al Qur an Al karim surah al Syu’ara terbuat dari kayu lapis didisain cantik sekali. Orang Islam boleh bangga melihat hasil karya orang tua Aisyah Amini ini. Aisyah Amini adalah seorang tokoh ilmuwan bidang hukum politik. Sekarang beliau menjabat sebagai anggota DPR RI. Bapaknya bernama M Syarbaini dikenal sebagai seorang ulama yang tekun beribadah.
- Sekarang berdiri lagi rumah-rumah baca di berbagai kelurahan di kota Padang dan sekitarnya yang difalisitasi oleh Perpustakaan Keliling dari Badan Perpustakaan Nasional Daerah.

7. Perpustakaan sewa.
Perpustakaan sewa ada juga muncul di Padang dan daerah-daerah lainnya. Biasanya terdapat di tempat-tempat keramaian untuk mendatangkan usaha ekonomi pengusahanya. Perpustakan sewa adalah perpustakaan yang digunakan untuk mencari uang bagi pengelolanya. Koleksinya tidak begitu terpilih karena menurutkan selera konsumen semata. Koleksinya banyak picisan dan kadang-kadang tidak mendidik ke arah yang baik. Banyak koleksinya berbentuk fiksi, roman dan komik-komik picisan, komik-komik silat, bahkan komik porno yang dapat merusak pola pikir para pembacanya. Anak anak remaja suka datang membaca ke perpustakaan sewa ini karena untuk mencari hiburan. Walaupun begitu masih ada baiknya, yakni perpustakan sewa ini juga dapat membantu para siswa untuk mencarikan informasi terkini berupa kliping-kliping surat kabar dan majalah sesuai dengan yang diminta pengguna .
UNSUR PERPUSTAKAAN
Unsur-unsur yang mendukung berdirinya sebuah perpustakaan adalah:
1. Adanya tempat atau ruang atau gedung
2. Ada koleksi bahan pustaka
3. Tenaga pengelola perpustakaan (SDM)

Adapun unsur terpenting dan menjadi sumber daya utama pada suatu perpustakaan adalah yang menggerakkan perpustakaan itu yaitu manusia, dalam hal ini yang pertama yang disebut dengan petugas perpustakaan yang terdiri dari tenaga yang mengerti dan berilmu pengetahuan tentang perpustakaan selanjutnya disebut dengan pustakawan. Pustakawan ini pada saat sekarang ini disyaratkan sudah memiliki ijazah Ilmu Perpustakaan minimal setingkat D2 atau D3 Ilmu perpustakaan, dan ada pula yang kedua tenaga pembantu pengelola perpustakaan yakni tenaga atau petugas yang bukan pustakawan akan tetapi bekerja di perpustakaan. Hanya saja tenaga yang berhasil menggerakkan perpustakaan adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan menghargai buku.
MASYARAKAT SUMATERA BARAT
Masyarakat Sumatera Barat adalah masyarakat yang tinggal menetap atau menjadi penduduk daerah Sumatera Barat. Pada umumnya penduduk aslinya disebut dengan masyarakat Minangkabau. Mereka hidup bertebaran di seantero wilayah Sumatera Barat, bahkan banyak anak negeri Sumatera Barat yang pergi merantau ke negeri lain. Pada zaman dahulu masyarakat suku Minangkabau dikenal sebagai kelompok manusia yang cerdas dan suka belajar. Mereka memahami bahwa Islam mendorong umatnya untuk wajib menuntut ilmu. Sabda Nabi SAW, dapat dilihat pada sunan Ibnu Majah Juz awal bab ilm menyampaikan bahwa






Artinya : Dari Hisyam bin Umar yang diterimanya dari Hafsu bin Sulaiman dari Katsir bin Syinzir dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik berkat: Nabi Muhammad saw pernah bersabda Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam, meletakkan ilmu kepada yang bukan ahlinya adalah seperti menghiasi babi dengan permata, intan, dan emas..


Manusia muslim itu harus menuntut ilmu untuk memudahkan amal tanpa memburu ijazah. Ini dibuktikan dengan mengapungnya nama-nama orang Sumatera Barat sebagai ilmuwan yang menjadi tokoh di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti M Syafei dengan INS Kayu Tanamnya, Syekh Jamil Jambek dengan Suraunya, dan nama-nama yang disebutkan di atas tadi. Selain dari itu ada lagi pertanda lain bahwa Sumatera Barat itu gudang ilmuwan, yaitu mengalirnya orang-orang dari luar Sumatera Barat datang ke Sumbar menuntut berbagai ilmu pengetahuan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Sehubungan dengan pernyataan itu di kenal nama-nama Imam Zarkasyi misalnya, yakni seorang yang menuntut ilmu di Sumatera Barat tepatnya di perguruan Normal Islam Padang yang sekarang berhasil mendirikan pesantren Gontor di Jawa Timur. Sekarang ini Pencari Ilmu banyak berdatangan dari negara tetangga, yakni Malaysia dan Thailand, untuk belajar pada Fakultas Kedokteran Unand Padang dan pada fakultas-fakultas lainnya. Ilmu yang ditimbanya di Sumatera Barat dikembangkannya di daerahnya dan bahkan menjadi lebih baik pemanfaatannya.dibanding yang bertugas di Sumatera Barat sendiri. Ini dibuktikan dengan adanya rumah sakit di Malaka yang pada umumnya para dokternya adalah alumni-alumni dari Fakultas Kedokteran Unand Padang. Mereka sukses dengan ilmu yang ditimbanya di Sumatera Barat ini. Rumah Sakit itu laris dan terkenal.
Pada zaman dahulu masyarakat Minangkabau belajar dan mencari ilmu pengetahuan di surau, yakni dari surau ke surau belajar membaca Al-Qur’an dan kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab kuning yang berisi berbagai ilmu pengetahuan. Proses belajar itu amat sederhana, yakni seorang guru (tuangku imam) tinggal di surau bergaul dengan pengunjung surau yang pada umumnya anak laki-laki yang juga bermalam di Surau itu. Guru itu pada umumnya mentransfer ilmunya dengan menggunakan kitab Al-Qur’an dan kitab kuning tanpa kurikulum yang jelas serta metode mengajar yang secanggih sekarang. Ini berarti bahwa dahulu di Surau sudah ada buku, atau kumpulan buku termasuk al Qur an al karim berkembang menjadi perpustakaan dalam bentuk sederhana yang digunakan untuk dibaca oleh para pengunjung surau dan dibimbing oleh seorang guru yang bermukim di surau tersebut. Masing-masing surau berbeda ilmu yang dikembangkannya, sehingga para penuntut ilmu juga berpindah dari satu surau ke surau yang lain untuk menambah ilmu pengetahuannya dan ini juga tidak untuk memburu ijazah. Mungkin inilah cikal bakal perpustakaan yang berkembang menjadi perpustakaan mesjid yang dikenal seperti sekarang ini di daerah Sumatera Barat. Sekarang, di era kita saat ini anak-anak bangsa generasi yang sedang tumbuh dan berkembang katakanlah yang sedang berumur sekitar 7 – 18 tahun belum maksimal terarahkan oleh para orang tuanya untuk belajar mengejar kemajuan yang terarah dan terprogram dengan menggunakan perangkat perpustakaan maya tersebut. Kalau ada hanya satu satu tapi kadang-kadang terjerumus pula ke informasi yang salah, kotor dan tak mendidik karena orang tua atau yang berperan di bidang pendidikan belum sepenuhnya mengenal dan apalagi menguasai perangkat dan peralatan digital seperti yang dimaksud sehingga akibatnya anak bangsa mudah terperosok menghabiskan waktu kepada hal-hal yang percuma bahkan merusak pola pikir anak bangsa. Kecenderungan anak bangsa generasi yang sedang tumbuh ini sekarang hanya suka kepada menikmati hal-hal dan fasilitas-fasilitas dengan mudah. Mereka kurang didorong untuk berbuat dan bekerja keras. Banyak waktu mereka hanya dipakai untuk menonton di depan televisi. Orang tua saat ini sibuk dengan urusan mencari kebutuhan secara maksimal sehingga lupa dengan tugas pendidikan dan pencerdasan yang sebenarnya harus diterima anak. Orang tua sekarang lebih suka menyiapkan semua kebutuhan anak secara instan dan mudah agar tidak mengganggu aktifitas dan kesibukan mereka sehingga anak menerima kebutuhan-kebutuhannya dengan mudah tanpa usaha dan perjuangan. Bila anak tidak mendapatkan kebutuhannya, mereka tidak mau berusaha hanya bisa akan meradang, marah, menuntut orang tua, dan atau putus asa, karena anak dari awal tidak diajak untuk berbuat dan mengusahakan sesuatu kebutuhannya sehingga anak tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai gambaran di daerah perkotaan di Sumatera Barat sebutlah itu kota Padang. Perlakuan orang tua terhadap anak agak subjektif. Pagi pagi anak dibangunkan hanya beralasan untuk pergi sekolah kira-kira jam 6, lalu digiring untuk mandi, berpakaian, siap untuk ke sekolah dan kemudian digiring ke meja makan untuk sarapan yang sudah disediakan . Biar jalannya mulus maka orang tua menyiapkan semua, anak tinggal jalan bahkan anak diantar dan ditunggui di sekolah selama proses beajar mengajar berlangsung. Anak tidak dibiasakan untuk berusaha sendiri melakukan tugas-tugas ke sekolah; tasnya dicarikan, dilengkapi isinya dengan peralatan sekolah, dibawakan, diantarkan, dan seterusnya. Nanti pulangnya sang orang tua siap menunggu anak di depan sekolah melakukan bantuan untuk anak bisa pulang dengan enak. Sampai di rumah pun semua keinginan anak disiapkan asal tidak mengganggu aktifitas kedua orang tua. PR sekolahnyapun diingatkan dan dibantu oleh orang tua. Akibatnya anak pasif dan kurang kemauan untuk berbuat, beramal, dan bekerja keras.

EKSISTENSI PERPUSTAKAAN
Tanpa disadari, pada saat ini dunia perpustakaan telah masuk pada gelombang ketiga, gelombang Knowledge Management (managemen pengetahuan), suatu era dimana fokus utama aktifitas kepustakawanan adalah pengendalian informasi yang signifikan (bermakna) dalam kaitannya dengan informasi lain . Gelombang pertama, gelombang kepustakawanan tradisional, yang menitikberatkan aktifitas keprofesian kepustakawanan pada pengendalian bibliografis, telah berlangsung sejak abad ke 19, ketika John Dewey pertama kali memperkenalkan teori DDCnya pada tahun 1876, yang diikuti dengan teori UDC tahun 1905, lalu CC oleh Rangganathan tahun 1930, teori LCC, dan seterusnya. Gelombang kedua ialah gelombang manajemen informasi, berlangsung sesaat, sejak awal pengenalan teknologi komputer pada tahun 1950 an sampai tahun 1980 an bergulir, ketika orang merasa tidak mampu lagi mengendalikan ledakan informasi, dan sekarang gelombang ke tiga kita berada di sini, di era manajemen pengetahuan, sehingga mempengaruhi eksistensi pelayanan perpustakaan, termasuk perpustakaan di Sumatera Barat., lebih kecil lagi kondisi pelayanan perpustakan di kota Padang. Secara kasat mata tentang teknologi informasi sudah jauh maju meninggalkan kondisi tradisional, maka sebaiknya perpustakaan apapun jenisnya harus mendapat perhatian yang serius dari pengambil kebijakan sehingga pelayanan perpustakaan di kota Padang dan di Sumatera Barat bergerak maju mengiringi gerakan kemajuan informasi yang mendunia. Apa saja informasi yang terjadi pada belahan dunia yang jauh jaraknya sekalipun sudah dapat diketahui di tempat lain diseantero dunia ini. Kalau sekarang perpustakaan yang ada di sumatera Barat disebut dengan tradisional Library karena hanya wujudnya masih berbentuk “physical library” karena sudah ada pula bentuk perpustakaan yang lebih baru yang disebut dengan “virtual library” atau dikenal dengan perpustakaan maya , artinya perpustakaan tanpa batas tembok karena dapat diakses dari tempat yang jauh oleh pemakai bukan anggota perpustakaan. Jadi perpustakaan maya dengan menggunakan alat-alat elektronik sudah dapat mencerdaskan manusia lebih cepat dan lebih mudah dan hemat, karena seseorang dapat mencari informasi tanpa harus keluar rumah, berjalan mengunjungi lokasi perpustakaan yang berjarak beribu-ribu kilometer dari Padang misalnya sesorang itu mengakses informasi di perpustakan New Zealand atau tempat lain selama data katalognya sudah dimasukkan dalam bentuk digital maka waktu seseorang merambah katalog New Zeland itu atau perpustakaan di Swedia maka dengan mudah dapat dilakukan penelusurannya pada katalog terpasang (online catalog). Jadi seolah-olah nyata perpustakaan itu ada karena jelas ada katalognya. Hal ini sudah menjadi kenyataan dalam ruang lingkup kehidupan manusia masa kini. Masyarakat generasi muda sekarang sudah bisa menggunakannya. Itulah sebuah kenyataan, ”maya” yang dikenal dengan “virtual”. Perpustakaan yang menganut program maya disebut dengan perpustakaan maya atau ”virtual library.”
Sejalan dengan itu ada pula program pemerintah kota Padang sejak hampir dua tahun yang lalu bahwa Walikota Padang Fauzi Bahar melakukan gerakan wakaf buku yang dimintakan dari warganya, baik itu dari kalangan ilmuwan atau dari para pegawai negeri sipil Pemerintah Daerah kota Padang dan sekitarnya, kemudian diiringi dengan program Padang Membaca, dan sekarang sudah digerakkan pula pendirian “rumah baca” agar didirikan dan dihidupkan pada setiap kelurahan dalam lingkungan kota Padang. Sehingga sekarang ini sudah banyak bermunculan rumah-rumah baca untuk masyarakat. Ini dapat kita lihat wujudnya pada rumah baca kelurahan Koto Tangah di jalan By Pass Padang. Adapun tujuannya mungkin untuk mencerdaskan masyarakat kota Padang dan sekitarnya, namun usaha itu masih berupa mendirikan perpustakaan tradisional atau yang disebut oleh Sulistyo dengan physical library. Sebenarnya gerakan Padang membaca sebaiknya diiringi dengan usaha melengkapi perangkat dan peralatan perpustakaan tersebut dengan peralatan digital seperti adanya komputer, modem, dan jaringan telephone, kemudian tenaga pustakawan yang berkwalitas lagi shaleh untuk mengelola peralatan tersebut, yakni yang mengerti dan paham dengan tatanan penggunaan program komputer dan internet. Maka sebenarnya sudah memadai dan sudah dapat menjadi perpustakaan maya (virtual library).

MINAT BACA MASYARAKAT SUMATERA BARAT
Gambaran kecenderungan masyarakat Sumatera Barat dalam aktifitas membaca memang agak kabur dibanding dengan bangsa-bangsa barat. Dimana-mana lapangan kegiatan masyarakat jarang terlihat pemandangan orang membaca, kecuali para turis (orang-orang bule) yang senantiasa menggenggam buku kemana pergi. Lalu membaca menatap halaman-halaman buku disaat ada kesempatan, baik ketika dia duduk dalam penantian kendaraan di halte-halte di pinggir jalan, atau dia sedang duduk di dalam bis umum, di dalam gerbong kereta api, di atas kapal, di atas pesawat terbang, di pinggir laut, di taman-taman hijau, dan lain-lain. Pernah sekali penulis melakukan perjalanan ke Palembang yang dekat dengan Sumatera Barat dengan menggunakan pesawat udara. Penulis melihat deretan tempat duduk dekat penulis duduk ada dua orang bule dan yang lainnya orang Indonesia. Sejak dari awal masuk penulis memperhatikan orang-orang barat duduk dengan tenang di tempatnya dengan membaca buku, sementara kebanyakan penumpang dari golongan orang Indonesia selama perjalanan berlangsung melakukan bermacam-macam aktifitas selain membaca antara lain ada yang mengobrol sesamanya, ada pula yang melakukan sms atau memainkan handphonenya tanpa peduli dengan peraturan untuk penumpang yang diserukan oleh para pramugarinya agar mematikan HP dalam perjalanan, ada yang makan makanan ringan dengan santai, dan ada pula yang tidur selama perjalanan. Boleh dikatakan bahwa penumpang dari Sumatera Barat tidak membawa buku dalam perjalanan untuk dibaca dalam perjalanan. Mengapa hal perbedaan ini bisa terjadi?
Taufik Ismail mengatakan bahwa Orang Indonesia termasuk Sumatera Barat tidak suka membaca karena terlantarnya kewajiban membaca buku sastra di sekolah-sekolah kita . Ini artinya kurikulum sekolah-sekolah Indonesia sudah mengabaikan pelatihan membaca buku-buku sastra. Guru Bahasa Indonesia tidak mendorong murid untuk banyak membaca novel misalnya. Di dalam makalahnya Taufik bertanya: Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main gaple? Mengapa pemuda yang duduk dipinggir jalan tidak membaca tapi merokok dan main domino? Mengapa di ruang tunggu dokter spesialis jantung di Menado pengantar pasien tidak mebaca buku tapi asyik main sms lewat Hpnya? Taufik Ismail tokoh sastrawan Indonesia itu menjawab sendiri bahwa sebab utama penyakit kronis ini terletak pada terlantarnya kewajiban membaca buku sastra di sekolah-sekolah kita. Murid-murid dengan sedikit kekecualian, hampir semua berbekal nol buku ketika ke sekolah, tidak mendapat kesempatan untuk ditanamkan rasa ketagihan membaca buku, kecintaan kepada buku, keinginan bertanya kepada buku dalam semua aspek kehidupan dan kebiasaan mengunjungi perpustakaan sebagai tempat merujuk sumber ilmu pengetahuan. Sebenarnya buku adalah guru yang tidak pernah marah. (Ilmu apa saja yang ditanyakan atau diambil darinya, buku itu tidak akan pernah marah, namun masih banyak orang yang belum menyadari).
Keadaan ini yang harus diperbaiki. Pihak berwenang dan semua kita bersama-sama memperbaiki pengajaran membaca dan menulis di sekolah-sekolah, sejak dari SD sampai SMP dan SMA, kalau perlu pembiasaan dari tingkat TK. Maka komponen yang paling penting dalam ikhtiar perbaikan ini adalah Perpustakaan.
Untuk lebih jelas penyebab perbedaan antara kecenderungan anak bangsa Indonesia yang sudah tercetak sekarang ini katakanlah yang berkiprah pada umur 30–70 tahun sekarang ini sebahagian besarnya adalah pada terabainya kewajiban membaca buku dimasa usia sekolah. Taufik Ismail telah melakukan penelitian pada lembaga pendidikan formil yakni SMA di 13 negara pada bulan Juli-Oktober 1997. Taufik melakukan wawancara dengan tamatan SMA di 13 negara itu dengan bertanya tentang pertama kewajiban membaca buku, kedua tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, ketiga bimbingan menulis, keempat pengajaran sastra di tempat mereka selama responden belajar di SMA (mungkin 3-4 tahun), buku apa saja yang tercantum dalam.kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca sampai tamat lalu siswa menulis mengenai bahan bacaan itu dan diujikan,






Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara
NO ASAL SEKOLAH BUKU WAJIB NAMA SMA / KOTA TAHUN
1 SMA Thailand Selatan 5 Judul Narathiwat 1986-1991
2. SMA Malaysia 6 Judul Kualalumpur 1976-1980
3. SMA Singapura 6 Judul StanfordCollege 1982-1983
4. SMA Brunei Darussalam 7 Judul SM Melayu I 1966-1969
5. SMA Rusia Sovyet 12 Judul Uva 1980 an
6. SMA Kanada 13 Judul Canterbury 1992-1994
7. SMA Jepang 15 Judul Urawa 1969-1972
8. SMA Internasional, Swiss 15 Judul Jenewa 1991-1994
9. SMA Jerman Barat 22 Judul Wanne-Eickel 1966-1975
10. SMA Perancis 30 Judul Pontoise 1967-1970
11. SMA Belanda 30 Judul Midlleburg 1970-1973
12. SMA Amerika Serikat 32 Judul Forest Hills 1987-1989
13. AMS Hindia Belanda-A 25 Judul Yogyakarta 1939-1942
14. AMS Hindia Belanda-B 15 Judul Malang 1929-1932
15. SMA Indonesia 0 Judul Di Mana Saja 1943-2005
Catatan: responden diatas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional) pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tetapi sebagai pemotretan sesaat angka diatas cukup layak untuk direnungkan bersama.Bila buku sastra itu:
1. Tidak disebut dalam kurikulum,
2. Dibaca cuma ringkasannya,
3. Siswa tak menulis mengenainya,
4. Tidak ada di perpustakaan sekolah,
5. Tidak diujikan, dianggap nol.

Sebagai tamatan SMA Indonesia mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib dibaca selama 3 tahun ajaran di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca hingga tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan? Nol buku. Ada yang kita tahu puisi chairil Anwar, misalnya antara Krawang – Bekasi, Aku, Senja di Pelabuhan Kecil, tapi hanya pernah dengar-dengar saja tidak menuliskan pendapat tentang puisi itu.

Mari lihat kilas balik ke tahun 1942-1945 dan kita dengar kata Asrul Sani pada tahun 1999 yang lalu;
Kelompok sastrawan masa itu (masa pendudukan Jepang) gila membaca. Buku-buku orang Belanda, yang diinternir Jepang, banyak diloakkan di pasar Senen, sehingga asal rajin kesana, banyak bisa memperoleh karya sastra dunia, disamping buku-buku sastra Belanda. Rivai Apin, Idrus juga tukang baca. Idrus fanatik pada Ilya Ehrenburg………

Di jalan Juanda dulu ada dua toko buku Van Drop yang sekarang jadi kantor astra dan toko buku Koff. Koleksinya luar biasa, saya dan khairil Anwar suka juga meilih buku dan mencuri buku disana……

Tetapi kewajiban baca 25 buku itu tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Sastra cuma menjadi media tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca secara umum. Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83 tahun) tetap membaca 2 buku seminggu, buku apa saja. ”Jiwa saya merasa haus kalau tidak membaca buku. Demikian rasa adiksi yang positif itu bertahan sampai lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup.”
Seorang ABG di tahun 1919 masuk sekolah SMA jurusan dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi ia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu ia jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sejajar dengan dia, di AMS Surabaya juga suka baca buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi ia lebih suka ilmu politik, sosial, dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan menjadi politikus. Namanya Soekarno.
Tragedi nol buku di negeri tercinta ini sudah berlangsung sejak lama sudah 56 tahun, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya tamatan SMA nol buku sejak tahun 1950 (hitungan kurang pasti tapi pastilah sudah meliputi beberapa juta orang). Mereka inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, pada rentang usia 35- 70 tahun. Inilah potret ilmuwan Indonesia masa kini.



PENUTUP
Perpustakaan di Sumatera Barat memang sudah berjalan sejak lama, di zaman aktifnya surau sebagai tempat membaca Al-Qur’an dan kitab kuning. Perpustakaan ini bertujuan mencerdaskan manusia dan bahkan dapat dijadikan sebagai alat ukur ilmiah suatu kelompok masyarakat. Di Sumatera Barat banyak berdiri perpustakaan, termasuk perpustakaan pribadi dan begitu juga perpustakaan sewa seperti di lokasi di sekitar Padang Teater.Penulis berharap kiranya pemerintah daerah dalam usahanya mendirikan rumah baca tersebut membawa serta para pustakawan Sumatera Barat yang tergabung dalam wadah IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) daerah Sumbar atau cabang Padang yang dapat memberikan sumbang saran serta pemikiran demi pemanfaatan perpustakaan dengan maksimal.

DAFTAR BACAAN
1. Badollahi Mustafa, Drs. M.Lib : Promosi Jasa Perpustakaan, Jakarta, Universitas Terbuka, 1996
2. Daryanto : Pedoman Praktis Pengelolaan Perpustakaan, Surabaya, Bina Ilmu, 1989
3. Departemen Agama RI : Buku Pedoman Tenaga Akademik Perguruan Tinggi Agama Islam dan PAI pada PTU, Jakarta, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003
4. Ike Iswary Lawanda : Fungsi Perpustakaan dalam Komuniti di Indonesia : Suatu Kajian tentang Perpustakaan sebagai Suatu Komuniti di Indonesia, Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
5. Indra Mukhlis Adnan : Komitmen Daerah dalam Pengembangan Perpustakaan Komunitas, Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
6. Melling Simanjuntak : Pengembangan Perpustakaan sebagai Sumber Belajar dalam Lingkungan yang Terus Berubah (makalah), Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
7. Nurhayati Zain : Pengelolaan Perpustakaan Khusus, Padang, IAIN IB Press, 2006
8. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta Kalam Mulia, 2002
9. Sulistyo Basuki : Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta, Gramedia, 1991
10. Tabrani Rab, Prof. DR. H. : Pemberdayaan Perpustakaan dalam Pembelajaran Masyarakat, Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
11. Taufik Asmiyanto : Eksistensi Perpustakaan di Era Reformasi : Pendapat Kritis, Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
12. Taufik Ismail : Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama (makalah), Pekanbaru, IPI ; Panitia Seminar, 2005
13. Tim Penyusun Kamus : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen P&K
14. Yuyu Yulia, Janti G, Sujana, Henny Windarti : Pengadaan Bahan Pustaka, Jakarta, Universitas Terbuka, 1994
15. Ibnu Majah : Sunan Ibnu majah, juz awal,Al Qahirah ;Isa al Babil halabi wa Syirkah ,tt
16. Bloomberg, Marty & G Edward Evans:Introduction to technical services for library technicians,.—fife edition ,Colorado,Libraries Unlimited ,1985
17. Januarisdi ,Drs.M.Lis: Prinsip dan praktik pengabstrakan ; Padang, Universitas Negeri Padang 2006




















BIODATA PENULIS

Nama : Nurhayati Zain.
Tempat, tgl lahir : Bukittinggi, 9 Mai 1953
Suku : Caniago
Pendidikan :
- STK tidak tamat di Bukittinggi
- Sekolah Rakyat di Padang
- PGA Negeri 4 tahun dan 6 tahun di Padang tamat tahun 1972
- IAIN fakultas tarbiyah jurusan Bahasa Arab tamat tahun 1978
- S2 pada Program Pascasarjana IAIN IB tamat tahun 2004
- S3 pada program pascasarjana IAIN IB sedang berjalan

Pendidikan non formal yang dijalani selama dalam bertugas adalah :
1. Mengikuti Orientasi Perpustakaan selama satu bulan
2. Peningkatan Mutu Perpustakaan IAIN se Indonesia di Jakarta selama 3 bulan
3. Bahasa Inggris Perpustakaan selama 3 bulan di Denpasar Bali
4. SPAMA selama 3 bulan di Jakarta
5. Mengikuti AMT (Achievement motivation Training) selama 15 hari di Padang
6. Penataran TQM (Total Quality Management) selama 15 hari di Padang
7. Penataran tentang penelitian tingkat dasar 15 hari di IAIN Padang

Pengalaman kerja :
1. Tahun 1971 pernah mengajar di TK
2. Tahun 1972 – 1975 pernah bekerja sebagai penyiar di Sakato Broadcasting System
3. tahun 1971 - 1978 pernah mengajar di TPA – MDA
4. tahun 1975 – 1978 pernah mengajar di PGA Negeri Padang, PGA Penyantun PGA Muhammadiyah, dan PGA Parak Laweh Padang
5. tahun 1978 menjadi CPNS di Perpustakaan IAIN IB Padang
6. 1979 – 1986 pernah menjadi staf pengajar di IKIP Padang
7. 1979 – 1986 pernah menjadi staf pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN IB
8. 1979 – 1986 pernah menjadi staf pengajar di Fakultas Dakwah IAIN IB Padang
9. 1979 – 1994 bekerja sebagai pustakawan di Perpustakaan IAIN IB
10. 1994 – 1996 dipercayakan sebagai pimpinan perpustakaan Program pascasarjana IAIN IB
11. 1996 –1998 dipercaya sebagai kepala perpustakaan Pusat IAIN IB
12. 1998 – 2000 dipercaya sebagai Kepala Biro AUAK IAIN IB Padang
13. 1998 – sekarang mengajar di Fakultas Adab
14. 2004 – sekarang dipercayakan bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Adab IAIN IB Padang. Disamping itu di tugaskan menjadi Kepala Perpustakaan

Karya tulis :
1. 70 judul puisi (karya sastra)
2. Pembaharuan Dalam Tafsir (Berasal dari tesis S 2)
3. Pengelolaan Perpustakaan Khusus (buku Daras)
4. Gedung, Peralatan, dan Tata Letak Perpustakaan (buku Daras)
5. Biografi Pustakawan Sumatera Barat (Laporan Penelitian)
6. Ulama Sumatera Barat dan Buku yang Dimilikinya (Laporan Penelitian)
7. Kemampuan Baca Tulis al Qur an Anak-anak Nelayan di kota Padang (Laporan Penelitian )
8. Balaghah wal Qur anul Karim ( Skripsi )
9. Al Qira ah Miftahul Ulum ( Skripsi Sarjana Muda )

Pengalaman organisasi :
1. tahun 1975 – 1978 dipercaya sebagai ketua Ikatan Remaja Putri Aur Duri Padang
2. tahun 1979 – sekarang dipercaya sebagai ketua Persatuan Wanita Aur Duri Padang
3. Tahun 1992-1996 dipercaya sebagai Bendahara IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) daerah Sumatera Barat
4. tahun 2004 sampai sekarang dipercaya sebagai ketua IPI daerah Sumatera Barat

Penghargaan yang pernah diraih :
i. Piala Kejuaraan Karya Tulis Sastra tahun 1972, 1975, 1978 Tingkat Propinsi oleh Gubernur Sumatera Barat
ii. Sertifikat Kejuaraan Lomba Karya Tulis Ilmiah tahun 1978 Tingkat Propinsi oleh Gubernur Sumatera barat
iii. Piala Pustakawan Teladan Tingkat Propinsi, dan Tingkat Nasional tahun 1992
iv. Sertifikat Dosen Favorit I pada Lomba Pemilihan Dosen Favorit Fakultas Adab tahun 1999

Selengkapnya...

Selasa, 21 April 2009

Salido : Sejak Kerajaan Lumbung Emas

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA)

Salido kumunitas masyarakatnya pernah (abad ke-17) berbentuk masyarakat kecil multi-nasional antara orang Belanda, Belgia, Jerman, Malagasi, maupun negro dari Afrika Selatan. Bahkan pada pertengahan alaf (milinium/ ribuan tahun) pertama dalam cerita rakyat di lidah tellerhistory (tukang cerita), ada masyarakat Cina, Hindustan, Malaka dan Sri Langka, ketika itu Salido merupakan kerajaan makmur, penuh dengan lumbung tidak saja padi tetapi emas laksana bukit yan berhimpit-himpit.

Suatu hal yang menarik bangsa asing datang dan tinggal di Salido di antaranya disebabkan karena Salido pernah bertabur eman dan perak itu, kemudian di daerah ini terdapat tambang emas terbesar di pantai selatan Sumatera bahkan tambang tertua di Sumatera. Orang-orang asing itu boleh dikatakan “demam Salido”. Secara antrpologis Rusli Amran (1981:298) menekankan, kalau ada orang Salido dan Painan yang raut mukanya mau pun ukuran badannya tidak mirip pribumi mungkin itu peninggalan “demam Salido”. Karena dulu banyak orang asing di daerah ini, demam emas Salido. Salido sesuai dengan maknaknya gerbang, diceritakan ketika itu dirasakan betul Salido sebagai gerbang dunia, lewat jalur selatan perairan Samudra Indonesia.
Belanda melalui pucuk pimpinan VOC di Amsterdam sangat harap produk emas Salido. Harapan tergantung banyak pada pencari emas di bebepa lokasi tambang di Salido. Pencari emas itu tidak hanya penduduk asli, tetapi bermacam jenis orang, ada yang berbadan besar, berewok mukanya, bermata biru, berbahasa aneh. Dipastikan mereka datang dari berbagai negara seperti Jerman, Belanda sendiri, Begia dll. Rakyat pun menyerahkan pengolahan lahan tambang emas pada Belanda misalnya kepada Inspektur Pits tanpa paksaan, tahun 1670. Desember tahun ini, dikirim ke Salido ahli tambang (meester bergwerker) bernama Friedrick Fisher didampingi 9 orang pembantu. Dipersiapkan segala sarana pertambangan serta buruh yang dibutuhkan. Dalam proses penambangan terlalu banyak buruh yang mati didera penyakit, namun penambangan tidak boleh berhenti. Buruh dari mana saja didatangkan, asal mau bekerja akan digaji besar. Disediakan tangsi dan sardadu menjaga keamanan tambang tetapi kematian buruh semakin banyak. Dari Bataavia didatangkan orang Portugis untuk membantu keamanan tambang. Sudah empat tahun (1674) bekerja menambang emas hasilnya mengecewakan meskipun ahli tambangnya didatangkan dari Eropa.
Dari pengalaman Belada lebih untung membeli dari rakyat dibanding menambang sendiri, bahkan hasil tambang rakyat kualitas emasnya pun tinggi. Karenanya Batavia mengusulkan kegiatan pertambangan dihentikan. Ahli tambang boleh pulang. Penambangan kembali diserahkan kepada rakyat. Namun para pemimpin 17 VOC di Amsterdan ngotot, karena keserakahannya kembali memerintahkan penambangan dilanjutkan.
Ahli tambang kembali dikirim dari Eropa. Memang benar-benar demam emas. Ide gila muncul, tidak dengan cara menambang emas langsung, tetapi mengangkut tanah yang berisi emas dari Salido ke Eropa. Kapal-kapal Belanda sibuk mengangkut tanah untuk ditambang di Eropa. Namun hasilnya tetap menyedihkan. Tidak putus asa, buruh didatangkan lagi dari Malagasi, Timor, Nias, Negro Afrika Selatan dll. tetapi emas yang diperoleh tidak seimbang dengan tenaga dan dana yang dikeluarkan. Bahkan tenaga yang didatangkan itu baik yang ahli dan mengaku ahli maupun buruh banyak yang mati. Masih belum putus asa, tahun 1676 Belanda mengirim lagi seorang direktur, namun meninggal di jalan. Tahun 1679 dikirim lagi dari Amsterdam 59 orang ahli tambang, kemudian ditambah lagi. Mei 1680 28 ahli tambang dikirim hanya tinggal 3 orang yang hidup selebihnya mati. Dari catatan Daghregister Castael Batavia, Juli 1981 dikirim buruh sebanyak 236 orang dari Batavia, setelah 6 bulan kemudian yan sampai di Padang hanya 140 orang selebihnya mati di perjalanan.
Pimpinan VOC di Amsterdam masih bernafsu. Inspektur Pits melapor ke Batavia, prospek tambang di Salido baik. Berbeda dengan laporan ahli Jerman Benjamin, 12 Maret 1682 bahwa prospek tambang emas Salido tidak menguntungkan sama sekali. Hanya membuat duait habis dan membanwa bencana korban jiwa buruh. Namu Amsterdam lebih mempercayai laporan palsu Inspekturnya Pits. Karena kegiatan tambang dilanjutkan. Samapai 10 tahun dihitung-hitung emas tidak dapat, kerugian dana dan korban jiwa luar biasa besarnya. Tahun 1691 dihitung interval waktu 9 tahun (1681-1690) produksi emas hanya seperlima dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk biaya tambang. Tahun 1690-1694 rugi lagi ratusan ribu gulden. Dalam terminologi lain kegiatan tambang rugi total. Namun pucuk pimpinan VOC di Amstardam masih penasaran, tahun 1720 dikirim lagi 2 ahli tambang ke Salido. Masih menderita kerugian. Akhirnya tahun 1728 keigatan penambangan emas Salido oleh VOC dihentikan, kegiatan selanjutnya dikontrakan kepada Tuanku Panglima di Padang seharga 80 ringgit setiap tahun.
Melihat Tuanku Panglima mulai berhasil menambang emas di Salido, VOC kembali berubah pikiran. Pucuk pimpinan VOC di Amsterdam kembali mengirim ahli tambang di bawah pengawalan ketat Bruynink serta tentaranya. Ia punya kekuasaan besar. Pulau Cingkuk segera ditundukannya. Ia kirim kapal ke Malagasi mencari tenaga buruh tambang. Namun tetap Belanda gagal. Tahun 1737 penambangan emas Salido diehentikan lagi. Belanda ingin mengontrakan tambang ke pihak lain 160 ringgit setahun, tetapi orang yang akan mengontrak pula tidak ada, maka otomatis penambang berhenti total.
Kemudian 150 tahun pasca VOC Belanda ingin menambang emas lagi di Salido, dipimpin seorang insinyur pertambangan Belanda Verbeek. Ia melakukan survey. Ia memakai ahli dari Jerman. Ternyata tidak juga berhasil. Bahkan ia menuduh ahli Jerman itu dalam eksplorasinya melakukan tindakan manipulatif dalam mengirimkan contoh yang katanya emas berkadar tingi ternyata kadarnya rendah. Lalu ia minta bantuan ahli Amerika, tesebut nama Spalding. Ia bekerja di tambang emas Salido, hasilnya memberi angin segar. Tahun 1911 didirikan Salido Mijnbow Maatschappij, tahun 1912 berganti nama menjadi Kinandan Sumatera Mijnbouw Maatschappij (Rusli Amran, 1981:228). Ketika itu ada kenaikan produksi, namun tidak terlalu banyak menghasilkan uang. Akhirnya tambang ditutup juga, dan benar-benar ditutup dasawarsa ke-2 abad ke-20.
Belanda yang menyebut pencari emas di Salido dan Painan digambarkan sebagai “tolol dan kekanak-kanakan”, ternyata rakyat dapat menambang emas dan produknya berkualitas baik. Sedangkan Belanda menggunakan tenaga ahli dan alat tambah canggih ketika itu, gagal total. Mana yang lebih hebat, yang jelas mengisyaratkan emas Salido harus ditambang rakyat, kalau pun diolah dengan teknologi canggih dan menggunakan tenaga ahli rakyat Salido jangan hanya dapt gigit jari saja. Siapa tahu pengalaman kegagalan Belanda menambang emas di Salido, karena melanggar janji raja Tumenggung Cemeti Alam beristana di Malonda dlam “Salido 1000 Tahun yang Silam”, yakni banyak membunuh, khianat dan fitnah dalam politik adu dombanya, sehingga emas lenyap dari penambangannya. Pengalaman yang lalu ini oleh Pesisir Selatan ke arah otonomi daerah dan kembali membangun pertambangan emas sebagai harta karun di Salido yang mempunyai deposit yang sulit dihitung, patut menjadi renungan.
Kisah Salido (dalam Kerajaan Lumbung Ameh beristana di Malonda) 1000 tahun yang silam, pernah (1981) ditulis Indra Putra, diterbitkan Yudistira. Salido pada pertengahan alaf pertama termasuk negeri dalam kerajaan, bernama Kerajaan Lumbung Ameh dengan ibu kerajaan adalah Malonda, sehari semalam berjalan ke arah selatan kota Painan sekarang. Rajanya bernama Baginda Tumenggung Cemeti Alam (apakah saudara dari Mandeh Rubiyah, tidak ada ceritanya, tetapi yang benama Ketumenggung ada sebagai salah seorang saudara Mandeh Rubiyah di Indrapura, sekarang keturunnya di Lunang, baca bab Inrapura). Kerajaan yang sesuai dengan namanya Lumbung Ameh (emas) amat makmur bertata emas, aman sentosa. Raja rela berkorban langsung menyelamatkan rakyatnya sa’at ditimpa malapetaka, karenanya raja dicintai rakyat. Bahkan raja rajin turun kebawah menanyakan apakah rakyatnya punya persiapan pangan apa tidak dan ia raja yang adil. Cerita kerajaan yang gemerlapan dengan emas yang lumbung emasanya bagaikan bukti berhimpit-himpit diceritakan dalam 7 episode “Salido 1000 Tahun yang Silam” yakni (1) Naga Sakti Gunung Kerinci, (2) Peristiwa Mengejutkan, (3) Dua Peramal Gadungan, (4) Giliran Ajo Gadang Ota, (5) Ganjaran nan Setimpal I, (6) Ganjaran nan Setimpal II dan (7) Emas di Sepanjang Sungai Salido. Ketujuh cerita mengisahkan sejarah emas di Salido dan kerajaan Lumbuh Ameh yang aman dan makmur. Ceritanya, dulu ada Sungai Salido yang batu dan pasirnya semuanya emas. Dalam Commonsence (pemahaman awam) Sungai Salido tidaklah yang ada di Salido sekarang, tetapi sudah tenggelam karena rakyat telah melanggar janji raja yakni tidak mencuri, tidak khianat, tidak berbauat fitnah, tidak membunuh (menghilangkan nyawa atau menghilangkan peranan orang) dll. Janji itu diterima raja dari munajatnya di pinggir Sungai Salido dari dewa berkaitan dengan penjernihan air Sungai Salido yang pernah cemar, keruh pekat busuk bau nanah. Cemarnya Sungai Salido itu, karena seokor Naga Sakti dari Gunung Kerinci yang digambarkan sebagai Induk Emas. Ia bisa terbang secepat kilat dan sa’at terbang di langit terang benderang seperti satelit melintas. Tak ada yang dapat menghambat, apa yang menghambat putus. Apakah dari sini kisah Bukti Putus di perbatasan Painan dan Salido, putus karena dilanda induk emas dari Gunung Kerinci itu yang ketika itu hendak mandi ke Sungai Salido mengobati penyakit eksim yang dideritanya dan membuat kulitnya sudah bernanah, belum ditemukan cerita untuk itu. Yang ada diceritakan Naga itu mandi di Sungai Salido atas petunjuk Dewa Air yang beristana di Lautan Teduh. Naga itu berguling-guling mandi dengan Air Sungai Salido, membuat bumi dan perbukitan sekitar terbalik dan Air Sungai menjadi keruh, cemar, busuk berbau nanah bahkan terinfeksi bakteri yang berasal dari penyakit naga itu. Rakyat menderita, kemana air minum mau dicari, jangankan air itu bisa diolah untuk minum untuk dipegang saja mengerikan. Banyak ahli nujum palsu mengambil kesempatan pura-pura mampu mencari penyebab dan pura bisa berupaya menyernihkannya, namun tidak pernah bisa. Akhirnya raja Tumenggung Cemeti Alam sendiri di tengah malam pekat merngkak ke pinggir sungai itu dengan air mata berlinang berdo’a kepada tuhan ketika itu disebut dewa. Ia memberanikan dirinya memegang air yang busuk itu dan membasuhkan kemukanya. Ia nekat, biarlah dia mati asal rakyat jangan sengsara. Ia meminta kepada Tuhan kabulkan do’anya, jernihkan sungai ini dan jadikanlah sungai itu kekayaan rakyat. Doanya makbul dan menerima jaji tadi, janji tadi diteruskan kepada rakyat. Air Salido kembali jernih. Naga sakti dari Gunung Kerinci yang penyakit menahunnya sembuh dengan air Sungai Salido membalas jasa, menebarkan emas sepanjang sungai Salido. Berkilauanlah Sungai Salido dengan emas karena semua pasir dan batunya menjadi emas. Negeri Salido dalam Kerajaan Lumbung Ameh menjadi kaya raya, makmur dan aman sentosa. Banyak orang asing datang seperti Cina, Hindustan, Srilangka dan Malaka. Raja-raja utara dan selatan hendak mencoba menyerang dan merampas emas, tetapi Salido kuat, karena Walinegerinya kompak dengan raja serta rakyat dan menjadi power besar. Kekayaan melimpah ruah. Rakyat hidup dalam serba berkecukupan. Tidak terdengar jeritan derita dan kelaparan, tentu pula tidak dikenal busung lapar yang memalukan karena negeri menjadi surplus beras dan raja mengetahui pasti dan selalu turba mencek tingkat persediaan bahan pangan rakyat bahkan tahu denyut nadi mereka. Karenanya tidak ada suara senjang dan spanduk demonstrasi menentang raja, bahkan rakyat patuh dan mencintai rajanya. Tetapi sepeninggal raja, digantikan adiknya, janji dilanggar. Judi, mencuri, khianat, fitnah, membunuh dll. menjadi-jadi. Akibatnya petaka datang lagi, Sungai Salido lenyap misterius ditelan perut bumi dan emasnya terkubur di dasar sungai dan ditelan perut pebukitan (Gunung Harun sekitar- sekarang bekas pertambangan emas) ditumbuhi belantara.
Emas terdapat di ti ketiga luhak (Tanah Datar, Agam, Lima Kota). Namun yang terbanyak adalah di tiga belas kota seperti Lubuk Silasih, Munggutanah, Tambanggadang, Alahanpanjang, Supayang, Salido dekat Bandar Sepuluh, dll. Mengenai pencarian emas ini, banyak diceritakan Rusli Amran (1981:222, 278) mengutip Couperus (dalam Tiidschr, 5, 1856) dalam catatannya “Eenige Aanteekeningen Betreffende de Goudproductie in de Padangsche Bovenlanden (Beberapa Catatan tentang Produksi Emas di Padang). Juga direkam oleh J.E.Meyier (1911) dalam bukunya Goud- en Zilvermijn te Salido (Tambang Emas dan Perak di Salido), juga diliput S.Muller (1846) dalam bukunya Bijdragen tot de kennis van Sumatera (Sumbangan untuk Pengetahuan tentang Sumatera).

Tentang emas di Salido, ada beberap rujukan utama di antaranya Ir.G.B.Hoogenraad (de Ingenier in Nederlandsch Indie 1e jrg. No. 1 Januari 1934) dalam catatannya “De Salida Mijn” (1827); Dr. h.c.Ir.N.Wing Easton (de Ingenieur in Nederlandsch Indie, 1936) dalam catatannya Salida Mijn, Een nog onbekende in Nederlandsch Indie (1827).
Rakyat menambang emas mempunyai cara tersendiri. Mereka punya kiat mencari lokasi emas. Ada cara tradisional ada takhayyul merupakan pengalaman turun temurun. Mungkinkah juga ada sangkut pautnya dengan janji Raja Tumenggung Cemeti Alam dalam Kisah Salido 1000 Tahun yang Silam. Namun dari cerita rakyat di antara menandai lokasi berisi emas, di waktu senja banyak beterbangan api-api (sejenis serangga yang kelap kelip di temaram senja). Kalau emas itu di pebukitan, ditandai dengan tanaman yang tumbuh di lokasi emas itu adalah batang sikaduduk dan suryan. Di sana ada air mengalir kuning kemerah-merahan, terdengar sayup suara “titik galang” atau siangkak badangkuang yang nada suaranya bisa diperdengarkan oleh pandai emas.



Selengkapnya...

Senin, 20 April 2009

"Anak"

Oleh : Dra. Hetti Waluati Triana, M.Pd (Dosen Jur. BSA)

Pusat Studi Wanita IAIN Imam Bonjol Padang telah melakukan berbagai aktivitas ilmiah yang terkait dengan anak sebagai aset utama bangsa, di antaranya melalui penelitian dan melalui penyuluhan ataupun seminar. Penelitian yang telah dilakukan oleh PSW IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 2003-2006, memang tidak terfokus kepada permasalahan anak, tetapi bermuara kepada bagaimana melindungi hak anak dan meningkatkan potensi anak dalam aspek pendidikan.

I. PENDAHULUAN

Penelitian ini dilakukan oleh PSW IAIN Imam Bonjol Padang bekerja sama dengan Pusat Penelitian IAIN IB Padang dan Balitbangda Propinsi Sumatera Barat.
Sehubungan dengan itu, maka ada 3 (tiga) buah penelitian yang dinilai relevan untuk dikemukakan pada kesempatan ini. Ketiga penelitian itu ialah sebagai berikut.
1. Peningkatan Kesetaraan Gender melalui Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang dilakukan pada tahun 2003 dan didanai oleh Balitbangda Propinsi Sumatera Barat, iaitu Rp 28. 000.000. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti PSW IAIN Imam Bonjol Padang yang terdiri dari: Dra. Hetti Waluati Triana, M.Pd, Dra. Wanda Fitri, M.Si, Warnis, S.E, M.M, Dra. Ermagusti, M.Ag, dan Dra. Nursyamsi, M.Pd.
2. Efektivitas Pelaksanaan Wajib Belajar di Sumatera Barat dilakukan pada tahun 2004 dan didanai oleh Balitbangda Prop. Sumatera Barat, iaitu Rp 37. 000.000. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti PSW IAIN Imam Bonjol Padang yang terdiri dari: Dra. Hetti Waluati Triana, M.Pd, Drs. Jufri, M.Pd. dan Warnis, S.E, M.M.
3. Peningkatan Kemadirian Santri dalam Bidang Ekonomi melalui Bimbingan IPTEK di Pesantren yang dilakukan pada tahun 2004 dan didanai oleh Balitbangda Propinsi Sumatera Barat, iaitu Rp 28. 000.000. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti PSW IAIN Imam Bonjol Padang yang terdiri dari: Warnis, S.E, M.M, Dra. Hetti Waluati Triana, M. Pd, Dra. Elwis Nazar, M.Ag, Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum, Drs. Jufri, M.Pd, dan Drs. M. Basyiruddin Usman, M.Pd.

Sebagaimana yang dikemukakan di atas, ketiga penelitian ini memang membahas permasalahan pendidikan di Sumatera Barat, tetapi—pada asasnya—secara langsung penelitian ini mengupas permasalahan anak sebagai salah satu aspek internal dan sekaligus menjadi terminal sasaran dalam pelaksanaan proses pendidikan tersebut. Bahkan, dapat dikatakan bahwa terminal akhir dari ketiga penelitian di atas merujuk kepada upaya-upaya apa yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan peningkatan kualitas anak Sumatera Barat sehingga menjadi SDM yang mampu berkompetisi pada pasar global, baik AFTA (Asia Free Trade Area), APEC (Asia Pasific Economic Cooperation), IMTGT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) maupun ISTGT (Indonesia-Singapore-Thailand Growth Triangle).
Mengingat perkembangan dan tuntutan era dewasa ini, maka wacana “anak” penting diketengahkan, dianalisis, dan dibedah. Dalam konteks inilah kalangan akademisi, organisasi, dinas/instansi, dan LSM perlu menindaklanjuti atau merealisasikan rumusan-rumusan yang telah diformulasikan dalam berbagai aktivitas ilmiah sehingga harapan agar anak Sumatera Barat menjadi SDM yang survive di era global bukan hanya terealisir dalam dunia maya atau dongengnya kebijakan, melainkan terwujud dalam realitas kehidupan kita.



II. TEMUAN PENELITIAN

Mengingat topik sentral pembahasan kita pada kesempatan ini terfokus kepada anak, maka temuan penelitian yang dikemukakan untuk setiap penelitian berikut hanya yang berkait langsung dengan permasalahan anak. Maksudnya, rumusan-rumusan yang berkait langsung dengan anak memperoleh proporsi yang lebih untuk dihuraikan pada bahagian temuan penelitian ini. Berikut akan dihuraikan temuan dari masing-masing penelitian tersebut.

II.1 Peningkatan Kesetaraan Gender melalui Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah


Penelitian Peningkatan Kesetaraan Gender melalui Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dilaksanakan dengan menggunakan paradigma kualitatif. Oleh karena itu data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, dokumentasi, interview, dan fokus group Discussion. Observasi dan interview digunakan untuk memperoleh data sensitivitas gender guru sebagai pendidik di sekolah dan bias gender dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah, sedangkan teknik dokumentasi digunakan untuk menemukan bias gender pada kurikulum, buku teks, dan aturan-aturan tertulis. Teknik Interview dan focus group discussion digunakan untuk membentuk pola peningkatan kesetaraan gender di sekolah, yaitu sosialisasi yang sensitif gender. Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan (1) pembahagian daerah Minangkabau (luhak dan rantau), (2) sekolah negeri (umum dan agama), dan (3) jenjang pendidikan dan pola pengembangan sekolah. Atas dasar itu, 14 sekolah yang terdapat di Kota Padang, Kota Bukittinggi, dan kab 50 Kota.


Secara kuantitatif, fenomena gender di 14 sekolah yang dijadikan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut (hal. 86-87).
1. Perbandingan jumlah siswa Pr dan Lk : 54,46% : 45,54%
2. Persentase siswa berprestasi Pr dan Lk : Pr > Lk
3. Persentase di kelas unggul Pr dan Lk : 65-75% : 25-35%
4. Persentase guru Pr dan Lk : 74,13% : 25,87%
5. Persentase kepala sekolah SD Pr dan Lk : 80% : 20%
6. Persentase kepala sekolah SLTP/MTs Pr dan Lk : 20% : 80%
7. Persentase kepala sekolah SMU/MA Pr dan Lk : 25% : 75%
Data kuantitatif di atas mengisyaratkan bahwa :
1. Prestasi anak perempuan di sekolah tidak tertingal dari anak laki-laki.
2. Profesi guru didominasi oleh Pr
3. Pimpinan sekolah didominasi oleh Lk
Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa sebagai input dalam PBM, anak memiliki konsep tentang dirinya yang pada asasnya tidak terlepas dari kesadaran akan jenis kelaminnya dan pemahaman terhadap realitas sosialnya. Pernyataan ini disimpulkan dari berbagai indikator, di antaranya: (1) alasan memilih mainan, (2) mengungkapkan cita-cita atau profesi yang dinilai cocok, (3) alasan pemilihan peran dan tugas piket di sekolah, (4) alasan memilih jurusan atau kegiatan ekstrakurikuler, dan (5) alasan pemilihan ketua kelas. Pandangan ini mengindikasikan bahwa dikatomi gender (feminin dan maskulin) sudah terkonsep dalam diri anak yang dijadikan standar nilai untuk berperilaku bagi anak dan sekaligus mencerminkan pemahaman anak terhadap realitas sosial di samping produk sosialisasi gender di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (hal. 87-91). Temuan ini sejalan dengan pernyataan Muthaliin (2001:57) yang menegaskan bahwa gender sudah merupakan bahagian dari sistem nilai (ideologi) dalam masyarakat dan selanjutnya sistem nilai ini akan berpengaruh dalam kehidupan sosial yang lebih luas termasuk sekolah (sistem pendidikan).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sosialisasi gender di sekolah-sekolah Sumatera Barat, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler, mengalir kepada dikatomi feminim dan maskulin. Produk sosialisasi itu lebih terlihat ketika anak berhadapan dengan kondisi yang mereka tempatkan pada proporsi patut atau tidak, biasa/ lazim atau tidak, dan tabu atau tidak. Dengan kata lain, di sekolah terjadi sosialisasi yang bias gender. Sosialisasi yang demikian berlangsung melalui buku teks (hal 57-77) dan perlakuan guru (hal.77-85).

II.2 Efektivitas Pelaksanaan Wajib Belajar di Sumatera Barat

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan yang dilakukan dengan mixing method (kuantitatif dan kualitatif). Lokasi penelitian dipilih berdasarkan 4 kriteria, iaitu (1) pembahagian daerah (kota dan kabupaten); (2) banyaknya permasalahan pendidikan yang dihadapi suatu daerah; (3) Rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) , baik SD/MI/Paket A maupun SMP/SLTP/Paket B; (4) besarnya angka putus sekolah atau drop out. Berdasarkan keempat kriteria itu ditetapkan 6 daerah lokasi penelitian, iaitu (1) Kab. Pasaman Barat, (2) Kab. Solok, (3) Kab. Padang Pariaman, (4) Kab. Lima Puluh Kota, (5) Kota Padang, dan (6) Kota sawah Lunto. Sekolah-sekolah yang dijadikan sampel penelitian untuk diobservasi dipilih berdasarkan hasil studi pendahuluan dan konfirnasi dengan instansi terkait (Diknas dan Depag keenam daerah). Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, kuesioner, observasi, dan interview. Data kuantitatif dianalisis dengan statistik sederhana (persentase), sedangkan data kualitatif dianalisis dengan langkah-langkah analisis yang dikemukakan Alwasilah (2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahawa perluasan kesempatan bagi anak usia sekolah 13-15 tahun dengan peningkatan jumlah unit sekolah SMP (dari 462 unit pada tahun 2002/2003 menjadi 480 pada tahun 2003/2004) tidak diikuti oleh jumlah siswadi propinsi Sumatera Barat dan bahkan terjadi penurunan sebanyak 7.729 orang (4,26%). Begitu juga dengan jumlah siswa MTs yang menurun sebanyak 3.863 orang (6,44%), (hal. 36-37). Dari keenam daerah yang dipilih sebagai lokasi penelitian, maka diketahui bahwa anak usia sekolah di Kecamatan Danau Kembar – Kab. Solok dan di Kapur IX – Kab. 50 Kota sangat banyak tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, masing-masingnya 207 orang (69,7%) dari 297 orang anak dan 30% dari 364 orang anak, (hal. 37-38).Temuan ini mengisyaratkan bahwa anak usia sekolah di Sumatera Barat masih banyak yang tidak bersekolah ataupun putus sekolah.
Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa kendala yang menyebabkan anak tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah lebih didominasi oleh faktor eksternal, iaitu lingkungan (masyarakat dan alam/geografis). Faktor masyarakat yang dominan mempengaruhi kelanjutan pendidikan anak ialah aspek ekonomi, sosial (kontrol dan apresiasi), dan budaya, sedangkan faktor alam/geografis ialah jarak sekolah dengan pemukiman, kondisi daerah yang sulit ditempuh, dan sumber daya alam. Aspek tinggi rendahnya ekomomi masyarakat berpengaruh secara intens terhadap angka putus sekolah ketika didukung oleh rendahnya kontrol dan apresiasi masyarakat dalam bidang pendidikan, seperti yang ditemukan di Muaro Paiti Kapur IX - Kab. 50 Kota (hal. 51-53 dan hal 79-81), di Kec. Gunung Tuleh Kab. Pasaman Barat (hal. 42-43 dan hal. 49), dan Kecamatan danau Kembar kab. Solok (hal. 57-59); apalagi didukung oleh aspek budaya (kawin dini dan anak produktif), seperti yang ditemukan di Kec. Lumindai Barangain Kota Sawahlunto (hal. 73-75). Kondisi geografis juga menjadi pemicu rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan sehingga banyak orang tua (masyaakat) yang menyerahkan kewajiban pendidikan kepada sekolah ataupun guru. Bahkan, fenomena banyaknya anak usia sekolah (7-15 tahun) yang produktif (membantu ekonomi keluarga dan kawin di usia dini menjadi sesuatu yang lazim, seperti yang ditemukan di Lumindai Kota Sawahlunto, Kampung Dalam Kab Padang Pariaman, dan Muaro Paiti Kapur IX Kab. 50 kota..

II.3 Peningkatan Kemadirian Santri dalam Bidang Ekonomi melalui Bimbingan IPTEK di Pesantren


Era Millenium III atau abad globalisasi menuntut SDM yang terampil dan profesional sebagai wujud SDM yang menguasai IPTEK, di samping memiliki IMTAQ yang tinggi. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Tilaar (2000:134) bahwa era dewasa ini menuntut pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat global, yang mamapu mampu membentuk jaringan kerjasama dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Salah satu institusi pendidikan dalam sejarah pendidikan Indonesia adalah pesantren http://www.google.com.waspadaonline/ membongkartradisionalismependidikanpesantren). Dalam konteks inilah produk pesantren perlu mendapat perhatian.
Penelitian Peningkatan Kemadirian Santri dalam Bidang Ekonomi melalui Bimbingan IPTEK di Pesantren merupakan jenis penelitian penelitian lapangan yang dilaksanakan dengan menggunakan mixing method (kuantitatif dan kualitatif). Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan (1) Keragaman potensi daerah yang mendukung pengembangan pesantren, (2) Pembagian Wilayah Sumatera Barat (kota dan desa), dan (3) Kebervariasian misi dan visi pesantren (hal.34). Berdasarkan ketiga kriteria ini ditetapkan 10 (sepuluh) pesantren yang terdapat di lima lokasi (daerah), iaitu: (1) Kota Padang, (2) Kota Padang Panjang, (3) Kabupaten Pasaman Barat, (4) Kabupaten Agam, dan (5) kabupaten Padang Pariaman.
Dari data statistik Departemen Agama Sumatera Barat bulan Februari 2004, diketahui bahwa di Sumatera Barat terdapat 190 pesantren dengan jumlah santri 32.955 orang. Jumlah santri terbanyak terdapat di Kab Pasaman (6.427 santri), Kab. Agam (5.467), Kab. Tanah Datar (4.196), dan Kota Padang Panjang (4.120). Dari 323 orang santri yang dijadikan sampel, 281 orang santri (87,018%) menyebutkan bahwa pesantren merupakan pilihan sendiri (hal.41). Ini mengindikasikan bahwa pesantren masih menjadi institusi pilihan bagi anak Sumatera Barat.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa pada prinsipnya potensi yang dimiliki pesantren sangat bervariasi karna pesantren dibangun berdasarkan swadaya masyarakat. Oleh karena itu, proses dan hasil pembelajaran yang diterima santri pada setiap pesantren juga bervariasi, termasuk jenis dan fasilitas bimbingan ekastrakulrikuler. Kondisi yang demikian menyebabkan kemandirian santri dalam bidang ekonomi tidaklah sama pada setiap pesantren. Bimbingan iptek yang telah dilakukan pada 10 (sepuluh) pesantren yang menjadi sampel penelitian masih sangat minim dan terbatas (hal. 95-107). Keterbatasan itu pada dasarnya lebih disebabkan atas kurangnya tenaga yang memiliki skill dan minimnya dana operasional. Meskipun demikian, beberapa pesantren telah berupaya meningkatkan kemandirian santrinya dalam bidang ekonomi, sebagimana yang telah dilakukan oleh Pesantren Adlaniyah Kab. Pasaman Barat dan pesantren Asy-Syarif Kamang Kab. Agam. Santri di Pesantren Adlaniyah diberikan pelatihan komputer atas kerjasama dengan Pemda Tk I sumatera Barat, di samping dilatih untuk bertani sawit secara profesional sesuai dengan potensi daerah dan aset yang dimiliki pesantren (hal 58-63). Santri di Asy-Syarif dilatih keterampilan berwirausaha melalui pengembangan produk pakaian jadi secara profesional (kerajinan jahit-menjahit, sulaman dan bordir) atas dasar kerja sama dengan Deperindag Sumatera Barat (hal 69-72).
Huraian di atas memberikan gambaran bahwa pesantren adalah institusi pendidikan yang sudah mulai membuka diri dan berorientasi kepada persiapan kemandirian santri dalam bidang ekonomi. Orientasi itu diimplementasikan dengan mengembangkan potensi yang dimiliki anak dan daerah guna membangun SDM Sumatera Barat yang berkualitas dan hanya dapat dicapai melalui kerjasama dengan instansi-instansi yang terkait.





III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari ketiga penelitian di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi dalam rangka mempersiapkan SDM Sumatera Barat ke depan.
1. Sekolah merupakan lembaga dan sekaligus lingkungan formal tempat anak belajar memahami dan mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung di sekolah mestilah bernuansa sensitif gender sehingga masing-masing anak dapat membangun dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Mengingat bias gender tersosialisasi melalui lebih banyak perlakuan guru di sekolah, di samping melalui buku teks (terutama buku teks SD/MIN), maka perlu dilakukan sosialisasi KKG di kalangan guru-guru di Sumatera Barat. Sesuai dengan kesimpulan ini maka dirumuskan rekomendasi sebagai berikut.
a. Dinas Pendidikan dan Depag Sumatera Barat bekerjasama dengan Biro PP Sumbar, PSW/Pusper, LKAM, LSM, Organisasi Perempuan, dan Para pakar melakukan pelatihan /penyadaran dan pendampingan tentang KKG untuk guru-guru di sekolah sehingga para guru dapat memberikan perlakuan yang responsif gender dalam PBM di sekolah.
b. Biro PP, PSW/Pusper, LKAM, LSM, dan Organisasi Perempuan perlu merumuskan dan mengagendakan program sosialisasi KKG di kalangan siswa di sekolah dalam bentuk permainan atau simulasi.
c. Dinas Pendidikan dan Depag Sumatera Barat bekerjasama dengan Biro PP Sumbar, PSW/Pusper, LKAM, LSM, Organisasi Perempuan, dan Para pakar mempublikasikan hasil-hasil penelitian dan menerbitkan buku-buku bacaan yang berwawasan gender.

2. Program wajib belajar 9 tahun di Sumatera Barat ternyata belum diikuti oleh semua anak dari seluruh penjuru Sumatera Barat. Hal ini dapat dicermati melalui berbagai indikator, di antaranya: banyaknya anak yang putus sekolah, kurangnya minat anak melanjutkan pendidikan ke SLTP, banyaknya anak usia sekolah yang produktif, dan masih membudayanya kawin dini di beberapa daerah di Sumatera Barat. Fenomena yang demikian itu pada dasarnya terjadi akibat minimnya dukungan masyarakat. Apresiasi masyarakat (keluarga) terhadap pendidikan anak yang rendah menjadi penyebab banyaknya anak yang usia sekolah yang tidak memperoleh pendidikan yang layak. Sesuai dengan kesimpulan ini maka dirumuskan rekomendasi sebagai berikut.
a. Dinas Pendidikan dan Depag Sumatera Barat bekerjasama dengan pemerintah nagari, tokoh masyarakat, dan Para pakar perlu merumuskan program sosialisasi terpadu tentang wajib belajar sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang wajib belajar kepada masyarakat.
b. Dinas Pendidikan dan Depag Sumatera Barat bekerjasama dengan PLS UNP perlu mendukung suksesnya program paket B bagi anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang SLTP atau anak putus sekolah dengan cara menyusun program peningkatan pelayanan program paket B dan kualitas tenaga PLS.
c. Dinas Pendidikan dan Depag Sumatera Barat bekerjasama dengan Biro PP Sumbar, PSW/Pusper, LKAM, LSM, Organisasi Perempuan, Para Pakar, Pemerintah Nagari merumuskan proram penyuluhan terpadu—terutama untuk masyarakat daerah tertinggal—guna meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat akan urgensi pendidikan dalam kehidupan dewasa ini.

3. Pesantren yang dapat dan telah melakukan bimbingan iptek di kalangan santrinya adalah pesantren yang terbuka dan telah bekerja sama dengan berbagai instansi (Binsospora, Dinas Perindustrian, BLK, dan Lembaga Kursus) di samping memperoleh bantuan dana dari Depag. Dengan demikian, tidak semua santri memiliki kemandirian di bidang ekonomi karena keahlian (skill) hanya diperoleh oleh sebagaian kecil santri. Mengingat pesantren dibangun atas dasar swadaya masyarakat dan santri adalah aset Sumatera barat, maka dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut.
a. Pesantren bekerja sama dengan Depag Sumatera Barat Binsospora, Dinas Perindustrian, BLK, dan Lembaga Kursus perlu merumuskan program pelatihan bimbingan iptek bagi guru sesuai dengan pengembangan pesantren.
b. Pesantren bekerja sama dengan Depag Sumatera Barat, Binsospora, Dinas Perindustrian, BLK, dan Lembaga Kursus perlu menyusun program pemberdayaan sosial ekonomi dan pengembangan teknologi sederhana di pesantren sesuai dengan potensi yang dimiliki pesantren dan daerahnya sehingga santri memiliki keterampilan dan mampu berkompetisi.

Referensi

Chumaedi. 2003. http://www.google.com.waspadaonline/membongkartradisi onalismependidikanpesantren).

Mutaliin, Achmad. 2001. Bias gender dalam pendidikan. Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Tilaar,H.A.R.2000. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Triana, Hetti Waluati dkk. 2003. ” Peningkatan kesetaraan gender melalui pendidikan dan pengajaran di sekolah”. Laporan Penelitian. Padang: Balitbang bekerja sama dengan Lemlit IAIN Imam Bonjol Padang.

Triana, Hetti Waluati, Jufri, dan Warnis. 2004. ” Efektivitas pelaksanaan wajib belajar di Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padang: Balitbang bekerja sama dengan Lemlit IAIN Imam Bonjol Padang.

Warnis dkk. 2004. ” Peningkatan kemandirian santri dalam bidang ekonomi melalui bimbingan iptek di pesantren”. Laporan Penelitian. Padang: Balitbang bekerja sama dengan Lemlit IAIN Imam Bonjol Padang.






Selengkapnya...

Manajemen Perpustakaan Hibrida

Oleh : Arwendria, S.Sos., M.Si (Dosen Prodi IIP)

Dalam makalah ini saya memulai dengan bermacam istilah yang digunakan oleh pakar perpustakaan dan informasi untuk menggambarkan suatu perpustakaan. Istilah-istilah yang muncul tersebut antara lain, perpustakaan konvensional atau tradisional (conventional/ traditional library), perpustakaan elektronik (electronic library), perpustakaan digital (digital library), perpustakaan hibrida (hybrid library), dan perpustakaan maya (virtual library).

Pendahuluan
Di antara istilah tersebut yang paling sering didengung-dengungkan adalah perpustakaan elektronik dan perpustakaan digital. Dalam beberapa pertemuan yang pernah saya ikuti, baik nasional maupun daerah, baik secara personal maupun lembaga, istilah perpustakaan elektronik selalu menjadi isu utama diskusi. Bahkan sering suatu diskusi menjadi membingungkan, ketika konsep otomasi perpustakaan melebar menjadi konsep perpustakaan elektronik. Terkadang, diskusi-diskusi sering tidak diakhiri dengan kesimpulan yang memuaskan tetang konsep perpustakaan elektronik. Pada kesempatan ini saya mencoba kembali mendiskusikan apa sebenarnya yang kita inginkan dari penerapan teknologi informasi untuk perpustakaan? Benarkah kita telah siap untuk mengembangkan perpustakaan elektronik, atau apakah pemakai kita telah menghendaki perpustakaan elektronik tsb?
Mencari konsep sebenarnya
Kita percaya bahwa saat ini adalah era teknologi informasi (TI). Kita selalu berlomba untuk menerapkan TI untuk berbagai bidang yang kita tekuni, termasuk perpustakaan. Dulunya, kita sudah bangga dengan penerapan otomasi pada perpustakaan kita. Secara perlahan kebanggan tersebut bergeser seiring berkembangnya TI. Namun, sudah seberapa banyak perpustakaan di Sumatera Barat ini yang telah mencoba mengaplikasikan otomasi untuk perpustakaannya? Jawabannya masih dalam hitung-hitungan belaka. Belum ada kajian yang jelas. Tetapi, kebanyakan yang telah mencoba (walau masih Trial & Error) adalah perpustakaan perguruan tinggi, dan Perpustakaan Daerah sendiri. Ada banyak pertimbangan untuk menerapkan TI untuk perpustakaan. Selain ketersediaan dana, kesiapan staf, dan pengetahuan awal terhadap aplikasi TI untuk perpustakaan masih menjadi keraguan. Walau demikian, kita para pustakawan atau yang bekerja di perpustakaan selalu dituntut untuk memberikan jasa yang terbaik untuk pemakainya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan TI untuk “menyemarakkan” jasa perpustakaan. Eforia perpustakaan elektronik telah menggugah para pustakawan untuk mengaplikasikannya. Kita bisa membayangkan betapa ringan dan mudahnya pekerjaan pustakawan apabila menerapkannya. Tetapi, terkadang kita sendiri masih sulit berpikir untuk memulainya dari mana. Pertanyaannya adalah apa yang seharusnya kita lakukan untuk mewujudkan perpustakaan elektronik tersebut? Perpustakaan elektronik menurut Pinfield (2001) adalah perpustakaan yang menyediakan koleksi dan sumber-sumber informasi dalam bentuk digital atau jaringan digital yang digunakan untuk kegiatan teknis dan infrastruktur manajerial, termasuk data atau metadata dalam berbagai format yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemakai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penerapan perpustakaan elektronik membawa implikasi terhadap staf perpustakaan sendiri. Berikut ini dijelaskan peran dan keahlian yang dibutuhkan pustakawan perpustakaan elektronik.
Peran
• Multi-media user – mampu memahami berbagai macam format media
• Intermediary – memiliki pengetahuan yang baik terhadap sumber-sumber informasi dan kebutuhan pemakai
• Enabler – bersikap proaktif dalam mencari informasi yang dibutuhkan pemakai
• Metadata producer – mampu menciptakan sumber-sumber informasi dalam berbagai format dan media
• Communicator – mampu berkmonukasi dengan pemakai, baik secara formal maupun secara informal
• Team player – mampu bekerja dalam tim, termasuk tim TI dan akademisi
• Trainer / educator – mampu memberikan pengetahuan dan mengajarkan keahlian memperoleh informasi kepada pemakai
• Evaluator – mampu menentukan informasi yang bernas kepada pemakai
• Negotiator – melakukan pertemuan dan negosiasi dengan penerbit dan supplier
• Innovator – mampu secara aktif mengembangkan layanan perpustakaan
• Fund-raiser – mampu memperoleh atau meyakinkan lembaga induk untuk pendanaan perpustakaan
Keahlian
• Profesional
• Teknis dan TI
• Fleksibelitas
• Kemampun bekerja dalam tekanan
• Kemampun belajar cepat
• Komunikasi
• Negosiasi
• Presentasi
• Mengajar
• Bekerja dalam TIM
• Customer service
• Kemampun berpikir secara analitis dan evaluatif
• Spesialisasi Subject
• Memiliki Visi Apa yang dikemukan oleh Pinfield di atas masih sebatas kesiapan staf dalam menghadapi perpustakaan elektronik.
Sedangkan Rusbridge (1998) memberikan gambaran umum tentang perpustakaan elektronik tersebut seperti di bawah ini. Penerbitan elektonis Jurnal elektronik the Internet memainkan peranan penting Pre-prints & grey literature Kebanyakan tidak gratis Jaminan mutu kualitas bukan pilihan murah Digitisation and images digitisation mahal; ukuran gambar sangat tergantung dari penciptanya. Belajar mengajar On demand publishing & electronic reserve Masalah hak cipta Akses ke sumber-sumber informasi Akses ke jaringan informasi Kualitas adalah biaya, tetapi pemakai menghendaki kualitas Penyebaran dokumen Jasa baru sulit diterapkan; sementara system baru belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas Supporting studies human systems resist change Pelatihan manusia, bukan teknologi Sementara sebagian besar kita (walau riset terhadap peran pustakawan di Sumatera Barat relatif tidak ada) masih dalam paradigma perpustakaan lama (konvensional), dimana pustakawan adalah “penjaga buku.” Disisi lain, seperti yang dijelaskan oleh kedua pakar tersebut bahwa pengembangan perpustakaan elektronik membutuhkan persayaratan-persayaratan tertentu. Kalau demikian, pertanyaannya adalah masihkah kita berhasrat mengembangkan perpustakaan elektronik? Sebenarnya apapun resikonya, pustakawan harus tetap optimis mampu mewujudkan perpustakaan elektronik. Di satu sisi, kemajuan TI harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan jasa perpustakaan. Di sisi lain, perpustakaan yang sudah ada tidak perlu diberangus menjadi elektronik. Pustakwan tidak harus mengalihmediakan semua koleksinya ke dalam format digital karena membutuhkan biaya yang relatif mahal. Selain itu, pemakai belum tentu semuanya nyaman dengan media digital. Pustakawan tidak harus mem-publish semua koleksinya ke Pangakalan data Internet. Cukup koleksi tertentu saja. Pustakawan tetap mempertahankan perpustakaan konvensionalnya, namun diperkaya dengan jasa elektronis. Konsep ini lebih dikenal dengan perpustakaan hibrida.
Perpustakaan Hibrida
Mungkin bagi kita di Indonesia, istilah perpustakaan hibrida masih asing terdengar di telinga kita bila dibandingkan dengan istilah perpustakaan elektronik. Kita lebih sering mengenal istilah hibrida dalam bidang pertanian, khususnya tanaman, seperti kelapa hibrida. Padahal istilah tersebut sudah diperkenalkan sekitar sepuluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 1998 oleh Chris Rusbridge. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan perpustakaan hibrida itu sendiri? Menurut beberapa sumber, seperti Rusbridge (1998); Breaks (2001) Oppenheim (2007); dan Wikipedia (2007); perpustakaan hibrida merupakan perpaduan antara perpustakaan konvensional dengan perpustakaan elektronik atau digital, dimana sumber-sumber informasi elektronis dan tercetak digunakan untuk mendukung satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, perpustakaan hibrida merupakan titik tengah antara perpustakaan tradisional dengan perpustakaan elektronik. Namun, pendapat ini terpecah menjadi dua, dimana satu pihak beranggapan bahwa perpustakaan hibrida hanya merupakan model pengembangan perpustakaan masa depan, sedangkan pihak lain beranggapan bahwa perpustakaan jenis ini merupakan tahap transisi sebelum suatu perpustakaan mengembangkan perpustakaan elektronik. Istilah perpustakaan hibrida lebih ditujukan pada cara perpustakaan melaksanakan fungsinya di masa yang akan datang, seperti yang banyak dilakukan oleh Negara-negara berkembang. Perpustakaan jenis ini dapat dikembangkan pada tingkat local, nasional, maupun internasional. Bahkan satu perpustakaan dapat berperan dalam tingkatan tersebut. Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan perguruan tinggi saat ini secara tidak sadar dan langsung telah mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini. Hanya saja hal itu masih kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep perpustakaan hybrid ini tidak bisa dipisahkan. Artinya antara pengembangan resources dalam bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan pengembangan resources “digital/ elektronik”. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber yang berupa buku dengan sumber-sumber yang dapat diakses secara elektronik/digital. Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi. Jadi dalam perpustakaan hybrid ini, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik atau virtual, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus dapat menerapkan konsep perpustakaan hybrid ini secara lebih “benar” sehingga pengembangan perpustakaan lebih terarah dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan terkesan hanya mengikuti trend belaka. Harapan Pemakai Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa apakah pemakai benar-benar telah membutuhkan layanan perpustakaan secara elektronik? Kalau benar, apa yang mereka inginkan dengan penerapan TI untuk perpustakaan? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HeadLine tahun 1998 terhadap harapan pemakai London School of Econimcs, The London Business School, dan University of Hertsfordshire dengan diterapkannya perpustakaan hibrida pada perpustakaan perguruan tinggi tersebut disimpulkan bahwa pemakai membutuhkan: 1. One stop shopping dan electronic full-text. Pemakai menginginkan sumber informasi yang mereka butuhkan tersedia dalam bentuk teks lengkap. Mereka tidak menghendaki perpustakaan hanya sekedar menyediakan cantuman bibliografi saja, sedangkan bentuk teks lengkapnya tersedia pada pangkalan data lainnya. 2. Mampu melakukan penelitian secara mandiri. Biasanya pemakai cendrung mengikuti dan mencari daftar pustaka yang ada pada suatu artikel atau dokumen yang sedang mereka baca. Mereka menghendaki link dengan sumber informasi tersebut. 3. Akses dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak selalu betah belajar di perpustakaan. Mereka terkadang lebih suka menghabiskan waktu di rumah atau di mana saja untuk mengerjakan tugas-tugas yang sedang mereka kerjakan. Untuk ini, pemakai tentu harus memiliki seperangkat computer yang telah tersambung dengan internet. Jasa seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemakai. 4. Nilai tambah. Pemakai sering membutuhkan informasi lanjut dari perpustakaan. Tidak semua pemakai suka bertanya langsung kepada pustakawan. Untuk itu, mereka membutuhkan sarana bertanya yang tersedia dalam format on-line atau lebih dikenal dengan FAQs (Frequently Asked Questions).
Langkah Awal
Berdasarkan harapan pemakai di atas, maka yang perlu dilakukan oleh suatu perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan hibrida antara lain: 1. Membangun pengakalan data Langkah pertama yang mesti dilakukan oleh perpustakaan adalah membangun pangkalan data bibliografi. Untuk itu, perpustakaan harus mengaplikasikan perangkat lunak khusus perpustakaan yang sesuai dengan standar penyelenggaran perpustakaan. Saat ini telah banyak beredar perangkat lunak khusus tersebut, seperti CDS-ISIS/Win-ISIS, SIAP, Caspia4Win, NCI Bookman, dll. Pangkalan data tersebut kemudian dapat dikembangkan dalam suatu jaringan yang digunakan oleh pemakai sebagai media penelusuran koleksi atau yang lebih dikenal dengan Online Public Access Catalog (OPAC). 2. Membangun jaringan Agar pangkalan data tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemakai dan terhubung dengan bagian lain di perpustakaan, maka perlu dibangun jaringan lokal (LAN). Seberapa banyak titik (node) yang akan dibuat, sangat tergantung dari kebutuhan perpustakaan yang bersangkutan, misalnya jumlah terminal untuk OPAC, sirkulasi, dll. Selain jaringan local, perpustakaan harus membangun jaringan internet yang akan digunakan untuk mengakses informasi, mengembangkan jaringan kerjasama secara elektronis, baik local, nasional, maupun internasional. 3. Mengembangkan sistem peminjaman secara elektronis Pemakai, begitupun pustakawan sangat membutuhkan suatu sistem peminjaman yang cepat, tepat, dan akurat. Keinginan tersebut hanya dapat tercapai apabila perpustakaan telah menerapkan system peminjaman secara elektronis. Yang perlu dipahami adalah system peminjaman tersebut harus terintegrasi dengan system yang lainnya. Selain itu, seluruh koleksi perpustakaan atau koleksi tertentu harus diberi kode khusus yang dapat dibaca mesin pemindai atau yang lebih dikenal dengan barcode. 4. Merancang website perpustakaan Pemakai menginginkan akses dari mana saja dan kapan saja. Secara fisik, perpustakaan kesulitan membuka layanan perpustakaan 24×7. Namun, TI mampu menggantikan peran tersebut dengan membangun suatu website perpustakaan yang dapat diakses pemakai kapan saja dan dari mana saja. Pemakai dapat menelusur informasi apa saja yang dimiliki oleh perpustakaan, mengunduh (download) informasi tertentu dalam bentuk teks utuh, memesan koleksi, dll. Perlu diingat bahwa website yang dibangun harus terintegrasi dengan system yang telah dibangun sebelumnya. 5. Alihmedia (mengkonversi koleksi tertentu dari tercetak menjadi digital) Alihmedia merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar. Perpustakaan harus selektif melakukan alihmedia koleksinya. Untuk langkah awal, perpustakaan harus mempertimbangkan koleksi unik yang mereka miliki. Maksud unik disini adalah kemungkinan koleksi tersebut tidak semua perpustakaan memilikinya. Kesimpulan Perpustakaan hibrida merupakan masa transisi sebelum memasuki perpustakaan elektronik dengan melakukan digitalisasi sumber-sumber informasi, dan membangunan jaringan local dan internet. Pengembangan perpustakaan ini perlu direncanakan seoptimal mungkin agar harapan pemakai terhadap jasa perpustakaan yang cepat, tepat, ramah, dan mutakhir dapat terselenggara dengan baik. Seharusnya, pengembangan perpustakaan hibrida dilakukan oleh perpustakaan daerah, terutama penyediaan perangkat lunak yang dapat digunakan oleh seluruh perpustakaan yang berada di bawah binaannya, sehingga kerjasama antar perpustakaan akan lebih mudah terbangun.
Daftar Bacaan
Hampson, Andrew. The Impact of the Hybrid Library on Information Services Staff. Education On-Line. Centre for Information Research and Training, University of Central England. 14 January 1999. Sumber: http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001266.htm. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Holt, Glen E., Larsen Jens Ingemann, van Vlimmeren, Ton. Customer Self Service in the Hybrid Library. Bertelsmann Foundation. 2002. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Michael Breaks. The eLib Hybrid Library Projects. Ariadne Issue. 28 22-June-2001. Sumber: http://www.ariadne.ac.uk/issue28/hybrid/intro.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Nankivell, Clare. The Hybrid Library and University Strategy. Education On-Line. Centre for Information Research and Training, University of Central England. 16 January 1999. Sumber: http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001267.htm. Diakses pada tanggal 08 August 2007
National Library of Scotland. Building The ‘Hybrid Library.’ 2000. Diakses pada tanggal 08 August 2007 Oppenheim, Charles and Daniel Smithson. What is the hybrid library? Loughborough University, UK. Sumber: http://jis.sagepub.com/cgi/content/abstract/25/2/97. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Pinfield, Stephen …[et.al]. Realizing the Hybrid Library. D-Lib Magazine. October 1998. Sumber: http://dlib.ukoln.ac.uk/dlib/july98/rusbridge/07rusbridge.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Rusbridge, Chris. Towards the Hybrid Library. D-Lib Magazine. July/August 1998. Sumber: http://www.dlib.org/dlib/july98/rusbridge/07rusbridge.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Surachman, Arif. Perpustakaan Perguruan Tinggi menghadapi Perubahan Paradigma Informasi. Diakses pada tanggal 08 August 2007 Wikipedia. Hybrid library. http://en.wikipedia.org/wiki/Hybrid_library. Diakses pada tanggal 08 August 2007


Selengkapnya...