Oleh : Dra. Desmaniar, M.Pd
Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI) merupakan salah satu komponen bangsa yang lahir dari rakyat, tumbuh dan berkembang serta memiliki akar dalam rakyat serta dibekali oleh semangat rakyat. Dalam proses perkembangannya, kehadiran TNI merupakan sebuah tuntutan dari kehendak rakyat yang didalamnya terdapat posisi dan peran aktif dari TNI itu sendiri. TNI lahir bukan hanya sebagai alat militer teknis semata, melainkan sebagai manifestasi bersenjata dari sebuah proses perjuangan rakyat dan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dan untuk membangun suatu masyarakat yang sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.
Sejak kelahirannya, TNI memiliki peran yang sangat signifikan dalam mempertahankan kedudukan bangsa dan negara Indonesia yang baru diproklamasikan. TNI juga memiliki peran yang berarti dalam menentukan arah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia. Dalam hal ini disadari pada satu pihak bahwa TNI merupakan modal yang sangat berharga dalam kehidupan negara dan bangsa selanjutnya. TNI, menurut Harold Crouch3, merupakan lembaga satu-satunya yang telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang kontiniu selama perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan yang secara utuh serta siap dalam memasuki kurun waktu pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Selama perang mempertahankan kemerdekaan, TNI telah mengalami "penggodokan" yang telah mendewasakannya tidak hanya dalam tugas pertahanannya saja, tetapi juga dalam menangani masalah-masalah politik, sosial, ekonomi dan pemerintahan.4 Untuk itu, pihak internal TNI menyadari bahwa dalam tahun-tahun sesudah pengakuan kedaulatan diperlukan proses konsolidasi dalam tubuh TNI. TNI yang dalam sejarah telah dibesarkan oleh dinamika konflik dan sokongan rakyat Indonesia, diharapkan terus melakukan pembenahan institusi (re-organisasi), peningkatan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan dan latihan-latihan disamping peningkatan mutu atau kualitas sarana dan prasarana. Hal ini perlu dilakukan agar TNI tidak menjadi sumber instabilitas melainkan justru menjadi faktor terpenting dalam memelihara kestabilan dan mendorong kemajuan dalam negara dan masyarakat.
Sebagai komponen negara yang bertugas untuk mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, para anggota TNI dikondisikan untuk menjadi prajurit-prajurit yang kuat secara fisik dan mental. Primanya prajurit TNI dalam bidang fisik merupakan sesuatu yang mutlak karena prajurit TNI yang lemah secara fisik justru akan membuat potensi TNI sebagai sebuah institusi dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara akan lemah. Jadi tidaklah mengherankan apabila latihan fisik justru mendapat porsi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan latihan mental spritual.
Hal ini sangat logis apabila kita mencermati fungsi utama dari TNI sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia ini. Walaupun sebenarnya, menjaga kedaulatan NKRI tersebut bukan hanya tugas dan tanggung jawab TNI saja, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab dan tugas seluruh bangsa Indonesia. Namun dari segi profesionalisme institusi, TNI yang betul-betul diharapkan untuk mengemban tugas tersebut.5
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila institusi TNI identik dengan latihan fisik sehingga sering terlihat dalam berbagai kesatuan-kesatuan TNI ada motto yang selalu dipegang oleh para prajurit TNI yaitu "Tiada Hari Tanpa Latihan". Motto ini mengarah kepada latihan fisik secara berketerusan, agar seluruh fisik para prajurit TNI menjadi prima dan dengan hal tersebut, profesionalisme institusi TNI akan semakin baik. Konsekuensi dari semua ini justru melahirkan kondisi "keras" dalam kepribadian para prajurit TNI. Menurut perspektif Ilmu Psikologi, latihan fisik yang keras akan membuat orang memiliki kepribadian yang keras, sebagaimana halnya dalam sudut pandang sosiologi yang mengatakan bahwa realitas sosial dan determinisme ekologi sosial yang keras akan berpotensi untuk melahirkan realitas psikologis yang keras pula.6
Para prajurit TNI terkondisikan oleh dua realitas di atas. Mereka dituntut dengan latihan yang keras dan teratur, disiplin yang kaku dan tegas dalam tindakan serta lingkungan yang keras pula. Jadi tidaklah mengherankan kemudian, apabila para prajurit TNI berpotensi untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkepribadian keras pula. Oleh karena itu, untuk menjaga pribadi-pribadi para prajurit TNI tidak menjadi keras, kaku dan tegas tanpa terarah, maka sangat dibutuhkan pendekatan lain agar pribadi yang keras akibat tuntutan profesionalisme yang mereka emban, bisa terarah dengan baik dan tidak merugikan institusi TNI itu sendiri.
Dalam konteks di atas, untuk meningkatkan kualitas prajurit demi terlaksananya tugas pokok TNI, prajurit tidak semata-mata dibekali oleh kemampuan profesional dibidangnya, tetapi juga dibekali dengan dimensi moral spritual yaitu bagaimana mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan dan latihan dalam rangka pembinaan sikap dan perilaku hidup serta amal perbuatan insan prajurit merupakan hal yang mutlak dan harus dilaksanakan secara teratur, terus menerus dan berkelanjutan baik melalui lembaga-lembaga pendidikan yang pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam kurikulum maupun dalam lingkungan kesatuan-kesatuan yang bersifat rutin. Semua ini akan menjadi apa yang dinamakan dengan ketahanan.
Ketahanan di segala bidang, dalam hal ini khususnya di bidang kejiwaan atau mental merupakan syarat mutlak dalam pembangunan nasional. Disinilah urgensi utama peranan pembinaan mental dimana TNI diberikan pengetahuan dan pengertian yang up to date, terus menerus dan sistematis7, sebab akan berakibat fatal terhadap perjuangan bangsa apabila pembinaan mental ini dianggap tidak penting dan disia-siakan. Hal ini terbukti pada masa lalu dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S/PKI)8 yang merupakan bukti dari pada pembinaan dibidang kejiwaan/ mental yang kurang terarah sehingga mengakibatkan pengorbanan yang besar dan melenyapkan eksistensi negara dan bangsa Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila.
Sejalan dengan pendapat diatas, Mayor Jendral Susilo Bambang Yudhoyono9 mengatakan bahwa ABRI dalam menjalankan tugasnya juga memerlukan pembinaan mental yaitu kegiatan yang bertujuan membentuk dan memelihara moral yang didasari oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.10 Dengan demikian untuk mencapai persatuan dan persamaan sikap sebagai seorang prajurit perlu ditanamkan mental dan moral yang matang sebagaimana panglima besar Jendral Soedirman mengajarkan bagaimana sikap, tingkah laku dan kepribadian TNI yang seharusnya, baik dalam bidang militer maupun dalam bidang kenegaraan. Ajaran dan amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman tersebut kemudian digunakan sebagai dasar perumusan jiiwa serta kepribadian TNI yang kemudian dikenal dengan "Sapta Marga".
Dalam konteks di ataslah maka didirikan organisasi yang bertugas untuk membina dan memperhatikan perkembangan mental rohani prajurit TNI. Setiap Angkatan dalam tubuh TNI diharuskan membentuk organisasi pembinaan mental ini seperti Organisasi Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintalad) pada TNI Angkatan Darat, Organisasi Dinas Pembinaan Mental Angkatan Laut (Disbintalal) pada TNI Angkatan Laut, Organisasi Dinas Pembinaan Mental Angkatan Udara (Disbintalau) pada Angkatan Udara dan Organisasi Dinas Pembinaan Mental Kepolisian (Disbintapol) pada Kepolisian. Untuk yang terakhir ini, pada tahun 2000 memisahkan diri dari TNI dan menjadi struktur tersendiri dibawah Kapolri.
Organisasi Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintalad) adalah organisasi pembinaan mental dalam tubuh TNI Angkatan Darat yang merupakan penggabungan dari beberapa organisasi antara lain :
1. Seksi urusan Rohani Islam (ROHIS)
2. Seksi urusan Rohani Protestan (ROHPROT)
3. Seksi urusan Rohani Katholik (ROHKHAT), dan
4. Seksi urusan Rohani Hindu-Budha (ROHINBUD).11
Dalam pembinaan mental TNI Angkatan Darat, yang perlu diperhatikan adalah aspek motivasi. Aspek ini memegang peranan penting dalam pembinaan mental para prajurit. Aspek motivasi yang perlu diresapkan oleh setiap prajurit adalah nilai-nilai keagamaan karena merupakan inspirasi dan sumber untuk menumbuhkan sikap mental yang kuat dalam menghadapi dan menanggulangi segala hambatan dan ancaman yang membahayakan keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa. Di samping itu, pembinaan rohani berusaha dan bertujuan agar setiap prajurit TNI mampu menunjukkan sikap mental, moral dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan tuntutan agama masing-masing.
Aspek bimbingan rohani, khususnya Rohani Islam (ROHIS) menurut hemat Penulis cukup berperan dalam pembinaan mental anggota TNI. Jika kita membaca sejarah hidup Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman secara komprehensif, akan terkesan pengaruh keyakinan yang dimilikinya memberi motivasi yang kukuh dalam perjuangannya selama ini.12 Nilai-nilai religius yang dimilikinya terlihat dan teraktualisasi dalam semangat, perilaku dan pemikirannya sehari-hari, baik dalam suasana suka maupun duka. Kelemahan fisik yang dimilikinya (penyakit paru-paru) mampu ditutupi oleh motivasi yang kuat dengan landasan nilai-nilai religius yang dianutnya.
Kita menyadari dalam ajaran Islam misalnya, kehidupan moralistik itu menjadi parameter keberagamaan seseorang. Secara normatif, Nabi Muhammad SAW. telah mengajarkan bahwa agama Islam yang dianut itu ialah refleksi dari budi pekerti yang diwujudkan. Kita memang menghargai ibadah vertikal yang ditunjukkan seseorang, akan tetapi lebih dari itu perlu dijabarkan pula dalam ibadah sosial atau horizontal untuk mengimbangi ibadah vertikal yang bersifat personal tersebut. Dengan demikian akan terwujudlah prajurit yang profesional dan memiliki kepribadian dan moralitas yang baik dan tangguh.
Sudah menjadi perbincangan umum, moralitas prajurit TNI tampak kurang menggembirakan terutama pada masa rezim Orde Baru. Mulai dari moralitas personal dengan seringnya terjadi berbagai kasus a-susila, becking kejahatan seperti perjudian, prostitusi, narkotika, illegal logging dan korupsi serta kejahatan terorganisir (organized crime) hingga kejahatan institusional.12 TNI seharusnya memiliki sikap dan kepribadian sebagai prajurit pejuang yang tangguh, tahan terhadap segala godaan serta harus mampu menjadi panutan masyarakat. Akan tetapi berdasarkan pengalaman sejarah, sering oknum prajurit TNI terlibat tindakan kriminilatas dalam berbagai skala.
Perilaku-perilaku diatas merupakan perilaku menyimpang (pathologic) karena tidak sesuai dengan asas TNI itu sendiri. Berbagai pendapat dari berbagai pakar mengatakan bahwa perilaku menyimpang oknum TNI tersebut bisa ditelusuri dari berbagai hal, diantaranya : karena tingkat kesejahteraan anggota TNI yang sangat minim sehingga membuat para anggota TNI tersebut berusaha mencari tambahan "luar" yang terkadang mereka peroleh dengan jalan kurang baik dan melanggar hukum.12 Posisi strata sosial TNI sangat memungkinkan mereka dijadikan sebagai pelindung pelaku kejahatan di Indonesia. Disamping itu, ada yang beranggapan bahwa pada masa Rezim Orde Baru, TNI merupakan elemen dalam masyarakat Indonesia yang menempati puncak piramida sosial politik tertinggi dalam startifikan piramida sosial Indonesia. Hal ini membuat mereka merasa sebagai "warga istimewa" yang kemudian terefleksi dalam perilaku keseharian mereka.13
Sedangkan pendapat yang terakhir cenderung terkesan normatif, akan tetapi sangat logis. Kesan normatif terefleksi dari berbagai pendapat yang mengatakan bahwa perilaku anggota TNI yang banyak menyimpang dari nilai-nilai luhur TNI itu sendiri dikarenakan moral dan nilai-nilai keberagamaan yang dimiliki oleh anggota TNI sudah mulai berkurang, bahkan sudah mulai luntur. Akan tetapi pendapat ini sangat logis apabila dihubungkan dengan adanya lembaga-lembaga pembinaan mental dalam tubuh TNI. Ini berarti lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi secara efektif dan maksimal.
Kondisi-kondisi di atas sangatlah menarik untuk diteliti dalam melihat bagaimana kiprah dan peranan lembaga pembinaan mental dalam tubuh TNI dalam membina mental rohani anggota TNI tersebut. Karena tuntutan profesionalisme yang harus diemban oleh para prajurit TNI, membuat mereka harus menjalani latihan-latihan fisik yang keras sehingga berpotensi untuk memiliki kepribadian yang keras. Oleh karena itu, agar potensi tersebut tidak dis-potensi, maka dibutuhkan secara mutlak pembinaan kepribadian para anggota TNI ini. Oleh karena itu kehadiran institusi pembinaan mental merupakan sesuatu tuntutan profesionalisme TNI itu juga.
Sebagai lembaga pembinaan mental yang sangat erat kaitannya dengan motivasi dan ideologi, tentu lembaga ini sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan arah TNI dan anggota-anggotanya. Realitas-realitas yang dipaparkan diatas bisa saja membuat lembaga pembinaan mental tidak mampu menjadi "pembina" bagi TNI dalam aspek peningkatan nilai-nilai moral TNI agar TNI sebagai institusi dan anggota-anggotanya mampu menjalankan tugas dan peran sebagaimana nilai-nilai dasar yang mereka anut, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut justru "dibina" oleh TNI sebagai sebuah institusi dalam mengembangkan misi-misi politik mereka maupun rezim yang berkuasa.
Sebagai sebuah institusi tersendiri, lembaga pembinaan mental dalam tubuh TNI bukanlah sebuah fenomena yang berdiri sendiri. Lembaga ini lahir dari sebuah proses sejarah dan tuntutan zaman serta institusi. Dalam bahasa sosiologis, kehadiran lembaga ini sangat fungsional bagi institusi TNI. Ia adalah fenomena yang dipengaruhi oleh berbagai struktur. Ia terikat oleh perkembangan atau dinamika waktu dan tempat.
Sejauh yang pernah penulis identifikasi, kajian ROHIS belum pernah dibahas dalam bentuk penelitian yang memfokuskan kepada pembahasan mengenai politisasi dalam istitusi ROHIS tersebut. Artinya, kalaupun ada penelitian mengenai pembinaan mental dalam institusi TNI, mayoritas pembahasan tersebut lebih terfokus kepada sejarah dari institusi pembinaan mental maupun peranan saja. Kajian mengenai politisasi ROHIS belum pernah dilakukan. Dalam konteks ini, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut dinamika dan proses pembinaan mental rohani pada salah satu seksi Disbintalad TNI dalam hal ini Rohani Islam (ROHIS) dengan memfokuskan kepada pergeseran fungsi ideal ROHIS akibat adanya politisasi dari pemegang kebijakan politik, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru.
Secara umum, pergeseran fungsi ideal ROHIS merupakan suatu fenomena umum dan menyeluruh yang terjadi pada masa Orde Baru. Dalam arti kata, pergeseran fungsi ideal akibat adanya politisasi dari pemegang kebijakan politik terutama pada masa pemerintahan Orde Baru itu tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, juga terjadi di hampir seluruh daerah Indonesia. Untuk itu, fokus kajian pada perkembangan ROHIS Sumatera Barat pada akhirnya nanti akan bisa menggeneralisir perkembangan ROHIS di Indonesia umumnya pada masa Orde Baru.
Rabu, 01 April 2009
Dinamika Historis ROHIS dalam Institusi TNI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar