Senin, 23 Maret 2009

Surau Melayu : Pertumbuhan Surau di Minangkabau Pra-Paderi

Oleh : Drs. Firdaus Dt. Sutan Mamad, M.Ag

Di surau pertama kali dicetak para ulama di Minangkabau, kemudian dari surau ini menyebar para ulama dan mendirikan surau baru di beberapa wilayah Minangkabau. Dengan sistem pendidikan yang diterapkan di surau, maka Islam dapat berkembang sampai ke pelosok daerah Minangkabau. Kemudian ada keinginan dari sebahagian ulama untuk menerapkan hukum Islam secara benar dan dipengaruhi oleh paham Wahabi di satu pihak dan di pihak lain kaum adat tidak mau meninggalkan kebiasaan adat dan tradisi yang mereka pakai selama ini. Ini menimbulkan gejolak yang akhirnya menimbulkan gerakan Padri dan mengkristal menjadi Perang Padri. Peristiwa ini membawa kemunduran terhadap perkembangan surau sebagai lembaga pendidikan.

A. Pendahuluan

Artikel ini diberi judul Surau Melayu, karena istilah surau hanya berkembang di wilayah Melayu, seperti Minangkabau, Malaysia, Patani (Thailand), Brunai Darussalam, Morro (Philipina), Singapura dan sebagainya. Pada artikel ini dibahas khusus pertumbuhan surau pada periode awal ( abad ke 17 M di Minangkabau) sampai pada masa kebangkitan Gerakan Padri, karena sekarang surau sebagai lembaga pendidikan utuh tidak ditemukan lagi di kawasan Melayu. Fungsi surau sekarang sudah semangkin sempit, hanya sebagai tempat shalat, belajar mengaji dan mendengarkan ceramah agama (dakwah agama).
Para sejarawan masih belum sepakat dalam mengartikan istilah surau dan asal usulnya. Azyumardi Azra mengatakan, surau berasal dari bahasa Melayu- Indonesia dan kontraksinya "suro", artinya "tempat" atau "tempat penyembahan". Pada awalnya surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek moyang. Pada tahap awal ini surau dibangun di tempat-tempat tinggi, seperti puncak bukit. Setelah masuk Islam, tidak terjadi perubahan nama, namun surau dibangun di tempat-tempat pemukiman penduduk, sementara surau lama yang di puncak bukit lama-kelamaan ditinggalkan orang.(Azyumardi Azra, 1999: 117) Menurut Kroeskamp, tradisi surau sebagai lembaga pendidikan berawal dari tradisi pembuatan biara yang dilakukan oleh Adityawarman. Salah satu biara yang didirikannya pada tahun 1386 sebagai tempat orang-orang muda mempelajari adat yang sakral dan agama Budha serta untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, terdapat di Saruaso. Kata "Saruaso" berasal dari dua kata, yaitu surau dan aso yang artinya surau pertama. ( Kroeskamp,1931:92 ). Azyumardi Azra menginformasikan tahun yang berbeda yakni 1356 di kawasan Bukit Gombak. Akan tetapi masalah perbedaan tahun ini tidak terlalu mencolok. Barangkali dari tradisi biara yang dibangun oleh Aditiyawarman (mengajarkan agama dan adat serta tempat musyawarah) inilah orang Minangkabau menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan. Yakni tempat mengajarkan adat istiadat, tempat musyawarah dan juga tempat menyembah arwah nenek moyang mereka. Setelah masuk Islam, tradisi sebagai tempat mendalami ilmu agama tetap dilanjutkan, yaitu agama Islam dan juga tempat mengajarkan adat Minangkabau serta sebagai tempat musyawarah dan bahkan sebagai tempat tidur bagi pemuda sambil menimba ilmu pengetahuan.

Berbicara tentang kelembagaan Pendidikan Islam di Minangkabau pada masa awal, merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Minimal ada empat alasan, yaitu: Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Dalam lintas sejarah, kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil yang sangat besar bagi pengembangan ajaran yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadis. Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam di Minangkabau yang bernuansa mistis (tarekat), dan mengalami aktualisasi dengan budaya lokal (adat). Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah komunitas, tidak mengalami ruang hampa, akan tetapi senantiasa dinamis, baik dari fungsi maupun sistem pembelajarannya. Keempat, kehadiran lembaga pendidikan Islam, telah memberikan spektrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual umat Islam. ( Samsul Nizar, 2005: 68-69 ) Di samping itu, surau di Minangkabau sudah banyak melahirkan ulama besar yang tidak hanya berkeliber nasional, tetapi malah berkeliber internasional, seperti Syekh Burhanuddin, Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Renceh, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Tuanku Imam Bonjol, Syekh Ar-Rasuli dan sebagainya.

Pada masa awal Islam, surau di Minangkabau mempunyai multi fungsi. Tidak hanya sebagai tempat ibadah khusus (shalat) saja, tetapi juga sebagai tempat tidur dan berkumpulnya pemuda, dan bahkan tempat tidur orang tua (yang sudah menduda), tempat "mengaji", tempat musyawarah, tempat berlatih silat dan sebagainya..
Informasi tentang surau pada masa awal memang sedikit, sehingga sering terlupakan oleh para sejarawan. Oleh karena itu tulisan ini berusaha melacak akar pertumbuhan dan perkembangan surau di Minangkabau, sebagai lembaga pendidikan Islam pada masa awal hingga munculnya gerakan Padri. Pelacakan ini bertujuan untuk menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Minangkabau dalam hubungannya dengan kebangkitan Padri. Dalam melacak informasi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis, dengan menggunakan sumber kepustakaan (library rissearch).

B. Awal Pertumbuhan Surau di Minangkabau.

Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau, bahkan sebelum Islam masuk ke Minangkabau surau sudah ada, sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas. Dengan datangnya Islam , surau juga mengalami proses Islamisasi, tanpa harus mengalami perubahan nama. Selanjutnya surau semakin berkembang di Minangkabau. Di samping fungsinya sebagai tempat beribadah (shalat), tempat mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis serta ilmu lainnya, juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat tidur bagi pemuda yang mulai remaja dan bagi laki-laki tua yang sudah bercerai. Dalam perkembangan selanjutnya surau juga tempat singgah bagi para perantau. ( Abuddin Nata, 2001:8; Christine Dobbin, 1992:142. Ini barangkali sudah merupakan aturan yang berlaku di Minangkabau, karena di rumah orang tuanya tidak disiapkan kamar untuk anak laki-laki remaja atau duda, maka mereka bermalam di surau. Hal ini secara alamiah menjadi sangat penting, karena dapat membentuk watak bagi generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis.
Setelah Islam berkembang, arsitektur bangunan surau di Minangkabau masih terpengaruh oleh budaya dan kepercayaan setempat. Misalnya, puncak bangunan surau ada yang bergonjong. Ini sebagai refleksi dari kepercayaan mistis tertentu dan belakangan sebagai lambang adat Minangkabau. (Azyumardi Azra, 1999: 117)
Dengan berkembangnya lembaga pendidikan surau ini, terjadi transformasi ilmu pengetahuan dan budaya terhadap pemuda-pemuda Minang. Ilmu yang didapatkan di surau ini tidak hanya ilmu agama saja, tetapi juga ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengetahuan adat, ilmu bela diri, sopan santun, kemandirian dan sebagainya. Surau ini walaupun ada yang berbentuk masjid, tetapi tidak sama dengan masjid. Surau di Minangkabau tidak dilakukan shalat Jum'at padanya, sementara untuk shalat Jum'at dilaksanakan di masjid. Di Malaysia fungsi surau agak kabur. Ada juga surau yang digunakan untuk shalat Jum'at, disebut surau besar dan ada juga surau yang hanya sebagai tempat mengaji dan shalat lima waktu dan tidak untuk dilaksanakan shalat Jum'at, disebut dengan surau kecil. ( Ibid, : 118).


C. Fungsi Surau
1. Surau Berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau

Pada awalnya surau merupakan tempat mengajar anak-anak dan para remaja untuk memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. (Samsul Nizar,2005:71) Syekh Burhanuddin mendirikan surau bukan hanya untuk tempat shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah. Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi untuk dikembangkan.
a. Metode Pembelajaran
1) Metode Keteladanan
Syekh Burhanuddin memakai berbagai metode pembelajaran di suraunya. Ada metode yang unik dilakukannya, sebagaimana yang tulis pada kitap Muballighul Islam sewaktu Syekh Burhanuddin mengajarkan Basmallah pada permainan tondih dengan damar keras, sebagai berikut:
" Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu, tetapi tatkala memulai menggandakan (melempar) damar itu, beliau membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan. Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau, ya Tuan Syekh, apakah doanya yang tuan baca tatkala menggandakan (melempar) gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya. Boleh saja kata Syekh Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu Bismillah, "dengan tolong Allah". Itulah yang mula-mula beliau ajarkan kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula, kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu al-Rahman al-Rahim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lemah lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsur-angsur, begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu beliau rubah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak mereka masing-masing… (Imam Maulana Abdul Manaf, 1935: 107).

Dari informasi ini dapat kita ketahui bahwa Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam dengan metode keteladanan dengan secara lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan kekerasan. Ia memberikan nilai-nilai Islam terhadap permainan anak-anak dan remaja. Hal ini membuat orang tertarik untuk masuk Islam dan belajar kepadanya. Tidak hanya itu, mereka yang sudah belajar kepada syekh Burhanuddin juga menjadi penyiar agama Islam. Kemana saja mereka pergi, ke tempat perhelatan, tempat jual beli selalu mereka menyiarkan agama Islam. Termasuk di antara muridnya yang berperan besar dalam mengembangkan surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat orang Tuanku yang terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek. Penulis belum menemukan informasi siapa nama-nama yang dimaksud dengan Urang Ampek Angkek ini. Oleh karena itu bertambah ramailah anak-anak diserahkan orang tua mereka belajar ke surau Syekh Burhanuddin, tidak hanya anak-anak Tanjung Medan saja, bahkan berdatangan dari kampung-kampung di luar dari Tanjung Medan. Lama- kelamaan surau Syekh Burhanuddin ini ramai dikunjungi oleh para pemuda berbagai nagari di Minangkabau ini.
2) Metode Sorogan
Dalam mengajarkan ilmu keagamaan di surau, guru menggunakan metode sorogan, yaitu murid secara perseorangan dengan guru atau juga dikenal dengan metode individual.
3) Metode halaqah
Halaqah artinya seorang guru atau syekh dalam memberikan pelajarannya dikelilingi oleh muridnya atau disebut juga dengan metode kolektif.
4) Metode Ceramah
Pada metode ceramah ini, syekh berceramah di hadapan murid-muridnya, terutama untuk materi akhlak. Untuk mengajarkan materi akhlak ini syekh menceritakan kisah-kisah para nabi dan orang-orang saleh.
5) Metode Hafalan
Metode hafalan ini dipakai puntuk mengajarkan huruf Hijaiyah, ilmu nahwu, sharaf, tafsir, sifat dua puluh dan sebgainya. Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu.
Apabila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kelemahannya, kemampuan dalam memahami dan daya analisis kritis siswa terhadap teks kurang. Barang kali di sini letak kekeliruan dalam metode pendidikan pada era awal ini, sehingga mereka banyak yang membaca dan menghafal isi suatu kitab, tetapi dia tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya. Beranjak dari pengalaman ini, barangkali untuk metode pendidikan yang akan datang perlu perpaduan metode pendidikan surau ini dengan metode pendidikan modern, yakni perpaduan metode ceramah, hafalan, diskusi, keteladanan dan sebagainya.
b. Penjenjangan dan Kurikulum Pendidikan Surau
Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Menurut Samsul Nizar, ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
1. Pengajaran al-Qur'an.
Untuk mempelajari al-Qur'an ada dua macam tingkatan.
a. Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, juga dipelajari cara beruduk dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal , keimanan –terutama sifat dua puluh- dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
b. Pendidikan atas, yaitu pendidikan membaca al-Qur'an dengan lagu, qasidah, bezanji, tajwid, dan kitab Parukunan.
Lama pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian al-Qur'an.
2. Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari. (Samsul Nizar, 2005:73-74)
Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari Timur Tengah baru berbagai referensi digunakan (Ibid: 75) Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab daru dari Arab, Mesir dan sebagaiya.


c. Sistem Pengkaderan Murid untuk Menjadi Guru
Oleh karena sudah banyak murid-murid di surau ini maka dilakukan pengkaderan terhadap murid-murid yang senior. Dimana murid-murid yang agak senior (telah menamatkan ilmu fiqh dan tafsir) diangkat sebagai guru bantu (kader) pada surau tersebut dalam jangka waktu tertentu. Apabila guru bantu tersebut dianggap mampu mandiri, baik dalam penguasaan materi ataupun memecahkan masalah yang terdapat dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku mudo), kemudian guru tuo dan kemudian tuanku. Di sini baru dia memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah dia mempunyai otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama barulah dia dibolehkan pulang ke kampung halamannya untuk mendidirkan surau baru.(Ibid).

2. Surau Berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan Tarekat.

Surau setelah berubah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam dan tarekat, maka surau terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama di Minangkanbau memiliki surau tersendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan dan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukan bentuk tarekat yang diatur oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. (Ibid:76). Pada era ini surau susah membedakan antara tempat praktek tarekat dengan surau sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman.
Melalui pendekatan tarekat Satariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan berbagai pendekatan dan kesederhanaan syekh menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya. Pada tahap awal Syekh Burhanuddin langsung menyampaikan pelajaran kepada muridnya, tetapi setelah muridnya bertambah banyak syekh mengangkat muridnya yang senior sebagai guru tuo dan murid yang pintar membantunya (guru mudo). Tugas guru tuo ini untuk memberi pelajaran kepada murid-murid secara terperinci setelah syekh menyampaikan pelajaran secara umum dan guru tuo sekaligus mengawasi murid-murid dan memotivasiny untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hafalan mereka terhadap pelajaran. Sebelum guru tuo ini betul-betul bisa mandiri, dia dilatih untuk membimbing murid-murid pada sebuah surau di sekitar surau induk tersebut. Setelah dia berhasil mandiri baru dia diangkat sebagai Tuanku. Setelah itu baru dia dibolehkan kembali ke kampung halamannya. Tuanku ini nanti mendidikan surau pula di kampung halamannya, maka berkembang Islam dan ajaran tarekat Satariyah di Minangkabau ini. Sudah banyak pengikut ajaran tarekat Satariyah, mereka tersebar di berbagai wilayah Minangkabau. Di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang terkenal adalah Syekh Idris, Syekh Abdul Rahman, Syekh Chairuddin, Syekh Jalaluddin, Syekh Adul Muksin, Syekh Hasan, Syekh Chalidin, Syekh Habibullah, Syekh Sultan Khusa'I, Syekh Djakfar, Syekh Muhammad Sani, Syekh Bosai dan Tuanku Bermawi.


Pada era ini surau merupakan sentra tarekat di Minangkabau. Banyak terdapat sentra-sentra tarikat di Minangkabau. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman merupakan sentra utama Tarekat Satariyah. Surau Baru, Koto Panjang, nagari Koto Tangah, merupakan sentra Tarekat Satariyah di Padang. Gurunya adalah Syekh Muhammad Nasir yang mempunyai otoritas dibidang ilmu tafsir. Dia merupakan murid Syekh Abdur Rauf Singkel Aceh dan seangkatan dengan Syekh Burhanuddin. Kemudian surau baru, koto Hilalang Bungus, juga merupakan sentra Tarekat Satariyah di Padang, gurunya adalah Tuangku Khatib Simpang Tigo pada tahun 1876 M. Di Luhak Tanah Datar sentra Tarekat Satariyah adalah surau Syekh Abdul Satar. Di Solok sentra Tarekat Satariyah adalah surau Syekh Supayang di Supayang. Syekh Supayang merupakan murid Syekh Abdur Rauf Singkel, Aceh dan seangkatan dengan Syekh Burhnuddin. Di Sijujunjung sentra Tarekat Satariyah adalah di surau Tinggi Calau, gurunya adalah Syekh Abdul Wahab Calau (1842-1932) dan sentra-sentra lain yang tidak tersebutkan dalam artikel ini.
Sentra Tarekat Naqsyabandiyah terdapat di surau Pintia Kayu, Alahan panjang, gurunya Syekh Abdul Latif (1808 M). Di Payakumbuh, sentra Tarekat Naqsyabandiyah surau Batu Hampar, gurunya adalah Syekh Abdur Rahman. Di Tanah Datar sentra Tarekat Naqsyabandiayah adalah surau Syekh Ismail Simabua. Di Pesisir Selatan sentra Tarekat Naqsyabandiyah adalah surau Syekh Muhammad Dalil di Bayang. Di Pasaman sentra Tarekat Naqsyabandiyah surau Syekh Muhammad Yamin di Lubuk Landua. Di Padang sentra Tarekat Naqsyabadiyah Surau Syekh Khatib Ali di Parak Gadang. (Firdaus,dkk., 2000).
Di Minangkabau ajaran tarekat ini mempunyai daya tarik tersendiri, seperti kesederhanaan pengikutnya, pendekatannya persuasif (tidak dengan kekerasan), gurunya banyak yang "keramat", sehingga tarekat mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun demikian tarekat juga mempunyai kelemahan, seperti ada yang tidak melarang praktik-praktik singkretis yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Seperti pelaksanaan adat yang bercampur baur dengan khurafat dan bid'ah. Contohnya menyabung ayam, berjudi, memakar kemenyan waktu berdoa, percaya pada ajimat dan sebagainya.
Akan tetapi ada juga guru tarekat yang melarang perbuatan yang bertentangan dengan agama, sering dilakukan oleh kebiasaan orang Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan sebagainya. Guru tarekat tersebut adalah Syekh Abdur Rahman dari surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdur Rahman berupaya menyadarkan masyarakat dengan memakai metode persuasif, yakni dengan bersama-sama para ulama, pemuka adat untuk mengajak masyarakat meninggalkan praktek adat yang bercampur dengan khurafat dan bid'ah. (Samsul Nizar, 2005:79)
Dengan cara ini dia, berhasil menyadarkan masyarakat. Keberhasilan ini membuat surau yang didirkan oleh Syekh Abdur Rahman menjadi ramai dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah, bahkan tidak hanya masyarakat Minangkabau saja yang belajar di sini, tetapi juga dari Jambi, Palembang, Bangka dan sebagainya. Syekh Abdur Rahman mempunyai otoritas di bidang qira'ah. Syekh Abdur Rahman merupakan seorang qari yang mula-mula pandai mengucapkan huruf Al-Qur'an dengan baik dan tepat serta dengan lagu Al-Qur'an yang merdu. (Ibid)
3. Surau Berfungsi sebagai Lembaga Sosial
Sebagai lembaga social, surau merupakan pusat pertemuan para pemuda dalam upaya sosialisasi diri dengan lingkungan untuk menumbuhkan kemandirian ketika mereka telah dewasa. Sebab apabila pemuda itu telah berkeluarga kedudukannya hanya sebagai tamu di rumah istrinya. ( Abduddin Nata, 2001: 58)

D. Strategi Guru, Murid dan Masyarakat dalam Mengupayakan Biaya Pendidikan Surau

Murid dalam menuntut ilmu di surau tidak dipungut bayaran apapun, termasuk uang sekolah, uang asrama, atau uang makan. Oleh karena itu murid yang disebut juga dengan orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh, walaupun ada diberikan pihak keluarga dengan ikhlas.
Untuk biaya hidup bagi murid (orang siak) berasal dari masyarakat kampung yang berada di sekitar surau tersebut. Biasanya dijemput sendiri oleh murid atau diantar oleh masyarakat sekitarnya. Dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak, masyarakat kota yang berdekatan dengan surau juga ikut berpartisipasi. Misalnya jasa masyarakat Pariaman terhadap murid-murid syekh Burhanuddin di Ulakan, masyarakat kota Payakumbuh terhadap murid-murid yang belajar agama di Parabek dan sekitarnya.
Setiap hari Minggu masyarakat mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya dengan pedati. Orang siak (murid) yang datang dari negeri jauh biasanya setiap hari Kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar surau dengan membawa buntil (kantong beras seperti karung terigu), dan sore harinya mereka kembali dengan buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu. (Azyumardi Azra, "Surau di Tengah Kritris…,1985:161)
Masyarakat memberikan zakat, sadaqah, infaq dan sebagainya kepada murid-murid (orang siak atau pakiah) dan bahkan kepada syekh yang mengajar dan memberi ceramah di surau tersebut. Masyarakat senang memberikan sedeqah, infaq dan berzakat kepada syekh atau murid-murid surau, karena mereka butuh bimbingan dan syekh dan waktu-waktu tertentu mereka memanggil syekh atau orang siak untuk berdo'a di rumah mereka.
Masyarakat mau berzakat kepada murid-murid surau (orang siak/pakiah), karena pakiah ini termasuk dalam golongan asnaf yang delapan . Yakni orang-orang yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir atau pakiah dalam istilah Minangkabau. Di samping itu mereka membutuhkan pakiah/ orang siak ini untuk mengajar anak-anak mereka mengaji dan berdo'a serta untuk upacara-upacara keagamaan di nagari mereka.

E. Surau dan Munculnya Gerakan Padri.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Syekh Abdur Rahman berhasil menyadarkan masyarakat di daerah Payakumbuh, tetapi di daerah Agam, malah sebaliknya. Tuanku Nan Tuo dengan murid-muridnya yang punya otoritas keilmuan fiqh, lebih menekankan agar syariat harus diamalkan oleh masyarakat yang sudah beragama Islam. Masyarakat yang sudah mengkristal kebiasaan menyabung ayam, berjudi, merampok, mencuri dan sebagainya, sulit untuk disadarkan bahkan mereka melakukan protes dengan berbuat sewenang-wenang terhadap yang dilarang agama tersebut. Hal inilah yang membuat Tuanku Nan Tuo melakukan gerakan pemurnian, membersihkan masyarakat dari khurafat, tahayul dan bid'ah tersebut dan mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Sikap Tuanku Nan Tuo dengan otoritas fiqh-nya membuat dia bersikap keras. Barangkali sikap inilah yang mendorong Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya melakukan aktivitas jihad fi sabilillah (berjihad pada jalan Allah /untuk menegakkan agama Allah). Sikap antara kaum adat yang ingin mempertahankan tradisi lamanya yang khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis dengan sikap Tuanku Nan Tuo dan para ulama yang ingin membersihkan amalan masyarakat dari khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis ini menimbulkan polemik keagamaan yang lama kelamaan semakin meruncing. Hal ini ditambah lagi setelah kembalinya para ulama Minangkabau dari Mekkah pada awal abad ke 19 M. yaitu Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang. Polemik ini semakin mengkristal, sehingga para ulama yang ingin memurnikan ajaran Islam memakai atribut pakaian putih dan kaum adat dan termasuk ulama yang tetap mempertahankan adat yang bercampur dengan khurafat, tahayul, bid'ah dan singkritis memakai pakaian hitam-hitam. Sikap-sikap ini yang memicu munculnya gerakan Padri.
Gerakan Padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Pada mulanya gerakan Padri ini, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo ingin menerapkan syari'at Islam secara murni, tetapi mendapat reaksi oleh kaum adat. Ini membuat Tuanku Nan Tuo beserta murid-muridnya menjalankan dakwahnya dengan keras bahkan mereka turun ke masyarakat untuk melarang orang melakukan judi, menyabung ayam, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan datangnya 3 orang haji dari Mekkah pada tahun 1803 yang melihat bagaimana kaum Wahabi dalam memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan perbuatan tahayul, khurafat dan bid'ah tersebut. Dengan membawa semangat pembaharuan dan pemurnian yang dibawa oleh Wahabi ini, mereka berupaya untuk mengikis habis khurafat, bid'ah dan tahayul dari masyarakat Minangkabau. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan di surau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodoks. (Syamsul Nizal,2005:82)
Akan tetapi Schrieke membantah bahwa gerakan Padri itu sama dengan gerakan Wahabi. Dia menjelaskan bahwa gerakan Padri menentang lembaga-lembaga sosial yang sudah ada sejak dulu. Menurutnya kaum Padri ingin menerapkan hukum Islam dan warisan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menyebarluaskan ajaran-ajarannya dengan "kekerasan".(B.O.J Schrieke,1973:14) Gerakan padri ini berpusat di surau-surau yang dipimpin oleh para ulama.
Pendapat penulis, memang gerakan Padri tidak sama dengan gerakan Wahabi, tetapi secara tidak langsung pengaruh dari paham Wahabi itu bisa terjadi melalui tiga orang haji (H. Miskin, Piobang dan Sumaniak). Pengaruh dari dalam juga sangat berarti dalam gerakan ini, seperti di surau Tunku Nan Tuo lebih menekankan pengajaran fiqh (hukum Islam). Jadi keinginan untuk menjalankan syariat secara benar itu berpengaruh kepada pikiran murid-murid Tunku Nan Tuo untuk berjihad menegakkan agama Allah.. Jadi pertermuan antara faktor dari dalam (otoritas keilmuan fiqh) dan faktor dari luar (paham Wahabi) membuat gerakan Padri menjadi aktif.
Gerakan Padri ini semakin nyata, setelah Tuanku Nan Renceh bergabung dengan Tuanku Nan Tuo dan H. Miskin serta para ulama yang sepaham dengan keinginan melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan hukum Islam di masyarakat. Akan tetapi gerakan ini setelah mendapat dukungan dari Harimau Nan Salapan, gerakannya semakin berani dan keras. Bahkan mereka melakukan pembakaran terhadap kampung yang masyarakatnya tidak mau menerapkan hukum Islam dan meninggalkan kebiasaan berjudi, mengadu ayam dan sebaginya. Hal ini membuat Tuanku Nan Tuo menjadi kurang simpati kepada gerakan Padri ini dan Tuanku Nan Tuo tidak mau menggunakan pengaruhnya dalam gerakan Padri ini.
Pertikaian antara kaum adat dengan para ulama ini mengarah kepada peperangan dan saling merebut wilayah kekuasaan. Akhirnya kaum adat terdesak, mereka minta bantuan kepada pihak Belanda yang sudah berada di Padang. Inilah yang menyebabkan kaum Padri menghadapi dua lawan. Kaum adat dan kolonial Belanda. Yang akhirnya kaum Padri mengalami kekalahan. Walaupun mereka mengalami kekalahan tetapi semangat nasionalisme akhirnya tumbuh bagi kaum Padri dan bahkan oleh kaum adat sendiri. Di antara ulama yang terkenal dalam Perang Padri ini adalah Tunku Imam Bonjol.
Setelah berakhir Perang Padri dan Belanda menjajah Minangkabau, maka eksistensi lembaga pendidikan surau mengalami kemunduran. Akibatnya banyak surau yang terlantar dan kehilangan syekh karena banyak yang dibunuh oleh Belanda dalam peperangan. Berdasakan hal demikian agaknya mendorong orang tua mengirimkan anak-anaknya ke tanah suci yang tidak hanya untuk naik haji saja tetapi juga untuk belajar agama. Bahkan ada yang tinggal di sana sebagai guru dan imam di Mesjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib. Melalui Syekh Ahmad Khatib inilah muncul gerakan pembaharuan tahap ke dua di Minangkabau . Ia menyebarkan ide-ide pembaharuannya langsung dari tempat tinggalnya di Mekkah. Ide-ide Ahmad Khatib di salurkan ke Minangkabau terutama melalui murid-muridnya yang kembali ke Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh Haji Thaib Umar, Syekh Haji Djamil Djembek, Syekh Haji Ibrahim Musa dan Abdullah Abbas (Edwar,1981:123-166). Mereka ini kelak dikenal sebagai ulama Kaum Muda. Pembaharuan yang dihembuskan Ahmad Khatib pada intinya ingin menghapuskan segala macam taqlid yang membabi buta terhadap tradisi yang dianutnya selama ini.




G. Penutup
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan surau di Minangkabau ini memberikan sumbangan yang besar dalam penyiaran agama Islam. Dengan sistem pendidikan yang diterapkan di surau, maka Islam dapat berkembang sampai ke pelosok daerah Minangkabau.
Kemudian ada keinginan dari sebahagian ulama untuk menerapkan hukum Islam secara benar dan dipengaruhi oleh paham Wahabi di satu pihak dan di pihak lain kaum adat tidak mau meninggalkan kebiasaan adat dan tradisi yang mereka pakai selama ini. Ini menimbulkan gejolak yang akhirnya menimbulkan gerakan Padri dan mengkristal menjadi Perang Padri. Hal ini menimbulkan kemunduran surau sebagai lembaga pendidikan Islam.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abuddin Nata (ed)., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999

…………, "Surau di Tengah Kritris: Pesantern dalam Perspektif Masyarakat" dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985

…………, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2003

Abidin, Mas'oed, Surau Kito, Padang: PPIM, 2004

Al-Ghazali, Mau'izatul Mukminin " Ringkasan dari Ihya Ulumuddin, " oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Addimasyqi, Ter. Moh. Abdai Rathamy, Bandung: Diponegoro, 1983

Ajisman (ed.), Dinamika Kehidupan Surau Di Minangkabau, Padang: BKSNT, 2002

Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib : Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

B.O.J Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat:Sebuah Sumbangan Bibliografi, terj. Soeganda Purbakawatja, Jakarta: Bhratara, 1973

Deliar Noer , Administrasi Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1983

Dobin, Christine, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasukandhana, Jakarta: INIS, 1992

Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2003

Edwar, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang Islamic Centre 1981

Firdaus, dkk. " Sentra-sentra Tarekat di Minangkabau", Laporan Penelitian, Padang: Pusat Penelitian IAIN IB , 2000

Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta : pustaka panjimas, 1985

Imam Maulana Abdul Manaf, Muballighul Islam, Pariaman, Naskah belum diterbitkan, 1935

Kroeskamp, De Weskusten Minangkabau (1665-1668), tp.t.p: Utrecht, 1931

Mahmud Yunus, Sedjarah Islam di Minangkabau, Jakarta: cv. Al-Hidayah, 1971

…………, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1985
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999

Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, tt

Syadidi, Mohammad, Konsep Pendidikan dalam Al-Qur'an, Jakarta, Penebar Salam, 2001

Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan, Bandung: Rosda, 2003

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Sanusi Lathief, "Gerakan Kaum Tua di Minangkabau", disertasi doctor. Jakarta ; IAIN Syarif Hidayatullah, 1988

Steenbrink, Karel, A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986




Tidak ada komentar:

Posting Komentar