Oleh : DR. Saifullah SA., MA
Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang perhatiannya sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Salah seorang muridnya, Syafe’i Ma’arif, mengatakan bahwa di antara pemikir kontemporer, barangkali almarhum Fazur Rahman dapat dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam dan umatnya. Pandangan ini tampaknya tidak berlebihan jika memperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembangkan intelektualitas Islam.
Pendahuluan
Diakui atau pun tidak, pemikiran-pemikirannya telah memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan intelektual dunia Islam. Bahkan akhir-akhir ini pengaruh pemikiran Fazlur Rahman mulai dirasakan di Indonesia. Sudah cukup banyak karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman mendapat sambutan positif dan mulai dipertimbangkan oleh umat Islam Indonesia.
Di antara pemikiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman adalah perlunya pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-Qur’an. Pemikiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman ini rasanya cukup perlu untuk dipertimbangkan, mengingat umat Islam yang pada saat ini sedang berada dalam kehidupan yang cukup komplek.
Tulisan kecil ini sedikit akan memberikan gambaran singkat tentang pribadi seorang Fazlur Rahman beserta idenya tentang penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metodologinya tersebut. Hal ini dianggap penting untuk diangkat mengingat besarnya pengaruh pemikiran Fazlur Rahman di kalangan umat Islam, apalagi dengan melihat pribadi Fazlur Rahman—menurut asumsi awal penulis—bukanlah seorang mufassir dan pendidikannya pun juga tidak dilatar belakangi pendidikan yang berbasis tafsir.
Biografi Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian negara Pakistan. Ia dilahirkan dalam suatu keluarga muslim yang amat serius dan dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi. Berdasarkan pengakuannya ia menuturkan: “Kami mempraktikkan ibadah-ibadah keislaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkan sekali pun. Ketika saya memasuki usia ke sepuluh, saya sudah dapat membaca al-Qur’an di luar kepala”.
Dari ibunya ia memperoleh pengajaran tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan—diatas segalanya—cinta. Ayahnya adalah seorang alim yang terdidik dalam suatu pola pemikiran Islam tradisional. Tetapi, tidak seperti kebanyakan alim tradisional pada masanya, yang memandang pendidikan modern sebagai racun, baik bagi keimanan maupun moralitas. Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan maupun kesempatan-kesempatan.
Tahun 1933 ia beserta keluarganya pindah ke Lahore yang saat itu disebut “Kota Taman dan Perguruan Tinggi”. Di sanalah ia masuk sekolah modern. Sementara itu, di rumah ia mendapatkan pengajaran tentang mata pelajaran tradisional dari ayahnya. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia melanjutkan di melanjutkan studinya ke Universitas Punjab, dan memperoleh gelar M.A. dalam sastra Arab pada 1942. Dalam tahun 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University di Inggris, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Setelah menamatkan pendidikan di Oxford, ia mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada, dan ia menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.
Di bawah dekade 1960-an, Rahman kembali ke Pakistan, dan menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada Institute of Islamic Research. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai direktur lembaga tersebut. Dia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology oleh pemerintah Pakistan. Dalam dua lembaga ini ia berupaya sekundusif mungkin mengembangkan pemikiran-pemikirannya untuk menafsirkan kembali Islam guna menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa itu. Kritik-kritiknya semakin tajam ketika mengemuka pandangan tentang definisi “Islam” bagi Pakistan, terutama terhadap pandangan kaum tradisionalis dan fundamentalis. Pandangan-pandangannya tentang al-Qur’an, Sunnah dan hadits, dan hukum-hukum tentang berbagai masalah menimbulkan kontroversi yang semakin berkepanjangan, dan berskala nasional.
Akhirnya, karena melihat dirinya tanpa dukungan, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam, yang langsung dikabulkan oleh Presiden Ayyub Khan. Tidak lama kemudian, Fazlur Rahman melepas jabatan sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan, karena dia merasa atmosfir dalam dewan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. Dia memutuskan untuk hijrah ke Chicago, dan sejak 1870 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago.
Setelah kepindahannya itu, Fazlur Rahman merasa telah memperoleh kebebasan intelektual, dan dari sanalah ia menyusun pemikiran-pemikiran tentang pembaharuan dalam Islam, dan ke sanalah para mahasiswa dari berbagai negeri muslim belajar Islam dengannya. Selain memberikan kuliah dan kajian keislaman, dia aktif dalam berbagai kegiatan intelektual, seperti memimpin proyek penelitian, mengikuti berbagai seminar internasional, serta memberikan ceramah di berbagai pusat studi terkemuka. Ia aktif menulis buku-buku keislaman, menyumbangkan artikel ke berbagai jurnal internasinal. Karya-karyanya mencakup hampir seluruh studi Islam normatif maupun historid, dan dia mulai mengidentifikasi diri sebagai neomodernis sehubungan dengan usaha pembaharuan yang tengah dilancarkan. Akibat serangan jantung, ia pun wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di Chicago, Illinois.
Latar Belakang Sejarah
Pakistan, sebuah negara yang didirikan bagi umat Islam, diproklamirkan pada tanggal 15 Agustus 1947. Kelahiran negara ini merupakan buah perjuangan umat Islam yang panjang di India untuk melepaskan diri dari dominasi mayoritas umat Hindu.
Negara Pakistan yang diimpikan para arsiteknya adalah sebuah negara ideologis, dimana kaum muslimin mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Lebih jauh negara baru ini merupakan negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat sebagai basisnya. Oleh karena itu, ijma’ sebagai pelaksanaan ijtihad kolektif dipandang perlu sehingga disetujuilah para ulama masuk ke dalam dewan legislatif untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan tentang masalah yang bertalian dengan hukum, setidak-tidaknya dalam tingkatan peralihan hingga hukum Islam telah dimodernisasi. Ide-ide inilah yang kemudian menjadi basis pemikiran politik kaum modernis muslim Pakistan.
Berbeda dengan Abu al-A’la al-Maududi, ia menyatakan bahwa karena di dalam Islam hanya Tuhan sendirilah yang berdaulat, baik secara politik maupun legal, maka dia harus dipandang sebagai satu-satunya perumus undang-undang di dalam sebuah negara Islam. Ajaran Islam sama sekali tidak mengakui filsafat kedaulatan rakyat, mendasarkan negaranya di atas pondasi kedaulatan Tuhan dan keperwakilan manusia. Sistem yang ditawarkan oleh al-Maududi ini biasa disebut “teodemokrasi”, yaitu suatu pemerintahan demokrasi ketuhanan sebab di bawahnya kaum muslimin diberi suatu kedaulatan rakyat yang terbatas, di bawah kedaulatan Tuhan. Kepala Negara di bawah sistem pemerintahan ini diangkat oleh kehendak umum kaum muslimin yang juga memiliki hak untuk memecatnya.
Sementara itu, kaum tradisionalis berpandangan bahwa hanya para ulama saja yang berkompeten untuk menafsirkan hukum. Oleh karena itu, fikih harus diterapkan pemerintah di bawah advis para ulama. Mereka menghendaki hukum fikih yang dihasilkan dalam sejarah Islam oleh para mujtahid lewat deduksi dari al-Qur’an dan sunah Nabi harus diberlakukan di Pakistan.
Di samping itu, terdapat pula kaum sekularis yang menuntut Pakistan menjadi suatu negara sekular modern, yang menggunakan konstitusi parlementer modern tanpa rujukan apapun kepada prinsip-prinsip Islam. Meskipun kelompok ini minoritas, peranannya dalam perdebatan konstitusional tak dapat disepelekan. Posisi kelompok ini mengambang di antara kubu tradisonalis dan fundamentalis di satu pihak, serta kubu modernis di pihak lain.
Perbedaan pandangan yang ada di kalangan mereka kemudian masuk ke dalam perdebatan-perdebatan sengit dalam merumuskan undang-undang oleh majelis konstitunte. Permasalahan yang diperbincangkan meliputi hal-hal yang mendasar seperti pengertian negara Islam, kedaulatan, keadilan, prinsip kesejahteraan sosial. Masalah lain yang mengundang perdebatan dan kontroversi berkepenjangan di antara mereka adalah hukum perkawinan, perceraian dan kekluargaan, masalah riba, bunga bank, pendayagunaan zakat, program keluarga berencana, penyembelihan hewan dan lain sebagainya.
Kontroversi-kontroversi persoalan tersebut sering memuncak, dan tidak jarang menimbulkan berbagai teror dan aksi fisik, sehingga menggoyahkan segi-segi keamanan negara. Di tengah-tengah kondisi seperti itulah Fazlur Rahman muncul dan mengemukakan gagasan pembaharuannya, mewakili sudut pandang kubu modernis. Hanya saja, dalam mengemukakan gagasannya tersebut, Fazlur Rahman lebih mempunyai metodologi yang sitematis dibandingkan dengan kaum modernis, sehingga beliau dikenal sebagai pelopor neo-modernis.
Fazlur Rahman dan Penafsirannya
Fazlur Rahman menyatakan, al-Qur’an sebagai firman Allah pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nsehat keagamaan dan moral bagi manusia; dan ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral, yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.
Agar Islam relevan dengan situasi dan kondisi sekarang, dia menyarankan agar kaum muslim berani melampaui penafsiran literal dan tradisional atas al-Qur’an untuk memahami spiritnya. Oleh karena itu, ia memandang bahwa salah satu perkembangan paling menentukan dalam sejarah Islam adalah sikap kaum muslimin yang kaku dan formal terhadap al-Qur’an dan hadits. Pada periode awal keduanya dipahami secara historis dan dianggap sebagai suatu keutuhan yang terpadu dimana bagian-bagiannya diperlakukan seperti kaitan secara intim dan substantif, sehingga al-Qur’an dan hadits dipandang sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan.
Menurut Rahman, pemikiran modernis untuk melihat kenyataan yang ada dan kemudian mencari jawabannya dalam al-Qur’an adalah suatu hal yang tepat. Tetapi mereka tidak mampu menciptakan metode yang cocok dan tepat, sehingga menyebabkan mereka tidak konsisten dalam menganalisis. Hal ini dapat menyebabkan mereka tergelincir sebagai westernis yang mengakibatkan timbulnya reaksi terhadap kaum modernis, baik dari kaum tradisionalis maupun dari kaum neo-revivalis.
Sementara kritik Rahman terhadap tradisionalisme dinyatakannya bahwa “suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau, betapa pun manis kenangannya, dan gagal menghadapi realitas kekinian secara jujur, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudah merupakan hukum Tuhan bahwa fosil tidak tahan lama: “Bukanlah Kami berbuat lalim terhadap mereka, merekalah yang melalimi diri mereka sendiri” (Q.S. Hud/11: 101; al-Nahl/16: 33)”.
Fazlur Rahman berpendapat perlunya pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-Qur’an. Terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, sehingga umat Islam sudah cukup puas dengan berpegang pada arti ayat-ayat secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami al-Qur’an sebagai suatu kesatu-paduan yang saling berkaitan ini terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini tetap berlanjut hingga dewasa ini.
Bagi Rahman, tanpa suatu metode yang tepat dalam memahami Islam dan seluruh pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan organis antara pondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis kemanusiaan dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali menegaskan bahwa al-Qur’an harus dijadikan pedoman pertama dan utama dalam memahami Islam.
Di samping itu, pendekatan historis dalam memahami kandungan al-Qur’an perlu dilakukan, sehingga memahami kondisi aktual masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan pada saat memahami kandungan ayat-ayat adalah sangat penting. Dalam memahami al-Qur’an, yang utama harus lebih ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran al-Qur’an harus juga dipahami dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis, yang merupakan kondisi lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja.
Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan Rahman mempunyai dua gerakan ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an; dan kedua, dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini. Gerakan pertama terdiri dari dua langkah, yaitu pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan al-Qur’an melalui cara mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya. Dalam proses ini, kajian mengenai pandangan-pandangan kaum muslimin—di samping bahasa, tata bahasa, gaya bahasa dan lain-lainnya—akan sangat membantu sesudah hal itu diuji dengan pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri. Setelah itu, langkah kedua yang harus diambil ialah membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik tersebut, dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sesudah dua langkah pertama ini, dilanjutkan menuju gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit saat ini.
Melalui metode ini, Fazlur Rahman berupaya memahami alasan-alasan jawaban yang diberikan al-Qur’an dan menyimpulkan prinsip-prinsip hukum atau ketentuan umumnya. Dengan demikian, Fazlur Rahman mengesankan lebih memilih signifikansi makna yang bersifat universal daripada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa lokal-historis. Rahman tidak terikat kepada ungkapan tekstual semata, tapi kepada nilai-nilai substansial yang terkandung di balik ungkapan itu.
Dengan demikian, Fazlur Rahman memberikan beberapa persyaratan metodologis dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, yaitu:
1. Dalam menemukan makna teks al-Qur’an harus digunakan pendekatan historis, yang menempatkan al-Qur’an dalam tatanan kronologis sejarah.
2. Harus dibedakan antara ketetapan-ketetapan legal al-Qur’an dan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuan dari ayat yang diturunkan.
3. Harus dipertimbangkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang sosiologis, sehingga dapat dihindari penafsiran-penafsiran yang subyektif.
Dalam tataran teoritis, metode penafsiran teologis Rahman memberikan harapan akan munculnya suatu kepuasan religiusitas dan intelektual dalam menangkap ajaran agama secara utuh. Hanya saja, kelemahan yang nampak dalam metodologi yang ditawarkannya ini adalah aspek subjektif yang lebih menonjol pada saat melakukan sintesis antara berbagai ayat-ayat teologis yang saling berkaitan. Dalam hal ini, Fazlur Rahman sepenuhnya bersandar pada logika, dan mengabaikan latar belakang dan kronologis turunnya ayat tersebut. Sebab ayat-ayat metafisik dan teologis dalam pandangannya tidak banyak mengalami evolusi dan perkembangan, tidak sebagaimana ayat-ayat hukum. Oleh karena itu ia beranggapan latar belakang dan kronologi turunnya ayat teologis tidak diperlukan lagi. Di sinilah barangkali terlihat aspek keliberalan metodologi penafsiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Konsep Tuhan, misalnya, menunjukkan secara jelas adanya hal-hal semacam itu. Pada masa awal turunnya wahyu, kata “Allah” tidak digunakan, karena untuk meluruskan keyakinan orang-orang musyrik. Pada masa itu mereka juga menggunakan kata “Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan mereka, namun keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan dalam Islam. Dari itu, ungkapan al-Qur’an pada saat itu lebih memilih kata Rabb daripada kata “Allah”.
Aplikasi dan Analisis
Berikut ini akan diangkat sebuah contoh aplikasi penafsiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dalam persoalan teologi, yaitu defenisi Islam. Masalah ini mendapat perhatian penting bagi Rahman karena adanya tuntutan kekinian dari kondisi umat Islam yang menempuh jalan angkara murka, permusuhan, dan pengrusakan atas nama Islam untuk “memerangi” umat agama lainnya.
Menurutnya, sikap Islam yang sebenarnya terhadap keberadaan agama-agama lain, khususnya agama samawi seperti Kristen dan Yahudi adalah sangat positif, tapi sekaligus kritis. Al-Qur’an mengakui umat Yahudi bersama-sama Kristen sebagai komunitas agama yang valid dengan kitab suci, kepercayaan, praktik dan kebudayaannya masing-masing. Ia merujuk kepada al-Qur’an surat Ali ‘Imran (3) ayat 64 yaitu:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ… (آل عمران/3: 64)
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. (Q.S. Ali ‘Imran/3: 64)
Memahami ayat ini, dia menjelaskan ayat tersebut merupakan panggilan yang menyerukan untuk bekerjasama, minimal antara tiga komunitas, Yahudi, Kristen dan Islam. Al-Qur’an tidak mengajar kaum muslimin bersikap eksklusif dalam mengklaim kebenaran, tapi mengajak mereka untuk membuktikan kebenaran itu melalui beberapa ayat al-Qur’an. Karena itu, al-Qur’an mengutuk bentuk-bentuk kalim yang berlebih-lebihan dari orang Yahudi dan Kristen yang menyatakan bahwa diri atau kelompok mereka adalah komunitas pilihan. Namun pada saat yang sama, al-Qur’an juga menuntut umat Islam agar tidak menyembah Allah begitu saja, melainkan mereka harus melaksanakan perintah dan ajaran-Nya.
Dengan demikian, menurutnya, petunjuk bukanlah fungsi dari komunitas tertentu, namun dari Allah dan masyarakat yang bijak; dan tidak ada satu masyarakat pun yang dapat mengklaim bahwa mereka adalah sebagai satu-satunya komunitas yang mendapat petunjuk dan dipilih Allah. Dalam pemahamannya, manusia di hadapan Allah—sebagaimana dinyatakan al-Qur’an—adalah sederajat dan setara. Oleh karena itu, mereka semua dituntut untuk berlomba-lomba mencari dan menemukan kebenaran.
Sebagai konsekuensi lebih jauh dari penolakan Islam terhadap eksklusivisme itu, al-Qur’an dengan tegas mengakui adanya kebaikan (dan kebenaran, pen.) pada komunitas selain umat Islam. Adanya pengakuan ini dapat dilacak dalam surat al-Baqarah (2): 62 dan al-Ma’idah (5): 69 yang menyebutkan bahwa siapa saja dari orang Islam, Yahudi, Kristen dan Shabiin yang mempercayai Allah dan Hari Akhir serta melakukan kebajikan, maka ia akan menadapat pahala dari Allah, serta tidak akan mengalami ketakutan dan kesedihan. Bagi Rahman, ayat tersebut merupakan penjelasan tentang pemberian keselamatan bagi komunitas mana pun asal memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat itu. Pernyataan itu bukan memberi arti bahwa umat Islam, karena adanya kebenaran pada agama yang lain, boleh mengganti agama mereka dengan agama yang lain, atau mereka harus menerima keimanan dari komunitas agama lain.
Selanjutnya Rahman menyatakan bahwa umat Islam—meskipun disebut sebagai kaum penengah (ummatan wasathan) dalam surat al-Baqarah (2): 143 dan sebagai komunitas terbaik (kahira ummah) yang diciptakan untuk umat manusia dalam surat Ali ‘Imran (3): 110—mereka tidak secara serta merta diberikan jaminan bahwa mereka adalah kaum yang dikasihi Allah. Untuk mendapatkan gelar atau sebutan itu, umat Islam harus menegakkan shalat, meningkatkan memperhatikan secara serius, pen.) kesejahteraan bagi kaum miskin papa, menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan. Karena sikap Islam yang sangat menekankan pada aspek usaha nyata itu, al-Quran (surat Muhammad [47]: 38) memperingatkan, jika umat Islam itu berpaling dari ajakan tersebut—mislanya, mereka hanya mengklaim kebenaran, tapi tidak mau membuktikan dan melaksanakan kebenaran itu melalui tindakan nyata—maka Allah akan menggantikan mereka dengan umat yang lain.
Karena itu, umat Islam perlu mengembangkan sikap humanitarianisme universal. Berdasarkan surat al-Hujurat (49): 11-13 tentang larangan hina-menghina, saling mencurigai, saling menjelekkan dan keharusan saling mengenal satu sama lain, dia menyatakan bahwa esensi keseluruhan hak-hak asasi manusia yang berulangkali dinyatakan dan didukung oleh al-Qur’an adalah kesamaan di antara semua ras. Hal ini merupakan karakteristik ajaran Islam yang fundamental dan sekaligus liberal.
Gagasan ilmuwan Pakistan tentang teologi liberal itu telah memberikan harapan yang lebih cerah bagi perkembangan toleransi keagamaan di masa-masa mendatang, dan juga kerjasama yang kukuh antar komunitas maupun bangsa. Sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholish Majid, saat ini manusia hidup dalam global village yang membuat manusia kian intim dan intens mengenal satu sama lain, tapi sekaligus juga akan lebih gampang terperangkap kepada penghadapan dan konfrontasi secara langsung. Karena itu diperlukan sikap saling mengerti dan memahami dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan sebagaimana diperintahkan Allah dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, titik kesamaan yang paling tampak adalah pengembangan dengan nilai perennial yang universal, seperti keadilan, kemanusiaan yang sederajat dan solidaritas sosial yang diletakkan dalam kerangka ketuhanan yang hakiki.
Dari paparan tentang teologi liberal yang digagas Rahman tersebut, dapat dilihat bahwa perhatian utamanya terletak pada perwujudan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Hanya saja, dalam karya-karyanya ia belum melaksanakan sepenuhnya perumusan etika al-Qur’an ke dalam bentuk penjabaran kongkrit. Ia belum melahirkan teori praktis yang dapat menjabarkan etika tersebut dalam satu kerangka kerja yang bersifat operasional. Selain itu, studi kritisnya terlalu menekankan pada aspek internal (disiplin ilmu Islam) sehingga menimbulkan kesan seakan-akan problema yang dihadapi umat Islam terbatas pada kelemahan konsep Islam tentang kemasyarakatan semata. Padahal dalam realitasnya, kondisi umat Islam sepanjang sejarahnya tidak dapat dilepaskan dari faktor internal dan eksternal. Pengabaian terhadap salah satu faktor tersebut tentunya akan mengurangi holistisitas kajian dan solusi yang akan ditawarkan.
Reaksi Lingkungan
Sebagai seorang cendikiawan muslim yang tengah berupaya untuk melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan dan berpikir umat Islam, perjalanan hidup Fazlur Rahman juga menghadapi berbagai rintangan. Apalagi, terkadang pemikiran atau ide yang dimunculkannya tak jarang menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat pada saat itu.
Kontroversial tersebut bahkan sudah muncul sejak pertama kali adanya keinginan untuk melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan yang diambilnya ini merupakan pilihan yang teramat berani karena pada saat itu pendapat umum menganggap aneh bila seorang muslim pergi ke Barat untuk belajar Islam di sana. Bila ada yang berani mengambil langkah seperti ini, resikonya adalah ia tidak akan diterima kembali ke negeri asalnya. Inilah sebabnya kebanyakan pelajar muslim merasa cemas bila mereka belajar Islam di Barat yang secara otomatis belajar tentang metode kritis dan analisis modern terhadap materi-materi keislaman dan menerapkannya. Apabila hal itu dilakukan, mereka akan dikucilkan dalam masyarakatnya sendiri atau bahkan akan ditindas.
Puncak segala kontroversinya tatkala Fazlur Rahman mengemukakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, dan dalam arti kata yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Pandangan itu membuat media massa Pakistan heboh selama lebih kurang satu tahun. Beberapa jurnal kaum tradisionalis dan fundamentalis menyudutkannya dengan menetapkannya sebagai orang yang mengingkari al-Qur’an. Gejolak ini bahkan berlanjut dengan demonstrasi massa dan aksi mogok total secara besar-besaran di beberapa kota Pakistan untuk menyatakan protes terhadap Fazlur Rahman. Hal inilah yang menyebabkannya mundur dari jabatan sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan.
Penutup
Dari penjelasan terdahulu dapat dipahami bahwa perhatian terhadap masalah moral bagi Fazlur Rahman sangatlah penting karena pada tataran itu pesan-pesan al-Qur’an menempatkan dirinya. Untuk itu, menurutnya, al-Qur’an harus dipahami secara utuh, padu, dan sistematis. Melalui pemahaman semacam itu, konsep-konsep yang diangkat al-Qur’an dapat menjadi rujukan dan landasan moral yang kukuh bagi sikap dan perilaku manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat secara keseluruhan. Terlepas dari kekurangan yang ada, jasa dan pemikiran Rahman tidak selayaknya diabaikan begitu saja. Karena itu, tawaran-tawaran Fazlur Rahman sebagai tokoh neo-modernisme masih sangat relevan untuk diperdebatkan dan didiskusikan secara lebih serius, ditelaah dan dikembangkan secara kritis sampai saat ini.
KEPUSTAKAAN
Ali, Fachry dan Bachtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa orde Baru. Bandung: Mizan, 1992.
A’la, Abd, Dari Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina, 2003.
Amal, Taufik Adnan, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1992.
Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat Jilid 5. t.tp.: Universitas Sriwijaya, 2001.
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 6. Bandung: Mizan, 2005.
M, Afrizal., “Fazlur Rahman dan Pemikiran Pembaharuan dalam Islam” dalam Jurnal Pemikiran Cendikia, Edisi II, Januari 2000.
Ma’arif, Ahmad Syafe’i, Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
--------------, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994.
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1995.
Al-Maududi, Abu al-A’la, “Political Theory of Islam”, dalam Islam Indonesia Transision: Muslim Persfektives, ed. John Jl.. Donohue and John L. Esposito. New York: Oxford Univ. Press, 1982.
--------------, The Islamic Law and Constitutions, ed. Khursid Ahmad. Lahore: Islamic Publication, 1977.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rahman, Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam/Fazlur Rahman, terj. Aam Fahmia, Judul Asli: Revival and Reform in Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
--------------, “Membangkitkan Kembali Fisi al-Quran: Sebuah Catatan Otobiografis” dalam Al-Hikmah No. VI Dzulhijjah 1412-Rabi’ul Awal 1413/Juli-Oktober 1992, Abdi M. Soeherman dkk. (ed.). Bandung: Yayasan Muthahhari untuk Pencerahan Pemikiran Islam, 1992.
--------------, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
--------------, Major Themes of the Quran. Minneapolis: Bibliatheca Islamica, 1989.
--------------, Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994.
--------------, Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Al-Razi, Muhktâr al-Shihah. Beirut: Maktabah Lubnan, 1988.
Al-Syahrastaniy, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim, al-Milal wa al-Nihal Jilid 2, ta’liq: Ahmad Fahmi Muhammad. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Cet. V, Bandung: Mican, 1999.
makasi artikelnya...
BalasHapus