Rabu, 01 April 2009

Umar bin Abdul 'Aziz : "Khalifah Humanis yang Zuhud"

Oleh : Muhammad Ilham, S.Ag., S.Sos

Umar bin Abdul Azis, lengkapnya, Umar bin Abdul Azis bin Marwan bin Hakam ibnul Ash bin Umayyah bin Abdi Syams, adalah seorang keturunan bangsawan Bani Umayah. Ibunya bernama Laila binti Hashim bin Umar bin Khatab. Jadi melihat dari garis keturunan ibu, ibu Umar bin Abdul Aziz adalah cucu dari khalifah ke-2, Umar bin Khattab, Khulafaurrasyidin tegas lagi pintar. Ia lahir tahun 61 H. di kota Hulwah, tidak jauh dari kota Kairo Mesir saat orang tuanya menjadi gubernur di Mesir, dan meninggal tahun 101 H., jadi hanya berusia 40 tahun, dalam usia yang masih muda.

(Tulisan ini modifikasi dari Bahan/Teks untuk Buku SKI MAN Kota Padang)
Umar bin Abdul Azis, lengkapnya, Umar bin Abdul Azis bin Marwan bin Hakam ibnul Ash bin Umayyah bin Abdi Syams, adalah seorang keturunan bangsawan Bani Umayah. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khatab. Jadi melihat dari garis keturunan ibu, ibu Umar bin Abdul Aziz adalah cucu dari khalifah ke-2, Umar bin Khattab. Ia lahir tahun 61 H. di kota Hulwah, tidak jauh dari kota Kairo Mesir saat orang tuanya menjadi gubernur di Mesir, dan meninggal tahun 101 H., jadi hanya berusia 40 tahun, dalam usia yang masih muda. Dan ia memerintah juga sangat pendek waktunya, hanya kurang lebih dua setengah tahun. Walaupun usianya pendek dan memerintah dalam waktu yang relatif singkat, tetapi riwayat kehidupan dan pemerintahannya ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam. Ayahnya sendiri adalah seorang gubernur/amir di Mesir pada tahun 65 Hijriah.

Masa kecilnya berada di Medinah dibawah bimbingan paman-paman ibunya. Dalam suasana yang semerbak inilah Umar bin Abdul Azis belajar tentang nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai kepemimpinan. Pendidikan yang diperolehnya sejak ia kecil inilah yang kemudian menjadi potensi dalam membentuk akhlaknya yang sangat terpuji dan istimewa itu. Setelah ia meningkat remaja, ia menikah dengan Fathimah, putri Abdul Malik pamannya sendiri. Pamannya ini amat mencintainya. Di masa pemerintahan khalifah Al Walid, Umar bin Abdul Azis menjadi gubernur di Madinah. Di Madinah ini, karena ia memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap amanah yang diemban padanya serta kepribadian yang mulia, Umar memperoleh reputasi yang baik di mata masyarakat.

Ketika Umar bin Abdil Aziz didaulat dan dibai'at oleh kaum muslimin untuk menjadi khalifah menggantikan khalifah sebelumnya yang wafat, yaitu Sulaiman bin Abd Malik, semula ia dengan tegas menolak. Tetapi karena terus didesak oleh kaum muslimin, terpaksa juga ia menerima sambil mengucap istirja' (mengucap: inna lillahi wa innaa ilaihi raji'un) seperti ucapan orang yang ditimpa musibah, dan bukannya mengucapkan alhamdulillah seperti layaknya orang yang baru menerima penghargaan dan anugerah satu nikmat atau rahmat. Ia berpidato: "Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan." Kemudian Umar naik ke mimbar dan berkata : "Wahai manusia sekalian, dengan ini aku telah dibebani tanpa diminta pendapatku terlebih dahulu, dan tidak pula atas permintaanku sendiri, dan tidak juga atas musyawarah kaum muslimin. Aku membebaskan tuan-tuan dari baiat yang telah tuan-tuan ucapkan, sebab pilihan untuk menjadi khalifah adalah siapa yang disukai". Tetapi baru saja Umar turun dari mimbar, hadirin berseru dengan sempak " "Kami telah memilihmu !". Lalu mereka semua datang menemui Umar dan menyatakan baiat sumpah setia kepadanya.

Umar bukanlah figur negarawan yang mengejar jabatan. Diriwayatkan melalui sebuah kesaksian, ketika tampuk kekhalifahan diserahkan kepadanya, maka para saksi tersebut mendengar khalifah Umar bin Abdul Azis menangis dalam kamarnya. Kemudian mereka bertanya, lalun Umar menjawab : "Sungguh telah dibebankan kepadaku suatu urusan yang akan menyibukkanku dari memperhatikan kalian. Kalau ada orang yang senang, maka niscaya aku akan melepaskannya, dan kalau ada orang yang berkehendak menjabatnya niscaya aku akan menyerahkannya. Aku tidak memiliki keinginan sedikitpun atas jabatan ini". Kemudian Umar menjadi khalifah, dan saat itu pula garis pemisah ada antara hidupnya yang lama dengan kehidupannya yang baru. Ia menyadari tanggung jawabnya yang besar atas berbagai bentuk kezaliman-kezaliman yang banyak terjadi pada masa sebelumnya serta resiko berat yang akan dihadapinya. Mulailah ia kemudian bekerja dengan segala kesungguhan hati dan rasa takut pada Allah SWT., sejak hari pertama ia mengemban amanah sebagai khalifah.

Pada masa awal pemerintahan Dinasti Umayah, dalam masyarakat Arab terjadi perbedaan besar di dalam sistem sosial kemasyarakatan. Hal ini ditandai dengan terdapatnya beberapa "kemudahan-kemudahan" bagi orang Arab dibandingkan dengan mereka yang berasal dari non-Arab. Demikian juga, posisi-posisi penting dalam pemerintahan banyak diisi oleh mereka yang berasal dari bangsa Arab, sementara itu sedikit sekali dari non-Arab (mawali). Hal ini menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan politik karena masyarakat non-Arab merasa sebagai masyarakat kelas dua. Menyadari hal ini, khalifah Umar bin Abdul Azis melakukan pembaharuan-pembaharuan terutama dalam bidang yang bersangkutan dengan sosial kemasyarakatan dan politik. Masyarakat non-Arab tidak lagi dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Demikian juga halnya, masyarakat Arab tidak dipandang sebagai warga kelas satu. Di mata Umar bin Abdul Azis, semua warga muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama.


Pada awal pemerintahan Dinasti Umayah, banyak uang uang pensiun para pejuang muslim yang gugur di medan pertempuran tidak diberikan kepada keluarga mereka. Sehingga hal ini membuat para keluarga pejuang muslim yang gugur ini, terutama anak-anak yatim, merasa tidak puas. Ketidakpuasan ini bahkan merembet kepada potensi untuk melakukan pemberontakan. Ketika Umar bin Abdul Azis menjadi khalifah, beliau mengeluarkan kebijakan untuk mengembalikan uang pensiun anak yatim pejuang muslim tersebut yang selama ini tertahan dan tidak diberikan. Masyarakat Kristen, khususnya Bani Najran, meminta kepada khalifah Umar bin Abdul Azis untuk mengurangi beban pajak yang selama ini ditetapkan oleh khalifah sebelum Umar. Beban tersebut mereka rasa sangat berat, karena mayoritas masyarakat Kristen Bani Najran bukanlah berasal dari kalangan kaya. Karena itu, mereka meminta khalifah Umar untuk mengurangi beban pajak dari 2000 keping menjadi 200 keping. Permintaan ini dikabulkan oleh khalifah Umar. Hal ini menimbulkan simpati luar biasa dari pihak masyarakat Kristen Bani Najran dan kalangan masyarakat yang lemah secara ekonomi.

Khalifah Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai khalifah yang memiliki jiwa toleransi yang sangat tinggi. Ia adil dalam melihat kepentingan kelompok lain, walaupun kelompok tersebut bukanlah kaum muslim. Salah satu kasus yang memperlihatkan jiwa toleransi Umar bin Abdul Azis ini adalah ketika masyarakat Kristen Damaskus meminta khalifah untuk mengembalikan gereja mereka yang telah dijadikan sebagai masjid pada masa khalifah Al Walid bin Abdul Malik, khalifah Umar bin Abdul Azis mengabulkannya. Selain itu, beliau juga mengizinkan masyarakat Kristen Damaskus untuk mendirikan gereja-gereja baru. Padahal pada masa-masa khalifah sebelumnya, hal ini tidak akan mungkin terjadi. Langkah ini diambil oleh khalifah Umar bin Abdul Azis karena banyak tanah orang-orang Kristen yang sudah menjadi hak miliki orang-orang Islam. Sehingga banyak ummat Kristen yang tidak memiliki tanah untuk mereka garap. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah petani penggarap karena mereka tidak memiliki lahan untuk digarap.

Kebijakan ini diambil oleh khalifah untuk mengimbangi kewajiban kepada negara yang dikenakan kepada semua penduduk. Kalau orang Kristen harus bayar pajak tanah (kharraj) sementara umumnya mereka bukanlah orang kaya, maka hal tersebut dirasakan tidaklah adil. Orang Kristen cukup membayar pajak jiwa (jizyah) saja, karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam. Sementara itu, orang-orang Islam harus membayar pajak tanah (kharraj), karena sebahagian besar daripada mereka adalah orang-orang kaya yang memiliki kemampuan untuk membayar pajak. Masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis telah banyak melakukan pembaharuan dan perbaikan-perbaikan yang menunjukkan kematangan beliau dalam berfikir serta pemahamannya yang sempurna. Umar membuat buku-buku yang kemudian dikirimkannya kepada para gubernurnya secara berkala.

Disamping itu, Umar juga melakukan perbaikan dalam bidang pertanian, penggalian sumur-sumur dan pembangunan jalan-jalan serta penginapan-penginapan yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan. Ia juga banyak mendirikan masjid, dan tidak terfokus kepada keindahan masjid tersebut sebagaimana yang dilakukan pamannya, Abdul Malik bin Marwan ketika menjadi khalifah. Disamping perhatian yang besar terhadap pembangunan masjid, perhatian Umar juga tercurah kepada kesejahteraan para fakir miskin. Bahkan hal ini menjadi prioritas utamanya. Ketika ia diminta untuk memberikan biaya yang sangat besar bagi pembangunan masjid, Umar berkata : "Aku lebih suka membiayakan uang untuk membantu fakir miskin yang sedang kelaparan daripada memberi biaya untuk memperindah dinding dan perabot-perabot itu".

Perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis juga terlihat dalam bidang dinas pos. Dinas pos ini diberi tugas bukan hanya untuk membawa dan menyampaikan berita resmi dari para gubernur atau pejabat lainnya, akan tetapi juga untuk melayani kepentingan masyarakat umum. Sedangkan untuk kesejahteraan para bawahannya, khalifah Umar menaikkan gaji para pegawainya. Gaji gubernur dimasa itu pernah mencapai 3000 dinar. Ketika hal ini ditanyakan kepada Umar, beliau menjawab : "Aku menghindari mereka dari perbuatan khianat". Langkah pertama yang sangat prinsip yang dilakukan oleh Umar bin Abdil Aziz adalah memulihkan keadilan dan kebenaran dengan jalan memecat para pejabat yang zalim dan korup dan menggantinya dengan pejabat baru yang adil dan benar, walaupun bukan dari golongan keluarganya atau keluarga Bani Umayyah. Khalifah juga melakukan pembersihan di tubuh pemerintahan dari unsur-unsur rezim lama. Ia memakzulkan (memecat) Yazid bin Mahlab yang korup sebagai gubernur Irak. Memecat para pejabat yang zalim. "Engkau telah memperdayakan saya dengan sorban hitammy," demikian antara lain bunyi surat Khalifah Umar kepada Gubernur Basrah yang dipecatnya, yaitu 'Ady bin Arthaah. Dipecatnya juga Yazid bin Abi Muslim, Gubernur Afrika Utara, Shalih bin Abdirrahman, Gubernur Irak dan As Tsaqafi, Gubernur Andalus. Umar tidak kompromi dengan kezaliman dan ketidak jujuran. Sebagai hakim, ia menunjuk Al-Hasan Al-Basri, ulama terkemuka dan kharismatik yang melakukan perlawanan (oposisi) semasa rezim-rezim sebelumnya (sayangnya beliau tidak bersedia, lalu digantikan oleh Iyasy bin Adz-Dzaki) dan ahli fikih Amir Asy-Sya'bi, masing-masing di daerah Basrah dan Kufah. Khalifah juga menunjuk orang-orang baru yang memiliki reputasi dan nama baik untuk memimpin Mesir, Madinah, Khurasan, dan wilayah Afrika-Maghribi.

Ternyata ada juga orang pilihannya yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan harapannya, seperti Jarrah bin Abdillah Al-Hukmi, gubernur Khurasan. Beliau ketahuan memungut jizyah (pajak) dari kaum muallaf. "Kalian masuk Islam karena ingin lepas dari jizyah, " begitu kilahnya. Umar tidak berkenan dengan alasan Jarrah bin Abdillah Al-Hukmi ini. Beliau langsung memecatnya. "Sungguh Allah SWT. menutus Muhammad SAW. itu untuk berdakwah, bukan sebagai pengumpul pajak," kata Khalifah dalam Surat Keputusan Pemecatan gubuernur Khurasan ini. Ada juga seorang pegawai yang direkrutnya, ternyata adalah mantan pegawai Hajjaj bin Yusuf, seorang panglima perang yang sangat bengis dan kejam pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Yazid bin Abdul Malik. Umar tidak kenal ampun, langsung memecatnya.

Ada juga yang tidak puas dengan keputusan Umar bin Abdul Aziz seperti Yazid bin Mahlab yang pada tahun 100 H. memobilisasi massa di Irak untuk menyerang khalifah. Untunglah pemberontakan ini dapat dipatahkan. Yazid kemudian ditangkap. Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat murka terhadap orang ini. "Saya tidak suka kepada orang-orang seperti Yazid. Mereka suka memaksakan kehendak," katanya. Ketika Yazid dihadapkan kepadanya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta dia mengembalikan seluruh harta rakyat yang ada dalam penguasannya. Umar masih ingat, Yazid pernah menulis surat kepada, ketika itu, khalifah Sulaiman, yang isinya memberitahukan soal harta tersebut. Dia mengelak. Lantas Umar berkata, "Saudara tidak akan saya lepas sebelum kamu mengembalikan seluruh harta rakyat yang kamu rampas". Yazid kemudian mendekam dalam penjara. Banyak diantara kawan-kawan Umar yang berusaha untuk mempengaruhinya agar Yazid tidak dipenjara, termasuk anak Yazid yang datang menghadap Khalifah Umar sambil merengek-rengek, akan tetapi Umar tetap pada pendiriannya.

Motif utama khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan Al-Hadits adalah sebagai berikut :

a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al Hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Beliau sangat mengkhawatirkan akan hilang dan lenyapnya Al Hadits dari perbendaharaan masyarakat.
b. Di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan akan terjadi peperangan antara orang muslim dan orang kafir, demikian juga perang saudara antar orang-orang muslim kian menjadi dan dikhawatirkan berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli hadits.
c. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadits-hadits yang maudlu.
d. Alasan tidak terdewankannya (terbukukan) Al Hadits secara resmi pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.

Khalifah Umar bin Abdul Azis kemudian kepada walikota Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (117 H.) untuk mengumpulkan hadits yang berada padanya dan pada tabi'in wanita Amran Abdurrahman yang banyak meriwayatkan hadits Aisyah ra. Di samping kedua tokoh diatas, khalifah Umar juga menginstruksi kan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, seorang ulama besar di Hijaz dan Syam, untuk mengumpulkan hadits-hadits dan menulisnya pada lembaran-lembaran tersendirinya yang kemudian dikirimkannya kepada setiap penguasa-penguasa lokal. Sehingga akhirnya dalam sejarah, Ibnu Syihab dianggap sebagai orang yang mula pertama sekali mendewankan hadits atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis.

Kredibilitas keilmuan Umar bin Abdul Azis tidak diragukan lagi. Beliau termasuk salah seorang ulama dari kalangan tabi'in yang memiliki keunggulan dalam segi keilmuan dan kefaqihannya. Beliau telah banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik dan Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib. Seandainya kita mencari bukti untuk menunjukkan kefaqihan dan keilmuan Umar bin Abdul Azis, maka cukuplah kita memperhatikan kesaksian yang diberikan oleh Maimun bin Marham yang mengatakan : "Banyak para ulama yang belajar bersama Umar bin Abdul Azis". Dalam sejarah, karena keilmuannya ini, Umar digelari sebagai Umar Ars Tsani (Umar bin Khatab yang kedua). Di bawah ini akan dikemukakan sejumlah perkataan beliau yang disampaikan dalam khutbahnya yang bernuansakan hikmah, nasehat dan wasiat.

1. Pada suatu hari Umar bin Abdul Azis berpidato di hadapan masyarakat seraya berkata : "Wahai manusia, berbuat baiklah dalam keadaanmu yang tersembunyi, niscaya kamu akan berbuat baik dalam keadaan terang (nampak), dan beramallah untuk akhiratmu, niscaya duniamu akan dicukupkan, serta ketahuilah bahwa tidak ada bagi seorang antara dia dan nabi Adam seorang Bapak yang hidup yang rela menjadi pengganti anaknya".

2. Pada suatu hari Umar bin Abdul Azis menyampaikan pidatonya seraya berkata : "Wahai manusia, sesungguhnya kalian itu sasaran kematian, dimana kalian tidak akan mendapat kenikmatan kecuali dengan meninggalkan yang lain, sehingga suapan makanan dan tegukan minuman yang manapun niscaya tidak akan mampu memenuhi dan memuaskan tenggorokan. Kalaupun pada hari kemaren, lidah dapat menelan makanan, tetapi pada hari ini sesuatu yang disenangi yang disimpan, niscaya ia akan pergi dengan cepat. Kalaupun lidah itu tidak dapat memakan setiap makanan yang dimasukkan ke dalam mulut, dan tangan pencaharian dapat membuang yang dimasukan ke dalam mulut, dan tangan pencaharian dapat membuah dan mengubahnya dimana saja, tetapi itu bukan berarti pencahari lebih kuat dan yang dicari lebih lemah. Sesungguhnya kalian itu adalah pengembara yang akan berhenti di perbatasan yang ada di luar tempatmu yang ini (dunia). Sesungguhnya kalian itu cabang dari sumber yang telah pergi berlalu, maka cabang itu tidak akan tetap setelah sumbernya berlalu."

3. Umar bin Abdul Azis menulis sepucuk surat kepada bawahannya yang isinya : "Amma ba'du, hendaknya kamu mengeringkan dan membersihkan tanganmu dari darah kaum muslimin, mengosongkan perutmu dari harta mereka, dan mensucikan lidahmu dari kehormatan mereka. Seandainya kamu melakukan hal tersebut, maka tidak ada jalan lagi bagimu karena jalan itu ditunjukkan bagi orang-orang yang menzalimi manusia dan mereka yang melakukan tindakan di muka bumi ini dengan jalan yang tidak dibenarkan".

4. Umar bin Abdul Azis berkata : "Pertimbangan itu tidak akan bermanfaat kecuali keluar dari hati yang bersih".

5. Umar bin Abdul Azis berkata : "Ambillah pendapat yang dibenarkan oleh orang-orang sebelum kamu (orang-orang yang lebih tua daripada kamu), dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang bertentangan dengan pendapat mereka, karena mereka itu lebih baik dan lebih pintar daripada kamu".

6. Seorang kurir telah mengirimkan sepucuk surat kepada Umar bin Abdul Azis yang berisin tentang pengaduan sebagai berikut : "Sungguh aku telah mendapati negeri ini sebagai negeri yang paling banyak kasus pencurian, perampokan, maka apakah hukum mereka itu dapat diputuskan berdasarkan dugaan saja dan tuduhan atau hukuman mereka mesti diputuskan berdasarkan kepada pembuktian dan ketentuan hukum". Kemudian Umar membalas nya : "Tetaplah hukum mereka itu berdasarkan pada pembuktian dan menurut ketentuan hukum. Maka barang siapa orang yang tidak menyelesaikan urusan mereka dengan cara yang benar, niscaya Allah tidak akan mendamaikan (menentramkan) mereka. Maka aku tidak menyuruh kurir itu sehingga menjadikannya sebagai orang yang ditugaskan untuk memperbaiki negeri dan mengurangi pencurian dan perampasan".

Apa yang telah dipaparkan diatas memperlihatkan kualitas keilmuan yang dimiliki oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Apa yang diungkapkannya memperlihatkan gabungan antara kedalaman ilmu pengetahuan dengan sifat kepribadiannya yang luhur lagi terpuji.

1. Keadilan Umar bin Abdul Azis
Umar bin Abdil Aziz adalah seorang khalifah keturunan kaum feodal Bani Umayyah, tetapi ia sangat menentang feodalisme itu dalam tindak tanduknya selama memegang pimpinan negara. Ia tidak setuju cara-cara kaum feodal yang menguasai banyak tanah luas untuk kepentingan kerabat-kerabat istana. Dan ia sendiri membuktikan, bahwa tanah-tanah milik pribadinya sendiri yang luas diberikannya ke baitul mal untuk kepentingan seluruh kaum muslimin. Ia tidak setuju, bahwa kaum kerabat istana diberi penghasilan dalam jumlah yang besar yang diambilkan dari budget mata anggaran negara, walaupun mereka tidak bekerja. Ia menganggap hal seperti itu tidak adil. Semua cara dan praktik feodalisme gaya lama itu dia hapus dan akhiri sama sekali. Untuk memberi contoh kepada rakyatnya bagaimana seseorang harus menghormati hukum dan keadilan, maka beliau tidak segan menghadap hakim di pengadilan.
1. Waktu beliau melakukan perjalanan dinas ke Mesir, tiba-tiba seorang penduduknya yang berasal dari Hulwan (kurang lebih 25 km dari Kairo) datang menuntut khalifah supaya hartanya berupa tanah yang diambil oleh ayah Umar ketika ayahnya itu menjadi gubernur di Mesir untuk pembangunan daerah itu, diganti harganya. Umar menjawab, seyogianya hal itu diselesaikan lewat pengadilan. Di depan hakim pengadilan, setelah perkara itu diproses dengan cara yang benar oleh hakim, Umar tunduk untuk memberikan ganti rugi sebesar 1 juta dirham. Umar berkata : "semoga Allah memberkahi engkau wahai tuan hakim! Dan kemudian si penggugat pun berkata : "semoga Allah memberi berkah kepada engkau wahai khalifah, dan juga kepada seluruh rakyat engkau. Semoga ke negeri Mesir ini berpindah pula keadilan sebagaimana keadilan yang engkau miliki, dan keimanan agung yang engkau punyai.". Timbul pertanyaan kita sekarang, apakah seorang pejabat tinggi mau dengan penuh kesadaran datang ke pengadilan memenuhi panggilan hakim, duduk setara dengan lawannya berperkara?
2. Pernah suatu ketika, ketika itu khalifah Umar bin Abdul Azis sedang mengantuk. Khalifah baru saja menjalani upacara penobatan sekaligus menyampaikan pidato perkenalan. Lalu ia merebahkan badan. Mungkin sebentar lagi ia akan terlelap, kalau saja suara lembut tidak menyentakkannya. "Apa yang hendak ayahanda perbuat?" tanya anaknya, Abdul Malik. "Aku letih, mau tidur siang," jawab sang ayah. "Kenapa ayah enak-enak tidur siang, padahal ayah belum mengembalikan hak-hak orang teraniaya?". Umar bin Abdul Aziz kemudian menjawab, "Kamu sudah tahu, bahwa ayah begitu letih. Biarlah urusan mengembalikan hak-hak orang teraniaya aku selesaikan selepas sholat zuhur nanti". Lantas sang anak kemudian bertanya dengan heran, "Mengapa ayah yakin masih hidup setelah zuhur?". Khalifah Umar bin Abdul Azis terharu. "Kemarilah anakku." Lalu dengan penuh perasaan dia kecup dahi Abdul Malik, dan berkata : "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan dari diriku seorang anak yang menolongku dalam perkara agama". Khalifah lalu menyuruh petugas untuk mengumpulkan orang-orang kembali. "Hadirin sekalian, kalau ada yang merasa haknya terampas, silahkan sampaikan sekarang," kata Umar bin Abdul Azis. Seorang Yahudi kemudian mengacungkan jari. "Saya, Yang Mulia. Tanah saya diambil oleh Abbas bin Walid bin Abdil Malik". Abbas yang masih terhitung keponakan Umar, hanya terdiam. "Apa jawabmu, Abbas?", tiba-tiba Umar berpaling ke arah keponakannya itu. "Tanah itu pemberian Ayah. Surat-suratnya lengkap," kata Abbas. Nah, coba apa katamu, hai dzimmi (sebutan untuk non muslim di negeri Islam)". "Saya menuntut keadilan dengan Kitabullah, Amirul Mukminin". "Benar, Kitabullah lebih layak diikuti daripada surat Walid," kata Khalifah. "Abbas, kembalikan tanah orang ini sekarang juga". Satu persatu lantas mengajukan tuntutan dan semuanya diselesaikan saat itu juga. Sehingga seluruh harta yabng diperoleh secara tidak sah baik oleh para Bangsawan maupun kelompok-kelompoknya dikembalikan kepada yang berhak. Khalifah Umar bin Abdul Aziz sendiri mencopot batu akik atau mata cincin yang ada di tangannya untuk diserahkan ke kas negara (baitul mal). Ia merasa pemberian dari orang lain pada dirinya tersebut itu tidak sah.


Umar bin Abdul Azis merupakan orang yang takut kepada Allah SWT., banyak mengingat kematian dan banyak mengingat Allah SWT. Riwayat dibawah ini cukuplah kiranya sebagai bukti nyata dalam menjelaskan ketaqwaan Umar kepada Allah SWT.
1. Abdul Salam seorang budak yang dimerdekakan oleh Masalamah bin Abdul Malik berkata : "Pada suatu hari Umar bin Abdul Azis menangis yang diikuti oleh Fathimah. Melihat kejadian tersebut, anggota keluarga Umar pun juga menangis tanpa mengetahui apa yang menjadi penyebab sehingga Umar tersebut menangis. Ketika tangisan Umar mulai reda, Fathimah menanyakan sebab Umar menangis. Lalu Uma menjawab bahwa beliau menangis karena teringat akan kejadian yang dialami oleh suatu kaum dimana satu golongan dimasukkan kedalam sorga, dan golongan lainnya di masukkan kedalam neraka. Setelah itu beliau menjerit dan jatuh pingsan". Demikianlah ketakutannya kepada Allah sehingga beliau ditempatkan sebagai ahlinya dalam menunjukkan sikap takut pada Allah SWT.
2. Karena takutnya pada Allah SWT., Umar bin Abdul Azis atau juga dikenal dengan panggilan Umar II ini, juga memutuskan untuk mengurangi pendapatannya. Beliau merasa tidak sanggup mempertanggungjawabkan jumlah harta yang ada pada dirinya nanti dihadapan Allah SWT. Kalau sebelumnya ia memiliki gaji sebesar 40.000 dinar, sekarang tinggal 400 dinar. Kalau banyak kepala negara lain berusaha bagaimana caranya memperkaya diri dan keluarganya setelah menjadi kepala negara, maka Umar bin Abdil Aziz berpikir dan berusaha agar dirinya bersih lahir dan batin, dengan cara hidup sederhana, zuhud dan wara. Harta kekayaannya sebelum menjadi khalifah berlimpah-limpah. Ia memiliki tanah perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir dan Bahrain. Dari sana ia berolah penghasilan yang besar, sebanyak tidak kurang dari 40.000 dinar setiap tahun. Belum lagi penghasilan/ gajinya sebagai khalifah. Semuanya itu diserahkannya ke Baitul Mal untuk kepentingan kaum muslimin, dan ia hanya menggunakan 2 dirham saja dari kekayaannya itu.

Suatu hari, khalifah Umar datang terlambat ke mesjid, padahal hari itu ia harus menjadi khatib Jumat di mesjid. Orang banyak menjadi gelisah menanti beliau di mesjid. Berceritera Na'im, saya berjalan dan mendatangi Umar bin Abdil Azis di rumahnya dan bertanya kepadanya yang sedang duduk di dekat jemuran kainnya: "Kenapa engkau duduk di sini?" Jawab Umar: "Saya duduk di sini menanti kainku yang dicuci dan belum kering untuk dipakai naik mimbar berkhutbah." Aku bertanya: kain apakah itu? Beliau menjawab: Baju gamis, sarung dan selendang yang harganya 14 dirham. Bayangkanlah, seorang kepala negara, tidak mempunyai pakaian pribadi yang bagus untuk dipakainya berkhutbah, ia mencuci sendiri pakaiannya karena tidak mempunyai pembantu. Dan satu set pakaiannya itu berharga tidak sampai 1 dinar.
Walaupun sebagai kepala negara yang berkuasa, Umar bin Abdil Aziz senantiasa bersikap rendah hati, pemaaf dan penyantun terhadap sesamanya. Pada suatu ketika ia masuk ke mesjid diiringi pengawal pribadinya. Di dalam mesjid pada bagian yang agak gelap, tiba-tiba kakinya tertarung/terkait kaki seorang laki-laki yang sedang tiduran di mesjid. Orang tersebut yang tidak mengetahui bahwa yang lewat itu adalah khalifah, menjadi marah-marah dan berkata kasar: "Apakah engkau gila?" Umar langsung menjawab: "tidak." Mendengar khalifah di katakan gila oleh laki-laki itu, maka pengawal khalifah menjadi marah dan bergerak untuk memukul laki-laki itu, tetapi Umar mencegahnya. "Orang itu tidak berbuat apa-apa, dia cuma bertanya: "apakah engkau gila?" dan telah saya jawab: "tidak."

Khalifah Umar bin Abdil Aziz meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 101 H. di rumahnya yang sederhana di ibukota kerajaan Islam, Damaskus, dalam usia 40 tahun, usia yang masih sangat muda. Sebelum meninggal, terdengar beliau membaca Firman Allah SWT. Surah Al Qashash ayat 83 : "Surga akhirat itu Kami (Allah) peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan kemegahan di muka bumi ini dan tidak pula membuat kebinasaan. Dan kemenangan akhir itu adalah bagi orang-orang yang takwa."
Mungkin di antara kita ada yang bertanya, berapa banyak harta benda yang ditinggalkannya sebagai warisan buat kaum keluarganya? Umar bin Abdil Aziz adalah anak keturunan bangsawan yang kaya raya, dan sebelum menjadi khalifah ia telah memiliki harta yang berlimpah ruah. Tetapi sebagai seorang khalifah yang zuhud, semua hartanya yang banyak itu diserahkannya kepada baitul mal/negara untuk kepentingan umum, dan ia hanya berbelanja harian sebanyak 2 dirham bagaikan orang miskin layaknya. Pada waktu meninggal dunia, Umar bin Abdil Azis hartanya cuma 17 dinar yang kemudian dibagi-bagi untuk kepentingan penyelenggaraan pemakamannya sebagai berikut: 5 dinar untuk kain kafan, 2 dinar untuk tanah pekuburannya, dan sisanya 10 dinar untuk dibagikan kepada anaknya yang berjumlah 11 orang. Sehingga setiap orang anak beroleh bagian 19 dirham saja. Sungguh sangat mengharukan sekali, apalagi kalau dibandingkan dengan anak-anak khalifah lain yang ditinggalkan oleh ayahnya seperti putera khalifah Hisyam bin Abdil Malik yang juga meninggalkan anak 11 orang. Setiap anak Hisyam mendapat bagian warisan 1 juta dinar
Umar bin Abdil Aziz yang patut ditiru dan diteladani oleh setiap orang yang ingin menjadi pemimpin yang menunaikan amanah yang terpikul di atas pundaknya. Kesempurnaan jiwa dan keutamaan akhlak seseorang itu bukan karena kebesaran bapaknya ataupun karena keagungan nenek moyangnya. Demikian juga kesempurnaan dan kemuliaan Umar bin Abdul Azis bukan didapat dari keagungan kakeknya, akan tetapi karena kemuliaan, kezuhudannya, ketakutannya kepada Allah SWT., keadilannya, kredibilitas keilmuannya, rendah hati, tidak ambisi terhadap kekuasaan, toleransi dan ketawadhuannya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar