Oleh : Dra. Hetti Waluati Triana, M.Pd
Bukan hal yang asing apabila nyaris setiap linguis menegaskan bahawa tidak ada satu pun aktivitas yang boleh dilakukan manusia tanpa bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Tannen (1990:13) dalam Griswold (1994:64) … Language is important to human interaction that it is difficult to think of life without it…. Pernyataan yang senada dengan yang dikemukakan oleh Idris (2004) , yang mengemukakan bahwa bahasa merupakan suatu prasyarat penting bagi hampir semua kehidupan sosial manusia, dan merupakan medium bagi kebanyakan kejayaan komunikasi dan olahan pikiran.
A. PENDAHULUAN
Pandangan ini diperkuat oleh sosilog, Anderson and Taylor (2002:120), yang menegaskan bahwa kumpulan masyarakat dibina melalui interaksi sosial, sedangkan interaksi sosial tidak dapat wujud tanpa bahasa. Justru itu, Idris (2001:1) berpendapat bahwa bahasa adalah salah satu keajaiban manusia.
Pandangan di atas mengindikasikan bahwa bahasa merupakan aspek penting di alaf globalisasi mengingat peran bahasa sebagai alat komunikasi dan bahasa sebagai media utama untuk mewujudkan interaksi sosial. Penegasan ini ialah wujud daripada penguatan akan pentingnya bahasa bagi menjalankan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial, yang terrefleksi melalui fungsi bahasa sebagai komunikasi.
Komunikasi diartikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih; perhubungan; kontak (KBBI, 1994:517; Kamus Dewan, 2002: 698). Komunikasi merupakan salah satu daripada media yang memungkinkan seorang individu boleh berinteraksi dengan individu lainnya. Bahkan, komunikasilah yang memungkinkan individu untuk boleh menjalani hidup dalam komunitasnya. Oleh itu, komunikasi penting bagi setiap individu. Maklumat ini sesuai dengan pandangan Abdul, Yusoff, dan Awang, (2003:16), bahwa:
Kebolehan berkomunikasi sama ada secara lisan ataupun tulisan begitu penting pada kurun ini. Ia adalah sebahagian daripada keperluan asas yang perlu ada pada seseorang individu. Berkomunikasi adalah suatu keperluan kepada setiap individu yang berlaku setiap hari. Hal ini kerana kita sentiasa berhubung dengan orang lain… Perhubungan kita dengan orang lain itu melalui proses komunikasi.
Kebolehan berkomunikasi bagi semua orang tidaklah sama dan kebolehan itu sangat terkait dengan keperluan atau kepentingan pemakai bahasa. Kepentingan itu jualah yang menyebabkan manusia selalu berupaya meningkatkan kompetensi berbahasanya. Disadari atau tidak, kompetensi yang dimiliki itu berkembang dan perkembangan itu senantiasa hadir ketika peristiwa komunikasi berlangsung sesuai dengan bidang pemakaiannya.
Salah satu fenomena komunikasi yang menarik untuk disemak pada era global ini ialah ragam bahasa yang digunakan oleh para mubaligh dalam mengetengahkan wacana ajaran Islam di hadapan jemaahnya. Realitas ini dinilai menarik karena pada kurun terakhir ini dijumpai suatu trend berbahasa di kalangan mubaligh yang diasumsikan sebagai bias daripada perkembangan teknologi informasi dewasa ini yang akhirnya menjadi sebuah model budaya populer. Dalam konteks inilah, menurut hemat penulis, wacana ini perlu diketengahkan dan dikembangkan.
B. MUBALIGH DAN KELAZIMAN BERBAHASA
Pada zaman mutakhir ini, peranan bahasa menjadi lebih menonjol dan penting serta berkaitan dalam banjaran proses sosial dan budaya yang lebih luas (Fairlough 1992:1). Salah satu proses sosial yang mengandalkan bahasa dalam mencapai sasarannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, ialah aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh.
Secara lugas, dakwah diartikan sebagai penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat ( KBBI, 1998:205). Jika dimaknai secara terminologis, dakwah mengacu kepada aktivitas sosial keagamaan yang bersifat persuasif dan dilakukan guna mempengaruhi cara berfikir, bersikap, dan bertindak manusia ke arah yang Islami dalam setiap lini kehidupan. Pemaknaan seperti ini sejalan dengan pandangan Achmad (1985:2) yang menjelaskan bahwa pada hakekatnya, dakwah merupakan aktualisasi teologis yang dimanifestasikan dalam suatu kegiatan manusia dalam bidang kemasyarakatan untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan sosiokultural guna mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan. Aktivitas yang seperti ini menuntut para mubaligh mengemas materi dengan bahasa yang komunikatif.
Jika dikaitkan dengan bidang pemakaiannya, maka ragam bahasa yang digunakan oleh mubaligh merupakan salah satu bentuk ragam register yang dikenal dengan ragam bahasa dakwah. Ragam inilah yang menjadi media penyampai pesan atau ajaran Islam bagi mubaligh kepada para jemaahnya. Dengan kata lain, ragam bahasa dakwah ialah ragam bahasa yang dipakai mubaligh untuk menyampaikan pesan religiusnya.
Sejalan dengan tujuan dan peran yang dijalankan mubaligh, maka ragam bahasa dakwah tentulah memuat materi dakwah yang pada asasnya merupakan perpaduan antara sumber ajaran agama Islam (Alquran dan Sunnah) dengan interpretasi mubaligh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para mubaligh sering memunculkan istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab karena secara ontologis ajaran Islam dikemas dalam bahasa Arab. Maksudnya, meskipun dakwah sebagai suatu bentuk kegiatan keagamaan yang secara umum disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia, adalah hal yang wajar apabila mubaligh menggunakan bahasa Arab yang kadang kala tidak hanya dalam tataran kata, frasa, klausa, melainkan juga dalam bentuk kalimat. Di samping itu, juga suatu hal yang lazim jika penyampaian materi dakwah diwarnai juga dengan bahasa daerah, utamanya bahasa Minang mengingat bahasa Minang ialah bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Realitas penggunaan bahasa yang demikian menunjukkan bahwa ragam bahasa dakwah yang sudah lazim digunakan oleh mubaligh meliputi campuran unsur bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa daerah (Minang). Fenomena mencampurkan unsur bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi inilah yang disebut dengan code mixing atau campur kode dalam ilmu linguistik. Dalam formulasi lain, adalah suatu hal yang wajar jika ragam bahasa mubaligh dikemas dalam bentuk code mixing antara unsur bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa daerah (BI, Bar, dan BD). Code mixing seperti ini merupakan pola standar bagi mubaligh dalam megemas pesan-pesan yang disampaikannya.
C. CODE MIXING DAN FENOMENA TERKINI
Akhir-akhir ini, segenap masyarakat dunia sedang mengalami perubahan yang sangat ketara. Perubahan itu bagaikan sebuah reformasi sedunia yang mempengaruhi segenap lapisan masyarakat yang dapat diamati melalui sikap, pemikiran, dan perilaku masyarakat. Perubahan yang demikian selalu dikaitkan dengan alaf globalisasi , sebagaimana diperkatakan Ishak (2000:47) bahawa “globalisasi telah menjadikan negara dan masyarakat di seluruh dunia sedang mengalami proses transformasi yang amat besar”.
Proses transformasi lebih dipercepat oleh kemajuan teknologi informatika yang dapat diakses oleh siapa dan dimana saja. Media yang memungkinkan melejitnya perkembangan teknologi informatika itu ialah bahasa. Justru itu, proses transformasi tak dapat dilepaskan dari bahasa dan globalisasi sebagai era perubahan sangat berpengaruh terhadap bahasa dan penggunaannya. Pengaruh itu dapat disemak melalui berbagai-bagai fenomena berbahasa dewasa ini.
Pertama, bahasa Inggris seolah-olah menjadi bahasa dunia teridentifikasi di pelbagai belahan dunia. Realitas menunjukkan bahawa adanya perluasan konteks penggunaan bahasa Inggris, yaitu tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan, melainkan juga dalam konteks perniagaan, komunikasi, dan aspek kehidupan lainnya. Pandangan ini pada dasarnya sudah lama diprediksi oleh para pengkaji bahasa, seperti yang dikemukakan Crystal (1987:358) bahawa:
English is the main language of books and news paper, internasional business … diplomacy… and adversiting. Three quarters of the world’s mail is written in English. Of all the infprmation in the world electronic retrieval system, 80% is stored in English. More than ten years on, the status of English as a world language seem set to remain.
Kedua, meluasnya peranan bahasa Inggris, secara langsung maupun taklangsung, menyebabkan berkembangnya nilai dan norma budaya Barat. Pengaruh yang demikian itu menyebabkan terdedahnya sikap dan perilaku pengguna bahasa, termasuk perilaku penutur bahasa Melayu (Sumit dalam Norani dan Sumit 2000:157-175) kerana bahasa diciptakan dan digunakan oleh masyarakat yang memiliki norma dan nilai itu (Claire 1998:32-33). Samsudin (2003: 67-68) menegaskan bahwa:
Hampir semua aktiviti sudah bergerak merentasi sempadan negara. Satu perkara penting yang merealisasikan proses globalisasi itu adalah perkembangan teknologi komunikasi, seperti internet, telefon, atau media global lainnya. Perkembangan globalisasi, bukan sahaja menyentuh tentang hubungan antara pelbagai pelusuk dunia, tetapi juga berkaitan dengan penyebaran budaya… Ada kemungkinan unsur dan nilai daripada budaya luar ini secara tidak langsung diasimilasikan dalam nilai dan tindakan mereka.
Implikasi daripada derasnya arus global terhadap bahasa dan pemakainnya merambat kepada mubaligh dalam mengemas muatan religius yang akan disampaikan di hadapan para jemaahnya. Apa yang diprediksikan oleh Crystal dan yang ditegaskan oleh Samsudin di atas juga sudah ditemukan dalam fenomena berbahasa di kalangan mubaligh. Maksudnya, pengaruh bahasa Inggris juga sudah terealisir dalam aktivitas dakwah. Realisasi itu dapat dicermati melalui penggunaan istilah, frasa bahkan kalimat yang digunakan mubaligh ketika memerikan ataupun mengilustrasikan materi dakwahnya, yang tidak hanya berasal dari 3 unsur bahasa (seperti yang dijelaskan pada poin B), melainkan istilah/kata, frasa, klausa, dan kalimat dari unsur bahasa Inggris. Ungkapan Ok, sorry, thanks, no money no love, we must be carefull, very-very beautifull, no good for us, may be, oh my God, sweet memory, It’s our programs, dll , sering mewarnai ragam bahasa yang digunakan mubaligh pada kurun terakhir ini. Fenomena yang seperti itu menjadikan ragam bahasa dakwah memiliki “rumus code mixing baru”, yaitu BI, BAr, BD, dan Bing.
Kemasan code mixing inilah yang sekarang menjadi model dalam aktivitas dakwah dewasa ini. Bahkan, pola pemakaian seperti ini menjadi parameter kompetensi mubaligh meskipun formulasi code mixing yang diasumsikan lebih trend ini belum tentu komunikatif bagi kalangan tertentu mengingat belum semua jemaah yang terbiasa dengan istilah atau ungkapan bahasa Inggris. Berbeda dengan unsur bahasa Arab, yang dinilai perlu dan mutlak ada dalam paparan mubaligh karena bahasa Arab adalah bahasa sumber ajaran agama Islam dan materi dakwah mestilah merujuk kepada sumbernya. Pengunaan unsur bahasa Inggris ditempatkan sebagai ragam bahasa yang “berprestise” dan bersamanya terbangun image yang memotivasi dan memposisikan mubaligh pada figura yang dinilai lebih layak, lebih hebat, dan lebih educated. Image seperti ini tumbuh subur di kalangan jemaah dan mubaligh masa ini.
Image yang demikian tentu tidak terlepas dari transformasi budaya sebagai implikasi kehidupan global. Oleh karena itu, unsur bahasa Inggris yang mewarnai code mixing di kalangan mubaligh sekarang ini tidak hanya dinilai sebagai bias kemajuan teknologi informatika melainkan juga sebuah kreativitas mubaligh dalam rangka menarik minat jemaah, di samping membangun sebuah prestise secara professional.
Mengingat pola code mixing yang demikian sudah diterima dan direalisasikan di masyarakat, bahkan digemari maka dapat disebutkan bahwa code mixing tidak hanya sebuah trend mubaligh, tetapi ia juga merupakan sebuah model budaya populer masa ini. Pernyataan ini didukung oleh pandangan Budiman (2000:8) yang menyebutkan bahwa secara sederhana budaya popular dipahami sebagai budaya yang disukai oleh orang banyak dan parameter “banyak” lebih mengacu kepada nilai kuantitatif yang bersifat relatif.
Dengan mencermati aspek sosiolinguistik tersebut, ragam bahasa yang digunakan mubaligh lebih persuasif dan edukatif. Dalam formulasi lain, dengan peningkatan kompetensi bahasa mubaligh dimungkinkan dakwah yang tidak hanya dipandang sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai suluh dalam kegelapan dan sebagai media dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketakwaan umat di masa yang akan datang. Oleh karena itu, unsur bahasa Inggris dalam code mixing mubaligh jangan hanya berasaskan trend semasa melainkan juga didasarkan karena keperluan dalam menyelaraskan materi dakwah dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika kehidupan manusia di masa depan.
REFERENSI
Abdul Syukor Shaari, Nuraini Yussof, dan Mohd Isha Awang. 2003. Bahasa Melayu komunikasi. Malaysia: PTS Publication & distributor Sdn. Bhd.
Achmad, Amrullah. 1985. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Duta Prima PLP2M.
Andersen, Margaret and Taylor, Hawar F. 2002. Sosiology: Understanding a diversity society. United State: Eve Howard.
Budiman, Maneke. 2000. “Budaya popular sebagai perlawanan perempuan”. Perempuan dan Budaya Pop. Jakarta: yayasan Jurnal Perempuan.
Claire, Kramsch. 1998. Language and culture. Oxford: Oxford University Press.
Crystal, David. 1987. Word English: In the Cambrige encyclopedia of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Dewan Bahasa dan Pustaka. 2002. Kamus Dewan edisi ketiga. Kualalumpur: Harian Sdn. Bhd.
Fairclough. 1992. Discourse and social change. Cambridge: Polity Press.
Griswold, Wendy. 1994. Culture and societies in a changing word. CA: Pine Forge Press.
Hudson,R.A. 1996. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, Dell (ed.). 1964. Language in cultural and society. New York: Harper and Row.
Hymes, Dell.1977. Foundations in Sociolinguistics.Great Britain: Tavistock Publication.
Idris Aman. 2001. Wacana dan kepemimpinan: Satu analisis terhadap perutusan Perdana Mentri Mahathir Mohamad. Thesis Ph.D. Kuala Lumpur: Fakulti Bahasa dan Linguistik Universiti Malaya.
Idris Aman. 2004. “Bahasa dan analisis sosial”. Kertas Kerja. Dibentangkan pada International Confrence on Social Sciences and Humanities (ICOSH). Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. 14-16 Disember 2004.
Norani Othman dan Sumit K. Mandal. 2000. Malaysia menangani globalisasi: Peserta atau mangsa? Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Nor Hasimah Jalaluddin, Zaharani Ahmad, dan Idris Aman. 2003. Penguasaan bahasa Melayu di kalangan pelajar Melayu dalam arus globalisasi. Kumpulan Kertas Kerja Seminar Kebangsaan Arus Perdana II. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik. Jakarta:Kesaint Blance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar