Oleh : Arwendria, S.Sos., M.Si (Dosen Prodi IIP)
Dalam makalah ini saya memulai dengan bermacam istilah yang digunakan oleh pakar perpustakaan dan informasi untuk menggambarkan suatu perpustakaan. Istilah-istilah yang muncul tersebut antara lain, perpustakaan konvensional atau tradisional (conventional/ traditional library), perpustakaan elektronik (electronic library), perpustakaan digital (digital library), perpustakaan hibrida (hybrid library), dan perpustakaan maya (virtual library).
Pendahuluan
Di antara istilah tersebut yang paling sering didengung-dengungkan adalah perpustakaan elektronik dan perpustakaan digital. Dalam beberapa pertemuan yang pernah saya ikuti, baik nasional maupun daerah, baik secara personal maupun lembaga, istilah perpustakaan elektronik selalu menjadi isu utama diskusi. Bahkan sering suatu diskusi menjadi membingungkan, ketika konsep otomasi perpustakaan melebar menjadi konsep perpustakaan elektronik. Terkadang, diskusi-diskusi sering tidak diakhiri dengan kesimpulan yang memuaskan tetang konsep perpustakaan elektronik. Pada kesempatan ini saya mencoba kembali mendiskusikan apa sebenarnya yang kita inginkan dari penerapan teknologi informasi untuk perpustakaan? Benarkah kita telah siap untuk mengembangkan perpustakaan elektronik, atau apakah pemakai kita telah menghendaki perpustakaan elektronik tsb?
Mencari konsep sebenarnya
Kita percaya bahwa saat ini adalah era teknologi informasi (TI). Kita selalu berlomba untuk menerapkan TI untuk berbagai bidang yang kita tekuni, termasuk perpustakaan. Dulunya, kita sudah bangga dengan penerapan otomasi pada perpustakaan kita. Secara perlahan kebanggan tersebut bergeser seiring berkembangnya TI. Namun, sudah seberapa banyak perpustakaan di Sumatera Barat ini yang telah mencoba mengaplikasikan otomasi untuk perpustakaannya? Jawabannya masih dalam hitung-hitungan belaka. Belum ada kajian yang jelas. Tetapi, kebanyakan yang telah mencoba (walau masih Trial & Error) adalah perpustakaan perguruan tinggi, dan Perpustakaan Daerah sendiri. Ada banyak pertimbangan untuk menerapkan TI untuk perpustakaan. Selain ketersediaan dana, kesiapan staf, dan pengetahuan awal terhadap aplikasi TI untuk perpustakaan masih menjadi keraguan. Walau demikian, kita para pustakawan atau yang bekerja di perpustakaan selalu dituntut untuk memberikan jasa yang terbaik untuk pemakainya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan TI untuk “menyemarakkan” jasa perpustakaan. Eforia perpustakaan elektronik telah menggugah para pustakawan untuk mengaplikasikannya. Kita bisa membayangkan betapa ringan dan mudahnya pekerjaan pustakawan apabila menerapkannya. Tetapi, terkadang kita sendiri masih sulit berpikir untuk memulainya dari mana. Pertanyaannya adalah apa yang seharusnya kita lakukan untuk mewujudkan perpustakaan elektronik tersebut? Perpustakaan elektronik menurut Pinfield (2001) adalah perpustakaan yang menyediakan koleksi dan sumber-sumber informasi dalam bentuk digital atau jaringan digital yang digunakan untuk kegiatan teknis dan infrastruktur manajerial, termasuk data atau metadata dalam berbagai format yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemakai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penerapan perpustakaan elektronik membawa implikasi terhadap staf perpustakaan sendiri. Berikut ini dijelaskan peran dan keahlian yang dibutuhkan pustakawan perpustakaan elektronik.
Peran
• Multi-media user – mampu memahami berbagai macam format media
• Intermediary – memiliki pengetahuan yang baik terhadap sumber-sumber informasi dan kebutuhan pemakai
• Enabler – bersikap proaktif dalam mencari informasi yang dibutuhkan pemakai
• Metadata producer – mampu menciptakan sumber-sumber informasi dalam berbagai format dan media
• Communicator – mampu berkmonukasi dengan pemakai, baik secara formal maupun secara informal
• Team player – mampu bekerja dalam tim, termasuk tim TI dan akademisi
• Trainer / educator – mampu memberikan pengetahuan dan mengajarkan keahlian memperoleh informasi kepada pemakai
• Evaluator – mampu menentukan informasi yang bernas kepada pemakai
• Negotiator – melakukan pertemuan dan negosiasi dengan penerbit dan supplier
• Innovator – mampu secara aktif mengembangkan layanan perpustakaan
• Fund-raiser – mampu memperoleh atau meyakinkan lembaga induk untuk pendanaan perpustakaan
Keahlian
• Profesional
• Teknis dan TI
• Fleksibelitas
• Kemampun bekerja dalam tekanan
• Kemampun belajar cepat
• Komunikasi
• Negosiasi
• Presentasi
• Mengajar
• Bekerja dalam TIM
• Customer service
• Kemampun berpikir secara analitis dan evaluatif
• Spesialisasi Subject
• Memiliki Visi Apa yang dikemukan oleh Pinfield di atas masih sebatas kesiapan staf dalam menghadapi perpustakaan elektronik.
Sedangkan Rusbridge (1998) memberikan gambaran umum tentang perpustakaan elektronik tersebut seperti di bawah ini. Penerbitan elektonis Jurnal elektronik the Internet memainkan peranan penting Pre-prints & grey literature Kebanyakan tidak gratis Jaminan mutu kualitas bukan pilihan murah Digitisation and images digitisation mahal; ukuran gambar sangat tergantung dari penciptanya. Belajar mengajar On demand publishing & electronic reserve Masalah hak cipta Akses ke sumber-sumber informasi Akses ke jaringan informasi Kualitas adalah biaya, tetapi pemakai menghendaki kualitas Penyebaran dokumen Jasa baru sulit diterapkan; sementara system baru belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas Supporting studies human systems resist change Pelatihan manusia, bukan teknologi Sementara sebagian besar kita (walau riset terhadap peran pustakawan di Sumatera Barat relatif tidak ada) masih dalam paradigma perpustakaan lama (konvensional), dimana pustakawan adalah “penjaga buku.” Disisi lain, seperti yang dijelaskan oleh kedua pakar tersebut bahwa pengembangan perpustakaan elektronik membutuhkan persayaratan-persayaratan tertentu. Kalau demikian, pertanyaannya adalah masihkah kita berhasrat mengembangkan perpustakaan elektronik? Sebenarnya apapun resikonya, pustakawan harus tetap optimis mampu mewujudkan perpustakaan elektronik. Di satu sisi, kemajuan TI harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan jasa perpustakaan. Di sisi lain, perpustakaan yang sudah ada tidak perlu diberangus menjadi elektronik. Pustakwan tidak harus mengalihmediakan semua koleksinya ke dalam format digital karena membutuhkan biaya yang relatif mahal. Selain itu, pemakai belum tentu semuanya nyaman dengan media digital. Pustakawan tidak harus mem-publish semua koleksinya ke Pangakalan data Internet. Cukup koleksi tertentu saja. Pustakawan tetap mempertahankan perpustakaan konvensionalnya, namun diperkaya dengan jasa elektronis. Konsep ini lebih dikenal dengan perpustakaan hibrida.
Perpustakaan Hibrida
Mungkin bagi kita di Indonesia, istilah perpustakaan hibrida masih asing terdengar di telinga kita bila dibandingkan dengan istilah perpustakaan elektronik. Kita lebih sering mengenal istilah hibrida dalam bidang pertanian, khususnya tanaman, seperti kelapa hibrida. Padahal istilah tersebut sudah diperkenalkan sekitar sepuluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 1998 oleh Chris Rusbridge. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan perpustakaan hibrida itu sendiri? Menurut beberapa sumber, seperti Rusbridge (1998); Breaks (2001) Oppenheim (2007); dan Wikipedia (2007); perpustakaan hibrida merupakan perpaduan antara perpustakaan konvensional dengan perpustakaan elektronik atau digital, dimana sumber-sumber informasi elektronis dan tercetak digunakan untuk mendukung satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, perpustakaan hibrida merupakan titik tengah antara perpustakaan tradisional dengan perpustakaan elektronik. Namun, pendapat ini terpecah menjadi dua, dimana satu pihak beranggapan bahwa perpustakaan hibrida hanya merupakan model pengembangan perpustakaan masa depan, sedangkan pihak lain beranggapan bahwa perpustakaan jenis ini merupakan tahap transisi sebelum suatu perpustakaan mengembangkan perpustakaan elektronik. Istilah perpustakaan hibrida lebih ditujukan pada cara perpustakaan melaksanakan fungsinya di masa yang akan datang, seperti yang banyak dilakukan oleh Negara-negara berkembang. Perpustakaan jenis ini dapat dikembangkan pada tingkat local, nasional, maupun internasional. Bahkan satu perpustakaan dapat berperan dalam tingkatan tersebut. Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan perguruan tinggi saat ini secara tidak sadar dan langsung telah mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini. Hanya saja hal itu masih kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep perpustakaan hybrid ini tidak bisa dipisahkan. Artinya antara pengembangan resources dalam bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan pengembangan resources “digital/ elektronik”. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber yang berupa buku dengan sumber-sumber yang dapat diakses secara elektronik/digital. Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi. Jadi dalam perpustakaan hybrid ini, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik atau virtual, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus dapat menerapkan konsep perpustakaan hybrid ini secara lebih “benar” sehingga pengembangan perpustakaan lebih terarah dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan terkesan hanya mengikuti trend belaka. Harapan Pemakai Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa apakah pemakai benar-benar telah membutuhkan layanan perpustakaan secara elektronik? Kalau benar, apa yang mereka inginkan dengan penerapan TI untuk perpustakaan? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HeadLine tahun 1998 terhadap harapan pemakai London School of Econimcs, The London Business School, dan University of Hertsfordshire dengan diterapkannya perpustakaan hibrida pada perpustakaan perguruan tinggi tersebut disimpulkan bahwa pemakai membutuhkan: 1. One stop shopping dan electronic full-text. Pemakai menginginkan sumber informasi yang mereka butuhkan tersedia dalam bentuk teks lengkap. Mereka tidak menghendaki perpustakaan hanya sekedar menyediakan cantuman bibliografi saja, sedangkan bentuk teks lengkapnya tersedia pada pangkalan data lainnya. 2. Mampu melakukan penelitian secara mandiri. Biasanya pemakai cendrung mengikuti dan mencari daftar pustaka yang ada pada suatu artikel atau dokumen yang sedang mereka baca. Mereka menghendaki link dengan sumber informasi tersebut. 3. Akses dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak selalu betah belajar di perpustakaan. Mereka terkadang lebih suka menghabiskan waktu di rumah atau di mana saja untuk mengerjakan tugas-tugas yang sedang mereka kerjakan. Untuk ini, pemakai tentu harus memiliki seperangkat computer yang telah tersambung dengan internet. Jasa seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemakai. 4. Nilai tambah. Pemakai sering membutuhkan informasi lanjut dari perpustakaan. Tidak semua pemakai suka bertanya langsung kepada pustakawan. Untuk itu, mereka membutuhkan sarana bertanya yang tersedia dalam format on-line atau lebih dikenal dengan FAQs (Frequently Asked Questions).
Langkah Awal
Berdasarkan harapan pemakai di atas, maka yang perlu dilakukan oleh suatu perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan hibrida antara lain: 1. Membangun pengakalan data Langkah pertama yang mesti dilakukan oleh perpustakaan adalah membangun pangkalan data bibliografi. Untuk itu, perpustakaan harus mengaplikasikan perangkat lunak khusus perpustakaan yang sesuai dengan standar penyelenggaran perpustakaan. Saat ini telah banyak beredar perangkat lunak khusus tersebut, seperti CDS-ISIS/Win-ISIS, SIAP, Caspia4Win, NCI Bookman, dll. Pangkalan data tersebut kemudian dapat dikembangkan dalam suatu jaringan yang digunakan oleh pemakai sebagai media penelusuran koleksi atau yang lebih dikenal dengan Online Public Access Catalog (OPAC). 2. Membangun jaringan Agar pangkalan data tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemakai dan terhubung dengan bagian lain di perpustakaan, maka perlu dibangun jaringan lokal (LAN). Seberapa banyak titik (node) yang akan dibuat, sangat tergantung dari kebutuhan perpustakaan yang bersangkutan, misalnya jumlah terminal untuk OPAC, sirkulasi, dll. Selain jaringan local, perpustakaan harus membangun jaringan internet yang akan digunakan untuk mengakses informasi, mengembangkan jaringan kerjasama secara elektronis, baik local, nasional, maupun internasional. 3. Mengembangkan sistem peminjaman secara elektronis Pemakai, begitupun pustakawan sangat membutuhkan suatu sistem peminjaman yang cepat, tepat, dan akurat. Keinginan tersebut hanya dapat tercapai apabila perpustakaan telah menerapkan system peminjaman secara elektronis. Yang perlu dipahami adalah system peminjaman tersebut harus terintegrasi dengan system yang lainnya. Selain itu, seluruh koleksi perpustakaan atau koleksi tertentu harus diberi kode khusus yang dapat dibaca mesin pemindai atau yang lebih dikenal dengan barcode. 4. Merancang website perpustakaan Pemakai menginginkan akses dari mana saja dan kapan saja. Secara fisik, perpustakaan kesulitan membuka layanan perpustakaan 24×7. Namun, TI mampu menggantikan peran tersebut dengan membangun suatu website perpustakaan yang dapat diakses pemakai kapan saja dan dari mana saja. Pemakai dapat menelusur informasi apa saja yang dimiliki oleh perpustakaan, mengunduh (download) informasi tertentu dalam bentuk teks utuh, memesan koleksi, dll. Perlu diingat bahwa website yang dibangun harus terintegrasi dengan system yang telah dibangun sebelumnya. 5. Alihmedia (mengkonversi koleksi tertentu dari tercetak menjadi digital) Alihmedia merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar. Perpustakaan harus selektif melakukan alihmedia koleksinya. Untuk langkah awal, perpustakaan harus mempertimbangkan koleksi unik yang mereka miliki. Maksud unik disini adalah kemungkinan koleksi tersebut tidak semua perpustakaan memilikinya. Kesimpulan Perpustakaan hibrida merupakan masa transisi sebelum memasuki perpustakaan elektronik dengan melakukan digitalisasi sumber-sumber informasi, dan membangunan jaringan local dan internet. Pengembangan perpustakaan ini perlu direncanakan seoptimal mungkin agar harapan pemakai terhadap jasa perpustakaan yang cepat, tepat, ramah, dan mutakhir dapat terselenggara dengan baik. Seharusnya, pengembangan perpustakaan hibrida dilakukan oleh perpustakaan daerah, terutama penyediaan perangkat lunak yang dapat digunakan oleh seluruh perpustakaan yang berada di bawah binaannya, sehingga kerjasama antar perpustakaan akan lebih mudah terbangun.
Daftar Bacaan
Hampson, Andrew. The Impact of the Hybrid Library on Information Services Staff. Education On-Line. Centre for Information Research and Training, University of Central England. 14 January 1999. Sumber: http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001266.htm. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Holt, Glen E., Larsen Jens Ingemann, van Vlimmeren, Ton. Customer Self Service in the Hybrid Library. Bertelsmann Foundation. 2002. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Michael Breaks. The eLib Hybrid Library Projects. Ariadne Issue. 28 22-June-2001. Sumber: http://www.ariadne.ac.uk/issue28/hybrid/intro.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Nankivell, Clare. The Hybrid Library and University Strategy. Education On-Line. Centre for Information Research and Training, University of Central England. 16 January 1999. Sumber: http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001267.htm. Diakses pada tanggal 08 August 2007
National Library of Scotland. Building The ‘Hybrid Library.’ 2000. Diakses pada tanggal 08 August 2007 Oppenheim, Charles and Daniel Smithson. What is the hybrid library? Loughborough University, UK. Sumber: http://jis.sagepub.com/cgi/content/abstract/25/2/97. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Pinfield, Stephen …[et.al]. Realizing the Hybrid Library. D-Lib Magazine. October 1998. Sumber: http://dlib.ukoln.ac.uk/dlib/july98/rusbridge/07rusbridge.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Rusbridge, Chris. Towards the Hybrid Library. D-Lib Magazine. July/August 1998. Sumber: http://www.dlib.org/dlib/july98/rusbridge/07rusbridge.html. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Surachman, Arif. Perpustakaan Perguruan Tinggi menghadapi Perubahan Paradigma Informasi. Diakses pada tanggal 08 August 2007 Wikipedia. Hybrid library. http://en.wikipedia.org/wiki/Hybrid_library. Diakses pada tanggal 08 August 2007
Artikel yang bagus, sayang sekali dalam beberapa kutipan anda tidak merunut pada sumber langsungnya atau hanya copy paste.
BalasHapus