Oleh : Muhammad Ilham
PADANG TODAY – ONLINE, 20 Februari 2008. Toyota Corp. mengalokasikan 35 % dari keuntungan bersih untuk iklan dan sosialisasi. Demikian juga Mitsubishi Corp. sampai 40 %. Biaya kampanye Obama hampir tersedot 60 % untuk iklan (iklan serius, bukan iklan main-main). Mengapa iklan begitu penting ? Menurut pakar marketing, setidaknya ada empat alasan utama.
Pertama, pendatang baru (baca: hanya berlaku pada produk baru) perlu diperkenalkan ke konsumen soal manfaat positifnya menggunakan produk tersebut. Kedua, Produk yang sudah ada, tetapi penjualannya tetap, tidak berkembang, jarang diminati. Untuk meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut berkualitas, produsen meyakinkan konsumen lewat iklan bahwa produk tersebut sudah teruji dan mampu memecahkan masalah. Ketiga, meski jarang terjadi, tapi dapat juga ditemui yaitu iklan klarifikasi. Produk sudah ada, tapi terjadi “kesalahan”, baik internal maupun sabotase, maka si produsen mengeluarkan iklan klarifikasi, seperti kasus makanan. Keempat, menginformasikan ke publik mengenai prestasi yang diperoleh produk tersebut. Ini untuk makanan dan sejenisnya. Lalu bagaimana dengan iklan politik ?
Jelang Pemilu April 2009, iklan politik banyak didominasi oleh politisi-politisi pendatang baru. Publik awam dengan mereka. Mereka sama sekali belum dikenal publik. Lewat iklan, mereka mencoba memperkenalkan diri – “untuk tidak menyebut menjual diri” – dengan berbagai tawaran, biasanya tawaran yang maksimal dan terkesan normatif – tidak konkrit. . Dari pendidikan, kesehatan sampai kesejahteraan. Entah bisa atau tidak, yang pasti mereka berani dan mau bersusah payah untuk melakukan “political engineering” meyakinkan pemilih untuk memilih mereka. Pendatang baru karena selama ini belum memberikan kontribusi dan mencoba untuk masuk sebagai pejuang baru alternatif pengganti politisi-politisi lama yang tidak juga memberikan kontribusi. Mereka ada yag datang sebagai pengusaha, artis ataupun genetis.
Sebetulnya tak masalah jika ketiga jenis pendatang baru itu masuk dalam kancah politik. Tapi apakah mereka memiliki bekal politik atau tidak. Kalau tidak, apa yang bisa diandalkan sebagai wakil rakyat. Di parlemen, ada tiga tugas pokok yang harus dilakukan penghuninya. Budgeting, legislasi dan controling. Ketiga hal ini, meski harus dikuasai anggota DPR/D, kita masih bisa maklum bila ada juga yang tidak menguasai atau boleh dikata memang tidak tahu sama sekali. Di sana ada tenaga ahli yang bisa ditanyai soal itu. Lalu bagaimana soal kemampuan lobi, kemampuan argumentasi, kemampuan meyakinkan kawan atau lawan politik. Skill seperti itu tidak mungkin ditransfer dari orang lain, dan mustahil untuk bisa dipelajari dalam waktu sebentar. Lihat saja pengalaman selama ini, ada anggota dewan tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu dimana dan bagaimana tanggung jawab parpol yang mengusung mereka. Apakah selama ini mereka mengikuti pengkaderan politik. Pengkaderan idealnya harus belajar ideologi dan dogma parpol, belajar berorganisasi (pengambilan keputusan, cara berdebat, administrasi, dan kepemimpinan), membaca dan menganalisa gejala-gejala politik, dan bagaimana strategi memperjuangkan nasib rakyat. Kalau itu belum terlewati, jangan harap durian runtuh. Apa yang mau diharapkan pada parpol. Barang kali karena itulah angka golput kian menggila dimana-mana, atau mungkin karena itulah sejumlah kawan-kawan mendesak calon independen untuk kepala daerah bahkan sampai presiden sebagai peringatan lemahnya kinerja parpol. Atau kalau harus berbesar hati, parpol harus mengakui bahwa harga sebuah nomor urut bagus bagi yang bukan kader parpol menjadi caleg adalah sebanding dengan biaya satu atau dua kali kampanye atau puluhan baliho berukuran besar bagi parpol yang hendak beriklan. Good ideal for political party is political selection, not only for election.
Model iklan yang kedua adalah politisi yang sudah berpuluh-puluh tahun berkiprah tapi tidak pernah menikmati kursi di parlemen. Mereka berusaha meyakinkan lagi, lagi dan lagi bahwa mereka “mampu” memperjuangkan nasib rakyat. Politisi semacam ini yang masuk kategori tidak menyadari kelemahannya. Meski bukan pendatang baru, barangkali prestasi yang dibuat tidak cukup meyakinkan publik. Terlalu banyak mengkritik, tetapi isi kritik sering pula dilakukannya dalam waktu dan tempat yang berbeda. Terlalu banyak konsep, tetapi ia sendiri sulit melakukannya. Dengan iklan politik, ia mencoba dengan tampilan baru, meski tetap usang. Model iklan politik yang ketiga adalah politisi yang memiliki reputasi buruk pada masa lalu seperti pelanggaran HAM, korupsi dan dunia hitam lain. Beberapa bulan ini, ada sebuah parpol yang berusaha meyakinkan ke publik bahwa pemimpin mereka bukan pelaku pelanggaran HAM. Dan keempat adalah munculnya iklan-iklan politik berisikan prestasi-prestasi yang dicapai selama ini. Ada yang mengaku sebagai pengawal keadilan, tokoh pemersatu bahkan seperti seorang pahlawan bagi kelompok tertentu. Sebuah parpol pengusung pemerintah, tampil seperti malaikat dalam iklannya. Semua prestasi-prestasi selama ini disampaikan. Penurunan harga BBM Rp 500 menjadi sebuah senjata ampuh, padahal sebelumnya naik Rp 1.500. Ada lagi dengan kesuksesan-kesuksesan lain, namun anehnya setiap hari kita menonton TV dan membaca koran berapa saja yang meninggal dunia setiap harinya akibat kelaparan, ibu membunuh anak karena himpitan ekonomi, banyak yang mati karena harus bekerja keras, meski beresiko sekalipun, gizi buruk belum juga terpecahkan dan banyak yang mati di rumah sakit karena terlambat dilayani. PHK dimana-mana. Apakah itu prestasi. Ini hanyalah sebuah gambaran dari sekian banyak manipulasi agar publik tertarik. Tapi sinisnya kita dengan model-model demikian, tidak dengan beberapa hasil survei mengenai manfaat iklan politik. Riset Lembaga Survey Indonesia menyimpulkan, meluasnya iklan partai politik memang telah mendongkrak dukungan bagi partai-partai yang gencar melakukan iklan politik seperti Gerindra dan Partai Demokrat. Jajak pendapat terakhir menunjukkan Partai Demokrat melesat di urutan pertama mengungguli Partai Golkar dan PDIP. Sementara Partai Gerindra meloncat ke posisi tengah menggulung partai lama seperti PAN dan PPP.
Isi yang disampaikan lewat iklan politik relatif berbeda. Ada yang sekedar memberi ucapan dan selamat, ada juga yang berisi himbauan atau dukungan, ada yang menawarkan visi dan program, meski sulit membedakan mana yang visi dan mana yang program, ada juga yang dengan kesombongannya mengungkap prestasi yang dilakukan selama ini dan ada juga yang terang-terangan mengajak pemilih untuk memilihnya. Iklan politik menjadi alternatif utama untuk menarik simpati pemilih. Motivasi iklan politik caleg didasari oleh perenungan bahwa ia belum pernah berbuat apa-apa. Dia tidak yakin apakah publik mengenalnya. Kita jangan terjebak dengan kata-kata dan janji-janji yang disampaikan. Ukur caleg dari kontribusinya, pengalamannya dan etikanya. Teliti sebelum membeli atau teliti sebelum memilih. Sudah saatnya pula, media massa meblow up secara kontiniu, Track Record para Caleg. Bukan Golput yang harus diharamkan, akan tetapi, justru memilih orang-orang “bermasalah” yang dilarang. MUI hanya memberi fatwa. Pers – dengan “powernya – harus “menggila” dalam memberikan informasi kepada publik. Akhirnya, menjadi Caleg merupakan akumulasi dari investasi masa lalu. Karenanya, seseorang yang ingin maju menjadi Caleg, kelak, maka dari sekarang ia harus menginvestasikan nama baiknya sebaik mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar