Oleh : Dra. Sismarni, M.Pd
Jati diri adalah kepibadian yang yang diukur dengan norma-norma, nilai-nilai adat, budaya dan agama (Islam), ia akan menjadi satu kesatuan bagi masyarakat dan akan terwujud dari cara berpikir dengan rasa. Aplikasi dari hal tersebut akan memperlihatkan jati diri seorang perempuan di Minangkabau. Salah satu bagian dalam melihat jati diri perempuan Minangkabau adalah dari prilaku mereka dalam berpakaian. Aturan berpakaian menurut adat Minangkabau sesuai dengan aturn yang ditetapkan oleh Islam yaitu menutup aurat (dalam hal ini adalah baju kurung) dan pemakaiannya sesuai dengan keadaan dan tempat serta tidak menjolok dipandang mata.
Dewsa ini ( disebut juga dengan budaya popular), model pakaian perempuan berkembang dengan pesat, berbagai macam dan ragam pakaian ditampilkan dan dipakai oleh perempuan Miangkabau di kota Padang. Bila diukur dengan pakaian adat Minangkabau yakni baju kuruang basiba, longgar, pakai selendang penutup kepala dan pakai kain jao penutup bagian kaki, maka mereka tidak memperlihatkan jati dirinya sebagai perempuan Minangkabau. Akan tetapi bila kita menggunakan alat ukur dengan budi luhur yang pengaplikasiannya pada raso jo pareso, malu dan sopan, maka perempuan Minangkabau yang berdomisili di kota Padang masih memperlihatkan jati dirinya sebagai perempuan Minangkabau.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.
Bangsa Indonesia terdiri dari multi etnis dan salah satu diantaranya adalah etnis Minangkabau. Ada suatu keunikan yang dimiliki oleh etnis Minangkabau ini yaitu sistem kekerabatan diambil dari keturunan ibu (Matrilineal), satu satunya yang ada di dunia (Tsuyoki Kato, 1989:152). Sistem ini masih dianut sampai sekarang , walaupun unsur-unsur kebudayaan lain ada yang berubah. Sistem Matrilineal mempunyai ide kehidupan yang senantiasa menghayati budi pekerti yang baik/ luhur. Dalam adat Minangkabau budi luhur merupakan mustika yang sangat berharga. Budi luhur ini dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya dan akan memberikan arah yang baik dalam kehidupan manusia untuk mencapai segala tujuan yang baik, guna mewujudkan perdamaian suatu masyarakat demi mencapai kebahagiaan dan kemakmuran lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Di samping itu budi luhur juga menjadi dasar dalam pergaulan masyarakat Minangkabau. Sekiranya budi luhur itu tidak mendapat tempat lagi dalam diri pribadi masyarakatnya, maka akan pupuslah adat Minangkabau. Sebaliknya masyarakatnya selama budi luhur masih terpelihara sebagaimana pepatah mengatakan; "Kuat rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso, Kuat bangso karano budi, Rusak budi hancuelah bangso" (Penghulu 1994:35) Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Penghulu yang mengatakan bahwa budi yang luhur akan lahir dari orang yang mempunyai raso, pareso, malu dan sopan. Raso, menurut adat Minangkabau yaitu yang terasa bagi diri. Artinya setiap yang dirasakan oleh indra yang lima. Pareso adalah yang dirasakan oleh hati manusia sedangkan malu yaitu suatu sifat yang merupakan tanggungan bagi hati setiap manusia. Sopan adalah tingkah laku, gerak-gerik dalam perbuatan sehari-hari dalam pergaulan. Di antara keempat hal tersebut, malu adalah salah satu yang menunjukan jati diri bagi perempuan Minangkabau (Penghulu 1994:36).
Jati diri adalah suatu kepribadian menurut norma-norma, nilai-nilai adat, budaya dan agama yangmenjadi suatu kesatuan bagi seseorang atau masyarakat dan akan terwujud dari cara bapikie dan raso jo pareso seseorang (Hadi 7-2-07). Jati diri ini yang menentukan nilai nilai kemanusiaan sejati, di dalam pepatah Minang diungkapkan " Rarak kalikih dek mindalu, Tumbuah sarumpun di tapi tabek, Kok habih raso jo malu, Bak kayu lungga pangabek, Nak urang koto Hilalang, Nak lalu ka pakan Baso, Malu jo sopan kalu hilang,Habihlah raso jo pareso, (Penghulu, 1994:52)
Apabila ditinjau dari sudut pandang agama, malu menentukan nilai-nilai keimanan bagi seorang muslim sebagaimana sabda nabi Muhammmad saw "sifat malu adalah sebagian dari keimanan”. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa tatakrama adat terutama yang menyangkut peri hidup dan tingkah laku sangat berkaitan, bahkan terpadu dengan sendi-sendi keagamaan. Keterpaduan antara adat Minangkabau dan agama dalam pepatah adat “ Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabulllah”. Aplikasi dari pepatah tersebut akan terlihat dalam berprilaku sehari-hari seperti dalam cara berpakaian, bertutur kata, dan sebagainya. Aturan adat Minangkabau dalam berpakaian adalah memakai baju kurung, tengkuluk dan kain jao penutup bagian bawah badan. Dalam ajaran Islam disuruh menutup aurat. Selama ini nilai-nilai dan aturan tersebut selalu dipraktekan dan dipelihara oleh perempuan Minangkabau.
Kita menyadari bahwa zaman telah berubah, sekarang kita berada dalam budaya populer, yaitu suatu zaman yang dipahami sebagai suatu perkembangan budaya yang cepat, dan nilai-nilai budaya tertentu mulai dikenal dan diterima oleh warga masyarakat melalui sistem dan sarana komunikasi yang canggih, sehingga seakan-akan dunia (globe) tidak mempunyai batas-batas regional, ruang dan waktu. Sistem komunikasi yang semakin cepat dan canggih mengakibatkan pengaruh dan perubahan yang sangat besar. Melalui sarana komunikasi ini, pandangan-pandangan, teknologi, gaya hidup, mode (fashion) kesukaan dan ketidak sukaan, benda-benda materi, mulai dari makanan, musik, film, sarana hiburan lain, pakaian dan aksesorisnya hingga peralatan dan teknologi serta banyak lagi, diadopsi secara cepat. Begitu pula dengan hal-hal yang berifat materi dan gaya hidup, akan lebih mudah diterima daripada yang bersifat abstrak dan konseptual, filsafati, dan keyakinan serta yang memerlukan pemahaman lebih lama, maka hal-hal yang secara cepat teradopsi itu segera menjadi bagian dari keidupan sehari-hari (Meutia Hatta Swarsono 2006:4). Dalam konteks inilah budaya popular tumbuh, berkembang dan diadopsi, baik secara langsung maupun melalui proses modifikasi. Salah satu aspek yang termasuk digemari dan menjadi perbincangan hampir setiap kalangan ialah model pakaian. Model pakaian juga sering menghadirkan polemik ditengah-tengah masyarakat . Bahkan, kontroversi model pakaian sudah menjadi fenomena sosial, terutama dalam masyarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat mengutamakan adat budi luhur (terwujud dalam raso, pareso, malu dan sopan). Dalam kondisi global, masihkah perempuan Minangkabau mengaplikasikan ajaran dan nilai-nilai adat dan agama dalam berpakaian? Atau masih terlihatkah jati diri mereka dari cara dan model pakaian yang dipakainya? Polemik yang demikian itu memerlukan pengamatan dan analisis yang komprehensif. Dalam konteks inilah model berpakaian sebagai salah satu wujud budaya popular urgen untuk menjadi topik penelitian.
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka masalah penelitian ini tentang Jati diri perempuan Minangkabau dalam budaya populer.
3. Batasan Masalah.
Objek penelitian ini dibatasi pada jenis pakaian perempuan Minangkabau, fenomena berpakaian, serta melihat jati diri perempuan yang tercermin dari cara dan model pakaian yang mereka pakai. Di samping itu disebabkan sebaran penduduk Minangkabau sangat luas, maka batasan spasial penelitian ini hanya di kota Padang (perempuan Minangkabau kota). Hal ini didasari karena kota Padang merupakan pusat aktivitas pendidikan, ekonomi dan sosial budaya. Selain dari itu kota Padang menjadi kota Model bagi masyarakat Minangkabau dari berbagai daerah lainnya
4. Tujuan Penelitian.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1). Menguraikan dan menjelaskan tentang jenis pakaian yang dipakai oleh perempuan Minangkabau di kota Padang. (2). Memetakan fenomena berpakaian perempuan Minangkabau di kota Padang dalam budaya populer. (3). Mengungkapkan jati diri perempuan Minangkabau di kota Padang yang tercermin dari cara dan model berpakaian dewasa ini.
5. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan:(a). Agar perempuan Minangkabau umumnya dan perempuan Minangkabau yang berdomisili di kota Padang khususnya yang bernaung dalam budaya populer ini tetap memperhatikan norma-norma berpakaian secara adat dan agama serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. (b). Diharapkan kepada perempuan Minangkabau dapat memperlihatkan jati dirinya dalam berpakaian sebagaima yang dianjurkan oleh adat dan agama Islam. (c). Kepada perancang model agar dalam membuat model pakaian, khususnya untuk perempuan selalu mengacu kepada model yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam adat Minangkabau dan agama Islam.
B. LANDASAN TEORI
1 Tinjauan Pustaka
Hasil riset terdahulu menunjukkan perempuan dalam budaya Miangkabau mempunyai arti yang penting, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mu’is (2005: 4) dan Gayatri dkk (2001:7)) bahwa perempuan Minangkabau menurut adat, mempunyai kedudukan tertentu, mempunyai kepribadian, mempunyai kewajiban-kewajiban dan tangungjawab serta dibina, dilindungi dan diarahkan agar bisa berbuat dan berprilaku sesuai dengan adat dan peraturan adat. Seorang perempuan harus patuh dan taat kepada adat artinya perempuan itu melaksanakan aturan adat. Ungkapan di atas menegaskan bahwa, seorang perempuan Minangkabau harus mempunyai kepribadian yang sesuai dengan adat Minangkabau.
Gayatri dkk (2001:6) menyebutkan bahwa baik buruknya arah kehidupan suatu rumah tangga dan masyarakat ditunjukkan oleh seorang perempuan dalam hal ini adalah ibu. Menurutnya, kaum ibu adalah pokok utama dalam penghayatan budi luhur oleh setiap aspek kehidupan masyarakat. Pandangan Gayatri dkk sesuai dengan pendapat Hakimy (1978:48) bahwa perempuan dalam falsafah adat Minangkabau dinyatakan sebagai berikut:” Bundo kandung nan gadang baso batuah, Limpapeh rumah nan gadang, Hiasan didalam kampuang, Sumarak dalam nagari, Kok iduik tampek banasa, Kok mati tampek baniaik, Ka undang-umdang ka Madinah, Ka payung panji kasarugo. Pandangan di atas didukung oleh Chatra (2006:8) bahwa pakaian dan gaya hidup merupakan penanda bagi eksistensi sebuah ideologi kaum perempuan. Dalam hal ini, terlihat adanya inkonsistensi terhadap simbo-simbol modernitas sehingga mereka cenderung mengikuti trend atau mode terkini.
2 Kajian Teori
Masyarakat Minangkabau adalah suatu etnik materilinial yang terbesar di dunia dan satu-satunya untuk etnik Indonesia (Zed 1992:1). Etnik Minangkabau terkenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat dan budaya. Ungkapan tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal dibawah langit kecuali perubahan. Justru itu budaya Minangkabau berfalsafahkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahwa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy, 1997:27-30).
Pandangan Hakimy di atas sejalan dengan pandangan Rasyid (2006:2), bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarnya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriyah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan yang melandasi sistem adat Minangkabau “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
Dalam adat Minangkabau terkandung nilai-nilai dan mustika yang sangat berharga dan dapat dengan secara tajam membedakan manusia dengan makhluk lain. Mustika yang sangat berharga itu adalah ajaran budi pekerti yang luhur. Budi pekerti yang luhur akan dapat memberikan arah yang baik dalam kehidupan manusia untuk mencapai segala tujuan yang baik dan mewujudkan perdamaian dalam masyarakat, selanjutnya Hakinyi menuturkan dalam ajaran adat budi luhur itu menjelma pada 4 faktor yang disebut dengan “raso, pareso, malu dan sopan” (rasa, perasaan, malu dan sopan)
Hal ini sejalan dengan pendapat Rasyid dalam Waluati (2006:11) menurut Rasyid bahwa adat dibangun dengan memahami kaedah alam melalui olah rasa (emosional) yang disebut raso dan olah pikir (rasional) yang disebut pareso, dan dirasakan oleh hati (malu) yaitu suatu perasaan yang muncul akibat mendapat aib atau cela disebut juga dengan tanggungan hati manusia, dan teraplikasi dalam gerak lahiriyah yang lahir dari tingkah laku yang baik yang disebut sopan. Oleh karena itu, tegas Rasyid (2006:1) sikap ataupun perilaku orang Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso, pareso yang merupakan tanggungan hati dan terwujud dalam berperilaku masyarakat minangkabau.
Menurut Muis (2005:9) perempuan Minangkabau harus mempunyai sifat-sifat dan perilaku terpuji, baik budi pekerti dan tingkah laku maupun kecakapan, kemampuan dan ilmu pengetahuan sebagaimana yang disebut dalam titah adat: “mano nan disabuik parampuan, ( mana yang disebut perempuan) mamakai taratik sarato sopan (memakai tertip serta sopan) nan mamakai baso jo basi (yang memakai basa basi) tahu jo ereng sarato gendeng (tahu dengan kias dan sindiran) manaruah malu sarato sopan (mempunyai malu serta sopan) manjauhi sumbang sarato salah (menjauhi sumbang dan salah). Muluik manih baso katuju (mulut manis basa basi disenangi). Kato baiak kucindan murah (berkata baik beramah tamah). Nan bagulo di bibie basantan di muko, (yang bergula di bibir bersantan dimuka). Patuah jo ta’at ka ayah bunda (patuh dan ta’at kepada ibu bapak) mamakai malu samo gadang (memakai malu sesama besar) labiah-labiah ka laki-laki (lebih2 keada yang lakilaki) takuik kapado Allah (takut kepada Allah) manuruik parintah rasul (menurut perintah rasul). tahu jo mungkin sarato patuik (tahu mana yang mungkin serta patut). ka suri tauladan kain (untuk suri tauladan kain). ka cupak tauladan batuang” (untuk cupak teladan betung) Petatah diatas menjelaskan bahwa perempuan di Minangkabau dilarang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat (menjauhi sumbang dan salah). Adapun untuk perempuan Minangkabau terdapat 12 jenis sumbang, yang disebut dengan sumbang 12. Salah satu sumbang 12 tersebut adalah sumbang berpakaian. Mu’is mengatakan (2005:77-78) sumbang berpakaian ialah apabiala ia berpakaian tidak sesuai dengan etika adat Minangkabau baik dalam hal kualitas dan bentuk maupun dalam hal penggunaannya.
Menurut Mu’is adalah, (a). Perempuan memakai pakaian laki-laki, atau berpakaian mirip berpakaian laki-laki, atau berdandan mirip laki-laki sehingga mengurangi atau menghilangkan penampilan kewanitaan, (b). Berpakaian disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja membuat seharusnya malu seperti ada bagian yang robek atau dibuat model seperti dirobek walaupun dibuat rapi, lepas jahitannya, lepas kancing atau penitinya, atau risluiting. (c). Berpakaian yang membuka aurat sehingga melanggar ketentuan agama dan adat seperti pusat atau pusar kelihatan dan lain-lain, (d). Berpakaian terlalu ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh asli (e). Berpakaian yang tenunannya jarang atau tembus pandang yang memperlihatan warna kulit dan bentuk tubuh, walaupun hanya sebagian kecil saja, (f). Berpakaian yang tidak sesuai dengan tempatnya, waktunya atau penggunaannya seperti pakaian tidur dibawa ke luar rumah atau ke warung, pakaian daster dipakai ke pasar, berpakaian adat baralek dipakai untuk ke kantor
Zulkamaini (1994:38) mengungkapkan bahwa, aturan dan acuan dalam berpakaian menurut budaya Minangkabau ialah menutup aurat sesuai dengan keadaan dan bentuk tubuh pemakainya, sesuai dengan keadaan dan tempat pemakaiannya serta tidak menyolok dipandang. Pendapat ini sejalan dengan ungkapan Kamardi Rais Dt. Simulie (25-10-2007) bahwa aturan adat Minagkabau dalam berpakaian adalah mengacu kepada ajaran Islam yaitu “ menutup aurat” dalam hal ini adalah baju kurung. Baju kurung yang dimaksud disini adalah lapang, dalam dan bukan ketat.
Kemudian Wisran Hadi ( 7-11-2007) menambahkan bahwa, standar pakaian orang Minangkabau, tidak menonjolkan bagian tubuh yang bisa menimbulkan ransangan seksual bagi lawan jenisnya, dalam hal ini adalah baju kurung, dan dalam pepatah adat diseebukan “ Kain pandindiang miang, ameh pandindiang malu” (kain pendinding / pembatas miang, emas pendinding / penutup malu ) artinya pakaian itu betul-betul menutp seluruh tubuh agar tidak terkena oleh bahaya alam dan Islam menegaskan tidak memberi ransangan seksual bagi lawan jenisnya, jadi adat dan agama sejalan, dalam hal ini adala baju kurung, baju lapang, basiba. Nurainas (4-11-2007) juga menegaskan bahwa, pakaian perempuan Minang adalah Baju Kurung, yaitu baju longgar, dalam (sampai ke lutut), basiba, pakai kikiek di katiak, lengan panjang dan dalam (sampai kepergelangan ), basalendang (memakai selendang) penutup kepala dan pakai kain sarung (sarung Jawa/Jao) menutupi kaki sampa ke mata kaki.
Pemakaian pakaian adat Minangkabau ini diatur sedemikian rupa sehingga sesuatu itu diletakkan pada tempatnya secara wajar. Penempatan dengan wajar inilah yang mencerminkan jati diri seorang perempuan Minangkabau.. Ketentuan adat dalam berpakaian terlihat sama dengan ketentuan Islam. Dalam tata cara berpakaian Islam menetapkan: 1). Pakaian harus menutup aurat yaitu, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sebagaiman yang disebutkan dalam sebuah hadits yang berarti, “ Hai Asma sesungguhnya seorang perempuan apabila telah cukup umur, tidak pantas terlihat tubuhnya kecuali ini dan itu, seraya Rasulullah menunjukan dengan isyarat pada muka dan telapak tangannya. (HR Abu Daud dan ‘Aisyah ra). 2). Tidak memperlihatkan bentuk tubuh, tidak tembus pandang, tidak menarik perhatian (Q. S.An-Nur 31 dan al-Ahzab 59. 3). Tidak seperti dandanan orang Jahiliyah Qs. Al-Ahzab, 33. 4). Tidak menyerupai pakaian lawan jenis (hadits) yang artinya “ Dari Abu hurairah ia berkata; “ Rasulullah Saw mengutuk laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki (HR, Abu Daud )
Dalam falsafah adat Minangkabau terdapat ungkapan “alam takambang jadi guru“ mengisyaratkan bahwa kebudayaan Minangkabau merupakan kebudayaan yang bersifat dinamis yaitu terbuka akan perubahan tanpa mengorbankan keberlanjutan berlakunya nilai-nilai adat yang sudah dipunyai merupakan suatu hal yang sangat berharga untuk selalu dipelihara. Mu’is ( 2006:3) menggunakan istilah dasar budaya dan nilai-nilai itu boleh dijadikan sebagai ukuran dalan menghayati perubahan atas dasar terbuka terhadap perubahan, maka masyarakat Minangkabau juga menyerap pengaruh dari budaya luar terutama di era globalisasi sekarang. Hal ini akan terlihatdalam berbagai bidang diantaranya dalam bentuk berpakaian. Di era global ini, pada umumnya orang sudah tersentuh oleh budaya populer (culture popular). Menurut Muthia ( 2006:4) budaya populer ditandai dengan: (a).Nilai dan norma, ataupun gaya hidup dan benda-benda materil yang diberi simbol baru dan makna khusus. (b). Diterima secara cepat dan menyebar luas di masyarakat. (c). Dianggap menganut kebebasan tanpa batas, tanpa ada ruang dan waktu, serta selalu dipengaruhi kemajuan zaman. (d). Sistem informasi dan teknologi yang canggih dan berkembang cepat. (e). Masyarakat belum tentu siap menerimanya.
Menurut Suryakusuma dalam Triana (2005:2), ciri-ciri yang menonjol pada budaya ini ialah bersifat instan, memberikan pemuasan sesaat, apasif, cenderung dangkal dan tidak membutuhkan banyak usaha untuk menikmatinya. Berdasarkan kriteria tsb, maka pengertian budaya populer dirumuskan dalam berbagai definisi seperti yang dikemukakan oleh Budiman dalam Triana (2005:2), budaya populer kadang kala dipahami secara sederhana sebagai budaya yang disukai oleh banyak orang. Ukuran banyak dalam konteks ini mengacu kepada nilai kuantitatif yang bersifat relatif. Sebahagian kelompok mengaitkan budaya populer dengan budaya massa yang komersial dan membodohi banyak orang. Budaya populer juga dipahami sebagai budaya yang mencaplok mimpi-mimpi masyarakat, mengemasnya dan menjualnya kembali kepada masyarakat, serta memberikan mimpi. Manifestasi paling kongkrit dari budaya populer adalah produk-produk yang pada dasarnya dihasilkan untuk menghibur karena produk budaya populer dihasilkan sebagai respon terhadap budaya massa, bahkan sekarang identik dengan selera rendah. Akan tertapi budaya populer bisa juga menjadi ekspresi zaman, seperti model pakaian tren sekarang.
Dengan mencermati pernyataan di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu wujud budaya populer yang telah meresahkan banyak orang dan mulai meninggalkan tatanan nilai budaya Minangkabau ialah model dan cara berpakaian perempuan Minangkabau masa kini. Padahal, model dan cara berpakaian perempuan Minangkabau merupakan cerminan Jati diri permpuan Minangkabau. Meskipun ajaran adat dan agama sudah memberikan batasan dan standar dalam berpakaian, namun realitas menunjukkan bahwa perilaku berpakaian tidak selalu sesuai dengan peraturan berlaku.
Jati diri adalah keperibadian menurut norma-norma, nilai-nilai adat, budaya dan agama, ia akan menjadi satu kesatuan bagi masyarakat dan akan terwujud dari caro bapikie jo raso.( Hadi, 7-11-2007)
Apabila dikaitkan dengan fenomena sosial yang berlaku di era global, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau pada dasarnya sangat mengagungkan ajaran adatnya dengan menganut 4 sifat asas ( raso, pareso, malu dan sopan . Keempat sifat asas itu tentu berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Minangkabau, termasuk cara berpakaian perempuan Minangkabau sekarang sebagai aplikasi dari nilai yang dianut. Hubungan antara cara dan model berpakaian berbanding lurus dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat kini. Kedua aspek tersebut mencerminkan jati diri perempuan Minangkabau di era global.
C. METODOLOGI PENELITIAN
1 Pengantar
Dalam hal ini akan diformulasikan langkah dan proses yang dilakukan dalam upaya menghantarkan penelitian ini ke arah tujuan penelitian yang akan dicapai. Secara garis besar membahas proses yang dimulai ,dengan desain penelitian, pemilihan wilayah penelitian, subjek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data.
2 Desain penelitian
Oleh karena penelitian ini memfokuskan kepada tabiat dan perilaku seseorang/masyarakat, untuk mendapatkan data yang lebih akurat, dirasakan bahwa pendekatan kualitatif lebih tepat untuk digunakan. Pendekatan ini ditujukan untuk menjangkau sumber secara lebih luas dan kreatif. Desain penelitian ini berupa studi kasus dengan melengkapi multi kasus yang meliputi; (1). Jenis pakaian perempuan Minangkabau di kota Padang, (2). Pemakaian atau penempatan pakaian perempuan Minagkabau di kota Padang, (3). Jati diri Perempuan Minangkabau di kota Padang
3 Pemilihan wilayah penelitian
Penelitian ini akan di laksanakan di kota Padang yaitu ibu kota propinsi Sumatera Barat tepatnya Padang dalam kota. Penetapan kota Padang sebagai wilayah penelitian didasarkan bahwa Padang merupakan pusat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya, di samping itu Padang memperlihatkan berbagai macam model pakaian yang pada prinsipnya banyak dipakai oleh masyarakat Minangkabau dari berbagai daerah dan dapat dikatakan bahwa Padang menjadi kota model di masyarakat Minangkabau. Adapun yang menjadi latar penelitian adalah tempat-tempat umum, yaitu pasar, rumah sakit, kampus, tempat-tempat rekreasi, perkantoran.
4 Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah perempuan Minagkabau kota sebagai penguna/pemakai berbagai model pakaian, sedangkan jati diri akan dilihat dari model dan cara berpakaian perempuan Minangkabau kota dan nilai-nilai yang dianut masyarakat kini. Guna menemukan hasil penelitian yang akurat maka subjek penelitian di batasi pada perempuan dewasa (25 tahun ke atas). Sehubungan dengan itu maka yang menjadi fariable penelitian ialah model & cara berpakaian perempuan Minangkabau serta norma atau nilai yang dianut oleh masyarakat Minangkabau (norma/nilai adat dan norma /nilai berpakaian kini.)
5 Sumber data
Sumber yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah perempuan Minang, tokoh-tokoh masyarakat dan dokumen. Pengambilan informasi dilakukan dengan menggunakan snowball sampling artinya jumlah informasi ditentukan kelengkapan data yang diperoleh.
6 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang cara-cara dan model-model pakaian. Sedangkan wawancara digunakan untuk menentukan penilaian masyarakat terhadap model dan cara berpakaian Minangkabau kini, adapun dokumen digunakan untuk menemukan data-data tentang aturan berpakaian bagi perempuan Minangkabau. Teknik pengumpulan data ini memungkinkan dapat menjaring semua fakta dan informasi yang berkenaan dengan jati diri perempuan Minangkabau dalam budaya populer.
D. HASIL PENELITIAN
1. Kota Padang dalam Sejarah.
Kota Padang adalah salah satu kota tertua di pantai barat lautan Hindia. Sejarah mencatat bahwa, pada awalnya (sebelum abad ke 17 M) kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun semenjak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah kepantai barat pulau Sumatera. Setelah Malaka ditaklukan oleh bangsa Portugis pada akhir abad ke XVI maka orang Aceh masuk ke daerah ini dan semenjak saat itu pantai Tiku, Pariaman, Indrapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting, hal ini disebabkan posisinya yang sangat dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti, lada, cengkeh, dan emas. Karena muaranya cukup bagus dan besar serta udaranya yang nyaman, Belanda mulai mengincar Padang dan dapat menguasainya pada tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung.
Pada tahun 1667 Belanda membuat loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus, kemudian berhasil menguasai daerah sekitarnya dan menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya. Semenjak itu kota Padang mulai ramai, apalagi setelah adanya pelabuhan Teluk Bayur, pabrik semen dan tambang Batubara (di Sawahlunto) serta jalur kereta api, maka kota Padang semakin bertambah ramai dikunjungi orang sampai saat sekarang. Pada tanggal 7 Agustus 1669 masyarakat kota Padang berhasil melakukan penyerbuan terhadap loji Belanda, hal ini disebabkan oleh semangat patriotisme dan rasa cinta tanah air yang cukup tinggi dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara ini, sehingga tanggal 7 Agustus tersebut dijadikan sebagai hari jadi Kota Padang. Dewasa ini kota Padang merupakan ibukota Propinsi Sumatera Barat dan merupakan pusat aktivitas masyarakatnya.
2. Monografi Kota Padang.
Kota Padang berada antara pada 000 44’ dan 100 08’35” lintang Selatan antara 1000 05’05” dan 100’3409 km2 atau setara dengan 1,65% dari luas Propinsi Sumatera Barat. Pada awalnya luas kota Padang adalah 33 km2, yang terdiri dari 3 kecamatan dan 13 buah kampung yaitu; Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan keluarnya UU No. 5 th 1979 dan peraturan pemerintah No. 17 th 1980 tgl. 21 Maret 1980, maka wilayah kota Padang menjadi 69,4.96 km2 yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 kelurahan. Setelah dicanangkan pelaksanaan otonomi daerah pada, 1 Januari 2001, wilayah administrasi kota Padang dibagi menjadi 11 Kecamatan dan 103 kelurahan yang berbatasan dengan tiga kabupaten yaitu; pertama, Kabupaten Solok, kedua, Kabupaten Pesisir Selatan, ketiga, Kabupaten Padang Pariaman. Sedangkan pada bagian Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 68,126 km, 17 buah pulau, 21 sungai yang terdiri dari: 5 buah sungai besar yaitu Batang Kuranji, Batang Kandis, Batang Lagam, Batang Tarung, Batang Kampung Jua dan 16 sungai kecil yaitu Batang Belimbing, Batang Buo, Batang Arau, Batang Muara, Banjir Kanal, Batang Pagang, Sungai Bayo, Sungai Padang Aru, Sungai Padang Idas, Batang Aru, Batang Kayu Aro, Sungai Timbalun, Sungai Sarasah, Sungai Pisang, Bandar Jati, dan Sungai Koto. Kota Padang mempunyai daratan dan lautan atau dataran rendah dan dataran tinggi. Pada umumnya daerah yang berada pada bagian Timur dan Utara merupakan dataran tinggi Kota Padang, untuk bagian Barat sampai ke Selatan merupakan daerah dataran rendah kota Padang, keadaan tanahnya yang subur terdapat pada dataran tinggi sehingga cocok untuk lahan pertanian, sedangkan dataran rendahnya sudah dibangun menjadi sektor perdagangan dan sebagai pusat kegiatan jasa dan pemerintahan.
Wilayah kota Padang dari 33 km menjadi 694,96 km dan luas laut 905,4 km dengan batas pantai ke laut sejauh 12 mil. Kondisi luas wilayah yang dimiliki oleh Kota Padang adalah perpaduan antara wilayah daratan, perbukitan dan aliran sungai. Berdasarkan keadaan diatas lebih menegaskan akan wilayah dan batasan kota Padang selanjutnya. Iklim dikota Padang tidak begitu bervariasi antara musim hujan dan musim kemarau, hampir sepanjang tahun turun hujan. Suhunya rata-rata berkisar antara 26,45 sampai dengan 26,70. Kelembaban rata-rata berkisar antara 80 minimum sampai 82% maksimum. Curah hujan rata-rata dari angka 870 mm tahun 2003 dan menjadi 3.918,40 mm th 2004 dan menurun lagi menjadi 2.590 mm th 2005, sedangkan kecepatan angin dari angka 39 knot pada tahun 2003, turun menjadi 20 knot pada tahun 2004 dan diperkirakan sedikit mengalami kenaikan menjadi 22 knot pada tahun 2005.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2003 jumlah penduduk kota padang telah meningkat menjadi 765.450 jiwa dan tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk masih akan terus mengalami peningkatan menjadi 801.488 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki. Hal ini erat hubungannya dengan kebiasaan/sifat perantau orang Minang, sehingga banyak penduduk laki-laki yang pergi keluar untuk mencari pekerjaan dan pengalaman di rantau. Namun kini, juga meningkat jumlah penduduk perempuan yang pergi merantau. Dalam kehidupan bermasyarakat kota Padang, terkenal dengan sistem kekerabatan menurut garis keturunan ibu atau matrilineal. Semua orang-orang dari kerabat ibu disebut kerabat dekat. Adapun kerabat jauh merupakan sepersukuan. Hubungan kekerabatan di Kota Padang bisa dikatakan harmonis. Antara warga masyarakat dikota Padang masih terbina rasa kekeluargaan yang baik. Ini terbukti dari beberapa kegiatan warga masyarakat yang dilakukan secara gotong-royong. Kondisi tersebut selalu dipelihara oleh warga masyarakat.
3. Kehidupan Sosial Budaya.
Kota Padang merupakan pusat aktivitas kehidupan masyarakat Provinsi sumatera barat. Kota ini didiami masyarakat yang multi etnis artinya kota Padang dihuni oleh berbagai lapisan masyarakat dan suku bangsa. Meskipun demikian suku Minangkabau masih dominan dibandingkan dengan suku bangsa Indonesia lainnya, karena pengaruh budaya adat istiadat dan falsafah suku Minangkabau. Budaya dalam adat istiadat, sikap dan perilaku warga masih tetap terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Ninik mamak alim ulama, cerdik pandai tetap berperan dalam mengendalikan kehidupan sosial masyarakatnya. Ketiga unsur ini yang dalam falsafah Minangkabau disebut tungku tigo sajarangan atau tali tigo sapilin artinya bahwa kehidupan masyarakat sangat terkait dengan nilai-nilai budaya yang bersumber pada adat, agama dan ilmu pengetahuan.
Dalam kehidupan pedesaan di Sumatera Barat peranan unsur ini selalu seiring dan sejalan dalam bentuk yang lebih kokoh dan tradisional dikota, karena masyarakatnya begitu heterogen dan mobilitas sosial warganya cukup tinggi maka prinsip-prinsip tungku tigo sajarangan atau tali tigo sapilin mengalami sedikit perubahan dan mengambil bentuk lain, tanpa mengurangi nilai-nilai budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat perkotaan. Meskipun demikian ketiga unsur ini masih tetap menjadi panutan yang dibutuhkan masyarakat secara keseluruhan. Kenyataan ini tampak jelas jika pemerintah ingin melaksanakan program pembangunan, maka pemuka masyarakat, pemuka agama dan cerdik pandai adalah orang pertama yang diberi tahu. Melalui ketiga pemuka inilah baru partisipasi masyarakat dapat diperoleh.
Ninik mamak sebagai pengendali adat berkuasa terhadap anak kemenakan dan kaumnya. Alim ulama bertindak sebagai pemandu umat dalam menjalankan ibadah serta cerdik pandai yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dalam isi mengisi bersama pemerintah. Pola hubungan kekerabatan sangat erat hubungannya dengan “stages along the life cycle” atau tingkat-tingkat sepanjang hidup individu seperti perkawinan yang merupakan saat terpenting pada life cycle dan juga sebagai ibadah dalam menjalankan sunatullah. Dalam agama Islam perkawinan/ pernikahan merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan. Dalam acara perkawinan di Minangkabau mamak/ninik mamak mempunyai peran yang sangat pentig karena tanpa keikutsertaan mamak dalam suatu acara, secara adat tidak bisa dilaksanakan. Oleh karena itu mamak mempunyai fungsi yang penting dalam pepatah adat dikatakan “ka pai tampek batanyo ka pulang tampek babarito” artinya kalau hendak pergi tempat bertanya kalau pulang tempat memberitahu (1999/2000:16)
4. Jenis Pakaian di Kota Padang.
Pakaian adalah hasil kebudayaan yang dimiliki oleh hampir setiap suku bangsa. Ia merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, di samping kebutuhan pangan dan perumahan. Tanpa pakaian atau disebut juga busana, kita tidak akan diterima oleh lingkungan masyarakat. Pada awal pemakaiannya lebih berfungsi sebagai penutup tubuh terhadap cuaca dan gangguan binatang. Dalam perkembanganya hingga saat ini pakaian juga dipakai sebagai penyampai pesan dan menunjukan status tertentu, memperindah diri serta menutup aurat dalam pandangan agama. Dengan memakai pakaian seseorang akan dapat terhindar dari berbagai ancaman alam seperti sengatan mata hari, hujan, debu, lata dan lain-lain. Di samping itu berpakaian juga dapat menujukan status tertentu, umur dan acara yang dihadiri pemakainya, ini disebabkan pakaian tersebut mempunyai tempat dan waktu tertentu memakainya. Selain dari itu dengan berpakaian seseorang akan terlihat lebih cantik apalagi pakaian itu dipakai dengan rapi, dandananya menarik dan juga pakaian akan dapat menutup aurat. Dewasa ini berbagai jenis pakaian yang dipakai oleh masyarakat Minangkabau secara umum dan kota Padang secara khusus. Melihat kepada jenis pakaian yang dipakai masyarakat di kota Padang, dapat diklasifikasikan kepada beberapa jenis yaitu sebagai berikut
4.1 Pakaian Adat.
Pakaian adat menurut Simulie (25-10-2007) adalah pakaian kebesaran yang dipakai pada upacara-upacara adat seperti, baralek (kenduri) dan upacara yang bersifat kenegaraan. Pakaian adat tidak dapat dipakai untuk pakaian harian. Bila pakaian ini dipakai diluar upacara-uacara adat akan kelihatan janggal, walaupun tidak ada sanksi, tetapi ia akan menimbulkan kesan yang negatif bagi pemakainya. Aturan adat bukan hanya menetapkan waktu dan tempat pemakaiannya, melainkan juga menetapkan gunting, warna, jenis kainnya dan perlengkapan perhiasan yang dikenakanpun sudah diatur sesuai dengan aturan-aturan adat yang tidak tertulis tetapi bersifat sakral.
Pakaian adat merupakan pakaian kebesaran yang dipakai oleh penghulu dan bundo kanduang pada setiap upacara-upacara adat. Pakaian adat di kota Padang tidak jauh berbeda dengan pakaian di daerah-daerah lain di Minangkabau ini begitu juga dengan pemakaiannya yakni mempunyai aturan-aturan tertentu, kapan suatu jenis pakaian adat digunakan, siapa yang harus memakainya dan bagaimana cara memakainya harus mengikuti aturan-aturan tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnyaa. Pada pakaian adat disetiap suku yang ada di Minangkabau pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang tajam antara daerah-daerah luhak dan daerah rantau. Dengan kata lain pakaian adat antara daerah satu dengan daerah lainnya sulit untuk dibedakan, kalaupun ada, itu akan terlihat pada bentuk dan variasi-variasi saja. Pakaian adat di Minangkabau secara umum dan kota Padang secara khusus dapat dibagi kepada 2 jenis yaitu:
4.2. Pakaian Penghulu atau Datuk
Dalam pembahasan ini antara penghulu dengan datuk disamakan karena pakaian penghulu/datuk pada dasarnya adalah sama. Penghulu atau datuk adalah seorang pemimpin yang telah diangkat oleh pemuka paruik dalam kaumnya/sukunya pada suatu pertemuan keluarga besar dalam suku tersebut. Dialah yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dalam pergaulan kemasyarakatan. Jabatannya merupakan cerminan dari demokrasi adat yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas.
Adapun perangkat pakaian penghulu itu terdiri dari: (a). saluak batiak batimbo, (b) keris (c). pending/pandiang atau ikat pinggang (d). alat-alat ikatan lainnya ( ali 1989:27). Oleh karena permasalahan dalam tulisan ini lebih difokuskan kepada pakaian perempuan, maka masalah pakaian penghulu ini tidak akan dirinci secara detail.
4.3.Pakaian Bundo Kanduang
Bundo Kanduang adalah pemimpin non formal dalam kaumnya, ia berperan mengarahkan dan mendidik anak cucu terutama perempuan dan anak-anak dalam kaumnya, Muis (2006:69). Pakaian Bundo Kanduang di kota Padang hampir serupa dengan pakaian perempuan di daerah lain yang ada di Minangkabau menurut Nurainas (3/11-07) Pakaian perempuan terdiri dari tengkuluk, baju kuruang, kain sarung dan ditambah dengan asesoris-asesoris lainnya seperti gelang, dukuh sepatu dan lain-lain. Pendapat ini sejalan dengan ungkapan Ali (1989:51) yang mengatakan tengkuluk adalah sejenis tutup kepala bagi Bundo Kandung. Tutup kepala di kota Padang berbentuk gonjong mirip tanduk kerbau atau disebut juga dengan tengkuluk. Model yang demikian melambangkan bahwa perempuan mempunyai suatu kehormatan kepada kaum perempuan sebagai umbun puro aluang bunian dalam kaumnya yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan berkaum dan bersaudara. Setelah masuknya agama ke Minangkabau tengkuluk tanduak menjadi pelambang bagi seimbangnya adat dengan agama dengan pengertian bahwa adat dengan agama sama-sama terpakai dalam kehidupan bermasyarakat didaerah tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan pepatah adat "syarak mangato adat mamakai” (Hakimy 1994:30).
Adapun baju kuruang atau disebut juga baju bertabur, dasarnya terbuat dari beledru dengan warna-warna yang cerah dan diberi lampangan-lampangan emas dan taburan main-mainan lainnya yang melambangkan kekayaan alam Minangkabau, kemampuan dan keuletan dalam berusaha. Di samping itu merupakan tamsil bahwa walaupun orang Minangkabau suka merantau dan bertualang dalam perantauan ke daerah-daerah lain namun mereka tetap berada dalam satu wadah hukum adat yang tak lapuak dek hujan dan tak lekang dek paneh. Untuk menutup bagian bawah badan mereka memakai kain sarung dengan berbagai jenis seperti, songket. Pemakaian kain sarung ini, di samping mempunyai nilai-nilai keindahan juga sangat menentukan status pemakainya misalnya, tingkat umur, kedudukan atau status sosial dalam masyarakat adat. Perbedaan ini akan terlihat pada acara-acara yang dihadiri seperti, acara adat, kenduri, sunatan, ta’ziah, menjemput menantu dan lain-lain. Pada bagian bawah dari kain sarung umumnya memakai bis (minsia) yang terdir dari 4 baris. Minsia pada sarung ini menunjukan kewibawaan yang tinggi, anggun, pandai berhemat, bicara sepatah dua patah, cukup ke tiga kata sampai, hati elok baso katuju, tingkah dicontoh urang banyak, Ali (1989:53). Selain dari ketiga unsur tersebut, ada juga yang melengkapi pakaian dengan aksesorir-aksesoris lain seperti kalung, gelang dan cincin.
Dilihat dari waktu pemakaiannya, pakaian adat ini dapat klasifikasikan kepada beberapa macam antara lain : (a). Pakaian adat Penganten, yaitu pakaian yang dipakai oleh penganten pada saat pesta perkawinanan berlangsung. Menurut Nura’inas (3-11-2007) pakaian ini terdiri dari Suntiang dan tengkuluk tanduk, (sesuai dengan kondisi pestanya), baju kurung dasar bledru, sarung ditambah dengan aksesoris lain seperti gelang, dukuh, cinci. (b). Pakaian Pasumandan, pakaian pasumandan ini juga sama dengan perangkat pakaian penganten, bedanya akan kelihatan pada suntiang, Suntiang yang dipakai pasumandan lebih kecil dibandingkan dengan suntiang penganten atau disebut juga dengan suntiang satangah dan selendangnya terdiri dari kain songket. (c). Pakaian lambak sahalei, yaitu pakaian yang dipakai oleh remaja putri yang berumur 10 s/d 15 tahun. (d). Pakaian menjenguk mertua, dalam hal ini baju kurungnya terdiri dari baju kurung biasa tidak dengan bahan yang mahal, sedangkan kain kodeknya dua lapis terdiri dari sarung baminsia lambak duo dan sarung Jao/Jawa, selain dari itu ditambah dengan kain balacung untuk membawa oleh-oleh bagi mertua. (e). Pakaian Manyirih, adalah pakaian yang dipakai untuk mengundang tamu, yang terdiri dari selendang, baju dan kedek serta dilengkapi dengan kain sandang, kampie, sirih/ uncang (f). Pakaian Ta’ziah, yaitu pakaian yang dipakai untuk pergi melihat/ menjenguk kematian. Perangkat pakaiannya baju kurung biasa, kodek kain Jao, selendang kain batik.
4.4. Pakaian Harian
Ada beberapa jenis pakaian harian yang dipakai oleh perempuan Minangkabau yang berada di kota Padang dewasa ini diantaranya adalah:
4.4. 1.Pakaian Resmi/ Kerja
Pakaian resmi yang dimaksudkan disini adalah pakaian yang dipakai untuk ke kantor. Bentuk atau model pakaian ini diatur oleh masing-masing instansi. Secara umum pakaian yang dipakai oleh perempuan untuk ke kantor adalah sejenis blazer yang dipadankan dengan celana panjang dan ada juga dengan rok panjang serta rok mini (sebatas lutut). Blazer dipadankan dengan celana panjang dan rok panjang dan dilengkapi dengan jilbab sebagai penutup kepala. Pemakaian jilbab secara umum dimasukkan ke dalam baju, sehingga medel leher blazernya jelas kelihatan. Pakaian sejenis ini dipakai oleh semua perempuan karier baik yang tua maupun muda, tanpa membedakan tingkat umur. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadi (7-11-2007) yang mengatakan “ semua pegawai dan guru-guru pakai jilbab dengan baju yang berbagai model,
Jenis pakaian resmi yang lain adalah baju kurung yang telah dimodifikasi, bentuknya sangat berbeda dengan baju kurung Minang, jahitan samping kiri dan kanan tidak memakai siba dan tidak pula pakai kikiek. Guntingnya membentuk tubuh dengan melebarkan pada bagian pinggul, sedangkan dalamnya ada yang diatas lutut dan ada yang dibawah lutut/ (sampai ke betis), ukurannya tergantung kepada keinginan pemakai, ada yang pas badan, yang longgar dan ada juga yang ketat. Untuk bagian bawahnya dipadankan dengan berbagai ragam seperti rok, celana panjang, kain sarung stelan dengan selendang.
4.4.2. Pakaian Pesta
Jenis pakaian ini sangat beragam, diantaranya Kebaya, yaitu sebuah blus berlengan panjang yang dipakai disebelah luar kain, bagian dada dibelah selah-olah menutupi sebahagian badan, panjangnya berkisar pinggul sebelah atas sampai ke lutut sebelah bawah dan ada pula kebaya mini/pendek hanya sebatas pinggul dan bagian depannya lebih panjang dari bagian belakang dan berbentuk segi tiga. Disamping itu, ada pula baju kurung, yang telah dimodifikasi dengan bermaca-macam ragam, baju long dress dengan lengan panjang maupun pendek dan celana blus/ rok blus. Pakaian ini biasanya dipakai oleh anak-anak remaja.
4.4.3. Pakaian Bepergian
Pakaian bepergian, adalah jenis pakaian yang dipakai di luar acara resmi seperti, pergi ke pasar, pergi berobat/ ke rumah sakit, pergi rekreasi kepantai dan lain-lain. Pakaian bepergian ini terlihat sangat begalau, artinya termasuk semua jenis pakaian yang disebutkan diatas.
4.4.5. Perilaku Perempuan Kota Padang Dalam Berpakaian.
Perkembangan busana (pakaian) dewasa ini sudah sangat maju baik dari segi jenis, bentuk rancangan model gaya maupun produk-produk fashion. Oleh karena begitu pesatnya perkembangan pakaian tersebut, maka perempuan Minangkabau secara umum dan perempuan yang berdomisili di kota Padang secara khusus cenderung mengikuti perkembangan tersebut sesuai dengan model yang disukai mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadi (7-11-07) yang mengatakan bahwa sekarang orang berpakaian cenderung mengikuti mode. Pendapat ini sesuai dengan ungkapan Nur’ainas (4-11-07) bahwa pakaian yang dipakai perempuan Minang sekarang tergantung kepada mode, mode apa yang trend, maka mereka memakai pakaian tersebut.
4.4.5.1. Pakaian muslimah
Kaidah pakaian muslimah mengharuskan penggunanya menutup aurat dari ujung rambut hingga kaki. Dewasa ini perempuan di kota Padang sebahagian besar sudah memakai pakaian muslimah, yakni telah menutup aurat. Sesuai dengan perkembangan model pakaian muslimah dewasa ini, pada umumnya perempuan Minangkabau di kota Padang selalu memakai baju kurung, akan tetapi modelnya sudah dimodifikasi, ukurannya bervariasi, ada yang longgar, ada yang pas badan dan ada yang ketat, dalamnya berbeda-beda, ada yang sampai ke lutut dan ada yang sampai ke betis, dasar bajunya tebal/ tidak tembus pandang, modelnya sederhana, pemakainya terlihat anggun, kalem dan berwibawa.
Untuk bagian bawahnya dipadankan dengan rok panjang stelan atau rok panjang tidak stelan, ada pula yang memadankan dengan celana panjang, longgar, baik stelan maupun tidak, ada pula yang dipadankan dengan kain sarung. Untuk penutup kepala mereka memakai jilbab, pengertian jilbab disini disamakan dengan kerudung karena istilah jilbab lebih populer untuk saat ini, walaupun jilbab yang dimaksud dalam al-qur’an bukan sama dengan kerudung. Jilbab artinya menghimpun atau membawa. Secara umum istilah jilbab menunjukkan busana wanita berbentuk mantel yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan seperti yang termaktub dalam al Qur’an surat al Ahzab 59, sementara kerudung dalam al Qur’an disebut khimar/ khumur. Pada sa’at ini jilbab mulai mendapat tempat dalam perkembangan mode di Indonesia. Tak heran jika dewasa ini banyak pemakai pakaian muslimah yang menggunakan jilbab sebagai penutup kepala dan celana atau rok untuk menutupi kaki.
Pemakaian jilbab sangat bervariasi, namun masih tetap menutup aurat sesuai dengan syariat, diantaranya ada yang menutup kepala leher, telinga, ujungnya lepas kebawah menutup dada, lebarnya juga berbeda-beda, ada yang menutup sebahagian badan, ada yang menutupi bahu, punggung dan dada dan ada yang hanya sebatas bahu dengan gaya melingkar. Setiap jenis pemakaiannya ditambahkan dengan aksesoris yang beragam. Pengguna pakaian ini umumnya perempuan yang berumur 25 tahun ke atas.
4.4.5.2.Pakaian muslimah modis
Pakaian muslimah modis yang dimaksud disini adalah pakaian yang dirancang dengan model yang trendi dengan gaya yang mempesona, sehingga tetap menutup aurat dan tidak terlihat lagi kuno dan monoton, ukuran baju pas badan terdiri dari bermacam-macam model, dalam baju juga bervariasi ada yang sedikit diatas lutut, sebatas lutut dan ada yang sampai ke betis. Padanan bagian bawahnya sama dengan pakaian muslimah di atas. Pemakainya akan terlihat lebih cantik, anggun dan mempesona. Sebahagian besar perempuan kota Padang memakai model pakaian muslimah modis ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Simulie (25-10-2007 ) yang mengatakan perempuan kota Padang umumnya memakai pakaian menutup aurat (baju kurung) walaupun dengan berbagai model. Hadi (7-11-07) juga menyebutkan “ perempuan sekarang tidak lagi memakai pakaian baju kurung Minang, tetapi baju kurung yang telah dimodifikasi dengan model yang trend
Untuk penutup kepala mereka juga menggunakan jilbab sebagaimana di atas, bedanya hanya terlihat pada cara pemakaian jilbabnya, untuk pakaian muslimah yang modis ini jilbabnya dipakai dengan banyak gaya/eksen diantaranya ada yang memakai dengan cara menutup rapat kepala, melilitkan keleher dengan bentuk yang bervariasi seperti model kerudung lilit yaitu dengan melilitkan jilbab keleher dengan cara menarik ujung yang lain kearah bahu kiri untuk dihubungkan dengan yang dililitkan keleher, kemudian disematkan keduanya dengan jepitan atau bros dibahu. Ada lagi yang memakai dengan melilitkan secara bolak balik dan diikatkan pada leher dengan diberi hiasan-hiasan dengan bros dan lain-lain. Di samping itu ada pula yang menarik ujung jilbab itu keatas kepala (disebut juga kerudung melayu), selain dari itu ada yang menyepitkan semua ujungnya kebelakang yang membentuk seperti ekor kuda, serta ada pula yang memasukkan kedalam baju. Jenis jilbabnya adalah segi empat, sedangkan pelengkapnya bisa berupa scrarf selendang kecil, bando, topi, bros, atau aksesoris lainnya ( liha Rufaidah 2005:8-26) Semua cara pemakaiannya memperlihatkan penggunanya tetap dapat terlihat modis, anggun dan manis. Pakaian muslimah modis ini kebanyakan dipakai oleh perempuan yang berumur 20 sampai dengan umur 45 tahun seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
4.4.5.3. Pakaian standar
Di samping memakai pakaian modis, sebagian perempuan terlihat memakai pakaian yang tergolong dengan model standar, artinya pakaian yang mereka pakai tidak modis dan tidak pula kuno/ tradisional. Pemakai pakaian ini menggunakan baju kurung yang dimodivikasi, sedikit longgar, untuk bagian bawahnya tidak jauh berbeda dengan baju kurung model lainnya, diantara mereka ada yang memadankan stelan dengan rok dan ada juga yang membedakan rok, di samping itu ada pula yang memadabkan dengan celana panjang. Sedangkan penutup kepala menggunakan jilbab dengan tidak banyak gaya, kedua ujung jilbab hanya dilepas ke bawah menutup dada. Kesan pemakainya anggun dan sopan. Pemakai pakaian model standar ini kebanyakan perempuan yang berlatar belakang pendidikan agama dengan standar umur rata-rata 25-45 tahun.
4.4.5.4. Pakaian tidak menutup aurat
Pemakai pakaian ini sangat beragam, ada yang memperlihatkan aurat bagian kepala/ tidak memakai jilbab, tetapi bagian badan sampai tertutup ke kaki (disebut juga dengan baju long dress tanpa lengan), ada pula memakai celana blus, rok blus, kemeja dari berbagai bahan seperti katun, kaus, celana panjang dengan ukuran pas badan memakai blus dengan leher terbuka sedikit, pendek tangan (diatas siku) dan ketebe dipadan kan dengan celana panjang atau tiga perempat (Celana Hawai), di samping itu ada pula yang memakai baju dengan leher terlalu lebar dan pakaian yang transparan, contohnya kebaya yang dasarnya dari till dan sebagainya.
Selain dari itu ada juga perempuan yang memakai bluss pendek dengan lengan pendek sebatas pinggang tetapi didalamnya terlebih dahulu mereka memakai manset, sehingga punggung dan lengan tidak menjadi terbuka, kemudian mereka pakai jilbab dan celana panjang. Celana yang mereka pakai umumnya celana Jeans, pemakai pakaian ini adalah remaja. Remaja yang pergi ke pesta ada yang memakai long dress dengan lengan pendek (diatas siku) dan ada yang tanpa lengan, untuk pengganti lengan mereka menggunakan selendang lebar dan panjang dengan menyelimuti ke bagian bahunya, sedangkan bagian bawah belakang baju dibelah sampai ke betis.
4.4.5.5. Penempatan berpakaian perempuan kota Padang
Cara dan gaya berpakaian perempuan kota Padang sangat tergantung kepada selera pemakainya. Dari cara dan gaya tersebut kapan dan dimana saja mereka gunakan?. Menurut Nur’ainas penempatan pakaian bagi perempuan Minangkabau bukan sembarang dipakai saja (bukan sesuka hati memakainya), tetapi diatur sesuai dengan waktu dan tempat pemakaiannya seperti, pakaian dirumah tidak cocok untuk dibawa ke pesta, atau kepasar, begitu juga dengan pakaian adat, sangatlah janggal bila dipakai pada waktu tidak ada upacara adat, begitu juga dengan dengan pakaian pesta tidak cocok untuk dipakai pergi ta’ziah. Berdasarkan pengamatan dilapangan perempuan Minangkabau di kota Padang kebanyakan tidak mempertimbangkan cara dan waktu serta tempat pemakaiannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Yenni (ia senang memakai baju long dress) (30-10-2007) mengatakan bahwa saya memakai pakaian ini karena senang, begitu juga Agus dia mengatakan hal yang sama. Ketika itu dia memakai long dress ke kantor. Ketika di tanya apakah pakaian ini cocok untuk dipakai kekantor dia mengatakan tak apa-apa senang memakainya lagi pula praktis. Beberapa informan lain juga menjawab tidak janggal bila memakai pakaian long dress pergi ke pesta atau pakaian pesta untuk pergi ke kantor, ke sekolah dll.
4.4.6. Jati Diri Perempuan Minangkabau di Kota Padang.
Pakaian adalah cerminan zaman, oleh karena itu ia kontekstual. Pada waktu berbagai wilayah dunia belum dijajah oleh rezim kolonilal dan pengaruh piranti telekomonikasi, model pakaian yang dianggap pantas masih didedfinisikan secara lokal seperti halnya kecantikan dan ketampanan. Berdarkan itulah model pakaian sangat beragam, menunjukkan perbedaan etnis. Konsep lokal menyebabkan pakaian perempuan Minangkabau sangat berbeda dengan pakaian perempuan daerah yang lain di Indonesia ini. Ketika perempuan Minangkabau sudah memakai baju kurung. Tahun 1930-an sudah menutup tubuh bagian atasnya menutupkan kerudung kekepalanya, sementara perempuan Bali masih membiarkannya terbuka. Setelah beberapa tahun Indonesia merdeka, keseragaman mulai terbentuk. Hal ini terjadi akibat jaringan birokrasi Nasional, hubungan antar daerah yang semakin intensif dan piranti komunikasi semakin berperan dalam menyatukan masyarakat daerah. Dengan semakin terbukanya masyarakat lokal maka semakin mudah mereka menyerap berbagai pengaruh dari luar, sehingga ketaatan terhadap dandanan lokalpun semakin berkurang. Modernitas yang akar sejarahnya berasal dari zaman Renaisance berkembang kemana-mana melalui para pendatang dan pesan-pesan media. Sebagai anak kandung zaman Renaisance, ideologi modernitas ( modernisme ) menjadi oposisi bagi elit tradisional Barat yang berpusat pada gereja dan kaum feodal.
Perubahan ideologi modernitas berakibat kepada perubahan struktur sosial yang signifikan. Segala sesuatu yang semula dita’ati dan menjadi kebanggaan lokal mulai tergilas oleh konsep baru yang mengacu kepada pikiran Barat. Pakaian Minangkabau yaitu baju kurung yang bernuansa religius mulai tergeser lalu beranjak mengikuti arus perkembangan sehingga muncul berbagai model pakaian tahun 80-an mulai terjadi peralihan gaya rias dan mode pakaian di Sumatera Barat, pada waktu itu Jilbab mulai dipakai sekelompok kecil perempuan terutama di kalangan mahasiswa, pada saat yang sama berkembang pakaian kebaya ala ibu Tien Soeharto, khususnya dikalangan isteri-isteri pejabat, jilbab dianggap sebagai penyimpangan bahkan perlawanan terhadap penguasa sehingga mereka seolah-olah terdiskriminasi contohnya, pada tahun 1984 pas foto pelajar putri yang memakai jilbab dianggap tidak sah oleh Direktorat Jendral pendidikan Tinggi. Ketentuan ini berlaku sampa September 2000. Pada tahun 90-an dandanan ala Mbak Tutut (berkerudung dengan rambut terbuka di bagian kening) juga populer dan ditiru oleh banyak orang. (lihat Chatra 2006:2). Semenjak tahun 2000, jilbab bukan lagi pakaian aneh ia sudah diterima sebagai ekspresi diri kaum muslimah Minangkabau di Sumatera Barat. Pakaian ala kebaya ibu Tien Soeharto dan kerudung tanggung ala Mbak Tutut justru jadi terlihat aneh. Sekitar tahun 2004 muncul mode pakaian yang trend yaitu blus pendek tanpa lengan/ ketebe dan celana panjang dengan pinggangnya dibawah pusat, pakaian ini juga ditiru oleh remaja putri.
Sehubungan dengan ini sikap pemerintah terhadap jilbab bukan hanya berubah tapi cendrung berbalik arah. Dengan alasan orang Minangkabau mempunyai filosofi Adat Basandi Syara’, Syara” Basandi Kitabullah, maka jilbab justru berubah menjadi pakaian wajib. Atas himbauan pemerintah maka pelajar putri yang beragama Islam mulai dari tingkat SD sampai tingkat SMA diharuskan memakai jilbab, begitu juga dengan Pegawai Negeri Sipil termasuk menerima kewajiban yang sama. Dengan demikian akhirnya sebahagian besar mahasiswapun ikut terpengaruh memakainya, sehingga saat ini perempuan Minangkabau dengan yang bukan Minangkabau sulit untuk dibedakan dalam berpakaian, setiap mereka selalu berusaha untuk menjadi aktual dari waktu kewaktu dan ingin selalu terdepan dari yang lainnya. Dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini terutama teknologi komunikasi, maka berbagai media televisi menampilkan model pakaian melalui para artis, sehingga perempuan bebas memilih model pakaian mana yang lebih trend dan yang dinginkan mereka, akibatnya baju kurung yang merupakan ciri khas pakaian Minangkabau mulai menghilang. Perempuan Minangkabau yang berdomisili di Padang memakai baju cenderung mengikuti mode, sementara mode itu hanya bertahan sesaat atau selama belum muncul model yang baru, bila model yang baru sudah tiba maka model lama otomatis akan tergilas. Selain dari itu perempuan sekarang lebih suka memilih pakaian dengan pertimbangan praktis dan ekonomis seperti pendapat Rahma (30-1-2007), umumnya sekarang orang lebih suka kepada pakaian jadi atau instan, kita hanya tinggal pakaian , bila dipertimbangkan biayanya dengan pakaian dasar lebih murah, selagi ada yang mudah kenapa dipilih yang susah.
Apa lagi bila kita berpedoman kepada standar pakaian perempuan Minagkabau sebagaimana yang dikatakan Nura’nas (3-11-2007) bahwa baju kurung itu adalah longgar, basiba, pakai kikiek, basalendang dan pakai kain Jao menutupi sampai mata kaki, maka jati diri perempuan Minangkabau di kota Padang tidak terlihat sama sekali karena pakaian yang dipakai perempuan kini baik pakaian adat maupun pakaian harian sudah dimodifikasi sesuai dengan perkembangan model. Patron baju kurung sebagai mana yang tersebut diatas sudah sejak lama ditinggalkan, dalam budaya populer ini orang lebih cendrung ke mode sebagaimana dikatakan Hadi (4-11-2007) “sekarang kecenderungan orang berpakaian adalah ke mode, dimanapun di dunia ini orang lebih cendrong mengikuti mode. Contoh, sekarang pakaian yang dibuat oleh perancang mode adalah pakaian pemain sinetron dan pakaian yang trendpun pakaian yang dipakai oleh pemain sinetron sekarang. Kenyataan sekarang, orang juga memakai pakaian yang banyak dipakai pemain sinetron. Kecendrungan orang mengikuti mode disebabkan: (1). orang tidak mau dikatakan ketinggalan mode, (2). ingin memperlihatkan baa urang baa awak ( kalau orang begitu kita juga demikian), (3). pertimbangan praktis, contohnya jilbab, kalau dulu orang pakai lilit (egel) sekarang sudah pindah ke jilbab, karena memakai lilit itu susah dan memakan waktu yang cukup lama, sementara jilbab sekarang tinggal sorong saja lagi (Hadi 7-11-2007). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Rahma (20-11-07) yang mengatakan “pada umumnya sekarang orang cenderung memakai pakaian jadi /instan, karena praktis, kita hanya tinggal pakai dan bila dilihat kepada harganya tidak jauh berbeda dengan pakaian yang kita jahit dan bahkan lebih murah lagi (murah meriah), kalau ada yang mudah kenapa dipilih yang susah.
Bila dilihat lagi ungkapan Hadi (7-11-07) yang mengatakan: kain pandindiang miang, ameh pandindiang malu” (kain pembatas miang, emas penutup malu). Pandinding yang dimaksud disini adalah pembatas artinya. Kain yang dipakai itu dalam hal ini adalah pakaian, betul-betul dapat melindungi tubuh dari bahaya-bahaya alam, oleh karena itu harus menutup seluruh badan, kalau pakaian itu pendek atau tipis, berarti belum memenuhi syarat sama halnya dengan pakaian yang dianjurkan oleh Islam yaitu menutup aurat artinya tidak memperlihatkan anggota tubuh yang dapat menimbulkan ransangan bagi lawan jenisnya. Sekarang pakaian perempuan membentuk tubuh dan transparan. Hal ini juga disebutkan oleh Hadi bahwa baju kurung perempuan sekarang mengikuti bentuk tubuh apalagi kebaya disamping pas badan transparan lagi.
Berdasarkani pernyataan di atas terlihat bahwa budaya Minangkabau telah memperlihatkan perubahannya terutama dalam berpakaian. Baju kurung basiba yang merupakan ciri khas pakaian perempuan Minangkabau sudah beralih kepada baju kurung modern. Begitu juga jilbab, dulu merupakan kekhasan penutup kepala yang dipakai oleh Rahmah Elyunusiah yaitu lilit (mudawarah), ternyata lilitnya juga tidak bertahan lama. Justru orang telah beralih ke jilbab sebab jilbab lebih praktis sementara lilit susah memakainya dan memakan waktu.
Chatra (2006:8) mempertegas pendapat diatas dengan mengatakan “jilbab atau pakaian muslimah tidak lebih dari sekedar mode yang membentuk pasar pontensial baru. Sebagai sebuah trend mode ia mudah diplintir menjadi bagian dari manuver kapitalisme sebagai selubung sprituallitas yang memukau, media-media yang dikendalikan oleh kepentingan kapitalis mengambil sikap akomodatif dengan mempromosikan model-model pakaian muslimah kreasi terbaru hasil rancangan desainer terkemuka, Tekanan pemerintah yang mewajibkan perempuan berpakaian muslimah membuat pasar itu berkembang pesat, dan sangat menguntungkan pelaku ekonomi.
Walaupun sulit untuk melihat jati diri perempuan Minangkabau di kota Padang saat ini (di era budaya populer ini) namun masih ada patron lain yang bisa digunakan yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam adat yang memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau yakni budi luhur, melalui budi luhur ini akan ada olah rasa (emosional) yang disebut raso dan olah pikir (rasional) yang disebut pareso, dan dirasakan oleh hati (malu) yaitu suatu perasaan yang muncul akibat mendapat aib atau cela (disebut juga dengan tanggungan hati manusia), raso jo pareso akan teraplikasi dalam gerak lahiriyah yang lahir dari tingkah laku yang baik yang disebut sopan (Hakimy 1978:48). Walaupun perkembangan model pakaian yang begitu beragam yang dipakai oleh perempuan Minangkabau di kota Padang namun kebanyakan dari mereka masih menyimpan rasa malu dan sopan . Hal ini dituturkan Yenni sebagai berikut “walaupun saya pakai baju yang lehernya agak melebar, saya setiap memakai pakaian itu selalu menutupinya dengan tas atau map bila hendak membungkukkan badan seperti naik dan turun bis”.
Kemudian Eta juga menyebutkan, sebenarnya saya resah juga kalau memakai pakaian pendek (tampak pinggang) tetapi setiap saya mencari model celana yang pinggangnya menutup pusat itu tidak saya temukan di pasar, maka untk menutupi hal tersebut saya pakai manset saja. Pendapat ini sesuai dengan yang dikatakan Gustimalini yang menyebutkan sebenarnya saya juga agak malu memakai pakaian yang kayak begini (baju transparan) tetapi sekarang yang trendkan cuma gaya ini dan banyak lagi pendapat-pendapat yang menunjukan adanya rasa malu bagi mereka yang memakai pakaian yang tidak menutup aurat. Pendapat ini di dukung oleh Nizar (24-10-2007) yang mengatakan bahwa perempuan Minangkabau yang berada di Padang masih memperlihatkan Jati dirinya sebagai perempuan, mereka masih berpakaian dengan sopan, menutup aurat. Ini bearti mereka masih memiliki raso jo pareso.
E. PENUTUP
5.1. Kesimpulan, Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: (1). Jenis pakaian yang dipakai oleh perempuan Minangkabau di kota Padang ternyata sangat beragam sekali. Diantara mereka ada yang memakai baju kurung baik asli maupun yang telah dimodifikasi, tetapi pakaian yang mayoritas dipakai adalah baju kurung yang telah dimodifikasi terutama perempuan dewasa. Di samping itu ada juga yang memakai baju kebaya, baik panjang ataupun pendek, pada umumnya pakaian ini dipakai untuk pergi acara. Selain itu ada yang memakai baju long dress, rok blus panjang/pendek, celana blus, dengan model yang bervariasi dan umumnya dipakai oleh perempan remaja. (2). Perilaku berpakaian bagi perempuan Minangkabau di kota Padang sangat beragam. Sebagian mereka ada berpakaian menutup aurat, sebahgian yang lain memakai pakaian modis baik pakaian muslimah ataupun yang bukan pakaian muslimah. Selain dari itu ada juga yang memakai pakaian yang seksi, artinya mereka berpakaian mengikuti perkembangan mode (memilih pakaian yang lebih trendi). (3). Jati diri perempuan Minangkabau dilihat dari kenyataan hari ini (sering disebut budaya populer) sulit untuk menentukan karena perempuan yang berdomisili di Padang memakai pakaian cenderung mengikuti mode, di samping itu perempuan yang berdomisili di kota Padang bukan etnis Minang saja tetapi terdiri dari multi etnis, selain dari itu mereka berpakaian selalu mempertimbangkan praktisnya. Kesulitan ini dirasakan ketika kita menggunakan alat ukurnya dengan standar pakaian perempuan Menangkabau masa lalu (denga patron baju kurung asli), akan tetapi bila kita mengunakan alat ukur dengan budi luhur dan pengaplikasiannya melalui raso jo pareso, malu jo sopan, maka jati diri perempuan Minangkabau masih terlihat.
5.2. Saran (1). Kepada perempuan Minangkabau yang hidup di dalam budaya populer ini hendaknya memahami dan memperhatikan norma-norma berpakaian serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. (2). Diharapkan kepada perempuan Minangkabau secara umum dan perempuan Minangkabau yang menetap di kota Padang secara khusus agar selalu memperlihatkan jati drinya dalam berpakaian. (3). Di harapkan kepada perancang medel pakaian agar dalam membuat model pakaian selalu mempertimbangkan norma-norma yang berlaku menurut adat Minangkabau
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Naim Syafnir, Drs. Kertas Kerja tentang Pakaian Adat Minangkabau (tidak diterbitkan),
Amir, B.Adat dan Islam, suatu tinjauan mangenai konflik I minangkabau, modern Indonesia project cornell university,1979.
Bandaro, darwis thaib, Dt. Sidi, seluk beluk adat alam minangkabau, Jakarta: CV. Nusantara, Bukittinggi, (t,th).
Bappeda, padang dalam angka 2005, padang in figures 2005, published by bps kota Padang, 2006
Gayatri Satya, Dra, perempuan dalam filsafat adat minangkabau, lembaga penelitian unand, padang, 2001(artikel penelitian Penelitian,Tidak Diterbitkan)
Ibrahim Anwar, Drs.dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah SumateraBarat,Depdikbud dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1985/1986.
Penghulu Idrus Dt.Rajo,Rangkaian Mustika Adat Bsandi Syara’di Minangkabau,Bandung, Remaja Rosda Krya, 1994.
_____________, Buku Pegangan Bundo Kanduang,Bandung, CV,Rosda, (t.Th).
_____________, Petatah, Petitih, Mamang,Bidal,Pantun,Gurindm,, Bandung, CV.Rosda1978.
_____________, Poko-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Sumbar, LKAAM, 1968.
Penghulu , Rasyid Manggis,M.Dt.Rajo, Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1971.
_____________, Limpapeh Adat Minangkabau, Bukittinggi, Usaha Ikhlas, 1975
Permueumn Sumbar, Pakaian Penghulu Minangkabau, Proyek PembinaanPermuseuman, 1996’1997.
Sairin Syafrin, Prof.DR. Perubahan Sosil Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Jakarta, Anggota IKAPI, 2002.
Sati Azwar Muis, Drs. Dt. Bagindo, Perempuan Minngkabau Menurut Adat, Kristl Multi Media (t.th)
Sidin Nazar,Sh. Ali Ahmad, Busana Tradisi Minangkabau dan Filosofinya, Jakarta, Sastra Hudaya, 1989.
Swasono Meutia Hatta, Prof. Dr.Islam Dalam Budaya Populer, ( Makalah, disampaaikan pada Kongres Kebudayaan dan Apresisi Seni Budaya Minangkabau, 29 Nofember 2006 (tidak diterbitkan)
Tsuyoki Kato, Terj. Azizah Kasim, Nasab Ibu dan Merantau, Tradisi Minangkabau yang Berterusan di Indonesia, Malaysia-Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar