Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA)
Salido kumunitas masyarakatnya pernah (abad ke-17) berbentuk masyarakat kecil multi-nasional antara orang Belanda, Belgia, Jerman, Malagasi, maupun negro dari Afrika Selatan. Bahkan pada pertengahan alaf (milinium/ ribuan tahun) pertama dalam cerita rakyat di lidah tellerhistory (tukang cerita), ada masyarakat Cina, Hindustan, Malaka dan Sri Langka, ketika itu Salido merupakan kerajaan makmur, penuh dengan lumbung tidak saja padi tetapi emas laksana bukit yan berhimpit-himpit.
Suatu hal yang menarik bangsa asing datang dan tinggal di Salido di antaranya disebabkan karena Salido pernah bertabur eman dan perak itu, kemudian di daerah ini terdapat tambang emas terbesar di pantai selatan Sumatera bahkan tambang tertua di Sumatera. Orang-orang asing itu boleh dikatakan “demam Salido”. Secara antrpologis Rusli Amran (1981:298) menekankan, kalau ada orang Salido dan Painan yang raut mukanya mau pun ukuran badannya tidak mirip pribumi mungkin itu peninggalan “demam Salido”. Karena dulu banyak orang asing di daerah ini, demam emas Salido. Salido sesuai dengan maknaknya gerbang, diceritakan ketika itu dirasakan betul Salido sebagai gerbang dunia, lewat jalur selatan perairan Samudra Indonesia.
Belanda melalui pucuk pimpinan VOC di Amsterdam sangat harap produk emas Salido. Harapan tergantung banyak pada pencari emas di bebepa lokasi tambang di Salido. Pencari emas itu tidak hanya penduduk asli, tetapi bermacam jenis orang, ada yang berbadan besar, berewok mukanya, bermata biru, berbahasa aneh. Dipastikan mereka datang dari berbagai negara seperti Jerman, Belanda sendiri, Begia dll. Rakyat pun menyerahkan pengolahan lahan tambang emas pada Belanda misalnya kepada Inspektur Pits tanpa paksaan, tahun 1670. Desember tahun ini, dikirim ke Salido ahli tambang (meester bergwerker) bernama Friedrick Fisher didampingi 9 orang pembantu. Dipersiapkan segala sarana pertambangan serta buruh yang dibutuhkan. Dalam proses penambangan terlalu banyak buruh yang mati didera penyakit, namun penambangan tidak boleh berhenti. Buruh dari mana saja didatangkan, asal mau bekerja akan digaji besar. Disediakan tangsi dan sardadu menjaga keamanan tambang tetapi kematian buruh semakin banyak. Dari Bataavia didatangkan orang Portugis untuk membantu keamanan tambang. Sudah empat tahun (1674) bekerja menambang emas hasilnya mengecewakan meskipun ahli tambangnya didatangkan dari Eropa.
Dari pengalaman Belada lebih untung membeli dari rakyat dibanding menambang sendiri, bahkan hasil tambang rakyat kualitas emasnya pun tinggi. Karenanya Batavia mengusulkan kegiatan pertambangan dihentikan. Ahli tambang boleh pulang. Penambangan kembali diserahkan kepada rakyat. Namun para pemimpin 17 VOC di Amsterdan ngotot, karena keserakahannya kembali memerintahkan penambangan dilanjutkan.
Ahli tambang kembali dikirim dari Eropa. Memang benar-benar demam emas. Ide gila muncul, tidak dengan cara menambang emas langsung, tetapi mengangkut tanah yang berisi emas dari Salido ke Eropa. Kapal-kapal Belanda sibuk mengangkut tanah untuk ditambang di Eropa. Namun hasilnya tetap menyedihkan. Tidak putus asa, buruh didatangkan lagi dari Malagasi, Timor, Nias, Negro Afrika Selatan dll. tetapi emas yang diperoleh tidak seimbang dengan tenaga dan dana yang dikeluarkan. Bahkan tenaga yang didatangkan itu baik yang ahli dan mengaku ahli maupun buruh banyak yang mati. Masih belum putus asa, tahun 1676 Belanda mengirim lagi seorang direktur, namun meninggal di jalan. Tahun 1679 dikirim lagi dari Amsterdam 59 orang ahli tambang, kemudian ditambah lagi. Mei 1680 28 ahli tambang dikirim hanya tinggal 3 orang yang hidup selebihnya mati. Dari catatan Daghregister Castael Batavia, Juli 1981 dikirim buruh sebanyak 236 orang dari Batavia, setelah 6 bulan kemudian yan sampai di Padang hanya 140 orang selebihnya mati di perjalanan.
Pimpinan VOC di Amsterdam masih bernafsu. Inspektur Pits melapor ke Batavia, prospek tambang di Salido baik. Berbeda dengan laporan ahli Jerman Benjamin, 12 Maret 1682 bahwa prospek tambang emas Salido tidak menguntungkan sama sekali. Hanya membuat duait habis dan membanwa bencana korban jiwa buruh. Namu Amsterdam lebih mempercayai laporan palsu Inspekturnya Pits. Karena kegiatan tambang dilanjutkan. Samapai 10 tahun dihitung-hitung emas tidak dapat, kerugian dana dan korban jiwa luar biasa besarnya. Tahun 1691 dihitung interval waktu 9 tahun (1681-1690) produksi emas hanya seperlima dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk biaya tambang. Tahun 1690-1694 rugi lagi ratusan ribu gulden. Dalam terminologi lain kegiatan tambang rugi total. Namun pucuk pimpinan VOC di Amstardam masih penasaran, tahun 1720 dikirim lagi 2 ahli tambang ke Salido. Masih menderita kerugian. Akhirnya tahun 1728 keigatan penambangan emas Salido oleh VOC dihentikan, kegiatan selanjutnya dikontrakan kepada Tuanku Panglima di Padang seharga 80 ringgit setiap tahun.
Melihat Tuanku Panglima mulai berhasil menambang emas di Salido, VOC kembali berubah pikiran. Pucuk pimpinan VOC di Amsterdam kembali mengirim ahli tambang di bawah pengawalan ketat Bruynink serta tentaranya. Ia punya kekuasaan besar. Pulau Cingkuk segera ditundukannya. Ia kirim kapal ke Malagasi mencari tenaga buruh tambang. Namun tetap Belanda gagal. Tahun 1737 penambangan emas Salido diehentikan lagi. Belanda ingin mengontrakan tambang ke pihak lain 160 ringgit setahun, tetapi orang yang akan mengontrak pula tidak ada, maka otomatis penambang berhenti total.
Kemudian 150 tahun pasca VOC Belanda ingin menambang emas lagi di Salido, dipimpin seorang insinyur pertambangan Belanda Verbeek. Ia melakukan survey. Ia memakai ahli dari Jerman. Ternyata tidak juga berhasil. Bahkan ia menuduh ahli Jerman itu dalam eksplorasinya melakukan tindakan manipulatif dalam mengirimkan contoh yang katanya emas berkadar tingi ternyata kadarnya rendah. Lalu ia minta bantuan ahli Amerika, tesebut nama Spalding. Ia bekerja di tambang emas Salido, hasilnya memberi angin segar. Tahun 1911 didirikan Salido Mijnbow Maatschappij, tahun 1912 berganti nama menjadi Kinandan Sumatera Mijnbouw Maatschappij (Rusli Amran, 1981:228). Ketika itu ada kenaikan produksi, namun tidak terlalu banyak menghasilkan uang. Akhirnya tambang ditutup juga, dan benar-benar ditutup dasawarsa ke-2 abad ke-20.
Belanda yang menyebut pencari emas di Salido dan Painan digambarkan sebagai “tolol dan kekanak-kanakan”, ternyata rakyat dapat menambang emas dan produknya berkualitas baik. Sedangkan Belanda menggunakan tenaga ahli dan alat tambah canggih ketika itu, gagal total. Mana yang lebih hebat, yang jelas mengisyaratkan emas Salido harus ditambang rakyat, kalau pun diolah dengan teknologi canggih dan menggunakan tenaga ahli rakyat Salido jangan hanya dapt gigit jari saja. Siapa tahu pengalaman kegagalan Belanda menambang emas di Salido, karena melanggar janji raja Tumenggung Cemeti Alam beristana di Malonda dlam “Salido 1000 Tahun yang Silam”, yakni banyak membunuh, khianat dan fitnah dalam politik adu dombanya, sehingga emas lenyap dari penambangannya. Pengalaman yang lalu ini oleh Pesisir Selatan ke arah otonomi daerah dan kembali membangun pertambangan emas sebagai harta karun di Salido yang mempunyai deposit yang sulit dihitung, patut menjadi renungan.
Kisah Salido (dalam Kerajaan Lumbung Ameh beristana di Malonda) 1000 tahun yang silam, pernah (1981) ditulis Indra Putra, diterbitkan Yudistira. Salido pada pertengahan alaf pertama termasuk negeri dalam kerajaan, bernama Kerajaan Lumbung Ameh dengan ibu kerajaan adalah Malonda, sehari semalam berjalan ke arah selatan kota Painan sekarang. Rajanya bernama Baginda Tumenggung Cemeti Alam (apakah saudara dari Mandeh Rubiyah, tidak ada ceritanya, tetapi yang benama Ketumenggung ada sebagai salah seorang saudara Mandeh Rubiyah di Indrapura, sekarang keturunnya di Lunang, baca bab Inrapura). Kerajaan yang sesuai dengan namanya Lumbung Ameh (emas) amat makmur bertata emas, aman sentosa. Raja rela berkorban langsung menyelamatkan rakyatnya sa’at ditimpa malapetaka, karenanya raja dicintai rakyat. Bahkan raja rajin turun kebawah menanyakan apakah rakyatnya punya persiapan pangan apa tidak dan ia raja yang adil. Cerita kerajaan yang gemerlapan dengan emas yang lumbung emasanya bagaikan bukti berhimpit-himpit diceritakan dalam 7 episode “Salido 1000 Tahun yang Silam” yakni (1) Naga Sakti Gunung Kerinci, (2) Peristiwa Mengejutkan, (3) Dua Peramal Gadungan, (4) Giliran Ajo Gadang Ota, (5) Ganjaran nan Setimpal I, (6) Ganjaran nan Setimpal II dan (7) Emas di Sepanjang Sungai Salido. Ketujuh cerita mengisahkan sejarah emas di Salido dan kerajaan Lumbuh Ameh yang aman dan makmur. Ceritanya, dulu ada Sungai Salido yang batu dan pasirnya semuanya emas. Dalam Commonsence (pemahaman awam) Sungai Salido tidaklah yang ada di Salido sekarang, tetapi sudah tenggelam karena rakyat telah melanggar janji raja yakni tidak mencuri, tidak khianat, tidak berbauat fitnah, tidak membunuh (menghilangkan nyawa atau menghilangkan peranan orang) dll. Janji itu diterima raja dari munajatnya di pinggir Sungai Salido dari dewa berkaitan dengan penjernihan air Sungai Salido yang pernah cemar, keruh pekat busuk bau nanah. Cemarnya Sungai Salido itu, karena seokor Naga Sakti dari Gunung Kerinci yang digambarkan sebagai Induk Emas. Ia bisa terbang secepat kilat dan sa’at terbang di langit terang benderang seperti satelit melintas. Tak ada yang dapat menghambat, apa yang menghambat putus. Apakah dari sini kisah Bukti Putus di perbatasan Painan dan Salido, putus karena dilanda induk emas dari Gunung Kerinci itu yang ketika itu hendak mandi ke Sungai Salido mengobati penyakit eksim yang dideritanya dan membuat kulitnya sudah bernanah, belum ditemukan cerita untuk itu. Yang ada diceritakan Naga itu mandi di Sungai Salido atas petunjuk Dewa Air yang beristana di Lautan Teduh. Naga itu berguling-guling mandi dengan Air Sungai Salido, membuat bumi dan perbukitan sekitar terbalik dan Air Sungai menjadi keruh, cemar, busuk berbau nanah bahkan terinfeksi bakteri yang berasal dari penyakit naga itu. Rakyat menderita, kemana air minum mau dicari, jangankan air itu bisa diolah untuk minum untuk dipegang saja mengerikan. Banyak ahli nujum palsu mengambil kesempatan pura-pura mampu mencari penyebab dan pura bisa berupaya menyernihkannya, namun tidak pernah bisa. Akhirnya raja Tumenggung Cemeti Alam sendiri di tengah malam pekat merngkak ke pinggir sungai itu dengan air mata berlinang berdo’a kepada tuhan ketika itu disebut dewa. Ia memberanikan dirinya memegang air yang busuk itu dan membasuhkan kemukanya. Ia nekat, biarlah dia mati asal rakyat jangan sengsara. Ia meminta kepada Tuhan kabulkan do’anya, jernihkan sungai ini dan jadikanlah sungai itu kekayaan rakyat. Doanya makbul dan menerima jaji tadi, janji tadi diteruskan kepada rakyat. Air Salido kembali jernih. Naga sakti dari Gunung Kerinci yang penyakit menahunnya sembuh dengan air Sungai Salido membalas jasa, menebarkan emas sepanjang sungai Salido. Berkilauanlah Sungai Salido dengan emas karena semua pasir dan batunya menjadi emas. Negeri Salido dalam Kerajaan Lumbung Ameh menjadi kaya raya, makmur dan aman sentosa. Banyak orang asing datang seperti Cina, Hindustan, Srilangka dan Malaka. Raja-raja utara dan selatan hendak mencoba menyerang dan merampas emas, tetapi Salido kuat, karena Walinegerinya kompak dengan raja serta rakyat dan menjadi power besar. Kekayaan melimpah ruah. Rakyat hidup dalam serba berkecukupan. Tidak terdengar jeritan derita dan kelaparan, tentu pula tidak dikenal busung lapar yang memalukan karena negeri menjadi surplus beras dan raja mengetahui pasti dan selalu turba mencek tingkat persediaan bahan pangan rakyat bahkan tahu denyut nadi mereka. Karenanya tidak ada suara senjang dan spanduk demonstrasi menentang raja, bahkan rakyat patuh dan mencintai rajanya. Tetapi sepeninggal raja, digantikan adiknya, janji dilanggar. Judi, mencuri, khianat, fitnah, membunuh dll. menjadi-jadi. Akibatnya petaka datang lagi, Sungai Salido lenyap misterius ditelan perut bumi dan emasnya terkubur di dasar sungai dan ditelan perut pebukitan (Gunung Harun sekitar- sekarang bekas pertambangan emas) ditumbuhi belantara.
Emas terdapat di ti ketiga luhak (Tanah Datar, Agam, Lima Kota). Namun yang terbanyak adalah di tiga belas kota seperti Lubuk Silasih, Munggutanah, Tambanggadang, Alahanpanjang, Supayang, Salido dekat Bandar Sepuluh, dll. Mengenai pencarian emas ini, banyak diceritakan Rusli Amran (1981:222, 278) mengutip Couperus (dalam Tiidschr, 5, 1856) dalam catatannya “Eenige Aanteekeningen Betreffende de Goudproductie in de Padangsche Bovenlanden (Beberapa Catatan tentang Produksi Emas di Padang). Juga direkam oleh J.E.Meyier (1911) dalam bukunya Goud- en Zilvermijn te Salido (Tambang Emas dan Perak di Salido), juga diliput S.Muller (1846) dalam bukunya Bijdragen tot de kennis van Sumatera (Sumbangan untuk Pengetahuan tentang Sumatera).
Tentang emas di Salido, ada beberap rujukan utama di antaranya Ir.G.B.Hoogenraad (de Ingenier in Nederlandsch Indie 1e jrg. No. 1 Januari 1934) dalam catatannya “De Salida Mijn” (1827); Dr. h.c.Ir.N.Wing Easton (de Ingenieur in Nederlandsch Indie, 1936) dalam catatannya Salida Mijn, Een nog onbekende in Nederlandsch Indie (1827).
Rakyat menambang emas mempunyai cara tersendiri. Mereka punya kiat mencari lokasi emas. Ada cara tradisional ada takhayyul merupakan pengalaman turun temurun. Mungkinkah juga ada sangkut pautnya dengan janji Raja Tumenggung Cemeti Alam dalam Kisah Salido 1000 Tahun yang Silam. Namun dari cerita rakyat di antara menandai lokasi berisi emas, di waktu senja banyak beterbangan api-api (sejenis serangga yang kelap kelip di temaram senja). Kalau emas itu di pebukitan, ditandai dengan tanaman yang tumbuh di lokasi emas itu adalah batang sikaduduk dan suryan. Di sana ada air mengalir kuning kemerah-merahan, terdengar sayup suara “titik galang” atau siangkak badangkuang yang nada suaranya bisa diperdengarkan oleh pandai emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar