Kamis, 12 Maret 2009

Nagari Berbasis Kultural Minangkabau

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si

Nagari ketika berubah menjadi Desa, otomatis janji orang Minang jadi usang malah lupa. Janji itu “syarak mangato adat mamakai” implementasi falasafah “Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK). Tak cukup Perda Sumatera Barat No.13/1983 menguatkan apalagi memenuhinya. Apakah otonomi daerah di Sumatera Barat sekarang dengan sistim “kembali ke Nagari berbasis Surau” sebagai implementasi UU No.22/ 1999 dan Perda Sumatera Barat No.9/ 2000 mampu mengisi janji itu?

ABS-SBK dari catatan Mestika Zed (2002:4) sering muncul dalam perbagai istilah yang bergonta ganti: sebagai falsafah atau pandangan hidup sebagai kebudayaan, tradisi, visi, identitas atau adat itu sendiri dll. Sejauh diikutinya tidak satupun yang membahasnya dalam pespektif perbandingan istilah (cross terminology), meski pun sudah cukup banyak lembaga yang menyeminarkannya dan dicatatnya. Pada bagian lain Mestika Zed (2002:6) mencoba menyimpulkan gagasan ABS-SBK dari pendapat berkembang, pertama doktorin sosial orang Minangkabau, kedua mempunyai fungsi patokan value (nilai), ketiga sebagai doktorin sosial tidak statis. Ia juga menjebut sebagai efistomologi pemikiran Minangkabau yang sarat dengan cara pandang filosofis. Pemikiran ini mengajak berfikir lebih dalam lagi mendekati adat Minang dalam kaitan dengan Islam. Sebab satu sisi adat lebih banyak mengambil contah pada alam dibanding kepada Islam, meskipun Islam sejak awal turunnya menawarkan perintah iqra’ yang dapat dimaknai sebuah perintah membaca alam.
Terlepas dari pro kontra memaknai ABS-SBK ini, ada baiknya menetapkan sikap menyebutnya sebagai doktrin sosial orang Minangkabau, yang dalam tataran ini orang Minang masa lalu merumuskan dirinya sebagai kelompok masyarakat beradat, keluar dari diktum ini seperti yang disebut Mestika Zed mengutip Taufik Abdullah berarti keluar dari ke-Minangkabauannya. Satu hal yang menjadi pemikiran, kalau istilah masih tidak dimengerti dan terjebak dalam perdebatan panjang, kapan lagi mau mensosialisasikannya, sebagai sebuah janji (di Bukit Marapalam) oleh para pemuka adat dan Islam. Pengkhianatan (meminjam istilah Wisran Hadi) sudah banyak terjadi terhadap janji ABS-SBK ini. Latar Perang Paderi (1821 –1837) satu di antaranya, sehingga mengakibatkan terdepaknya kepemimpinan agama oleh adat yang ditopang Belanda. Menyusul nagari berubah jadi desa tahun 1982 sebagai implementasi UU No.5 Tahun 1979. Serta merta fenomena itu mengaburkan doktorin sosial Minang ini, bahkan nyaris lenyap andai tidak ditopang Perda Sumbar No. 13/ 1983.
Nilai dasar ABS-SBK dalam tataran identitas masyarakat Minang sebagai kelompok masyarakat adat dan Islam, mengacu dr. Alis Marajo (2002:2) ada 4 nilai yakni budi, akal, ilmu, mungkin – patut. Disebut Alis Marajo, setelah evolusi agama Majusi, Hindu, Budha (dan agama lain disebut Mukhtar Naim Palbegu), maka Islamlah yang paling cocok dalam memperkuat nilai-nilai dasar Minang. Tertuanglah dalam mamang adat : ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu.Berarti nilai dasar Islam adalah (1) hakikat, (2) tarekat, (3) ma`rifat dan (4) syari’at. Empat nilai dasar Islam ini digunakan sebagai pengayaan adat dalam mengatur tertib sosial dalam bentuk norma disebut undang adat. Nilai-nilai dasar adat itu disosialisasikan di lembaga-lembaga yang menjadi persyaratan berdirinya nagari, yakni (1) budi di surau (juga di gobah, palanta), (2) akal dibentuk di Balai, (3) Ilmu diuji di Gelanggang, dan (4) mungkin dan patut disosialisasikan di tepian tempat mandi.
Surau sebagai simbol budi yang dalam pembinaannya adalah otoritas sosial masyarakat penghulu, peranan itu nyaris tidak ada lagi. Peluang sebenarnya dalam era otonomi ada UU 22/ 1999 dan Perda Sumbar No. 9/ 2000, sebagai dasar pencanangan sistem “kembali ke nagari” basisnya surau. Kembali ke nagari yang dimaksudkan kembali membangun kehidupan bernagari yang ideal dan penghulu kembali mempunyai surau untuk membuat kemenakannya berbudi (berakhlak). Dalam prakteknya kembali membangun kehidupan bernagari sejalan dengan perkembangan masyarakat modern Minang, ada hal yang relistik dan optimis bisa dilaksanakan, namun ada pula aspek-aspek yang utopis (angan-angan) dan pesimis dapat dilaksanakan. Pengembalian fungsi surau termasuk di antaranya angan-angan, kecuali mungkin dalam format baru surau basis, namun rumusannya meskipun alternatif pun belum ada.
Angan itu semakin diyakinkan dengan nostalgia dan apologetik membela pengalaman nagari masa lalu. Dipertebal pula sikap political euphoria dalam proses era perwujudan masyarakat madani (civil society) yang menekankan prakarsa peran serta (participation) masyarakat nagari dibanding prakarsa dan partisipasi negara dalam pembentukan subjek politik (social and political) baik infrastruktur politik yang terdiri dari political party, movement group (kelompok penggerak) dan pressure group (kelompok penekan), maupun suprastruktur terdiri dari NGO (Non Government Organization) atau LSM (Lembaga Sosial Masyarakat).
Aspek yang menjadi angan itu dalam kembali kepada kehidupan bernagari secara ideal, sebenarnya cukup besar. Di antaranya yang sangat fenomenal banyak dibahas Hasrifendi dan Lindo Karsya dalam bukunya Utopia Nagari Minangkabau (2003) yang saya siasati dalam sebuah pengantar saya dengan topik Pasang Surut Pemikiran Orang Minang. Ada beberapa kasus misalnya, (1) “Pengembalian Peranan Ninik Mamak”, di tengah-tengah terjadi kemerosotan charisma dan krisis kepercayaan terhadap ninik mamak. Kerisis kepercayaan itu disebabkan (a) fenomena menciutnya harta pusaka tinggi satu bentuk materi hukum adat yang selama ini digunakan ninik mamak menegakkan kharismanya dalam kaum, (b) semakin besarnya peranan ayah dalam bidang materi serta perhatian terhadap anak dan kaburnya peranannya sebagai urang sumando di kaum anaknya pada satu sisi dan di sisi lain ia seperti tidak merasa sebagai mamak di kaumnya sendiri. Fenomena sikap lelaki dewasa Minang itu pada gilirannya mengaburkan hubungan anak kepenakan, bagi seorang ayah ialah anak dan bagi mamak ialah kepenakan; (2) mewujudkan surau basis kehidupan bernagari di tengah-tengah surau tidak ada lagi, sebagian sudah roboh dan sebagian telah menjadi masjid raya yang fungsi juga tidak jelas. Dahulu musajik berfungsi sebagai tempat sosialisasi tarekat, sekarang mengalami disintegrasi fungsi sosial (meninggalkan nilai lama yang telah mapan dan menganut nilai baru yang sepenuhnya belum dimengerti). Masjid sekarang kalau disebut pusat ibadah tanggung, disebut fungsi pusat kebudayaan pun tak memiliki kapasitas untuk itu. Lalu fungsi surau, dulu tempat menempa budi pekerti anak kemenakan, memungkinkan, dulu mereka tidur di sana dan arsitekturnya sehat surau bambu, sekarang surau batu, orang tua khawatir anaknya bakal sakit tidur di sana. Dengan sikap masyarakat terhadap surau sekarang pasca beralihnya pendidikan Islam dari surau ke madrasah dan diperparah dengan langkanya surau yang menjadi basis kehidupan bernagari, jangankan nilai dasar Minangkabau tadi yang bisa tersosialisasi, bahkan memformat surau yang berpotensi sebagai basis kehidupan nagari saja pun sulit.
Di tengah problematika mencari surau basis di samping segudang masalah dan angan kembali kenagari itu, ABS-SBK harus disosialisasikan, karena janji telah dibuat lagi membangun kehidupan bernagari berbasis surau demi keselamatan masa depan masyarakat modern Minangkabau dalam perspektif. Bagaimana caranya?.
Tidak ada cara lain selain harus memulai menjadikan ABS-SBK sebagai fiqh al-bathin (kode prilaku) dalam kehidupan Minang. Tindakan ini sebagai cara lain dari berterima kasih, meminjam ungkapan Mestika Zed (2002:13) berbahagialah masyarakat Minang yang mewarisi tradisi dan nilai kearifan nenek moyang yang mempertautkan nilai-nilai adat dan nilai-nilai Islam sebagai suatu kesatuan yang harmonis lewat khasanah pemikiran ABS-SBK ini. Proses sosialisasi ABS-SBK ini diperlukan kerja sungguh-sungguh dan sistemik. Memperhatikan kondisi objektif nagari seperti tadi dengan melihat potensi dan kelemahannya, menyidik pengaruh lingkungan strategis dengan melihat secara jernih peluang dan tantangan, bekerja dengan memperhatikan paradigma nasional daerah dan sosial kemasyarakatan nagari. Kemudian menentukan subject (yang punya otoritas sebagai pelaksana) yang bertanggung jawab, menetapkan berapa aspek arah kebijakan yang akan dirumuskan ke dalam sebuah program, kegiatan dan upaya dan dilakukan dengan metode strategis. Arah sosialisasi ABS-SBK jelas mewujudkan kehidupan bernagari yang ideal atau yang diharapkan, setidaknya: nagari aman, padi menjadi dan rakyat senang.
Kondisi objektif nagari tadi dari awal sudah dicover sedimikian rupa, potensi dan kelemahannya yang memang berada pada kondisi memerlukan pengisian janji syarak mangato adat mamakai dalam ABS-SBK. Dari fenomena lingkungan strategi baik lingkungan Internasional yang arus transformasinya amat deras, kecenderungan pengaruh regional yang menantang posisi tawar dan arah kebijakan nasional dalam otonomi daerah serta Sumatera Barat yang memusatkan perhatian kembali ke nagari berbasis surau, menantang nagari mengambil peluang menjadi nilai ABS-SBK sebagai prilaku kehidupan masyarakat modern Minang dalam perspektif ke depan. Siapa yang berada di garda terdepan ?
Dilihat dari stratifikasi sosial masyarakat Minang, maka kelompok sosial yang paling punya otoritas sosial dan bertanggung jawab sebagai subject ada tiga unsur besar. Pertama Persandingan Pemerintahan Nagari, DPN diperkuat BMAS, kedua unsur KAN dengan urang nan-4 jinih (penghulu, manti, dubalang, malin) ditambah dengan urang jinih nan-4 (imam, katik, bila dan kadhi) dan ketiga unsur stake holder (komponen ninik mamak, alim ulama, Bundo Kandung, cadik pandai, pemuda) diperkuat pihak swasta.
Otoritas sosial tiga unsure subject tadi, misalnya khusus komponen urang nan-4 jinih dan jinih nan-4 tadi, pendistribusian tugas/ kewajibannnya terlihat dalam mamang adat (Alis Marajo, 2002:4): nan babudi penghulu/ nan baraka manti/ nan bailmu malim/ nan tahu dubalang.Tadi disebut nilai Islam yang paling cocok dalam memperkuat nilai-nilai dasar Minang yang tertuang dalam mamang adat: ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu. Lembaganya adalah (1) surau tempat menempa budi, (2) musajik tarekat, (3) balai membentuk aka, (4) di tepian mematangkan mungkin dan patuik. Terlihat persandingan yang harmonis antara infra dan suprastruktur serta stake holder lainnya sebagai pelaksana sosialisasi adat dan syarak sejak dulu di Minangkabau.
Nilai adat dan syarak itu kembali diaktualisasikan sebagai arah kebijakan yang akan dituangkan dalam program, kegiatan serta upaya-upaya intensif, ditopang dengan seperangkat strategi. Strategi mendasar setidak 4 metode: pertama recovery, diperlukan karena Sumatera Barat baru saja kembali ke nagari berbasis surau, perlu pemulihan kehidupan nagari ke arah yang ideal, kedua akuntabilitas untuk bekerja efisien, ketiga transparansi untuk bekerja efektif dan keempat sustainabilitas untuk memberikan jaminan. Strategi ke-2,3,4 dilaksanakan untuk memudahkan merekrut partisipasi dalam membangun komitmen kembali ke nagari dan mensosialisasikan ABS-SBK.
Di antara bentuk sosialisasi ABS-SBK aspek budi dan indikator ukurnya sudah digariskan dalam nilai syarak dan dipakai adat. Nilai-nilai itu mengatur tingkah laku, perangai dan tata tertib sosial (taratik). Implikasinya sikap sopan santun dapat dilihat dalam life sycle (siklus kehidupan) masyarakat. Taratik yang memperlihatkan sopan santun Minang itu di atanranya:
a. Taratik duduak tagak
Adinegoro, pernah mengcover 99 salah dalam sebuah tata kritiknya dalam disiplin adat Minang. Di antaranya salah sikek, salah tagak, salah duduk dll. Salah duduk digambarkannya: baju lapang nan bapakai/ nan tuo didahulukan/ patuik bajuntai bajuntai/ patuik baselo baselo/ duduk jan galisah. Dalam pergaulan, ninik mamak marah serta merta bila kapanakan mengangkat kaki saat duduk di depan mamak. Di dalam perhelatan juga ditata adat jangan sampai masyarakat adat salah kadudukan. Bentuknya mamak tidak duduk di ujung, sumando tidak duduk di pangka.
Lebih luas dalam tata pergaulan sosial masyarakat adat, ada proporsi yakni duduk tagak sesuai dengan tata karama. Janggal seseorang duduk atau tagak di tapi labuah. Jangan duduk tagak di labuah, nanti bisa tasinggung ka nanyiak talantung ka turun. Demikian gaya tagak dan tagak itu di labuah nan golong pula (termasuk di pinggir jalan). Tagak pinggang di tapi labuah nan golong diartikan di dalam persepsi adat dengan mancari lawan. Kalau lawan dicari pasti dapaek lawan. Perinsip orang Minang, lawan indak dicari basuo pantang dielakan.
b. Taratik Bakawan
Tertib berkawan di Minangkabau mencerminkan citra kawan sejati. Dalam Islam diamanahkah innama l-mukminuna ikhwah. Dirinya sama dengan diri temannya. Lama dek awak katuju dek urang, tidak lamak dek kukuran saja, tajam sabalah, karambi nan habis. Nilai ini mengaplikasikan ajaran Islam …yuhib linafsihi (mencintai teman sama dengan diri sendiri). Citra bakawan dalam tataran adat Minang, di antaranya malu samo ditutuik, tuah samo dicari. Kalau rugi samo mancucui, kalau balabo samo dibagi, jan diguluang surang. Barek tolong manolong. Lupo baingekan, talalok bajagokan, salah basapo tuka baasak. Merawat citara bakawan itu di Minang, diingatkan bakawan jo rang maling tabao maling, bakawan jo rang alim tabao alim.
c. Taratik Bakato
Teknik berbicara diajarkan oleh adat, bakato marandah dan mangecek gulung-gulung lidah. Dengan siapa lawan bicara, sudah tahu lawan bicara, berbicaralah tapi tahu dengan nan ampek. Tempat berbicara pun haras diperhatikan. Kata adat: batampek mangecek, ota lapau di lapau, ota adat dalam upacara adat. Materi bicara pun diamanahkan, hati-hati, apa yang manjadi buah kecek). Nilai ini berakar dari katao syarak: kalau mangecek ada tiga teknik dan materi serta lawan bicara. Kepada yang dimuliakan gunakan teknik kata karim (bicara yang tidak menjatuhkan martabat dan kemuliaan orang yang lebih tua dan terhormat), kata makruf (bicara benar kenal dengan lawan bicara, sehingga tidak melecehkan dan menyinggung), dan kata sadid (bicara yang halus, bening dan menyejukan semua lapisan lawan bicara). Mangango dulu baru mangecek, supaya berbicara tidak seenak perut. Mangango dulu baru mangecek sebenarnya mengidentifikasi keteladanan cara berkatanya Nabi saw dalam keyakinan syari’at: nuthqi dzikran (bila ku berbicara, berarti ku mengingat Allah). Terhindar berbohong. Orang berbohong sama bertopeng, gugup, takut, bingung kalau-kalau sikap kamuflasenya dan topengnya terbuka.
d. Taratik bajalan, kapai dan kapulang
Bajalan, pulang dan pergi adat tertib sosial masyarakat Minang. Berjalan digambarkan dalam kewaspadaan adat: enjek-enjek kaki, jan ada kesan saumpamo kacang diabuih ciek.Dalam berjalan bajalan ba nan tuo. Dalam Islam berjalan terutama berombongan minimal dua orang, harus ada yang memimpin (nan tuo, umur dan kecakapan). Dalam berjalan, minta permisi nak daulu, kalau ingin lebih cepat. Abi cupak dek karelaan, lipuih adok jo palilisan (mendahului orang tua tanpa izin ntar kualat lu). Dalam sebuah perjalan ada yang ditinggalkan, diatur etikanya: pai jo mufakat – jansampai tak babarito. Tingga jo runding – jan sampai tak tampak punggung.
Pulang babarito. Pasti banyak yang dilihat dalam jauhnya berjalan dan banyak nan basuo. Pulang tampak muko, perlihatkan muko nan janiah dn hati nan suci. Berceritalah, jauh bajalan banyak nan basuo. Ajaran Islam: berjalanlah, berdarmawisata itu ada 5 manfa’at: (1) tafarrukhu l-hammi (refresing, menghilangkan pusing), (2) iktisab ma`isyah (mencari hidup, berbisnis), (3) al-`ulum (mencari ilmu), (4) al-adab (pengayaan budaya kehidupan yang berbudi) dan (5) suhbat al-majid (mencari kawan yang baik-baik). Karenan berjalan bagian perintah Islam, berjalanlah agar sehat (panjang umur), penggalan dari Hadis Nabi saw.
e. Taratik babuek
Babuek (bekerja) dalam tata krama adat diingatkan, jan sumbang salah, dago dagi. Jangan sampai terpanjat kayu berduri, setidaknya cemo, karena basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak. Implikasinya membuat pribadi selalu bingung dan tegang. Orang, sekali loncong ke ujian seumur-umur orang tidak percaya.Untuk memelihara perbuatan, padai-padai berbuat baik, berbuat buru jauh sekali.
f. Taratik mambagi hak dan kewajiban
Nagari sudah mempunyai kewenangan dalam pemerintahannya. Kewenangan ada dua sifat, yakni otonomi murni dan sektoral. Dalam pelaksanaannya pemerintahan nagari didasarkan kepada nilai-nilai adat salingka nagari baik dalam sisteim nilai maupun secara struktural yang bapucuk bulek ke atas dan berakar kebawah.
Implementasi kewenangan dalam tataran adat salingka nagari, pemerintahan nagari berfungsi: (a) sebagai fasilitator (1) kembangkan masyarakat madani (NGO/ LSM subur, perjuangan masyarakat secara etis dan bertanggung jawab perbaiki nasib sendiri), (2) fasilitasi KAN dalam urus sako pusako antar suku, keputusan adan dan hukum adat dalam tabang manumpu inggok mancakam, pemberian gelar adat, tanah ulayat, symbol/ lembaga adat, sistem adat dalam lingkaran hidup (life sycle) masyarakat, (b) membuat peraturan Nagari dan kehidupan masyarakat Nagari dengan persetujuan kepada masyarakat adat Nagari melalui Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) dengan mekanisme menyatukan aspirasi dan pendapat pada lembaga ninik mamak (KAN) dan lembaga ulama yang berperan sebagai tempat bermufti (minta fatwa) tentang syarak mangato dan adat mamakai, (c) memantapkan pelaksanaan adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, dll. Artinya wali nagai dalam wilayah admistrasi pemerintahan nagari tidak menafikan peranan pemuka adat dalam nagari sebagai sub kultur Minangkabau.
g. Taratik mandi
Tatakrama mandi, nilai adat menanamkan ajaran antri. Bak pai orang mandi nan daulu didaulukan. Etika mandi ini dahulu terlihat citra mandi di picuran. Berbeda mandi di tepian. Tepian itu sendiri menjadi forum mengukuhkan mungkin dan patuik. Makanya nilai mandi di tepian diajarkan adat: mandi di bawuah-bawuah (baruh) sama halnya dengan berbicara merendah :mangecek di bawah-bawah). Mandi di baruh itu ada nilai kemanusiaan. Kalau tidak mau di baruh mandi, di atas (di hulu) jangan seenaknya berak dan kencing di atas. Siapa seenaknya kencing dan berak di tepian atas, berarti tidak menghargai orang di baruh, melanggar HAM orang di baruh dan suatu pertanda orang di atas dikhawatiri imannya, karena tidak mengasihi orang lain seperti dirinya. Mandi di tepian bakain sampiang. Kain samping itu di waktu pagi orang melihat, kalau kain samping basah dan tersampai di sampaian, tando orang di rumah itu sudah sumbayang subuh.
h. Taratik makan dan minum
Tatakrama makan minum, duduak baselo bagi laki-laki, basimpuah bagi parampuan. Mulai makan diisyaratkan kulimek (hemat). Meskipun lapar, dihindari terlihatnya citra lapa dan cangok (rakus). Ibarat menaiki jenjang mulai dari tangga pertama. Kalau ada 7 macam makanan, mulailah mengambilnya dari sayur. Ingat ajaran Nabi Sulaiman!, membuang orang kelaut karena tatakrama makan tidak tahu, memulai mengambil sambal dari ikan.
Kapasitas makan tidak boleh israf (berlebih), sasuok duo suok kanyang. Kalau mau makan banyak dan kenyang-kenyang di rumah sendiri. Di tempat rami atau kenduri makan baradat, diutamakan basa basi. Karenanya jangan terkesan rakus dan tak tahu adat, disunatkan sebelum pergi baralek makan dahulu di rumah, supaya nafsu makan kurang dan tidak terjangkaukan tangan kepada makanan yang jauh dianggap cemo di mata orang banyak. Minum juga demikian ada tatakrama. Kalau minum pakai tadah dan ditutup minuman untuk penghulu. Dalam kenduri kalau belum dipersilakan minum, tidak boleh minum. Kalau bertamu dan diberi minum, gelasnya pakai tadah, maka etikanya mengangkat gelas dengan tadahnya pada hirupan pertama.
i. Jago dan lalok
Tidur pun ada kearifan orang adat. Kalau mau tidur, sesuaikan panjang badan jo laweh lapiak. Lalok basamo jan mangatua (bagalung). Dicegah banyak tidur siang, atau bangun tinggi hari. Biasa jadi ocehan lalok tinggi hari (siang), ditandai sikapnya suka main enak saja. Suka mendapat saja tanpa banyak bekerja. Urang laweh pusako pamalas, urang lalok tinggi hari yang mendapat, sebuah kias. Situasi lalok pun diberi isyarat adat. Jan lalok paruik kanyang, putih urek paruik. Jan manangkuik mati amak. Lalok sesudah makan dicap kebiasaan buruk dalam adat.
Betapa mempesona sikap keseharian orang Minang sebagai kelompok sosial adat dan Islam dalam tataran ABS-SBK. Pada bagian akhirnya ditegaskan, tersosialisasinya ABS-SBK ini dan menjadi kode prilaku orang Minang dalam kehidupan sehari-harinya, pastilah akan mengukuhkan citra Minang kelompok masyarakat adat dan Islam itu. Pada gilirannya cita nagari akan mudah diwujudkan: nagari aman, rakyat sanang, padi manjadi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar