Kamis, 22 November 2012

Kehidupan Sosial di Mesir Pada Era Pemerintahan Mamluk

Oleh : Khilal Syauqi, Lc., MA (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)

Tulisan ini membahas tentang keadaan sosial dan keagamaan masyarakat di Mesir setelah kehadiran para Mamluk dan menjadi penguasa di sana. Para Mamluk ketika menjadi penguasa secara tidak langsung telah menciptakan satu komunitas baru di Mesir yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat lainnya. Praktik-praktik keagamaan juga memiliki corak baru di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk ini. Para mamluk yang hanya mendapatkan pendidikan agama setalah mereka di bawa ke Mesir ternyata mampu memberikan contoh sikap toleran dalam keberagaman paham-paham/mazhab-mazhab yang sedang berkembang, sehingga terwujudlah suatu kerukunan keber agama-an di Mesir yang terus berlangsung sampai saat ini. A. PENDAHULUAN Sejak kedatangan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab Islam ke Mesir, nyaris masyarakatnya tidak ada yang pernah memimpin negeri ini. Warna kehidupan masyarakat Mesir ini selalu berubah-ubah sesuai dengan warna penguasa. Bisa dipastikan perubahan kehidupan di Mesir secara masif terjadi ketika kota ini dijadikan salah satu kota terpenting dalam setiap periode pemerintahan Islam. Salah satu budaya yang masuk dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Mesir adalah budaya Arab, bangsa Mesir yang pada awalnya bukanlah sebuah komutis Arab, setelah masuknya Bangsa Arab Islam ke negeri ini, menjadi salah satu kota di Benua Afrika yang menerapkan dan menjalankan tradisi sesuai dengan budaya Arab pendatang tersebut dan nyaris budaya lokal “fir’auniah” di Mesir menjadi redup dengan datangnya budaya Arab Islam itu. Kebudayaan lain yang juga berpengaruh di Mesir adalah kebudayaan bangsa Turki, bangsa Persia dan bangsa-bangsa di Asia Tengah lainnya yang pernah berperan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan Islam, terutama pasa saat kekha-lifahan dinasti Abbasiah. Masuknya unsur-unsur baru ini tentu membawa pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan yang ada di Mesir pada kurun waktu berikutnya. Keberadaan Dinasti Mamluk sebagai penguasa di Mesir pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Ayyubiah memberikan warna baru dalam segala sendi kehidupan di Mesir. Di antara yang menarik untuk dicermati terhadap warna baru yang muncul itu adalah hal tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan keberagamaan yang berlangsung. Dalam sejarah perkembangan Islam klasik baru kali ini terjadi kelompok orang-orang yang awalnya berasal dari para budak ternyata mampu menjadi komunitas masyarakat terhormat di sebuah wilayah yang juga bukan merupakan wilayah asal mereka. Keberagaman paham keagamaan di Mesir selama era Mamluk ini juga menjadi menarik diperhartikan, ternyata aspek keagamaan di Mesir selama masa pemerintahan Mamluk dapat dikendalikan dengan baik dalam keaneka ragaman mazhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin sekali mengungkapkan bagaimana kondisi kehidupan sosial kemasyara-katan dan keberagamaan di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk. B. KEHIDUPAN SOSIAL DI MESIR ERA PEMERINTAHAN MAMLUK Para Mamluk berasal dari berbagai unsur masayarakat yang berada jauh dari Mesir. Seperti unsur Turki, Syirkasiah, Yunani dan lain sebagainya. Mereka dijual di pasar-pasar budak dan pada akhirnya dibeli oleh para Sultan penguasa Dinasti Ayyubiyah kemudian dijadikan tentara pilihan. Di antara para mamluk tersebut ada yang ditempatkan pada posisi penting dalam kemiliteran, sehingga atas usaha merekalah akhirnya para mamluk dapat mengambil alih kursi pemerintahan di Mesir dari tangan keturunan-keturunan Bani Ayyub. Walaupun pada awalnya para Mamluk merupakan budak-budak yang di perjual-belikan di pasar-pasar budak, tetapi setelah mereka didudukkan pada posisi-posisi penting dalam kemiliteran dan pemerintahan, para Mamluk merasa sangat terhormat dengan panggilan “mamluk” atas diri mereka. Sebagaimana yang dituangkan Ahmad Syalabi dalam Mausu’ahnya : "والعجيب أن المماليك كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا و يرون فيها مجدهم " Artinya : Dan sangat mengherankan bahwa para Mamluk mereka bangga dengan penamaan ini (mamluk yang artinya budak) dan tidak rela mengganti sebutan itu dengan sebutan yang lain bahkan mereka memandang dengan sebutan Mamluk itulah tanda kebesaran mereka” Para Mamluk menjadi sebuah komunitas baru di Mesir dengan berbagai ciri khas yang membedakan mereka dengan masyarakat Mesir pada umumnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka terkesan sangat ekslusif, tidak menikah dengan rakyat Mesir walaupun di antara mereka ada yang mampu berbahasa Arab. Secara umum masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Mamluk dibagi menjadi dua lapisan : pertama, para penguasa. Tuan-tuan yang sebelumnya, mereka adalah para budak. Sedangkan lapisan kedua adalah lapisan masyarakat umum. Mereka terdiri dari petani yang hidup di pedesaan, buruh, dan pedagang yang hidup di daerah perkotaan. terutama di Mesir dan Kota Kairo. Lapisan para penguasa didominasi oleh para Mamluk mulai dari jabatan Sultan sampai jabatan Amir terendah. Walaupun dalam lapisan para penguasa ini ada juga unsur khalifah yang bukan dari kalangan mamluk. Sebenarnya cukup menakjubkan jika dibandingkan dengan sistem sebuah negara sekarang ini, sulit sekali ditemukan penguasa atau pemerintah suatu negara yang bukan termasuk dari komunitas bangsa itu. Seperti Negara Indonesia, yang menjadi penguasa atau pemerintah di sana adalah orang-orang yang masih termasuk dalam unsur bangsa itu. Sedangkan di Mesir pada masa Mamluk, rakyat Mesir tidak dipimpin oleh unsur bangsa tersebut, walaupun faktanya memang sejak masuk Islam ke Mesir sampai pada pemerintahan Mamluk belum pernah yang memerintah di sana orang yang berasal dari wilayah Mesir ini. Lain halnya dengan para mamluk yang sama sekali tidak ada ikatan apapun sebelumnya dengan bangsa Mesir justru dari kelompok asing inilah yang menjadi golongan penguasa. Fungsi dari golongan penguasa adalah menjalankan pemerintahan dan mereka memiliki segala bentuk hak dan keistimewaan, terutama yang berkaitan dengan tanah feodal. Sistem feodal yang diterapkan golongan Mamluk ini berbeda dengan yang di terapkan di Eropa pada abad pertengahan. Golongan Mamluk yang dinyatakan berhak atas tanah atau perkebunan tertentu hanya dapat menikmatinya selama masih dalam dinas kemiliteran sedangkan para Mamluk yang tidak berada lagi dalam jajaran kemiliteran, tidak diberi hak guna tanah ataupun mewariskannya kepada putra-putrinya. Berbeda dengan kebudayaan Eropa sIstem feodal berlaku turun temurun dan generasi-generasi yuniornya dapat meraih jabatan penting atau bahkan dapat mencapai posisi yang tertinggi sekalipun. Salah satu keuntungan diterapkannya sistem feodal ini di Mesir adalah mendorong para amir (tuan tanah) membuat saluran-saluran air atau danau buatan, jembatan-jembatan, dan fasilitas-fasilitas pertanian lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah hasil pertanian, sehingga pertanian di Mesir mengalami masa kebangkitan dan kemajuan. Mamluk menjadi komunitas baru di Mesir setelah para Sultan Ayyubiyah membeli mereka dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal pada masa pemerintahan Fatimiyah komunitas Mamluk ini bisa dikatakan belum tampak peranan mereka karena pada awalnya keberadaan mamluk hanya sebatas untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada tuan-tuan yang membeli mereka. Sedangkan lapisan masyarakat awam adalah golongan yang didominasi oleh petani, kelompok masyarakat ini merupakan golongan yang dianggap memiliki status sosial paling rendah. Faktor yang menyebabkan mereka dianggap paling rendah adalah karena keberadaan mereka di pedesaan yang jauh tertinggal dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kemudian mereka adalah lapisan yang paling menderita dan terkesan dirugikan dengan sistem feodal yang diterapkan pada masa pemerintah Mamluk. Golongan ini dilecehkan oleh para Mamluk, sehingga pemakaian kata fallah yang artinya petani mempunyai konotasi lain yaitu seorang yang lemah tanpa daya. Oleh para amir Mamluk mereka dibebani pajak yang berlipat dan diterapkan bagi mereka sistem pajak yang dipikul bersama sebagai warga suatu desa. Kondisi seperti ini tidak selamanya dialami oleh para petani tersebut, pada masa pemerintahan sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun pajak yang memberatkan masyarakat awam tersebut dihapuskan. Lapisan masyarakat berikutnya adalah golongan pedagang. Golongan ini adalah orang-orang yang dekat dengan sultan mamluk karena merekalah yang memberikan bantuan keuangan apabila dibutuhkan. Di masa kesultanan mamluk para pedagang dan saudagar menikmati kehidupan yang mewah, mengingat Mesir menjadi pusat perdagangan dunia belahan Timur dan Barat, namun demikian, para sultan menetapkan pajak pndapatan yang tinggi bagi mereka. Lapisan masyarakat lainnya adalah golongan terpelajar yang terdiri atas para pegawai administrasi sipil kesultanan, fukaha, ulama, sastrawan, dan penulis-penulis. Golongan terpelajar ini memainkan peranan politik, sosial, dan budaya. Mereka pada umumnya berada di dalam jajaran pemerintahan sebagai eksekutif dan yudikatif. Golongan terpelajar ini senantiasa selama pemerintahan kaum Mamluk mendapatkan perlakuan istimewa, walaupun terkadang mereka juga tidak luput dari hinaan golongan penguasa. Mereka manjadi pihak penghubung antara lapisan penguasa dengan lapisan masyarakat, karena fungsi mereka menjadi pegawai administrasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Begitu juga para ulama, mereka menjadi golongan penghubung antara penguasa dengan masyarakat, ketergantungan penguasa dengan para ulama sangat tinggi pada masa Mamluk ini. Banyak sultan mendekati ulama karena merasa asing dari rakyat. Ulama disegani oleh rakyat dan mereka sanggup memobilisasi rakyat guna menyuarakan kepentingan Mamluk. Sultan mamluk selalu meminta fatwa dari golongan alim-ulama ketika hendak membuat peraturan baru, seperti mengenai kebijaksanaan pemungutan pajak lebih untuk membiayai Angkatan Perang. Dalam perjalanan sosial kemasyarakatan Dinasti Mamluk selama lebih kurang tiga Abad ini, lahir pula generasi baru Mamluk. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dari bapak seorang Mamluk dan ibu seorang wanita Mesir, ataupun bapaknya berasal dari seorang Amir mamluk lalu menikahi seorang wanita pendatang (mamlukah). Golongan ini dikenal dengan sebutan “aulad an-nas”. Menurut penu-lis, kenyataan ini membuktikan telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Mesir, karena antara kelompok Mamluk dengan masyarakat Mesir sudah mulai saling membuka diri sehingga melahirkan generasi kedua Mamluk. Para aulad an-nas ini dalam perkembangannya termasuk ke dalam golongan terpelajar, mereka umumnya berprofesi sebagai administrator dan jarang di antara mereka yang menjadi anggota militer. Derajat mereka lebih rendah dibandingkan dengan derajat para Mamluk yang sebenarnya. Karena kondisi Mamluk generasi pertama ini yang keseharian mereka sibuk dengan dunia mereka bersama para mamluk (pekerja), demi memperkuat posisinya sebagai amir, maka kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, anak dan isteri sangat jarang sekali. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka, oleh sebab itu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah didikan para ibu mereka yang jauh dari kehidupan para bapak mereka. Kondisi seperti ini, menjadi peluang bagi para aulad an-nas untuk lebih memfokuskan diri pada bidang keilmuwan, apalagi setiap amir biasanya selalu mendatangkan para ulama ke kediaman mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka. Banyak di antara para aulad an-nas ini yang memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncul para ahli sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Mesir kala itu, dari kalangan para aulad an-nas ini. Lapisan masyarakat selanjutnya adalah golongan keturunan Tartar (mongol). Di awal pemerintahan Mamluk muncul sekelompok orang dari Bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir akibat tidak kuasa hidup di bawah kezaliman penguasa mereka. Golongan ini telah memeluk Agama Islam dan berprilaku sesuai ajaran Islam. Para Sultan Mamluk sangat menerima kehadiran mereka di Mesir, terutama Sultan Baybars. Keberadaan mereka dimanfaatkan oleh sultan Baybars dalam pemerintahannya, mengingat kelompok ini sangat terkenal dengan sifat keberanian yang mereka miliki. Lapisan masyarakat Tartar ini ditempatkan di distrik Husainiyah dekat mesjid al-Azhar. Walaupun terdapat beberapa lapisan dan tingkatan masyarakat di Mesir selama pemerintahan Dinasti Mamluk, namun tidak pernah tercipta kondisi yang menuntut suatu golongan tertentu harus selamanya berada pada posisi sosialnya. Status sosial dalam masyarakat Mesir tersebut bisa saja berubah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Maraknya kegiatan ilmu pada masa pemerintahan Mamluk di seluruh antero Mesir, telah mendorong berubahnya status sosial di tengah-tengah masyarakat Mesir. Para ulama yang menjadi sandaran para Sultan pada awalnya adalah golongan lapisan masyarakat biasa, tetapi karena keahliannya dalam bidang ilmu pada masa berikutnya, mereka menjadi terhormat bahkan diperlakukan secara istimewa oleh Sultan Mamluk. Menurut penulis, telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial masyarakat di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Maraknya kegiatan keilmuwan pada masa itu telah membawa perubahan besar terhadap cara berfikir masyarakat Mesir, baik dari kalangan penguasa ataupun dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa penulis contohkan dengan tingginya semangat para Sultan Mamluk untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan, mengundang para ulama dan ilmuwam datang ke Istana untuk melakukan diskusi ilmiyah, bahkan tidak jarang di antara para Sultan itu yang menjadi pemateri dalam diskusi ilmiyah tersebut, hal ini telah penulis paparkan. Begitu juga perhatian para Amir Mamluk dalam mendidik anak-anak mereka, karena tingginya rasa tanggung-jawab mereka terhadap masa depan anak-anak mereka, diutus pulalah para ulama untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anak tersebut. Ini semua merupakan indikasi terhadap kemajuan cara berfikir para mamluk saat itu. Dari lapisan masyarakat bawah juga terdapat adanya indikasi yang mendorong terhadap kemajuan masyarakat Mesir. maraknya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Mamluk kala itu, membantu memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan keseharian mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Jalan-jalan dan jembatan penghubung yang dibangun pada masa itu mendorong masyarakat pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih mapan di daerah perkotaan, sehingga tidak jarang pula terjadi perubahan status sosial pada masyarakat pedesaan tersebut ketika sampai di kota. Pemikiran untuk datang ke kota dalam rangka merubah nasib dalam kehidupan, menurut hemat penulis sudah mengindikasikan sebuah kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan para Sultan yang sudah mulai menyenangi bidang keilmuan dan adanya keinginan masyarakat pedesaan untuk pindak ke kota mencerminkan suatu bukti bahwa mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik dalam hidup mereka dari masa-masa sebelumnya. Dalam teori perubahan sosial dan kebudayaan, di antara sebab yang melatari terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah : 1)karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti yang lama itu; 2) mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu. Kemajuan sosial dalam masyarakat Mesir pada masa pemerintaha Mamluk juga dapat dilihat dari betapa banyaknya profesi yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat demi menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan kerukunan yang terjadi antara lapisan masyarakat di Mesir. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam hal ini, bahwa di Mesir terdapat banyak sekali unsur masyarakat yang masing-masingnya berbeda karakter. Penduduk asli Mesir tetap mau menerima orang asing yang datang dan menetap di sana, terutama bagi masyarakat yang hidup di pusat-pusat kota seperti Kota Kairo dan Iskandariyah. Contonya bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir, mereka diberi tempat dan diperlakukan secara baik oleh rakyat Mesir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cara berfikir masyarakat waktu itu sudah maju. C. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MESIR ERA MAMLUK Dari segi pemahaman agama, masyarakat Mesir bisa dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat yang menganut paham Sunni dan kelompok masyarakat yang menganut paham Syi’ah. Paham Sunni adalah salah satu mazhab atau golongan (firqah) di dalam Islam, mempunyai pengikut paling banyak dibanding dengan mazhab-mazhab yang lain. Paham sunni berdasar pada sunah (tradisi) Nabi Muhammad SAW, di samping al-Quran. Kelompok ini biasa juga disebut Ahlussunah waljamaah. Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah, dan waljamaah berarti mayoritas umat. Penggunaan ahlusunah waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944), yang melahirkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah di bidang teologi. Sedangkan Syi’ah ialah pengikut suatu aliran, yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari pada keluarganya dan keturunannya. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kelahiran kelompok Syi’ah. Sebahagian mengatakan bahwa Syi’ah lahir sesaat setelah Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah, tepatnya ketika terjadi perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akan tetapi sejarawan yang lain berpendapat bahwa Syi’ah lahir pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir (35 H/ 656 M), atau pada awal keimaman Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij, yakni setelah kekalahan diplomatik Ali dari Muawiyyah. Antara paham Suni dan paham Syi’ah terdapat perbedaan, baik dalam bidang kepemerintahan maupun dalam bidang keagamaan. Dalam bidang politik, kaum Syi’ah sangat memperhatikan masalah masalah kenegaraan, khususnya jabatan kepala Negara (imamah). Dalam pandangan Syi’ah imamah merupakan salah satu unsur penting rangkaian rukun iman dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islam yang paling mendasar. Sebahagian kaum Syi’ah percaya bahwa Ali tidak sekedar menerima wasiat keimaman untuk dirinya, tetapi juga untuk keturunannya, oleh sebab itu sepeninggal Ali, yang berhak menduduki keimaman adalah anak turunan Ali sampai sejauh ke bawah. Inilah yang telah memotivasi kaum Syi’ah berusaha merebut kekuasaan dari dinasti-dinasti lain dalam wilayah hukum muslim, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Perjuangan panjang kaum Syi’ah, meski penuh tantangan, di beberapa tempat telah membuahkan hasil yang gemilang. Di Maroko misalnya kaum Syi’ah di bawah pimpinan Idris bin Abdullah telah dapat mendirikan kerajaan Idrisiyah (789- 974), dengan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya. Di Mesir kaum Syi’ah juga berhasil mendirikan kerajaan Fatimiyah yang amat terkenal. Dalam bidang politik, Ahlusunah atau aliran Suni sebagai imbangan aliran Syi’ah dan Khawarij , bersikap moderat. Kaum Ahlusunah waljamaah mengakui keabsahan al-Khulafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Oleh sebab itu segenap kaum muslim harus patuh pada perintah para khalifah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengakui keabsahan para Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kendati kedua dinasti itu tidak lagi menerapkan sistim demokrasi. Selama pemerintahan Daulah Fatimiyyah di Mesir, para pemimpinnya selalu menyebarkan paham-paham Syi’ah kepada masyarakat umum di Mesir yang berbeda dengan paham Sunni. Di antaranya adalah : 1) Melarang menggunakan pakaian hitam yang merupakan syiar dari pemerintahan Sunni. Memerintahkan untuk memakai pakaian serba hijau sebagai simbol dari Ahli al-Bait; 2) Menambah kalimat dalam azan dengan kata “Hayya ‘ala Khairil Amal” artinya marilah bersegera kepada amalan yang baik; 3) Menambahkan dalam Khutbah Jumat kalimat shalawat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, para imam-imam al-Rasyidin sebagai Bapak pemimpin orang-orang Mukmin. Bagi penganut Syi’ah terdapat perayaan-perayaan hari lahir bagi beberapa tokoh yang mereka agungkan seperti hari lahir Nabi Muhammad SAW, hari lahir Ali r.a, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husain, dan hari lahir khalifah Fatimiyah. Mereka juga merayakan hari ‘Asyura dan perayaan pada momen-momen tertentu. Ketika Dinasti Mamluk memerintah di Mesir di antara tugas pokok dari para Sultan adalah bagaimana meluruskan pemahaman masyarakat Mesir khususnya dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman- pemahaman menyimpang kelompok Syi’ah, yang sangat berkembang selama pemerintahan Fatimiyah di Mesir. Tugas ini bersifat melanjutkan yang telah dirintis oleh sultan Dinasti Ayyubiyah. Berkat usaha yang serius dari sultan Mamluk, akhirnya jumlah masya-rakat yang sebelumnya menganut paham Syi’ah mulai berkurang, dengan arti bahwa dominasi paham Syi’ah di tengah-tengah masyara-kat Mesir mulai berkurang dan digantikan dengan dominasi pengikut paham Sunni yang juga merupakan paham para Sultan Mamluk. Salah satu cara yang paling ampuh digunakan untuk menghilangkan pengaruh syi’ah di tengah-tengah masyarakat Mesir adalah melalui bidang pendidikan di sekolah-sekolah dan dakwah di masjid-masjid, terutama di daerah yang subur berkembangnya paham Syi’ah ini. Qadi Baha’ al-Din al-Qafthi wafat 697H/1297M adalah salah seorang ulama yang berjasa memberantas paham Syi’ah di wilayah Isna dengan menyebarkan paham Sunni dan dengan menulis buku “al-Nasaih al-Muftaridhah fi al-Fadhaih al-Rafidhah” sebagai gugatan terhadap paham Syi’ah. Pada masa Pemerintahan Sultan al-Zahir Baybars terjadi perubahan penting dalam sistim peradilan yang sebelumnya sudah ada di Mesir semenjak masa Dinasti Ayyubiah. Di masa al-Zahir Baybars pada tahun 665H/1267M terbentuk sistim peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang masing-masing diketuai oleh hakim agungnya sendiri. Hakim agung mazhab Syafi’i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain karena ia diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yakni untuk mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah-masalah baitul mal, di samping menangani urusan yurisdiksi. Sementara hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa-fatwa bagi rakyat yang bermazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diakui hanyalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kadi mazhab Syafi’i, namun setelah adanya kebijakaan multihakim, fatwa-fatwa dapat dikeluarkan oleh tiga kadi dari tiga mazhab lainnya. Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mamluk dalam bidang peradilan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemahaman Agama bagi rakyat Mesir. Masyarakat Mesir hidup damai dalam keberagaman pemahaman dalam bidang agama. Rasa saling mengerti dan mamahami dalam perbedaan pandangan agama sudah dicontohkan oleh masing-masing tokoh pemimpin mazhab itu sendiri, maka bukanlah hal yang aneh jika terdapat dalam satu mesjid/madrasah pada masa mamluk ini kelompok-kelompok belajar dari berbagai mazhab yang berbeda. Contonya madrasah yang didirikan oleh al-Amir Fakhr al-Din bin Abi al-Farj al-Armani, di madrsah ini diajarkan materi fiqih empat mazhab. Pengaruh lainnya terhadap kebijakan menggabungkan empat mazhab fiqih dalam peradilan pada masa mamluk ini juga membawa dampak terhadap perkembangan masing-masing mazhab di tengah-tengah masyarakat Mesir, karena sudah menjadi tradisi pada masa Mamluk ini, bahwa kebanyakan sekolah yang didirikan pada masa mamluk umumnya mengajarkan mazhab-mazhab fiqih dari ke empat mazhab, seperti madrasah al-Hijaziyah yang mengajarkan fiqih mazhab Syafi’i dan fiqih mazhab Maliki, kemudian sebuah madrasah yang dibangun oleh Ibunda Sultan Asyraf Sya’ban pada tahun 771H/1369M dengan mengajarkan materi fiqih mazhab Syafi’i dan Hambali dan semua madrasah yang didirikan oleh seorang ulama mazhab dipastikan menjadikan mazhabnya sebagai materi inti. Perkembangan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah yang mengajarkan materi fiqih dari empat mazhab tersebut, sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat Mesir dalam keadaan berbeda mazhab. Masyarakat menjadi cerdas dalam mensikapi perbedaan-perbedaan dalam memahami Agama. Pengalaman penulis ketika menjadi Mahasiswa di Universitas al-Azhar – Mesir mendapatkan formulir pendaftarannya menyediakan kolom mazhab yang di anut, hal ini diskriminatif, tetapi untuk menyediakan wadah pembelajaran sesuai dengan mazhab yang dianut oleh calon mahasiswa tersebut ketika mempelajari materi Fiqh. Pemandangan yang beragam dalam pelaksanaan tatacara shalat di Mesjid tanpa mempermasalahkan keberagaman tersebut, juga menjadi bukti yang sangat nyata sampai saat ini terhadap kecerdasan masyarakat Mesir dalam memahami perbedaan mazhab. Selama penulis berada di Mesir belum pernah menyaksikan atau mendengar terjadinya perselisihan antara masyarakat Mesir yang disebabkan karena berbeda mazhab. D. KESIMPULAN Walaupun keberadaan Mamluk di Mesir telah merubah tatanan kehidupan sosial di Mesir dengan adanya lapisan strata sosial di tengah-tengah masyarakat, namun ketentraman dan kerukunan hidup tetap bisa dijalankan dengan baik, dengan kondisi yang kondusif inilah Mesir bisa menjadi sebuah wilayah yang maju dalam kebudayaan, terutama dalam bidang pendidikan, seni dan bangunan-bangunan infrastruktur pada saat wilayah-wilayah lain mengalami masa-masa sulit akibat serangan bangsa Mongol. Sikap toleran penguasa Mamluk di Mesir telah melahirkan sebuah budaya keagamaan yang patut dicontoh oleh penguasa-penguasa lainnya. Meskipun mereka awalnya bukanlah berasal dari seorang ayah/ibu yang muslim, namun setelah mereka menjadi muslim dan mendapatkan pendidikan Islam, mereka menjadi pemimpin yang sangat bijaksana, menghargai nilai-nilai toleransi dan karena faktor inilah di antaranya Mesir terselamatkan dari konflik mazhab yang sering terjadi di wilayah lain. []
Selengkapnya...

Transformasi Peradaban Hellenistik – Dunia Islam

Oleh : H. Rifki Abror Ananda, M.Ag (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)

Peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, ia selalu berinteraksi dan saling melengkapi dengan peradaban-peradaban out-groupnya. Dalam konteks ini, kebesaran dan kejayaan peradaban Islam dilihat dalam konteks peradaban out-group sedang dalam keadaan statis. Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarun dari peradaban Yunani (hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban Eropa modern. A. PENDAHULUAN Tahun 622 M, merupakan titik awal sejarah peradaban Islam dimula. Pada tahun ini Nabí Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Semasa di Makkah Nabi Muhammad belum dapat bergerak dengan bebas, karena tekanan dan kekuasaan kaum Quraisy yang kuat yang pada saat itu belum dapat dipatahkan. Di Madinah sebaliknya tidak terdapat yang demikian, bahkan akhirnya Nabi Muhammad-lah yang memegang tampuk kekuasaan. Dengan kekuasaan ditangan beliau, Islam dengan mudah disebar luaskan. Pada masa Nabí Muhammad SAW seluruh semenanjung Arabia telah tunduk dalam kekuasaan Islam, dalam masa yang demikian singkat selama 10 tahun (622-632 M.) Perluasan wilayah Islam terus berlangsung, maka kekhalifahan Bani Umayyah wilayah kekuasaan Islam meliputi daerah Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina, Irak, daerah Asia kecil dan Asia Tengah. Demikian pula dengan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, seperti Majorca, Corsica, Sardina, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian Sicilia. Sangat disayangkan, perluasan wilayah Islam, sebagai mana banyak dituduhkan orieantalis, adalah tindakan perluasan wilayah yang ditegakkan dengan pedang atau dengan kata lain Islam ditegakkan dengan kekerasan. Padahal sernestinya tidaklah seperti yang dituduhkan tersebut. Ada beberapa faktor yang terlupakan, yaitu tindakan para penguasa di luar wilayah kekuasaan Islam yang menghina, bahkan membunuh utusan penyampai risalah yang datang pada wilayah kekuasaan mereka. hal ini mendapat tantangan dan balasan dan pemerintah. Faktor lain adalah bahwa kedua Adikuasa saat itu (Bizantium dan Persia) memasuki fase kelemahannya. Kelemahan itu bukan saja karena peperangan diantara keduanya, akan tetapi juga karena faktor-faktor dalam negeri mereka sendiri. Pertentangan agama, ataupun persaingan antara anggota keluarga kerajaan bahkan tindakan penguasa yang mengeksploitasi rakyatnya yang mengakibatkan timbulnya tindakan tidak senang dari rakyat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Dari wilayah yang dikuasai Islam tersebut dengan jelas dapat dilihat sebagain wilayah kekuasaan Bizantium dan sebagain besar wilayah kekuasaan Persia telah jatuh dalam kekuasaan Islam. Bahkan wilayah kekuasaan Islam saat itu sudah meliputi beberapa wilayah kekuasaan peradaban sebelumnya selain Bizantium dan Persia yaitu Mesir, Mesopotamia, Yahudi, Hittit dan sebagian yang dulunya sebagai wilayah Yunani dan yang lainnya. Juga berada ditengah-tengah wilayah beradaban, daerah timur ada peradaban India dan peradaban Cina. B. PUSAT-PUSAT PERADABAN HELLENNISTIK PRA ISLAM Edward Mc. Nail Burn membedakan tingkat kebudayaan Hellenik dan Hellenistik, atau setidaknya membedakan periode pertumbuhan zaman Hellenik ilmu pengetahuan tidak berkembang dengan pesat. Ilmu pengetahuan justru berkembang pada zaman Hellenistik, merupakan perpaduan antara kebuadayaan Yunani dengan Dunia Timur. Selanjutnya oleb Burn jiwa kebudayaan tersebut dipengaruhi secara luas oleh budaya Timur walaupun bahasa Yunani dan orang-orang Yunani berperan aktif dalam banyak bidang. Disini terjadi akulturasi atau percampuran kebudayaan Barat (Yunani) dengan kebudayaan Timur (Persia, India dan Mesir). Walaupun dikatakan peradaban Hellenistik (Yunani) akan tetapi kekuasaan politik Yunani sudah terpecah dengan kematian Alexander Agung (Alexander The Great). Terjadi perebutan kekuasaan sehingga terpecah menjadi bagian-bagian kecil, bahkan daerah-daerah taklukannya memisahkan diri. Runtuhnya kekaisaran Yunani bukan berarti peradabanya ikut terkubur, akan tetapi peradaban tersebut berakulturasi dengan kebudayaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas. Bahkab peradaban Hellenistik tersebut lebih berkembang di bagian Timur sampai dengan menjelang kedatangan Islam, beberapa wilayah taklukan Yunani merupakan pusat peradaban Hellenistik, Di bawah ini akan disebutkan beberapa daerah atau kota diantaranya: 1. Iskandariyah Kota Iskandariyah yang berada diwilayah Mesir ditepi Sungai Nill merupakan pusat terbesar Sains Hellenistik. Kedokteran Yunani terus dipraktekkan di Iskandariyah dan menggabungkan teori serta praktek Mesir dengan yang dari Yunani. Bagaimanapun vitalitas praktek Yunani-Mesir di Iskandariyah, tak dapat diragukan bahwa melalui para dokter kota ini, dan juga lewat karya medis yang terdapat diperpustakaan kaum Muslimin berkenalan dengan kedokteran Yunani. Banyak diantara tokoh Yunani yang sering dikutip adalah Hipokrates, Galen, Rufus, Paul, Dioscorides, dan hubungan dengan Materica Medica. Selain itu Iskandariyah merupakan jadi pusat perkembangan Alkhemi dan juga pusat penganut Neo Pyithagoras dan Aristoteles. Iskandariyah jatuh dan menyerah ketangan Islam pada tahun 641 M di bawah pimpinan Amr Al-Ash. 2. Jundisapur Kota Jundisapur lebih dikenal setelah sekolah di Athena di tutup karena dekrit raja, para gurunya melarikan diri ke Jundisapur. Di Jundisapur terdapat sebuah lembaga studi filsafat dan kedokteran, gurunya terdiri dari kaum Nestorin dan Monofisit. Lembaga studi filsafat dan kedokteran tersebut lebih tepat dikatakan sebuah universitas dengan sebuah fakultas kedokteran, sebuah observatorium, satu blok bangunan akademik. Letaknya yang dekat dengan Baghdad dan berada di tengah daerah Persia. Jundisapur dibangun oleh Shapur I pada abad ke 3 M. sebagai kamp tawanan perang, akan tetapi kemudian berkembang menjadi kota metropolis yang menjadi pusat sains kuno. Bahasa sains mereka adalah Yunani, Sangsekerta dan kemudian juga bahasa Syiria. Sekolah-sekolah yang ada tersebut tetap ada sampai masa Abbasiyah berkuasa. 3. Kota-kota Lainnya. Thabit ibn Qura’, anaknya, Sinan dan Kedu cucunya Thabit dan Ibrahim memberikan sumbangan yang penting dalam bidang matematika dan astronomi dalam lembaga pendidikan di Harran. Penyebaran peradaban Hellenistik dimulai dari Iskandaniyah, kemudian menyebar ke kota-kota lainnya yaitu kota Antiokia, Nisbis, dan Edessa atas jasa golongan Monophisit dan Nestorian Kristen ke berbagai negara di arah timur sampai daerah persia. C. PENERJEMAHAN NASKAH-NASKAH HELLENISTIK Kegiatan intelektual secara umum sudah dimulai terbuka pada masa Bani Umayyah, masa kekhalifahan Marwan I (684) memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Asron (seorang dokter dari Iskandariyah) ke dalam bahasa Suryani. Naskah tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Akan tetapi kegiatan penerjemahan baru serius dilakukan pada masa Bani Abbas, khususnya masa pemerintahan Al-Mansyur yang sangat menyukai filsafat, hukum dan astronomi. Khalifah Al-Mansyur menjalin hubungan dengan Jundisapur adalah suatu kebetulan karena saat itu ia sedang memerlukan seorang dokter untuk mengobatinya ketika ia sakit. Ia mendatangkan Bukhtaisu seorang dokter yang pandai dan terkenal, bahkan kemudian keturunan Bakhtaisu mendominasi praktek kedokteran di Istana Bani Abbas. Di samping sabagai dokter, mereka adalah termasuk yang serius dalam mendalami ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung membawa suasana itu ke dalam istana, apalagi khalifah mendukung usaha mereka, bahkan menjadikannya sebagai program yang penting. Masa Harun al-Rasyid, dokter istana (Yuhana) mendapat tugas menerjemahkan buku-buku kedokteran. Pada masa al-Ma’mum usaha dilaksanakan dengan mendirikan bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang dipimpin langsung oleh Yuhanna. Keterlibatan orang persia dalam pemerintahan Bani Abbas juga membawa pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Keluarga Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur dan sekretaris khalifah mempunyai peran yang sangat penting. Penerjemahan dilaksanakan dipusatkan di Bait al- Hikmah. Di samping sebagai pusat penerjemahan naskah, Bait aI-Hikmah juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam penerjemahan adalah ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika, Astronomi, dan Sejarah di samping filsafat. Peradaban Hellenistik mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang filsafat, dengan pengaruh Neo Platonisme yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Arab. Dan Stoisisme juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Islam. Berikut karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam Bahasa Arab : 1. Aristoteles, hampir seluruh karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: Categories, Hermeneutica, Analytica, Posterior, De Anima, Sophistis, Poetics, Metaphisics, Analytica Priori dan Secret of secret. 2. Phorphirius, dengan karyannya: Isagore dan The Prologomena Amonius. 3. Plato, dengan karyanya: Tìmaeus dan Laws. 4. Ptolomey, dengan karyanya: Quadripartitus yang berisi tentang Astronomi. 5. Plotinus, dengan karyanya: Enneads. 6. Demikian juga karya-karya : Archimedes, Apollonious, Hipocratec, Euclides, Plotomeous dan yang lainnya. Di samping itu masih banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: The Treatise on The Atom (Risalah mengenai kekekalan dunia), Dioscorides (tentang tumbuhan), The Riddle of Kabes dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya Yunani tersebut terkadang diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab, terkadang juga diterjemahkan dengan diikuti komentar dan penerjemah. Bahkan terkadang disisipi dengan kritikan penerjemah terhadap karya tersebut. Kegiatan penerjemahan ini nantinya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ilmiah selanjutnya. Para penerjemah mendapat dukungan pinansial (gaji) dari khalifah. Kegiatan penerjemah merupakan pekerjaan pokok mereka, mereka tidak dilíbatkan dengan urusan yang lain. Naskah terjemahan terkadang didapatkan dari wilayah kekuasaan, atau diusahakan mencarinya di pusat-pusat peradaban Hellenistik dan bahkan da yang merupakan hadiah dan pemenintahan Bizantium dan negara tetangga. Di samping naskah dari Yunani ada juga naskah dan India yang juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap peradaban Islam, terutama dalam bidang matematika. D. PERAN PERADABAN ISLAM DALAM PERADABAN DUNIA Bagi sebagian ilmuan barat (Orientalis), masih berprasangka negatif terhadap peran peradaban Islam di masa lalu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuan muslim dimasanya adalah sekedar komentator dan peradaban sebelumnya. Tapi hal ini dibantah oleh pihak mereka sendiri. Dengan mengajukan teori ilmu pengetahuan Yunani tidak akan dapat memasuki kebudayaan Arab kecuali kebudayaan tersebut sudah memiliki kemampuan menerima dan menyerapnya. H. A. R Gibb menyebutkan ada tiga hukum bagi penerimaan kebudayaan asing : 1. Pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal, melainkan unsur-unsur yang benar ‘diassimilasikan) selalu didahului oleh kegiatan yang sudah ada dalam bidang-bidang yang berkaitan, dan kegiatan yang sudah ada itulah yang menciptakan daya tarik, dan tanpa tidak akan terjadi penyerapan yang kreatif. 2. Unsur-unsur yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dan kebudayaan peminjaman sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur sehingga menggantikan, atau mengancam akan menantikan ked\kuatan kerohanian asli (dati kebudayaan peminjam), unsur itu lalu menjadi deskruktif dan konstruktif ... sesuatu kebudayaan yang hidup mengizinkan unsur-unsur peminjaman itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu dapat disesuaikan dan dipadukan dengan kekuatan-kekuatannya sendiri, akan tetapi menentang dengan kuat tenaga pertumbuhan yang terlalu subur. 3. Suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan-kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap-sikap emosional atau kriteria-kriteria eksistensinya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mengcangkokan unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu saja. Sesuai dengan “hukum” itu, ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani tidak mungkin menjadi bagian yang tak terpisahkan dan pikiran Islam, kecuali apabila yang terakhir itu sudah siap untuk menerima dan menyerapnya. Harus sudah ada semacam kegiatan ilmiah di dikalangan umat Islam di zaman itu untuk pengetahuan Yunani dapat masuk. Karena itu dengan jelas sumber-sumber ilmu pengetahuan dan filsafat Islam; Sumber Islam yang sejati, kekuatan yang mendorong umat Islam mementingkan ilmu pengetahuan. Hal dapat dengan jelas kita rujuk dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah nabi sebagai acuan pokok umat Islam. Kedua, umat yang telah mempunyai kebudayaan, kemudian masuk Islam. Ini dengan jelas kita lihat dari lingkungan tempat lahirnya Islam, ditengah-tengah persentuhan peradaban-peradaban kuno. Ketiga, pertemuan dengan peradaban-peradaban asing di sekitar wilayah Islam yang begitu luas. Dalam hal ini tidak menafikan peran peradaban Yunani atau Hellenistik yang begitu besar peranannya dalam peradaban Islam kemudian. Hal ini dengan jelas dilihat dengan begitu banyaknya karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, tanpa menyampingkan peradaban India, Cina dan lainnya. Bahkan peradaban Islam Zaman Klasik mempunyai pengaruh pada timbulnya reneisance dan berkembang peradaban Eropah selanjutnya. G. Lebon menulis, “Orang Arablah yang menyebabkan kita (orang Eropah) mempunyai peradaban. Merekalah yang telah menjadi guru kita selama enam abad”. Memang Islam sebagai agama tidak berpengaruh di Barat, akan tetapi ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi Barat. Kemudian Ran Landau menyatakan, “Dan orang Arab-lah Eropah belajar berpikir secara objektif dan lurus. Belajar berlapang dada berpikiran luas. Inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing bagi reneisan dan yang menimbulkan kemajuan dan peradaban Barat”, disinilah Landau ingin menunjukkan pengaruh pemakaian akal dan kebebasan berpikir dalam Islam dan pengaruhnya dalam perkembangan kebebasan berpikir di Eropah dari belenggu agama. Pengaruh peradaban Islam klasik tersebut sangat terasa dalam banyak hal. Penggunaan kata-kata Arab dalam pemakaian nama-nama yang sebelumnya belum dikenal dalam perbendaharaan kata mereka. Kata-kata tersebut terjadi perubahan dalam cara melafalkan, disesuaikan lidah Eropah, seperti Cotton, Mousseline (kain yang halus), Moroco, (nama kata yang dinisbahkan jadi nama perlengkapan dan kulit). Dalam peristilahan matematika (logaritma, Aljabar), kimia dan lain sebagainya. Banyak tokoh-tokoh universal sains (tokoh sentral dalam pengajaran sains dan pengembangan sains dan filsafat biasanya ia sebagai penulis, penyair, dokter, astronom, matematikawan, ahli kimia, ahli obat-obatan dan juga bahkan seorang yang bijak) sangat dikenal namanya di dunia Barat, seperti : Al-Razi (Rhazes) ternama dalam ilmu kimia, Jabir ibn Hayan (gaben) pengarang buku yang terkenal, “al Isthithaam” yang disalin dalam bahasa Francis dan berpengaruh di Eropah sampai abad ke-17, Ibn Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran dan filsafat, ibn Rusyd (Aveoes) dengan kitabnya Kuliyah al-Tibbi merupakan buku rujukan kedokteran sampai pada abad modem ini, Al-Kindi (Alcheidius), Al-Farabi (Alfarabius), ibn al Haisam (Alhazen), ibn Bajah (Avenpace), dan ibn Tufail (Abubacer). E. PENUTUP Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, tidak peradaban Yunani, peradaban Islam ataupun peradaban Eropah. Peradaban adalah rangkaian yang tiada terputus dan selalu berassilmilasi. Peradaban Islam masa Klasik mencapai puncak pada masanya, waktu peradaban lainnya statis. Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarub dari peradaban Yunani (Hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban eropah Modern. Transformasi peradaban akan terjadi bila antara yang memberi dan yang rnendapatkan mempunyai kesesuaian pemahaman terhadap pemakaian akal dan kebebasan berpikir yang timbul dari ideologi suatu masyarakat. [] Selengkapnya...

Sabtu, 11 Februari 2012

Nilai-Nilai Budaya Minangkabau Dalam Karya HAMKA : Analisis Sosipragmatik Terhadap Roman Dibawah Lindungan Ka’bah

Oleh : Hetti Waluati Triana, M.Pd., Ph.D (Dosen Ilmu Bahasa FIBA IAIN Padang)

Karya sastra merupakan hasil karya yang dibangun melalui kemampuan pengarang memilih dan menyusun kata, di samping kemampuan merangkai peristiwa sebagai cermin realitas sosiobudaya tempo karya itu dihasilkan. Oleh sebab itu, karya dapat menunjukkan ketinggian dan kepiawaian pengarangnya. Melalui analisis sosiopragmatik dapat dikemukakan aspek sosiobudaya yang tersirat di balik karya Hamka, yaitu nilai-nilai kesantunan dan religius budaya Minangkabau. Temuan itu sekaligus menunjukkan bahwa roman Di Bawah Lindungan Kabah dapat memperlihatkan dan kepiawaian Hamka sebagai pengarangnya.


A. Pendahuluan

Hamka (Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah) adalah putra tokoh pelopor gerakan Islam kaum muda di Minangkabau , Dr. Syekh Malik Karim Amrullah, yang lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau Sumatera Barat, (Hamka, 2002: 1). Hamka adalah seorang tokoh pergerakan nasional, politikus, dan juga pemikir. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, beliau lebih dikenal sebagai seorang ulama yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan.

Karya sastra beliau sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan. Salah satu karya sastra beliau yang boleh mencerminkan kedua nilai itu ialah roman Di Bawah Lindungan Kabah.


B. Pembahasan

Bagian pembahasan ini terlebih dahulu dimulai dengan memaparkan sinopsis roman Di Bawah Lindungan Kabah sebagai latar tinjauan pada kertas kerja ini. Selanjutnya, perbincangan akan difokuskan kepada analisis sosiopragmatik terhadap roman Di Bawah Lindungan Kabah dengan menghuraikan aspek linguistik dan aspek sosiobudaya Minangkabau di masa lampau.
1. Sinopsis Roman Di Bawah Lindungan Kabah
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan keluarga miskin. Ia mempunyai keinginan yang sungguh untuk memajukan diri dan meningkatkan martabat keluarga meskipun dalam kesengsaraan yang tiada berkeputusan. Masa kecil Hamid lebih banyak dilalui bersama ibunya di sebuah dangau. Di dangau itu jua, Hamid mempelajari doa dan bacaan dari ibunya, menolong apa-apa yang dapat dilakukannya untuk membentengi air mata ibunya, menyembunyikan keinginan, dan menelan kegembiraan yang hanya dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Sampai suatu ketika ia mendapat kesempatan untuk dapat menghirup dan menikmati dunia yang penuh dengan harapan dan azam, sebagaimana impian almarhum ayahnya. Kesempatan itu diperolehnya atas bantuan dari keluarga kaya yang baru saja menjadi tetangganya, yaitu keluarga Engku Haji Ja’far.
Engku Haji Ja’far mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Zainab. Zainab adalah anak perempuan yang baik, rendah hati, dan alim; anak yang tidak pernah menyombongkan diri meskipun kepada Hamid, anak yang mendapat pertolongan dari ayahnya. Usia Zainab sememangnya lebih kecil daripada usia Hamid. Oleh sebab itu, mereka menggunakan kata sapaan “abang” dan “adik”, dua perkataan yang manis yang timbul dari hati yang suci.
Kebersamaan pada masa kanak-kanak itu akhirnya melahirkan rasa lain, rasa yang hanya disadari ketika mereka telah tidak bersama-sama ke sekolah, tidak bersama-sama bermain, dan tidak kerap bertemu lagi. Rasa itu jua yang kemudian mempenjarakan kebebasan hati dan nurani keduanya dari kebahagiaan yang lazimnya dipunyai oleh orang muda-muda. Keterpenjaraan itu tak dapat dilepaskan daripada tradisi budaya yang pada masa itu cenderung menjadikan mereka tak kuasa mewujudkan kehendak hati secara terbuka. Bahkan, perasaan itu sangat susah untuk dilafazkan sampai akhir hayat keduanya. Hanya Di Bawah Lindungan Kabah-lah, keterpenjaraan itu dapat terungkap, yaitu melalui surat Rosna, sahabatnya Saleh, dan dalam doa Hamid sebagai hamba yang lemah.

2. Sosiopragmatik dan Budaya Minangkabau
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan :
a. Sosiopragmatik sebagai Kaedah Analisis
Sosiopragmatik merupakan salah satu paradigma daripada pendekatan pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1983). Istilah sosiopragmatik dimaksudkan sebagai upaya untuk membedakan kajian tentang kondisi umum dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi kepada kajian yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa yang bersifat setempat atau khusus. Kajian yang demikian dimaksudkan sebagai upaya menggali aspek sosiobudaya yang menjadi latar penggunaan bahasa. Secara tegas Leech (1983: 11) menyebutkan bahwa sosiopragmatik merupakan sociological interface of pragmatics yang dibedakan daripada pragmalinguistik, iaitu the study of the more linguistic and pragmatics. Ini menunjukkan bahwa sosiopragmatik melihat penggunaan bahasa sebagai hal yang berkaitan dengan persoalan sosial.

Pandangan Leech (1983) di atas didukung oleh pandangan Salmani-Nodushan (2006) yang menyebutkan bahawa dalam kajian sosiopragmatik, ada dua set kategori yang dikontraskan, yaitu set linguistik dan set sosiologi. Salmani-Nodushan juga menegaskan bahwa:


Sociopragmatics refers to the way conditions of language use derive from the social situation. In other words, it involves the study of both the forms and functions of language in the given social setting. The term linguistic forms refers to the abstract phonological and/or gramatical characterization of language, social functions, however, refers to the role language plays in the context of society or the individual.


Di sisi lain, penggunaan bahasa tidak hanya mencakup aspek-aspek morofologis dan sintaksis saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek sosiobudaya yang hadir bersamaan ataupun tersirat di balik penggunaan bahasa tersebut. Dalam konteks inilah sosiopragmatik diperlukan kerana ia dapat digunakan untuk menganalisis aspek linguistiknya dan di sisi lain dapat menganalisis praktis sosialnya (Triana, 2009: 100-101). Dengan demikian, analisis sosiopragmatik dapat menjelaskan maksud bahasa dan fenomena sosiobudaya penggunaanya yang dalam hal ini difokuskan kepada nilai kesantunan dan keagaamaan budaya Minangkabau dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah.

b. Budaya Minangkabau
Meskipun Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu . . . Walaupun budaya Minang adalah bahagian daripada budaya Melayu dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.
Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh; yang membentuk seluruh sistem penilaian; yang menjadi dasar daripada sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum.
Oleh sebab itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia. Dengan demikian, setiap individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat berikut ini.

Bak adat bapiek kulik,
Sakik dek awak sakik dek urang,
Sanang dek awak sanang dek urang,
Nan elok dek awak katuju dek urang.

( Seperti adat berbalut kulit,
Sakit bagi kita sakit bagi orang
Senang bagi kita senang bagi orang
Yang baik bagi kita suka bagi orang )

Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahawa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).
Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.
Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaedah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Sikap yang demikian itu dimuat dalam mamangan “raso dibaok naiak, pareso dibao turun” (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun). Mamangan ini menggambarkan bahwa koreksi dan keseimbangan diperlukan dalam bersikap dan berperilaku.
Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluahkan ide dan perasaannya dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah. Justru itu, analisis sosiopragmatik dalam kertas kerja ini lebih difokuskan kepada nilai kesantunan dan religius yang tercermin melalui penggunaan bahasa Buya Hamka dalam karyanya Di Bawah Lindungan Kabah.

3. Hamka dan Dibawah Lindungan Ka’bah : Analisis Sosiopragmatik
Roman Di bawah Lindungan Kabah dibangun dengan 13 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Melalui judul-judul itu dapat diketahui bahwa roman ini sememangnya merupakan sebuah narasi yang menggambarkan pengembaraan tokoh utama (Hamid) di perantauan. Pada roman ini, rantau yang dijadikan latar oleh Buya Hamka ialah kawasan Islam di belahan dunia Timur, yaitu Mesir, Medinah, dan Mekah. Di kawasan inilah tokoh utama meredam dan menelan semua kenangan hidupnya di alam Minangkabau; alam yang meniupkan dan membesarkan Hamid sebagai seorang anak, kawan, dan pemuda yang taat beragama dan menghormati adat. Pernyataan itu dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.

... Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya....
Melihat kebiasaannnya yang demikian dan sifatnya yang salih, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya.... Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi.
Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa (Hamka, 2008: 5-6).

Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas, pada asasnya menggambarkan sifat dan perilaku pemuda Minangkabau yang selalu berkait rapat dengan nilai-nilai kesantunan dan dan nilai-nilai religius sebagai wujud nilai budaya etnik Minangkabau. Perkataaan azan subuh, pergi ke mesjid, salih (saleh), beribadat, dan buku-buku agama merujuk kepada ranah religius, sedangkan perkataan halus, tiada terasa, dan kehalusan budi pekerti, serta ketinggian kesopanan agama merujuk kepada ranah kesantunan. Maksud daripada perkataan tersebut dapat dipahami melalui tuturan daripada perkataan itu digunakan, sebagaimana dapat disimak dalam kutipan di atas.
Perkataan azan Subuh dan pergi ke mesjid dapat dikelompokkan pada kumpulan nilai-nilai religius kerana disokong oleh frasa dan klausa biasanya sebelum..., ia telah lebih dahulu bangun, dan seorang dirinya yang menjadi konteks kalimat. Berdasarkan konteks tersebut dapat dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada kalimat “Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya” digunakan untuk menyatakan sosok tokoh utama (Hamid) yang selalu menghambakan dirinya kepada Sang Khalik. Maksud yang demikian lebih dikesan lagi oleh penuturan pengarang melalui perkataan saleh, beribadat, dan buku-buku agama yang dibangun dalam kalimat “Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi”.

Pelukisan sosok Hamid yang demikian juga dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.

(i) Satu kali terlihat oleh saya, ketika saya mengerjakan tawaf keliling Kaabah, ia bergantuang kepada Kiswah, menghadapkan mukanya ke langit, air matanya titik amat derasnya membasahai serban yang membalut dadanya, kedengaran pula ia berdoa, Ya Allah! Kuatkanlah hati hamba-Mu ini!” (Hamka, 2008: 7).
(ii) Memang, saya harap Tuan simpan cerita perasaan saya hidup, tetapi jika saya lebih dahulu meninggal daripada Tuan, siapa tahu ajal di dalam tangan Allah, saya izinkan Tuan menyusun hikayat ini baik-baik... Moga-moga air matanya akan menjadi hujan yang dingin memberi rahmat kepada saya di tanah pekuburan (Hamka, 2008: 9).
(iii) “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Kaabah yang suci, yang terpisah dari pergaulan manusia lain. Di sinilah saya selalu bertafakur dan bermohon kepada Tuhan sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan. Setiap malam saya duduk beriktikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya... (Hamka, 2008: 49).

Perkataan serban, berdoa, ya Allah, hamba-Mu, tangan Allah, pekuburan, Kaabah (ka’bah), bertafakur, bermohon, Tuhan sarwa sekalian alam, beriktiraf, dan masjidil haram sememangnya merujuk kepada ranah keagamaan. Perkataan-perkatan tersebut dapat difahami sebagai upaya penggambaran sosok alim tokoh utama (Hamid) oleh pengarang melalui konteks tuturan. Begitu juga dengan perkataan halus dan kehalusan budi pekerti yang merujuk kepada kesopanan kerana disokong oleh frasa dan klausa “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat, dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada ..., serta sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” yang menjadi konteks tuturan. Berdasarkan konteks tersebut boleh dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada tuturan “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” digunakan untuk menggambarkan watak dan kepribadian tokoh utama yang berbudi pekerti dan bersopan santun.
Watak dan keperibadian Hamid dilengkapi pengarang dengan menggambarkan rasa sayang dan hormat yang teramat dalam kepada ibunya. Penggambaran yang demikian menegaskan kesantunan watak dan kepribadian Hamid yang dapat disimak melalui penceritaan pengarang berikut :

(i) Pada waktu teman-teman bersuka ria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai teman-teman itu, kerana kegembiraan bukanlah saduran dari luar... Apalagi kalau saya ingat, bagaimana dia kerap kali menyembunyikan air matanya di dekat saya, sehingga saya tak sanggup menjauhkan diri darinya (Hamka 2008: 13).
(ii) Terima kasih ibu, nasihat ibu masuk benar ke dalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian.... (Hamka, 2008: 34).

Perkataan yang dicetak tebal pada contoh di atas menunjukkan bagaimana pengarang membangun watak dan kepribadian Hamid yang lebih mulia dengan mengedepankan rasa hormat dan kasih sayang anak kepada ibunya. Maksud demikian boleh ditafsirkan melalui konteks tuturan yang menampung pilihan dan susunan perkataan pengarang. Upaya pengarang yang demikian juga dapat dilihat dari pelukisan tokoh lainnya, yaitu Zainab. Zainab digambarkan sebagai perempuan yang patuh dan sopan, sebagaimana dapat disimak pada tuturan “Apa perintah ibunya, diikuti dengan patuh”.

Selain itu, pengarang juga melakukan upaya tersebut dengan menggunakan pilihan kata ganti nama sebagai penanda kesantunan hakiki dalam interaksi sosial Minangkabau, yaitu kesantunan kunci yang telah sedia ada dalam budaya etnik Minangkabau dan menjadi dasar berperilaku bagi masyarakatnya (Triana, 2009: 289). Penggunaan kata ganti nama yang menunjukkan kesantunan itu dapat disimak melalui kutipan berikut.

(i) “Saya tinggal dekat saja, Mak” jawab saya, “itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah meninggal dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang membuat kuih muih ini....” (Hamka 2008: 17).
(ii) Amat besar budi engku Haji Ja’far kepada saya.... (Hamka 2008: 21).
Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas merupakan kata ganti nama yang digunakan tokoh utama ketika bertutur dengan tokoh tambahan lainnya. Kata saya digunakan selalu sebagai kata ganti diri pertama tunggal yang menunjuk kepada Hamid, termasuk ketika menyebutkan pemilik, seperti ayah saya dan ibu saya. Beliau merupakan kata ganti nama yang digunakan untuk merujuk kepada orang tuanya, sedangkan perkataan engku Haji Ja’far digunakan untuk merujuk kepada orang ketiga yang sedang diperbincangkan tokoh utama kepada sahabatnya. Pilihan yang demikian sesungguhnya sesuai dengan kaedah bertutur etnik Minangkabau yang dikenal dengan langgam kato atau kato nan ampek.
Apabila dikaitkan dengan aspek sosiobudaya yang menjadi latar pengarang, maka tuturan-tuturan tersebut dapat dipahami sebagai upaya pengarang untuk menggambarkan sosok pemuda Minangkabau tempo dulu. Sosok itu yang sememangnya bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar adat Minangkabau. Upaya itu tersurat melalui penggambaran tokoh yang menghabiskan masanya untuk merendahkan diri di hadapan Sang Khalik dan meningkatkan martabatnya melalui sifat dan perlakuan yang bersandarkan kepada ajaran agama Islam. Upaya penggambaran yang demikian, pada asasnya merupakan cermin daripada amalan pengarang sebagai pemuda Minangkabau yang taat pada nilai budaya dan agama, di samping memperlihatkan latar sosiobudaya pengarangnya.
Kesimpulan yang demikian juga tersirat melalui pandangan Audah (2008) yang menyebutkan bahawa berdasarkan tema dan peristiwa dasarnya, roman yang ditulis oleh Hamka berkait rapat dengan budaya dan agama. Mulai pada halaman pertama nafas agama sekaligus adat Minangkabau segera terasa. Semua itu pada asasnya disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang, yaitu adat- istiadat Minangkabau.

C. Penutup
Hamka bukan hanya sekedar memilih dan menjalin kata demi kata. Akan tetapi, Hamka mencoba mengemukakan nilai-nilai budaya Minangkabau melalui penggambaran dilematik tradisi yang kadangkala mesti mengorbankan perasaan dan naluri kemanusiaan. Ada dua nilai yang ditonjolkan oleh Hamka pada roman Di bawah Lindungan Kabah. Dua nilai itu ialah nilai kesantunan dan nilai religius; nilai dasar yang “wajib” dimiliki oleh etnik Minangkabau dalam mengkontruksi perilakunya di setiap aspek kehidupan. Nilai-nilai tersebut dikemas Hamka dalam tuturan yang penuh implikatur. Justeru itu, pemahaman akan maksud tuturan Hamka hanya dapat dijelaskan secara tepat dengan memahami konteksnya, baik konteks gramatikal, situasional, maupun sosialbudaya. Justru itu, dengan analisis sosiopragmatik dapat dijelaskan nilai-nilai budaya yang tersirat di balik penggunaan bahasa Hamka yang sesungguhnya menjadi unsur utama dalam membangun perilaku sosial etnik Minangkabau.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Aswar, Sativa Sutan. 2006. ”Menyikapi Perubahan Nilai-nilai Adat di Tengah Masyarakat Minangkabau.” Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang, 29-30 November 2006

Audah, Ali. “Hamka: Sastrawan, Ulama, Mufassir”. Horison. XLIII/9/2008

Hakimy, Idrus. 1997. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya

Hamka. 2008. Di Bawah Lindungan Kaabah. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini

Hamka, Rusydi. 2002. Hamka Pujangga Islam: Kebanggaan Rumpun Melayu. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Navis, A.A. 1986. Alam Takambang jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers

Rasyid. 2006. ”Pelestarian adat dan pengembangan budaya Minangkabau”. Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang 29-30 November 2006

Salmani-Nodoushan, Mohammad Ali. 2006. “The Socio-pragmatics of greeting forms in English and Persia”. The international Journal of Language, Society an Culture. http://www.educ.utas.edu.au. [28 Januari 2009

Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau tematis. Padang: Sentra Budaya

Triana, Hetti Waluati. 2009. ”Bahasa, Kesantunan, dan Perubahan Sosial: Analisis terhadap lakuan tutur menolak etnik Minangkabau moden.” Thesis Ph.D. pada Program Linguistik, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia.


Selengkapnya...

"Pantun Lama" Tentang Melayu : Suara-Suara Kolonialis-Orientalis

Oleh : Deddy Arsya, S.Hum (Alumni FIBA IAIN Padang)

Wacana poskolonial dalam kesastraan Indonesia tidak begitu populer Narasi-narasi kolonial dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan utuh dalam mempengaruhi karya-karya sastra modern Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia tidak sepenuhnya dijajah. Kolonialisasi atas Indonesia hanya bersifat politis, penguasaan dalam ranah kuasa-negara. Atau dengan kata lain, Belanda tidak berhasil melakukan penaklukkan atas kultur dan bahasa daerah jajahannya. Pada aspek bahasa, misalnya, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional Indonesia. Bahasa nasional Indonesia bukanlah bahasa penjajah-nya (bahasa Belanda), tetapi adalah bahasa nasional yang lahir dari hasil modifikasi bahasa Melayu pesisir atau bahasa perdagangan.


A. PROLOG

Namun, meskipun tidak utuh, tidak dapat dinafikan memang, terkadang karya-karya sastra Indonesia telah mengikatkan dirinya dalam aspek-aspek tertentu pada wacana-wacana milik kolonial secara luas, yaitu imperialis Eropa secara umum (tidak Belanda secara khusus). Wacana Barat tentang dunia Timur tetap meng-hegemoni Timur. Dalam beberapa sisi, karya sastra Indonesia, dalam memandang dirinya sendiri, terlihat masih mengadopsi kerangka pikir yang pernah dipakai penjajah-penjajah Barat-Eropa. Pandangan terhadap dunia Timur oleh Barat yang dikembangkan dan dikawal sedemikian rupa oleh para orientalis sejak berabad-abad yang silam juga dilanjutkan oleh elit-elit terdidik Timur sendiri paska penjajahan. Sejak berabad-abad yang silam itu sampai kini Timur tetap menjadi laboratorium raksasa bagi ilmuan-ilmuan Barat. Timur dikaji, ditelaah, diteliti, dengan kacamata berpikir Barat.
Cinta di Dalam Gelas merupakan novel kedua dari dwilogi Padang Bulan karya penulis fenomenal Melayu Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang Pustaka Juli 2010 ini. Mengikuti sukses tetralogi Laskar Pelangi, tercatat, dua minggu setelah diterbitkan, novel ini telah laku terjual 25 ribu kopi. Bulan Agustus 2010, novel ini telah kembali dicetak ulang.
Dalam novel ini, secara sekilas, corak berpikir kolonialis yang diwakilkan orientalis-Barat tampak ‘menyumbulkan dirinya’ diam-diam seperti topi baja menyumbul di bibir parit pertem-puran. Terminologi 'Orang Melayu', 'Lekali Melayu', 'Watak Melayu', misalnya, beberapa kali diulang-ulang novel ini sebagai generalisasi atas tingkah-polah beberapa orang di Pulau Belitong sebagai latar tempat novel ini. Generalisasi semacam ini dilihat mengindikasikan adanya pikiran-pikiran kolonial dalam novel yang ditulis hampir enam dasawarsa setelah Indonesia merdeka ini. agaimana novel ini melihat dan menilai Melayu sebagai entitas budaya? Benarkah terdapat hegemoni corak pikir kolonial-orientalis dalam proses penilaian dan penglihatan itu? Lantas, bagaimana bentuk hegemoni intelektual kolonialis-orientalis yang terdapat dalam novel ini? Tulisan ini akan mencoba membidiknya dari 'parit' yang lain; tulisan ini akan melihat bagaimaan hegemoni narasi-narasi orientalisme itu terdapat dalam karya sastra, Cinta di Dalam Gelas, dengan melihatnya melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarangnya.

B. PRESENTASI DAN GENERALISASI MELAYU DALAM CINTA DI DALAM GELAS

Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.
Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu. Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai.
Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).
Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu. Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah. “Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea (pemiringan tulisan dari penulis).
Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.”
Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya. Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.

C. PENCATAT MELAYU YANG BUKAN-MELAYU
Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat.
Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya. Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109)
Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu.
Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.” Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.
Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya.

D. SUPERIOR BARAT DAN INFERIOR MELAYU (TIMUR)

Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi. (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001). Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan.
Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Atau dalam kata lain, Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.
Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky. “Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.”
Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya! Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar.
Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern (1984: 89). Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.
Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.

E. EPILOG

Cinta di Dalam Gelas mengukuhkan kembali narasi-narasi tentang Timur (dalam hal ini, secara khusus, tetang dunia Melayu) yang ditulis dan dilisankan orientalis-kolonialis berabad-abad silam dan menjadi kokoh di kalangan bangsa-bangsa terjajah kemudian. Andrea Hirata tidak berniat untuk, meminjam Edwar Said lagi, “menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang sudah mantap itu.”


Selengkapnya...

Gender dan Kekuasaan

Oleh : Mhd. Ilham, S.Ag., S.Sos., M.Hum (Ketua PSIFA IAIN Padang/Ketua Jur. SKI FIBA IAIN Padang)

Artikel ini ingin melihat (melalui tiga kasus) tentang kesewenang-wenangan penguasa dalam mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan).

A. (Sekedar) Pengantar : “Salah Kurung !”

Pernah ada anekdot feminis yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menje-laskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.

Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh. Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender.

Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.
Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus sosial. Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan. Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan tersebut. Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.


B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus

1. Kasus Alya Rohali

Pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya. Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).

Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ?

Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.

Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan ”bertensi tinggi”.

Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.
Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”.
Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.

Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra , wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.

2. Kasus Pasal Zina Bagi Kepala Daerah

Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :

“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”

Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian.

Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno , Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup. Maka, Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.

Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit karena film horor (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang. Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi.

Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah) “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan hingga injury time.

Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah.

Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya.

Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.

3. Kasus Anggelina Sondakh


Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik, itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan libido, beda dengan memandang Malinda Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart. Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya. Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid. Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar , tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.

Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo.

Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat. Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Walikota Padang Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang.

Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer, Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene¬-nya tidak permanen.

Karena ia tak bisa mengalahkan kharisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan, kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).


C. Refleksi dan Simpulan

Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.


Catatan Pendukung :

1. Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.

2. Nyi Ontosoroh, dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.

3. Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.

Tulisan ini tidak sistematis. Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus per kasus untuk kemudian, secara kualitatif, bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia. Semoga dikritisi.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999

Edward Said, Terorisme : Sejarah dan Konflik Global, terjemahan, Bandung: Mizan, 1994

Goenawan Mohammad, “Mithe Sysiphus”, Catatan Pinggir (Jakarta: Grafiti Press, 1999)

Hassan Hanafi, “Perempuan, Kejahatan Negara dan Teror, terjemahan, Jakarta: Ummat, 1994

Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, bandung: Mizan, 2005.

Michael Foucault, Sejarah dan Seksualitas, terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999


Muhammad Ilham, “Seks dan Kekuasaan : Cleopatra” dalam ilhamfadli.blogspot.com diunggah tanggal 13 Desember 2010.

Nawel el-Sa’adawi, “Wawancara Eksklusif Tempo tentang Gerakan Feminisme di Dunia Arab” Edisi bulan September 2008

Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006

Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999

Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996


www.tempointeraktif.com
www.duniaesai.com
www.detik.com
www.vivanews.com
www.anggelinasondakh.com
www.kalyanamitra.org



Selengkapnya...