tag:blogger.com,1999:blog-36170707805378089292024-03-15T02:30:59.277-07:00P K B IPusat Kajian Budaya IslamPKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.comBlogger240125tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-35092131716675263242012-11-22T01:34:00.004-08:002012-11-22T01:38:58.503-08:00Kehidupan Sosial di Mesir Pada Era Pemerintahan Mamluk<div style="text-align: justify;">
Oleh : Khilal Syauqi, Lc., MA (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)<br />
<br />
Tulisan ini membahas tentang keadaan sosial dan keagamaan masyarakat di Mesir setelah kehadiran para Mamluk dan menjadi penguasa di sana. Para Mamluk ketika menjadi penguasa secara tidak langsung telah menciptakan satu komunitas baru di Mesir yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat lainnya. Praktik-praktik keagamaan juga memiliki corak baru di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk ini. Para mamluk yang hanya mendapatkan pendidikan agama setalah mereka di bawa ke Mesir ternyata mampu memberikan contoh sikap toleran dalam keberagaman paham-paham/mazhab-mazhab yang sedang berkembang, sehingga terwujudlah suatu kerukunan keber agama-an di Mesir yang terus berlangsung sampai saat ini.
<span class="fullpost">
A. PENDAHULUAN
Sejak kedatangan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab Islam ke Mesir, nyaris masyarakatnya tidak ada yang pernah memimpin negeri ini. Warna kehidupan masyarakat Mesir ini selalu berubah-ubah sesuai dengan warna penguasa. Bisa dipastikan perubahan kehidupan di Mesir secara masif terjadi ketika kota ini dijadikan salah satu kota terpenting dalam setiap periode pemerintahan Islam. Salah satu budaya yang masuk dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Mesir adalah budaya Arab, bangsa Mesir yang pada awalnya bukanlah sebuah komutis Arab, setelah masuknya Bangsa Arab Islam ke negeri ini, menjadi salah satu kota di Benua Afrika yang menerapkan dan menjalankan tradisi sesuai dengan budaya Arab pendatang tersebut dan nyaris budaya lokal “fir’auniah” di Mesir menjadi redup dengan datangnya budaya Arab Islam itu. Kebudayaan lain yang juga berpengaruh di Mesir adalah kebudayaan bangsa Turki, bangsa Persia dan bangsa-bangsa di Asia Tengah lainnya yang pernah berperan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan Islam, terutama pasa saat kekha-lifahan dinasti Abbasiah. Masuknya unsur-unsur baru ini tentu membawa pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan yang ada di Mesir pada kurun waktu berikutnya.
Keberadaan Dinasti Mamluk sebagai penguasa di Mesir pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Ayyubiah memberikan warna baru dalam segala sendi kehidupan di Mesir. Di antara yang menarik untuk dicermati terhadap warna baru yang muncul itu adalah hal tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan keberagamaan yang berlangsung. Dalam sejarah perkembangan Islam klasik baru kali ini terjadi kelompok orang-orang yang awalnya berasal dari para budak ternyata mampu menjadi komunitas masyarakat terhormat di sebuah wilayah yang juga bukan merupakan wilayah asal mereka.
Keberagaman paham keagamaan di Mesir selama era Mamluk ini juga menjadi menarik diperhartikan, ternyata aspek keagamaan di Mesir selama masa pemerintahan Mamluk dapat dikendalikan dengan baik dalam keaneka ragaman mazhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin sekali mengungkapkan bagaimana kondisi kehidupan sosial kemasyara-katan dan keberagamaan di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk.
B. KEHIDUPAN SOSIAL DI MESIR ERA PEMERINTAHAN MAMLUK
Para Mamluk berasal dari berbagai unsur masayarakat yang berada jauh dari Mesir. Seperti unsur Turki, Syirkasiah, Yunani dan lain sebagainya. Mereka dijual di pasar-pasar budak dan pada akhirnya dibeli oleh para Sultan penguasa Dinasti Ayyubiyah kemudian dijadikan tentara pilihan. Di antara para mamluk tersebut ada yang ditempatkan pada posisi penting dalam kemiliteran, sehingga atas usaha merekalah akhirnya para mamluk dapat mengambil alih kursi pemerintahan di Mesir dari tangan keturunan-keturunan Bani Ayyub. Walaupun pada awalnya para Mamluk merupakan budak-budak yang di perjual-belikan di pasar-pasar budak, tetapi setelah mereka didudukkan pada posisi-posisi penting dalam kemiliteran dan pemerintahan, para Mamluk merasa sangat terhormat dengan panggilan “mamluk” atas diri mereka. Sebagaimana yang dituangkan Ahmad Syalabi dalam Mausu’ahnya :
"والعجيب أن المماليك كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا و يرون فيها مجدهم "
Artinya : Dan sangat mengherankan bahwa para Mamluk mereka bangga dengan penamaan ini (mamluk yang artinya budak) dan tidak rela mengganti sebutan itu dengan sebutan yang lain bahkan mereka memandang dengan sebutan Mamluk itulah tanda kebesaran mereka”
Para Mamluk menjadi sebuah komunitas baru di Mesir dengan berbagai ciri khas yang membedakan mereka dengan masyarakat Mesir pada umumnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka terkesan sangat ekslusif, tidak menikah dengan rakyat Mesir walaupun di antara mereka ada yang mampu berbahasa Arab. Secara umum masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Mamluk dibagi menjadi dua lapisan : pertama, para penguasa. Tuan-tuan yang sebelumnya, mereka adalah para budak. Sedangkan lapisan kedua adalah lapisan masyarakat umum. Mereka terdiri dari petani yang hidup di pedesaan, buruh, dan pedagang yang hidup di daerah perkotaan. terutama di Mesir dan Kota Kairo. Lapisan para penguasa didominasi oleh para Mamluk mulai dari jabatan Sultan sampai jabatan Amir terendah. Walaupun dalam lapisan para penguasa ini ada juga unsur khalifah yang bukan dari kalangan mamluk.
Sebenarnya cukup menakjubkan jika dibandingkan dengan sistem sebuah negara sekarang ini, sulit sekali ditemukan penguasa atau pemerintah suatu negara yang bukan termasuk dari komunitas bangsa itu. Seperti Negara Indonesia, yang menjadi penguasa atau pemerintah di sana adalah orang-orang yang masih termasuk dalam unsur bangsa itu. Sedangkan di Mesir pada masa Mamluk, rakyat Mesir tidak dipimpin oleh unsur bangsa tersebut, walaupun faktanya memang sejak masuk Islam ke Mesir sampai pada pemerintahan Mamluk belum pernah yang memerintah di sana orang yang berasal dari wilayah Mesir ini. Lain halnya dengan para mamluk yang sama sekali tidak ada ikatan apapun sebelumnya dengan bangsa Mesir justru dari kelompok asing inilah yang menjadi golongan penguasa. Fungsi dari golongan penguasa adalah menjalankan pemerintahan dan mereka memiliki segala bentuk hak dan keistimewaan, terutama yang berkaitan dengan tanah feodal. Sistem feodal yang diterapkan golongan Mamluk ini berbeda dengan yang di terapkan di Eropa pada abad pertengahan. Golongan Mamluk yang dinyatakan berhak atas tanah atau perkebunan tertentu hanya dapat menikmatinya selama masih dalam dinas kemiliteran sedangkan para Mamluk yang tidak berada lagi dalam jajaran kemiliteran, tidak diberi hak guna tanah ataupun mewariskannya kepada putra-putrinya. Berbeda dengan kebudayaan Eropa sIstem feodal berlaku turun temurun dan generasi-generasi yuniornya dapat meraih jabatan penting atau bahkan dapat mencapai posisi yang tertinggi sekalipun.
Salah satu keuntungan diterapkannya sistem feodal ini di Mesir adalah mendorong para amir (tuan tanah) membuat saluran-saluran air atau danau buatan, jembatan-jembatan, dan fasilitas-fasilitas pertanian lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah hasil pertanian, sehingga pertanian di Mesir mengalami masa kebangkitan dan kemajuan.
Mamluk menjadi komunitas baru di Mesir setelah para Sultan Ayyubiyah membeli mereka dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal pada masa pemerintahan Fatimiyah komunitas Mamluk ini bisa dikatakan belum tampak peranan mereka karena pada awalnya keberadaan mamluk hanya sebatas untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada tuan-tuan yang membeli mereka. Sedangkan lapisan masyarakat awam adalah golongan yang didominasi oleh petani, kelompok masyarakat ini merupakan golongan yang dianggap memiliki status sosial paling rendah. Faktor yang menyebabkan mereka dianggap paling rendah adalah karena keberadaan mereka di pedesaan yang jauh tertinggal dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kemudian mereka adalah lapisan yang paling menderita dan terkesan dirugikan dengan sistem feodal yang diterapkan pada masa pemerintah Mamluk. Golongan ini dilecehkan oleh para Mamluk, sehingga pemakaian kata fallah yang artinya petani mempunyai konotasi lain yaitu seorang yang lemah tanpa daya. Oleh para amir Mamluk mereka dibebani pajak yang berlipat dan diterapkan bagi mereka sistem pajak yang dipikul bersama sebagai warga suatu desa. Kondisi seperti ini tidak selamanya dialami oleh para petani tersebut, pada masa pemerintahan sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun pajak yang memberatkan masyarakat awam tersebut dihapuskan.
Lapisan masyarakat berikutnya adalah golongan pedagang. Golongan ini adalah orang-orang yang dekat dengan sultan mamluk karena merekalah yang memberikan bantuan keuangan apabila dibutuhkan. Di masa kesultanan mamluk para pedagang dan saudagar menikmati kehidupan yang mewah, mengingat Mesir menjadi pusat perdagangan dunia belahan Timur dan Barat, namun demikian, para sultan menetapkan pajak pndapatan yang tinggi bagi mereka.
Lapisan masyarakat lainnya adalah golongan terpelajar yang terdiri atas para pegawai administrasi sipil kesultanan, fukaha, ulama, sastrawan, dan penulis-penulis. Golongan terpelajar ini memainkan peranan politik, sosial, dan budaya. Mereka pada umumnya berada di dalam jajaran pemerintahan sebagai eksekutif dan yudikatif. Golongan terpelajar ini senantiasa selama pemerintahan kaum Mamluk mendapatkan perlakuan istimewa, walaupun terkadang mereka juga tidak luput dari hinaan golongan penguasa. Mereka manjadi pihak penghubung antara lapisan penguasa dengan lapisan masyarakat, karena fungsi mereka menjadi pegawai administrasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Begitu juga para ulama, mereka menjadi golongan penghubung antara penguasa dengan masyarakat, ketergantungan penguasa dengan para ulama sangat tinggi pada masa Mamluk ini. Banyak sultan mendekati ulama karena merasa asing dari rakyat. Ulama disegani oleh rakyat dan mereka sanggup memobilisasi rakyat guna menyuarakan kepentingan Mamluk. Sultan mamluk selalu meminta fatwa dari golongan alim-ulama ketika hendak membuat peraturan baru, seperti mengenai kebijaksanaan pemungutan pajak lebih untuk membiayai Angkatan Perang.
Dalam perjalanan sosial kemasyarakatan Dinasti Mamluk selama lebih kurang tiga Abad ini, lahir pula generasi baru Mamluk. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dari bapak seorang Mamluk dan ibu seorang wanita Mesir, ataupun bapaknya berasal dari seorang Amir mamluk lalu menikahi seorang wanita pendatang (mamlukah). Golongan ini dikenal dengan sebutan “aulad an-nas”. Menurut penu-lis, kenyataan ini membuktikan telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Mesir, karena antara kelompok Mamluk dengan masyarakat Mesir sudah mulai saling membuka diri sehingga melahirkan generasi kedua Mamluk. Para aulad an-nas ini dalam perkembangannya termasuk ke dalam golongan terpelajar, mereka umumnya berprofesi sebagai administrator dan jarang di antara mereka yang menjadi anggota militer. Derajat mereka lebih rendah dibandingkan dengan derajat para Mamluk yang sebenarnya.
Karena kondisi Mamluk generasi pertama ini yang keseharian mereka sibuk dengan dunia mereka bersama para mamluk (pekerja), demi memperkuat posisinya sebagai amir, maka kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, anak dan isteri sangat jarang sekali. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka, oleh sebab itu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah didikan para ibu mereka yang jauh dari kehidupan para bapak mereka. Kondisi seperti ini, menjadi peluang bagi para aulad an-nas untuk lebih memfokuskan diri pada bidang keilmuwan, apalagi setiap amir biasanya selalu mendatangkan para ulama ke kediaman mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka.
Banyak di antara para aulad an-nas ini yang memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncul para ahli sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Mesir kala itu, dari kalangan para aulad an-nas ini. Lapisan masyarakat selanjutnya adalah golongan keturunan Tartar (mongol). Di awal pemerintahan Mamluk muncul sekelompok orang dari Bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir akibat tidak kuasa hidup di bawah kezaliman penguasa mereka. Golongan ini telah memeluk Agama Islam dan berprilaku sesuai ajaran Islam. Para Sultan Mamluk sangat menerima kehadiran mereka di Mesir, terutama Sultan Baybars. Keberadaan mereka dimanfaatkan oleh sultan Baybars dalam pemerintahannya, mengingat kelompok ini sangat terkenal dengan sifat keberanian yang mereka miliki. Lapisan masyarakat Tartar ini ditempatkan di distrik Husainiyah dekat mesjid al-Azhar.
Walaupun terdapat beberapa lapisan dan tingkatan masyarakat di Mesir selama pemerintahan Dinasti Mamluk, namun tidak pernah tercipta kondisi yang menuntut suatu golongan tertentu harus selamanya berada pada posisi sosialnya. Status sosial dalam masyarakat Mesir tersebut bisa saja berubah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Maraknya kegiatan ilmu pada masa pemerintahan Mamluk di seluruh antero Mesir, telah mendorong berubahnya status sosial di tengah-tengah masyarakat Mesir. Para ulama yang menjadi sandaran para Sultan pada awalnya adalah golongan lapisan masyarakat biasa, tetapi karena keahliannya dalam bidang ilmu pada masa berikutnya, mereka menjadi terhormat bahkan diperlakukan secara istimewa oleh Sultan Mamluk.
Menurut penulis, telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial masyarakat di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Maraknya kegiatan keilmuwan pada masa itu telah membawa perubahan besar terhadap cara berfikir masyarakat Mesir, baik dari kalangan penguasa ataupun dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa penulis contohkan dengan tingginya semangat para Sultan Mamluk untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan, mengundang para ulama dan ilmuwam datang ke Istana untuk melakukan diskusi ilmiyah, bahkan tidak jarang di antara para Sultan itu yang menjadi pemateri dalam diskusi ilmiyah tersebut, hal ini telah penulis paparkan. Begitu juga perhatian para Amir Mamluk dalam mendidik anak-anak mereka, karena tingginya rasa tanggung-jawab mereka terhadap masa depan anak-anak mereka, diutus pulalah para ulama untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anak tersebut. Ini semua merupakan indikasi terhadap kemajuan cara berfikir para mamluk saat itu.
Dari lapisan masyarakat bawah juga terdapat adanya indikasi yang mendorong terhadap kemajuan masyarakat Mesir. maraknya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Mamluk kala itu, membantu memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan keseharian mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Jalan-jalan dan jembatan penghubung yang dibangun pada masa itu mendorong masyarakat pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih mapan di daerah perkotaan, sehingga tidak jarang pula terjadi perubahan status sosial pada masyarakat pedesaan tersebut ketika sampai di kota. Pemikiran untuk datang ke kota dalam rangka merubah nasib dalam kehidupan, menurut hemat penulis sudah mengindikasikan sebuah kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan para Sultan yang sudah mulai menyenangi bidang keilmuan dan adanya keinginan masyarakat pedesaan untuk pindak ke kota mencerminkan suatu bukti bahwa mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik dalam hidup mereka dari masa-masa sebelumnya. Dalam teori perubahan sosial dan kebudayaan, di antara sebab yang melatari terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah : 1)karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti yang lama itu; 2) mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu.
Kemajuan sosial dalam masyarakat Mesir pada masa pemerintaha Mamluk juga dapat dilihat dari betapa banyaknya profesi yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat demi menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan kerukunan yang terjadi antara lapisan masyarakat di Mesir. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam hal ini, bahwa di Mesir terdapat banyak sekali unsur masyarakat yang masing-masingnya berbeda karakter. Penduduk asli Mesir tetap mau menerima orang asing yang datang dan menetap di sana, terutama bagi masyarakat yang hidup di pusat-pusat kota seperti Kota Kairo dan Iskandariyah. Contonya bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir, mereka diberi tempat dan diperlakukan secara baik oleh rakyat Mesir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cara berfikir masyarakat waktu itu sudah maju.
C. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MESIR ERA MAMLUK
Dari segi pemahaman agama, masyarakat Mesir bisa dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat yang menganut paham Sunni dan kelompok masyarakat yang menganut paham Syi’ah. Paham Sunni adalah salah satu mazhab atau golongan (firqah) di dalam Islam, mempunyai pengikut paling banyak dibanding dengan mazhab-mazhab yang lain. Paham sunni berdasar pada sunah (tradisi) Nabi Muhammad SAW, di samping al-Quran. Kelompok ini biasa juga disebut Ahlussunah waljamaah. Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah, dan waljamaah berarti mayoritas umat. Penggunaan ahlusunah waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944), yang melahirkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah di bidang teologi. Sedangkan Syi’ah ialah pengikut suatu aliran, yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari pada keluarganya dan keturunannya. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kelahiran kelompok Syi’ah. Sebahagian mengatakan bahwa Syi’ah lahir sesaat setelah Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah, tepatnya ketika terjadi perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akan tetapi sejarawan yang lain berpendapat bahwa Syi’ah lahir pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir (35 H/ 656 M), atau pada awal keimaman Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij, yakni setelah kekalahan diplomatik Ali dari Muawiyyah.
Antara paham Suni dan paham Syi’ah terdapat perbedaan, baik dalam bidang kepemerintahan maupun dalam bidang keagamaan. Dalam bidang politik, kaum Syi’ah sangat memperhatikan masalah masalah kenegaraan, khususnya jabatan kepala Negara (imamah). Dalam pandangan Syi’ah imamah merupakan salah satu unsur penting rangkaian rukun iman dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islam yang paling mendasar. Sebahagian kaum Syi’ah percaya bahwa Ali tidak sekedar menerima wasiat keimaman untuk dirinya, tetapi juga untuk keturunannya, oleh sebab itu sepeninggal Ali, yang berhak menduduki keimaman adalah anak turunan Ali sampai sejauh ke bawah. Inilah yang telah memotivasi kaum Syi’ah berusaha merebut kekuasaan dari dinasti-dinasti lain dalam wilayah hukum muslim, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Perjuangan panjang kaum Syi’ah, meski penuh tantangan, di beberapa tempat telah membuahkan hasil yang gemilang. Di Maroko misalnya kaum Syi’ah di bawah pimpinan Idris bin Abdullah telah dapat mendirikan kerajaan Idrisiyah (789- 974), dengan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya. Di Mesir kaum Syi’ah juga berhasil mendirikan kerajaan Fatimiyah yang amat terkenal. Dalam bidang politik, Ahlusunah atau aliran Suni sebagai imbangan aliran Syi’ah dan Khawarij , bersikap moderat. Kaum Ahlusunah waljamaah mengakui keabsahan al-Khulafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Oleh sebab itu segenap kaum muslim harus patuh pada perintah para khalifah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengakui keabsahan para Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kendati kedua dinasti itu tidak lagi menerapkan sistim demokrasi.
Selama pemerintahan Daulah Fatimiyyah di Mesir, para pemimpinnya selalu menyebarkan paham-paham Syi’ah kepada masyarakat umum di Mesir yang berbeda dengan paham Sunni. Di antaranya adalah : 1) Melarang menggunakan pakaian hitam yang merupakan syiar dari pemerintahan Sunni. Memerintahkan untuk memakai pakaian serba hijau sebagai simbol dari Ahli al-Bait; 2) Menambah kalimat dalam azan dengan kata “Hayya ‘ala Khairil Amal” artinya marilah bersegera kepada amalan yang baik; 3) Menambahkan dalam Khutbah Jumat kalimat shalawat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, para imam-imam al-Rasyidin sebagai Bapak pemimpin orang-orang Mukmin. Bagi penganut Syi’ah terdapat perayaan-perayaan hari lahir bagi beberapa tokoh yang mereka agungkan seperti hari lahir Nabi Muhammad SAW, hari lahir Ali r.a, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husain, dan hari lahir khalifah Fatimiyah. Mereka juga merayakan hari ‘Asyura dan perayaan pada momen-momen tertentu.
Ketika Dinasti Mamluk memerintah di Mesir di antara tugas pokok dari para Sultan adalah bagaimana meluruskan pemahaman masyarakat Mesir khususnya dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman- pemahaman menyimpang kelompok Syi’ah, yang sangat berkembang selama pemerintahan Fatimiyah di Mesir. Tugas ini bersifat melanjutkan yang telah dirintis oleh sultan Dinasti Ayyubiyah. Berkat usaha yang serius dari sultan Mamluk, akhirnya jumlah masya-rakat yang sebelumnya menganut paham Syi’ah mulai berkurang, dengan arti bahwa dominasi paham Syi’ah di tengah-tengah masyara-kat Mesir mulai berkurang dan digantikan dengan dominasi pengikut paham Sunni yang juga merupakan paham para Sultan Mamluk.
Salah satu cara yang paling ampuh digunakan untuk menghilangkan pengaruh syi’ah di tengah-tengah masyarakat Mesir adalah melalui bidang pendidikan di sekolah-sekolah dan dakwah di masjid-masjid, terutama di daerah yang subur berkembangnya paham Syi’ah ini. Qadi Baha’ al-Din al-Qafthi wafat 697H/1297M adalah salah seorang ulama yang berjasa memberantas paham Syi’ah di wilayah Isna dengan menyebarkan paham Sunni dan dengan menulis buku “al-Nasaih al-Muftaridhah fi al-Fadhaih al-Rafidhah” sebagai gugatan terhadap paham Syi’ah.
Pada masa Pemerintahan Sultan al-Zahir Baybars terjadi perubahan penting dalam sistim peradilan yang sebelumnya sudah ada di Mesir semenjak masa Dinasti Ayyubiah. Di masa al-Zahir Baybars pada tahun 665H/1267M terbentuk sistim peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang masing-masing diketuai oleh hakim agungnya sendiri. Hakim agung mazhab Syafi’i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain karena ia diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yakni untuk mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah-masalah baitul mal, di samping menangani urusan yurisdiksi. Sementara hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa-fatwa bagi rakyat yang bermazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diakui hanyalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kadi mazhab Syafi’i, namun setelah adanya kebijakaan multihakim, fatwa-fatwa dapat dikeluarkan oleh tiga kadi dari tiga mazhab lainnya.
Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mamluk dalam bidang peradilan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemahaman Agama bagi rakyat Mesir. Masyarakat Mesir hidup damai dalam keberagaman pemahaman dalam bidang agama. Rasa saling mengerti dan mamahami dalam perbedaan pandangan agama sudah dicontohkan oleh masing-masing tokoh pemimpin mazhab itu sendiri, maka bukanlah hal yang aneh jika terdapat dalam satu mesjid/madrasah pada masa mamluk ini kelompok-kelompok belajar dari berbagai mazhab yang berbeda. Contonya madrasah yang didirikan oleh al-Amir Fakhr al-Din bin Abi al-Farj al-Armani, di madrsah ini diajarkan materi fiqih empat mazhab.
Pengaruh lainnya terhadap kebijakan menggabungkan empat mazhab fiqih dalam peradilan pada masa mamluk ini juga membawa dampak terhadap perkembangan masing-masing mazhab di tengah-tengah masyarakat Mesir, karena sudah menjadi tradisi pada masa Mamluk ini, bahwa kebanyakan sekolah yang didirikan pada masa mamluk umumnya mengajarkan mazhab-mazhab fiqih dari ke empat mazhab, seperti madrasah al-Hijaziyah yang mengajarkan fiqih mazhab Syafi’i dan fiqih mazhab Maliki, kemudian sebuah madrasah yang dibangun oleh Ibunda Sultan Asyraf Sya’ban pada tahun 771H/1369M dengan mengajarkan materi fiqih mazhab Syafi’i dan Hambali dan semua madrasah yang didirikan oleh seorang ulama mazhab dipastikan menjadikan mazhabnya sebagai materi inti.
Perkembangan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah yang mengajarkan materi fiqih dari empat mazhab tersebut, sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat Mesir dalam keadaan berbeda mazhab. Masyarakat menjadi cerdas dalam mensikapi perbedaan-perbedaan dalam memahami Agama. Pengalaman penulis ketika menjadi Mahasiswa di Universitas al-Azhar – Mesir mendapatkan formulir pendaftarannya menyediakan kolom mazhab yang di anut, hal ini diskriminatif, tetapi untuk menyediakan wadah pembelajaran sesuai dengan mazhab yang dianut oleh calon mahasiswa tersebut ketika mempelajari materi Fiqh. Pemandangan yang beragam dalam pelaksanaan tatacara shalat di Mesjid tanpa mempermasalahkan keberagaman tersebut, juga menjadi bukti yang sangat nyata sampai saat ini terhadap kecerdasan masyarakat Mesir dalam memahami perbedaan mazhab. Selama penulis berada di Mesir belum pernah menyaksikan atau mendengar terjadinya perselisihan antara masyarakat Mesir yang disebabkan karena berbeda mazhab.
D. KESIMPULAN
Walaupun keberadaan Mamluk di Mesir telah merubah tatanan kehidupan sosial di Mesir dengan adanya lapisan strata sosial di tengah-tengah masyarakat, namun ketentraman dan kerukunan hidup tetap bisa dijalankan dengan baik, dengan kondisi yang kondusif inilah Mesir bisa menjadi sebuah wilayah yang maju dalam kebudayaan, terutama dalam bidang pendidikan, seni dan bangunan-bangunan infrastruktur pada saat wilayah-wilayah lain mengalami masa-masa sulit akibat serangan bangsa Mongol.
Sikap toleran penguasa Mamluk di Mesir telah melahirkan sebuah budaya keagamaan yang patut dicontoh oleh penguasa-penguasa lainnya. Meskipun mereka awalnya bukanlah berasal dari seorang ayah/ibu yang muslim, namun setelah mereka menjadi muslim dan mendapatkan pendidikan Islam, mereka menjadi pemimpin yang sangat bijaksana, menghargai nilai-nilai toleransi dan karena faktor inilah di antaranya Mesir terselamatkan dari konflik mazhab yang sering terjadi di wilayah lain. []
</span></div>
PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-4777316159906829482012-11-22T01:24:00.000-08:002012-11-22T01:31:21.522-08:00Transformasi Peradaban Hellenistik – Dunia Islam<div style="text-align: justify;">
Oleh : H. Rifki Abror Ananda, M.Ag (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBj0Oh8FM6lADBQO_dm-wM4VckiRY3b7DHU3M1K-vG6iRatxF_KAS0uL_6T-6K7OqVqXslr4oljvgCVRkMaEWahX1VhB6Nk5dRdnhF0PZZeUdSP5_xA_01IaE8QVaOrwSXgLutYj3ooPx3/s1600/Rifki.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBj0Oh8FM6lADBQO_dm-wM4VckiRY3b7DHU3M1K-vG6iRatxF_KAS0uL_6T-6K7OqVqXslr4oljvgCVRkMaEWahX1VhB6Nk5dRdnhF0PZZeUdSP5_xA_01IaE8QVaOrwSXgLutYj3ooPx3/s1600/Rifki.jpg" /></a>Peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, ia selalu berinteraksi dan saling melengkapi dengan peradaban-peradaban out-groupnya. Dalam konteks ini, kebesaran dan kejayaan peradaban Islam dilihat dalam konteks peradaban out-group sedang dalam keadaan statis. Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarun dari peradaban Yunani (hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban Eropa modern.
<span class="fullpost">
A. PENDAHULUAN
Tahun 622 M, merupakan titik awal sejarah peradaban Islam dimula. Pada tahun ini Nabí Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Semasa di Makkah Nabi Muhammad belum dapat bergerak dengan bebas, karena tekanan dan kekuasaan kaum Quraisy yang kuat yang pada saat itu belum dapat dipatahkan. Di Madinah sebaliknya tidak terdapat yang demikian, bahkan akhirnya Nabi Muhammad-lah yang memegang tampuk kekuasaan. Dengan kekuasaan ditangan beliau, Islam dengan mudah disebar luaskan. Pada masa Nabí Muhammad SAW seluruh semenanjung Arabia telah tunduk dalam kekuasaan Islam, dalam masa yang demikian singkat selama 10 tahun (622-632 M.)
Perluasan wilayah Islam terus berlangsung, maka kekhalifahan Bani Umayyah wilayah kekuasaan Islam meliputi daerah Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina, Irak, daerah Asia kecil dan Asia Tengah. Demikian pula dengan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, seperti Majorca, Corsica, Sardina, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian Sicilia. Sangat disayangkan, perluasan wilayah Islam, sebagai mana banyak dituduhkan orieantalis, adalah tindakan perluasan wilayah yang ditegakkan dengan pedang atau dengan kata lain Islam ditegakkan dengan kekerasan. Padahal sernestinya tidaklah seperti yang dituduhkan tersebut. Ada beberapa faktor yang terlupakan, yaitu tindakan para penguasa di luar wilayah kekuasaan Islam yang menghina, bahkan membunuh utusan penyampai risalah yang datang pada wilayah kekuasaan mereka. hal ini mendapat tantangan dan balasan dan pemerintah.
Faktor lain adalah bahwa kedua Adikuasa saat itu (Bizantium dan Persia) memasuki fase kelemahannya. Kelemahan itu bukan saja karena peperangan diantara keduanya, akan tetapi juga karena faktor-faktor dalam negeri mereka sendiri. Pertentangan agama, ataupun persaingan antara anggota keluarga kerajaan bahkan tindakan penguasa yang mengeksploitasi rakyatnya yang mengakibatkan timbulnya tindakan tidak senang dari rakyat di daerah-daerah yang mereka kuasai.
Dari wilayah yang dikuasai Islam tersebut dengan jelas dapat dilihat sebagain wilayah kekuasaan Bizantium dan sebagain besar wilayah kekuasaan Persia telah jatuh dalam kekuasaan Islam. Bahkan wilayah kekuasaan Islam saat itu sudah meliputi beberapa wilayah kekuasaan peradaban sebelumnya selain Bizantium dan Persia yaitu Mesir, Mesopotamia, Yahudi, Hittit dan sebagian yang dulunya sebagai wilayah Yunani dan yang lainnya. Juga berada ditengah-tengah wilayah beradaban, daerah timur ada peradaban India dan peradaban Cina.
B. PUSAT-PUSAT PERADABAN HELLENNISTIK PRA ISLAM
Edward Mc. Nail Burn membedakan tingkat kebudayaan Hellenik dan Hellenistik, atau setidaknya membedakan periode pertumbuhan zaman Hellenik ilmu pengetahuan tidak berkembang dengan pesat. Ilmu pengetahuan justru berkembang pada zaman Hellenistik, merupakan perpaduan antara kebuadayaan Yunani dengan Dunia Timur. Selanjutnya oleb Burn jiwa kebudayaan tersebut dipengaruhi secara luas oleh budaya Timur walaupun bahasa Yunani dan orang-orang Yunani berperan aktif dalam banyak bidang. Disini terjadi akulturasi atau percampuran kebudayaan Barat (Yunani) dengan kebudayaan Timur (Persia, India dan Mesir).
Walaupun dikatakan peradaban Hellenistik (Yunani) akan tetapi kekuasaan politik Yunani sudah terpecah dengan kematian Alexander Agung (Alexander The Great). Terjadi perebutan kekuasaan sehingga terpecah menjadi bagian-bagian kecil, bahkan daerah-daerah taklukannya memisahkan diri.
Runtuhnya kekaisaran Yunani bukan berarti peradabanya ikut terkubur, akan tetapi peradaban tersebut berakulturasi dengan kebudayaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas. Bahkab peradaban Hellenistik tersebut lebih berkembang di bagian Timur sampai dengan menjelang kedatangan Islam, beberapa wilayah taklukan Yunani merupakan pusat peradaban Hellenistik, Di bawah ini akan disebutkan beberapa daerah atau kota diantaranya:
1. Iskandariyah
Kota Iskandariyah yang berada diwilayah Mesir ditepi Sungai Nill merupakan pusat terbesar Sains Hellenistik. Kedokteran Yunani terus dipraktekkan di Iskandariyah dan menggabungkan teori serta praktek Mesir dengan yang dari Yunani. Bagaimanapun vitalitas praktek Yunani-Mesir di Iskandariyah, tak dapat diragukan bahwa melalui para dokter kota ini, dan juga lewat karya medis yang terdapat diperpustakaan kaum Muslimin berkenalan dengan kedokteran Yunani. Banyak diantara tokoh Yunani yang sering dikutip adalah Hipokrates, Galen, Rufus, Paul, Dioscorides, dan hubungan dengan Materica Medica. Selain itu Iskandariyah merupakan jadi pusat perkembangan Alkhemi dan juga pusat penganut Neo Pyithagoras dan Aristoteles. Iskandariyah jatuh dan menyerah ketangan Islam pada tahun 641 M di bawah pimpinan Amr Al-Ash.
2. Jundisapur
Kota Jundisapur lebih dikenal setelah sekolah di Athena di tutup karena dekrit raja, para gurunya melarikan diri ke Jundisapur. Di Jundisapur terdapat sebuah lembaga studi filsafat dan kedokteran, gurunya terdiri dari kaum Nestorin dan Monofisit. Lembaga studi filsafat dan kedokteran tersebut lebih tepat dikatakan sebuah universitas dengan sebuah fakultas kedokteran, sebuah observatorium, satu blok bangunan akademik. Letaknya yang dekat dengan Baghdad dan berada di tengah daerah Persia. Jundisapur dibangun oleh Shapur I pada abad ke 3 M. sebagai kamp tawanan perang, akan tetapi kemudian berkembang menjadi kota metropolis yang menjadi pusat sains kuno. Bahasa sains mereka adalah Yunani, Sangsekerta dan kemudian juga bahasa Syiria. Sekolah-sekolah yang ada tersebut tetap ada sampai masa Abbasiyah berkuasa.
3. Kota-kota Lainnya.
Thabit ibn Qura’, anaknya, Sinan dan Kedu cucunya Thabit dan Ibrahim memberikan sumbangan yang penting dalam bidang matematika dan astronomi dalam lembaga pendidikan di Harran. Penyebaran peradaban Hellenistik dimulai dari Iskandaniyah, kemudian menyebar ke kota-kota lainnya yaitu kota Antiokia, Nisbis, dan Edessa atas jasa golongan Monophisit dan Nestorian Kristen ke berbagai negara di arah timur sampai daerah persia.
C. PENERJEMAHAN NASKAH-NASKAH HELLENISTIK
Kegiatan intelektual secara umum sudah dimulai terbuka pada masa Bani Umayyah, masa kekhalifahan Marwan I (684) memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Asron (seorang dokter dari Iskandariyah) ke dalam bahasa Suryani. Naskah tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Akan tetapi kegiatan penerjemahan baru serius dilakukan pada masa Bani Abbas, khususnya masa pemerintahan Al-Mansyur yang sangat menyukai filsafat, hukum dan astronomi. Khalifah Al-Mansyur menjalin hubungan dengan Jundisapur adalah suatu kebetulan karena saat itu ia sedang memerlukan seorang dokter untuk mengobatinya ketika ia sakit. Ia mendatangkan Bukhtaisu seorang dokter yang pandai dan terkenal, bahkan kemudian keturunan Bakhtaisu mendominasi praktek kedokteran di Istana Bani Abbas.
Di samping sabagai dokter, mereka adalah termasuk yang serius dalam mendalami ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung membawa suasana itu ke dalam istana, apalagi khalifah mendukung usaha mereka, bahkan menjadikannya sebagai program yang penting. Masa Harun al-Rasyid, dokter istana (Yuhana) mendapat tugas menerjemahkan buku-buku kedokteran. Pada masa al-Ma’mum usaha dilaksanakan dengan mendirikan bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang dipimpin langsung oleh Yuhanna. Keterlibatan orang persia dalam pemerintahan Bani Abbas juga membawa pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Keluarga Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur dan sekretaris khalifah mempunyai peran yang sangat penting. Penerjemahan dilaksanakan dipusatkan di Bait al- Hikmah. Di samping sebagai pusat penerjemahan naskah, Bait aI-Hikmah juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam penerjemahan adalah ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika, Astronomi, dan Sejarah di samping filsafat.
Peradaban Hellenistik mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang filsafat, dengan pengaruh Neo Platonisme yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Arab. Dan Stoisisme juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Islam.
Berikut karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam Bahasa Arab :
1. Aristoteles, hampir seluruh karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: Categories, Hermeneutica, Analytica, Posterior, De Anima, Sophistis, Poetics, Metaphisics, Analytica Priori dan Secret of secret.
2. Phorphirius, dengan karyannya: Isagore dan The Prologomena Amonius.
3. Plato, dengan karyanya: Tìmaeus dan Laws.
4. Ptolomey, dengan karyanya: Quadripartitus yang berisi tentang Astronomi.
5. Plotinus, dengan karyanya: Enneads.
6. Demikian juga karya-karya : Archimedes, Apollonious, Hipocratec, Euclides, Plotomeous dan yang lainnya.
Di samping itu masih banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: The Treatise on The Atom (Risalah mengenai kekekalan dunia), Dioscorides (tentang tumbuhan), The Riddle of Kabes dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya Yunani tersebut terkadang diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab, terkadang juga diterjemahkan dengan diikuti komentar dan penerjemah. Bahkan terkadang disisipi dengan kritikan penerjemah terhadap karya tersebut. Kegiatan penerjemahan ini nantinya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ilmiah selanjutnya.
Para penerjemah mendapat dukungan pinansial (gaji) dari khalifah. Kegiatan penerjemah merupakan pekerjaan pokok mereka, mereka tidak dilíbatkan dengan urusan yang lain. Naskah terjemahan terkadang didapatkan dari wilayah kekuasaan, atau diusahakan mencarinya di pusat-pusat peradaban Hellenistik dan bahkan da yang merupakan hadiah dan pemenintahan Bizantium dan negara tetangga. Di samping naskah dari Yunani ada juga naskah dan India yang juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap peradaban Islam, terutama dalam bidang matematika.
D. PERAN PERADABAN ISLAM DALAM PERADABAN DUNIA
Bagi sebagian ilmuan barat (Orientalis), masih berprasangka negatif terhadap peran peradaban Islam di masa lalu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuan muslim dimasanya adalah sekedar komentator dan peradaban sebelumnya. Tapi hal ini dibantah oleh pihak mereka sendiri. Dengan mengajukan teori ilmu pengetahuan Yunani tidak akan dapat memasuki kebudayaan Arab kecuali kebudayaan tersebut sudah memiliki kemampuan menerima dan menyerapnya.
H. A. R Gibb menyebutkan ada tiga hukum bagi penerimaan kebudayaan asing :
1. Pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal, melainkan unsur-unsur yang benar ‘diassimilasikan) selalu didahului oleh kegiatan yang sudah ada dalam bidang-bidang yang berkaitan, dan kegiatan yang sudah ada itulah yang menciptakan daya tarik, dan tanpa tidak akan terjadi penyerapan yang kreatif.
2. Unsur-unsur yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dan kebudayaan peminjaman sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur sehingga menggantikan, atau mengancam akan menantikan ked\kuatan kerohanian asli (dati kebudayaan peminjam), unsur itu lalu menjadi deskruktif dan konstruktif ... sesuatu kebudayaan yang hidup mengizinkan unsur-unsur peminjaman itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu dapat disesuaikan dan dipadukan dengan kekuatan-kekuatannya sendiri, akan tetapi menentang dengan kuat tenaga pertumbuhan yang terlalu subur.
3. Suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan-kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap-sikap emosional atau kriteria-kriteria eksistensinya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mengcangkokan unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu saja.
Sesuai dengan “hukum” itu, ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani tidak mungkin menjadi bagian yang tak terpisahkan dan pikiran Islam, kecuali apabila yang terakhir itu sudah siap untuk menerima dan menyerapnya. Harus sudah ada semacam kegiatan ilmiah di dikalangan umat Islam di zaman itu untuk pengetahuan Yunani dapat masuk. Karena itu dengan jelas sumber-sumber ilmu pengetahuan dan filsafat Islam; Sumber Islam yang sejati, kekuatan yang mendorong umat Islam mementingkan ilmu pengetahuan. Hal dapat dengan jelas kita rujuk dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah nabi sebagai acuan pokok umat Islam. Kedua, umat yang telah mempunyai kebudayaan, kemudian masuk Islam. Ini dengan jelas kita lihat dari lingkungan tempat lahirnya Islam, ditengah-tengah persentuhan peradaban-peradaban kuno. Ketiga, pertemuan dengan peradaban-peradaban asing di sekitar wilayah Islam yang begitu luas. Dalam hal ini tidak menafikan peran peradaban Yunani atau Hellenistik yang begitu besar peranannya dalam peradaban Islam kemudian. Hal ini dengan jelas dilihat dengan begitu banyaknya karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, tanpa menyampingkan peradaban India, Cina dan lainnya.
Bahkan peradaban Islam Zaman Klasik mempunyai pengaruh pada timbulnya reneisance dan berkembang peradaban Eropah selanjutnya. G. Lebon menulis, “Orang Arablah yang menyebabkan kita (orang Eropah) mempunyai peradaban. Merekalah yang telah menjadi guru kita selama enam abad”.
Memang Islam sebagai agama tidak berpengaruh di Barat, akan tetapi ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi Barat. Kemudian Ran Landau menyatakan, “Dan orang Arab-lah Eropah belajar berpikir secara objektif dan lurus. Belajar berlapang dada berpikiran luas. Inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing bagi reneisan dan yang menimbulkan kemajuan dan peradaban Barat”, disinilah Landau ingin menunjukkan pengaruh pemakaian akal dan kebebasan berpikir dalam Islam dan pengaruhnya dalam perkembangan kebebasan berpikir di Eropah dari belenggu agama.
Pengaruh peradaban Islam klasik tersebut sangat terasa dalam banyak hal. Penggunaan kata-kata Arab dalam pemakaian nama-nama yang sebelumnya belum dikenal dalam perbendaharaan kata mereka. Kata-kata tersebut terjadi perubahan dalam cara melafalkan, disesuaikan lidah Eropah, seperti Cotton, Mousseline (kain yang halus), Moroco, (nama kata yang dinisbahkan jadi nama perlengkapan dan kulit). Dalam peristilahan matematika (logaritma, Aljabar), kimia dan lain sebagainya.
Banyak tokoh-tokoh universal sains (tokoh sentral dalam pengajaran sains dan pengembangan sains dan filsafat biasanya ia sebagai penulis, penyair, dokter, astronom, matematikawan, ahli kimia, ahli obat-obatan dan juga bahkan seorang yang bijak) sangat dikenal namanya di dunia Barat, seperti : Al-Razi (Rhazes) ternama dalam ilmu kimia, Jabir ibn Hayan (gaben) pengarang buku yang terkenal, “al Isthithaam” yang disalin dalam bahasa Francis dan berpengaruh di Eropah sampai abad ke-17, Ibn Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran dan filsafat, ibn Rusyd (Aveoes) dengan kitabnya Kuliyah al-Tibbi merupakan buku rujukan kedokteran sampai pada abad modem ini, Al-Kindi (Alcheidius), Al-Farabi (Alfarabius), ibn al Haisam (Alhazen), ibn Bajah (Avenpace), dan ibn Tufail (Abubacer).
E. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, tidak peradaban Yunani, peradaban Islam ataupun peradaban Eropah. Peradaban adalah rangkaian yang tiada terputus dan selalu berassilmilasi. Peradaban Islam masa Klasik mencapai puncak pada masanya, waktu peradaban lainnya statis.
Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarub dari peradaban Yunani (Hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban eropah Modern. Transformasi peradaban akan terjadi bila antara yang memberi dan yang rnendapatkan mempunyai kesesuaian pemahaman terhadap pemakaian akal dan kebebasan berpikir yang timbul dari ideologi suatu masyarakat. []
</span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-69037912228255236932012-02-11T23:00:00.000-08:002012-02-11T23:17:49.607-08:00Nilai-Nilai Budaya Minangkabau Dalam Karya HAMKA : Analisis Sosipragmatik Terhadap Roman Dibawah Lindungan Ka’bahOleh : Hetti Waluati Triana, M.Pd., Ph.D (Dosen Ilmu Bahasa FIBA IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiagQMaSugnk7_VIPXyc59FWBYHrWMG6INWqiRurBX3ocD_6YrvkCBiLaOtxB0sNBfWVSpSCgkMVrXEoSvysIgeK473SMMg4DIoD75p7mWxUf5KDJ8W1rsR-mA8vkEjPmto8euNcNOpOivp/s1600/252.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 72px; height: 96px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiagQMaSugnk7_VIPXyc59FWBYHrWMG6INWqiRurBX3ocD_6YrvkCBiLaOtxB0sNBfWVSpSCgkMVrXEoSvysIgeK473SMMg4DIoD75p7mWxUf5KDJ8W1rsR-mA8vkEjPmto8euNcNOpOivp/s200/252.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5708143668497044498" border="0" /></a>Karya sastra merupakan hasil karya yang dibangun melalui kemampuan pengarang memilih dan menyusun kata, di samping kemampuan merangkai peristiwa sebagai cermin realitas sosiobudaya tempo karya itu dihasilkan. Oleh sebab itu, karya dapat menunjukkan ketinggian dan kepiawaian pengarangnya. Melalui analisis sosiopragmatik dapat dikemukakan aspek sosiobudaya yang tersirat di balik karya Hamka, yaitu nilai-nilai kesantunan dan religius budaya Minangkabau. Temuan itu sekaligus menunjukkan bahwa roman Di Bawah Lindungan Kabah dapat memperlihatkan dan kepiawaian Hamka sebagai pengarangnya.<br /></div><br /><span class="fullpost"><br />A. Pendahuluan<br /><br />Hamka (Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah) adalah putra tokoh pelopor gerakan Islam kaum muda di Minangkabau , Dr. Syekh Malik Karim Amrullah, yang lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau Sumatera Barat, (Hamka, 2002: 1). Hamka adalah seorang tokoh pergerakan nasional, politikus, dan juga pemikir. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, beliau lebih dikenal sebagai seorang ulama yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan.<br /><br />Karya sastra beliau sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan. Salah satu karya sastra beliau yang boleh mencerminkan kedua nilai itu ialah roman Di Bawah Lindungan Kabah.<br /><br /><br />B. Pembahasan<br /><br />Bagian pembahasan ini terlebih dahulu dimulai dengan memaparkan sinopsis roman Di Bawah Lindungan Kabah sebagai latar tinjauan pada kertas kerja ini. Selanjutnya, perbincangan akan difokuskan kepada analisis sosiopragmatik terhadap roman Di Bawah Lindungan Kabah dengan menghuraikan aspek linguistik dan aspek sosiobudaya Minangkabau di masa lampau.<br />1. Sinopsis Roman Di Bawah Lindungan Kabah<br />Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan keluarga miskin. Ia mempunyai keinginan yang sungguh untuk memajukan diri dan meningkatkan martabat keluarga meskipun dalam kesengsaraan yang tiada berkeputusan. Masa kecil Hamid lebih banyak dilalui bersama ibunya di sebuah dangau. Di dangau itu jua, Hamid mempelajari doa dan bacaan dari ibunya, menolong apa-apa yang dapat dilakukannya untuk membentengi air mata ibunya, menyembunyikan keinginan, dan menelan kegembiraan yang hanya dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Sampai suatu ketika ia mendapat kesempatan untuk dapat menghirup dan menikmati dunia yang penuh dengan harapan dan azam, sebagaimana impian almarhum ayahnya. Kesempatan itu diperolehnya atas bantuan dari keluarga kaya yang baru saja menjadi tetangganya, yaitu keluarga Engku Haji Ja’far.<br />Engku Haji Ja’far mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Zainab. Zainab adalah anak perempuan yang baik, rendah hati, dan alim; anak yang tidak pernah menyombongkan diri meskipun kepada Hamid, anak yang mendapat pertolongan dari ayahnya. Usia Zainab sememangnya lebih kecil daripada usia Hamid. Oleh sebab itu, mereka menggunakan kata sapaan “abang” dan “adik”, dua perkataan yang manis yang timbul dari hati yang suci.<br />Kebersamaan pada masa kanak-kanak itu akhirnya melahirkan rasa lain, rasa yang hanya disadari ketika mereka telah tidak bersama-sama ke sekolah, tidak bersama-sama bermain, dan tidak kerap bertemu lagi. Rasa itu jua yang kemudian mempenjarakan kebebasan hati dan nurani keduanya dari kebahagiaan yang lazimnya dipunyai oleh orang muda-muda. Keterpenjaraan itu tak dapat dilepaskan daripada tradisi budaya yang pada masa itu cenderung menjadikan mereka tak kuasa mewujudkan kehendak hati secara terbuka. Bahkan, perasaan itu sangat susah untuk dilafazkan sampai akhir hayat keduanya. Hanya Di Bawah Lindungan Kabah-lah, keterpenjaraan itu dapat terungkap, yaitu melalui surat Rosna, sahabatnya Saleh, dan dalam doa Hamid sebagai hamba yang lemah.<br /><br />2. Sosiopragmatik dan Budaya Minangkabau<br />Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan :<br />a. Sosiopragmatik sebagai Kaedah Analisis<br />Sosiopragmatik merupakan salah satu paradigma daripada pendekatan pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1983). Istilah sosiopragmatik dimaksudkan sebagai upaya untuk membedakan kajian tentang kondisi umum dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi kepada kajian yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa yang bersifat setempat atau khusus. Kajian yang demikian dimaksudkan sebagai upaya menggali aspek sosiobudaya yang menjadi latar penggunaan bahasa. Secara tegas Leech (1983: 11) menyebutkan bahwa sosiopragmatik merupakan sociological interface of pragmatics yang dibedakan daripada pragmalinguistik, iaitu the study of the more linguistic and pragmatics. Ini menunjukkan bahwa sosiopragmatik melihat penggunaan bahasa sebagai hal yang berkaitan dengan persoalan sosial.<br /><br />Pandangan Leech (1983) di atas didukung oleh pandangan Salmani-Nodushan (2006) yang menyebutkan bahawa dalam kajian sosiopragmatik, ada dua set kategori yang dikontraskan, yaitu set linguistik dan set sosiologi. Salmani-Nodushan juga menegaskan bahwa:<br /><br /><br />Sociopragmatics refers to the way conditions of language use derive from the social situation. In other words, it involves the study of both the forms and functions of language in the given social setting. The term linguistic forms refers to the abstract phonological and/or gramatical characterization of language, social functions, however, refers to the role language plays in the context of society or the individual.<br /><br /><br />Di sisi lain, penggunaan bahasa tidak hanya mencakup aspek-aspek morofologis dan sintaksis saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek sosiobudaya yang hadir bersamaan ataupun tersirat di balik penggunaan bahasa tersebut. Dalam konteks inilah sosiopragmatik diperlukan kerana ia dapat digunakan untuk menganalisis aspek linguistiknya dan di sisi lain dapat menganalisis praktis sosialnya (Triana, 2009: 100-101). Dengan demikian, analisis sosiopragmatik dapat menjelaskan maksud bahasa dan fenomena sosiobudaya penggunaanya yang dalam hal ini difokuskan kepada nilai kesantunan dan keagaamaan budaya Minangkabau dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah.<br /><br />b. Budaya Minangkabau<br />Meskipun Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu . . . Walaupun budaya Minang adalah bahagian daripada budaya Melayu dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.<br />Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.<br />Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh; yang membentuk seluruh sistem penilaian; yang menjadi dasar daripada sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum.<br />Oleh sebab itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia. Dengan demikian, setiap individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat berikut ini.<br /><br />Bak adat bapiek kulik,<br />Sakik dek awak sakik dek urang,<br />Sanang dek awak sanang dek urang,<br />Nan elok dek awak katuju dek urang.<br /><br />( Seperti adat berbalut kulit,<br />Sakit bagi kita sakit bagi orang<br />Senang bagi kita senang bagi orang<br />Yang baik bagi kita suka bagi orang )<br /><br />Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahawa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).<br />Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.<br />Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaedah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Sikap yang demikian itu dimuat dalam mamangan “raso dibaok naiak, pareso dibao turun” (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun). Mamangan ini menggambarkan bahwa koreksi dan keseimbangan diperlukan dalam bersikap dan berperilaku.<br />Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluahkan ide dan perasaannya dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah. Justru itu, analisis sosiopragmatik dalam kertas kerja ini lebih difokuskan kepada nilai kesantunan dan religius yang tercermin melalui penggunaan bahasa Buya Hamka dalam karyanya Di Bawah Lindungan Kabah.<br /><br />3. Hamka dan Dibawah Lindungan Ka’bah : Analisis Sosiopragmatik<br />Roman Di bawah Lindungan Kabah dibangun dengan 13 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Melalui judul-judul itu dapat diketahui bahwa roman ini sememangnya merupakan sebuah narasi yang menggambarkan pengembaraan tokoh utama (Hamid) di perantauan. Pada roman ini, rantau yang dijadikan latar oleh Buya Hamka ialah kawasan Islam di belahan dunia Timur, yaitu Mesir, Medinah, dan Mekah. Di kawasan inilah tokoh utama meredam dan menelan semua kenangan hidupnya di alam Minangkabau; alam yang meniupkan dan membesarkan Hamid sebagai seorang anak, kawan, dan pemuda yang taat beragama dan menghormati adat. Pernyataan itu dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.<br /><br />... Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya....<br />Melihat kebiasaannnya yang demikian dan sifatnya yang salih, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya.... Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi.<br />Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa (Hamka, 2008: 5-6).<br /><br />Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas, pada asasnya menggambarkan sifat dan perilaku pemuda Minangkabau yang selalu berkait rapat dengan nilai-nilai kesantunan dan dan nilai-nilai religius sebagai wujud nilai budaya etnik Minangkabau. Perkataaan azan subuh, pergi ke mesjid, salih (saleh), beribadat, dan buku-buku agama merujuk kepada ranah religius, sedangkan perkataan halus, tiada terasa, dan kehalusan budi pekerti, serta ketinggian kesopanan agama merujuk kepada ranah kesantunan. Maksud daripada perkataan tersebut dapat dipahami melalui tuturan daripada perkataan itu digunakan, sebagaimana dapat disimak dalam kutipan di atas.<br />Perkataan azan Subuh dan pergi ke mesjid dapat dikelompokkan pada kumpulan nilai-nilai religius kerana disokong oleh frasa dan klausa biasanya sebelum..., ia telah lebih dahulu bangun, dan seorang dirinya yang menjadi konteks kalimat. Berdasarkan konteks tersebut dapat dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada kalimat “Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya” digunakan untuk menyatakan sosok tokoh utama (Hamid) yang selalu menghambakan dirinya kepada Sang Khalik. Maksud yang demikian lebih dikesan lagi oleh penuturan pengarang melalui perkataan saleh, beribadat, dan buku-buku agama yang dibangun dalam kalimat “Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi”.<br /><br />Pelukisan sosok Hamid yang demikian juga dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.<br /><br />(i) Satu kali terlihat oleh saya, ketika saya mengerjakan tawaf keliling Kaabah, ia bergantuang kepada Kiswah, menghadapkan mukanya ke langit, air matanya titik amat derasnya membasahai serban yang membalut dadanya, kedengaran pula ia berdoa, Ya Allah! Kuatkanlah hati hamba-Mu ini!” (Hamka, 2008: 7).<br />(ii) Memang, saya harap Tuan simpan cerita perasaan saya hidup, tetapi jika saya lebih dahulu meninggal daripada Tuan, siapa tahu ajal di dalam tangan Allah, saya izinkan Tuan menyusun hikayat ini baik-baik... Moga-moga air matanya akan menjadi hujan yang dingin memberi rahmat kepada saya di tanah pekuburan (Hamka, 2008: 9).<br />(iii) “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Kaabah yang suci, yang terpisah dari pergaulan manusia lain. Di sinilah saya selalu bertafakur dan bermohon kepada Tuhan sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan. Setiap malam saya duduk beriktikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya... (Hamka, 2008: 49).<br /><br />Perkataan serban, berdoa, ya Allah, hamba-Mu, tangan Allah, pekuburan, Kaabah (ka’bah), bertafakur, bermohon, Tuhan sarwa sekalian alam, beriktiraf, dan masjidil haram sememangnya merujuk kepada ranah keagamaan. Perkataan-perkatan tersebut dapat difahami sebagai upaya penggambaran sosok alim tokoh utama (Hamid) oleh pengarang melalui konteks tuturan. Begitu juga dengan perkataan halus dan kehalusan budi pekerti yang merujuk kepada kesopanan kerana disokong oleh frasa dan klausa “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat, dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada ..., serta sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” yang menjadi konteks tuturan. Berdasarkan konteks tersebut boleh dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada tuturan “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” digunakan untuk menggambarkan watak dan kepribadian tokoh utama yang berbudi pekerti dan bersopan santun.<br />Watak dan keperibadian Hamid dilengkapi pengarang dengan menggambarkan rasa sayang dan hormat yang teramat dalam kepada ibunya. Penggambaran yang demikian menegaskan kesantunan watak dan kepribadian Hamid yang dapat disimak melalui penceritaan pengarang berikut :<br /><br />(i) Pada waktu teman-teman bersuka ria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai teman-teman itu, kerana kegembiraan bukanlah saduran dari luar... Apalagi kalau saya ingat, bagaimana dia kerap kali menyembunyikan air matanya di dekat saya, sehingga saya tak sanggup menjauhkan diri darinya (Hamka 2008: 13).<br />(ii) Terima kasih ibu, nasihat ibu masuk benar ke dalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian.... (Hamka, 2008: 34).<br /><br />Perkataan yang dicetak tebal pada contoh di atas menunjukkan bagaimana pengarang membangun watak dan kepribadian Hamid yang lebih mulia dengan mengedepankan rasa hormat dan kasih sayang anak kepada ibunya. Maksud demikian boleh ditafsirkan melalui konteks tuturan yang menampung pilihan dan susunan perkataan pengarang. Upaya pengarang yang demikian juga dapat dilihat dari pelukisan tokoh lainnya, yaitu Zainab. Zainab digambarkan sebagai perempuan yang patuh dan sopan, sebagaimana dapat disimak pada tuturan “Apa perintah ibunya, diikuti dengan patuh”.<br /><br />Selain itu, pengarang juga melakukan upaya tersebut dengan menggunakan pilihan kata ganti nama sebagai penanda kesantunan hakiki dalam interaksi sosial Minangkabau, yaitu kesantunan kunci yang telah sedia ada dalam budaya etnik Minangkabau dan menjadi dasar berperilaku bagi masyarakatnya (Triana, 2009: 289). Penggunaan kata ganti nama yang menunjukkan kesantunan itu dapat disimak melalui kutipan berikut.<br /><br />(i) “Saya tinggal dekat saja, Mak” jawab saya, “itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah meninggal dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang membuat kuih muih ini....” (Hamka 2008: 17).<br />(ii) Amat besar budi engku Haji Ja’far kepada saya.... (Hamka 2008: 21).<br />Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas merupakan kata ganti nama yang digunakan tokoh utama ketika bertutur dengan tokoh tambahan lainnya. Kata saya digunakan selalu sebagai kata ganti diri pertama tunggal yang menunjuk kepada Hamid, termasuk ketika menyebutkan pemilik, seperti ayah saya dan ibu saya. Beliau merupakan kata ganti nama yang digunakan untuk merujuk kepada orang tuanya, sedangkan perkataan engku Haji Ja’far digunakan untuk merujuk kepada orang ketiga yang sedang diperbincangkan tokoh utama kepada sahabatnya. Pilihan yang demikian sesungguhnya sesuai dengan kaedah bertutur etnik Minangkabau yang dikenal dengan langgam kato atau kato nan ampek.<br />Apabila dikaitkan dengan aspek sosiobudaya yang menjadi latar pengarang, maka tuturan-tuturan tersebut dapat dipahami sebagai upaya pengarang untuk menggambarkan sosok pemuda Minangkabau tempo dulu. Sosok itu yang sememangnya bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar adat Minangkabau. Upaya itu tersurat melalui penggambaran tokoh yang menghabiskan masanya untuk merendahkan diri di hadapan Sang Khalik dan meningkatkan martabatnya melalui sifat dan perlakuan yang bersandarkan kepada ajaran agama Islam. Upaya penggambaran yang demikian, pada asasnya merupakan cermin daripada amalan pengarang sebagai pemuda Minangkabau yang taat pada nilai budaya dan agama, di samping memperlihatkan latar sosiobudaya pengarangnya.<br />Kesimpulan yang demikian juga tersirat melalui pandangan Audah (2008) yang menyebutkan bahawa berdasarkan tema dan peristiwa dasarnya, roman yang ditulis oleh Hamka berkait rapat dengan budaya dan agama. Mulai pada halaman pertama nafas agama sekaligus adat Minangkabau segera terasa. Semua itu pada asasnya disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang, yaitu adat- istiadat Minangkabau.<br /><br />C. Penutup<br />Hamka bukan hanya sekedar memilih dan menjalin kata demi kata. Akan tetapi, Hamka mencoba mengemukakan nilai-nilai budaya Minangkabau melalui penggambaran dilematik tradisi yang kadangkala mesti mengorbankan perasaan dan naluri kemanusiaan. Ada dua nilai yang ditonjolkan oleh Hamka pada roman Di bawah Lindungan Kabah. Dua nilai itu ialah nilai kesantunan dan nilai religius; nilai dasar yang “wajib” dimiliki oleh etnik Minangkabau dalam mengkontruksi perilakunya di setiap aspek kehidupan. Nilai-nilai tersebut dikemas Hamka dalam tuturan yang penuh implikatur. Justeru itu, pemahaman akan maksud tuturan Hamka hanya dapat dijelaskan secara tepat dengan memahami konteksnya, baik konteks gramatikal, situasional, maupun sosialbudaya. Justru itu, dengan analisis sosiopragmatik dapat dijelaskan nilai-nilai budaya yang tersirat di balik penggunaan bahasa Hamka yang sesungguhnya menjadi unsur utama dalam membangun perilaku sosial etnik Minangkabau.<br /><br /><br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />Aswar, Sativa Sutan. 2006. ”Menyikapi Perubahan Nilai-nilai Adat di Tengah Masyarakat Minangkabau.” Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang, 29-30 November 2006<br /><br />Audah, Ali. “Hamka: Sastrawan, Ulama, Mufassir”. Horison. XLIII/9/2008<br /><br />Hakimy, Idrus. 1997. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya<br /><br />Hamka. 2008. Di Bawah Lindungan Kaabah. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini<br /><br />Hamka, Rusydi. 2002. Hamka Pujangga Islam: Kebanggaan Rumpun Melayu. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd<br /><br />Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman<br />Navis, A.A. 1986. Alam Takambang jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers<br /><br />Rasyid. 2006. ”Pelestarian adat dan pengembangan budaya Minangkabau”. Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang 29-30 November 2006<br /><br />Salmani-Nodoushan, Mohammad Ali. 2006. “The Socio-pragmatics of greeting forms in English and Persia”. The international Journal of Language, Society an Culture. http://www.educ.utas.edu.au. [28 Januari 2009<br /><br />Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau tematis. Padang: Sentra Budaya<br /><br />Triana, Hetti Waluati. 2009. ”Bahasa, Kesantunan, dan Perubahan Sosial: Analisis terhadap lakuan tutur menolak etnik Minangkabau moden.” Thesis Ph.D. pada Program Linguistik, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia.<br /><br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-29888301921983150272012-02-11T22:54:00.000-08:002012-02-11T22:58:15.796-08:00"Pantun Lama" Tentang Melayu : Suara-Suara Kolonialis-OrientalisOleh : Deddy Arsya, S.Hum (Alumni FIBA IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhogWkWUEyIF_Z5XvC4lkikfwBrjyc6hcuC6MtYc4YWR60tshAcF3z1v3IsQffzA7hnfRammpQ5Lh-4BESc1vkbbiKhLRn5c2idVIf5XuGc-AGb6POTCSXqKUGvPZPSQ7KF2Ol_HB5tJvHd/s1600/ded.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 68px; height: 102px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhogWkWUEyIF_Z5XvC4lkikfwBrjyc6hcuC6MtYc4YWR60tshAcF3z1v3IsQffzA7hnfRammpQ5Lh-4BESc1vkbbiKhLRn5c2idVIf5XuGc-AGb6POTCSXqKUGvPZPSQ7KF2Ol_HB5tJvHd/s200/ded.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5708139625094490130" border="0" /></a>Wacana poskolonial dalam kesastraan Indonesia tidak begitu populer Narasi-narasi kolonial dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan utuh dalam mempengaruhi karya-karya sastra modern Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia tidak sepenuhnya dijajah. Kolonialisasi atas Indonesia hanya bersifat politis, penguasaan dalam ranah kuasa-negara. Atau dengan kata lain, Belanda tidak berhasil melakukan penaklukkan atas kultur dan bahasa daerah jajahannya. Pada aspek bahasa, misalnya, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional Indonesia. Bahasa nasional Indonesia bukanlah bahasa penjajah-nya (bahasa Belanda), tetapi adalah bahasa nasional yang lahir dari hasil modifikasi bahasa Melayu pesisir atau bahasa perdagangan. <br /></div><br /><span class="fullpost"> <br />A. PROLOG<br /><br />Namun, meskipun tidak utuh, tidak dapat dinafikan memang, terkadang karya-karya sastra Indonesia telah mengikatkan dirinya dalam aspek-aspek tertentu pada wacana-wacana milik kolonial secara luas, yaitu imperialis Eropa secara umum (tidak Belanda secara khusus). Wacana Barat tentang dunia Timur tetap meng-hegemoni Timur. Dalam beberapa sisi, karya sastra Indonesia, dalam memandang dirinya sendiri, terlihat masih mengadopsi kerangka pikir yang pernah dipakai penjajah-penjajah Barat-Eropa. Pandangan terhadap dunia Timur oleh Barat yang dikembangkan dan dikawal sedemikian rupa oleh para orientalis sejak berabad-abad yang silam juga dilanjutkan oleh elit-elit terdidik Timur sendiri paska penjajahan. Sejak berabad-abad yang silam itu sampai kini Timur tetap menjadi laboratorium raksasa bagi ilmuan-ilmuan Barat. Timur dikaji, ditelaah, diteliti, dengan kacamata berpikir Barat.<br />Cinta di Dalam Gelas merupakan novel kedua dari dwilogi Padang Bulan karya penulis fenomenal Melayu Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang Pustaka Juli 2010 ini. Mengikuti sukses tetralogi Laskar Pelangi, tercatat, dua minggu setelah diterbitkan, novel ini telah laku terjual 25 ribu kopi. Bulan Agustus 2010, novel ini telah kembali dicetak ulang.<br />Dalam novel ini, secara sekilas, corak berpikir kolonialis yang diwakilkan orientalis-Barat tampak ‘menyumbulkan dirinya’ diam-diam seperti topi baja menyumbul di bibir parit pertem-puran. Terminologi 'Orang Melayu', 'Lekali Melayu', 'Watak Melayu', misalnya, beberapa kali diulang-ulang novel ini sebagai generalisasi atas tingkah-polah beberapa orang di Pulau Belitong sebagai latar tempat novel ini. Generalisasi semacam ini dilihat mengindikasikan adanya pikiran-pikiran kolonial dalam novel yang ditulis hampir enam dasawarsa setelah Indonesia merdeka ini. agaimana novel ini melihat dan menilai Melayu sebagai entitas budaya? Benarkah terdapat hegemoni corak pikir kolonial-orientalis dalam proses penilaian dan penglihatan itu? Lantas, bagaimana bentuk hegemoni intelektual kolonialis-orientalis yang terdapat dalam novel ini? Tulisan ini akan mencoba membidiknya dari 'parit' yang lain; tulisan ini akan melihat bagaimaan hegemoni narasi-narasi orientalisme itu terdapat dalam karya sastra, Cinta di Dalam Gelas, dengan melihatnya melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarangnya.<br /><br />B. PRESENTASI DAN GENERALISASI MELAYU DALAM CINTA DI DALAM GELAS<br /><br />Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.<br />Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu. Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai.<br />Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.<br />Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).<br />Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu. Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah. “Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea (pemiringan tulisan dari penulis).<br />Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.”<br />Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya. Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.<br /><br />C. PENCATAT MELAYU YANG BUKAN-MELAYU<br />Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat.<br />Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya. Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109) <br />Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu. <br />Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.” Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.<br />Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya. <br /><br />D. SUPERIOR BARAT DAN INFERIOR MELAYU (TIMUR)<br /><br />Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi. (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001). Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan. <br />Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Atau dalam kata lain, Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.<br />Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky. “Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.”<br />Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya! Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar.<br />Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern (1984: 89). Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.<br />Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.<br /><br />E. EPILOG<br /><br />Cinta di Dalam Gelas mengukuhkan kembali narasi-narasi tentang Timur (dalam hal ini, secara khusus, tetang dunia Melayu) yang ditulis dan dilisankan orientalis-kolonialis berabad-abad silam dan menjadi kokoh di kalangan bangsa-bangsa terjajah kemudian. Andrea Hirata tidak berniat untuk, meminjam Edwar Said lagi, “menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang sudah mantap itu.”<br /><br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-55143150900969789652012-02-11T22:50:00.000-08:002012-11-22T01:38:08.952-08:00Gender dan KekuasaanOleh : Mhd. Ilham, S.Ag., S.Sos., M.Hum (Ketua PSIFA IAIN Padang/Ketua Jur. SKI FIBA IAIN Padang)<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIw1RDYp5df8nt9Y8x-FF8V4ZLrSbmUSGene6gk5nm2kIft1dI2qUIuzGUeyzwW29nb-DsaRQD0MPoF8OdX0yg-8DSucyuPPiXFxwUcgwdSboL0qaZ-x14b9OAaY6ivVwqoc3af6z9WVtB/s1600/safe_image.php.jpeg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5708138691254087314" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIw1RDYp5df8nt9Y8x-FF8V4ZLrSbmUSGene6gk5nm2kIft1dI2qUIuzGUeyzwW29nb-DsaRQD0MPoF8OdX0yg-8DSucyuPPiXFxwUcgwdSboL0qaZ-x14b9OAaY6ivVwqoc3af6z9WVtB/s200/safe_image.php.jpeg" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: left; height: 90px; margin: 0 10px 10px 0; width: 84px;" /></a>Artikel ini ingin melihat (melalui tiga kasus) tentang kesewenang-wenangan penguasa dalam mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan).</div>
<span class="fullpost"><br />A. (Sekedar) Pengantar : “Salah Kurung !”<br /><br />Pernah ada anekdot feminis yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menje-laskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster. <br /><br />Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh. Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. <br /><br />Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki. <br />Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus sosial. Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan. Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan tersebut. Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.<br /><br /><br />B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus<br /><br />1. Kasus Alya Rohali<br /><br />Pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya. Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).<br /><br />Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ?<br /><br />Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini. <br /><br />Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan ”bertensi tinggi”.<br /><br />Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki. <br />Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”. <br />Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut. <br /><br />Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra , wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.<br /><br />2. Kasus Pasal Zina Bagi Kepala Daerah<br /><br />Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :<br /><br />“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”<br /><br />Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian. <br /><br />Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno , Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup. Maka, Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak. <br /><br />Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit karena film horor (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang. Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi. <br /><br />Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah) “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan hingga injury time.<br /><br />Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah. <br /><br />Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya. <br /><br />Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.<br /><br />3. Kasus Anggelina Sondakh<br /><br /><br />Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik, itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan libido, beda dengan memandang Malinda Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart. Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya. Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid. Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta. <br /><br />Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar , tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan. <br /><br />Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo.<br /><br />Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat. Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Walikota Padang Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang. <br /><br />Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer, Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene¬-nya tidak permanen.<br /><br />Karena ia tak bisa mengalahkan kharisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan, kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).<br /><br /><br />C. Refleksi dan Simpulan<br /><br />Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.<br /><br /><br />Catatan Pendukung :<br /><br />1. Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.<br /><br />2. Nyi Ontosoroh, dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.<br /><br />3. Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.<br /><br />Tulisan ini tidak sistematis. Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus per kasus untuk kemudian, secara kualitatif, bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia. Semoga dikritisi.<br /><br /><br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999<br /><br />Edward Said, Terorisme : Sejarah dan Konflik Global, terjemahan, Bandung: Mizan, 1994<br /><br />Goenawan Mohammad, “Mithe Sysiphus”, Catatan Pinggir (Jakarta: Grafiti Press, 1999)<br /><br />Hassan Hanafi, “Perempuan, Kejahatan Negara dan Teror, terjemahan, Jakarta: Ummat, 1994<br /><br />Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, bandung: Mizan, 2005.<br /><br />Michael Foucault, Sejarah dan Seksualitas, terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999<br /><br /><br />Muhammad Ilham, “Seks dan Kekuasaan : Cleopatra” dalam ilhamfadli.blogspot.com diunggah tanggal 13 Desember 2010.<br /><br />Nawel el-Sa’adawi, “Wawancara Eksklusif Tempo tentang Gerakan Feminisme di Dunia Arab” Edisi bulan September 2008<br /><br />Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006<br /><br />Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999<br /><br />Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996<br /><br /><br />www.tempointeraktif.com<br />www.duniaesai.com<br />www.detik.com<br />www.vivanews.com<br />www.anggelinasondakh.com<br />www.kalyanamitra.org<br /><br /><br /><br /> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-28795514620879267862012-02-11T22:45:00.000-08:002012-02-11T22:49:22.703-08:00Perempuan Minangkabau dalam Teks Media Tahun 1932 : Kasus Surat Kabat Semangat PemoedaOleh : Erman, MA (Dosen Ilmu Sejarah FIBA-IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwg4UB-U4S6si8HLUx6XyXdrBDC7pM6GGyACc84WBYf5HSyzzgL4fe4A5DOmql_hqSTZyHb2-cGx4clJOHuOgq3nKU2E1i4quQShfPF0VPYHvz7BLSSaqX_fEQb8Ihzzv3PJNSuoyzxntI/s1600/index.jpeg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 72px; height: 81px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwg4UB-U4S6si8HLUx6XyXdrBDC7pM6GGyACc84WBYf5HSyzzgL4fe4A5DOmql_hqSTZyHb2-cGx4clJOHuOgq3nKU2E1i4quQShfPF0VPYHvz7BLSSaqX_fEQb8Ihzzv3PJNSuoyzxntI/s200/index.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5708137592415399922" border="0" /></a>Kaum perempuan Minangkabau, khususnya pada era 1920-an/1930-an, dikenal sebagai kaum yang aktif dalam dunia pendidikan serta politik, dua ranah yang dianggap menjadi ranah “laki-laki” pada masa itu. Hal ini terlihat dari beberapa teks media yang muncul pada era ini, satu diantaranya surat kabar Semangat Pemoeda. Suara Putri merupakan rubrik khusus perempuan yang disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda. Perempuan yang biasa memanfaatkan rubrik ini sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Artikel ini mengetengahkan pembahasan historis mengenai eksistensi kaum perempuan Minangkabau sebagaimana yang ternukilkan dalam teks media.<br /></div><span class="fullpost"><br />A. Pendahuluan<br /><br />Perjuangan perempuan dalam menuntut hak mereka pada sektor publik bukan hal yang baru dalam sejarah perjalanan dan kehidupan bangsa Indonesia. Sejak awal abad kedua-puluh sudah muncul perjuangan perempuan di berbagai daerah, baik yang bersifat individual maupun organisasi, untuk melawan sistem sosial yang mengebiri hak-hak perempuan dan penjajahan kolonial Belanda. Di pulau Jawa muncul Raden Ajeng Kartini (1901) yang mengilhami perempuan untuk bangkit menunjukkan jati dirinya. Di Minangkabau muncul pula Rohana Kudus (1884-1972) yang memulai perjuangannya di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah kerajinan, Amai (Ibu) Setia, di kampuang halamannya pada tahun 1911. Ia juga berjuang di media massa sebagai pimpinan redaksi koran Soenting Melayoe yang didirikan oleh Sutan Maharadja di kota Padang tahun 1912. Koran ini membuka kesempatan luas bagi dirinya untuk memperjuangkan nasib perempuan di Hindia Belanda. Selain Rohana Kudus, muncul pula nama Rasuna Said (1910-1965) sebagai tokoh perempuan yang banyak melibatkan dirinya dalam bidang politik. Keterlibatannya pada bidang politik tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitasnya memperjuangkan perempuan pada masa pergerakan. Cita-cita besarnya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan diwujudkannya pula dengan memimpin sekolah kursus untuk perempuan di kota Padang. Selanjutnya ia mendirikan perguruan putri dan memimpin Majalah Menara Putri di Medan.<br /><br />Pengalaman historis yang mendorong lahirnya tuntutan perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak ketika itu, baik yang dilakukan secara individual maupun organisasi, adalah keterbelakangan yang pada giliranya menempatkan perempuan sebagai kelompok sosial yang selalu tersubordinasi dalam wilayah publik. Penyebab keterbelakangan itu bermula dari konstruksi sosial budaya Minangkabau yang hingga awal abad kedua-puluh masih menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan berada satu tingkat di bawah kaum laki-laki. Di Kota Gadang, misalnya, sebagai daerah yang paling maju di Minangkabau ketika itu, kaum perempuan sesuai tradisi yang berlaku belum dibolehkan mendapat pendidikan formal. Padahal laki-laki jauh sebelumnya sudah dengan leluasa memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan.<br /><br />Selain pendidikan, perempuan Minangkabau juga belum memiliki hak yang sama dalam bidang politik. Hal ini terungkap dalam berbagai artikel yang dimuat oleh surat kabar yang terbit Hindia Belanda pada awal abad kedua-puluh, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Salah satunya adalah Majalah Isteri Indonesia yang memuat artikel yang ditulis oleh Djoes’a Burhan dengan judul “Dewan Minangkabau Menolak Kaum Ibu ?”. Artikel ini merefleksikan bahwa di Minangkabau yang menganut sistem matrilinial masih mengabaikan hak-hak perempuan. Tiga orang anggota Dewan Minangkabau, yakni S.M. Latief, Tjon Sin Soen dan Datoek Sakato, begitu kata Djoes’a Burhan, menolak kehadiran tokoh perempuan dalam dewan tersebut.<br /><br />Penguasa kolonial Belanda berusaha pula melanggengkan situasi sosial yang mengabaikan peran perempuan. Kecendrungan ini tercermin dari sikap mereka yang tidak memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan Bumi Putera untuk memperoleh pendidikan. Munculnya Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan oleh Rahma el-Yunusiyah pada tahun 1923 merupakan kritik dan perlawanan terhadap situasi yang ada. Melalui Sekolah Diniyah Putri, Rahma el-Yunusiyah mulai membangun tradisi baru pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Nusantara.<br /><br />Bagian pertama abad ke-20 merupakan masa penting bagi perempuan Minangkabau untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan jalan melibatkan diri dalam wilayah yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pendidikan, ekonomi dan politik. Untuk memperjuangkan hak-haknya, perempuan Minangkabau mulai menggunakan media massa, baik media yang didirikan oleh atau untuk kaum perempuan maupun media yang khusus menyediakan rubrik bagi perempuan. Media massa perempuan pertama adalah Soenting Melayoe yang didirikan oleh Datuek Maharadja di kota Padang pada tahun 1911 atas usulan Rohana Kudus yang langsung menjabat pimpinan redaksi. Pada tahun 1919 terbit pula Koran Soeara Perempoean di Kota Padang yang dipimpinan oleh Mei Saadah. Kemudian pada tahun 1925 muncul lagi di tempat yang sama koran perempuan yang bernama Asjraq.<br /><br />Selain surat kabar dan majalah perempuan, muncul pula surat kabar yang menyediakan secara khusus rubrik bagi kaum perempuan di Minangkabau pada awal abad ke dua puluh. Salah satunya adalah Surat Kabar Semangat Pemoeda yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Islamic College (PIC) di kota Padang pada tahun 1932. Edisi pertama Surat Kabar Semangat Pemoeda terbit pada tanggal 15 Maret 1932 di Alang Lawas, Padang dan berikutnya secara berkala diterbitkan satu kali setiap bulan. Surat kabar ini memiliki rubrikasi yang menarik dan mampu memikat hati para pembacanya, seperti tajuk/editorial, halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri, kronik, aneka warna dan kaca perbandingan. Rubrik “Soeara Poetri” disediakan secara khusus untuk para penulis perempuan agar mereka memiliki kesempatan menyampaikan gagasan dan pemikiran. Sejalan dengan ini, suatu pertanyaan menarik untuk dijawab adalah, isu-isu apa saja yang ditulis oleh perempuan Minangkabau dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda ?.<br /><br />B. Sekilas tentang Surat Kabar Semangat Pemoeda<br /><br />Perhimpunan Pelajar Islamic College sebagai pelopor lahirnya Surat Kabar Semangat Pemoeda sesuai konteks sekarang adalah organisasi mahasiswa. Islamic College yang mewadahi organisasi tersebut merupakan perguruan tinggi setingkat diploma tiga (D3) atau sarjana muda yang didirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) di kota Padang pada tahun 1931. Pendirian perguruan tinggi ini bertujuan untuk menyempurnakan pendidikan di Sumatera Barat yang dipandang oleh tokoh-tokoh Permi ketika itu belum lagi memadai. Pelajaran yang diperoleh di sekolah-sekolah, seperti Sumatera Thawalib dan Diniyah belum lagi mencukupi dan perlu ditambah dengan cara menyediakan institusi pendidikan yang lebih tinggi.<br /><br />Perguruan Tinggi Islamic College dibuka oleh Pengurus Besar Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) pada tanggal 1 Mei 1931. Sejalan dengan pembukaan perguruan tinggi tersebut, mahasiswa yang sudah mendaftarkan diri langsung mengikuti proses belajar-mengajar. Satu tahun belajar di Perguruan Tinggi Islamic College, para mahasiswa sudah menerbitkan pers pertama dalam bentuk surat kabar bulanan yang bernama Semangat Pemoeda, tepat tanggal 15 Maret 1932. Sejak edisi pertama hingga ketiga, redaksi dipimpin oleh Habladin, seorang pelajar yang berasal dari Maninjau. Pada masa berikutnya, redaksi Surat Kabar Semangat Pemoeda dipimpin oleh Riva’i Ali dan M. Dien Yatim.<br /><br />Sejak penerbitan pertama, Surat Kabar Semangat Pemoeda mendapat apresiasi dan respon yang luas dari berbagai lapisan masyarakat Sumatera Barat. Para pembacanya tersebar di beberapa daerah, seperti Pariaman, Padang Panjang, Maninjau dan Bukittinggi. Surat Kabar Semangat Pemoeda juga memiliki para pembaca dari daerah lain di pulau sumatera, seperti Bengkulu, Tanjung Enim, Palembang, Medan dan Banda Aceh. Selanjutnya, surat kabar ini juga sudah dibaca oleh masyarakat di pulau Jawa. Beberapa tulisan yang masuk ke meja redaksi dan daftar iklan untuk masing-masing penerbitan merefleksikan bahwa Surat Kabar Semangat Pemoeda sudah dibaca oleh masyarakat Batavia, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Bahkan surat kabar ini juga memiliki pelanggan di Semenanjung Malaya. Untuk masa itu, perkembangan Surat Kabar Semangat Pemoeda sudah sangat luar biasa maju. Sebagai surat kabar yang hanya dikelola oleh para pelajar, Semangat Pemoeda bukan lagi sebagai pers yang bersifat lokal, melainkan sudah bersifat nasional.<br /><br />Salah satu yang menarik para pembaca Surat Kabar Semangat Pemoeda adalah kemasan dan penyediaan rubriknya yang sesuai dengan semangat zaman pergerakan. Halaman editorial, misalnya, sengaja diisi dengan tulisan-tulisan di seputar masalah politik dan pergerakan, seperti sejarah perjuangan pergerakan di Indonesia, cita-cita kebangsaan dan Islamisme, pemuda dan politik, serta pemuda dan rasa persatuan. Penyediaan rubrik dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda juga mampu menarik perhatian para pembaca. Rubrikasi tersebut adalah halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri, kronik, aneka warna dan kaca perbandingan.<br /><br />Halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri dan kaca perbandingan merupakan rubrik yang selalu disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda pada setiap penerbitan. Pada rubrik halaman sejarah dimuat tulisan tentang tokoh-tokoh besar dunia yang berpengaruh dalam kehidupan bangsa mereka masing-masing. Tokoh Indonesia yang diangkat pada halaman tersebut adalah Rangga Warsita dan Raden Ajeng Kartini. Rangga Warsita ialah seorang pujangga, intelektual dan pengarang besar Indonesia yang muncul pada permulaan abad kesembilan belas di daerah Solo.<br /><br />Sementara, RA. Kartini ialah pejuang perempuan Indonesia yang menentang tradisi Jawa yang dalam pandangannya ketika itu sangat membelenggu hak-hak perempuan. Tokoh besar negara lain yang dimuat adalah Dr. Rabindranath Tagore (pujangga, intelektual dan juru pendidik India), Thomas Garique Masaryk (pejuang kemerdekaan Cekoslowakia), Mahandas Karamchan Gandi (tokoh India), Sri Mati Saojini Naidoe (srikandi dan penyair India), George Washington (pejuang kemerdekaan Amerika) dan Dr. Sun Yat Sen (pejuang Tiongkok). Berikutnya rubrik sambil lalu menyajikan masalah-masalah psikologi dengan tema yang disesuaikan dengan kebutuhan para pembaca, seperti dasar kemajuan diri, cita-cita dan cinta, dan lain sebagainya. Rubrik pemandangan luar negeri juga memiliki topik yang menarik dan variatif, seperti badai politik di lautan pasifik, percaturan dunia, aliran politik di dunia, revolusi di Siam perputaran politik, krisis dan peredaran politik dunia, serta dunia Islam.<br /><br />Secara umum rubrikasi yang ditampilkan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda mampu memikat hati para pembaca. Sayangnya, karena keterbatasan dana, penerbitan surat kabar tersebut hanya bertahan hingga penerbitan yang kesepuluh, tanggal 15 Desember 1932. Meskipun umur hanya setahun jagung, kehadirannya tetap penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bagi kaum perempuan, Surat Kabar Semangat Pemoeda merupakan media untuk memperjuangkan hak-hak mereka. <br /><br /><br />C. Diskursus Perjuangan Kaum Perempuan dalam Semangat Pemoeda<br /><br /><br />Suara Putri merupakan rubrik khusus perempuan yang disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda. Perempuan yang biasa memanfaatkan rubrik ini sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka ialah Daniar Zainoeddin, Rohana Kudus dan Noeraini. Dahniar Zainoeddin melalui artikel pertama yang dimuat pada edisi ketiga Surat Kabar Semangat Pemoeda dengan judul “Aroes Pergerakan dan Dimanakah Poetri Islam ?” mengangkat isu perjuangan kaum perempuan tentang pendidikan yang pada awal abad kedua puluh jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum lelaki. Padahal pendidikan, begitu kata Dahniar, sangat penting bagi kaum perempuan agar mereka memiliki pengetahuan yang mampu mendatangkan keselamatan dan kemajuan bangsa.<br /><br />Pengetahuan juga penting bagi perempuan, sekalipun mereka hanya memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga. Pengetahuan yang cukup dan pendidikan yang baik dapat mengalir dari seorang perempuan ke dalam dada anak-anaknya, sehingga mereka memiliki kecakapan dan keberanian untuk memperjuangkan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Sejalan dengan pandangan ini, perempuan tegas Dahniar Zainoeddin merupakan guru yang paling utama dalam menciptakan keselamatan generasi muda. Justru itu pendidikan perempuan ketika itu patut menjadi perhatian dan renungan berbagai pihak di Indonesia.<br /><br />Pada tulisannya yang lain dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda yang berjudul “Perempoean dan Pergerakan”, Dahniar Zainoeddin menyinggung kembali masalah pendidikan perempuan yang jauh tertinggal dibanding dengan kaum laki-laki. Selain itu ia juga mengangkat wacana tentang keterlibatan perempuan dalam pergerakan nasional. Perempuan Minangkabau menurut Dahniar jauh tertinggal dengan perempuan di pulau Jawa yang dalam banyak hal sudah berjuang untuk merebut hak-hak mereka dengan cara mengadakan protes, terlibat dalam berbagai perkumpulan dan ikut-serta bersama laki-laki memikirkan penderitaan rakyat, bangsa dan tanah air.<br /><br />Untuk mendorong perempuan Minangkabau melakukan hal sama, seperti perempuan di pulau Jawa, Dahniar Zainoeddin mengukap dalam tulisannya pengalaman historis pada masayarakat Arab Jahiliyah, di mana perempuan ketika itu berada dalam kondisi tertindas. Kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa penerang bagi perempuan untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka sehingga muncul putrid-putri Islam, seperti Siti Khadijah dan Aisyah yang ikut bersama nabi dalam wilayah pergerakan untuk memperjuangkan Islam. Jauh setelah masa nabi, muncul pula perempuan muslimah, Chalida Edib Chonum, pada masa pergerakan di Turki yang sangat membuat kagum perempuan di benua Eropa. Ia adalah perempuan hebat yang menghalau pasukan Yunani dari Turki dan pernah pula menjabat sebagai menteri pendidikan.<br /><br />Dahniar Zainoeddin juga menguak kondisi perempuan Minangkabau sebelum abad kedua-puluh, terutama di bidang pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan perempuan negara lain yang masih berada dalam masa kegelapan. Konstrusi sosial di Minangkabau yang dibangun oleh kaum laki-laki hingga awal abad kedua-puluh senantiasa mengibiri hak-hak perempuan. Di mana-mana seorang bapak memandang bahwa anak perempuan tidak perlu di sekolah untuk memperoleh pengetahuan secukupnya. Setinggi-tinggi melanting, perempuan itu jatuh ke dapur juga. Padahal perempuan tegas Dahniar merupakan pendidik yang paling utama bagi segenap anak-anaknya di kemudian hari. Selain itu perempuan memiliki peran sebagai seorang yang beragama, berbangsa dan bertanah air. Sebagai seorang yang beragama, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam membayar semua kewajiban. Sementara, sebagai seorang yang berbangsa dan bertanah air, perempuan juga memiliki peran dan tanggung jawab bagi keselamatan dan kemajuan bangsa dan tanah airnya. Sebagai respon terhadap artikel Dahniar Zainoeddin, muncul pula tulisan dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda dengan judul “Hak-hak Kaoem Perempoean” yang ditulis oleh Rohana Kudus. Di dalamnya Rohana menunjukkan keprihatinannya terhadap nasib perempuan Indonesia pada masa lalu yang masih memiliki pengaruh hingga abad kedua-puluh. Malu rasanya kata Rohana Kudus jika kita membicarakan kemunduran perempuan Indonesia, terutama perempuan Minangkabau pada abad kedua puluh karena di sekeliling kita orang sudah berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan.<br /><br />Kemunduran perempuan Indonesia bermula pada pengalaman masa lalu, yaitu ketika dunia mengekang kaum perempuan dan menghinakan mereka dengan serendah-rendahnya. Memasuki abad kedua puluh, meskipun ibarat mencuci muka pada saat matahari sudah tinggi, perempuan Indonesia sudah mulai bergerak menuntut hak-hak mereka bagi kemajuan bangsa. Banyak pula perempuan yang sudah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Hasilnya perempuan mulai memiliki peran di berbagai wilayah publik, seperti pekerja kantor, jurnalis, guru dan pemimpin politik.<br /><br />Keterlibatan perempuan di berbagai sektor publik memang merupakan bagian dari diskursus yang diangkat oleh Rohana Kudus dalam tulisannya pada Surat Kabar Semangat Pemoeda. Pada sisi lain, ia memperingatkan kaum perempuan dengan idiom yang dikutip dari Dahniar Zainoeddin, yaitu perempuan tetaplah perempuan. Sesuai adat ketimuran, perjuangan perempuan di berbagai sektor publik itu jangan melupakan hakikat keperempuannya dan tradisi selama tidak bertentangan dengan kemajuan. <br /><br />Selain Dahniar dan Rohana Kudus, penulis perempuan yang dimuat artikelnya dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda ialah Noeraini dengan judul “Perempoean Bergerak”. Pada awal tulisannya Noeraini menyoroti lemahnya pergerakan perempuan di Indonesia, meskipun mereka yang sudah terjun ke dunia politik. Peran perempuan di bidang politik itu hanya berfungsi sebagai penguat peran yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki. Penyebab lemahnya pergerakan perempuan di Indonesia berasal dari dalam diri mereka sendiri, yaitu perasaan minder (rendah diri) jika berhadapan dengan kaum laki-laki. Justru itu perasaan tersebut mesti dibuang oleh kaum perempuan, sehingga lahir perbinca-ngan yang lebih adil sekalipun berhadapan kaum laki-laki.<br /><br />Perasaan rendah diri kaum perempuan menurut Noeraini disebabkan oleh kesalahan kaum perempuan dalam memahami sexs diferences antara laki-laki dan perempuan. Persoalan mengandung, melahirkan dan menyusui anak, misalnya, membuat perempuan merasa lemah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan pada akhirnya mengakui bahwa sudah suratan takdir mereka terlahir ke dunia sebagai makhluk yang lemah. Pengakuan perempuan itu dimanfaatkan oleh laki-laki dan dengan nafsu serakah mereka mendominasi berbagai sektor publik,seperti pergerakan politik. Semboyan yang menyatakan bahwa peran perempuan berkisar pada dapur, sumur dan kasur tidak lagi compatible dengan semangat zaman abad kedua-puluh. Ketika dapur sulit berasap, perempuan harus berjuang melawan kemiskinan dan kemalaratan. <br /><br /> <br />D. Penutup<br /><br />Bagian pertama abad ke-20 merupakan masa penting bagi perempuan Minangkabau untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan jalan melibatkan diri dalam wilayah yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pendidikan, ekonomi dan politik. Untuk memperjuangkan hak-haknya, perempuan Minangkabau mulai menggunakan media massa, baik media yang didirikan oleh atau untuk kaum perempuan maupun media yang khusus menyediakan rubrik bagi perempuan. Media massa perempuan pertama adalah Soenting Melayoe yang didirikan oleh Datuek Maharadja di kota Padang pada tahun 1911 atas usulan Rohana Kudus yang langsung menjabat pimpinan redaksi. Pada tahun 1919 terbit pula koran Soeara Perempoean di Kota Padang yang dipimpinan oleh Mei Saadah. Kemudian pada tahun 1925 muncul lagi di tempat yang sama koran perempuan yang bernama Asjraq.<br /><br />Selain surat kabar dan majalah perempuan, muncul pula surat kabar yang menyediakan secara khusus rubrik bagi kaum perempuan di Minangkabau pada awal abad ke dua puluh. Salah satunya adalah Surat kabar Semangat Pemoeda yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Islamic College (PIC) di kota Padang pada tahun 1932. Perempuan yang biasa memanfaatkan surat kabar tersebut sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka ialah Daniar Zainoeddin, Rohana Kudus dan Noeraini. Diskursus yang mereka perjuangkan berkisar pada peran perempuan di sektor domestik dan publik. Khusus perjuangan di sektor publik, diskursus peran perempuan di bidang pendidikan dan politik sangat mendominasi tulisan masing-masingnya. <br /><br /> <br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />Abdullah, Taufik, (1990), Schools and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, terjemahan Lindayanti dan Gutur, Universitas Andalas, Padang.<br /><br />Ajisaka, Arya , (2004), Mengenal Pahlawan Indonesia, Kawan Pustaka, Jakarta.<br /><br />Djaya, Tamar, (1980), Rohana Kudus Srikandi Indonesia, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Mutiara, Jakarta.<br /><br />Etek, Azizah dkk, (2007), Kota Gadang Masa Kolonial, LkiS, Yogyakarta. <br /><br />Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Umminda, Jakarta.<br /><br />Husein, Ahmad dkk, (1991), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950, Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau BPSIM, Jakarta.<br /><br />Martamin, Mardjani dkk, (1977/1978), Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah Sumatera Barat 1900-1942, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sumatera Barat, Padang.<br />Navis, Anas, (1986), Katalog Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang, Padang.<br />Noer, Deliar, (1980), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,LP3ES, Jakarta.<br /><br />Sumartana, Th. (1993), Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.<br /><br />Wieringa, Saskia E., (2010), Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Galangpress, Yaogyakarta.<br /><br />Woodward, Mark R., (2008), Jalan Baru Islam, Mizan, Bandung.<br /><br />Majalah Isteri Indonesia No. 5 tahun 1941<br /><br />Majalah Raya, Edisi I, Tahun I, November 1933<br /><br />Majalah Raya, Edisi II, Tahun I, Desember 1933<br /><br />Medan Ra’yat, No. 9, I Juni 1931<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-2, 15 April 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-3, 15 Mei 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-4, 15 Juni 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-5, 15 Juli 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-6, 15 Agustus 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-7, 15 September 1932<br /><br />Semangat Pemoeda, edisi ke-8, 15 Oktober 1932<br /><br />Soenting Melayoe, 27 Juli 1912<br /><br /> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-5065729904274294672012-02-11T22:38:00.000-08:002012-02-11T22:44:09.515-08:00Dimensi Keislaman Perjuangan Syafruddin PrawiranegaraOleh : Prof. Dr. H. Saifullah SA., MA (Dosen FIBA IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtS04PXisyLp-SyXdT6A2BW8UksDwfsDsjWdmnQw3pK4I6t4P1JkFOm0rbWolPuza-YY1go9yJxNH9XCPjDmvCZdlpyuPgTlTemO2jJNV7AIB_PY4t5j8tpaXBxEe6LChqxmSG0fsZ8iOs/s1600/index.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 63px; height: 77px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtS04PXisyLp-SyXdT6A2BW8UksDwfsDsjWdmnQw3pK4I6t4P1JkFOm0rbWolPuza-YY1go9yJxNH9XCPjDmvCZdlpyuPgTlTemO2jJNV7AIB_PY4t5j8tpaXBxEe6LChqxmSG0fsZ8iOs/s200/index.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5708136255685455890" border="0" /></a>Syafruddin Prawiranegara (selanjutnya hanya disebut Syafruddin saja), dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 di Anyar Kidul, Serang, Banten. Beliau anak kedua dari pasangan Raden Arsyad Prawiraatmadja dan Nur’aini, yang masih keturunan Pagaruyung, Minangkabau. Banten yang merupakan daerah kelahiran Syafruddin merupakan wilayah yang terkenal karena keislamannya. Sebelum ditaklukkan Belanda, Banten merupakan kesultanan yang dipimpin oleh Sultan-sultan, yang berposisi sebagai pimpinan politik sekaligus pembela dan penegak keagamaan. Selanjutnya Minangkabau, sebagai daerah asal ibunya memiliki kultur yang terbuka, egaliter namun kuat dalam memegang prinsip. Gabungan dua kultur dari dua wilayah budaya tersebut antara lain yang menjadikan Syafruddin memiliki watak yang populis, demokratis dan kuat dalam bersikap. Semasa kecil, kehidupan keluarga yang merupakan keluarga yang taat pada agama, ternyata sangat kuat dalam membentuk kepribadian dan sikapnya dalam beragama<br /></div><br /><span class="fullpost"><br />A. Biografi Kejuangan<br /><br />Pendidikan formalnya berawal di ELS Serang, tetapi menamatkannya di Ngawi, karena ayahnya dipindahkan ke Ngawi. Kemudian berturut-turut MULO di Madiun dan AMS di Bandung (1931). Sebenarnya Syafruddin ingin masuk Fakultas Sastera, tapi karena waktu itu belum ada di Indonesia dan harus ke Negeri Belanda, akhirnya beliau melanjutkan pendidikannya ke RHS (Rechts High School/ Sekolah Tinggi Hukum), dan tamat 1939 .<br />Ketika menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam organisasi USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis), yang merupakan awal pengenalannya dengan dunia social politik. Pada masa remaja ini Sjafruddin kecanduan membaca. Buku apa saja, mulai dari buku sastera, politik, social kemasyarakatan dan masalah keislaman, bahkan buku-buku Komunis seperti Das Kapital dan manifesto Komunis karangan Karl Marx dilahap habis.<br /><br />Setelah mendapatkan gelar Mr, kariernya bermula dari penyiar dan redaktur penerbit siaran radio swasta, pegawai Departemen Keuangan dan ditempatkan di Kantor Pajak Kediri. Pada masa pendudukan Jepang beliau diangkat menjadi Kepala Kantor Pajak Kediri, kemudian dipindahkan menjadi Kepala Kantor Pajak Bandung.<br /><br />Sewaktu bekerja di Kediri ini Sjafruddin melangsungkan pernikahan dengan Tengku Halimah yang sehari-hari dipanggil dengan Lily, anak dari Radja Sahaboeddin dan Siti Lodaya, pada tanggal 31 Janauari 1941. Radja Sahaboeddin ini ternyata juga berasal dari Minangkabau, dan bahkan masih ada hubungan jauh dengan ibu kandungnya Nur’aini.<br /><br />Menyaksikan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang, membawa Syafruddin sering berdiskusi dengan teman-teman bekas aktifis USI, yang belakangan banyak membantu St. Syahrir dalam gerakan bawah tanah menentang Jepang . Kondisi dan berbagai peristiwa di awal Agustus 1945 yang bergerak begitu cepat, mendekatkan St. Syahrir dan Syafruddin kedalam satu garis perjuangan, sekalipun akhirnya berbeda partai.<br />Setelah Republik Indonesia berdiri, dan dibentuk KNIP dan KNI di daerah-daerah, maka Syafruddin diangkat menjadi Sekretaris KNI daerah Kresidenan Priangan. Pada ketika St. Syahrir diangkat menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP, maka Syafruddin diminta menjadi salah seorang dari 15 orang anggota Badan pekerja KNIP dan selanjutnya Syafruddin pindah ke Jakarta .<br /><br />Segera setelah Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3 Nopember 1945, tentang perubahan pemerintahan dari presidential menjadi parlementer dan pemerintah menghimbau agar dibentuk partai-partai, maka Sayfruddin masuk Partai Masyumi.<br /><br />Ada beberapa alasan Syafruddin memilih masuk Masyumi. Beliau datang dari lingkungan keluarga priyayi Banten yang taat dalam beragama. Ayah beliau Raden Arsyad pernah aktif dalam Sarekat Islam cabang Serang, dan setelah pindah ke Ngawi, terrpilih menjadi anggota Provinciale Raad (Dewan Propinsi) Jawa Timur. Jadi kedekatannya dengan Islam sudah ada sejak lama, dan kemudian bermuara pada pilihannya pada partai Masyumi .<br /><br />Namun begitu, ternyata hubungan baiknya dengan St. Syahrir tidak terganggu dengan perbedaan aliran politik yang dianut. Pada waktu St. Syahrir membentuk Kabinet, Syafruddin diminta menyertai Kabinet, sehingga pada waktu Kabinet Syahrir II, Syafruddin menjadi Menteri Muda Keuangan, dan pada waktu Kabinet Syahrir III, Syafruddin menjadi Menteri Keuangan. Adalah pada waktu Syafruddin menjadi Menteri Keuangan, ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) lahir untuk pertama kali.<br /><br />Pada periode Kabinet Hatta, Syafruddin masuk menjadi Menteri Kemakmuran. Pada masa ini berlakulah aksi polisionel Belanda yang kedua dengan menduduki Yogyakarta dan menangkap para pemimpin Indonesia, termasuk Sukarno, Hatta dan beberapa orang menteri lainnya.<br /><br />Pada waktu itu Syafruddin sedang ditugaskan oleh Wapres Bung Hatta di Bukittinggi untuk menyelesaikan masalah keuangan Sumatera . Sebenarnya, sebelum ditangkap Presiden dan Wakil Presiden sempat mengirim telegram kepada Syafruddin yang memberi kuasa untuk membentuk pemerintahan darurat. Meskipun ternyata telegram itu tidak pernah sampai pada Syafruddin, namun Syafruddin dengan inayah Allah dan initiative sendiri membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember 1948 .<br /><br />Dari hutan-hutan di Sumatera, beliau melakukan hubungan dengan para pemimpin militer seperti Jenderal Sudirman, Kolonel TB. Simatupang, Kolonel A.H. Nasution di Jawa dan dengan para pejabat lain di Luar Negeri, seperti Mr.A.A. Maramis di New Delhi. Melalui hubungan radio pemerintahan darurat pimpinan Syafruddin berjalan dengan efektif, menyampaikan informasi dan instruksi, menerima berita dan masukan, sehingga tidak terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan dalam tubuh Republik Indonesia.<br /><br />Mengenai hal tersebut Amrin Imran dkk dalam buku PDRI dalam Perang dan Damai, menyatakan :<br /><br />“Yogyakarta jatuh. Akan tetapi nadi Republik tetap berdenyut. Pusat nadi itu pindah ke pedalaman Sumatera Barat dalam wujud PDRI dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Dari sana denyut itu menjalar ke seluruh wilayah RI bahkan ke perwakilan RI di luar negeri, termasuk perwakilan RI di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), L.N. Palar. Denyut itu juga menggetarkan tubuh Angkatan Perang di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang melalui radiogram menyatakan mendukung dan berdiri di belakang PDRI pimpinan Sjafruddin Prawiranegara”<br /><br />Akhirnya, karena desakan dunia internasional, Belanda terpaksa mengajak berunding dengan para pemimpin Indonesia yang sedang ditahan di Pulau Bangka. Setelah beberapa perundingan, antaranya Perundingan Roem-Royen membawa kedua bangsa yang berperang itu ke meja perundingan KMB di Den Haag yang berakhir dengan penyerahan kedaulatan kepada Pemerintahan Republik Indonesia (RIS) pada akhir Desember 1949. Namun sebelum KMB dilangsungkan agar tidak terjadi dualisme kekuasaan Syafruddin menyerahkan kembali mandat pembentukan PDRI kepada Presiden Sukarno.<br /><br />Dalam kabinet pertama RIS, yang dipimpin oleh Hatta, Syafruddin ditunjuk sebagai Menteri Keuangan. Pada bulan Maret 1950, dalam posisinya sebagai Menteri Keuangan, Syafruddin melakukan suatu tindakan yang kemudian terkenal dengan “Gunting Syafruddin”, yaitu suatu kebijakan yang memotong menjadi dua uang kertas Rp 5 ke atas, untuk mengurangi inflasi dan mengisi kekosongan kas pemerintah .<br />Pada Agustus 1950, dengan didahului oleh “Mosi Intergral M. Natsir”, maka berakhirlah pemerintahan Negara federal (RIS) berubah menjadi pemerintahan Negara kesatuan (NKRI), dan pemerintah berubah dari sistem parlementer menjadi presidential. Presiden Sukarno menunjuk M.Natsir membentuk kabinet yang juga memasukkan Syafruddin sebagai Menteri Keuangan. Kemudian pada waktu pemerintahan Sukiman, Syafruddin diminta menjadi Presiden De Javasche Bank yang terakhir sebelum dilikuidasi dan sebagai gantinya dibentuk Bank Indonesia dengan Syafruddin pula sebagai Gubernurnya yang pertama. Dengan demikian maka Syafruddin menjadi Presiden De Javasche Bank yang terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama. Bahkan kelak jabatan Syafruddin diperpanjang untuk masa bakti yang kedua .<br /><br />Tapi masa jabatan Syafruddin yang kedua ternyata tidak sampai selesai, karena yang bersangkutan tergerak hatinya untuk mendukung aspirasi daerah yang diprakarsai oleh beberapa orang perwira militer di Sumatera, yang merasa ditinggalkan atau dianak tirikan oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Terdapat beberapa alasan yang membawa Syafruddin untuk bersedia mendengarkan dan mendukung aspirasi daerah waktu itu : Presiden dengan “Konsepsi Presiden”-nya (21 Februari 1957) telah menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur cabinet, presiden mengajak PKI masuk kabinet Gotong Royong, pemerintahan pusat mengabaikan pembangunan wilayah dan kesejahteraan rakyat daerah.<br /><br />Syafruddin yang akhirnya menyertai PRRI, berusaha mendesak Sukarno supaya surut dari langkah-langkahnya yang menyeleweng dari Konstitusi, ternyata mendapat reaksi keras, yakni menganggap PRRI sebagai pemberontakan yang harus ditumpas habis . Setelah berakhirnya PRRI pada 1961, dan pemberian amnesty umum bagi sisa-sisa PRRI, justru beberapa tokoh – baik yang terlibat PRRI maupun yang tetap ada di Jakarta tapi tidak menyalahkan PRRI -- dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain : Syafruddin, Natsir, St. Syahrir, Mohammad Roem, E.Z. Muttaqien, HAMKA dan lain-lain. Seluruhnya baru dibebaskan setelah munculnya Orde baru (1966).<br /><br />Selama dalam tahanan, Syafruddin aktif memberikan khutbah. Sebahagian dari khutbahnya itu kemudian diterbitkan berjudul Renungan dari Penjara. Ketika ada upaya dari kawan-kawannya bekas pimpinan Masyumi untuk merehabilitasi Masyumi gagal dan akhirnya membentuk partai baru Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) Syafruddin tidak mau ikut, tapi mencoba mencari saluran lain dengan membentuk Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (HUSAMI) yang antara lain bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi umat pada umumnya dan penguasaha Muslim khususnya. Usaha-usaha yang cukup berhasil adalah memberangkatkan jemaah haji Indonesia secara lebih efisien dan murah, namun sayang usaha mulia ini dilarang oleh pemerintah. Mungkin pemerintah tidak siap untuk melepaskan monopoli pengurusan haji (yang menghasilkan financial) dan bersaing secara fair.<br />Ketika sejumlah mubaligh Indonesia membentuk organisasi Korps Muballigh Indonesia (KMI) di Jakarta pada 1983, mereka mendesak agar Syafruddin bersedia untuk menjadi Ketua Umum organisasi tersebut. Pada mulanya Syafruddin tidak bersedia, tapi akhirnya karena panggilan hati nurani dan mengingat berbagai masalah yang menyangkut dakwah di tanah air, Syafruddin bersedia menjadi Ketua Umum dengan beberapa catatan, a.l. dakwah harus dengan mematuhi peraturan yang ada, tidak boleh dengan kekerasan dan menyebabkan rakyat gelisah dst. Begitupun, Syafruddin yang cukup toleran itu sering tidak diizinkan memberikan ceramah atau khutbah di beberapa tempat.<br /><br />Sjafruddin tidak keberatan untuk menyatakan “ya” untuk hal yang memang seyogianya harus didukung, tetapi lebih tidak keberatan lagi untuk menyebut” tidak” untuk hal yang memang harus ditolak. Berpegang pada prinsip itulah, pada usianya yang ke-69, Sjafruddin bersama 49 orang tokoh lainnya menandatangani Pernyataan Keprihatinan yang kemudian popular dengan “Petisi 50”.<br /><br />Pernyataan Keprihatinan itu antara lain berisi : “Kekecewaan rakyat yang sedalam-dalamnya atas ucapan-ucapan Presiden Soeharto dalam pidatonya di muka Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan Pidato HUT Kopassus di Cijantung 16 April 1980”.<br />Pandangan kritis itu terutama sebagai upaya penyadaran terhadap kehidupan berkonstitusi, khususnya mengenai penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.<br /><br />Ketika terjadi insiden berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984, Sjafruddin sekali lagi menunjukkan keperdulian beresiko dengan membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Letjen TNI (Pur) H.R. Dharsono, dengan anggota Sjafruddin Prawiranegara, Slamet Bratanata, Anwar Harjono dan A.M. Fatwa, untuk mengumpulkan bahan secara mendalam disekitar insiden berdarah Tanjung Priok. Hasil kerja Panitia Kecil ini adalah “Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok” , yang ditandatangani oleh 22 orang tokoh. Seperti kita tahu, tiga orang tokoh Panitia Kecil/Penandatangan Lembaran Putih Tanjung Priok, yakni HR. Dharsono, HM. Sanusi dan AM. Fatwa ditangkap, diadili dan dihukum penjara masing-masing 8, 19 dan 18 tahun. Adalah datangnya era reformasi, yang menyebabkan ketiganya dibebaskan dari hukuman dan dipulihkan hak-haknya oleh Presiden B.J. Habibi.<br /><br /><br />B. Menyimak Dimensi Keislaman dari Buku/karangan/tulisan Syafruddin<br /><br />Terdapat setidak-tidaknya 86 buah tulisan/karangan Syafruddin yang dapat didokumentasikan mulai sejak tahun 1946 s/d 1985, dalam berbagai bidang, untuk berbagai keperluan . Beberapa tulisan tersebut ada yang berbentuk buku, makalah, hasil editing bahan ceramah. Umumnya tulisan beliau berupa ceramah atau khutbah (lebaran dan Jum’at), karena memang banyak yang ditulis untuk memenuhi permintaan ceramah. Dengan memperhatikan 86 tulisan tersebut, terdapat perimbangan antara : Ekonomi/Keuangan Syari’ah, masalah khusus keagamaan dan politik.<br /><br />Walaupun tidak mungkin untuk memilah tulisan-tulisannya, mana yang berdimensi keislaman dan mana yang tidak, sebab ternyata hampir seluruh karangan beliau sebenarnya berdimensi keislaman. Namun untuk memudahkan penganalisaan, kami mengarahkan pembahasan hanya pada buku Islam Sebagai Pedoman Hidup, yang merupakan kumpulan karangan terpilih jilid I, yang disunting oleh Ajip Rosidi dan diterbitkan oleh Yayasan Idayu, Jakarta, 1986. Adapun judul-judul yang terdapat dalam kumpulan karangan tersebut :<br /><br />1. Islam dalam Pergolakan Dunia,<br />2. Akal dan Kepercayaan.<br />3. Israk dan Mi’raj Ditinjau dari Sudut Watenschap,<br />4. Membangun Islam secara positif,<br />5. Peranan Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia.<br />6. Israk dan Mi’raj Ditinjau dari sudut Falsafah, Psikologi dan Ilmu Alam.<br />7. Al-Qur’an Bukti Kebenaran Nabi Muhammad SAW.<br />8. Masa Depan Islam.<br />9. Islam Dilihat dengan Kacamata Modern.<br />10. Sejarah Sebagai Pedoman untuk Membangun Masa Depan.<br />11. Peranan Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan.<br />12. Memetik Pelajaran dari Iqbal.<br /><br />Karena kebanyakan tulisan tersebut merupakan jawaban dari berbagai masalah aktual yang muncul, dan karena beliau merupakan sosok yang tidak suka menyembunyikan pendiriannya, kalau itu memang diyakininya sebagai benar, maka didalam tulisan Syafruddin kita sering menemukan semacam imbauan atau peringatan yang tidak semua orang mampu dan mau melakukannya, dan tidak semua orang pula mau dan mampu mendengarkannya.<br /><br />Dalam tulisan-tulisan beliau, semua masalah dikemukakan dengan spektrum luas dan mendalam. Pandangan-pandangan beliau disampaikan secara filosofis, bernuansa sejarah dan tidak emosional, sekalipun pada lawan-lawan politiknya.<br />Karangan-karangan Syafruddin memuat informasi tangan pertama tentang berbagai hal yang bersangkut-paut dengan kehidupan bangsa dan Negara kita, dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan penegakan demokrasi. Membaca kembali karangan-karangan Syafruddin berarti menghayati kembali sejarah bangsa dan Negara kita sejak awal kelahirannya, tetapi kemudian lenyap begitu saja tanpa penyelesaian yang tuntas.<br />Kalau diteliti isi dari karangan-karangan diatas, maka dapat ditarik benang merah antara satu dengan lainnya, yakni manusia tidak dapat mengatasi masalah kehidupan nya hanya semata dengan mengandalkan akal/rasio semata, tapi harus dilengkapi dengan “keimanan” yang teguh pada kuasa Allah. Dengan Keimanan penuh Abu Bakar percaya pada Israk Mi’raj, hal yang sama juga diamalkan Sjafruddin.<br /><br />Menurut Deliar Noer, pengalaman batin Sjafruddin yang sangat kuat tingkat keyakinannya, lumrah terjadi pada seorang yang dibesarkan dalam pendidikan barat, dan sangat minim pendidikan dan pengalaman keagamaannya. Penghayatan dan pengamalan keagamaan yang sedikit radikal itu merupakan cara untuk menjemput kekurangan dan ketertinggalannya.<br /><br /><br />C. Menyimak Dimensi Keislaman dari sepak-terjang Perjuangan<br /><br />Pengalaman demi pengalaman hidup yang dialami Sjafruddin secara beruntun sangat menyentuh hatinya dan nalarnya : kematian ayahnya secara tiba-tiba dalam tahun 1939 ketika sedang berpidato, kejatuhan Belanda yang juga secara tiba-tiba baik di Eropah atau di Indonesia, penderitaan rakyat yang tidak terperikan zaman pendudukan Jepang. Proklamasi yang terjadi dalam puasa Ramadan dan tidak mungkin terjadi kal;au tidak ada bantuan “kuasa yang diatas”. Kawan-kawannya sesama USI yang kemudian terkenal sebagai kelompok Sosialis namun memberi kesempatan baginya untuk berperan dalam politik, bermula sejak Badan Pekerja KNIP, kemudian dalam berbagai kabinet diantaranya yang dipimpin Syahrir, yang notabene tidak didukung partainya.<br /><br />Dalam setiap fase dalam kehidupannya, dari masa muda, mempunyai jabatan tinggi (malah pernah tertinggi dalam tahun 1948-1949), jabatan empuk seperti Presiden De Javasche Bank dan Gubernur Bank Indonesia, ia bagai tak berhenti membuat renungan. Ia malah dengan mudah serta rela meninggalkan jabatan-jabatannya bila keyakinannya memanggil.<br />Kita perlu menggaris bawahi kembali proses batin ketika ia memasuki partai Islam Masyumi. Ia berusaha mendasarkan sikap, tingkah laku dan pandangannya pada ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Ia melihat usahanya dalam mendirikan PDRI sebagai cermin dari imannya kepada Allah, bahkan usahanya dalam menegakkan PRRI menentang rezim Orde Lama juga sebagai impressi keislamannya.<br /><br />Dalam renungan yang ia tulis dalam buku Politik dan Revolusi kita, Sjafruddin secara sangat jelas menarik garis pemisah yang amat tegas antara Islam dan Komunis, dan menutupnya dengan kalimat “seorang yang mengaku Muslim seharusnya tidak menjadi anggota ataupun pengikut PKI”.<br />Bagaimana seorang Sjafruddin mengkolaborasikan pendekatan ilmiah dengan pendekatan imani, kelihatan dalam membahas system ekonomi yang paling sesuai dengan kebutuhan manusia secara personal dan komunal. Maka diujung pencahariannya muncul system ekonomi Islam yang merupakan gabungan pendekatan akademik dan pendekatan falsafah serta sejarah kehidupan manusia.<br /><br />Yang agak controversial dari pandangan Sjafruddin tentang riba, adalah bahwa bunga bank yang diamalkan pada perbankan Indonesia bukanlah termasuk riba, karena bunganya disepakati kedua belah pihak (tidak sepihak), dan para pihak dapat mengelak dari transaksi tersebut (tidak terpaksa).<br /><br />Bagi Sjafruddin tidak cukup hanya berislam dalam bentuk konsep, gagasan dan alam batin semata, tapi perlu diimplementasikan dalam bentuk konkrit dan nyata. Pendirian disampaikan dalam berbagai ceramah, diskusi dan khutbah-khutbah, tapi juga dijabarkan dalam bentuk berbagai usaha, seperti mendirikan Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI) dan Yayasan Dana Tabungan Haji dan Pembangunan (YDTHP) yang membantu Umat Islam dapat menunaikan ibadah haji secara mudah dan murah . Menurut perhitungan Sjafruddin, kebijakan pemerintah tahun 1969, yang memonopoli penyelenggaraan haji dengan harga yang mahal, termasuk kategori etatisme, yang tidak sejalan dengan falsafah Negara. Seharusnya penyelenggaraan haji dapat dilakukan oleh swasta, dan pemerintah bertugas mengawasi para penyelenggara swasta tersebut.<br /><br />Keikut sertaanya dalam Petisi 50, atau Penyusun Lembaran Putih Tanjung Priok yang sudah dapat dipastikan mempunyai resiko sangat buruk baginya yang belum pulih dari status “pemberontakan” PRRI, adalah juga merupakan bagian dari implementasi “Katakanlah yang haq walaupun pahit”, ia merasa bersalah bila ia tidak bersuara, membiarkan segala yang tidak benar berjalan, padahal bukankah memberi ingat itu suatu kewajiban ?.<br />Seluruh pemikiran dan aktifitasnya, konsep/gagasan dan implementasinya serta resiko-resiko berat yang akan dijalaninya, tersimpul dalam kata kunci<br />” SYAFRUDDIN LEBIH TAKUT KEPADA ALLAH SWT,” seperti yang digunakan menjadi judul buku biografinya.<br /><br /><br />D. Kesimpulan dan Penutup<br /><br />1. Mengenang Mr. Sjafruddin adalah mengenang tiga mutiara yang saat ini hamper hilang : (a). keberanian mengambil keputusan di saat kritis, yang dibuktikan dengan keberanian Sjafruddin mengambil initiative membentuk PDRI pada saat seluruh pimpinan Negara ditawan Belanda pada agresi II 19 Desember 1948. Walaupun pada awalnya Mr. Teuku Mohd. Hasan mempersoalkan segi yuridis gagasan Sjafruddin, karena tidak ada mandaat tertulis untuk pembentukan PDRI tersebut. Namun kekuatan dan rasa tanggung jawab Sjafruddin atas kelangsungan Negara bangsa lebih kuat ketimbang pertimbangan yuridis formal. (b). keutuhan kepribadian dan konsistensi pada pilihan, (c). kejujuran.<br /><br />2. Seluruh pemikiran, gagasan dan ide Sjafruddin, serta implementasinya dalam bentuk berbagai kegiatan, aktifitas, pilihan-pilihan politik, keberanian mengambil keputusan, seluruhnya didasarkan pada kolaborasi amat sempurna dari pertimbangan rasional (yang didapatnya dalam pendidikan formal dan aneka bacaan) serta pertimbangan keagamaan (yang diterimanya dari keluarga, lingkungannya, serta kepercayaannya pada kuasa Allah, kasih sayang dan mukjizat Allah.<br /><br />3. Akhirnya dari berbagai pengalaman, penderitaan, tekanan/intimidasi, kekalahan demi kekalahan, dia sampai pada kata kunci “Sjafruiddin lebih takut (hanya) pada Allah”, dan itu berarti selainnya tidak perlu ditakuti.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />LAMPIRAN I<br /><br /><br /><br />Lampiran II<br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ajip Rosidi (Penyunting), Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepoada Allah SWT, (Biografi), Pustaka Jaya, bekerjasama dengan Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, cetakan kedua, Februari 2011.<br />------------- (Penyunting), Sjafruddin Prawiranegara 75 Tahun Dalam Pandangan Tokoh-tokoh, Jakarta, 1986.<br />George McTurnan Kahin, Isael Hassan, Iwan Satyanegara Kamah dan Lukman Hakim, Sjafruddin Prawinegara Penyelamat Republik, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI” bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, 2011<br />Sjafruddin Prawiranegara, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I, Islam Sebagai Pedoman Hidup, (disunting oleh Ajip Rosidi), Inti Idayu Press, Jakarta, 1986.<br />------------------------------, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II, Ekonomi dan Keuangan : Makna Ekonomi Islam, (disunting oleh Ajip Rosidi), Inti Idayu Press, Jakarta, 1986.<br />------------------------------, Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI”, bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, 2011.<br />--------------------------------, Aspirasi Islam dan Penyalurannya, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI” bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, cetakan kedua Februari 2011.<br />----------------------------------------, Sejarah sebagai Pedoman Untuk Membangun Masa Depan (Peranan Mu’jizat Dalam Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia), Ceramah pada tanggal 30 Juli 1975 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, Yayasan Idayu, Jakarta, 1976.<br />Supardi Dwima Putra, Prinsip-prinsip Aqidah dalam Ekonomi Islam Menurut Syafruddin Prawiranegara, tesis S.2 (Magister), Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2005.<br /><br /><br /><br /> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-33817638318908686522011-12-02T00:33:00.000-08:002011-12-02T06:19:24.689-08:00Haji Ilyas Ya'coub dan Persemaian Aktifis Jurnalis MinangkabauOleh : Asril, MA (Dosen Ilmu Sejarah Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;">Ilyas Ya’kub adalah seorang tokoh yang hidup pada masa pra dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ketokohanya dihargai oleh pemerintah melalui anugrah gelar seorang Pahlawan Nasional, yang dikukuhkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Dalam gerak perjuangannya, ia menggunakan tulisan-tulisan di berbagai media, terutama Medan Rakyat yang ia pimpin sendiri serta partai PERMI sebagai alat penghimpun masa. Keberanian dan kebrilianan pemikiran Ilyas dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, menyebabkab ia ditangkap dan ditahan. Ia dipenjarakan mulai dari Muaro Padang, terus ke Digul, Australia, Kupang Pulau Timor, Singapura, Brunai, kembali ke Singapura dan selanjutnya baru di pulangkan ketanah air.<br /></div><br /><span class="fullpost"> <br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Seiring bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, maka terbuka jalan pengembangan demokrasi. Implementasi dari pengembangan tersebut, pada pemilu tahun 1999, bermunculan partai politik yang masing-masing mengklaim peduli kepada rakyat. Partai-partai politik tumbuh dengan subur bagaikan tanah yang subur sesudah disiram hujan. Didukung media yang semakin modern, dalam waktu yang tidak terlalu lama partai-partai ini sudah berkembang sampai kedaerah-daerah termasuk Sumatera Barat. Dari 24 partai yang ikut pemilu tahun 1999, tak satupun yang tumbuh dari local, semuanya tumbuh dari pusat (Jakarta). Begitu pula di Sumatera Barat atau alam Minangkabau, tak ada satupun partai yang tumbuh dari daerah ini. Kalau dibuka lembaran sejarah, orang Minangkabau sangat berperan dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Diantara tokoh pejuang tersebut adalah Imam Bonjol, Agus Salim, Bung Hatta, serta M Natsir. Dalam hal wadah penyampaiaan aspirasi, disini pernah lahir dan berkembang dengan baik sebuah organisasi politik yaitu, Persatuan Muslim Indonesia. <br /><br />PERMI, merupakan partai politik pertama yang tumbuh di Minangkabau, berasaskan Islam dan Kebangsaan. Walaupun partai ini tumbuh dari local, namun perkembangannya sangat cepat. Organisasi ini, sebelum menjadi partai politik bernama PMI yang juga singkatan dari Persatuan Muslim Indonesia, organisasi biasa yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan social. Tetapi, semenjak kongres PMI yang kedua tanggal 24 Oktober sampai 1 November 1931, PMI di robah menjadi PERMI dan ditetapkan sebagai partai politik yang bertujuan Kebangsaan dan Kesentosaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia, Kesempurnaan dan Kemuliaan Islam, Khususnya di Indonesia Umumnya di Seluruh Dunia. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengungkapkan kiprah salah seorang tokoh PERMI yaitu Ilyas Ya’kub. Ia adalah seorang pengurus yang trampil dalam membesarkan partai dan juga seorang pejuang kemerdekaan. Keunikan tokoh ini terletak pada keahliannya mempergunakan media dalam mensosialisasikan partai serta meluncurkan tulisan-tulisan menuntut kemerdekaan terutamanya melaui majalah “ Medan Rakyat”. <br /><br />Dalam kurun waktu lebih kurang dua tahun setelah kelahirannya, PERMI berkembang menjadi salah satu partai berpengaruh di Sumatera Barat, dan menyebar kedaerah-daerah lain seperti Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Pada bulan Desember 1932, partai ini sudah memiliki 7. 700 anggota pria dan 300 orang wanita. Perkembangan ini, tidak hanya terlihat melalui bidang politik saja, namun juga dalam bidang yang lain. Seperti dalam bidang pendidkan, lebih kurang 58 perguruan atau sekolah di bawah naungan PERMI telah membagun sekolah yang dinamai dengan Al-Kulliyat_Al-Islamiyah (Islamic College). <br /><br />Sementara itu dibidang ekonomi, secara intens mempropogandakan agar selalu memakai produk-produk sendiri. Untuk memenuhi anjuran itu, PERMI cabang Payakumbuh mendirikan pabrik minyak goring, cabang Pariaman mendirkan pabrik sabun, cabang Kayutanam mendirikan pabrik roti sedang di Parabek Eli Erman Jamal mendrikan toko buku. Semua hasil produk warga simpatisan dicantumkan logo PERMI, yang berlogokan keris terhunus dan matahari. Kebesaran PERMI dikala itu, tak terlepas dari upaya tokoh-tokoh yang termashur, diantarannya adalah Haji Ilyas Ya’kub. <br /><br />Setelah lebih kurang 7 tahun PERMI menghiasi pentas perpolitikan di Sumatera Barat, akhirnya mengalami kemunduran yang berlanjut dengan kehancuran. Kemunduran ini di sebabkan oleh larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Setiap upaya-upaya, selalu mendapat tantangan dari pihak pemerintahan Kolonial. Puncak kemarahan pemerintah Kolonial adalah dengan ditangkapnya tokoh-tokoh partai tersebut. Mereka di penjarakan kemudian dibuang ke Digul. Sementara itu, para guru-guru Thawalib yang bergabung dengan PERMI dilarang mengajar, para pelajarnya ditekan dan diintimidasi oleh penjabat-penjabat pemerintah agar meninggalkan sekolah mereka. Akibat dari larangan itu, PERMI jadi meredup. Walau diusahakan bangkit dengan cara lain seperti, mengalihkan kegiatan dengan aksi-aksi yang di salurkan lewat majalah, surat kabar dan pamplet, ini juga dilarang oleh pemerintah. akhirnya pada tanggal 18 Oktober 1937 partai politik PERMI resmi dibubarkan oleh pemerintah.<br /><br />Dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk meneliti riwayat dari salah seorang tokoh pendobrak keberhasilan PERMI yaitu, Ilyas Ya’kub. Ia selain seorang tokoh partai, juga seorang ilmuan, pendidik dan jurnalis pada majalah “Medan Rakyat” yang ia pimpin sendiri. Disamping itu, Ia juga dianugerahi oleh pemerintah sebagai seorang Pahlawan Nasional. Keputusan tersebut di tuangkan dalam keputusan presiden RI No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Bahwa H. Ilyas Ya’kub resmi ditetapan sebagai Pahlawan Nasional. Dibanding dengan tokoh-tokoh yang lain separti, H. Jalaluddin Thaib dan H. Muchtar Lutfi, Ilyas Ya’kub dipandang lebih berperan sebagai seorang tokoh nasional, sehingga beliau di anugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Nasional. Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk melihat bagai mana riwayat hidup Ilyas Ya’kub terutama seputar latar belakang keluarga, pendidikan, pemikiran dan kiprahnya dalam PERMI, karier serta sejarah kematian. Dalam penelitian ini, penulis memakai pendekatan studi tokoh dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Artinya penelitian ini selain mengumpulkan data-data dari perpustakaan berupa tulisan dan yang sejenis, maka tulisan ini juga mangambil sumber dari lapangan berupa wawancara kepada orang-orang yang diperkirakan mengetahui dengan permasalahan yang di teliti.<br /><br />B. Latar Belakang Keluarga.<br /><br />Ilyas Ya’kub, dilahirkan pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 1903 M, di Asam Kumbang Painan, Kabupaten Pesisir Selatan. Ia terlahir dari pasangan keluarga Haji Ya’kub dan Siti Hajir. Bapaknya berprofesi sebagai seorang pedagang kain sementara ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Kakek dari pihak ayahnya bernama Haji Abdurrahman seorang ulama terkemuka di Pesisir Selatan bahkan sampai ke Kerinci. Dalam keluarga, Ilyas anak ketiga dari empat bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Dari silsilah keturunan, Ilyas adalah cucu dari seorang ulama. Kakeknya banyak mempunyai murid, baik yang berdomisili di Painan maupun di Kerinci. Selain seorang ulama, ia juga seorang yang haus dengan ilmu, ini terlihat dari kemauanya menuntut ilmu, mulai dari kampung halaman, ke Aceh bahkan sampai ke Makkah. <br /><br />Pada tahun 1932, setahun sekembalinya dari Mesir, Ilyas menikah dengan Tinur seorang putri kesayangan Haji Abdul Wahab guru mengaji Ilyas sebelum berangkat ke Makkah. Pesta pernikahannya tidak dilaksanakan di kampung, tetapi di Semurut Kerinci. Di daerah ini, banyak terdapat murid-murid calon mertuanya, serta letak daerahnya juga jauh dari kota Padang. Pesta pernikahan dilaksanakan secara sederhana, tapi cukup berkesan walau jauh dari kota Padang. Walau pesta ini sudah dilaksanakan di daerah, namun mata-mata Belanda dapat juga mengetahuinya, sehingga perhelatan itu terpaksa diundurkan beberapa hari. Ilyas ditangkap dengan tuduhan mengadakan rapat raksasa untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses dengan pemerintahan Belanda, beberapa hari kemudian Ilyas dilepas.<br /><br />Dari hasil pernikahan Ilyas dan Tinur, mereka dikaruniai 13 orang anak. Ketika penulis mewawancarai salah seorang dari anak Ilyas Ya’kub yang bernama Mulyetri Ilyas, ia mengungkapkan, dari ketiga belas mereka bersaudara yang masih hidup adalah 10 orang, sedang yang tiga orang lainnya telah meningal dunia. Ketiga orang yang telah meninggal dunia itu, satu meninggal di Digul dan satunya lagi di Australia keduanya meninggal pada masa pembuangan. Sedangkan yang satu lagi, meninggal di Padang sekembalinya dari pembuangan. Adapun yang masih hidup adalah: Ali Syaidi Ilyas, Fikri Ilyas, Rostila Ilyas, Rawasi Ilyas, Fauzi Ilyas, Silmi Ilyas, Hayati Ilyas, Surihati Ilyas, Mulyetri Ilyas dan Tisri Yeni Ilyas. Putri ke duabelas Ilyas ini mengungkapkan, melalui informasi dari ibu dan kakak-kakaknya, ia mengetahui bahwa ayahnya mempunyai hobi, suka menulis dan senang mendengarkan lagu-lagu apa saja. Disela-sela hari libur di rumah, ia juga sering bercanda dan bermain dengan kami seperti main kuda-kudaan dan sulap-sulapan. Walaupun begitu, disisi lain beliau selalu serius dalam setiap kali menghadapi masalah, tegas dan pantang di sogok walau dengan apapun.<br /><br />C. Pendidikan<br /><br />Pendidikan formal Ilyas Ya’kub, berawal dari sekolah Gouverment Inlandsche School di daerah Asam Kumbang Painan, Kab. Pesisir Selatan. Pada malam hari setelah selesai sholat magrib, ia belajar mengaji dan pelajaran agama pada kakeknya di surau desa. Setelah menamatkan pendidikan formal, Ilyas bekerja di sebuah perusaan tambang batu bara, Ombilin Sawahlunto sebagai juru tulis. Pekerjaan ini ia tekuni selama lebih kurang dua tahun antara tahun 1917 sampai dengan tahun 1919. Di perusaan tambang ini, Ilyas melihat dengan langsung bagaimana nasib buruh kuli yang diperintah oleh penjajah. Pada suatu hari, Ilyas menyaksikan seorang mandor Belanda melakukan perbuatan yang diluar prikemanusian. Ia menyiksa seorang pekerja tambang yang sedang duduk istirahat karena lelah akibat beratnya pekerjaan yang mereka lakukan semenjak pagi. Tidak tahan bekerja dibawah tekanan penjajah, Ilyas keluar dari pekerjaan dan kembali ke kampung halaman.<br />Di kampung, Ilyas kembali belajar agama kepada seorang ulama terkemuka di koto Merapak, yaitu Syekh Abdul Wahab yang selanjutnya nanti gurunya ini menjadi mertuanya. Setelah dua tahun belajar pada Syekh Abdul Wahab, Ilyas diajak gurunya menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Di sana ia mempergunakan kesempatan itu untuk melanjutkan pendidikan. Dari Makkah, Ilyas terus ke Mesir dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo.<br />Selama jadi mahasiswa, Ilyas tidak hanya sekedar kuliah, tetapi juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Baginya, suatu kewajiban moral untuk memperjuangkan nasib bangsa dari penjajahan kolonial Belanda. Tugas mahasiswa bukan hanya belajar, lebih dari itu merupakan komitmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha demi kemajuan bangsa, agar terbebas dari kekuasaan penjajah. Untuk itu, bersama rekan-rekan mahasiswa lain yang sama-sama berasal dari Indonesia, juga bergabung dengan mahasiswa lainnya yang berasal dari negeri jiran Malaisyia, ia mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairriyyah, yaitu organisasi social kemahasiswaan yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperlancar anggotanya. Terlepas dari tujuan utama tersebut, organisasi ini juga merupakan wadah dari mahasiswa dua negeri serumpun guna mendiskusikan masalah kolonialisme.<br />Selain aktif di organisasi, Ilyas juga aktif dalam bidang jurnalistik. Dalam bulan September 1925, ia menerbitkan majalah “Seruan Al-Azhar”, yaitu majalah bulanan mahasiswa. Kedua majalah ini adalah, untuk bacaan orang-orang Indonesia, baik yang berada di Mesir maupun yang berada di tanah air. Melalui kedua majalah ini, Ilyas banyak merefleksikan sikapnya terhadap praktek kolonial yang tengah melanda di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Fikiran-fikiran serta ide-ide yang ada di benak Ilyas, disampaikannya melalui kedua majalah ini. Tak lupa pula untaian semangat dan cinta tanah air, selalu ditebarkan. Pokoknya semangat untuk bebas dari kungkungan penjajah serta cinta tanah air selalu diselipkan dalam majalah ini. Tulisan-tulisan yang cukup pedas dan tegas anti penjajahan Belanda, tampaknya telah menyinggung perasaan Pemerintahan Belanda. Melalui kedutaan pemerintahan Belanda di Mesir, mereka mencoba mengupayakan penangkapan, namun usaha ini gagal, karena Ilyas dilindungi oleh beberapa tokoh Nasionalis Mesir. Jalan lain yang ditempuh oleh pemerintahan Belanda adalah dengan memblok majalah-majalah pimpinan Ilyas yang beredar di Indonesia. <br />Kesibukan Ilyas dibidang organisasi, jurnalistik serta sikapnya yang anti kolonial, mendapat atensi yang cukup besar dari kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir. Bahkan Ilyas menjadi tamu tetap di markas besar Partai Hizbul Wathan dan sering di ikut sertakan dalam acara-acara kepartaian. Keikut sertaan Ilyas dalam acara-acara Partai Hisbul Wathan telah mempengaruhi jalan fikirannya terutama menyangkut kolonial. Dua media yang ia pimpin, seakan-akan telah menjadi pelancar tujuan dan pikiran-pikiran para tokoh Nasionalis Mesir tersebut, dan juga merupakan suatu keuntungan besar bagi perjungan Ilyas dan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, pergerakan yang terjadi di Mesir pada awal abad ke dua puluh, semakin memperkuat rasa kebangsaan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Indonesia, dengan ideologi yang berasaskan Islam dan Kebangsaan. Rasa ke Islaman merupakan cerminan perjuangan Muhammad Abduh, sedang kebangsaan cerminan dari anjuran Mustafa Kamil. Selanjutnya cerminan perjuangan yang ada di Mesir, merupakn isnspirasi bagi Ilyas untuk melancarkan perjuangan setelah kembali ketanah air. Lantaran keaktifan di bidang politik dan jurnalistik, mengakibatkan ia tidak menamatkan kuliahnya di Al-Azhar. Kondisi ini kelihatanya tidaklah mematahkan semangat anti kolonial Ilyas. Karena selama di Mesir lebih kurang enam tahun, telah banyak memberinya pengalaman berharga yang tak mukin di dapati di bangku kuliah.<br /><br />D. Pemikiran dan Kiprah Ilyas Ya’kub<br /><br />Dalam bidang politik, Ilyas memantapkan hatinya berkiprah dalam tubuh partai Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Ia sekaligus telah ikut ambil bagian dalam membidani kelahiran PERMI. Pada kongres pertama partai ini tanggal 20-21 Mei 1930 di Bukittinggi, diputuskan Ilyas Ya’kub diangkat sebagai wakil ketua dalam kepengurusan. Sebagai seorang yang pertama kali memformulasikan landasan ideology PERMI, Ilyas dengan penuh keyakinan mempropagandakan ide-ide Islam dan Kebangsaan, sebagai lambang bagi pergerakan nasional Indonesia. Sebuah surat kabar “Medan Rakyat” ia terbitkan sebagai alat propaganda. Melalui majalah ini, Ilyas menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai PERMI dan nasionalisme serta aktivitas pergerakan bangsa Indonesia. Ketika azas PERMI Islam dan Kebagsaan banyak diserang oleh berbagai pihak, Ilyas tampil dengan ide-ide yang cemerlang lewat Medan Rakyat. Ia menuliskan bahwa Islam dan Kebangsaan adalah perasaan yang suci dan pantas meresap pada setiap dada pemuda dan mengalir ke seluruh tubuhnya setiap saat. Nantinya diharapkan menjadi tunas unggul dan mempunyai kemampuan serta keberanian dalam membela agama, bangsa dan tanah air. <br />Menurut Ilyas, sampai tahun 1931, persatuan dan kesatuan belum juga terwujud di kalangan rakyat Indonesia. Ia masih melihat pertikaian dalam hal basis ideologi pergerakan nasional, masih saja mewarnai perjuangan kelompok-kelompok pergerakan. Pada saat itu, Ilyas mulai menyerukan tentang persatuaan tampa harus berpedoman pada satu agama. Hal ini terlihat dalam salah satu artikel yang ditulisnya sebagimana yang dikutip oleh Taufik Abdullah dalam Medan Rakyat No. 5 bulan April 1931, sebagai berikut: “Pabilakah masanya Indonesia dapat mengemukakan ukuran yang diletakkan di tengah-tengah satu bangsa dalam pergerakan. Kalau kita belum bisa bersatu atas nama satu agama, apakah salahnya kita bersatu atas naungan panji-panji sebangsa dan setanah air”. Lebih lanjut Ilyas mengatakan, bahwa perpecahan di tubuh pergerakan nasional adalah merupakan sebuah tragedi, sedang kelahiran PERMI yang berlandaskan Islam dan Kebangsaan, merupakan jalan untuk mengakhiri tragedi tersebut. Dengan kata lain, Ilyas hendak mengatakan bahwa utuk suatu pergerakan janganlah kita hanya terkotak pada satu kesatuan saja, tetapi bergeraklah dari berbagai kesatuan. Apakah itu melalui organisasi politi, keagamaan atau bahkan kesukuan. Menurut Ilyas, PERMI hanyalah salah satu wadah untuk menuju persatuan dan kesatuan tersebut. <br />Pada tanggal 19 Juli 1931, dalam sebuah rapat umum PERMI cabang Padang, Ilyas tampil sebagai pembicara. Pertemuan ini menggagas tentang hal-hal pembangunan pikiran dan semangat untuk pergerakan. Ilyas tampil dengan judul pidato “Semangat pergerakan yang dilandasi oleh Islam dan kebangsaan”. Menurut Ilyas kemerdekaan adalah cita-cita bagi setiap insane yang tertindas. Siapapun yang merasa hari ini tertindas oleh penjajah yang bercokol di negeri tumpah darah kita, bangkit dan bangunlah untuk menapak hari esok nan cerah. Jadikan Islam dan Kebangsaan sebagai landasan utama buat modal meraih kemerdekaan. <br />Tentang disiplin partai, Ilyas sebagai salah seorang pimpinan partai, juga harus menegakkan kedisplinan dan mengontrol anggota partai. Kasus Darwis Thaib, sebagai mana yang dikutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat, merupakan pelajaran bagi PERMI terhadap tindakan indispliner yang dilakukan pengurus partai. Kasus itu bermula dari adanya desas-desus yang menyebutkan bahwa Darwis Thaib, selain aktif di PERMI juga aktif di PNI. Desas-desus ini menarik perhatian Ilyas, ia segera menangani kasus tersebut. Setelah melakukan penelitian, Ilyas melaporkan kasus ini dalam sidang PB PERMI, yang akhirnya memutuskan untuk memecat Darwis Thaib dari keanggotaan. <br />Berdasarkan pengalaman ini, Ilyas mengusulkan bahwa untu menjadi pengurus PERMI, terlebih dahulu harus lulus tes disiplin partai. Selain itu para kandidat pengurus partai harus menunjukan kemampuan intelektualnya, sebagai cendikiawan partai. Demikian juga halnya dengan cabang-cabang partai yang berada di daerah, baru akan disetujui sebagai cabang, apabila telah luluis tes disiplin diantara cabang serta telah membuktikan kepatuhannya kepada dewan sentral. Namun usulan ini ditolak oleh PB PERMI. Yang menarik dari usulan Ilyas ini adalah, keinginannya untuk menjadikan PERMI sebagai sebuah partai yang mempunyai disiplin tinggi dan lebih bersifat sentralistis. Alasan penolakan usulan Ilyas, agaknya berkaitan dengan ketakutan dewan sentral yang ingin menjadikan PERMI sebagai organisasi politik masa, yang radikal dan revolusioner.<br />Dalam dunia Pers, Ilyas Ya’kub telah memperlihatkan kepiawaianya. Ia mendirikan majalah Medan Rakyat dan menyampaikan ide-ide kreatifnya lewat majalah tersebut serta melalui media-media lainnya. Memang kalau kita lihat eksistensi pers di Indonesia pada awal abad ke-20, maka akan kelihatan parallel sekali dengan cita-cita kebangsaan. Pers dijadikan salah satu media yang efektif untuk mendidik masyarakat, sekaligus untuk membangkitkan semangat dan cita-cita pergerakan kebangsaan. Hampir setiap tokoh atau organisasi pergerakan senantiasa memerlukan pers, guna membangkitkan kesadaran rakyat dalam menasionalisasikan cita-cita kebangsaan sekaligus memberikan pendidikan dari berbagai segi. Maka tidaklah mengherankan, kalau Ilyas juga memahami arti penting pers bagi pendidikan dan pergerakan nasionalisme. Seperti yang tertera dalam sebuah tulisanya pada editorial pertama Medan Rakyat : <br />“Apa sadja jang di bangoen bangsa dan tjita2 jang di harapkan berhasil dengan boeah pergerakan, perlu mempounyai samboungan lidah (pers). Ia akan membawa dan menyampaikan pemandangan, perasan dan tjita2 itoe. Kita rakyat Indonesia jang djoega masoek golongan bangsa jang bangoen dan bergerak, perloe mempoenyai samboengan lidah soepaya pergerakan kita itoe djangan tuli dan keloe”. <br />Keyakinan Ilyas menjadikan pers sebagai salah satu media, untuk mendidik dan membangkitkan semangat rakyat, tidak saja melalui surat kabar Medan Rakyat, namun ia juga aktif membantu surat kabar yang terbit di pusat pergerakan (Jakarta dan Surabaya), yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Misalnya Indonesia Berdjoeang, adalah sebuah surat kabar yang terbit di Jakarta yang dipimpin oleh Soekarno dan M. Yamin. Dalam surat kabar ini, Ilyas bersama-sama dengan Ali Sastro Amidjojo dan Amir Syarifudin, bertindak sebagai redaktur pelaksana. Disamping itu, pada majalah terbitan Surabaya, Ilyas Ya’kub juga duduk sebagai redaktur bidang luar negeri, serta juga ikut membantu surat kabar yang terbit di Padang.<br />Kalau kita perhatikan, perjuangan untuk bangsa melalui pers pada era 1920-an, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak saja karna faktor modal yang pas-pasan di tengah-tengah persaingan pers Belanda dan Tionghoa yang menjadi kendala, melainkan harus berhadapan dengan kepolisian Belanda. Ilyas pernah dipanggil komisaris polisi, karena dituding tidak mengirimkan satu eksemplar terbitannya kepada pihak yang berwajib, padahal ia selalu mengirimkan satu eksamplar setiap kali terbit. Dari perspektif ini, dapat kita pahami bahwa Ilyas Ya’kub, telah berperan aktif melalui media surat kabar, mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme kedalam dada masyarakat. Ia telah berhasil mengambil simpati masyarakt melalui aksi-aksinya di dunia jurnalis. Mulai dari ketika ia jadi mahasiswa di Mesir, sampai di tanah air. Melalui Medan Rakyat Ilyas telah banyak merobah pola pikir masyarakat, sehingga telah membuka mata dan pikiran masyarakat terhadap kondisi bangsa yang sedang dijajah.<br />Dalam bidang pendidkan, usaha Ilyas untuk kemajuan masyarakat tentu tidak terlepas dari usaha-usaha PERMI. Program pokok tentang pendidikan adalah ingin menyebarkan pelajaran dan pendidikan kepada rakyat yang berdasarkan ke Islaman dan Kebangsaan. Sehingga dalam usaha untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, PERMI berusaha mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Disamping itu, juga membuka tempat kursus-kursus dalam berbagai keahlian. Pendidikan ini bertujuan selain untuk meningkatkan kecerdasan, juga untuk tujuan politik kemerdekaan. Dengan berkembangnya pendidikan, diharapkan meningkat kesadaran rakyat untuk bergerak dalam menuntut kemerdekaan Indonesia. <br />Setelah kongres ke II PERMI di Padang tahun 1931, Ilyas Ya’kub terpilih sebagai Ketua Departemen Pendidikan. Dalam waktu yang relatif singkat, dari tahun 1930 sampai tahun 1931, PERMI telah berhasil mendirikan Islamic College. Usaha itu tentulah didorong oleh cita-cita dan kemauan yang tinggi untuk merealisasikan apa-apa yang pernah di programkan PERMI, khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari isi pidato pembukaan Islamic College pada hari Jum’at tanggal 1 Mei 1931, Ilyas Ya’kub menyampaikan bahwa berdirinya Islamic Kollege, tidaklah terlepas dari partisipasi rakyat dan bukanlah semata-mata hasil jerih payah pengurus. Berkaitan dengan hal itu, partisipasi yang diberikan rakyat merupakan perwujudan respon positif masyarakat terhadap PERMI. Konsekwensinya menurut Ilyas, PB PERMI di tuntut untuk lebih giat lagi bekerja dalam mengembangkan pendidikan serta meningkatkan derajat Islam dan Kebangsaan.<br />Berdirinya Islamic College, dimotori oleh IlyasYa’kub dan Basa Mandaro. Menurut mereka, Islamic College didirikan dalam rangka menciptakan “Manusia seutuhnya dengan pribadi yang khusus”. Para mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang khusus baik dalam bidang pengetahuan umum, maupun agama. Lembaga pendidikan yang bertujuan selain melatih guru, juga pimpinan politik masa depan. Sekolah ini mempunyai dewan penasehat yang diketuai oleh Kusuma Atmadja. Dewan ini bertugas sebagai penanggung jawab penyusunan kurikulum dan kemajuan perguruan. Pimpinan dari perguruan itu di jabat oleh Abdul Hakim, seorang ahli hukum. Sedangkan majlis gurunya direkrut dari orang-orang tamatan Mesir dan AMS. Pada sisi lain, Ilyas dan Jalaluddin Thaib adalah orang-orang yang sesungguhnya mengawasi dan menjalankan sekolah itu sebagai sebuah perguruan tinggi. Selain di Islamic College, Ilyas juga menjadi staf pengajar di sekolah Training Guru Wanita yang dipimpin oleh Muchtar Luthfi. Sekolah ini menjadi suatu tempat kursus politik yang sangat efektif, hal ini sangat di mukinkan karena aktivitas dari anggota dewan sentral yang sering mengajar di sekolah itu. Di sekolah ini, Ilyas dipercayai memegang mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu Usulul Qawanin. <br />Ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang untuk menertibkan sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh bumi putra. Pada saat itu, perkembanngan pendidikan Indonesia semakin meningkat. Kemajuan itu terlih dari banyaknya muncul lembaga-lembaga pendidikan swasta yang dikelola oleh tokoh-tkoh pergerakan Indonesia. Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tersebut atau yang dikenal dengan Ordonansi, menurut Ilyas adalah sebuah cara pemerintah untuk menghalangi dan merusak kemajuan serta keselamatan dari sekolah rakyat di masa depan. <br />Lebih lanjut Ilyas jelaskan, bahwa ordonansi itu secara tidak langsung telah menghambat cita-cita kaum pergerakan, untuk mencapai kemerdekaan bagsa dan tanah air. Bahkan ia berucap, untuk suatu tindakan yang menghambat cita-cita bangsa, haruslah disingkirkan dengan segenap kemampuan yang ada. Keberadaan ordonansi, pasti akan mempengaruhi perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, yang juga merupakan sekolah swasta, sebagaimana yang dituntut oleh ordonansi tersebut. Hal itu mendorong Ilyas untuk menentukan sikap dalam hal ordonansi. Melalui konferensi PERMI pada tanggal 26 Desember 1932, atas nama Ilyas Ya’kub sebagai Kepala Departemen Pendidikan PERMI, menentukan sikap terhadap ordonansi. Diantaranya adalah:<br />1. Menolak ordonansi sekolah liar dan berusaha untuk menghapuskannya.<br />2. Menentang ordonansi sekolah liar secara bersama-sama dengan kehalusan budi dan kesabaran, dalam membayarkan kewajiban dan mempertahankan hak suci.<br />3. Sekolah-sekolah Thawalib dari dewan Pelajar dan Pendidikan PERMI serta sekolah-sekolah yang di bawah naungan PERMI, akan melanjutkan perjalanannya sebagai mana sedia kala.<br />Ilyas Ya’kub, terpaksa bekerja ekstra keras untuk menentang ordonansi itu. Medan Rakyat, ia pergunakan sebagai alat ampuh untuk menentang kebijakan tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ilyas mengunjungi cabang-cabang partai di daerah-daerah, untuk menerangkan sikap PERMI terhadap ordonansi. Semasa Ilyas menjabat Ketua Departemen Pendidikan PERMI bersama Muchtar Luthfi, ia juga berusaha untuk menanamkan sistem pendidikan modern pada sekolah Sumatera Thawalib, seperti yang terdapat di sekolah-sekolah yang terdapat di Mesir. Ilyas mencoba memecah Sumatera Thawalib dua tingkat, dengan lama waktu pendidikan tetap tujuh tahun. Tingkat itu masing-masing adalah, Tasnawiyah dengan lama belajar empat tahun, dan Ibtidaiyah lanjutan dari Tasnawiyah, dengan lama belajar tiga tahun. Disamping itu, Ilyas Ya’kub bersama dengan Jalaluddin Thaib juga memimpin departemen khusus guna memeriahkan semangat kemerdekaan nasional. Departemen ini dibentuk untuk menumbuhkan semangat kesadaran politik di kalangan rakyat dengan memberikan kursus politik, serta pengelolaan propaganda-propaganda PERMI keluar.<br /><br />E. Karier<br /><br />Ilyas Ya’kub, memulai karirnya sebagai seorang juru tulis di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto. Selama lebih kurang dua tahun di sini, baginya serasa bertahun-tahun karena tidak tahan melihat penderitaan kaum buruh. Kendatipun dalam usia yang begitu muda, namun situasi kehidupan kaum buruh yang disaksikan tiap hari benar-benar telah mengobarkan semangat perjuangan. Akan tetapi untuk melawan secara langsung dalam umur 14 tahun, tentu saja belum bisa ia laksanakan. Apalagi untuk menghimpun atau mengorganisir suatu kekuatan untuk melawan penjajah dan kebathilan, tentu saja belum memungkinkan. Karena selalu menyaksikan kondisi yang tidak ia inginkan, maka Ilyas mengundurkan diri sebaga juru tulis dan kembali ke Asam Kumbang Painan.<br />Setelah dua tahun di kampung, Ilyas dibawa oleh gurunya menunaikan ibadah Hajji ke Makkah. Semenjak berada di Makkah, ciri-ciri seorang tokoh mulai kelihatan pada diri Ilyas. Karena selam berada di Mesir, ia tidak saja aktif di organisasi kemahasiswaan namun juga aktif di organisasi sosial lainnya. Baginya, tugas mahasiswa bukan sekedar belajar tapi yang lebih penting adalah mempunyai komikmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, Ilyas bersama-sama dengan mahasiswa Indonesia dan Malaysia, mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairiyah. Organisasi ini selain bertujuan untuk memperlancar studi, yang terpenting adalah sebagai tempat mendiskusikan masalah kolonialisme dan imperialisme. Dalam organisasi ini, Ilyas duduk sebagi sekretaris dan diketuai oleh Djanan Thaib. <br />Persahabatan Ilyas dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir, seperti Mustafa Kamil, Syekh Mahmoud Abdul Youm dan Abdul Hamid Bey, menyebabkan ia semakin berkecenderungan di bidang politik. Pada tanggal 12 April 1926, Ilyas bersama sahabatnya Muchtar Luthfi, mendirkan sebuah organisasi yang berorientasi politik yaitu Perhimpunan Penjaga Indonesia (PPI) kemerdekaan Indonesia adalah tujuan dari organisasi ini. Lebih kurang enam tahun mulai dari tahun 1923-1929 Ilyas belajar dan melakukan kegiatan politik anti kolonialisme di Mesir. Ketika ia hendak kembali ketanah air tahun 1929, pemerintah Belanda berusaha menghalang-halanginya untuk sampai ke tanah air, dengan mengupayakan kapal yang ditumpangi Ilyas singgah di Singapur, kemudian ke Jambi. Namun halangan-halangan itu tidak sedikitpun mematahkan semangat Ilyas kembali ke kampung halaman.<br />Sesampai di tanah air, Ilyas menyaksikan iklim pergerakan nasional Indonesia sedang diwarnai oleh konflik ideology antar golangan nasionalis sekuler yang berideologikan kebangsaa, dengan golongan nasionalis agama yang beridiologikan Islam. Perbedaan paham antar kedua golongan ini, pada prinsipnya didasari oleh masalah basis ideology yang cocok bagi pergerakan nasianal Indonesia. Antara kedua golongan saling melemparkan tudingan dan kritikan-kritikan. Kondisi seperti ini, membangkitkan semangat Ilyas untuk ikut terlibat dalam kancah pergerakan nasional, guna memperjuangkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan ini, tak lama berada di kampung, Ilyas pergi ke Jawa untuk membuka hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti, PNI, dan Syarikat Islam. Dari hasil kunjungan ke Jawa, ia berkesimpulan bahwa perpaduan antar kedua ideologi yang sedang berseteru adalah model yang sangat cocok buat partai baru yang akan dilahirkan di Minangkabau, yaitu Islam dan Kebangsaan. <br />Ketika PERMI didirikan tahun1930 di Bukittinggi, Ilyas langsung mengumumkan konsep tentang ideologi yang harus dipakai, yaitunya Islam dan Kebangsaan. Ide yang ditawarkan itu pada dasarnya, adalah usaha untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam. Selain itu, ia seolah-olah ingin memperngatkan kaum pergerakan, bahwa perpecahan dalam dunia pergerakan nasional Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat menghambat cita-cita kemerdekaan itu sendiri.<br />Pada kongres PERMI pertama, terpilih Dewan Eksekutif yang terdiri dari: H. Abdul Majid sebagai ketua, H. Ilyas Ya’kub sebagai wakil ketua, Mansur Daud sebagai sekretaris dan H. Syu’ib el-Junusi sebagai bendahara. Berdasarkan jabatan sebagai wakil ketua, Ilyas mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang cukup besar. Untuk mempropagandakan PERMI beserta azasnya, Ilyas menerbitkan sebuah surat kabar yang bernama Medan Rakyat. Dalam editorialnya yang pertama, sebagaimana yang di kutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat nomor 1, Februari 1931. Ilyas menyebutkan, bahwa azas dari Medan Rakyat adalah Islam dan Kebangsaan, dan berdiri netral diatas semua partai. Melalui editor ini, tergambar kiranya bahwa Ilyas Ya’kub akan mempublikasikan Islam dan Kebangsaan. Seperti yang tercermin dalam artikel-artikel terbitan Medan Rakyat yang banyak memuat tulisan-tulisan tentang Islam dan Kebangsaan serta aktifitas pergerakan bangsa Indonesia untuk menuju gerbang kemerdekaan.<br />Aksi-aksi yang dilancarkan Ilyas di atas, ternyata mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam penggeledaan yang dilaksanakan pada hari selasa tanggal 5 September 1933, dalam tas Ilyas Ya’kub ditemukan beberapa buah majalah Madjou dan dua buah buku politik. Selesai penggeledaan, Ilyas ditangkap dan ditahan di tahanan Muaro Padang. Setelah melalui proses yang cukup panjang mulai 5 September sampai 22 Desember 1933, maka diputuskan oleh pemerintah untuk membuang Ilyas ke Digul. Dengan merinci seluruh aktifitas politik Ilyas, mulai dari semenjak ia berdiam di Mesir sampai pada saat penangkapannya. Telah di jadikan sebagai alasan oleh pemerintah Belanda untuk membuangnya.<br />Tindakan pemerintahan Belanda menangkap dan membuang Ilyas, mendapat reaksi yang keras dari berbagai kalangan. Seperti simpatisan PERMI, dan kelompok pergerakan lainnya. Reaksi yang jelas sebagai rasa simpati terlihat dari dimuatnya riwayat perjungan Ilyas Ya’kub pada Head line surat kabar Persatuan Indonesia. Selain itu, Majalah Raya juga menulis riwayat perjuangan Ilyas Ya’kub dalam salah satu rubriknya. Dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa rakyat telah memberikan kepercayaan kepada Ilyas Ya’kub. Ia seorang yang bersifat pendiam tapi banyak bekerja, apa yang dikatakannya memerlukan suatu bukti yang nyata. Lebih lanjut ditulis bahwa alasan ditulisnya riwayat hidup Ilyas Ya’kub, bertujuan untuk cerminan bagi bangsa Indonesia, agar dapat melihat bahwa ia telah menggunakan umurnya untuk kepentingan umum dan kepentingan yang suci, yakni kemerdekaan Indonesia.<br />Majalah Raya yang diterbitkan oleh pelajar-pelajar Islamic College, sebuah sekolah tempat Ilyas mengajar juga memberikan apresiasi dengan mengatakan “Ilyas seorang Jurnalis dan Laider yang tenang, lautan yang tak beriak, ia juga seorang yang tenang dan kalem. Lebih-lebih dalam berpidato, sekalipun sekelilingnya telah bergemuruh bunyi tepukan tangan, namun ia tetap tenang”. Reaksi demi reaksi diteriakan oleh para simpatisan, karena penahanan itu merupakan pukulan hebat bagi simpatisanya terutama kelangsungan PERMI. Apalagi bersama dengan Ilyas, kedua temannya yang dijuluki Trio PERMI juga ditangkap dan di asingkan. Dengan demikian berakhirlah perjungan Ilyas bersama PERMI dalam merintis kemerdekaan. Karena setelah ia dibebaskan tahun 1946, Indonesia telah merdeka. Puncak serta akhir dari karir politik Ilyas Ya’kub pada masa kemerdekaan, adalah setelah dua tahun pulang dari pembuangan tahun 1948, Ilyas terpilih sebagai ketua DPRD Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi, sekaligus merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Kemudian dalam pemilihan umum tahun 1955, Ilyas terpilih menjadi anggota Konstituante Repoblik Indonesia.<br /><br />F. Sejarah Kematian.<br /><br />Ilyas Ya’kub dikenal dengan seorang yang ideolog, namun ide-ide yang ia ungkapkan selalu mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan Hindia Belanda. Akibat dari kritikan-kritikan terhadap pemerintahan Hindia Belanda, membuat pemerintah jadi gerah. Akhirnya, awan mendung mulai menyelimuti Ilyas. Ini berawal dari penggeledahan oleh pemerintahan terhadap kantor PB PERMI. Dalam penggeledahan itu, ditemukan Majalah Madjou yang di dalamnya memuat tulisan-tulisan Ilyas. Menurut pemerintahan Hindia Belanda, isinya meremehkan pemerintahan dan menghasut rakyat untuk menentang otoritas pemerintahan Hindian Belanda. Ilyas kemudian ditangkap dan setelah melalui proses penyidangan di putuskan untuk membuang Ilyas ke Digul. Kondisi Digul kala itu, sangat menakutan. Iklimnya yang membunuh, serangan nyamuk malaria dan hutan belantara serta para penjaga penjara yang sangat tidak bersahabat, adalah suasana baru yang mesti dihadapi Ilyas Ya’kub. Walaupun demikian, situasi semacam ini bagi Ilyas bukanlah suatu kendala untuk tetap kukuh pada pendirian, tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda.<br />Ketika para penghuni kamp hendak di pindahkan ke Australia, Ilyas menolak. Sementara para penghuni lainnya, telah dipindahkan. Atas nasehat beberapa perwira Australia yang berada di Digul, akhirnya ia bersedia pindah ke Australia. Kesediaan Ilyas ini bukan berarti ia telah bekerjasama dengan Belanda, tetapi merupakan salah satu taktik agar segera dipulangkan ketanah air. Sebagai konsekwensi penolakan kerjasama dengan Belanda, ketika ia dipulangkan ke Indonesia, ia dilarang turun di Tanjung Periuk bersama teman yang lainnya, tetapi di asingkan lagi ke Kupang Pulau Timor. Selanjutnya dikirim ke Labuhan Singapura, Serawak, ke Brunai dan akhirnya kembali ke Labuhan. Sewaktu mereka berada di Labuhan Singapura, anak mereka yang ketujuh Iqbal meninggal dunia. Kemudian dari sana, istri dan keenam anak tercintanya, dipulangkan ketanah air, sedangkan Ilyas belum di perbolehkan.<br />Diakhir tahun 1946, Ilyas Ya’kub baru dipulangkan ke tanah air. Setelah menikmati alam kemerdekaan selama lebih kurang sepuluh tahun dan telah ikut pula mengisi kemerdekan melalui ketua DPRD Sumatera Tengah serta penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Dikarenakan sakit yang menghinggapinya selama lebih kurang dua bulan, menjadi salah satu penyebab berpulangnya ia kerahmatullah. Ilyas Ya’kub meninggal pada hari sabtu tanggal 2 Agustus 1958, jam 18,00 W.S.U, di Koto Merapak Painan. Ilyas dimakamkan secara militer pada hari Minggu tanggal 3 Agustus 1958, di depan Masjid Raya Kapencong Koto Merapak Painan. Upacara pemakaman, juga turut di hadiri oleh penjabat-penjabat sipil dan militer setempat. Sebagai tanda penghargaan dari pemerintahan daerah, pada tanggal 17 Agustus 1975, Ilyas Ya’kub di beri piagam penghargaan sebagai “Pejuang Umum” oleh Gubernur Sumatera Barat, No. Kesra 82/9-1975. Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh unsur pemerintahan daerah dan pelajar-pelajar setempat, selalu mengadakan upacara bendera di pusara Ilyas, guna mengenang jasa-jasanya. Sedangkan pemerintahan Indonesia, juga menghargai perjuangan Ilyas, dengan dianugerahinya ia sebagai seorang “Pahlawan Nasional.” Hal ini ditetapkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999, bahwa Haji Ilyas Ya’kub resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.<br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-42701511504933837692011-12-02T00:30:00.000-08:002011-12-02T06:15:05.295-08:00PERMI dan Perlawanan Terhadap Ordonansi Sekolah Liar 1932-1933Oleh : Erman, MA (Dosen Ilmu Sejarah FIB-Adab IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ85gBhWshHYrxVP-niFt1O5qRdKPUjgvCsub9LUiPMqYA8ulM1Uz6iTyveD6sg81hGxUJc9H9cPd5_h7G5aZO69YD8HLos35Y9l_LCaNcc21fFqu5xIaHN9zm9pZ2SF3Sd2NVNbaRJSDz/s1600/index.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 72px; height: 81px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ85gBhWshHYrxVP-niFt1O5qRdKPUjgvCsub9LUiPMqYA8ulM1Uz6iTyveD6sg81hGxUJc9H9cPd5_h7G5aZO69YD8HLos35Y9l_LCaNcc21fFqu5xIaHN9zm9pZ2SF3Sd2NVNbaRJSDz/s200/index.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5681534317319821618" border="0" /></a>Sebagai sebuah enclave sosial, Sumatera Barat dikenal dalam sejarah sebagai salah satu basis gerakan sosial pada awal abad ke-20. Salah satunya adalah gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi. Secara ideologis gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi adalah penentangan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik tersebut.<br /></div><span class="fullpost"><br /><br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai tempat gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Sebelum gerakan ordonansi sekolah liar pada tahun 1932-1933, sekurang ada tiga kali perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat terhadap pemerintah kolonial Belanda, yaitu pemberontakan pajak (1908), pemberontakan komunis (1927) dan perlawanan terhadap ordonansi guru (1928). Pemberontakan pajak (1908) terjadi pada dua tempat di Sumatera Barat, yaitu di Kamang dan Manggopoh yang dipelopori oleh para ulama tarekat Syattariyah. Pemberontakan ini bermula dari kekecewaan masyarakat terhadap sistem pembayaran pajak langsung yang diterapkan di Minangkabau karena merosotnya harga kopi pada tahun pertama abad ke-20 yang mendorong Belanda mengingkari perjanjiannya dalam Plakat Panjang guna menghapuskan sistem tanaman paksa. Secara ideologis pemberontakan pajak yang melibatkan kaum ulama digerakkan oleh ideologi yang kental dengan spirit keagamaan dan anti-Barat yang sudah tertanam sejak gerakan golongan Paderi (1821-1837).<br /><br />Pemberontakan komunis muncul pada tahun 1927 di suatu daerah Minangkabau yang bernama Silungkang. Pemberontakan ini secara ideologis merupakan representasi campuran ideologi keagamaan dengan ideologi marxis yang menjadi salah satu ideologi nasionalisme modern yang muncul di Indonesia pada awal abad ke-20. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya pemberontakan adalah semakin menguatnya interaksi berbagai kelompok sosial di Minangkabau ketika itu yang melahirkan keprihatinan tentang persamaan nasib dan sulitnya hidup di bawah penjajahan kolonial Belanda. <br /><br />Perlawanan berikutnya adalah gerakan ordonansi guru yang muncul pada tahun 1928 dan dipandang berhasil menentang rencana kebijakan kolonial yang berhubungan dengan pendidikan agama. Secara ideologis gerakan ini murni digerakkan oleh spirit keagamaan (Islam), sehingga sikap menentang kebijakan tersebut merupakan jihad di Jalan Allah. Strategi gerakan dirancang sedemikian rupa mulai propaganda sejak kedatangan Dr. de Vries ke Minangkabau pada bulan Juni 1928 hingga aksi massa (protes) yang melibatkan masyarakat pada tanggal 19 Agustus 1928.<br /><br />Pemberontakan pajak, pemberontakan komunis dan perlawanan terhadap ordonansi guru merupakan wujud kongkrit perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap kolonial Belanda yang oleh pelaku sejarah masing-masing dipandang sangat merugikan dan menindas rakyat. Pola dan bentuk perlawanan itu sendiri sangat berbeda-beda sesuai dengan pengalaman historis dan ideologi yang menggerakkannya. Selain itu dua pemberontakan pajak dan komunis berakhir dengan kekalahan yang menimbulkan kesengsaraan rakyat Minangkabau dan dalam banyak hal membuat mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi penguasa kolonial.<br /><br />Pada tahun 1932 muncul lagi perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kolonial Belanda, yaitu perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Salah satu kelompok sosial di Sumatera Barat yang begitu kuat melakukan perlawanan adalah partai politik Persatuan Muslim Indonesia yang disingkat dengan PERMI. Sesuai ideologi yang dianut oleh PERMI, perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar digerakkan oleh semangat Islam dan kebangsaan. Pola perlawanan dilakukan oleh PERMI adalah dengan cara melakukan rapat khusus, propaganda di media massa dan dan rapat umum untuk menentang kebijakan ordonansi sekolah liar secara bersamaan.<br /><br />Seiring dengan keterlibatan partai politik Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dalam perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar pada tahun 1932, muncul beberapa pertanyaan yang jawabannya akan ditelusuri melalui tulisan ini. Mengapa PERMI melakukan perlawanan ?, pra-kondisi yang bagaimana yang mendorong PERMI melakukan perlawanan?, bagaimana pula pola perlawanan dan akibat yang ditimbulkannya ?.<br />B. Kebijakan Pendidikan Kolonial dan Modernisasi di Sumatera Barat<br /><br />Pengalaman historis yang melatarbelakangi lahirnya gerakan perlawanan PERMI terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sangat kompleks dan bersifat interdependen. Karena itu, tulisan yang sederhana ini tidaklah mungkin untuk mengukap satu-persatu faktor yang beragam itu. Sekedar membantu memahami kenapa gerakan perlawanan itu muncul, tulisan ini hanya menguraikan secara sederhana kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad ke-20.<br /><br />Kebijakan pendidikan kolonial bersentuhan langsung dengan politik etis yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Salah satu aspek yang mendapat perhatian kolonial Belanda dalam politik etis tersebut adalah pemberian perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi masyarakat pribumi. Sejalan dengan kebijakan ini, penguasa kolonial mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia yang diprioritaskan untuk keluarga raja-raja dengan tujuan untuk direkrut sebagai pegawai rendahan di pemerintahan. Jumlah sekolahpun sangat terbatas di tengah meningkatnya minat dan kebutuhan rakyat Bumi Putera untuk memperoleh pendidikan modern. Untuk mengatasi kekurangan tersebut masyarakat pribumi di Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah swasta dan hingga tahun tiga puluhan diperkirakan jumlahnya tidak kurang dari 2200 buah. Sekolah-sekolah inilah yang oleh penguasa kolonial Belanda dianggap sebagai sekolah liar (partikelir). <br /><br />Sejalan dengan pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, di Sumatera Barat muncul modernisasi pendidikan yang diawali dengan didirikannya sekolah (madrasah) Adabiyah oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di kota Padang. Pada tahun 1911 modernisasi memasuki institusi surau dan surau Jembatan Besi Padang Panjang merupakan yang pertama berubah nama menjadi Perguruan Sumatera Thawalib di bawah pimpinan Haji Abdul Karim Amrullah. Terinspirasi oleh Zainuddin Labai El-Yunusiyah yang mendirikan Sekolah Diniyah dengan sistem berkelas, Sumatera Thawalib melaksanakan hal yang sama pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1919 Syeikh Ibrahim Musa Parabek mengganti pula suraunya, Moezakaratoel Ikhwan menjadi Sumatera Thawalib dan tanggal 15 Februari 1920 dilakukan kesepakatan untuk menyatukan surau tersebut dengan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Perkembangan Sumatera Thawalib tahun 1920 semakin luas dan sudah tersebar ke berbagai kawasan di Minangkabau, seperti di Padang Panjang, Parabek (Bukittinggi), Sungayang (Batusangkar), Maninjau (Agam) dan Padang Japang (Lima Puluh Kota).<br /><br />Mengingat semakin luas perkembangan Sumatera Thawalib, pada tahun 1922 para pelajarnya membentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib sebagai organisasi untuk mempersatukan semua pelajar Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Djalaluddin Thaib, seorang guru Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sejak masa ini muncul pemikiran untuk mengembangkan kegiatan Sumatera Thawalib selain bergerak dalam bidang pendidikan, juga bergerak dalam bidang politik. Haji Datuek Batuah, seorang guru yunior dan penasehat pelajar Sumatera Thawalib Padang Panjang, sangat tertarik dengan politik. Pada tahun 1923 Datuak Batuah mulai memperkenalkan ideologi komunis kepada murid-muridnya seiring dengan kampanye politik menentang pemerintah kolonial Belanda yang semakin meningkat di Minangkabau dan murid Sumatera Thawalib sudah ditetapkan pula untuk belajar politik.<br /><br />Sementara itu semakin menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi politik pada tahun dua puluhan dinilai pemerintah kolonial sudah cukup membahayakan kekuasaannya. Klimaks dari propaganda komunis itu adalah munculnya pemberontakan di suatu daerah Sumatera Barat yang bernama Silungkang. Pemberontakan tersebut dapat digagalkan dengan mudah dan komunis dibubarkan oleh penguasa kolonial Belanda. <br />Enam bulan pasca pemberontakan komunis di Silungkang, tepatnya bulan Juni 1927, muncul keinginan pemerintahan kolonial Belanda untuk menerapkan kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Kebijakan ini pada dasarnya adalah bersifat nasional dan sudah diterapkan pertama kali di pulau Jawa dan Madura sejak tahun 1905. Reaksi yang berarti sebagaimana diungkap oleh Deliar Noer hampir tidak dijumpai ketika kebijakan ordonansi guru diterapkan di kedua pulau tersebut. Sejak tanggal 1 Januari 1927 kebijakan ini berlaku pula di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok. Kemudian pada tahun tigapuluhan diterapkan pula di Bengkulu.<br /><br />Penerapan kebijakan ordonansi guru di Sumatera Barat kelihatannya sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan mengingat pemberontakan komunis di Silungkang yang baru saja terjadi (1927) banyak melibatkan ulama yang menjadi guru di sekolah-sekolah Islam. Sejalan dengan tujuan ini, pemerintah kolonial Belanda mengutus Dr. de Vries melakukan penyelidikan tentang kemungkinan dilaksanakannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Selama di Minangkabau Dr. de Vries banyak melakukan pertemuan dan diskusi dengan para elit lokal, baik dari golongan agama maupun golongan adat. Dalam setiap pertemuan Dr. de Vries menjelaskan tujuan diterapkannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan elit lokal yang ditemui de Vries. Ada di antara mereka yang menerima, ragu-ragu dan menolak. Salah seorang ulama dari kaum muda yang begitu kuat menolak dan menentang kebijakan ordonansi guru adalah Haji Rasul. Atas prakarsanya gerakan perlawanan menentang kebijakan ordonansi guru semakin hari semakin meluas di kalangan masyarakat Minangkabau. <br /><br />Sebelum Gerakan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi guru muncul di Minangkabau tahun 1928, hal yang sama sudah pernah dilancarkan oleh organisasi sosial keagamaan di berbagai daerah di Indonesia. Kongres al-Islam di Bogor tanggal 1-5 Desember 1926 sudah menolak kebijakan tersebut. Organisasai Muhammadiyah juga sudah melakukan hal sama pada kongres ke-17 tanggal 12-20 Februari 1928. Tetapi gerakan perlawanan yang demikian hebat terjadi di Minangkabau pada tahun 1928 dan masyarakat setempat melihat bahwa kebijakan ordonansi guru jika diterapkan akan mengekang kebebasan pengajaran agama dan penyebaran ajaran Islam. <br /><br />Bagi pemerintah kolonial, ordonansi guru memang bertujuan untuk mengontrol lembaga pendidikan agama dan membendung kekuatan umat Islam yang dipandang sebagai bahaya laten yang dapat menggoyahkan kekuasaanya di Indonesia. Para ulama dianggap berpotensi membangkitkan rasa permusuhan rakyat dengan cara menjadikan agama sebagai pembangkit sentimen anti-kolonial, sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban. Selain itu para ulama dianggap oleh penguasa sebagai sumber protes dan penggerak perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. <br /><br />Kebijakan ordonansi guru tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) 925 Nomor 219 tentang Pengajaran Agama (Islam). Lembaran Negara ini terdiri dari dua belas pasal. Pasal pertama menyebutkan bahwa setiap orang yang akan memberikan pengajaran agama kepada orang lain selain keluarganya sendiri harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut secara tertulis dengan menguraikan pemberian pengajaran tersebut kepada Regent dan Pemerintah Patih di mana pengajaran itu diberikan. Pemberitahuan itu diberikan kepada Kepala Pemerintahan Daerah dari pemerintahan dalam negeri yang berwenang atau pejabat pemerintahan yang berwenang dalam lingkungan daerah di mana pengajaran itu akan dilaksanakan.<br /><br />Dalam pandangan masyarakat Minangkabau ordonansi guru dalam prakteknya digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menghambat agama Islam dan mengekang kebebasan para guru agama (ulama) dalam menyampaikan ajaran agama. Pandangan semacam ini pada akhirnya semakin memperkuat semangat anti-kolonial dan kebencian masyarakat Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial.<br /><br />Pada tahun tiga puluhan seiring dengan krisis ekonomi memaksa Belanda untuk menekan anggaran belanja pendidikan. Sebaliknya minat dan kebutuhan masyarakat pribumi di Hindia Belanda semakin bermunculan yang ditandai oleh lahirnya sekolah-sekolah swasta sekalipun tanpa subsidi pemerintah. Ironisnya pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat dengan ordonansi sekolah liar. Ordonansi ini tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) Nomor 494-495 tahun 1932.<br /><br />Di antara pasalnya berbunyi bahwa setiap guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta non-subsidi diharuskan memperolah izin terlebih dahulu dari kepala daerah setempat. Surat izin ini hendaknya diminta dengan surat dan boleh diberikan kepadanya buat beberapa tempat dalam daerah itu. Pasal lain menyebutkan bahwa izin hanya diberikan jika tidak dikuatirkan akan menimbulkan gangguan keamanan umum, inspektur pendidikan tidak keberatan dan dilampirkan satu formulir yang berisi keterangan lengkap sebagai bahan pertimbangan.<br /><br />Bagi pemerintah kolonial Belanda, ordonansi sekolah liar mungkin saja untuk menertibkan administrasi pendidikan di Hindia Belanda. Namun pada sisi lain, karena ordonansi ini dikaitkan dengan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan menimbulkan reaksi yang hebat dari masyarakat Indonesia. Hampir di semua wilayah di Hindia Belanda menolak penerapan kebijakan ordonasi sekolah liar dan di Sumatera Barat penolakan yang begitu keras berasal dari persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Secara umum, kebijakan pendidikan kolonial pada awal abad ke-20, mulai dari kebijakan yang tercantum dalam politik etis (1901) hingga munculnya ordonansi sekolah liar dipandang oleh masyarakat Hindia Belanda dan Sumatera Barat khususnya sangat tidak adil dan merugikan kehidupan umat Islam yang berujung pada lahirnya rasa ketidak-puasan. Rasa ketidakpuasan ini muncul di tengah modernisasi pendidikan yang semakin memperkuat semangat anti-penjajahan. Dalam kerangka pengalaman historis semacam ini, Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) melakukan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang mau diterapkan oleh pemerintah kolonial di Sumatera Barat tahun 1932.<br /><br />C. Gerakan Permi di Sumatera Barat<br /><br /><br />Pasca-pemberontakan komunis di daerah Silungkang dan pembubaran partai tersebut oleh penguasa kolonial Belanda menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan sekolah dan organisasi kaum muda, terutama Sumatera Thawalib Padang Panjang. Pemberontakan komunis tentu bukan hanya memiliki dampak terhadap sekolah Sumatera Thawalib, melainkan juga terhadap semua masyarakat Minangkabau. Mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda. Pasca perlawanan terhadap ordonansi guru kondisi Sumatera Thawalib yang semulanya mengalami krisis mulai berangsur pulih dan puncaknya adalah dengan diadakannya konferensi di Bukittinggi tanggal 20-21 Mei 1930.<br /><br />Dalam konferensi tersebut diputuskan perubahan nama Persatuan Sumatera Thawalib menjadi menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Dalam kongres PMI di Padang tanggal 24 Oktober hingga 1 November 1932 diputuskan pula bahwa PMI berubah nama menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Perubahan ini seiring dengan perubahan haluan organisasi dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik yang mengambil sikap non-koorporatif dengan penguasa kolonial Belanda.<br /><br />Dalam membangun jaringan organisasi langkah pertama yang dilakukan Permi adalah melakukan ekspansi ke daerah pedesaan dan memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Di berbagai kota yang termasuk daerah darat Permi memperluas pengaruhnya dengan cara mengadakan rapat umum, tabligh, partisipasi dalam organisasi sosial dan infiltirasi terhadap organisasi lokal. Cara yang hampir sama juga digunakan oleh Permi untuk menanamkan pengaruhnya di berbagai kota di Sumatera Barat yang tidak memiliki sekolah Sumatera Thawalib.<br /><br />Kemudian sejak tahun 1930 Permi memindahkan pusat kegiatannya ke kota Padang, Ibu kota Resident Sumatra’s Westkust. Langkah ini sejalan dengan tekad dan keinginan untuk menjadikan organisasi Permi sebagai partai politik yang bersifat nasional. Di pusat aktivitasnya yang baru Permi ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang ada. Permi pernah ikut dalam rapat protes menentang untuk pemberhentian ekspansi HIS yang dipelopori oleh Asosiasi Guru Pemerintah (PGHB) tahun 1932. Permi juga meningkatkan kerja sama dengan organisasi keagamaan dan perkumpulan pedagang yang ada di kota Padang. Sejalan dengan ini Permi mendapat dukungan dari pedagang Minangkabau di Pasar Gadang melalui seorang pedagang yang sangat berpengaruh di kota Padang, yaitu Basa Mandaro. Permi juga mampu membuat hubungan yang erat dengan pimpinan Perhimpunan Saudagar Indonesia (HSI). Hal ini memungkinkan Permi untuk membiayai program pendidikannya, terutama mendirikan Islamic College di kota Padang.<br /><br />Secara ideologis gerakan Permi jauh berbeda dengan gerakan sosial dan politik yang muncul di Sumatera Barat. Sebelum munculnya Permi organisasi sosial dan politik lebih banyak digerakkan oleh ideologi Islam atau nasionalisme. Permi mencoba menggabungkan kedua ideologi tersebut dengan istilah ideologi Islam dan Kebangsaan. Sang ideolog Permi, Ilyas Ya’qub, menyampaikan ideologi Islam dan kebangsaan itu pada kongres pertama Permi tahun 1930. Alasan yang dikemukan oleh Ilyas Ya’qub ketika mengemukakan ideologi ini adalah bahwa perasaan keagamaan dan kesadaran untuk memiliki satu bangsa merupakan bagian dari kebutuhan hidup manusia. Islam sendiri kata Ilyas Ya’qub mengenal ide-ide kebangsaan. Dalam hubungan ini, agama menekankan kepada para pengikutnya untuk memberikan prioritas kepada saudara-saaudara mereka sebelum memberikannya kepada orang lain. Dalam pandangan politik kata Ya’qub saudara dapat disamakan dengan bangsa dan sebangsa berarti suatu keluarga besar. <br /><br />Pertengahan tahun 1931, Muchtar Luthfi pulang ke Minangkabau dan menjadi juru bicara Permi. Atas usahanya ideologi Islam dan kebangsaan sebagai azas perjuangan Permi mendapat sambutan yang baik dari berbagai lapisan masyarakat di Sumatera Barat. Pada pertengahan Juli 1933 Permi sudah memiliki cabang sebanyak 200 buah di 180 nagari di Minangkabau dan pengikut dengan jumlah sekitar 10.000 orang. Selain itu Djalaluddin Thaib adalah juga tokoh penting yang mensosialisasikan ideologi Permi sehingga pengikutnya di Sumatera Barat semakin bertambah hari demi hari.<br /><br />Melihat perkembangan Permi dan ideologi partai yang dibangunnya diterima oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Barat muncul pula perdebatan dan kritik dari berbagai pemimpin muslim, serta kecurigaan partai lain. Sebagian pemimpin Islam memandang bahwa Permi meskipun dipimpin oleh tokoh yang dibesarkan dan dididik dalam tradisi Islam ternyata telah merusak kesempurnaan agama. Muhammad Natsir, seorang intelektual yang berasal dari Minangkabau dan pemimpin organisasi persatuan Islam, menyebut bahwa pemimpin Permi tidak puas dengan Islam mereka sehingga perlu menambahkan sesuatu di belakang kata Islam. Islam yang mereka pahami secara esensial dalam prakteknya mau diganti dengan paham kebangsaan. Islam dalam ideologi Permi hanyalah berfungsi sebagai pendukung paham kebangsaan. <br /><br />Pada bulan Juli 1932 Permi semakin mempertegas sikap politiknya yang non-koperatif dan bersifat radikal. Muchtar Luthfi, salah seorang pemimpin Permi, dalam rapat umum di tahun yang sama menyampaikan pidato yang mempertegas tujuan Permi, yaitu menciptakan Indonesia baru yang dipimpin oleh seorang presiden Republik Indonesia. Pidato ini menurut pandangan Jaksa Agung tidak bisa ditolerir dan tepat pada tanggal 13 Juli 1932 Gubernur Jenderal memerintahkan penangkapan Muchtar Luthfi. Meskipun seruan para penghulu di nagari Balingka menjamin bahwa Muchtar Luthfi akan melepaskan aktivitas politiknya, namun pada bulan Maret 1934 ia tetap saja dibuang dan ditahan di penjara Digul.<br /><br />Beberapa bulan setelah Permi menentukan sikap politik dan tujuan perjuangan organisasi, pemerintah kolonial menetapkan kebijakan ordonansi sekolah liar di Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1932 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1932. Sesuai dengan ideologi dan tujuan organisasinya, Permi menolak kebijakan ini dan strategi yang dilakukan adalah propaganda yang berisi ajakan kepada berbagai elemen masyarakat di Sumatera Barat untuk melakukan perlawanan.<br /><br />D. Perlawanan Permi Terhadap Ordonansi Sekolah Liar <br /><br />Puncak perlawanan Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sebagaimana dilaporkan oleh koran Medan Ra’yat terjadi dalam bentuk rapat umum (algemeene aktie) di berbagai daerah di Sumatera Barat pada tanggal 25-26 Desember 1932. Di Bukittinggi, rapat umum itu dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu :<br /><br />1. Kampuang Kajai Bukittinggi<br />2. Normal Kursus Putri<br />3. Padang Luar<br />4. Ampat Angkat<br />5. Sungai Puar<br />6. Candung-Baso<br />7. Sianok<br />8. Kubang Putih<br />9. Balai Gurah<br />10. Koto Panjang<br />11. Jambak<br />12. Bukit Batabuah dan,<br />13. Pakan Sinayan.<br />Rapat umum ini bukan hanya dilaksanakan oleh Permi Putra, melainkan juga oleh Permi Putri. Rapat umum yang dilaksanakan oleh Permi di Bukittinggi ini secara umum tidak berjalan sampai selesai dan hanya sampai penyampaian dasar dan tujuan Permi. Ketika ketua masing-masing ketua rapat mulai membicarakan kebijakan ordonansi sekolah liar, maka kemudian pihak yang berwajib langsung mengambil tindakan untuk membubarkannya. <br /><br />Pada hari yang sama, rapat umum (algemeene actie) juga dilaksanakan oleh Permi di Padang Panjang. Rapat tersebut semula direncanakan di beberapa tempat, seperti kota Padang Panjang, Gunung, Batipuh Baru, Koto Baru, Koto Lawas, Sumpur, Bungo Tanjung dan Tanjung Barulak. Karena tidak memperoleh izin akhirnya aksi menentang kebijakan ordonanasi sekolah liar untuk wilayah Padang Panjang hanya dilaksanakan pada empat tempat, yaitu Kota Padang Panjang, Gedung Sinema Teater (Padang Panjang), Gunung dan Batipuh Baru. Keempat rapat umum di Padang Panjang ini berakhir dengan pembubaran oleh pihak berwajib ketika rapat baru saja membacakan kebijakan penerapan ordonansi sekolah liar. <br /><br />Di kota Padang, rapat umum menentang kebijakan ordonansi sekolah liar dilaksanakan Permi di Gedung Permi Islamic College dan Lubuk Begalung pada tanggal 25 Desember 1932. Rapat umum di kedua tempat di kota Padang ini juga berakhir dengan pembubaran. Aksi serupa juga direncana pada beberapa tempat di Bandar Sepuluh, seperti Asam Kumbang, Koto Berapak, Pasar Baru, Gurun Panjang, Salido dan Tarusan. Karena terhambat oleh masalah izin, aksi tersebut hanya berlangsung pada dua tempat saja dan kedua berakhir dengan pembubaran, yaitu Koto Berapak dan Tarusan.<br /><br />Aksi serupa yang dilaksanakan di Kerinci (26-12-1932) dan Maninjau (25-12-1932) juga berakhir dengan pembubaran. Tempat lain di Sumatera Barat sebagai tempat pelaksanaan aksi protes terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar adalah wilayah Batu Sangkar dan Payakumbuh. Beberapa daerah di sekitar Batu Sangkar yang dijadikan oleh Permi sebagai tempat aksi tersebut adalah Batu Sangkar, Sumanik dan Tanjung Limau. Sedangkan di Payakumbuh, aksi dilaksanakan di Batu Hampir, Air Tabik, kota Payakumbuh dan Piladang. Kedua tempat ini aksi protes yang dilancarkan Permi juga dibubarkan oleh pihak berwajib.<br /><br />Meskipun rapat umum untuk memprotes pelaksanaan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat yang diadakan oleh Permi berakhir dengan pembubaran, namun hal itu tidak membuat Permi berhenti untuk memperjuangkan penolakan terhadap kebijakan pendidikan kolonial tersebut. Sehari setelah aksi tersebut Dewan Pelajaran dan Pendidikan Permi langsung mengadakan konferensi di Bukittinggi pada tanggal 26-27 Desember 1932. Konferensi itu dihadiri oleh 214 guru dan pengurus dari 59 Sekolah Thawalib di Sumatera Barat. Peserta yang terlibat dlam konferensi juga berhasil mengambil sikap bahwa ordonansi sekolah liar bertentangan dengan dasar ke-Islaman dan kemanusiaan, sekolah-sekolah Thawalib yang berada dalam naungan Permi dan sekolah lain yang serupa mendapat pukulan hebat dengan diterapkannya ordonansi tersebut, ordonansi sekolah liar menyempitkan hak kemerdekaan rakyat dalam memilih dan menyusun pelajaran dan pendidikan yang selaras dengan keadaannya, serta ordonansi sekolah liar menghambat kecerdasan dan keinsafan rakyat Indonesia. Selain berhasil mengambil sikap, konferensi tersebut juga memutuskan penolakan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar.<br /><br />Gerakan menentanag kebijakan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat bukan hanya dilakukan oleh partai politik Permi, tetapi juga dilakukan oleh organisasi sosial dan politik yang ada ketika itu. Pada bulan Februari 1933 diadakan konferensi di Padang Panjang yang diikuti oleh 129 organisasi politik dan pendidikan di Minangkabau. Dalam konferensi itu diputuskan perlunya usaha mengintensifkan gerakan oposisi menentang ordonansi sekolah liar, menjalin kerja sama dengan semua organisasi di Indonesia dan membangun hubungan yang erat dengan organisasi Islam di luar negeri.<br /><br />Seiring dengan munculnya usaha mengintensif gerakan perlawanan terhadap ordonansi guru, agaknya, bulan Februari 1933 merupakan akhir semua gerakan perlawanan atas kebijakan tersebut. Melalui surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda pada bulan yang sama tahun 1933 kebijakan ordonansi sekolah liar dihapuskan oleh penguasa kolonial. Seiring dengan penghapusan kebijakan tersebut, Pemerintah kolonial mulai mengambil sikap terhadap gerakan yang dilakukan oleh Permi. Pada tahun 1933, beberapa sekolah kaum muda digrebek dan tujuh dari dua belas orang guru Thawalib Padang Panajng dilarang mengajar dalam waktu yang tidak ditentukan. Langkah ini dikuti pula dengan penutupan sekolah-sekolah Permi. Pada awal tahun 1934, sekolah Diniyah Putri dipaksa oleh penguasa kolonial untuk melepaskan dua orang gurunya bekas pimpinan Permi.<br /><br />Di hadapan penindasan pemerintahan kolonial, Permi terpaksa membubarkan Departemen Pelajaran dan Pendidikannya pada tahun 1933 yang pada akhirnya semakin memperlemah daya juang partai politik tersebut. Pada tahun yang sama, tepat bulan Agustus 1933, pemerintah kolonial menerapkan pula kebijakan pelarangan rapat-rapat umum untuk semua perkumpulan, organisasi dan partai politik di Sumatera Barat. <br /><br />Sejak masa itu, Permi hanya mampu melakukan berbagai gerakan dan kegiatan secara diam-diam dan tersembunyi. Pukulan berat diterima oleh Permi pada akhir tahun 1933 dengan ditangkapnya tiga orang pemimpin partai tersebut, yaitu Muchtar Luthfi, Ilyas Ya’qub dan Jalaluddin Thaib yang kemudian diasing ke Digul tahun 1934. Sejak masa ini sulit mencari pimpinan yang mampu melanjutkan perjuangan Permi. Meskipun muncul sosok Ratna Sari, seorang tokoh perempuan, yang melanjutkan kepemimpinan partai politik Permi, namun saja hanya mampu berjalan dalam waktu yang tidak lama. Tepat tanggal 18 Oktober 1937, penguasa kolonial Belanda membubarkan partai yang berideologi Islam dan kebangsaan itu. <br /><br /><br />E. Kesimpulan<br /><br />Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad kedua puluh sebagai tempat munculnya gerakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda. Salah satu dari gerakan tersebut adalah perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang dipelopori oleh Permi tahun 1932. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya gerakan itu sebenarnya sangatlah kompleks dan bersifat interdependen. Di antaranya adalah kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad kedua puluh.<br /><br />Secara ideologis perlawanan yang dipelopori oleh Permi menentang kebijakan ordonansi sekolah liar digerakan oleh ideologi Islam dan kebangsaan. Sejalan dengan ideologinya, Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan.<br /><br />Untuk membangun jaringan langkah pertama yang dilakukan Permi adalah memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum tanggal 25-26 Desember 1932. Hasilnya pada bulan Februari 1933 melalui Surat Keputusan Gubernur Jendral kebijakan ordonansi sekolah dihapuskan oleh penguasa kolonial. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik itu pada tahun 1937.<br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-42246937876320339782011-12-02T00:26:00.000-08:002011-12-02T06:16:28.530-08:00Objektifitas dan Subjektifitas Dalam Penulisan SejarahOleh : Muhammad Ilham (Dosen FIB-Adab/Ketua PSIFA IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq5P63W9akXKnjVh5GxrhV5pImZ-rYqF3-WRcear9Ud3fAsQlur2haY4NuOoGTZxd-1v6Y4F-gC9oW9MM8Oc5eR_gemBHqo3wfPfHfK_TlSfTeXuMDY8hj0_PRqKJl-lMCb9KfJElOaFWE/s1600/safe_image.php.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 84px; height: 90px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq5P63W9akXKnjVh5GxrhV5pImZ-rYqF3-WRcear9Ud3fAsQlur2haY4NuOoGTZxd-1v6Y4F-gC9oW9MM8Oc5eR_gemBHqo3wfPfHfK_TlSfTeXuMDY8hj0_PRqKJl-lMCb9KfJElOaFWE/s200/safe_image.php.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5681534678760936530" border="0" /></a>Persoalan subjektifitas dan objektifitas dalam kerangka epistimologi ilmu, menjadi perdebatan yang tak pernah kunjung selesai dalam tradisi ilmu sosial dan humaniora. Termasuk dalam tradisi penulisan sejarah. Sebagai disiplin ilmu yang juga membahas mengenai manusia dalam dimensi waktu (time dimention), sejarah dalam perkembangannya berpotensi besar digunakan sebagai alat kekuasaan. Pemalsuan data-data sejarah menjadi persoalan serius terhadap indepensi sejarah sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada.<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br /><br /><br />A. Objektifitas : Pengertian Konsep dan Aliran-Aliran Dominan<br /><br /><br />“… Jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata itu difungsikan ! (Gadamer dalam Astrid, 1988: 17)<br /><br /><br /><br />Sebagai sebuah istilah yang sering digunakan dalam sejarah (khususnya : penulisan sejarah), maka konsep objektifitas (selanjutnya digunakan : objektif) dapat dilihat dari dua sudut pengertian. Pengertian Pertama mengacu kepada sasaran atau tujuan sejarah itu diteliti dan ditulis. Dapat juga diformulasikan dalam pertanyaan : “untuk apa dan untuk siapa ?”. Sementara pengertian yang Kedua mengacu kepada pertanyaan : “Apakah sejarah bisa bersifat objektif ?”.<br /><br /><br />1. Objektif : “Untuk Apa dan Untuk Siapa ?”.<br /><br />Dalam konteks pengertian ini, cukup banyak karya sejarah yang bisa kita kemukakan, seperti :<br /><br />a. Bennedict R.O’ Gonnor Anderson telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN. Aidit . Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang.<br /><br />b. Buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) secara objektif ingin merevisi – untuk tidak mengatakan meng-counter – buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan.<br /><br />c. Biografi yang ditulis oleh Bachtiar Adnan Kusuma, Baramuli dalam Identitas Sejarah Indonesia : 70 Tahun Pantang Menyerah merupakan karya tulis bernuansa sejarah-biografis yang merupakan pesanan dari elit-politik Indonesia era Orde Baru H. Arnold Baramuli. Objektifnya jelas, ia merupakan pesanan dari seorang tokoh. Karya-karya lain sejenis ini cukup banyak seperti karya-karya Ramadhan KH yang banyak menulis biografi-biografi tokoh besar. Pertanyaan “untuk apa dan untuk siapa ”, terjawab.<br /><br />d. Beberapa karya sejarah yang membahas tentang sejarah institusi yang pada umumnya – tidak keseluruhan – merupakan karya tulis sejarah yang ditulis untuk institusi berkenaan. Sehingga sering kita menemukan karya-karya sejarah tentang : “Sejarah Madrasah …….” atau “Peran PT. Semen Padang dalam Mencerdaskan Manusia Sumatera Barat : Jejak Tapak sejak Masa Kolonial Belanda …. “ dan sebagainya. <br /><br /><br /><br />2. Objektif : “Apakah sejarah bisa bersifat objektif ?”.<br /><br />Dalam konteks pengertian ini, objektif disini mengacu kepada aspek epistimologi ilmu sejarah itu sendiri. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. <br /><br />Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.<br /><br />Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisis dimana teori-teori/ paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/ sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/ tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/ pendekatan yang digunakan.<br /><br />Berangkat dari pemahaman di atas, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.<br /><br />Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedy 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo (lihat footnote 4) melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah. Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda.<br /><br />Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersang-kutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adat tersebut dalam spektrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.<br /><br />3. Relatifis dalam Sejarah<br /><br />Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekiniaan atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain. Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an :<br /><br />”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja”<br /><br />Kalimat diatas akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam.<br /><br />Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut :<br /><br />“Syekh Halaban (1863-1933) yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang”.<br /><br />Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ.<br /><br />Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa.<br />Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan kalimat dibawah ini :<br /><br /><br />“Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu.Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi”.<br /><br /><br />Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.<br /><br /><br />B. Subjektifitas<br /><br />Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.<br /><br />Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965.<br /><br />Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory yang membongkar habis “kepalsuan” Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”.<br /><br />Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah). Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntung kan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.<br /><br />Tulisan Lengkap, Lihat Jurnal KHAZANAH Vol. II/Nomor 1<br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-23535180044309594682011-12-02T00:21:00.000-08:002011-12-02T06:15:40.679-08:00"Pantun Lama" Tentang Melayu : Suara-Suara Kolonialis-Orientalis Tentang MelayuOleh : Deddy Arsya (Alumni Jur. SKI FIB-Adab/Kritikus Sastra-Kolomnis)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPtZsj1uaXIuErhptAzra-x1thdpFVTo0JgwfFjRLkMSBFd7pRrGtA-Zqn9P7EgmsXyLQZTKmj6kEUVNxVs0rPGM7PYaoanQbgFkcSRMkIr88ajFnM0j-6F3sc3OaNzat2cBsvfkPj4_uW/s1600/1.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 85px; height: 128px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPtZsj1uaXIuErhptAzra-x1thdpFVTo0JgwfFjRLkMSBFd7pRrGtA-Zqn9P7EgmsXyLQZTKmj6kEUVNxVs0rPGM7PYaoanQbgFkcSRMkIr88ajFnM0j-6F3sc3OaNzat2cBsvfkPj4_uW/s200/1.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5681534484378531346" border="0" /></a>Wacana poskolonial belum begitu populer dalam kesastraan Indonesia. Dalam novel Cinta di Dalam Gelas, Andrea Hirata bercerita tentang orang Melayu Belitong. Tulisan ini menunjukkan bahwa telah terjadi generalisasi watak Melayu dalam novel Cinta di Dalam Gelas menurut kerangka Orientalisme. Melayu, dalam kerangka berpikir Marsden yang orientalis, ibarat kerbau yang pemalas, suka tidur dan bersantai. Pada saat yang sama, ia juga bisa menjadi harimau yang buas. Melayu bermukim hampir di seluruh pantai Sumatera dengan kekhasan masing-masing. Namun, Hirata dalam Cinta di Dalam Gelas cukup menjadikan Belitong sebagai representasi yang absah dari masyarakat Melayu. Melayu yang pemalas memang berbeda dengan orang Tionghoa yang pekerja keras, apalagi dengan orang Eropa yang ilmiah. Gambaran-gambaran tentang watak Melayu tersebut secara jelas menunjukkan bahwa penulis Cinta di Dalam Gelas telah terperangkap dalam konsepsi Orientalis mengenai Timur.<br /></div><span class="fullpost"><br /><br />A. Prolog<br /><br />Wacana poskolonial dalam kesastraan Indonesia tidak begitu populer Narasi-narasi kolonial dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan utuh dalam mempengaruhi karya-karya sastra modern Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia tidak sepenuhnya dijajah. Kolonialisasi atas Indonesia hanya bersifat politis, penguasaan dalam ranah kuasa-negara. Atau dengan kata lain, Belanda tidak berhasil melakukan penaklukkan atas kultur dan bahasa daerah jajahannya. Pada aspek bahasa, misalnya, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional Indonesia. Bahasa nasional Indonesia bukanlah bahasa penjajah-nya (bahasa Belanda), tetapi adalah bahasa nasional yang lahir dari hasil modifikasi bahasa Melayu pesisir atau bahasa perdagangan. <br /><br />Namun, meskipun tidak utuh, tidak dapat dinafikan memang, terkadang karya-karya sastra Indonesia telah mengikatkan dirinya dalam aspek-aspek tertentu pada wacana-wacana milik kolonial secara luas, yaitu imperialis Eropa secara umum (tidak Belanda secara khusus). Wacana Barat tentang dunia Timur tetap meng-hegemoni Timur. Dalam beberapa sisi, karya sastra Indonesia, dalam memandang dirinya sendiri, terlihat masih mengadopsi kerangka pikir yang pernah dipakai penjajah-penjajah Barat-Eropa.<br /><br />Pandangan terhadap dunia Timur oleh Barat yang dikembangkan dan dikawal sedemikian rupa oleh para orientalis sejak berabad-abad yang silam juga dilanjutkan oleh elit-elit terdidik Timur sendiri paska penjajahan. Sejak berabad-abad yang silam itu sampai kini Timur tetap menjadi laboratorium raksasa bagi ilmuan-ilmuan Barat. Timur dikaji, ditelaah, diteliti, dengan kacamata berpikir Barat.<br /><br />Cinta di Dalam Gelas merupakan novel kedua dari dwilogi Padang Bulan karya penulis fenomenal Melayu Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang Pustaka Juli 2010 ini. Mengikuti sukses tetralogi Laskar Pelangi, tercatat, dua minggu setelah diterbitkan, novel ini telah laku terjual 25 ribu kopi. Bulan Agustus 2010, novel ini telah kembali dicetak ulang. Dalam novel ini, secara sekilas, corak berpikir kolonialis yang diwakilkan orientalis-Barat tampak ‘menyumbulkan dirinya’ diam-diam seperti topi baja menyumbul di bibir parit pertem-puran. Terminologi 'Orang Melayu', 'Lekali Melayu', 'Watak Melayu', misalnya, beberapa kali diulang-ulang novel ini sebagai generalisasi atas tingkah-polah beberapa orang di Pulau Belitong sebagai latar tempat novel ini. Generalisasi semacam ini dilihat mengindikasikan adanya pikiran-pikiran kolonial dalam novel yang ditulis hampir enam dasawarsa setelah Indonesia merdeka ini.<br /><br />Bagaimana novel ini melihat dan menilai Melayu sebagai entitas budaya? Benarkah terdapat hegemoni corak pikir kolonial-orientalis dalam proses penilaian dan penglihatan itu? Lantas, bagaimana bentuk hegemoni intelektual kolonialis-orientalis yang terdapat dalam novel ini? Tulisan ini akan mencoba membidiknya dari 'parit' yang lain; tulisan ini akan melihat bagaimaan hegemoni narasi-narasi orientalisme itu terdapat dalam karya sastra, Cinta di Dalam Gelas, dengan melihatnya melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarangnya.<br /><br />B. Presentasi dan Generalisasi Melayu dalam Novel Cinta di Dalam Gelas<br /><br /><br /><br />Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.<br /><br />Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu.<br /><br /><br />Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai. Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial disepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.<br /><br />Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).<br /><br />Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu.<br /><br />Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah.<br /><br />“Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea. (penebalan tulisan dari penulis).<br /><br /><br />Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.” Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya. Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.<br /><br /><br />C. Pencatat Melayu yang Bukan-Melayu<br /><br /><br />Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat.<br /><br />Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya. Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109) <br /><br />Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu.<br /><br />Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.” Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.<br /><br />Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya. <br /><br /><br />D. Superior Barat dan Inferior Melayu Timur<br /><br />Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi. (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001). Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan. <br /><br />Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.<br /><br />Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky.<br /><br /><br />“Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.”<br /><br /><br /><br />Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya!<br /><br />Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar. Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern. Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.<br /><br /><br />Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.<br /><br /><br />E. Epilog<br /><br />Cinta di Dalam Gelas mengukuhkan kembali narasi-narasi tentang Timur (dalam hal ini, secara khusus, tetang dunia Melayu) yang ditulis dan dilisankan orientalis-kolonialis berabad-abad silam dan menjadi kokoh di kalangan bangsa-bangsa terjajah kemudian. Andrea Hirata tidak berniat untuk, meminjam Edwar Said lagi, “menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang sudah mantap itu.”<br /><br />Tulisan Lengkap diterbitkan dalam Jurnal KHAZANAH Vol. II/Nomor 1<br /> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-90447098198145019782011-12-02T00:09:00.000-08:002011-12-02T06:12:21.722-08:00Dinamika Beragama Masyarakat Minangkabau Pasca PaderiOleh : Dr. Ahmad Taufik Hidayat, M.Ag (Dosen Studi Naskah FIB-Adab)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7rALzmlHUgETvL4C9Ou30MYeSyIIcSNxAvnQVrzc14CBY0NdQW0Vl6r_a08MZyyYHGcoVURuJrXJ6LQT7VBhUIW8fZyNmjFTY9RGl5upApWNbw7lajfVrKoSdrE0n25ag8jgieEgyd6yp/s1600/index.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 61px; height: 87px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7rALzmlHUgETvL4C9Ou30MYeSyIIcSNxAvnQVrzc14CBY0NdQW0Vl6r_a08MZyyYHGcoVURuJrXJ6LQT7VBhUIW8fZyNmjFTY9RGl5upApWNbw7lajfVrKoSdrE0n25ag8jgieEgyd6yp/s200/index.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5681533610173087666" border="0" /></a>Perang Paderi berakhir dengan kekalahan di pihak kaum Paderi. Walaupun demikian, setidaknya ada dua dampak dari peperangan ini, pertama, supremasi syariat atas adat dalam konsepsi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Kedua, tercapainya Plakat Panjang (1833) yang menjamin dan melindungi aset perekonomian rakyat dari Belanda. Dalam perkembangannya, dampak pertama menunjukkan dinamika yang jauh lebih kompleks seiring terpecahnya elit agama ke dalam dua kekuatan: ulama tradisional dan modern. Pola hubungan antara dua elit agama ini ditandai dengan perubahan pada aspek-aspek tertentu. Hal itu setidaknya tergambar dalam dinamika perkembangan surau. Sebagian ulama tradisi mengubah surau mereka menjadi madrasah, meninggalkan system belajar halaqah, namun tetap berorientasi pada pemikiran tradisional. Sebagian lain mendirikan sistem pendidikan modern secara berdampingan dengan surau.<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br /><br />A. Bermula dari Perang Paderi<br /><br />Perang Paderi berakhir dengan kekalahan berada di pihak kaum Paderi. Tetapi gerakan ini cukup berhasil dalam dua hal: pertama meletakkan supremasi syari’at di atas adat dalam konsepsi (ABS-SBK). Sebelumnya, kesepakatan terjauh yang mungkin tercapai adalah perimbangan antara adat dan syari’at sebagai pedoman kehidupan masyarakat Minang yang dirangkum dalam konsepsi adat basandi syarak, syarak basandi adat. Konsensus ini berimplikasi pada aspek normatif adat yang formulasinya dapat dilihat dalam pepatah-petitih Minangkabau lainnya. Sanusi Latif mencatat sekurangnya tiga ungkapan yang mencerminkan hal itu, seperti, syarak mangato, adat mamakai, syarak batilanjang adat basisampiang. Supremasi ini diterima dalam tradisi adat masyarakat Minang yang mereka sebut adat nan saban adat. Pada gilirannya, demikian Azra, adat dianggap sebagai manifestasi yang benar dari hukum-hukum agama. <br /><br />Persoalan yang berhubungan dengan perselisihan antara kaum adat dengan kaum agama juga relatif telah dapat diatasi. Beberapa gejolak yang muncul belakangan mengarah pada wacana intelektual saja dan agaknya kurang mendapat respon dari masyarakat luas. Kedua, melindungi aset perekonomian rakyat karena telah berhasil mencapai kesepakatan dengan pihak Belanda yang ditulis dalam Plakat Panjang (1833). Kesepakatan ini berisi bahwa Belanda tidak akan membebankan pajak langsung kepada rakyat serta tidak akan mencampuri masalah adat dan agama dalam nagari-nagari di Minangkabau. <br />Tetapi isu-isu pemurnian yang sebelumnya diemban kaum Paderi tetap disuarakan dengan kental, namun diletakkan dalam jubah “ke-modern-an”. Sifat modernitas dalam keyakinan beragama yang mereka perkenalkan adalah memberi porsi lebih pada potensi akal untuk menggali dan memahami norma-norma agama. Bermazhab bukannya tidak boleh, namun harus diterima dengan sikap kritis, karena sesungguhnya Allah telah menganugerahkan akal kepada manusia agar tidak taklid dalam beragama. Pada sisi berseberangan, ulama tradisional senantiasa menganjurkan kepada pengikutnya untuk selalu berpegang teguh kepada mazhab-mazhab yang ada sebagai bentuk ketaatan dalam menerima ajaran dari guru-guru mereka. <br /><br />Namun di sini persoalannya bukan sekedar teguh menjalankan prinsip keagamaan. Mengenai ketokohan Syekh Ahmad Khatib, tekanan kolonial serta gaung pembaharuan terutama dalam bidang pendidikan yang begitu mendunia mengharuskan ulama tradisi merevisi kembali batas-batas prinsip tersebut. Meskipun pada beberapa fase terjadi polemik antara Syekh Ahmad Khatib vs Syekh Saad Mungka (1227-1339 H) seputar amalan-amalan kaum tarekat dan persoalan ibadah pada umumnya, tetap tidak dapat membendung pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh murid-murid Ahmad Khatib. Berdasarkan beberapa catatan, selain ulama dari kalangan modernis, sejumlah ulama tradisional juga pernah belajar kepadanya. Sebut saja misalnya Syekh Muhammad Chatib al-Fadaniy dan Syekh Bayang. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa ketokohan Syekh Ahmad Khatib di Mekah pada masa peralihan abad 19 ke abad 20 sangat signifikan dalam membentuk karakter Islam di Minangkabau. <br />Tetapi fakta di atas sedikit membuka diskusi ke arah lain. Spektrum pertikaian faham sesungguhnya lumayan longgar. Kelompok ulama tradisi (terutama Syattariyah dan Naqsha-bandiyah) dapat bersatu ketika isu-isu faham keagamaan—meskipun keduanya berseberangan arah dalam praktek dan amalan tarekat—tradisional diserang oleh ulama dari kelompok modernis. Sekedar tambahan, Tuanku Nan Tuo, seorang ulama yang garang dalam perang Paderi berlatar tarekat Syattariyah. <br /><br />Ada banyak kasus inkonsistensi dalam pola-pola hubungan sosial semacam itu yang mungkin tidak akan habis untuk didiskusikan. Tetapi yang ingin dikejar di sini adalah spektrum pertikaian antara ulama modernis dan ulama tradisional cenderung mengarah pada sikap moderasi manakala kebutuhan untuk memajukan pendidikan sama-sama dirasa penting, dan oleh karena itu ulama tradisional dapat kembali bersatu dalam payung tradisional, mungkin ditingkahi dengan semangat kompetisi internal, untuk membendung faham-faham pembaruan.<br /><br />Kiprah murid-murid Ahmad Khatib di Minangkabau telah mencitrakan diri mereka sebagai kelompok yang membawa perubahan, terutama dalam bidang pendidikan. Kenyataan yang sama dapat dijumpai diberbagai wilayah dunia Islam, seperti di Turki, Mesir, India dan tempat-tempat lain. Oleh karenanya, tidak heran bila tokoh-tokoh yang melanjutkan perjuangan Paderi dalam bentuk baru ini dikenal dengan kaum Muda. Sebuah gelar yang mengingatkan orang dengan gerakan Turki Muda pimpinan Anwar Pasya dan Kemal Attaturk di Turki pada awal abad ke-20.<br /><br />Ciri kemodernan yang diperlihatkan Turki Muda yang terpenting adalah mengangkat harkat bangsa Turki setara dengan bangsa Eropa. Dalam kerangka itu, selain dimotivasi oleh semangat pembaharuan di belahan dunia Islam lainnya, seperti di Mesir, kaum Muda Minang menyuarakan pesan serupa. Namun persoalan yang bersifat politis agaknya tidak terlalu kelihatan dalam pergerakan mereka. Gerakan modern yang mereka usung lebih terfokus pada isu-isu pendidikan dan pencerahan dalam hal keagamaan. Hal itu boleh jadi dikarenakan kuatnya pengaruh Ahmad Khatib daripada tokoh-tokoh lain semisal Muhammad Abduh, Rashid Ridha, Jamal al-Din al-Afghani dan tokoh-tokoh di Turki. Sebagian besar murid Ahmad Khatib terhubung dengan gerakan Paderi jilid 2. <br /><br />Kecenderungan perubahan yang mereka lakukan terlihat jelas pada model pendidikan yang mereka bina. Adabiah School, Sumatera Thawalib dan Diniyah Padang Panjang, merupakan bentuk gerakan modernisme Islam yang berorientasi kepada pendidikan, yang untuk masa selanjutnya dijadikan basis pemahaman kelompok modernis. Sekolah-sekolah ini menerapkan sistem modern, dengan pengertian menggunakan sistem kelas, tidak seperti sebelumnya dengan sistem halaqah yang dipraktekkan di Surau-Surau, kurikulum yang dipaketkan dengan memadukan mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, serta diselenggarakan dalam jangka waktu 7 tahun. Pada masa itu, sekolah-sekolah yang didirikan kelompok modernis di Minangkabau banyak diminati oleh masyarakat, tidak hanya masyarakat lokal, namun juga dari luar wilayah Minangkabau. Bahkan Aceh, sebagai daerah yang dahulu pernah dijadikan tempat menimba ilmu bagi orang Minang malah mengirimkan putera-putera terbaik mereka ke daerah ini.<br />Karena itu, tidak pula mengherankan bila gema perubahan dunia Islam juga menyentuh kelompok tradisi. Secara kelembagaan, respon kalangan tradisi terhadap kedatangan arus modernisasi ini sebagaimana terlihat dalam institusi Surau yang mereka bina tergambar dalam tiga kecendrungan umum. Pertama, Sebagian ulama-ulama tradisi yang telah tercerahkan ikut ambil bagian dengan memekarkan fungsi Surau menjadi madrasah, namun dengan orientasi berbasis pemikiran tradisional. Mereka mengartikulasikannya dalam model pendidikan yang juga berbau modern dan meninggalkan sistem halaqah. Kedua, sebagian lagi tetap dalam bentuk tradisionalnya. Diantara Surau-Surau yang dahulunya menjadi basis pergerakan kalangan tradisi, terutama Surau-Surau yang mengembangkan praktek-praktek tarekat termasuk dalam barisan ini, walaupun pada saat yang sama, penganut tarekat sendiri sering mengalami konflik pemikiran, terutama antara penganut tarekat Syattariyah dengan tarekat Naqsyabandiyah, dan ketiga, menciptakan model pendidikan modern, tetapi juga mempertahankan institusi Surau.<br /><br />Untuk mencapai hal itu, mereka membangun madrasah berdam-pingan dengan Surau yang menjadi basis awal mereka. Pada tahap ini, agaknya dinamika perubahan dalam dunia pendidikan Islam telah memisahkan kecenderungan kalangan tradisional, terutama dari aspek fisik. Tetapi secara umum, dalam prakteknya arah perubahan kalangan tradisional terlihat pada sikap menerima perubahan yang digagas oleh kalangan pembaharu dan perkembangan yang terjadi di dunia Islam.<br /><br />Namun demikian—jika boleh hal itu dianggap sebagai keberhasilan kalangan modernis mengkomunikasikan ide-ide pembaharuan lewat berbagai cara kepada kelompok tradisional—maka pencapaian tersebut jelas tidak mudah. Baru pada tahun 1928 ulama tradisi melihat aspek positif dari keberadaan sekolah-sekolah modern, tentunya didahului oleh semakin berkurangnya minat masyarakat terhadap Surau, dan adanya semacam himbauan dari kelompok pembaharu agar ulama tradisi mengikuti apa yang telah mereka lakukan. <br /><br />Dari pemaparan di atas terlihat bahwa kecenderungan perubahan semangat beragama masyarakat Islam Minangkabau, baik kelompok modernis maupun kelompok tradisional mengarah pada pengembangan aspek intelektual yang tercipta melalui pergesekan dinamika pemikiran antar dua kelompok, yang melahirkan sekolah-sekolah unggul pada masanya. Fokus mereka pada aspek pendidikan merupakan sebuah indikasi kuat bahwa, masyarakat Minang yang dianggap taat beragama, adalah juga masyarakat yang mengerti skala prioritas dalam membangun manusia. Karena, sebagaimana yang diinginkan oleh kalangan pembaru, jika ingin membangun masyarakat, maka bangunlah generasi mudanya. Kesadaran itu diperkuat dengan adanya tekanan pihak kolonial dan perkembangan sekolah-sekolah yang mereka dirikan.<br /><br />Oleh karenanya penting dicatat, bahwa suburnya sekolah-sekolah Islam modern yang diprakarsai tokoh-tokoh muda juga dapat dilihat sebagai respon terhadap sistem pendidikan yang dibentuk Belanda. Sebagaimana dimaklumi, dengan politik etis-nya, Belanda juga mendirikan beberapa sekolah bagi masyarakat pribumi yang mencetak tenaga-tenaga administrasi siap pakai dengan kurikulum pendidikan umum. Surau Jembatan Besi dan Adabiah School merupakan bentuk konkret kaum muda untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh Belanda. Perubahan yang mereka lakukan dalam hal ini, meminjam pemetaan Steenbrink, setidaknya dapat dilihat dari 3 motif dasar :<br />• Usaha menyempurnakan sistem pendidikan Surau<br />• Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat<br />• Upaya untuk menjembatani ketertinggalan model pendidikan lama dengan kemunculan sistem pendidikan baru yang diprakarsai Belanda dan negara-negara Barat lainnya. <br /><br />Untuk mewadahi motif-motif ini, kalangan Islam modernis menerima Muhammadiyah sebagai organisasi mereka, sedangkan kelompok Islam tradisional menerima Perti menjadi basis pergerakan. Pada gilirannya, kedua wadah organisasi ini menyatu dalam kultur keagamaan umat Islam di Minangkabau yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana menyatunya adat dan syari’at, meski masih memelihara konflik. Setiap saat selalu dihadapi oleh upaya untuk menemukan jalan moderasi yang berdampak pada corak beragama masyarakat Minang yang disebut oleh Azra sebagai Islam Garis Tengah. <br /><br />Dengan demikian, semangat beragama yang difokuskan kepada upaya pembaharuan pendidikan meningkatkan sikap terbuka dalam beragama dalam masyarakat Minang dan membuka cakrawala keagamaan yang dikembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan mereka, baik kelompok modernis maupun kelompok tradisionalis. Pada periode ini, sikap fanatik yang dipelihara sebelumnya di kalangan ulama tradisional sebagian besar tersalurkan melalui wadah organisasi yang ada, termasuk dalam hal ini sebagian Surau-Surau yang dengan konsisten memelihara fanatisme terhadap keyakinan dan fanatisme serta mempertahankan struktur Surau, dalam pengertian tidak merubah diri menjadi madrasah, juga mengidentifikasi diri ke dalam kelompok tradisionalis (Perti).<br />Wacana perbedaan yang diperselisihkan kedua belah pihak lebih diarahkan ke dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan melalui media cetak masing-masing. Walaupun ada juga polemik yang dilempar dalam ceramah-ceramah ataupun debat-debat terbuka, namun perselisihan tersebut berjalan tanpa konflik serius. <br /><br /><br />B. Peran Surau Bagi Pembentukan Karakter Islam Tradisional<br /><br />Secara tradisional, ada dua arena pembentukkan karakter masya-rakat Minangkabau, Surau dan lapau. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini. Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari tempat ini. Jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah. <br /><br />Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minang-kabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Tetapi, di Surau mereka bukan sekedar menginap.<br /><br />Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan seterusnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini. Demikian besar fungsi Surau bagi perkemba-ngan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan.<br /><br />Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.<br /><br />Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat meng-akomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. <br /><br />Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kul-tural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memuncul-kan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minang-kabau. Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya.<br /><br />Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minang-kabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada. <br /><br />Dari perspektif ini, Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. <br /><br />Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ? <br /><br />Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguat nya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, surau-surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.<br /><br /><br />Tulisan Lengkap : diterbitkan dalam Jurnal KHAZANAH Vol. II/No. 1<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-85253953864197719842011-08-11T07:10:00.000-07:002011-08-11T07:11:12.976-07:00Di Bawah Lindungan Ka'bah HAMKA : ” Novel Ta'limi, Imajinatif dan Berakidah"Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Sastra Arab FIBA/Kapuslit IAIN Padang)
<br />
<br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhts0NTQYhwThgsKOuUL_d95xidYZppl8twA6bbHylg9voK3-OqPGSv377i6AWq8EXYlA-7X9u6prJ8kGugI5yshQhK2KWKlY2s8VAtUGWqAAErUG9bv3Y3NKXfzI1veV-CWkXhDuFJmYa/s1600/yu26.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 77px; height: 77px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhts0NTQYhwThgsKOuUL_d95xidYZppl8twA6bbHylg9voK3-OqPGSv377i6AWq8EXYlA-7X9u6prJ8kGugI5yshQhK2KWKlY2s8VAtUGWqAAErUG9bv3Y3NKXfzI1veV-CWkXhDuFJmYa/s200/yu26.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5639598776359091954" border="0" /></a>Skh. Haluan menurunkan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” sebagai cerbung setiap hari mulai selasa ini, patut diberi apresiasi. Setidaknya ada tiga hal yang paling mendasar. Pertama penting bagi penikmat sastra di kalangan muda. Fakta ilmiah, Tim Universitas Insaniah Kedah kerjasama Puslit IAIN Imam Bonjol, meneliti Hamka 2010, ditemukan anak muda Malaysia dan Indonesia nyaris tak kenal lagi Hamka sebagai seorang sastrawan, karena di sekolah tidak muncul lagi ada kajian karya sastranya, guru dan pelajaran bahasa Indonesia tidak berpihak lagi kepada sastra lama, Bahasa Indonesia hanya untuk UN saja.
<br /></div><span class="fullpost">
<br />
<br />Kedua penting bagi sastrawan muda. Secara faktual dewasa ini, hampir karya sastra termasuk yang disinetronkan di tv terkesan tidak at home di negeri sendiri, konflik panjang-panjang menghilangkan kesan natural dan tak berakar pada budaya sebagai roh dan identitas bangsa sendiri. Ketiga, penting bagi ulama sekarang. Hamka sebagai seorang ulama memandang sastra, sangat intens dan fenomenal. Beda dengan ulama sekarang nyaris meninggalkan sastra dan dunia imajinasi, padahal sastra tak lepas dari kehidupan umat dan sering menyulut akidah. Hamka seperti juga ulama legendaries Minangkabau sampai abad ke-20, justru mereka sudah menciptakan tradisi menulis sastra sekaligus menemukan sistem sastra klasik meminjam istilah Braginsky (1998) sebagai sistem antropomorfik untuk membentuk manusia menjadi makhluk rohani.
<br />
<br />Hamka dengan novelnya ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” mengesankan betapa seorang ulama mentradisikan menulis sastra untuk mengikat kuat pertalian imajinasi dengan akidah dan membuat orang punya nurani, halus dan santun. Sepertinya tidak mau terulang fenomena Panjikusmin dalam berimajinasi menyulut akidah dan membuat heboh umat. Hamka dalam novel agungnya ini dan sudah difilmkam, mampu mempertautkan imajinasi dengan basis akidah yang kuat, tanpa disadari novel ditulisnya untuk aghradh (misi tema) meminjam istilah Emil Ya’qub (1987) sebagai al-adab al-ta’limiy (sastra didaktik) mentransformasikan fakta pengetahuan empiris dengan teknik bersastra dan ”ta’lim” (pengajaran) serta karakter prilaku akhlak Islam yang kukuh akidah dan syari’ahnya. Kepiawaian Hamka dalam menjalin unsur sasta Islami: pengajaran yang indah, hikmah dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) plus unsur estetika, erotika yang tidak terlepas dari kontrol etika, tidak kurang membuat cerita dua kekasih Hamid – Zainab ini dapat yuhadhid sami’ (membuai penikmat sastra), terempati, hanyut berlinang air mata dalam alur cerita. Pasalnya Hamka pandai benar menceritakan bagaimana Hamid – Zainab terhalang menyatukan kasihnya bukan karena norm adat, tetapi terkekang prilaku orang/ mamak minang dalam sistem penjodohan. Zainab sakit-sakitan menahan rindu sampai mati dalam pingitan. Hamid sedih dan sakit, karena sayup, kekasihnya duluan wafat, saat ia sudah bertekad dari Mekah pulang menemui kekasihnya ini. Konvensasi Hamid teguh pada sikap muslimnya menyempurnakan ibadah haji di Baitullah. Namun juga tak tercapai oleh nafasnya, sehabis wuquf di Arafah besama temannya Saleh suami dari Rosna teman akrab Zainab, menjelang ke Mina ia terjatuh, digendong seorang Badui ke Ka’bah. Dalam lidahnya bermunajat kepada Allah yang maha pengasih maha penyayang, suaranya tertelan, ia wafat saat memegang kain kiswah penutup ka’bah. Novel ini imajinatif antara dimensi cinta – prilaku tokoh adat – akidah, yang mengajarkan berimajinasi perlu kuat akidah dalam prilaku.
<br /></span><span class="fullpost"> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-44993382683643267522011-08-11T07:06:00.001-07:002011-08-11T07:09:54.137-07:00Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim”Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI FIBA/Ketua PSIFA IAIN Padang)
<br />
<br /><div style="text-align: justify; font-weight: bold;">Tiga dari empat khalifah/mati terbunuh/darah tetes di tengah rumah – Ya Rasulullah !<span style="font-weight: bold;"> (Taufiq Ismail)</span>
<br /></div>
<br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5GvEIfGb2XKTyBqjod3bdumgUQqzgDvckNPb4C9fh2jxLDVa8pAZUUStq8B3vwTdG2JrMjyZxvADD9jaySBPOpKDI50nbKHqm-3vpaXQU3CYqwiSXAC1XQFKSO9nSxrS8-DZO8fyCYaIE/s1600/safe_image.php.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 84px; height: 90px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5GvEIfGb2XKTyBqjod3bdumgUQqzgDvckNPb4C9fh2jxLDVa8pAZUUStq8B3vwTdG2JrMjyZxvADD9jaySBPOpKDI50nbKHqm-3vpaXQU3CYqwiSXAC1XQFKSO9nSxrS8-DZO8fyCYaIE/s200/safe_image.php.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5639600368314987154" border="0" /></a>Diantara empat orang Khulafaur Rasyidin, hanya satu orang yang wafat secara “wajar” – Abu Bakar ra. Dua Khalifah, ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ra., tumbang mengenaskan dalam lumuran darah persengketaan. Utsman dibunuh dalam satu huru hara yang teramat mirip dengan mass coup de etaat (kudeta massa). Huru hara terhadap Utsman ini bermula dari rasa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahannya yang diidentikkan dengan nepotisme dan kolusi serta korupsi di “lingkaran” terdekat klan-nya. Sedangkan Utsman, khalifah yang mulai uzur ini, pada akhir-akhir masa jabatannya (25-30 H.) praktis tenggelam dalam mengontrol dan mengikuti perkembangan proyek penyatuan penulisan al-Qur’an.
<br /></div><span class="fullpost">
<br />
<br />Dan, nukilan sejarah mengatakan, Utsman ditikam (sebagian sejarawan mengatakan Utsman ditikam kala sedang mengaji, dari “proyek” mushaf barunya yang baru saja digandakan). Penikaman terhadap Utsman ini tersebabkan karena massa gagal mendesaknya untuk menyerahkan Marwan bin Hakam (sekretaris dan penasehat pribadi sekaligus familinya). Marwan dianggap sebagai “biang” dari kezaliman elit penguasa. Sebenarnya, ketidaktegasan Utsman berkaitan dengan nepotisme-birokrasinya ini, sudah pernah diperingatkan oleh ‘Aisyah ra. Aisyah bahkjan pernah didatangi oleh para perwira untuk mengkudeta Utsman. Namun keinginan para perwira ini ditentang oleh janda Rasulullah nan pintar, cantik serta muda ini. Pada sisi lain, tawaran dari putra-putri Ali bin Abi Thalib serta Abdullah putra Umar bin Khattab ra. serta beberapa kerabat lainnya yang mendatangi Utsman untuk mem-back up Khalifat yang sudah mulai uzur ini, ditanggapi Khalifah yang baik hati ini dengan perkataan : “Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menyelisihi Rasulullah, dikalangan ummatnya, dengan membunuh” (Qurthubi, XVI: ?). Pada akhirnya, Utsman putra Affan ini-pun “rubuh”.
<br />
<br />Sementara itu, khalifah yang ke-empat, Ali bin Thalib dihadang ketika ia keluar dari rumah mau ke masjid, menjelang subuh. Ia dibunuh mantan pengikutnya sendiri yang kecewa terhadap Ali karena mau mengikuti perundingan (yang akhirnya “dikerjai”) pihak Mua’awiyyah bin Abi Syofyan ra. Pembunuhan terhadap Utsman dan Ali, kental dengan aroma “kekuasaan”. Mereka berdua “ditikam” orang dalam Islam. Hal ini beda dengan apa yang terjadi pada Khalifah ke-dua, Umar bin Khattab. Berawal dari dendam. Umar bin Khattab yang pintar dan tegas ini, ditikam kala sedang berjalan meluruskan saf jama’ah (konon, dengan tongkatnya) sebelum mengangkat takbir sholat Subuh. Seorang budak Persia “milik” Mughirah bin Syu’bah ra bernama Fairuz alias Abu Lu’lu-ah, menikamnya. Ketika Umar bin Khattab diberitahu siapa yang menikamnya, Umar berkata : “Alhamdulillah, aku tak dibunuh oleh orang Islam”. Abu Lu’Lu-ah berasal dari Persia. Belakangan, ummat Syi’ah menganggap Fairuz alias Abu Lu’lu-ah yang beragama Majusi ini sebagai orang yang “berani karena agama” karena menikam Umar bin Khattab. Wallahu A’lam bish Shawab.“Darah tetes ditengah rumah”, kata penyair Taufik Ismail. Aisyah ra. bersama-sama dengan Talhah bin Ubaidillah serta Zubeir bin Awwam ra., mengangkat senjata melawan Ali bin Abi Thalib ra, setelah gagal mendesak sepupu Nabi Muhammad SAW. ini untuk mengusut tuntas dan terang benderang pembunuhan terhadap Utsman bin Affan.
<br />
<br />Ketidakmauan Ali mengusut secara tuntas pembunuhan ini, memunculkan “opini liar” ditengah-tengah masyarakat kala itu, Ali merestui gerakan para perusuh yang membunuh Utsman. Dan, ketegangan antara Aisyah ra. (cs) ini berakhir dengan perang. Thalhah dan Zubeir gugur (kedua orang mereka ini termasuk sahabat paling utama Rasulullah, bahkan dianggap memiliki “tiket-jaminan” masuk sorga). Sementara Aisyah ra. – janda Rasulullah – ditangkap dan dipulangkan dengan baik-baik ke Madinah. Ketika putra Ali bin Abi Thalib – Al-Hasan bin Ali ra. menyerahkan hak pemerintahan ke tangan Mu’awiyyah anak Abi Syofyan dan Hindun (Hindun dalam sejarah dicatat sebagai wanita yang pernah memakan jantung/hati Hamzah paman Rasulullah setelah Hamzah gugur dalam peperangan). Ini terjadi pada 41 H. Saudara kembar Al-Hasan, Al-Hussein bin Ali ra., dibujuk oleh penduduk Kuffah – tempat Muawiyyah “bersemayam” – untuk datang dan dibai’at. Abdullah bin Abbas, sepupunya, serta Abdullah bin Umar bin Al-Khattab, sudah merayunya untuk tidak berangkat. Namun ini ditolak oleh Al-Hussein. Takdir kemudian menentukan : Al-Hussein bin Ali ra. bersama keluarga dan para pengawalnya dibantai oleh bala tentara Gubernur Basrah di Padang Karbala. Ini tejadi pada era Yazid bin Mu’awiyyah. Inilah salah satu episode heroic berbasis etos dendam yang kelak menentukan karakter pembentukan kelompok keagamaan (Syi’ah). Kepala Al-Hussein dipenggal dan kemudian diarak-arak di seputar kota Damaskus. ………….. “Darah Tetes di tengah rumah, Ya Rasulullah!”.
<br />
<br />Dan pertumpahan darah “ditengah rumah” terus berlanjut hingga periode dan dinasti-dinasti berikutnya. Teringat saya dengan tulisan “Viking dan Tartar”nya Syu’bah Asa. Syu’bah Asa mengutip Thantawi Jauhari yang mengatakan bahwa andai saja musyawarah bisa dilestarikan, takkanlah sejarah Islam ini dipenuhi kisah-kisah perebutan kekuasaan yang begitu brutal. Menurut Thantawi Jauhari, apa yang ditempuh para penguasa muslim itu tidaklah berbeda kekejaman dan “gaya” pengkhiatannya dari tingkah raja-raja dan kaisar despotic Eropa, Cina atau dari manapun jua. Bahkan juga tidak berbeda dengan Amangkurat II pada masa Mataram (Islam) yang pernah membantai sekaligus ratusan – bahkan ribuan – santri dan kiai. Apa yang dilakukan Amangkurat II tak kalah “serunya” dengan apa yang diperbuat oleh Abul Abbas As-Saffah – pendiri Dinasti Abbasiyah – yang tangannya banyak dilumuri darah kaum muslimin (As-Saffah secara harfiah bisa diartikan “penumpah darah”). As-Saffah bersama pasukannya dicatat dalam sejarah membunuhi klan Umayyah dan diakhir pembunuhan itu, As-Saffah memerintahkan untuk membentangkan karpet diatas gundukan mayat-mayat yang mereka habisi. Lalu mereka makan minum diatas bentangan karpet itu, diantara rintihan tubuh-tubuh menggeliat yang masih terdengar. Fantastis !!. Cerita memilukan ini, dinarasikan dengan luar biasa sehingga bisa membawa bulu kuduk “bergidik” oleh George (Jirji) Zaidan dalam novelnya Bendera Hitam dari Khurasan.
<br />
<br />Menurut Jirji Zaidan, pada orang Arab, referensi kebrutalan memiliki referensi histories : tradisi Jahiliyah. Bahkan Nabi Muhammad SAW. pernah mengingatkan akan hal ini agar mereka jangan (nanti) kembali pada kekafiran jahiliyah dimana “sebagian dari kamu akan menebas leher yang lain” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi). Kekhawatiran Rasulullah inilah yang kemudian mereka lakukan belakangan. Ini juga yang (mungkin) sekarang juga dilakukan oleh Bashar Al-Assad yang “membantai” ratusan rakyatnya di Suriah (dahulunya menjadi salah satu enclave utama basis Islam politik). Tapi, apapun kebrutalan yang dinukilkan oleh etnik Arab dalam sejarah, bagi beberapa sejarawan (Thantawi, Ira Martin Lapidus, JE. Bosworth, Martin DGS. Hodgson – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), tetap memiliki “beda” dengan kebrutalan Viking, Tartar apalagi Amangkurat II (yang terakhir ini, hanya improve saya). Di luar kekuasaan, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah (dua dinasti besar yang pondasi-nya diletakkan oleh klan dari etnik Arab) dikenal mempraktekkan “puncak keadilan dan peradaban”, ini yang membedakan mereka dengan dari para despotic Eropa, Jepang dan Cina dan dibelahan manapun jua - tentunya pada masa mereka – dimana tempat kekuasaan raja memungkinkan mereka untuk menjadikan leher seorang rakyat hanya untuk (sekedar) mencoba ketajaman sebuah pedang. Sementara para penguasa muslim justru mempraktekkan ajaran Qur’an, namun dalam soal politik, itu berbeda. Dalam soal politik itulah terjadinya pengingkaran kemanusiaan. Di bagian hidup yang lain, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memiliki catatan manis peradaban dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.
<br />
<br />Referensi : Thantawi Jauhari (1981 ed.ter), Jirji Zaidan (1992), Ira Martin Lapidus (1999), DGS. Hodgson (1998), Syu'bah Asa (1998).Foto :luvislam.com
<br />
<br />Foto : dejavu.com
<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-62222242673125015532011-06-13T21:54:00.001-07:002011-06-13T21:55:03.449-07:00Manuskrip Minangkabau dan Etika PenyelamatannyaOleh : Yulfira Riza (Dosen Filologi FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-_oT5JbkaaoNgEhr3A-hZvR9mhPFFVH3APGgc7_Lu3wxdC1aK1K12AJsN5s-cPgP5FvxbYTa63mr1-LNuMEryxYLpjPy_wFRDqKmz9q1hb7fc01HRSFoyunR0rdIwcDtBhR25S-RfHprj/s1600/n1462350505_9534.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 80px; height: 90px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-_oT5JbkaaoNgEhr3A-hZvR9mhPFFVH3APGgc7_Lu3wxdC1aK1K12AJsN5s-cPgP5FvxbYTa63mr1-LNuMEryxYLpjPy_wFRDqKmz9q1hb7fc01HRSFoyunR0rdIwcDtBhR25S-RfHprj/s200/n1462350505_9534.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5613096901665494530" border="0" /></a>Manuskrip (naskah) kuno merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir setiap bangsa yang memilikinya untuk memberitahu betapa tinggi peradaban yang pernah terbentuk. Melalui manuskrip kuno tersebut, dapat terkuak data dan fakta yang dapat dijadikan sebagai dokumen otentik untuk membuktikan kapan suatu bangsa mengenal budaya, menyusun kehidupan yang teratur, dan mempunyai suatu keyakinan yang teguh kepada Tuhan. Semua itu merupakan mahakarya para leluhur yang diwariskan kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, bukan untuk dijadikan pajangan dan perhiasan di lemari emas. Namun, niat awal penulisan adalah untuk dipelajari isinya, dimaknai setiap goresan aksaranya, dan tentunya diabadikan ilmu yang terkandung di dalamnya dengan penyelamatan kerapuhan raga manuskrip tersebut.<br /></div><span class="fullpost"><br /><br />Minangkabau merupakan satu dari sekian banyak tempat penyimpanan manuskrip di dunia. Masuknya Islam pada abad ke-13 menggiring rang Minang untuk mulai mengabadikan hasil pemikiran mereka dalam bentuk tulisan dengan menggunakan aksara Arab Melayu. Sejak saat itulah, naskah-naskah yang antara lain tentang agama Islam, sastra, budaya, undang-undang, ilmu perobatan, ilmu kebatinan, mantra, dan rajah mulai berwujud dalam bentuk tulis. Hingga saat ini, melalui inventarisasi yang dilakukan oleh M.Yusuf, dkk. telah ditemukan hampir 200-an manuskrip yang tersebar di ranah Minang. Hal ini membuktikan betapa kayanya orang Minangkabau dengan ilmu pengetahuan dan betapa Minangkabau telah memiliki peradaban yang tinggi dengan adanya warisan budaya berupa hasil tulisan tangan yang menyimpan ilmu yang sangat bermanfaat. Secara tidak sengaja, sebenarnya nenek moyang orang Minang sangat menginginkan ilmu yang telah mereka pelajari dulu juga diwarisi oleh generasi setelah mereka melalui pengabadian dalam lembaran kertas yang ditinggalkan kepada generasi setelah mereka.<br />Namun yang terjadi adalah para pemilik manuskrip atau naskah kuno ini di lapangan lebih menganggap manuskrip yang diwariskan kepada mereka adalah benda keramat yang tidak dapat disentuh oleh umum. Manuskrip yang ada pada mereka merupakan benda yang dibiarkan disimpan di tempat yang tinggi (loteng rumah) sebagai penghargaan terhadap naskah tersebut. Hal ini merupakan tindakan yang keliru sekali. Manuskrip, tidak akan pernah ada gunanya jika ia hanya disimpan, dipajang, ataupun dijadikan hiasan. Manuskrip tersebut akan bernilai tinggi bila kita para generasi muda yang mengerti dengan aksara dan bahasa yang terdapat di dalamnya mulai mempelajari dan memahami isi dari manuskrip tersebut atau paling tidak meremajakan isinya.<br />Tindakan yang paling ringan adalah dengan mengabadikan lembaran-lembarannya melalui kegiatan digitalisasi, memotret dengan peralatan khusus. Hal ini dilakukan agar para peneliti naskah selanjutnya tidak lagi membolak-balik naskah yang telah rapuh tersebut. Mereka cukup melihat hasil digitalisasi melalui Compact Disk (CD). Dengan cara seperti ini manuskrip tersebut akan tetap terjaga fisiknya dari semakin rapuh dan rusak.<br />Hadirnya para peneliti naskah dan orang-orang yang mencintai naskah dapat membantu upaya untuk menyelamatkan dokumen bangsa yang hampir punah tersebut. Golongan ini merupakan sekelompok orang yang mencoba menyelamatkan isi naskah dengan cara menelusuri tempat-tempat penyimpanan naskah, kemudian menyadarkan para pemilik naskah tentang arti petingnya naskah yang dimilikinya. Mereka datang ke lapangan atau ke tempat-tempat penyimpanan naskah (scriptorium), menemui para pemilik naskah ataupun para pemegang ‘kunci’ penyimpanan naskah kemudian memberikan pengarahan kepada para pemilik naskah untuk menyimpan dan merawat warisan budaya yang dipercayakan berada di garis keturunan mereka.<br />Langkah untuk mewujudkan sebuah inventarisasi naskah tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Halangan dan rintangan yang ditemui di lapangan kadang sempat menguji nyali para peneliti naskah. Terkadang jauh berjalan mencari naskah, yang ditemukan hanyalah informasi-informasi untuk terus mencari dan mengunjungi orang-orang ataupun tempat-tempat yang ‘diperkirakan’ memiliki dan menyimpan naskah. Informasi scriptoria (tempat penyimpanan naskah) yang didapat dari informan sebelumnya kadang harus menempuh perjalanan yang melelahkan. Namun nyali kecintaan terhadap warisan budaya berupa manuskrip kuno yang menyimpan berbagai ilmu dan budaya bangsa ini terkalahkan oleh semua rintangan yang dihadapi.<br />Penelitian tentang naskah-naskah kuno sangat berbeda dengan penelitian untuk bidang kajian ilmu lain. Berdasarkan akar kata yang melandasi penelitian naskah yaitu philein yang membentuk kata filologi yang bermakna cinta, member gambaran kepada peneliti naskah bahwa hanyalah orang yang cinta terhadap goresan tangan leluhur bangsa ini sajalah yang dapat meneliti dan menelusuri keberadaannya. Sangat tidak berlebihan kiranya jika orang yang ingin meneliti naskah adalah orang yang lebih dulu mengedepankan rasa cintanya terhadap warisan budaya, rasa cintanya terhadap kandungan isi yang terdapat di dalam lembaran-lembaran kuno itu, dibandingkan dengan kecintaan terhadap materi yang akan dihasilkan setelah naskah itu didapatkan. Penelitian naskah merupakan penelitian yang lebih menanamkan kejujuran, ketekunan, dan keinginan para peneliti tersebut terhadap hasil penelitian yang akan dilakukannya.<br />Dalam pengerjaannya pun seorang peneliti naskah harus lebih dahulu memunculkan kejujurannya, ketelitian, dan ketekunan dalam menggarap barang yang sudah berdebu tersebut. Itulah sebabnya di dalam setiap hasil penelitian naskah, selalu dicantumkan aparat kritik, sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti terhadap hasil penelitian dan perubahan yang dilakukan selama menggarap naskah tersebut.<br />Naskah tidak dibenarkan dipisahkan dari tempatnya. Biarkan naskah berada di habitatnya karena naskah tersebut merupakan warisan keluarga naskah yang bersangkutan. Mereka merupakan pemiliknya yang kalau naskah itu diambil dari tempatnya dan dibawa ke tempat lain sama artinya dengan membawa warisan sebuah keluarga atau kasarnya merampas warisan orang lain untuk menjadi milik kita sendiri. Hal ini harus dihindari oleh para peneliti naskah atau orang yang berkepentingan dengan pencarian naskah baik untuk kepentingan pribadi ataupun kolektif.<br />Tindakan memisahkan naskah dari pemiliknya ini sama halnya dengan membawa harta orang lain utuk dimanfaatkan demi kepentingan sendiri. Apabila orang luar, ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap isi naskah tersebut ingin mendapatkan ilmu dari manuskrip tersebut, cukuplah mereka mempelajari saja isinya dengan tidak mengambil fisiknya. Mengambil isinya itu dapat dengan cara membuat digitalisasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bukan memfotokopinya. Tindakan memfotokopi naskah sama halnya dengan merusak fisik naskah secara perlahan-lahan. Semoga kesadaran untuk tetap mencintai hasil karya bangsa sendiri masih tetap menyelimuti diri kita.</span><span class="fullpost"> </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-2666180171314974912011-06-13T21:50:00.000-07:002011-06-13T21:53:52.007-07:00Konteks Historis Peradaban Renaisan-Barat dan Islam-Timur : Sebuah Pengatar Pendekatan Sejarah IntelektualOleh : Dra. Desmaniar, M.Pd & Muhammad Ilham (Dosen FIBA IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1FCJwv0teyjV69cl2yNbcLtOICuJkink3J_QwSZUPU5h0-7wSWWCaygRuoiet5TRU7FoQCnw89PAxPbcN65B_zDZjfRJSC-qGK8uRo8-l9_RTpXF6KVGFLlkJGrdXUh7cH7rpUVNWrrhX/s1600/Des.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 66px; height: 95px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1FCJwv0teyjV69cl2yNbcLtOICuJkink3J_QwSZUPU5h0-7wSWWCaygRuoiet5TRU7FoQCnw89PAxPbcN65B_zDZjfRJSC-qGK8uRo8-l9_RTpXF6KVGFLlkJGrdXUh7cH7rpUVNWrrhX/s200/Des.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5617934110929169938" border="0" /></a>Setiap pemikiran dibentuk oleh sejarahnya, demikian kata Ayatullah Murthada Mutahhari. Dalam konteks ini, kita berusaha mensikapi perkembangan peradaban intelektualisme Islam. Zaman renaisans, yang diperiodesasikan oleh sejarawan dari abad ke 14 - 16 Masehi, merupakan salah satu titik diantara titik-titik pada garis kontinum sejarah peradaban dunia (terutama sejarah peradaban Eropa/Barat). Zaman yang dianggap sebagai abad keemasan (Golden Age) ini merupakan fase transisi yang menjembatani zaman kegelapan (Dark Ages) dengan zaman pencerahan (Aufklarung/Enlightenment Age).<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br />Kelahiran zaman renaisan, disamping karena perkembangan kapitalisme dan merkatilisme, faktor yang menstimuli kelahiran zaman ini adalah faktor adanya konflik yang cukup serius antara agama dengan ilmu pengetahuan. Kaum cendekiawan, filosof dan ilmuan secara bersama-sama melawan dogma-dogma dari gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak. Dalam konteks filsafat sejarah, daerah-daerah atau era yang "menyimpan" dinamika perdebatan intelektual yang konstan biasanya memiliki potensi untuk melahirkan generasi-generasi atau zaman terbaik. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya, pada masa kolonial Belanda tercatat sebagai daerah-daerah yang "hidup" suasana intelektualnya dan "out-put" daerah tersebut memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah sejarah Indonesia. Dan biasanya daerah-daerah itu menjadi pusat pendidikan dan pusaran konflik pemikiran agama. Maka dalam sejarah Indonesia kemudian dikenallah beberapa daerah yang memiliki dinamika pemikiran intelektual yang dinamis dalam zamannya seperti Aceh, Batak dan Minangkabau di pulau Sumatera. Kemudian Menado untuk pulau Sulawesi. Daerah-daerah ini, pada zamannya, sangat intens terjadi perdebatan-perdebatan keagamaan dan kultural sehingga caerah-daerah ini (selain pulau Jawa) dicatat sebagai daerah yang "menghidupkan" perkembangan sejarah intelektual nusantara pada masa Kolonial Belanda.<br /><br />Kembali ke renaisan, dengan pendekatan rasionalisme-empiris, mereka menggoyang dominasi dan hegemoni gereja yang selama ini sulit dikritisi bahkan cenderung tak terbantahkan. Persoalan besar kemudian muncul karena dalam menangani konflik antara ilmu dengan agama ini, gereja menggunakan kekerasan dan pendekatan represif. Pemikiran-pemikiran ilmiah yang berlawanan dengan doktrin (dalam hal ini : interprestasi kalangan agamawan) agama dan Al-Kitab, oleh gereja (Paus, Kardinal dan Uskup), dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan tersebut dan kemudian menyiksa bahkan membunuh (dengan metode : dibakar atau disalib) para ilmuan. Institusi gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi dan menjadikannya sebagai lembaga legitimate untuk menghadapi para kaum cendekiawan dan ilmuan tersebut. Institusi ini juga digunakan sebagai kekuatan represif dan akibatnya banyak ilmuan-ilmuan seumpama Galileo Galilei (1564-1642), Niccolas Coppernicus (1473-1543), Giularmo Sarvanolla, Giordarno Filippo Bruno (1548-1600), Johannes Keppler (1571-1630) dan lain-lain menjadi korban kekerasan inkuisisi ini. Sebagian dari mereka dibakar hidup-hidup atau disiksa sampai mati. Kematian Sarvanolla menjadi kisah yang paling monumental dan paling tragis akibat kesewenangan pejabat gereja. Sarvanolla merupakan biarawan sekte Dominikan. Tahun 1494, ia memproklamirkan perlawanannya terhadap kehidupan duniawi para Paus dan Kardinal. Disamping adanya kesewenang-wenangan para Paus dan Kardinal dalam mengkooptasi dan memonopoli secara sepihak interpretasi Al-Kitab, Sarvanolla juga muak melihat praktek keduniawian Paus dan Kardinal yang bertolak belakang dari sebagaimana fungsi dan peran mereka. Paus tidak segan-segan melakukan praktek kolusi dan korupsi dalam mengangkat pejabat gereja seperti yang dilakukan olkeh Paus Sixtus IV. Sementara itu, Paus Innocentius VIII tanpa malu-malu mengumumkan bahwa ia memiliki beberapa anak haram. Sementara, Paus Leo X suka dengan hal-hal yang megah dan menjual jabatan di gereja untuk memperbesar kekayaan. Sarvanolla kemudian menganjurkan agar kota Firenze menjadi kota suci supaya menjadi panutan kota-kota lainnya. Ia juga mencela Lorenzo di-Medici (penguasa Firenze) sebagai tiran "bertangan besi". Setelah di-Medici dijatuhkan melalui perlawanan rakyat, maka publik Firenze meminta Sarvanolla memerintah Firenze. Sarvanolla kemudian mengatur Firenze dari biara. Namun ini tak berlangsung lama. Beberapa lawan "politik"nya (tentunya dibackup gereja) berusaha menggalang kekuatan untuk menundukkan Sarvanolla. Akhirnya, khotbah-khotbahnya yang berisikan kecaman terhadap Paus, menyebabkan ia kemudian ditangkap. Ia dibakar di tiang gantungan. Para muridnya banyak yang menangis ketika Sarvanolla dibakar, sehingga kemudian, sejarah mencatat bahwa para murid-muridnya tersebut dipanggil dengan sebutan populer pada waktu itu, Piagnoni atau para penangis.<br /><br />Tetapi perlawanan mereka terhadap dogma gereja menimbulkan implikasi yang cukup serius. Agama dan institusi yang mendukungnya semakin jauh dari filsafat dan ilmu pengetahuan serta para cendekiawan. Tragisnya perlawanan kaum cendekiawan dan ilmu pengetahuan di abad renaisan tersebut kemudian diwarisi oleh para ilmuan yang datang belakangan, diantaranya Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), yang dikenal sebagai pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah yang tertuang dalam berbagai buku-bukunya seperti Das Capital dan Manifesto Communist, Bennedict Baruch Spinoza (1632-1677), Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang dianggap sebagai "perintis" jalan ke arah tercapainya Revolusi Perancis, Immanuel Kant (1724-1804), Voltaire (1694-1778) yang dikenal memiliki nama asli Francois Marie-Arouet dan dianggap sebagai "biang"nya Revolusi Perancis, Sigmund Freud "sang perintis" teori psikoanalisa (1856-1939) dan Rene Descartes (1591-1650). Maka tidaklah mengejutkan apabila konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka bangun dan kembangkan, pada umumnya sangat bertolak belakang dengan doktrin-doktrin gereja abad pertengahan, bahkan konstruksi-konstruksi teori tersebut menafikan peranan agama. Sebagai contoh, teori evolusionisme Charles Darwin "menggugat" doktrin kreasionisme yang diajarkan oleh gereja.<br /><br />Pada abad yang sama, dibelahan lain, tepatnya di dunia Islam terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Islam mencapai puncak kejayaan, sehingga pada masa ini, peradaban Islam dijadikan sebagai reference culture dan parameter bagi peradaban-peradaban lain. Teori-teori pengetahuan empiris dan filsafat Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avessena) dan Ibnu Rusyd (Averoust) berkembang pesat dan menimbulkan berbagai kontroversi serta polemik yang berketerusan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd memang menimbulkan konflik dan pertentangan yang keras dari kalangan konservatif, khususnya kalangan Ahlussunnah yang bermazhab Imam Hambali. Tetapi penolakan tersebut relatif berlangsung secara beradab dan lebih manusiawi. Inilah yang membedakannya dengan apa yang terjadi di dunia barat-Kristen. Kekerasan penguasa Islam terhadap kaum cendekiawan atau ulama bukan berarti tidak ada, misalnya kasus al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar - tetapi dalam intensitas yang relatif kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap kaum cendekiawan. Kekerasan dan kezaliman yang "bersumbu" pada gereja selama berabad-abad telah menanamkan benih-benih perlawanan serta akumulasi kebencian. Benih perlawanan dan akumulasi kebencian tersebut bukan hanya benih perlawanan yang sepihak atau satu kelompok saja, akan tetapi sudah mengarah kepada perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif ini merupakan perlawanan yang dipelopori oleh kalangan cendekiawan dan filosof. Mereka menuntut adanya kebebasan dalam berfikir dan berkarya, menuntut digantinya pendekatan dogmatisme agama dengan pendekatan rasionalisme. Kultus dan mitologisasi kemudian diganti dengan de-mitologisasi dan sekularisme. Bahkan konsep-konsep kunci dan sakral dalam agama dikritisi bahkan dikeragui oleh para filosof. Keabsahan ajaran dan iman Kristiani bahkan dianggap bukan satu-satunya iman yang wajib diyakini. Kontak dan interaksi dengan "out-siders, terutama dengan peradaban Islam dan perjalanan yang dilakukan ke berbagai belahan dunia seperti penemuan benua Amerika dan perjalanan dagang ke Asia, menyebabkan orang Eropa (baca: dunia Barat) banyak mengenal bahwa ada iman dan agama lain yang - menurut mereka - lebih rasional dibandingkan dengan iman Kristiani. Legitimasi kekuasaan Tuhan digantikan dengan legitimasi kekuasaan rakyat.<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-91638204881559825442011-06-13T21:42:00.000-07:002011-06-13T21:49:08.950-07:00Yerusalem : "Perdamaian yang Utopia"Oleh : Drs. Rusli, M.Ag (Dosen SKI Fak. Tarbiyah IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;">Bagaimanapun juga, sejarah telah mencatat bahwa konflik Israel-Palestina merupakan sebuah perjuangan politik antara dua kelompok bangsa. Perjuangan yang bukan menyangkut sumber ekonomi saja, sebagaimana yang biasa terjadi, akan tetapi yang menyangkut tanah, sumber daya, keamanan, kemerdekaan, kesetaraan, kekuasaan, identitas, dan keadilan. Dialog produktif harus mengikutsertakan pengakuan tentang hal ini dan tidak membatasinya pada isu-isu antar dan dalam agama. Pencarian sebuah penyelesaian bagi konflik Israel-Palestina membutuhkan sebuah sudut pandang terhadap gambaran yang besar. Tujuan akhir seharusnya adalah menciptakan stabilitas bagi Israel dan Palestina, sehingga mereka dapat hidup aman dan rukun, dalam semangat gotong-royong dan hormat-menghormati.<br /></div><span class="fullpost"><br />Suara kemarahan itu melekat pada tembok, di lorong-lorong Kota Tua Yerusalem. Dalam bahasa Arab, dan kadang Inggris, coretan itu menyerukan pembebasan kota dari Israel. Sekelompok bocah pulang sekolah melintas pada salah satu gang. Mereka berhenti sejenak, menatap ke grafiti: “We will return”. Atau yang lain, “Free Palestine”. Dingin menyergap Yerusalem, pada suatu siang, di akhir Maret 2010. Hidup di kota yang terbelah, anak-anak Yerusalem harus siap disergap ketegangan konflik. Perang, tampaknya, menjadi tugas warisan bagi tiap generasi. Kota itu berada di Tepi Barat, dan diklaim oleh Israel sebagai ibukota, saat negara Yahudi itu berdiri pada 1949. Israel mendiami wilayah barat kota, sementara sisi timur kini diklaim ibukota Palestina. Yerusalem adalah simbol bagi pertempuran tak berujung. Ratusan ribu korban jatuh akibat panjang Israel Palestina. Pada pertengahan Maret lalu, misalnya, dua remaja Palestina, Sayid dan Mohamad Qadous, mengacungkan kapak, menggertak tentara Israel yang berjaga di tenggara Nablus, wilayah Tepi Barat. Peluru tentara Israel berdesing. Dua remaja itu roboh. Seorang remaja di kota lain, juga tewas ditembak karena alasan serupa.<br /><br />Insiden itu memanaskan situasi konflik di sekujur tanah Palestina. Aksi itu hanya berselang dua hari dari serangan udara Israel ke Raffah, yang berbatasan langsung dengan Mesir. Sedikitnya 15 warga sipil luka parah, sementara terowongan penghubung antar kota yang dibangun lewat negosiasi resmi bertahun-tahun hancur tak bersisa. Israel kembali melontarkan kebijakan provokatif. Selain berkali-kali menghajar warga Palestina dengan rudal dan peluru, negara Zionis itu bertekad akan terus membangun pemukiman Yahudi di Yerusalem bagian timur. Padahal wilayah itu masuk bagian Tepi Barat, dan selama ini menjadi sumber pertikaian dengan Palestina. Yerusalem bagian timur adalah isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Israel menduduki wilayah itu sejak Perang Arab 1967, atau dikenal “Perang Enam Hari”, dan mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibukotanya. PM Israel, Benjamin Netanyahu pun menyatakan tak akan pernah setuju berbagi Yerusalem dengan Palestina. Tapi, Palestina menegaskan sektor bagian Timur Yerusalem - yang menjadi lokasi tempat suci bagi umat Kristen, Muslim, dan Yahudi – adalah ibukota mereka. Palestina juga mencakup kawasan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Adu klaim ini telah membuat Yerusalem menjadi bara dalam konflik Isreal-Palestina. Israel juga begitu angkuh. Dua pemimpin dunia, yaitu Wakil Presiden AS, Joe Biden, dan Sekjen PBB, Ban Ki-moon, melawat ke Timur Tengah, di waktu berbeda, Maret lalu. Keduanya bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan mendesak agar Israel tak memancing konflik baru yang menghambat perundingan damai. Mereka mendesak Israel menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di timur Yerusalem, dan tembok pembatas antar kota.<br /><br />Desakan itu adalah juga hasil pertemuan segi empat– PBB, Masyarakat Uni Eropa, Amerika Serikat dan Inggris. Tapi, Israel tak peduli. Negara itu bahkan mengabaikan nasehat Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu terkarib. Bahkan seperti mengejek, Israel mengumumkan rencana pembangunan 1.600-an rumah bagi warga Yahudi di Yerusalem Timur, di tengah lawatan Joe Biden, yang sebelumnya mendesak agar proyek kontroversial itu dihentikan. Biden membalas ‘insiden memalukan’ itu. Pada satu jamuan makan malam kenegaraan Israel menghormati kunjungannya, Biden tak segera datang. Dia membiarkan Netanyahu menunggu satu setengah jam. Pekan ini, Netanyahu balik akan berkunjung ke Amerika Serikat. Dia memang berjanji memberikan isyarat niat baik bagi Palestina. Misalnya, kata Netanyahu, Israel akan mengurangi blokade di Jalur Gaza dan membebaskan tahanan Fatah. Tapi dia menolak mencabut keputusan pembangunan rumah pemukiman di Ramat Shlomo – Yerusalem Timur, yang diprotes banyak kalangan itu. Mungkin Israel terlalu yakin, bahwa tak ada satu kekuatan pun – baik PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris atau gabungan keempatnya, mampu mengubah kebijakannya. Israel juga memanfaatkan standar ganda negara-negara itu. Peluang itu dipakai Israel dengan cara terus menekan Palestina. Misalnya, hingga hari ini tak ada sanksi mendesak Israel. Sementara, perundingan damai kian tak jelas nasibnya. Tak ada gunanya negosiasi, selama Israel tak berhenti membangun pemukiman itu.<br /><br />Tembok-tembok itu membelah Yerusalem, melingkar atau menikung, dan membagi dua kehidupan. Dengan alasan melindungi warganya dari serangan bom bunuh diri para militan Palestina, Israel membangun tak kurang 130 kilometer tembok pembatas di wilayah Israel-Palestina. Sejak 2002, tembok itu kian menguak luka Palestina. Wajah kota-kota di kawasan ini pun berubah. Di Bilin, Tepi Barat, Gaza dan Jericho, misalnya tembok menjulang setinggi lebih 10 meter. Ide tembok pembatas ini dulu datang dari Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Dia tampaknya begitu trauma dengan militansi bom bunuh diri pemuda Palestina, yang menyeruak dan menebar maut di pemukiman Yahudi. Radikalisme anak-anak Palestina itu, menurut Presiden Israel Shimon Peres, justru menyulitkan perundingan damai. Peres adalah pendukung Solusi Dua Negara, yakni berdirinya Israel dan Palestina secara berdampingan. Peres merasa rasa percaya antar Israel dan Palestina kini sangat langka. "Mereka (Palestina) bukan musuh kami, dan kami yakin jika situasi mereka lebih baik, maka kami punya tetangga yang baik juga," ujar Peres. Tapi, rasa percaya itu toh tak mungkin dibangun dengan tembok pembatas. Alasan pembangunan tembok itu juga kian tak berdasar. Kedua warga yang hidup di atas tanah sama kini sangat berjarak. Tak gampang keluar masuk lewat tembok atau penghalang jalan ini. Para tentara Israel bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, dari cek kartu identitas, dan digeledah sampai ke pakaian dalam.Akibat tembok pembatas, persoalan kemanusiaan mencuat di kota-kota Palestina yang wilayahnya diblokade Israel. Warga tak bisa bergerak dengan leluasa. Bahkan, mereka sulit untuk bekerja, atau bersilaturahmi. Fasilitas kesehatan, pendidikan, makanan hingga air bersih pun terbatas. Fasilitas kesehatan, misalnya. “Di sini ada 20 ribuan pengungsi, tapi hanya ada satu klinik dengan tiga dokter,” ujar seorang pemuda di Bethlehem, sepuluh kilometer di selatan Yerusalem. Soal air bersih juga jadi masalah besar. Di atas rumah warga Palestina di Tepi Barat, misalnya, tampak menjulang tong silinder dari baja anti karat untuk menampung air. Tong itu diletakkan di atas rumah. Para ibu rumah tangga, terbiasa mencadangkan air dan makanan dalam jumlah besar. Situasi konflik yang tak menentu, membuat mereka harus memikirkan persediaan logistik yang cukup. Protes dari badan dunia bukan tak ada. International Court of Justice, misalnya, pada 2004 telah meminta Israel meruntuhkan tembok pembatas ini. PBB juga mengecam keberadaan tembok, dan penghalang jalan yang membatasi ruang gerak warga. Tapi hingga laporan ini diturunkan, tembok-tembok pembatas itu masih berdiri dengan pongahnya.<br /><br />Pencaplokan tanah itu juga kian agresif. Mantan Menteri Ziad Abu Ziyyad, politisi senior dari Fatah itu, dengan nada lirih mengaku kehabisan akal menghadapi kebijakan Israel. “Saya khawatir saat perundingan damai sesungguhnya dimulai, tak ada lagi tanah tersisa untuk Palestina”, ujarnya. Meskipun salah satu arti dari Yerusalem adalah Teaching of Peace, namun kota tua itu ternyata seperti tak berhenti menjadi akar sengketa dan konflik sepanjang sejarah. Di salah satu wilayah kota itu, tepatnya Yerusalem Timur, Palestina menyebutnya sebagai ibukota masa depan. Seterunya, Israel, juga mengklaimnya sebagai bagian dari ibukota mereka. Dalam sejarah moderen, wilayah itu semula dikuasai oleh Yordania pasca Perang Arab-Israel 1948, namun akhirnya dicaplok oleh Israel setelah menang dalam Perang Enam Hari pada 1967. Menurut para pengamat, wajar saja bila Yerusalem Timur merupakan salah satu biang konflik di Timur Tengah dan diperebutkan oleh Israel dan negara-negara Arab - dan kini Palestina. Pasalnya Yerusalem Timur menjadi lokasi tempat-tempat suci bagi agama-agama yang memiliki umat besar di dunia, Islam, Yahudi, dan Kristen. Bagi umat Muslim, di Yerusalem Timur terdapat tempat suci ketiga, yaitu kompleks Masjid Kubah Emas dan Masjid al-Aqsa. Di kota itu juga terdapat Gereja Kebangkitan Kudus, yang dipercaya umat Nasrani merupakan bekas lokasi Bukit Golgota - tempat penyaliban Yesus Kristus. Yerusalem Timur juga menjadi lokasi sisa-sisa bangunan Bait Suci, yang kini menjadi tempat ibadah bagi umat Yahudi yang kini menyebut tempat itu sebagai Tembok Ratapan. Sumber dari Wikipedia mengungkapkan bahwa penamaan Yerusalem Timur kemungkinan sudah dilakukan sejak wilayah itu masih di bawah kendali Yordania antara 1949 hingga 1967 - yang akhirnya tergabung dalam kotamadya Yerusalem setelah Perang 1967. Setelah Perang Arab-Israel, Yerusalem terbagi dalam dua bagian. Bagian Barat sebagian besar dihuni oleh warga Yahudi, yang datang di bawah dukungan pemerintah Israel, sedangkan di sisi Timur kebanyakan dihuni oleh orang Arab, yang datang saat di bawah kendali Yordania.<br /><br />Stasiun televisi BBC mengungkapkan bahwa Yerusalem Timur kini dihuni sekitar 240.000 orang Arab. Kebanyakan dari mereka mengaku merasa jengah atas status mereka saat ini. Meski jarang berkonflik langsung dengan Israel, mereka tetap menganggap diri sebagai orang Palestina dan mendukung kelompok-kelompok perjuangan yang ingin membebaskan Yerusalem Timur dari pendudukan Israel. Mereka sebenarnya mendapat izin khusus dari pemerintah Israel dan menikmati sejumlah keuntungan yang tidak bisa dinikmati oleh saudara-saudara mereka di Tepi Barat. Namun, sejalan dengan dimulainya pembangunan untuk pemukiman Yahudi oleh pemerintah Israel di Yerusalem Timur, masa depan mereka kini menjadi tidak jelas. Akhirnya banyak warga yang tidak betah dan pindah ke lokasi lain. “Tanah warga akhirnya diserobot, setelah itu Israel mengulangi cara serupa di wilayah lain," lanjut dia. Warga itu juga mengungkapkan bahwa untuk membuat penduduk setempat tidak betah dan pindah, pemerintah Israel menggunakan berbagai cara, mulai dari memutuskan aliran listrik atau sambungan air hingga bentuk intimidasi lainnya.<br /><br />Wartawan BBC, Martin Asser, pun mendapat kesaksian betapa warga-warga Arab di Yerusalem Timur mendapat perlakuan diskriminatif agar segera hengkang dari tempat tinggal mereka. Tidak sedikit warga mengaku telah mengalami diskriminasi dari otoritas setempat berupa larangan untuk membangun atau merenovasi rumah, tidak mendapat layanan yang semestinya dari pemerintah setempat kendati mereka juga bayar pajak, hingga pencabutan hak tinggal bila mereka ketahuan menetap atau menjadi warga negara di tempat lain atau berada di luar negeri selama lebih dari tujuh tahun. Israel tidak terang-terangan mengusir warga Arab-Palestina untuk keluar dari Yerusalem Timur. Namun, dengan cara-cara licik di atas, Israel membuat mereka menjadi tidak betah dan terpaksa pindah. Perlakuan berbeda justru diberikan Israel kepada warga Yahudi. Mereka kini diberi kesempatan untuk bermukim di Yerusalem Timur - wilayah yang telah didamba-dambakan rakyat Palestina menjadi ibukota mereka. Perlakuan diskriminatif di Yerusalem Timur itu justru menimbulkan anggapan bahwa Solusi Dua Negara, yang digembar-gemborkan petinggi Israel, hanya menjadi pemanis di bibir. Sehingga, meskipun kawasan tersebut pernah memunculkan tiga peraih nobel perdamaian, pada 1994-- yaitu Shimon Peres (Israel), Yasser Arafat (Palestina) dan Yitzhak Rabin (Israel)—hingga kini belum juga muncul tanda-tanda kawasan tersebut akan bebas konflik sepenuhnya. Atau dengan kata lain, “Teaching of Peace” memang masih relevan untuk Yerusalem, karena faktanya “damai” memang belum benar-benar tercipta di kawasan tersebut.<br /><br />(c) Sumber : www.vivanews.com & Buku Muhammad Ilham, Sejarah Peradaban Dunia : Dari Phapyrus Hingga Internet, Padang: IAIN IB Press, 2000<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-33501648959200199812011-05-31T20:52:00.000-07:002011-05-31T21:04:30.979-07:00Mohammad Natsir : Ulama Politisi Minangkabau (Nilai Demokrasi dan Negara Islam)Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Ilmu Politik dan Filsafat Sejarah FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgG-EN0vLUBe2X2zPPGafilA-cjiPxePq_jHlKuPZUJPHfmKDEKIILTIZX7BUZuLSDDHxHFp-JJPUKcB5EsRnx3bYe9USIj5_LmPtrTVdt6Rtz_0wbRjDaaKwk8547cznvX_JX3idT3pFC0/s1600/safe_image.php.jpeg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 84px; height: 90px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgG-EN0vLUBe2X2zPPGafilA-cjiPxePq_jHlKuPZUJPHfmKDEKIILTIZX7BUZuLSDDHxHFp-JJPUKcB5EsRnx3bYe9USIj5_LmPtrTVdt6Rtz_0wbRjDaaKwk8547cznvX_JX3idT3pFC0/s200/safe_image.php.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5613097270607789394" border="0" /></a>Sulit untuk dibantah, Muhammad Natsir menjadi salah satu "legenda" demokratisasi dan Islam politik Indonesia. Natsir yang dikatakan George Kahin sebagai demokrat-religius nan bersahaja (karena hanya memiliki sehelai kemeja ketika ditunjuk menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 ini) sampai hari ini dianggap sebagai "Bapak" intelektual Islam Indonesia sekaligus figur utama dalam mengakomodasi partai a-la "barat" dengan keteguhan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan teologis (Islam).<br /></div><br /><span class="fullpost"> <br />Ia bukan seperti Ba'asyir yang "mencita-citakan" negara ini seperti Taliban - sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmad Syafii Maarif. Natsir adalah pribadi teguh dalam menyerukan nilai-nilai demokratisasi di Indonesia, dan ini secara intens diserukannya setelah beberapa saat Soekarno mengumumkan eksperimen Demokrasi Terpimpin-nya. Ketika Masyumi berada dibawah kendali putra Alahan Panjang Minangkabau ini, partai ini mampu mengharubirukan pentas politik Indonesia, di era 1950-an. Di saat posisi Islam politik Indonesia "terdesak" pada masa Orde Baru, Muhammad Natsir kembali menjelaskan posisinya, "Indonesia sudah menjauh dari demokrasi". Bukan itu saja, Ruth Mc Vey bahkan pernah mencatat ungkapan "pedih" dari Natsir tentang sikap rezim Orde Baru terhadap keinginan Islam politik mempraktekkan demokrasi, "Mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap". Dalam konteks ini, Natsir tetap memperjuangkan demokrasi yang konon merupakan "produk" historis dan kultural "barat" sono.<br /><br />Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.<br /><br />Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto :www.ircf.wordpress.com<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-27984716512446352252011-05-31T20:46:00.000-07:002011-05-31T21:07:15.640-07:00Fundamentalisme Islam di IndonesiaOleh : Andri Rosadi, M.Hum (Dosen Antropologi FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggWpl42KYL7crKQpjoJnU-ixAoX-AlLuMAV72T3MZtCFMliYcgz5kTw2TiAcI81w6dGBHb_du3rgzkRc-C3Wbxfcky8V0gWHLg0r819YobzhOY4O_x7G1-iiv0Oak5Oo3s3iaEf1xaEeft/s1600/images.jpeg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 66px; height: 82px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggWpl42KYL7crKQpjoJnU-ixAoX-AlLuMAV72T3MZtCFMliYcgz5kTw2TiAcI81w6dGBHb_du3rgzkRc-C3Wbxfcky8V0gWHLg0r819YobzhOY4O_x7G1-iiv0Oak5Oo3s3iaEf1xaEeft/s200/images.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5613097891045419810" border="0" /></a>Dari permukaan, kita bisa melihat bahwa globalisasi dan fundamentalisme Islam merupakan dua fenomena yang kontras. Globalisasi menggiring seluruh dunia menuju universalitas budaya yang direpresentasikan oleh kultur Barat, dan lebih khusus lagi, Amerika Serikat. Sementara fundamentalisme Islam menolak segala sesuatu yang berbau barat, kecuali beberapa produk teknologi yang berkaitan dengan militer dan informasi. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, sebenarnya fundamentalisme Islam memiliki semangat yang sama dengan globalisasi: universalisasi budaya. Gerakan-gerakan Islam trans-nasional, seperti Hizbu Tahrir dan Gerakan Salafi secara jelas menunjukkan kecenderungan tersebut.<br /><span class="fullpost"> <br /><br />Pengantar<br />Hizbut Tahrir memiliki cabang di puluhan negara, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat; sementara Gerakan Salafi lebih banyak berkembang di negara-negara yang memiliki konflik langsung dengan kekuatan Barat. Dalam konteks ini, maka pertentangan antara hegemoni Barat dan fundamentalisme Islam sebenarnya terjadi karena adanya kontestasi pengaruh untuk merebut dominasi, dan oleh sebab itu, gerakan-gerakan tersebut lebih bercorak politik daripada agama. Secara sederhana, ada dua sasaran perlawanan para fundamentalis Muslim: far enemy yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dan close enemy yaitu rezim di negara Muslim (Gerges 2005: 1). Dalam konteks ini, saya akan meletakkan kontestasi pengaruh tersebut dalam kerangka challenge and response, dalam pengertian bahwa respons kelompok-kelompok fundamentalis Islam lebih merupakan jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi akibat penetrasi langsung ataupun tidak langsung dari kekuatan Barat. Universalitas budaya Barat, di mata kelompok fundamentalis, telah mengancam universalitas Islam, dan oleh sebab itu muncul reaksi perlawanan. Maka hal yang sangat wajar bila kita melihat bahwa kebangkitan fundamentalisme Islam selalu berjalan seiring dengan menguatnya dominasi Barat di dunia Muslim, terutama yang ditandai dengan kehadiran militer. Sebagai representasi gerakan fundamentalis, saya akan lebih terfokus pada Gerakan Salafi Indonesia yang bersifat trans-nasional.<br />Perspektif Memahami Gerakan Salafi<br />Fundamentalisme merupakan konsep yang pemaknaannya merujuk pada seluruh kelompok-kelompok keagamaan--apapun agamanya--yang ingin dan berusaha untuk hidup sesuai dengan pemahaman mereka terhadap wahyu (Mousally 1999: 66-67), yang biasanya dipahami sangat literal. Pemaknaannya merujuk baik pada tataran diskursus ataupun aktivisme (ibid: 120). Selain istilah fundamentalisme yang digunakan oleh Tibi (1998), Azra (1996), Watt (1997), Choueri (1997), Burrel (1995) dan Karyono (2003), para sarjana juga menggunakan beberapa istilah lain dengan makna yang relatif sama, seperti radikal (lihat Sivan (1985); Anderson (1997); Zada (2002); dan Turmudi, et. al. (2005)), Islamist (lihat Ismail: 1993) dan neofundamentalisme (Roy: 2005). Dalam makalah ini, saya menyebut Gerakan Salafi sebagai kelompok fundamentalis berdasarkan luas cakupan perubahan yang mereka inginkan dan strategi perjuangan yang mereka pilih untuk mencapai perubahan tersebut. Secara sederhana, cakupan perubahan yang mereka inginkan meliputi seluruh dunia, dengan strategi yang mentoleransi penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan tersebut.<br />Dalam gerakan radikal fundamentalis, perubahan ditandai dengan penolakan secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, karena adanya kejengkelan moral yang kuat terhadap kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa (Kartodirjo 1984: 38). Berdasarkan uraian tersebut, gerakan Salafi saya letakkan dalam konteks respons terhadap kondisi yang terjadi di Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki, mengurangi ataupun menolak berbagai pelanggaran agama yang terjadi, baik karena pengaruh internal maupun eksternal. Ada anggapan yang kuat di kalangan para Salafi bahwa Indonesia sudah jauh dari cita-cita negara Islam yang ideal. Absennya penerapan syariah Islam, kuatnya pengaruh Barat, terutama Amerika Serikat, dan seringnya orang Islam menjadi korban kekerasan seperti yang terjadi di Poso, Ambon dan Aceh adalah bukti dari anggapan tersebut.<br />Kata Salafi berasal dari bahasa Arab salaf, secara etimologis berarti masa lalu atau telah terjadi di masa lalu (Ma’luf 1986: 346). Dari kata salaf ini, kemudian berkembang istilah Salafiah, Salafiyun dan Salafi. Salafiah adalah khazanah ilmu atau ajaran salafusshaleh (pious ancestors); Salafiyun (bentuk tunggalnya: Salafi) adalah orang-orang yang mengikuti ajaran salafusshaleh (al-Thalibi 2006: 8-9). Seiring perkembangan, Salafiah kemudian menjadi mazhab Islam yang menyandarkan pendapat dan perilakunya berdasarkan apa yang telah dilakukan para sahabat Nabi Muhammad di masa lalu (Ma’luf 1986: 346; al-Thalibi 2006: 8; Buthi 1998: 9; Adonis 1998). Proses penyebaran mazhab Salaf ini disebut Gerakan Salafi yang berintikan seruan agar umat Islam kembali pada aqidah yang murni, sebagaimana yang dipraktikkan para sahabat Nabi. Menurut Lembaga Riset WAMY (2006) yang berpusat di Mekkah, Gerakan Salafi sebenarnya nama lain gerakan Wahhabi yang berkembang di Saudi Arabia. Secara genealogis, pemikiran Salafi bisa dirunut sebagai berikut: Salafusshaleh—Ibnu Taymiyah—Muhammad bin Abdul Wahhab—Ulama Saudi dan Yaman (lihat Samudera: 2004; Baabduh: 2005; Abdul Haq al Makky: 1998; Buthi: 1998; al Thalibi: 2006).<br />Salafisme merupakan gerakan keagamaan yang muncul sebagai respons terhadap penyimpangan internal dalam tubuh umat Islam sendiri dan ancaman eksternal yang dihadapi. Berkaitan dengan pengertian gerakan keagamaan, saya merujuk pada definisi Nottingham (1985: 155) yaitu: setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru, atau interpretasi baru mengenai agama yang sudah ada. Untuk kepentingan operasional, definisi ini kemudian saya perluas mencakup juga revitalisasi dan kontekstualisasi tafsir yang pernah ada. Gerakan Salafi berusaha untuk merevitalisasi ajaran-ajaran yang mereka anggap berasal dari Nabi dan para salafusshaleh, dan pada saat yang sama menolak bahkan mengkafirkan semua praktik-praktik yang mereka anggap tidak berasal dari Nabi. Sebagai organisasi keagamaan, Salafi juga memiliki acuan duniawi dan ukhrawi yang terrefleksi dari target-target kekuasaan dan ekonomi yang mereka perjuangkan. Dalam tataran ini, operasinya tidak berbeda dengan pemegang kekuasaan politik. Sementara acuan ukhrawi merujuk pada digunakannya teks suci sebagai basis legitimasi gerakan. Penggunaan doktrin agama sebagai basis legitimasi gerakan inilah yang membedakan Geraka Salafi dengan komunitas ekslusif lainnya.<br />Para aktifis Salafi saya posisikan sebagai komunitas eksklusif, bercirikan pola pikir dikotomis dan menolak yang tidak sesuai dengan prinsip dan keyakinan mereka. Dalam komunitas ekslusif, ada batas-batas, hierarki, kohesi sosial dan loyalitas kelompok yang jika diterapkan terlalu rigid, akan menghasilkan kekerasan terhadap kelompok lain (Ahmed 2003: 43). Pola-pola inklusi dan ekslusi yang dipraktikkan dalam komunitas Salafi bisa disebut sebagai identitas sosial yang mempengaruhi proses pemaknaan dalam hidup mereka sehari-hari. Proses konstruksi identitas sosial tersebut bersifat dialektis, yang mengandung klaim dan anti klaim, yang berujung pada terbentuknya suatu identitas tersendiri (Lukens-Bull 2004: 26). Dalam proses konstruksi tersebut, negara dan rezim keagamaan memainkan peranan penting (Doja 2004: 75) yang akan menentukan karakter politik suatu gerakan keagamaan.<br />Setiap komunitas eksklusif biasanya berusaha melakukan perubahan mendasar dengan kekuatan yang bertumpu pada kekuatan sosial dalam hubungan komunal mereka (Calhoun 2000: 894-895). Berdasarkan cakupan perubahan, Giddens, sebagaiman dikutip Azhar (1999: 26) membatasi perubahan yang diinginkan oleh kelompok ekslusif tersebut sebatas pada tatanan yang menyimpang dan merugikan, bukan keseluruhan. Azhar (1996: 26) menambahkan ciri lain dalam proses perubahan tersebut: kekerasan. Sebagai kelompok yang saya posisikan sebagai komunitas ekslusif, kekerasan yang dilakukan oleh para Salafi ada yang bersifat simbolik dengan menyalahkan, bahkan mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham, dan ada juga kekerasan fisik seperti yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudera.<br />Sebagai suatu komunitas, para Salafi yang bersifat trans nasional tidak merasa terikat pada wilayah tertentu. Basis loyalitas mereka adalah agama, bukan negara. Dalam kerangka ini, komunitas Salafi bersifat non teritorial, dan para anggotanya memiliki ciri-ciri serupa, biasanya dihimpun oleh suatu rasa memiliki, ikatan dan interaksi sosial tertentu sehingga menjadi entitas sosial tersendiri (Azarya 2000: 145). Ikatan kebersamaan yang dibangun dalam komunitas Salafi lebih bersifat emosional yang bersumber dari ikatan kesamaan agama, sejarah, nasib, nilai dan pandangan yang bersifat trans nasional. Rasa memiliki dan solidaritas yang bersifat trans nasional ini memainkan peran yang sangat penting pada kebangkitan aktivisme Salafi. Para Salafi tersebut, menurut Bubalo dan Fealy (2005) ibarat caravan yang bergerak lintas negara bahkan benua. Oleh sebab itu, sangat lazim jika para pengikut Salafi tidak memiliki rasa nasionalisme pada negara tertentu. Banyak di antara mereka yang melibatkan diri dalam konflik di Afghanistan, Asia Tengah, Thailand Selatan dan Filipina Selatan, walaupun mereka tidak berasal dari kawasan tersebut.<br />Satu hal penting lain yang harus dipahami pada komunitas Salafi adalah tentang cara mereka membayangkan masa lalu, karena pemahaman dan ide yang mereka kembangkan berbasis pada praktik pengalaman masa lalu di era Nabi dan sahabatnya; suatu era yang digambarkan sebagai sebaik-baik zaman, semakin jauh dari era tersebut dianggap semakin mengalami degenerasi. Ironisnya, perilaku-perilaku simbolik yang tampak menonjol untuk mengikuti pola hidup para salafusshaleh tersebut adalah memelihara janggut, memakai jubah dan pakaian di atas mata kaki dan makan dengan tiga jari. Dalam varian Salafi yang menekankan jihad, seperti kelompok Imam Samudra, yang mereka bayangkan bukan hanya masa lalu di era Nabi, tapi juga penderitaan yang dialami umat Muslim di Palestina, Irak, Afghanistan, Philipina Selatan, Asia Tengah dan kawasan lainnya. Inilah yang kemudian menggerakkan mereka untuk berjihad. Bisa dikatakan bahwa, para Salafi berusaha untuk menggiring masa kini ke masa lalu, dan menjadikan masa lalu sebagai satu-satunya basis legitimasi perilaku di masa kini (Adonis 2002).<br /><br />Membayangkan masa lalu adalah permasalahan yang berkaitan dengan memori, yang disebut oleh Sorabji sebagai individual’s awareness of memory (Sorabji 2006: 3). Dalam proses pembentukannya, memori tersebut, menurut Halbwachs dipengaruhi oleh suatu konteks sosial (dikutip via Sorabji 2006: 2). Artinya, faktor eksternal memiliki peran penting dalam proses konstruksi dan rekonstruksi. Karena Gerakan Salafi bersifat kolektif, maka memori individu pada konsep Sorabji bisa dikembangkan ke memori sosial yang dibagi (share), dirasa dan pada saat yang sama mengontrol kehidupan para Salafi sehari-hari. Dalam pengertian ini, memori bisa juga dipahami sebagai a form of practical wisdom (Lambek, dikutip via Sorabji 2006: 3).<br /><br />Ada dua klasifikasi memori yang berkembang dalam psikologi: episodic memory dan semantic memory. Episodic memory mengacu pada episode dalam kehidupan yang dialami langsung oleh seseorang, sementara semantic memory mengacu pada suatu fakta yang dipelajari (Sorabji 2006: 12). Berdasarkan pengertian ini, keterlibatan langsung Tarmiji dalam konflik di Ambon dan Poso, Imam Samudra, Jafar Umar Thalib dan Umar Patek di Afghanistan serta Dulmatin di Mindanao bisa dilihat sebagai bagian dari episodic memory dalam hidup mereka. Sementara keinginan para Salafi lainnya untuk makan dengan 3 jari tangan, memelihara janggut dan memakai jubah putih khas Arab merupakan bagian dari memori yang dipelajari (semantic memory). Menurut saya, sangat penting bagi kita untuk meneliti lebih dalam bagaimana memori sosial tersebut membentuk gagasan dan perilaku para Salafi. Dalam hal ini, konteks sosial politik, seperti penderitaan kaum muslim di tempat tertentu, ataupun ancaman dari penetrasi budaya asing berperan sangat penting. Hal ini sejalan dengan Novak dan Rodseth yang menganalisa memori sosial melalui massacre dan collective violence yang terjadi (Novak dan Rodseth 2006: 2).<br /><br />Gerakan Salafi di Indonesia<br />Dalam sejarahnya, gerakan Salafi pertama kali muncul di Saudi Arabia dengan nama gerakan Wahabi, kemudian tersebar ke Afrika, Anak Benua India hingga Asia Tenggara. Azra (1996: 110-112) menggolongkan Gerakan Salafiyah Wahhabi sebagai fundamentalisme Islam pra modern, yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari segala penyimpangan. Saat ini, gerakan Wahabi di seluruh dunia masih dibiayai oleh Saudi Arabia (Haghayeghi 2002: 318). Ada 1500 masjid, 210 Islamic Centers dan hampir 2000 colleges yang dibiayai Saudi, dimana paham Wahabi kemudian diajarkan dan ditransformasikan (Gadzey 2005: 303).<br />Di Indonesia, Gerakan Salafi dalam pengertian umum telah lama muncul. Muhammadiyah, Persis dan gerakan Paderi yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam sangat dipengaruhi paham Wahhabi yang berkembang di Saudi Arabia. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) juga punya hubungan erat dengan Saudi Arabia dalam membendung gerakan Kristenisasi (Bruinessen 2004: 39). Gerakan-gerakan tersebut muncul dalam konteks kebangkitan Islam, yang dipengaruhi oleh interaksi antara tradisi dan modernitas, pengaruh internasional dan ketegangan politik (Mehden 2001: 266-270).<br />Gerakan Salafi di Indonesia bergerak secara institusional maupun individual. Di Yogyakarta, komunitas Salafi membangun lembaga pendidikan sendiri yang bertujuan untuk mendidik kader-kader muda Salafi. Sekolah Salafi Madukismo, Pesantren Jamilurrahman, Pesantren Imam Bukhari dan Pesantren Bin Baz merupakan contoh dari beberapa lembaga tersebut. Para santri belajar setiap hari tanpa terikat oleh hari libur nasional. Walaupun kenyataan ini secara sekilas menunjukkan adanya perbedaan antara lembaga pendidikan Salafi dengan negara, namun, terlalu dini untuk menilai bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan kita dalam memahami konsep negara kebangsaan Indonesia. Dibutuhkan informasi yang lebih mendalam untuk memahami secara lebih baik seluruh perilaku, pandangan dan juga memori sosial para Salafi tersebut. Ketergesaan dalam memberikan klaim dan ‘tuduhan’ terkadang sama sekali tidak menambah pemahaman kita terhadap mereka.<br />Secara individual, gerakan ini berjalan melalui relasi personal antar kenalan. Suatu ketika, pada bulan November 2006 di Yogyakarta, ada sebuah pengumuman tentang kamar kos yang ditempel di beranda Masjid UGM. Berbeda dari biasanya, mahasiswa yang akan diterima disyaratkan menganut mazhab salaf. Dalam kasus ini, tampak bahwa mazhab salaf telah menjadi identitas yang menetukan, apakah seseorang menjadi bagian dari self atau other.<br />Kecenderungan untuk membangun boundary di kalangan para Salafi ini terrefleksi dari adanya penilaian bahwa gerakan Islam lainnya kurang berpijak pada syariah (Karim al-Aql 2003: 114-115). Kecenderungan tersebut terekspresi dalam perilaku sosial politik mereka, sehingga menimbulkan perlawanan dari komunitas lain yang dituduh tidak Islami, seperti yang terjadi di desa Sesele Lombok, Nusa Tenggara Barat, dimana sebuah pesantren Salafi diserang dan para Salafi diusir dari desa oleh masyarakat (Kompas: 18 Juni 2006). Tampak jelas bahwa kecenderungan untuk memonopoli kebenaran ini memiliki implikasi sosio-relijius yang sangat besar pada, terutama, keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />Dalam kehidupan politik, kecenderungan ekslusifitas para Salafi menyebabkan mereka mengambil sikap yang bertentangan dengan kebijakan negara. Sebagai contoh, para Salafi menolak berpartisipasi dalam pemilu di Indonesia dengan alasan: (1), pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi yang bertentangan dengan syariat Islam; (2), nilai suara seorang muslim dan non muslim sama, seharusnya, suara muslim lebih tinggi; (3), nilai suara seorang laki-laki dan perempuan sama, seharusnya, suara seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan. Disini terlihat perbedaan kategori sosial budaya antara para Salafi dengan negara.<br />Monopoli kebenaran yang dilakukan oleh para pengikut Salaf didasarkan pada hadits Nabi yaitu: (artinya): “sesungguhnya umat Islam akan terpecah belah menjadi 71 golongan. Semua golongan tersebut di neraka, kecuali satu: al jamaah”. Menurut para Salafi, maksud al jamaah di sini adalah ahlu sunnah wal jamaah, dan Salafisme adalah nama lain ahlu sunnah wa al jamaah. Berarti, satu-satunya golongan yang selamat hanyalah Salafisme (Karim al Aql 2003: 16-18).<br />Di tengah eksklusifitas tersebut, realitas internal Salafi sendiri menunjukkan banyak varian, masing-masing mengaku paling benar. Akibat kuatnya kecenderungan untuk mengklaim kebenaran ini, perbedaan-perbedaan paham dan pandangan terhadap berbagai permasalahan selalu diikuti dengan aksi saling menyalahkan di antara mereka. Sebagai contoh, Luqman Baabduh, tokoh Salafi Yogyakarta dituduh Murjia oleh kelompok Ngruki Solo. Sebaliknya, kelompok Ngruki dianggap Khawarij oleh kelompok Luqman Baabduh (2005). Baabduh juga mengecam model perjuangan yang dilakukan oleh Imam Samudera dan Hasan al-Banna (As Syariah, vol. II no 20: 2005). Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Baabduh ini kemudian dibantah oleh Zulfidar (2006), tokoh yang juga sering diafiliasikan sebagai pengikut Salaf dengan grup al-Kautsar di Jakarta. Tokoh Salafi lainnya, Imam Samudera dalam bukunya Aku melawan Teroris (2004: 3) secara eksplisit membagi Salafisme menjadi dua: Salafi murni dan yang telah terdistorsi. Salafi pertama adalah mereka yang konsisten dengan idealisme perjuangan untuk menegakkan agama Islam; sementara kelompok kedua adalah mereka yang takut untuk berjuang demi agama. Di Yogyakarta, istilah Salafi merujuk pada dua kelompok penting: Salafi Lor yang menjadi markas Lasykar Jihad di bawah kendali Jafar Umar Thalib, dan Salafi Kidul yang berpusat di Bantul.<br />Perbedaan paham dalam Gerakan Salafi, dalam tataran tertentu, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan, tapi juga afiliasi politik. Para pengikut Salaf biasanya memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan patron politik mereka. Secara garis besar, ada dua patron tertinggi yang mendominasi pengikut Salaf di Indonesia pada saat ini: Syaikh Muqbil bin Hadi di Yaman, dan Syaikh Bin Baz di Saudi Arabia. Pemahaman lebih lanjut mengenai Gerakan Salafi di Indonesia harus mampu mengungkap pola relasi patron-client antara para Salafi di Indonesia dengan guru-guru mereka di Yaman dan Saudi Arabia. Perbedaan utama antara Salafi Yamani dan Saudi Arabia adalah, yang pertama lebih memiliki kecenderungan pada aktivisme, sehingga sering terlibat pada konflik fisik, sebagaimana yang terlihat pada kasus Lasykar Jihad yang dikirim ke Ambon.<br />Transformasi ajaran Salafiyah ke Indonesia, secara umum masuk melalui tiga jalur (lihat Bubalo dan Fealy 2005: 47-64) yaitu: (1) pendidikan, dengan banyaknya mahasiswa Indonesia yang menuntut Ilmu di Saudi Arabia dan Yaman, baik dalam pendidikan formal maupun non formal; (2) human movement yang masuk ke dalam caravan Salafi internasional dan mereka bergerak lintas negara, terutama di daerah-daerah konflik seperti Afghanistan, Pakistan, Asia Tengah, Thailand Selatan dan Filipina Selatan; (3) internet dan penerbitan buku-buku yang menyebarkan ajaran Salaf. Baik Salafiyah Yaman ataupun Saudi Arabia masuk melalui ketiga jalur ini.<br />Untuk tataran yang lebih lanjut, ada indikasi bahwa kelompok Salafi yang menganut garis keras (aktivisme) sudah merasa kurang aman berada dalam payung Salafisme disebabkan faktor keamanan seiring gencarnya Densus 88 melakukan operasi. Informasi awal yang saya dapatkan tentang ini baru sebatas wilayah Sumatra Barat dan Riau. Kelompok yang dijadikan sebagai ‘tempat pelarian’ adalah Jamaah Tabligh yang selama ini dikenal tidak pernah terlibat dalam kegiatan politik apapun. Akibatnya, karakter non politik yang selama ini melekat pada Jamaah Tabligh mulai dipertanyakan seiring ditemukannya keterlibatan beberapa orang anggota Jamaah sebagai pelaku pemboman di Jakarta. Dalam konteks ini, hal yang perlu diteliti lebih lanjut sebenarnya adalah: (1) apa dan bagaimana konteks relasi antara Salafi di Indonesia dengan Salafi Timur Tengah? (2) Bagaimana proses transformasi mazhab Salafi menjadi suatu tindakan dan gerakan sosial yang berbasis keagamaan dengan segala variannya?; dan (3) bagaimana jaringan dan gerakan sosial tersebut memberi pengaruh pada gerakan Islam di Indonesia?<br />Keberhasilan dalam menemukan informasi mengenai pertanyaan di atas akan sangat membantu kita untuk memahami penyebab eksternal kemunculan Gerakan Salafi Indonesia dan bagaimana bentuk relasi patron-client antara murid dan syaikh yang memegang otoritas keputusan tertinggi. Di samping itu, informasi tersebut juga akan membantu kita untuk memetakan Gerakan Salafi dan varian-variannya, memberikan pemahaman mengenai proses terbentuknya identitas keagamaan di kalangan Salafi, dan bagaimana identitas ini kemudian menggerakkan para Salafi untuk melakukan suatu gerakan.<br />Untuk konteks ke depan, konfrontasi antara kelompok fundamentalis Muslim--termasuk Salafi--dengan pemerintah akan sangat bergantung pada tiga hal: kebijakan pemerintah, apakah memihak pada isu-isu yang menjadi concern kelompok fundamentalis atau sebaliknya; rangsangan eksternal yang dipicu oleh kebijakan Barat yang dianggap tidak adil dan menzalimi kaum Muslim; dan inisiatif dari kelompok fundamentalis itu sendiri sebagai jawaban dari challenge yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (Dekmejian 2001: 24). Kondisi ekonomi yang semakin memburuk dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran merupakan sebab-sebab yang juga dominan dalam mendorong kemunculan gerakan fundamentalis. Kenyataan tersebut mereka pahami sebagai simbol kegagalan sistem sekuler dalam memakmurkan rakyatnya. Berdasarkan kenyataan ini, mereka kemudian merasa memiliki alasan kuat untuk menerapkan sistem yang mereka yakini Islami dan mampu menciptakan keadilan ekonomi sebagai ganti dari sistem sekuler yang terbukti gagal. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis harus diletakkan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik, baik dalam skala lokal, regional maupun global.<br />Penutup<br />Makalah singkat ini sebenarnya lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban disebabkan keterbatasan informasi primer mengenai Gerakan Salafi. Sangat sedikit, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, studi-studi yang berbasis pendekatan etnografi--sehingga memungkinkan penulisnya untuk hidup lebih dalam dengan para Salafi—yang dihasilkan oleh para peneliti tentang kehidupan para fundamentalis, terutama para Salafi. Oleh sebab itu, pemahaman kita tentang Gerakan ini masih bersifat parsial dan terkadang menyimpang dari yang sebenarnya. Riset lanjutan sangat diperlukan dalam kerangka untuk pemahaman yang lebih baik, dan dalam tataran tertentu, juga untuk mencegah semakin berkembangnya social boundary di masyarakat akibat menguatnya semangat ekslusifitas para Salafi. (Andri Rosadi, Staf Jurusan SKI).<br /><br /></span></div>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-90836463026275705422011-05-31T20:01:00.000-07:002011-05-31T20:12:31.032-07:00Pergumulan Islam dengan Kolonialisme (Kajian tentang kolonialisme Belanda di Indonesia)Oleh : Siti Aisyah, M.Ag (Dosen SKI dan Kaligrafi FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT_InajEtQ4mzY8DF8qsaZZW9CxDufLnzhvU9RwPoZNJuNfcuT9PdrLEEzK_ojDnolCd7hOLPNuiAaggJ0E6_vR6ZEbxVs3KbkwKNR-5JtnLZt7PSbz07eCKlTx3EksELnw_mCVJtksaLM/s1600/aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 80px; height: 74px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT_InajEtQ4mzY8DF8qsaZZW9CxDufLnzhvU9RwPoZNJuNfcuT9PdrLEEzK_ojDnolCd7hOLPNuiAaggJ0E6_vR6ZEbxVs3KbkwKNR-5JtnLZt7PSbz07eCKlTx3EksELnw_mCVJtksaLM/s200/aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5613083840613375058" border="0" /></a>Koloniasme adalah sistem suatu negara menjalankan politik pendudukan atau penjajahan terhadap wilayah lain (Hasan Sadili, 10982 : 18812). Tujuan dari kolonialisme itu untuk mencari keuntungan dari negara yang dijajahnrya. Selain untuk mendapat keuntungan pada wilayah yang dijajah, tujuan kedatangan dari bangsa colonial ini juga menjalankan misi agama mereka. Sedangkan pergumulan Islam dapat diartikan dengan pergulatan. Pergumulan Islam dengan kolonilisme merupakan suatu bentuk pejuangan umat Islam terhadap bangsa colonial yang telah ada ditanah airnya dengan berbagai upaya yang dilakukan. Upaya itu dilakukan agar pihak colonial bisa melepaskan diri, atau beranjak dari tanah airnya.<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Negara Indonesia termasuk salah satu korban kolonialisme. Sebelum kedatangan bangsa colonial kei Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam. Kedatangan bangsa colonial ke Indonesia merupakan bencana besar bagi umat Islam. Keberadaan pemerintah colonial tersebut telah melumpuhkan masyarakat Islam, membekukan pemikiran, bahkan sampai menguburkan masa lalu umat Islam. Kedatangan colonial ini telah mempengaruhi upaya pencapaian cita-cita umat Islam di Indonesia.<br />Sebelum bangsa colonial ini memasuki wilayah Indonesia, mereka juga mengirim orientalis untuk mempelajari Islam di Indonesia. Berdasarkan informasi dari orientalis tersebut, mereka dapat mengetahui kondisi masyarakat Islam di Indonesia yang sesungguhnya. Sehingga mereka dengan mudah memasuki wilayah Indonesia. Mereka berusaha merubah cara pandang tentang Islam serendah-rendahnyab bahkan sampai menjatuhkan martabat Islam. Akbar S. Ahmed (1992: 130) mengatakan bahwa cara pandang mereka ini telah dipengaruhi oleh rasisme yang bejat dan praduga agamis. Namun cara pandang ini juga yang nantinya justru menggetarkan naluri kemerdekaan masyarakat muslim di Indonesia.<br /><br />Jika dilihat dari akibat kolonialisme ini menjadikan umat muslim di Indonesia tertinggal dan mengalami kelumpuhan total. Namun dibalik kebijakan yang diterapkan oleh colonial tersebut, tanpa disadari telah mengantarkan bangsa Indonesia kepada gerbang kemajuan. Proses Islamisasi menjadi semakin lancar dan menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok daerah. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan antara Islamisasi dengan Kristenisasi. Karel Steenbrink( 1995: 156) mengutip artikel Simon yan ditulis tahun 1905 bahwa pada abad 14 Islam berhasil menebus seluruh daerah pesisir Sumatera, Pada abad ke-19 sebagian besar daerah pedalaman belum diislamkan. Ketika Belanda berhasil memiliki daerah Batak bagian selatan pada tahun 1837, mereka juga membuka jalan untuk Islam. Demikian juga dalam bidang pendidikan, pada saat colonial ini sebagian besar pemuda Indonsia telah ada yang mengecap pendidikan sampai keluar negeri. Untuk lebih jelasnya pada makalah sederhana ini berikut penulis paparkan tentang bagaimana benruk pergumulan Islam dengan kolonialisme, khususnya yang terjadi di Indonesia.<br /><br />B. Kolonialisme di Indonesia<br />Negara Indonesia dikenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Kekayaan akan rempah ini yang menjadi daya tarik bangsa colonial datang ke Indonesia. Terjadinya pemerintahan colonial di Indonesia ini berawal dengan kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia pada tahun 1511. Mereka datang ke Indonesia melalui Malaka. Motif kedatanganya, selain karena factor ekonomi, juga karena factor petualang. Mereka berusaha mencari negara yang banyak menghasilkan keuntungan bagi ekonominya.<br />Disamping itu, dalam mencari keuntungan ekonomi dengan cara menopoli, mereka juga menjalankan misi agama mereka. Faktor agama agi bangsa Portugis, juga mempunyai peranan penting. Hal ini dapat dirasakan pada daerah Ternate dan Tidore. Dengan menerima ajaran agama yang baru tersebut, berarti mereka menerima dan meyakini kekuatan asing yang merugikan bangsanya ( Marwati Djoened Poponegoro Noto Susanto, 1993 : 42)<br />Akan tetapi pemerintahan kolonial Portugis ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1521 kolonial Spanyol datang ke Indonesia melalui Filipina dan sampai ke Kalimantan Utara (Marwati Dj. , 1993 : 44) Kedatangan. Sehingga terjadilah persaingan antara kedua bangsa colonial tersebut. Pada abad ke 16-17, muncul lagi giliran Belanda, Inggris dan Prancis ke Indonesia. Tujuan kedatangnya tidak jauh berbeda dengan bangsa Portugis dan Spanyol. Pelayaran pertama mereka ke Indonesia pada tahun 1595 terdiri dari empat kapal yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman ( Marwati Dj., 1993 : 45). Kemudian pada tahun 1602 Belanda mendirikan serikat dagang (VOC) dalam rangka menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat. Mereka datang atas nama-nama perusahaan. Semua perusahaan tersebut bergabung dalam VOC yang punya administrasi dengan negara Belanda<br />Selain dari factor ekonomi tersebut, terjadinya colonial Belanda di Indonesia juga disebabkan karena ulah masyarakat Indonesia itu sendiri. Dilihat dari awal masuknya Belanda ke daerah-daerah di Indonesia, ditemukan ada masyarakat yang pro terhadap bangsa colonial tersebut. Akhirnya penjajahan itu terjadi, karena tidak adanya persatuan dalam tubuh masyarakat Indoesia. Sebagian dari masyarakat pribumi ada yang berpihak kepada Belanda, bahkan daerah Aceh yang dikenal paling kuat pertahanannya dapat dikalahkan. Hal ini disebabkan Said Abdurrahman juga sudah berpihak kepada Belanda dan membongkar rahasia Aceh kepada Belanda.<br />Pecahnya perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa pada awalnya bersifat perang saudara, kemudian berlanjut disebabkan karena anti terhadap colonial Belanda. Belanda telah banyak campur tangan terhadap masalah yang terjadi di daerah tersebut ( Karel A. Steenbrink, 1984 : 17-18). Disamping itu penyebab perang ini juga karena unsure agama. Sebagian ulama ada yang ingin mencari hak istimewa dari pengikutnya, sehingga mereka berjuang bukan lagi demi kepentingan agama.<br />Demikian juga dalam perang Paderi (1800-1837) di Minang Kabau. Taufik Abdullah (ed), (2002: 321) mengatakan pada awalnya terjadinya perang Paderi ini karena adanya pertentangan antara kaum adat dengan kaum Paderi. Kaum Paderi yang terdiri dari para ulama yang bertujuan untuk menyiarkan agama dan menentang kebiasaan kaum adat yang bertentangan dengan agama. Tetapi kaum adat meminta bantuan kepada Belanda untuk membela diri dari serangan pembaharu Muslim ( Alwi Sihab, 1988 : 63). Akhirnya Belanda juga turut campur tangan dalam masalah yang terjadi daerah tersebut sampai perang tersebut berhenti.<br /><br />C. Pergumulan Islam dengan Kolonial Belanda<br /><br />1. Sebab terjadinya pergumulan Islam dengan Kolonial<br /><br />Apabila dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol, Bangsa colonial Belanda yang paling lama menjajah di Indonesia. Adanya perjanjian London tahun 1824, membuat bangsa-bangsa colonial membagi wilayah jajahanya. Berdasarkan perjanjian tersebut menurut Alwi Sihab (1988 : 326) bangsa Belanda mulai menguasai wilayah di negara Indonesia. Kemudian sejak abad 19, penguasa Belanda memperluas wilayah control mereka sehingga wilayah kekuasaan mereka mencakup seluruh kepulauan nusantara.<br />Perluasan wilayah ini juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Para pendatang baru dari Belanda dan Eropa semakin banyak berdatangan ke Indonesia. Mereka bertindak sebagai agen yang membawa kebudayaan dan peradaban Barat ke tengah masyarakat Indonesia. Akhirnya peran pemimpin tradisional mulai tersingkirkan, mereka telah dikooptasi oleh pemerintah colonial. Kelompok elit politik yang mengabdi kepada Belanda secara perlahan mulai mengalami perubahan peran; dari pemimpn tradisional menjadi agen yang memperlancar penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia.<br />Dengan adnya perubahan tersebut, maka muncullah para pemimpin baru yang berasal dari para guru agama dan ulama yang selalu menjalin kontak dengan Mekah. Mereka menentang tindakan para elit politik ini, sehingga sering terjadi pemberontakan local yang menimbulkan kekawatiran dari Belanda. Akhirnya para pejabat Belanda merasa perlu menerapkan kebijakan yang dikenal “Kebijakan Liberal” ( Alwi Sihab, 1988 : 65). Kebijakan ini muncul karena Belanda khawatir sering terjadinya pemberontakan local di daerah.<br />Pemberontakan ini sering terjadi karena adanya tekanan dari bangsa colonial yang akhirnya menimbulkan kebencian di hati masyarakat daerah. Pada umumnya pemberontakan itu muncul dari kalangan umat Islam. Belanda yang selalu mencurigai para ulama pulang dari Mekah, dikhawatirkan ada kontak dengan Pan-Islamisme di Turki. Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan Indonesia diilhami ide Pan-Islamisme dari Turki, karena adanya ransangan yang sangat besar dari Aceh yang terus berlanjut sampai abad ke-19. Sudah berbagai upaya dilakukan Belanda untuk menghadapi dinamika Islam ini, akhirnya colonial Belanda membuat langkah menjinakkan agama. Dengan membuat surat keputusan No. 78 tanggal 4 Februari 1859, secara rahasia menginstruksikan kepada gubernur jenderal untuk menentukan langkah dan tindakan professional (Azyumardi Azra, 1989)<br />Dalam surat tersebut dibenarkan mencampuri masalah agama, bahkan sampai mengawasi setiap gerak-gerik para ulama untuk kepentingan keamanan. Sebagai langkah panjang dari kebjakan menjinakkan Islam, colonial Belanda juga mengangkat orang muslim pribumi menjadi pegawai pemerintah untuk mengatur kehidupan beragama sendiri. Pengaturan itu dimaksudkan untuk membantu bupati dalam mengatur umat Islam.<br />Dengan semakin banyaknya campur tangan Belanda terhadap permasalahan masyarakat, menimbulkan beberapa pemberontakan di berbagai daerah. Masyarakat sudah mulai memahami dan mendapat gambaran tentang pendatang asing. Pada mulanya mereka beranggapan tentang Belanda itu sebagai gangguan terhadap budaya dan agama yang berbeda, semakin meningkat anggapannya tentang Belanda itu sebagai orang kafir yang licik yang mudah ingkar janji dan berbagai konotasi negative lannya. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya konflik, sehingga terjadilah pergumulan antara colonial dengan masyarakat Islam.<br /><br />D. Bentuk Pergumulan Islam dengan Kolonial<br /><br />a. Perang Bersenjata<br />Bentuk pergumulan Islam dengan bangsa colonial dalam perang bersenjata ini berupa perlawanan yang terdapat di berbagai daerah. Konflik ini sudah mulai terjadi pada abad ke-17-19. Perang tersebut dilatari oleh ideology Jihad fi sabilillah. Hal ini pula yang menjadi penentangan Sultan al Fatah yang dikenal dengan Sultan AgengTirtayasa (1651-1962) sejak bulan februari 1982 terhadap putra mahkota sultan Haji bersekutu dengan Belanda. Penentangan ini dilanjutkan oleh Syekh Yusuf Al-Makasari (Moncong Loe,Goa, Sulawesi Selatan, 3 juli 1626-Tanjung Harapan 1699 ) hingga bulan Desember 1683 M. Kemudian pada abad ke-18 adalagi pemberontakan yang dimotori di kalangan aristocrat seperti Pengeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam perangan Jawa (1825-1837). Adalagi perlawanan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia dalam perang Aceh, dan Sultan Taha Syaifuddin yang diturunkan dari jabatannya (Taufik Abdullah, 2002 : 322).<br /><br /><br /><br /><br />b. Perang Intelektual<br /><br />Perang intelektuak itu terjadi berbentuk diskusi tentang perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda. Dari pihak muslim dipimpin oleh Haji Agus Salim, dan dari perpecahan dipimpin oleh Kramer. Kramer ini masuk dalam perhimpunan Jong Java dengan tujuan melenyapkan unsure Islam. Selama periode 1925-1942 Jong Islamieten Bond (JIB) ternyata berkembang menjadi sebuah organisasi intelektual muda muslim yang percaya diri. Mereka dengan gigih menghasut untuk menentang Khatolik dan Protestan. Penentangan tersebut dilakukan baik dari dalam maupun dari luar Dewan Rakyat. Mereka juga menerbitkan sejumlah artikel anti Kristen dalam majalah Het Licht serta berbagai publikasi lainnya.<br />Pergumulan secara intelektual ini secara perlahan membentuk pemikiran lebih terbuka dan berkembang. Adanya diskusi dan saling tukar pendapat antara masing-masing kelompok, maka masing-masing pihak akan lebih mengetahui tujuan dari sesama mereka. JIB ini sebenarnya bukan anti Belanda, mereka adalah sebuah kelompok kritis yang mengutarakan pemikiran berupa tulisan dan diskusi. Pemuda JIB sering mendukung Belanda, namun terakhirnya selalu berakhir dengan pembelaan terhadap Islam. Di dalam Het Licht berbagai contoh pandangan negative Belanda terhadap Islam, seperti yang terlihat dalam teks-teks Sejarah dan Geografi yang dipakai di sekolah-sekolah.<br />Segala macam bentuk pergumulan tersebut tidak selamanya merugikan pihak Islam. Semenjak adanya colonial tersebut masyarakat Indonesia menjadi lebih maju dari sebelumnya. Masyarakat Indonesia menjadi lebih berkembang dan dapat mengenal dunia luar negeri. Namun dalam perlawanan pisik selalu dimenangkan oleh Belanda, karena dalam alat persenjataan Belanda lebih unggul dari Indonesia.<br />E. Pengaruh Kolonial terhadap Islam<br /><br />1. Bidang Hukum<br /><br />Kekhawatiran Belanda terhadap Islam fanatic dan berbagai kemungkinan bahaya yang ditimbulkan menjadikan Belanda membuat beberapa kebijakan. Belanda berusaha memperkecil pengaruh Islam dengan cara mengkristenkan orang-orang Indonesia. Snouk Houranje merumuskan kebijakan tersebut berdasarkan tiga prinsip utama. Prinsip utama dalam masalah ritual dan aspek ibadah, umat Islam di Indonesia dibiarkan bebas menjalankannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjinakkan hati rakyat agar mengurangi perlawanan terhadap Belanda.<br />Prinsip kedua berhubungan dengan lembaga-lembaga social Islam, atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawianan, warisan, wakaf, dan hubungan social lainnya. Hal ini dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia mengganti lembaga-lembaga social umat Islam di atas lembaga social Barat.<br />Sedangkan prinsip ketiga yang dirumuska Snouk Houranje itu adalah masalah politik. Pemerintah dinasehatkan untuk tidak mentoleran kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim ; kegiatan yang dapat menyebarkan seruan-seruanPan Islamisme atau kegiatan yang menyebabkan seruan-seruan perlawanan politik bersenjata yang menentang pemerintah colonial Belanda. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap Habib Abdurrahnman az-Zahir yang dianggap sebagai seorang lawan yang sangat berbahaya. Maka diadakanlah usaha untuk mengeluarkan Habib ini dari Aceh. ( Muhammad Syamsu As., 1999 : 188). Berdasarkan catatan sejarah Habib ini pernah dikenal sebagai salah seorang ulama Arab yang yang mempunyai peranan penting dalam perang Aceh. Selain itu Habi juga pernah memperoleh ‘ Bintang Usmani’ atas jasa-jasanya dari pemerintah Turki.<br />Di sini Belanda berusaha mengembangkan seluruh hukum adat pribumi yang sesuai dengan norma-norma bangsa Eropah, dan juga mendirikan suatu system yang seragam. Belanda memberikan Indonesia sebuah system hukum yang terdiri darihukum adat, hukum muslim, dan hukum perundang-undangan Belanda (Ira M. Lapidus, 1999 : 319)<br />Sikap Belanda yang terlalu mengatur tentang agama ini lebih tepat dikatakan sebagai campur tangan dari pada bersikap netral, meskipun alasan melaksanakan hukum tersebut demi ketertiban dan keamanan umum. Pengawasan yang dilakukan Belanda terhadap Islam ini antara lain dengan meresmikan Lembaga Peradilan Agama (1893) dan melakukan pengawasan masjid (1905), dan juga mengeluarkan ordonasi perkawinan dan perceraian bagi orang Islam.<br />Belanda membuat hukum-hukum tersebut bertujuan untuk mengurangi perkembangan Islam, namun dengan adanya aturan-aturan tersebut masyarakat Indonesia telah diperkanalkan kepada hukum dan perundang-undangan yang lebih baik dari sebelumnya. Keberadaan hukum tersebut menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang hukum.<br /><br /><br />2. Bidang Pendidikan<br /><br />Pada awal abad ke-19, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan sesudah pengajian al-Quran di wilayah Indonesia. Pada masa ini Belanda aktif mendirikan lembaga pendidikanyang tidak berhubungan dengan Islam. Belanda memilih jalan lain dengan mendirikan system pendidikan tersendiri yang lepas dan terpisah dari system pendidikan Islam.<br />Pada awal abad ke-20,Taufik Abdullah (ed) (2002 : 317) mengatakan masuk isolasi untuk menyesuaikan kepada syarat-syarat pemerintah agar dapat adanya pengakuan resmi dan batuan darp pemerintah. Akhirnya muncullah pemisahan antara system pendidikan umum dengan pendidikan agama pada abad ke-19 . Sistem ini dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20. Sedangkan pendirian sekolah untuk penampungan anak pegawai Belandadan anak kalangan pribumi terkemuka dimulai pada tahun 1840 di Jawa (Karel A. Steenbrink, 1995 : 319).<br />Dalam hal ini Hougrounje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum muslimun dengan peradaban Barat melalui pendidikan Barat yang terbuka bagi rakyat pribumi. Dengan adanya penetrasi pendidikan model Barat, pengaruh Islam bisa disingkirkan. Reaksi negative terhadap penetrasi misi Kristen ini masuk melalui kerjasama pemerintah mengakibatkan nilai-nilai Islam semakin merosot. Kaum muslimin sangat khawatir akan perubahan ini dan menuntut pemerintah agar menarik dukungan tersebut. Hal ini dianggap sebagai kebijakan yang bertentangan dengan semua konsep modern mengenai hubungan antar agama dan negara.<br />Akibat dari kebijakan tersebut muncul sekelompok elit terdidik yang mampu menyuarakan frustasi masa yang mengagetkan orang Belanda yang telah mendidik mereka (Alwi Sihab, 1998 : 88). Kelompok kecil elit politik ini belakangan tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri. Selain itu juga tumbuh gerakan-gerakan modernis dipelopori sarjana muslim sebagai respon terhadap kebijakan colonial Belanda dalam bidang pendidikan.<br />Pada awalnya sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan ini mengembangkan sikap toleransi dan represi. Mereka beranggapan kesadaran politik itu timbul suatu konsekuensi logis. Tetapi setelah gerakan mulai menunjukkan giginya, maka pemerintah mengambil sikap lebih keras terhadap mereka. Manifestasi dari gerakan tersebut dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, yang kemudian disusul dengan organisasi politik yang merakyat dengan kecenderungan kepada Islam yang kuat ; Sarekat Islam dan hampir bersamaan dengan berdiri pula Muhammadiyah (Alwi Sihab, 1998 : 90).<br />Adanya kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya berbagai perubahan penting pada masyarakat. Perubahan tersebut bukan dari penggagasnya, tetapi merupakan hasil lansung dan reaksi masyarakat terhadap tindakan pemerintah. Sekolah pesantren semakin berkembang di Jawa dan Sumatera, meskipun belum ada organisasi khusus yang mempersatukan pesantren tersebut. Bentuk pesantren tersebut juga beragam tergantung ulama yang memimpin pesantrennya.<br /><br />3. Bidang Ekonomi<br /><br />Kebijakan VOC yang didirikan Belanda di Indonesia mempunyai pengaruh besar dalam perekonomian Islam di Indonesia. VOC telah mengambil alih penguasaan hak atas tanah atau wilayah dan juga menopoli produksi perdagangan dan tenaga kerja. Bahkan makin mempersempit peran dagang muslim di Nusantra, karena satu persatu VOC makin mengambil alih pusat perdagangan di Nusantara.<br />Akibat dari perluasan VOC ini tidak saja menurunkan peran politik dan ekonomi, bahkan secara tidak lansung berpengaruh terhadap kemerosotan ekonomi penduduk Bumi Putera yang didukung oleh pedagang danpenguasa muslim santri (Alwi Sihab, 1988 : 90). Mata rantai yang semula telah dikuasai dan berkembang oleh Bumi Putera jadi terputus, karena tiba-tiba dihadapkan dengan kompetisi yang tidak seimbang.<br />Sistem menopoli VOC ini kadang kala mengakibatkan pertentangan politik, bahkan secara tidak lansung melibatkan Inggris. Hal ini disebabkan karena para muslim Bumi Putera dan Inggris ada hubungan dagang yang baik dan saling menguntungkan. VOC berusaha menguasai perdagangan tersebut dengan system menopoli dengan mengambil alih sentralisasi industry kaum pribumi.<br />Belanda menguras kekayaan alam Indonesia dengan melaksanakan system perdagangan yang licik. Mereka memanfaatkan kebodohan pribumi dalam menjalankan perdagangan tersebut. Karena negara Indonesia bukan saja penghasil rempah-rempah, tetapi juga banyak mengandung bahan tambang yang terpendam . Pada tahun 1883 konsesi pertambangan exploitasi minyak bumi diberikan pada Royal Nederland Company. Minyak tersebut ditemukan dalam jumlah besar di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Demikian juga halnya dengan pertambangan batu bara juga mengalami kemajuan besar pada abad ke-19 di Sumatera Barat, Kalimantan dan Palembang.<br />Pada saat VOC berkembang masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal kelicikan Belanda dalam menjalankan transaksi perdagangan. Situasi psikologis inilah yang melatarbelakangi organisasi nasional dan gerakan Islam. Diantaranya gerakan nasional tersebut berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905-1911, Organisasi Budi Utomo yang didirikan dikalangan ningrat Jawa pada tahun 1908, berdirinya Jamiat Khair pada tahun1901, juga berdirinya Sarekat Islam di Surakarta pada tanggal 10 September 1912.<br />Gerakan-gerakan tersebut berdiri sebagai refleksi dari revitalisasi sikap kaum muslimin dengan persepsi baru terhadap Islam dan perannya ketika berhadapan dengan kaum kafir Belanda dan Tionghoa. Sebagaimana adanya Sarekat Islam berdiri sebagai refleksi sikap persaingan antara Bumi Putera dan Tionghoa. Berdirnya SI (1912) ini dilatarbelakangi adanya konflik antara orang Cina dan orang Jawa. Akan tetapi konflik tersebut lebih bersifat politik dan social dari pada persoalan ekonomi. Untuk lebih tepatnya dapat dikatakan adanya bentrokan antara dua aliran emasipasi dan gejala situasi yang menyebabkan ketegangan politik (A. P.E. Korver, 1985 : 21).<br />Kegiatan SI ini bertujuan untuk meningkatkan kedudukan para anggoatanya dengan membentuk took-toko koperasi dan usaha lainnya, seperti sekolah-sekolah dan sebagainya. Selanjutnya juga bertujuan untuk meniadakan keluhan-keluhan dan memperjuangkan perbahan dalam bidang pemerintah, peradilan dan politik keagamaan dan social. Awalnya usaha yang dilakukan dengan mendirikan koperasi konsumen. Pada tahun 1913, SI juga sudah merencanakan suatu proyek yang sangat hebat sampai akhirnya SI dapat berhasil sukses dalam bidang ekonomi dan perdagangan.<br /><br />F. Kesimpulan<br /><br />Negara Indonesia sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, Kekayaan negara Indonseia akan rempah-rempah menjadikan negara Indonesia sebagai incaran bagi negara Eropah untuk datang ke Indonesia. Kedatangannya bngsa colonial itu ke Indonesia bertujuan untu perdagangan dan kristenisasi. Sehingga terjadilah pergumulan antara penduduk muslim Indonesia dengan Kristen Belanda. Pergumulan tersebut ada yang berbentuk perang bersenjata, dan ada juga berbentuk perang inteletual.<br />Akibat dari pergumulan tersebut mengakibatkan berbagai perubahan bagi masyarakat Indonesia. Dampak perubahan tersebut memang sangat merugikan bangsa Indonesia karena Belanda telah menguras kekayaan alam Indonesia. Namun akibat dari semua itu secara tidak lansung telah mengantarkan bangsa Indonesia kepada kemajuan, baik dalam bidang hukum, pendidkan, dan ekonomi.<br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-69292115081678109532011-05-26T07:52:00.000-07:002011-05-26T08:17:24.623-07:00Ikhlas Menurut Al-Qur'an : Sebuah Kajian TematikOleh : Drs. Syamsir, M.Ag (Dosen Ulumul Qur'an & Fiqh FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9nBX4fSSxw2jaoRO4VGMTOz_dbrEPuYwXSdVv5RVmQSSN7I7ddJyfXxGbARYGYZXk7RyHATpQ9fn4Tu74Ze_k-B01H3Cdg6VGSaVgflo9Etm4UfJQD6c-jUl5nM42zTT_QdLdpvB6jUu4/s1600/2.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 70px; height: 85px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9nBX4fSSxw2jaoRO4VGMTOz_dbrEPuYwXSdVv5RVmQSSN7I7ddJyfXxGbARYGYZXk7RyHATpQ9fn4Tu74Ze_k-B01H3Cdg6VGSaVgflo9Etm4UfJQD6c-jUl5nM42zTT_QdLdpvB6jUu4/s200/2.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611044133065493250" border="0" /></a>Islam merupakan sebuah sistem yang universal dan sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan tonggak utama Islam, sekaligus sebagai jawaban universal dan sempurna bagi problema duniawi dan ukhrawi yang meliputi segala masa dan tempat. Namun kesempurnaan ajaran Islam tersebut tidak ada artinya jika pemeluknya hanya menjadikan sebagai formalitas belaka tanpa ada usaha untuk mengimaninya dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajarannya dalam realitas kehidupan.<br /></div><span class="fullpost"><br /><br /><br />A. Pendahuluan<br /> Dalam Islam keselarasan antara aspek lahiriyah dengan batiniah merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Mengabaikan salah satunya dapat berakibat pada kurang sempurnanya tindakan seseorang. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an Allah SWT menolak pengakuan beriman orang-orang badui, karena pengakuan mereka itu hanya sekedar ucapan yang tidak disertai dengan ketulusan hati, dan tidak dibuktikan pengaruhnya dalam realitas kehidupan yang berupa amal dan jihad di jalan Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firmannya yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 14 dan 15 yang artinya sebagai berikut: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar<br /> Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya.<br /> Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas dalam al-Qur’an dengan pendekatan metode tafsir tematik (maudhu’i).<br /><br />B. Makna Ikhlas dalam al-Qur’an<br /> Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).<br /> Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.<br /> Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :<br /> Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.<br /> Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.<br /> Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.<br /> Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.<br /> Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).<br /> Demikianlah beberapa makna ikhlas yang terdapat dalam al-Qur’an. Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada makna ikhlas dalam arti yang keempat (mengesakan).<br /><br />C. Ikhlas dalam Beragama<br /> Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.<br /> Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”<br /> Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,<br />artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.<br /><br /> Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.<br /> Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.<br /> Jika kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br /> Karena pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari—diikuti oleh banyak penyusun hadits lainnya—meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.<br /> Selain itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang, artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)<br /><br /> Selanjutnya bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik. Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid, aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan, terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..<br /> Lawan dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.<br /> Meskipun riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang yang riya’ sebagai berikut:<br />1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.<br />2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.<br />3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.<br />4. Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada manusia.<br /><br />Sikap riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan, Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.<br /><br /> Di dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.<br /> Hal yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.<br /> Dari beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah digariskan syari’at islam.<br /><br /><br /><br />D. Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas<br /> Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.<br /> Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.<br /> Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut:<br />Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.<br /><br /> Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.<br /> Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.<br /><br /> Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.<br /> Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.<br /> Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.<br /> Selain ayat di atas, penjelasan yang serupa juga terdapat dala surat Al Ankabut : 65 dan Yunus : 22. Dalam ayat tersebut diterangka tentang diselamatkannya orang-orang yang ingkar dari amukan badai dan gelombang lautan disebabkan do’a mereka yang penuh keikhlasan. Ketika menafsirkan ayat tersebut (Yunus : 22), al-qurthubi berkomentar, bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah seraya berdo’a kepada-Nya ketika menghadapi kesulitan, dan sesungguhnya orang-orang yang dalam keadaan terjepit (bahaya) akan dikabulkan do’anya sekalipun ia orang kafir, disebabkan keikhlasan mereka kembali kepada Allah.<br /> Di samping beberapa ayat di atas, juga terdapat hadits Rasulullah SAW. Yang menerangkan tentang dikabulkannya do’a orang yang ikhlas. Di antaranya dikisahkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang mengenai tiga orang yang terperangkap dalam sebuah goa yang tertutup oleh sebongkah batu besar akibat longsor. Kemudian ketiga orang itu bertawassul kepada Allah dengan perbuatan yang telah dilakukannya yang benar-benar ditujukan kepada Allah seraya berdo’a : Ya Allah, jika aku melakukan perbuatan ini karena mencari ridha-Mu, maka mudahkanlah kesulitan kami. Maka Allah-pun memudahkan kesulitan mereka, mereka dikeluarkan dari dalam goa dengan selamat.<br /> Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.<br /><br />E. Penutup<br />Sikap ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif pada diri seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya. Mudah – mudahan kajian yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala aktivitas yang diredai Allah.<br />Penulis menyadari bahwa menafsirkan ayat al_Qur’an bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, apalagi dengan menerapkan metode maudhu’i yang membutuhkan kemampuan yang tinggi, kemauan yang keras , dan dibarengi waktu yang cukup. Mudah-mudahan Allah menilai sajian dalam tulisan sebagai amal yang ikhlas .<br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-53921610307093820322011-04-09T08:55:00.000-07:002011-04-09T08:58:31.802-07:00معوقات تعليم اللغة العربية في جامعة إمام بنجول الإسلامية الحكومية ببادنجOleh : Abdul Manan Sihombing, MA (Dosen Bahasa Arab FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ895qe4a3cX6YLnjBv8DKQlgOGHueHKso0xb7bSXWNChLoD4kK8acapmSmt5k4hEbfU4gqwL-cDoo8IRQlqhnKhcPDpOTfaqrMuWqvnlOtydH6dDhj3FFS0D-gtqXzQh2vb7vwHPllYNm/s1600/Manan.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 70px; height: 94px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ895qe4a3cX6YLnjBv8DKQlgOGHueHKso0xb7bSXWNChLoD4kK8acapmSmt5k4hEbfU4gqwL-cDoo8IRQlqhnKhcPDpOTfaqrMuWqvnlOtydH6dDhj3FFS0D-gtqXzQh2vb7vwHPllYNm/s200/Manan.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5593613785738127298" border="0" /></a>The proficiency in a foreign language, especially speaking and writing is one of someone’s needs for it will ease his/her activities, which are being run. Since the need of someone for the language will differ from one to the others, it will also call for different teaching subjects and methods. The language teaching in Indonesia, especially at IAIN Imam Bonjol, has passed a long tough journey. Even the fact so, It does not mean that the teaching can significantly raise student’s level because the curriculum has no strong fundamentals. Meanwhile, successful learning and teaching process need a stable curriculum. This paper discusses weak sides of Arabic teaching in IAIN Imam Bonjol by focusing on the goals of teaching and the subjects.<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br />أ- مقدمة<br />إنّ اللغة وسيلة من وسائل الإنسان يتفوّق بها على الكائنات الأخرى ويسيطر بها على الآخرين. يستطيع كذلك أن يحصل على مستوى رفيع في مجتمع يعيش فيه، ما إذا كان لسانه ينطلق وتميل إليه نفوس سامعيه ويقتنع عقولهم بما يلقيه من بيانات ساحرة. وتزيد هذه المنزلة عالية بإجادته إحدى اللغات الأجنبيّة فضلا عن لغته الأمّ. كلّما أجاد أكثر منها كلّما زاد عليه التقدير. ومن ثمّ، قد بذل كثير من الناس جهده وفكره على تعلّم لغة من اللغات الأجنبيّة الحيّة حتى تصبح حاجة من حوائج ينبغي استيفاؤها. فهذه الظاهرة تدفع إلى بناء مؤسّسات أو معاهد تدرس فيها هذه اللغات.<br />إن التعبير باللغة أو اللغات الأجنبيّة حاجة من حوائج شخص ما، فأوجه احتياجه إليها تختلف عن غيره وفق طلباته ومواقفه، دينيّا كان أو مهنيّا أو اجتماعيا. وكذلك الطريقة إلى اكتسابها واستخدامها في جهة أخرى تختلف أيضا، متماشية مع الحاجة أو الغرض الذي له آثار واضحة أثناء عمليّة التعلم والتعليم. فينبغي للمؤسسة أو المعاهد التعليمية أن تنظر هذه النقط واضحة لتتمكّن من استيفاء هذه الحاجة ويكون التعليم له مناسبته بواقع الحياة وله ارتباطه كذلك بميادين المهن "link and match". وأوضح المثال لهذه الظاهرة، اللغة الإنجليزية، وهي إحدى اللغات التي كان استخدامها أوسع انتشارا في العالم، تدرّس في وطننا إندونيسيا في المدارس الرسمية أو المعاهد في شكل دورات، لمختلف الطبقات من الأعمار والمصالح باستراتيجيات وطرق تدريس متنوّعة. فهناك درسها للأطفال قبل التحاقهم بالمدرسة ودرسها للشباب وأصحاب الحرف الخاصّة وغيرهم ممّا يؤدّي في النهاية- كما شاهدنا في التلفاز- إلى سيطرة تامّة على هذه اللغة رغم فقدان الأستاذ من صاحب اللغة.<br />ب- نبذة تاريخيّة عن برنامج تعليم اللغات <br />في وطننا إندونيسيا، لا يكون تعلّم اللغات الأجنبيّة وليد اليوم. فقد وجدت المعاهد تنتشر في أنحاء البلاد تعلّم اللغة الإنجليزية والفرنسيّة والألمانيّة واليابانيّة حتى العربيّة. وأكثر من تعلّم تلك اللغات من طلاّب تمكّن من استخدامها شفاهة وكتابة على سبيل لا بأس به – إن لم نقل على سبيل ممتاز- إلاّ من تعلّم اللغة التي يأتي ذكرها في الآخر. فقد شاهد الزمان أنّ من حاول أن يجيدها كأنّه قد حصل على قدر من المهارات لا يجاوز حدّ الكفاءة المطلوبة. ومن ثمّ نتساءل : ما المرض الّذي أصاب تلك المعاهد التي تعلّمها وطلابها كما حدث في جامعتنا إمام بنجول المحبوبة- حتى عجزوا عن نيل ما حصلت عليه أنظارها من إنجازات ؟ لإتيان إجابة يقتنع بها جميع الأطراف ليس سهلا ميسّرا بوجود العوامل التي تؤثّر بعضها في بعض.<br />في هذه المقالة نحاول أن نركّز الكلام على مشاكل تواجهها جامعتنا إمام بنجول الإسلاميّة الحكوميّة بشيء من التفاصيل راجين من صاحبي القرار أن يأخذوا هذه الأفكار في عين الاعتبار ويقوموا بما ينبغي قيامه من إصلاح النظام والتنظيم وغيره.<br />كما هو المعهود أنّ جامعتنا قد قطعتْ باللغة العربيّة مسافة طويلة منذ أن شعرتْ بحاجة ماسّة إلى تأهيل أبنائها لهذه اللغة فأرسلت بعض خبرائها إلى مدينة مالنج ، إحدى المناطق في جاوة الشرقيّة لإجراء الدراسة، ما إذا كان البرنامج يتمكّن من تطبيقه في إمام بنجول، علما بأنّ البرنامج هناك يوصف ناجحا في تحويل ألسنة طلاّبها من الرطانة إلى العربيّة التي لا تبلغ هذه الدرجة أيّ جامعة من الجامعات الموجودة في إندونيسيا حتى الآن، شرقا وغربا. من أجل نجاح هذا البرنامج هناك، اجتذبتْ جامعة إمام بنجول أن تحتذي حذوها واتّبعتْ كلّ خطواتها بدون أيّ انحراف أو تحريف. فحدث ما حدث بالبرنامج فأصبحتْ اللغة العربيّة لا تموت فيها ولا تحيا بل أسوأ من ذلك، تتحمّل اللجنة (تغير اسم اللجنة حاليا بمركز اللغات) والأساتذة الذين شاركوها انتقادات لاذعة من طرفي من قد استغرقوا في تشاؤم عميق ومن لا يحبّون اللغة العربيّة سائدا وسيّدا على جميع المواّد الدراسيّة.<br />في الحقيقة، كان برنامج تعليم اللغة العربيّة في مالنج يهتدي إلى مدرسة الجيش الأمريكيّ في تعليم اللغات الأجنبيّة في عهد الحرب العالميّة الثانيّة. حينئذٍ، اقتضتْ ظروف الجيش الأمريكيّ أن تقوم بعمليّة تعليم مكثّف لعدّة لغات في آنٍ واحد لعدد هائل من الأفراد وفي أقلّ وقت ممكن فيما يتراوح بين ستّة إلى تسعة أشهر. وهذا التعليم كان أكبر تجربة في التاريخ في مجال تعليم اللغات لغير الناطقين بها حيث بلغ عدد الدارسين خمسة عشر ألفا (15000) انتظموا في وقت واحد في 427 فصلا دراسيّا وعدد اللغات المطلوب تعلّمها سبع عشرة لغة (17)، والغاية الأولى من التعلّم هي تمكّن الدارس من التحدّث باللغة اليوميّة بطلاقة ونطق أقرب ما يكون إلى نطق المواطنين. كانوا يتعلّمون 15 ساعة في الأسبوع في أيدي الخبراء وأصحاب اللغة(حمادة إبراهيم، 1987،ص: 61). فنتيجة هذا المشروع كانتْ رائعة مدهشة بحيث جعلتْ الناس يتساءلون: لماذا لا تطبق هذه الطريقة في زمن السلم أيضا ؟<br />بالنظر إلى النجاح الذي حقّقه الجيش الأمريكي في تعليم اللغات الأجنبيّة، تريد الدول الأوروبيّة أن تجدّده على تعليم اللغة الإنجليزيّة على أعداد ضبّاطهم الذين كانوا يقومون بوظائفهم مع استعمال لغة أخرى ويلتحقون في النهاية بقوّات الحلفاء التي كانت تتحدّث باللغة الإنجليزيّة. فدخل برنامج تعلّم اللغات الأمريكيّ إلى أوروبا عن طريق حلف شمال الأطلنطيّ. وفي عام 1951 شهدتْ باريس ثورة هائلة في مجال التعليم للغة الإنجليزيّة (المرجع نفسه، ص : 74). رغم اقتداء مشروع باريس في طريقة أمريكا إلاّ أنّه فشل إلى حدّ ما.<br />ويرجع الفشل إلى أسباب تاليّة:<br />1- لم تكن مسألة تعليم اللغة الجديدة مسألة حياة أو موت بالنسبة للعسكريّين.<br />2- لم تكن غالبيّة الضبّاط يعيشون داخل معسكرات كما كانت الحال بالنسبة لأفراد الجيش الأمريكيّ.<br />3- والأخير، لم يحتفظ مشروع حلف شمال الأطلنطيّ بالكثافة التي كانتْ سمة المشروع الأمريكيّ ولا بالمادّة التي استغرقتها الدورة الأمريكيّة التي بلغتْ تسعة أشهر. (المرجع نفسه ، ص: 75).<br /><br />ج- المآخذ على برنامج العربيّة في جامعتنا<br />حدّد بعض العلماء أنّ التعلّم هو تغيّر سلوك فرد من حال إلى حال أخرى أحسن ممّا قبل نتيجة التعليم . وعرّفه الدكتور رشدي طعيمة أنّه عمليّة إعادة بناء الخبرة Restructuring التي يكتسب المتعلّم بوساطتها المعرفة والمهارات والاتّجاهات والقيم...إنّه بعبارة أخرى مجموع الأساليب التي يتمّ بواسطتها تنظيم عناصر البيئة المحيطة بالمتعلّم بكلّ ما تتّسع له كلمة البيئة من معانٍ من أجل إكسابه خبرات تربويّة معيّنة (رشدي طعيمة، 2000 : ص 27) . إنّ التعليم أو التعلّم الناجح لا يتمّ إلاّ بالمنهج الذي يسير عليه، وهو الذي يوجّه سيره. فمفهوم المنهج أوسع من مجرّد نقل الخبرات أو المعرفة من المعلّم إلى المتعلّم.<br />قبل أن بدأتْ الجامعة هذا البرنامج ينبغي لها أن تهتمّ أوّلا بالمنهج الذي هو محور النجاح كما حقّقتْه جامعة مالنج ثمّ يأتي النجاح ثانيا، ليس العكس. تعالوا أن ننظر المنهج بكلّ عناصره ثمّ نتساءل هل برنامج قد سار على منهج سليم أو لا، ثمّ نحاول على مقارنته بما سارتْ عليه جامعة مالنج.<br />إنّ المنهج بعبارة ساذجة هو خطّة تعليميّة تعمل على تزويد الدارسين بمجموعة من المعلومات والخبرات والمفاهيم وهو بكونه خطّة، له عناصره كالآتية: وهي الأهداف والمحتوى وعمليّة التعلّم والتعليم (الطريقة) والتقويم .<br />ارتبطتْ كلّ هذه العناصر بعضها بعضا حيث يؤثّر عنصر عنصرا آخر ويتأثّر به. فعلى الجامعة أن تشغّل البرنامج ابتداءً من العنصر الأوّل ثمّ الثاني ثمّ ما يلي. ففي هذه المقالة المتواضعة لا يمكن إطالة الكلام في هذه النقط الأربع بالدقيق، إنّما نركّز فيما هو أشدّ ضرورة لنا.<br /><br />د - الأهداف<br />إنّ الهدف هو إيصال ما يقصد إليه، وذلك بصياغة تصف التغيّر المطلوب لدى المتعلّم صياغة تبيّن ما الذي سيكون عليه المتعلّم حين يكون قد أتمّ خبرة التعلّم بنجاح. لا يعني هذا أنّ الأهداف تنبع من جهة صاحب القرار أو كبار الجامعة بدون الأخذ في عين الاعتبار جهات تشترك في تحقيق الأهداف مثل الدارسين. نحن نرى أنّ الجامعة ترجو من الدارسين تجاه اللغة العربيّة أكثر ممّا كانوا في حاجة إليه. تصرّ الجامعة على إخراجهم بعد تعلّم اللغة العربيّة لمدّة ثمانية أشهر (هذا باعتبار الفصل الدراسي يعمل فعّالا لا يزيد من أربعة أشهر ) قادرين على المهارات الأربع رغم أنّهم عمون في العربيّة قبل التحاقهم بالجامعة. بالإضافة إلى ذلك، كلّ يعرف أنّ مدخلات الجامعة inputs يعني الدارسين الذين التحقوا بها، أكثرهم هؤلآء الذين فشلوا، سواء كان الفشل في دخول الجامعات العامّة الحكوميّة أو الأهليّة. صحيح، أنّ الجامعة قد أجرتْ امتحان القبول للطلاب الجدد، إلاّ أنّه -على ما ظهر- لا يستهدف إلى تصفية من هم جديرون من الطلاب بمتابعة المحاضرات التي قد تكون تطلب منهم مراجعة المعلومات في مراجع مكتوبة بالعربيّة. شتّان ما بين الجيش الأمريكيّ وطلاّبنا الجدد حيث إنّ أفراد الجيش الأمريكيّ الذين اشتركوا في البرنامج اختير منهم أذكياء. لا نقصد في هذا الإطار أننا ندين المدخلات من الطلاب، إلا أننا نطلب من جميع الأطراف ألاّ يصرّوا على الطلب من مدرسي اللغة العربية أحسن النتيجة بأقلّ ما ينفق إلي سبيل ذلك من الجهد ورأس المال. <br />على صعيد آخر، قبل أن تنصب الأهداف، كانت الجامعة وضعتْ وراءها الجهات الثلاث أى حاجة المجتمع والطلاّب والإمكانيات المتاحة مع أنّ التربويّين أكّدوا أهمّية اشتقاق الأهداف من مصادر منها: المجتمع المحلّي أي من ناحية احتياجهم إلى العربيّة، وسيكولوجيّة الطلاّب من حيث دوافعهم، وحاجاتهم إلى العربيّة ومستوياتهم فيها (اقرأ: رشدي أحمد طعيمة و محمّد السيّد مناع، 2000 : ص 56 - 57) وكذلك الإمكانيّات المتاحة مثل الأساتذة الذين لهم كفاءة لغويّة تغطّي المهارات الأربع.<br /><br />هـ- المحتوى<br />بعد نصب الأهداف ولتحقيقها، تأتي مرحلة ثانية وهي مرحلة اختيار الخبرات التربوية. وهذه الخبرات تسمى محتوى وهو عادة يكون على شكل كتاب الدرس جاهزا. في البداية أنّ الجامعة كانتْ تهدف بالبرنامج إلى تمكين الطلاّب من استخدام اللغة كلاما أكثر من استخدامها فهما وكتابة ولذلك اختارتْ كتاب العربيّة للناشئين مادّة للدرس. كما بيّنّا سابقا أنّ أهداف البرنامج كانتْ تخالف ما هو في حاجة الطلاّب إليه. فأصبح الفصل عند سير الدرس ينقسم إلى فريقين: فريق يمثّل مصلحة الجامعة وكتاب الدرس، وفريق يمثّل حاجة الطلاّب والأساتذة. فريق في وادٍ، وفريق في آخر. إذا كانتْ الجامعة تلتزم ببرنامجها فيجب عليها إعداد الأساتذة من أبناء اللغة ليدربوا مهارة الكلام على المدرسين أولا ثم الطلاب ثانيا وكذلك توفير التسهيلات اللازمة كما قامتْ به مدرسة الجيش الأمريكيّ وتحديد عدد الدارسين في الفصل، بألاّ يزيد من عشرين طالبا مثلا. بالصراحة أنّ ما أصابنا من سوء تعليم العربيّة في إندونيسيا عموما، وخصوصا في جامعة إمام بنجول من أجل أمرين: أوّلا نقصان الكتب التي تحتوي على خبرات تناسب حوائجنا وبيئتنا حتى لا تكون الموادّ الدراسيّة غير واقعيّة. ففي الوقت الراهن حاول مركز تعليم اللغات أن يقسم الطلاب إلى ثلاثة مستويات من متقدمين ومتوسطين ومبتدئين ليسهل على المدرسين تعليم هؤلاء الطلاب الذين تختلف أهداف تعليمهم وخلفياتهم التعليمية. فأهداف التعليم للمتقدمين القدرة على استخدام اللغة للتواصل الدولي. إلا أن الكتاب الذي يعتمد عليه يحتوي على النصوص المقروءة أكثر مما يقدم من المهارات الأخرى مثل مهارة الكلام والكتابة. وأما مستوى المتوسطين فيهدف تعليمهم إلى القدرة على الكلام وفهم المقروء. والكتاب الذي يستعمل، يزدهر بالحوار ويخلو من ريح النصوص التي تتناسب مع الهدفين اللذين يراد تحقيقهما. لنكون على بصيرة نأخذكم إلى النظر إلى اقتباس من ذلك الكتاب:<br />"كان الإنسان قديما يسافر من بلد إلى بلد ماشيا على الأقدام أو راكبا على ظهور الحيوانات. وكانت الرحلة تأخذ وقتا طويلا ويجد الإنسان فيها تعبا كثيرا. أما في الوقت الحاضر فقد تقدمت وسائل السفرَ؛ فهناك وسائل برية كالسيارات والقطارات، ووسائل بحرية كالسفن، ووسائل جوية كالطائرات، وأصبحت الرحلة تأخذ وقتا قصيرا ويجد الإنسان فيها متعة وراحة". (ص: 84)<br /><br />لو رمقنا النظر إلى الكتاب كله، لوجدنا فيه نصوصا عامة لا تساعد الطلاب على فهم الكتب الدينية مع أن الهدف لهذا المستوى هو فهم المقروء من الكتب الدينية أو التراثية. وجدت النصوص القرائية قصيرة لا يبلغ طولها أكثر من نصف الصفحة ويتكون من أنشطة يومية. مضمون الكتاب مثل هذا إنما هو يصلح للتواصل الدولي لا لقصد فهم الدين بواسطة الكتب العربية. بالإضافة إلى ذلك لا نعرف أي قالب من القوالب أو قاعدة من القواعد يراد تعليمها، رغم أن في بداية الدرس يذكر قالب معين. ففي المثال الذي قد مر ذكره وجدنا الاهتمام بتعليم "الحال"، وهو موجود في النص فقط دون التدريبات. سوي أسئلة للاستيعاب وجدت تدريبات لكلمات مضادة وجمع التكسير ثم ينتهي الدرس. ومن الأسف الشديد يبرمج الكتاب أن يدرس للفصل الأول قبل القيام بامتحان نصف الدور فقط. وأما بعد الامتحان والفصل الثاني فالله أعلم بما سيكون منه. وأما آخر المستوى فيركز تعليمهم أن يزودهم مهارة الكلام فحسب. الكتاب الذي يلجأ إليه المدرسون لتحقيق هذا الهدف يوصف مقبولا إلى حدٍ ما، وهو العربية للناشئين تم إعداده للمبتدئين.<br />وثانيا الأساتذة الأكفاء الذين لهم ألسنة طلقة في تعبير ما يدور في صدورهم بعبارة صحيحة رائعة، شفاهة وكتابة. نجاح الكتاب يرتبط بكفاءة المدرسين. فمنهم من تدرب –بعدد قليل- وتعود على استخدام اللغة العربية شفاهة ومنهم من تعود على تعليم اللغة العربية صرفا ونحوا حتى لكأن اللغة العربية هي القاعدة النحوية والصرفية. ويرجع السبب بذلك عجز جميعهم عن خلق البيئة اللغوية المناسبة لتترعرع العربية وتصبح شابا قويا. استخدام اللغة المعينة في حياتنا اليومية يرتبط أساسا بسيكولوجي الذين يتكلمون بهذه اللغة. كلما استخدمها المدرسون بقدر كبير كلما زادت شعور الرضى بها وأصبحت عادة لغوية جديدة وأصبحوا مزدوجي اللغة. شعور الحياء من المدرسين وصعوبة تغيير العادة اللغوية أثناء معاملتهم تجعل اللغة العربية مستغربة في دولة غير إسلامية. وجدير بالذكر أن الطلاب يتكلمون العربية بطريقة سماعهم من حولهم ثم يحاكون. فموقف المدرس في هذه الحالة مهمة جدا لتعليم الطلاب بطريقة غير مباشرة.<br /><br /><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-40039393496034421682011-04-09T08:51:00.000-07:002011-04-09T08:54:43.808-07:00Menggagas Jaringan Kerjasama PerpustakaanOleh : Drs. Arwendria, M.Si (Dosen IIP & Diploma III PAD FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHX8m7X7zWQUGStuoJVVpJNsjfBZITdsuJeg39JffjWq9RZjAGHkDXFlHbOl1zoe7G7MCuL1kwhFJlbsXz56uSYChlkjTtsYi1AF3SkS28Gia7Hqvku3McvehzrMusIx1mtEjDhPnEGyDQ/s1600/Arwemdria.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 80px; height: 105px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHX8m7X7zWQUGStuoJVVpJNsjfBZITdsuJeg39JffjWq9RZjAGHkDXFlHbOl1zoe7G7MCuL1kwhFJlbsXz56uSYChlkjTtsYi1AF3SkS28Gia7Hqvku3McvehzrMusIx1mtEjDhPnEGyDQ/s200/Arwemdria.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5593612536431807202" border="0" /></a>Jaringan perpustakaan merupakan suatu sistem hubungan antar perpustakaan, yang diatur dan disusun menurut berbagai bentuk persetujuan, yang memungkinkan komunikasi dan pengiriman secara terus menerus informasi bibliografis maupun informasi-informasi lainnya, baik berupa bahan dokumentasi maupun ilmiah. Selain itu, jaringan perpustakaan juga menyangkut pertukaran keahlian, menurut jenis dan tingkat yang telah disepakati<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br />Pendahuluan<br /><br />Pendidikan adalah unsur penting dalam pembangunan. Sedemikian pentingnya, UNDP memasukkan unsur kualitas pendidikan dalam perhitungan Human Development Index. Menurut Human Development Report tahun 2005 yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2007, Indonesia menempati peringkat ke-107 pada kualitas sumber daya manusia. Nilai human development index Indonesia adalah 0,728 yang merupakan agregat dari indeks pendidikan (education index) sebesar 0,80, indeks harapan hidup (life expentancy index) sebesar 0,69 dan indeks produk domestik bruto (gross domestic product index) sebesar 0,58. Dengan nilai tersebut, maka Indonesia menempati kategori middle human development index.<br />Namun selama enam dekade sejak Indonesia merdeka, kualitas pendidikan Indonesia disinyalir hanya berjalan ditempat. Meskipun dalam konstitusi dasar terdapat kewajiban untuk menganggarkan sebesar 20 persen dana untuk pendidikan, namun realisasinya tidaklah demikian. Anggaran pendidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8-9 persen. Anggaran dalam APBN banyak digunakan untuk membayar utang.<br /><br />Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak meratanya tingkat pendidikan di Indonesia yang banyak disebabkan oleh perbedaan kualitas pendidikan di setiap daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua sekolah yang memiliki reputasi baik, memiliki perpustakaan yang baik pula. Akses terhadap sumber pengetahuan lebih banyak dimiliki oleh institusi pendidikan di daerah daerah tertentu, terutama di pulau Jawa. Tantangan adalah, bagaimana meratakan akses ilmu pengetahuan ke institusi lain yang memiliki keterbatasan akses. Sangat disadari bahwa perpustakaan merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Untuk mencapai hal itu, perpustakaan perlu menjalin kerjasama dan berbagai informasi antara satu dengan yang lainnya untuk memperluas jangkauan akses pengguna. Selain itu, kerjasama pertukaran data dapat mengurangi waktu dan biaya untuk mencari bahan pustaka di perpustakaan yang tersebar secara geografis. Kerjasama pertukaran data dapat merintis interlibrary loan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penetrasi dan kualitas ilmu pengetahuan dan budaya di masyarakat.<br /><br />Akan tetapi, menghubungkan perpustakaan di Indonesia, bahkan di Sumatera Barat bukan merupakan hal yang mudah. Setiap perpustakaan biasanya mengimplementasikan sendiri sistem informasi menurut kebutuhan masing-masing. Hal ini menjadikan setiap sistem perpustakaan yang ada berbeda-beda dan sulit untuk disatukan. Selain itu, kepemilikan data serta keamanan data yang dipertukarkan menjadi penghalang perpustakaan untuk menyediakan datanya agar bisa diakses oleh yang lain. Paling tidak ada empat hal yang menjadi penyebab sulitnya mewujudkan pertukaran data perpustakaan di Indonesia.<br /><br />1. Penggunaan platform perangkat keras dan perangkat lunak yang berbeda-beda di setiap perpustakaan.<br />2. Arsitektur dan bentuk penyimpanan data yang berbeda-beda<br />3. Kultur kepemilikan data yang kuat dan posessive<br />4. Kekhawatiran akan masalah keamanan data<br /><br />Selain itu, kondisi perpustakaan sekolah pada umumnya masih sangat memprihatinkan. Minimnya koleksi, kurangnya Sumber Daya Manusia yang handal, terbatasnya anggaran dan penentu kebijakan merupakan kendala untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan. Salah satu upaya untuk mengatasi kendala tersebut ialah dengan membangun kerjasama antar perpustakaan. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka untuk pengembangan layanan perpustakaan. Perpustakaan sebagai pusat informasi dan dokumentasi tidak hanya mampu mengadakan dan menyediakan informasi tetapi yang terpenting ialah bagaimana informasi yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pengguna.<br /><br />Pentingnya Jaringan Kerjasama antarPerpustakaan<br /><br />Jaringan perpustakaan (library networking) adalah kumpulan perpustakaan yang melayani sejumlah badan, instansi atau lembaga atau melayani berbagai instansi yang berada di bawah wilayah hukum tertentu (yurisdiksi) dan memberikan sejumlah jasa sesuai dengan rencana terpadu untuk mencapai tujuan bersama. Berarti jaringan perpustakaan merupakan suatu sistem hubungan antar perpustakaan, yang diatur dan disusun menurut berbagai bentuk persetujuan, yang memungkinkan komunikasi dan pengiriman secara terus menerus informasi bibliografis maupun informasi-informasi lainnya, baik berupa bahan dokumentasi maupun ilmiah. Selain itu, jaringan perpustakaan juga menyangkut pertukaran keahlian, menurut jenis dan tingkat yang telah disepakati. Jaringan ini biasanya berbentuk organisasi formal, terdiri atas dua perpustakaan atau lebih, dengan tujuan yang sama. Untuk mencapai tujuan tersebut, disyaratkan untuk menggunakan teknologi telekomunikasi dan komputer atau TI. Kerjasama perpustakaan dalam bentuk jaringan ini penting agar semua informasi yang tersedia dapat dimanfaatkan bersama secara maksimal bagi pemakai. Manfaat jaringan tersebut antara lain: menyediakan akses yang cepat dan mudah meskipun melalui jarak jauh; menyediakan akses pada informasi yang tak terbatas dari berbagai jenis sumber; menyediakan informasi yang lebih mutakhir yang dapat digunakan secara fleksibel bagi pemakai sesuai kebutuhannya; serta memudahkan format ulang dan kombinasi data dari berbagai sumber.<br /><br />Pengertian kerjasama perpustakaan sekolah artinya kerjasama yang melibatkan 2 perpustakaan sekolah atau lebih. Kerjasama ini diperlukan karena tidak satu pun perpustakaan sekolah dapat berdiri sendiri dalam arti koleksinya mampu memenuhi kebutuhan informasi pemakainya. Perpustakaan sebesar Library of Congress pun dengan butir koleksi sebesar 95 000 000 pun masih mengandalkan pada kerjasama antarperpustakaan untuk memenuhi informasi pemakainya. Dengan demikian bagi perpustakaan sekolah yang lebih kecil koleksinya, kerjasama antarperpustakaan sekolah merupakan syarat mutlak untuk memenuhi kebutuhan informasi pemakainya.<br /><br />Kerjasama perpustakaan sekolah dilakukan berdasarkan konsep bahwa kekuatan dan efektivitas kelompok perpustakaan sekolah akan lebih besar dibandingkan dengan kekuatan dan efektivitas perpustakaan sekolah masing-masing. Prinsip ini dikenal dengan sinergi artinya gabungan beberapa kekuatan akan lebih besar daripada kekuatan masing-masing. Misalnya ada 4 pustakawan (A,B,C dan D), masing-masing hanya kuat memanggul beras seberat 50 kilogram jadi jumlahnya 200 kg. Namun bila A, B, C dan D bersama-sama mengangkat beras, maka jumlah beras yang dipanggulnya lebih dari 200 kg katakanlah 220 kg. Demikian pula dengan konsep kerjasama perpustakaan sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut: K (P1 + P2 + ... + Pn> K P1 + KP2 + ... +K Pn dengan pengertian bahwa K adalah kekuatan dan efektivitas, P1 + P2 + ... + Pn adalah masing-masing kekuatan dan efektivitas masing- masing perpustakaan sekolah. Bila kekuatan dan efektivitas kelompok lebih besar daripada kekuatan dan efektivitas masing- masing perpustakaan sekolah maka kerjasama perlu dilakukan. Bilamana efektivitas dan kekuatan gabungan perpustakaan sekolah sama dengan kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan sekolah, maka kerjasama perpustakaan sekolah perlu ditanyakan. Situasi itu dirumuskan sebagai berikut: K (P1 + P2 + ... + Pn) = K P1 + KP2 + ... +K Pn. Dalam hal kekuatan dan efektivitas gabungan perpustakaan sekolah lebih kecil daripada kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan sekolah, maka kerjasama tidak perlu dilakukan. Situasi tersebut dirumuskan sebagai K (P1 + P2 + ... + Pn) < K P1 + KP2 + ... +K Pn 2. Jaringan adalah kerjasama antara perpustakaan dengan badan lain di luar perpustakaan untuk menyediakan data dan informasi bagi pemakai dengan tidak memandang asal data dan informasi tersebut. Jaringan ini dapat bersifat formal maupun informal. Jaringan informasi informal terdapat pada berbagai jaringan dokumentasi dan informasi di Indonesia, yang bekerja sama tanpa ada pernyataan tertulis di antara peserta. Gagasan Jaringan Kerjasama Perpustakaan Sekolah Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa jaringan perpustakaan diisyaratkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Tetapi, apakah mungkin membentuk jaringan kerjasama perpustakaan tanpa memerlukan perangkat tenologi informasi? Kenyataannya hanya beberapa perpustakaan sekolah saja yang baru memulai memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan perpustakaannya. Bahkan, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Sumatera Barat tahun 2004/2005 seperti terlihat pada tabel di bawah ini, dari 4.819 sekolah (SD, SMP, SMA, dan SMK) yang berada di Sumatera Barat, hanya 1.352 sekolah yang memiliki perpustakaan. Pertanyaan selanjutnya, sudah perlukah jaringan kerjasama tersebut? Jawabannya bisa sangat beragam. Tergantung dari sudut pandang dan kepentingan pada saat itu. Bila sepakat bahwa keberadaan perpustakaan sangat membantu peningkatan mutu pendidikan, maka jaringan kerjasama tersebut sangat diperlukan. Sebaliknya, bila mutu pendidikan dapat ditingkatkan tanpa perpustakaan, maka jaringan kerjasama tidak akan ada manfaatnya. Bila mutu pendidikan diukur dari keberhasilan siswa dalam Ujian Nasional (UN), maka mutu pendidikan di Sumatera Barat tertinggal dari provinsi lain. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas, peringkat lulus Ujian Nasional SMP/MTs, SMA/MA dan SMK Sumatera Barat belum juga mampu berada di peringkat sepuluh besar. Pada table 2 dapat kita lihat posisi Sumatera Barat untuk tingkat nasional dan pada Tabel 3 posisi Sumatera Barat untuk Wilayah Sumatera. Beberapa sekolah sudah mulai berinisiatif membentuk jaringan kerjasama. Pada tahun 2006, sebanyak 75 orang pekerja Informasi sekolah membentuk Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI) di Hotel Sahira, Bogor pada Sabtu. Pertemuan sehari pengelola perpustakaan sekolah, umumnya berasal dari perpustakaan sekolah swasta di Indonesia.<br /><br />Di Sumatera Barat, gagasan untuk melakukan kerjasama sejenis belum pernah terealisasi. Masalah utama adalah ketidakpahaman pengguna perpustakaan terhadap manfaat dari kerjasama tersebut. Selain itu, kurang berperan aktifnya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) untuk mendorong terbentuknya jaringan kerjasama antarperpustakaan sekolah. Jaringan kerjasama tidak selalu memerlukan teknologi informasi, seperti internet. Secara sederhana, masing-masing perpustakaan menghimpun koleksi unik yang mungkin tidak dimiliki oleh perpustakaan lainnya. Misalkan saja setiap perpustakaan dapat menghimpun setiap karya ilmiah yang ditulis oleh guru-guru sekolah tersebut ke dalam bentuk media digital (compact disc), maka koleksi tersebut dapat ditukarkan dengan koleksi perpustakaan lainnya. Tetapi dengan semakin banyaknya pengetahuan yang tersebar dalam file-file flat tersebut, ditambah lagi tersedianya berbagai macam format dokumen elektronik, masalah kembali muncul yaitu sulitnya pengorganisasian, membuat pertanyaan, membuat dokumen ebook, kecepatan pencarian ulang, dan mengatur pengetahuan dalam file-file flat yang berbeda format dalam jumlah banyak ke dalam satu wadah yang sederhana. Ide untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan dari sumber-sumber yang berbeda ke dalam satu wadah adalah aplikasi database manajemen pengetahuan dalam bentuk “relational database” yang dapat digunakan untuk belajar di rumah, di sekolah dan di perusahaan. Keuntungan menyimpan pengetahuan dalam suatu database adalah: • Hemat uang: Satu keping DVD mampu menyimpan kumpulan soal setara dengan 555 kg kertas sehingga menghemat kertas dan tinta untuk mencetak. • Hemat waktu: Guru-guru dapat menggunakan waktunya lebih produktif dengan meringkas mata pelajaran. Ringkasan mata pelajaran bisa digunakan ulang untuk tahun ajaran berikutnya sehingga tidak perlu membuat ulang dari awal kecuali melakukan revisi, yang bisa dilakukan dengan cepat dan mudah karena pengetahuan disimpan dalam satu tempat yaitu database. • Belajar Cepat: Mempelajari ilmu pengetahuan langsung dari pertanyaan-pertanyaan dan pembahasannya adalah salah satu teknik belajar cepat yang dapat diterapkan dan dapat meningkatkan keingintahuan peserta didik. Kembangkan keingintahuan dan dapatkan pengetahuan dengan cepat. • Perpustakaan: Kumpulan pengetahuan disimpan di laboratorium komputer sekolah yang bisa diakses oleh siswa untuk bahan belajar. Jika telah tersedia kumpulan pengetahuan dalam bentuk database, maka sekolah telah mempunyai perpustakaan elektronik yang jauh lebih menyenangkan bagi murid untuk belajar. • Kerjasama dan Kecepatan: Jika sekolah-sekolah dapat saling bertukar database, maka perpustakaan elektronik akan tumbuh besar dan lengkap dalam waktu yang cepat. Skenario yang pernah digagas oleh BOCSoft eQuestion adalah menghimpun pengetahuan yang menjadi kekuatan di masing-masing sekolah. Jika terdapat 100 sekolah yang masing-masing memiliki kumpulan database pengetahuan dan saling bertukar database, maka dalam tempo singkat mereka telah membangun perpustakaan elektronik yang besar. Fleksibilitas yang ada dalam “relational database” memungkinkan menggabungkan isi dari satu database dengan database lainnya. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada format elektronik seperti .txt, .pdf atau format dokumen lainnya, apalagi menggunakan kertas seperti pada buku. Untuk kepentingan yang jauh lebih besar, mudah-mudahan institusi pendidikan tidak hanya bisa berkompetisi tetapi juga bisa berkolaborasi untuk saling berbagi sehingga mereka yang mempunyai keunggulan SDM dalam bidang ilmu tertentu dapat menularkannya kepada SDM sekolah-sekolah yang lain. Bayangkan dampaknya bila kumpulan-kumpulan pengetahuan tersebut ditempatkan dalam suatu situs internet dan bisa diakses oleh masyarakat luas. Akan tersedia kumpulan pengetahuan yang besar, lebih menyenangkan untuk belajar dan lebih murah didapat. Ini akan membantu sekali untuk percepatan belajar dan mengajar. Simpulan Tujuan dari jaringan kerjasama antarperpustakaan sekolah adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Namun, usaha ke arah tersebut masih belum optimal dilakukan, baik oleh Perpustakaan Daerah yang bertindak sebagai pembina perpustakaan, Pemerintah Daerah, maupun oleh Ikatan Pustakawan Indonesia. Padahal sangat disadari bahwa hampir semua perpustakaan memiliki masalah yang sama, yaitu keterbatasan, koleksi, anggaran dan SDM. Menoptimalkan jaringan kerjasama merupakan salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Kalau ada niat, sesuatu yang dianggap tak mungkin, bisa saja terwujudkan. </span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-42849272199975175032011-04-09T08:44:00.000-07:002011-04-09T08:49:15.804-07:00Sejarah Panjang Seni Kaligrafi Islam : Sebuah Pengantar Sejarah Seni KaligrafiOleh : Siti Aisyah, M.Ag (Dosen SKI dan Kaligrafi FIBA)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqEr4C9bVrTZYVLwqpRLckLni-WUKXNa3-mQvIUYCN7Uh2qi62w5ZdcA2FiPoql7yJFR_3EXIWqBX-yOUaM6_ho8o5-D8oxJdIoSw6O5k7F3fhGeOv6RgxlCNeafBQGaminreeS2bPlJxv/s1600/aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 80px; height: 74px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqEr4C9bVrTZYVLwqpRLckLni-WUKXNa3-mQvIUYCN7Uh2qi62w5ZdcA2FiPoql7yJFR_3EXIWqBX-yOUaM6_ho8o5-D8oxJdIoSw6O5k7F3fhGeOv6RgxlCNeafBQGaminreeS2bPlJxv/s200/aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5593611345141058642" border="0" /></a>Salah satu sekian banyak sabda mengenai kaligrafi yang dipandang berasal dari Nabi Muhammad saw adalah "Tuhan menulis agar kebenaran tampak nyata" Oleh karena itu tidak mengejutkan, apabila para ahli kaligrafi diayomi dan dihargai demikian tinggi sepanjang sejarahnya, menjadi faktor paling penting sebagai penghubung sesama kaum Muslimin, dan mewujudkan diri dalam seluruh cabang seni Islam, sebagaimana ilustrasi-ilustrasi berikut. Al-Qur'an, yang merupakan firman Tuhan dan menyentuh setiap segi penghidupan orang Islam, selalu menjadi obyek pengabdian dan pusat perhatian bagi kegeniusan seni Islam.<br /></div><span class="fullpost"> <br /><br />Al-Qur'an selalu memainkan peranan utama dalam perkembangan tulisan Arab. Keperluan untuk merakam al-Qur'an memaksa memperbaharui tulisan mereka dan memperindahnya sehingga pantas menjadi wahyu Ilahi. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Baginda menerima wahyu dan menyiarkannya sampai wafat pada tahun 632 M, sesudah itu wahyu tidak turun lagi dan penyebarannya dari orang mukmin yang satu kepada yang lain secara lisan oleh para Huffaz (mereka yang hafal al-¬Qur'an dan dapat membaca dalam hati). Pada tahun 633, sejumlah huffaz ini terbunuh dalam peperangan yang timbul setelah wafatnya Nabi. Ini memberikan peringatan kepada kaum Muslimin, khususnya Umar bin Khatab. Umar mendesak Khalifah pertama Abu Bakar supaya mengerjakan penulisan al-Qur'an. Juru tulis Nabi, Zayd bin Thabit diperintahkan menyusun dan mengumpulkan wahyu ke dalam sebuah kitab, yang kemudian ditetapkan oleh Khalifah ketiga, Usman, pada tahun 651. Penyusunan yang disucikan ini kemudian disalin ke dalam empat atau lima edisi yang serupa dan dikirim ke wilayah-wilayah Islam yang penting untuk digunakan sebagai naskah kitab yang baku.<br /><br />Abad ke-13, di mana bersama Yaqut, adalah abad kehancuran dan pembangunan kembali di negeri Islam Timur. Penghancuran itu terjadi akibat serbuan Jengis Khan (1155-1227) dan pasukan Mongolnya, dan memuncak dengan ditaklukannya Bagdad oleh putranya Hulagu pada tahun 1258 dan kejatuhan terakhir kekhalifahan Abbasiyyah. Pembangunan kembali hampir secara langsung oleh pemantapan kekuasaan Mongol, dan putera Hulagu, Abaga (1265-82), adalah penguasa pertama yang memberikan gelas II- Khan (penguasa Suku) bagi dinasti bare tersebut. Adalah sangat menakjubkan bahwa Islam mampu, setelah dihancurkan sedemikian rupa, bangkit kembali dan meneruskan vitalitasnya yg tak pernah berkurang. Kurang dari setengah abad setelah kehancuran Bagdad, Islam memperoleh kemenangan atas penakluknya yang kafir, sebab, tidak hanya buyut Hulagu, Ghazan (1295-1305) memeluk Islam, melainkan dia juga yang menjadikan Islam sebagai agama resmi seluruh negeri yang diperintahnya. Ghazan menjadi seorang Muslim yang terpelajar, teguh dan membaktikan sebagian besar hidupnya demi kebesaran Islam dan kebangkitan kembali kebudayaannya. Dia memberikan dorongan yang amat besar terhadap seni Islam, termasuk kaligrafi dan penyalinan buku!<br /><br />Tradisi ini dilanjutkan oleh saudara dan penggantinya Uljaytu (1306-16), yang pemerintahannya berlimpah dengan kebesaran seni dan kemajuan sastra. Dia beruntung memiliki menteri dua tokoh yang berpikiran terang, Rashid al-Din dan Sa'd al-Din, yang mendorong dia melindungi kaum terpelajar, para seniman dan ahli kaligrafi. Di bawah kekuasaannya, seni kaligrafi dan penerangan Il-Khanid mencapai puncaknya, sebagaimana dapat dilihat dari salinan al-Quran yang sangat indah dalam tulisan Rayhani yang ditulis atas perintah Ulyaytu dan disalin serta diperterang pada tahun 1313 oleh Abd Allah ibn Muhammad al¬Hamadani. Pendekar kaligrafi yang lain pada masa awal dinasti 11-Khan, yang dibimbing oleh Yaqut, adalah Ahmad al-Suhrawardi, yang meninggalkan untuk kita salinan al-Qur'an dalam tulisan Muhaqqaq tahun 1304. Yaqut menarik perhatian sejumlah besar muridnya, tidak hanya karena berusaha menyainginya namun juga bangga mengatributkan karya mereka kepadanya; yang menolong mengabadikan kemasyurannya.Uljaytu diikuti oleh putranya, Abu Sa'id (1316-34), yang ketika memerintah, kemerosotan politik mulai berlangsung. Tetapi kehidupan budaya memuncak, termasuk seni kaligrafi, walaupun tidak berlangsung lama. Kemajuan ini khususnya karena sebagian besar murid Yaqut tumbuh pada mass mi. Di antara mereka yang menjadi pendekar kaligrafi yang mandiri, melengkapi pendekar yang baru kita sebut, adalah Mubarak Shah al-Qutb (w.1311), Sayyii Haydar (w. 1325), Mubarak Shah al-Suyufi (w.1334), Abd Allah al-Sayrafi (w.1338) yang meninggalkan untuk kita sebuah kaligrafi yang indah sekali ditandatangani dan berangka tahun 1323, lalu Abd Allah Arghun (w. 1341) dan Yahya I-Jamali I-Sufi.<br /><br />Untungnya al-Sufi meninggalkan kepada kita sebuah salinan al¬-Quran yang indah dalam tulisan emas Muhaqqaq dengan huruf hidup biru, berangka tahun 1345, sebagai monumen bagi keahliannya di bidang seni kaligrafi. Tokoh lain adalah Muhammad ibn Yusuf al-Abari, yang meninggalkan untuk kita salinan al-Qur'an dalam tulisan Thuluth yang mendekati tulisan Rayhani, yang cukup menarik perhatian. Dinasti Il¬Khanid bertahan sampai akhir abad ke-14, kemudian digantikan oleh dinasti Timurid, yang didirikan oleh Timur yang agung, dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Tamerlane (w. 1405). Meskipun dia dikenal dunia karena kejahatannya sebagai pembinasa besar, tetapi dalam hidupnya di kemudiari hari setelah memeluk Islam. Dia sering mengumpulkan para seniman terbaik, kaum terpelajar, pelukis dan para ahli kaligrafi di wilayah-¬wilayah yang ditaklukkannya, dan membawa mereka ke ibukota, Samarkand.<br /><br />Timur Leng memberikan perhatian istimewa terhadap senikaligrafi, dan secara langsung bertanggungjawab atas terciptanya gaya baru penulisan al-Qur'an yang sesudah wafatnya disebut menurut namanya, dan menggantikan gaya dinasti Il-Kahanid Mongol yang awal. Berbeda dengan gaya Il-Khanid, yang mencapai kemegahan dengan salinan al-Quran besar dalam tulisan monumental yang berpola megah dan geometris, gaya Timurid bertujuan menciptakan keseimbangan antara keindahan dan kemegahan dengan memadukan penulisan huruf yang jelas dalam kitab al-¬Qur'an besar dengan pola tumbuhan yang sungguh indah, mempesona, lembut pewarnaannya, terpadu dengan tulisan ornamental Kufi Timur yang begitu indah sehingga hampir tak ketara. Untuk pemakaian tulisan besar, tulisan Rayhanilah yang dipilih secara tetap, dan keindahannya ditonjolkan dengan penulisan huruf hidupnya yang menggunakan pena yang lebih bagus dari pena biasa. Tulisan naskhi dipakai untuk halaman yang kurang lebar, namun memberikan kejelasan dan kemurnian garis yang lebih besar yang kemudian mempengaruhi Ta-liq Persia dan Naskhi India. Walaupun praktek pemakaian bermacam gaya dan ukuran tulisan yang berbeda pada halaman yang sama mengulangi praktek yang berlaku di masa Ibn Muglah, mungkin gaya Timuridlah yang pertama kali memperluas pemakaiannya untuk penulisan al-Qur'an.<br /><br />Sifat dan ciri tulisan masa Timurid khususnya tercermin sekali dalam kitab2 al-Qur'an besar, di antaranya adalah salinan paling besar yang pernah dihasilkan. Sebuah anekdot menarik yang menceritakan kecintaan Timur Leng kepada al-Wan besar adalah kisah 'Umar Aqta', orang yang diperintahkan Timur Leng menulis kitab al-Qur'an. Umar akhirnya mempersembahkan salinan al-Qur'an kepada Timur Leng dalam tulisan Ghubar, salinan itu sekecil cincin stempel. Timur Leng menerima persembahan ini dengan sikap menghina oleh karena ukurannya yang kecil; sedang Umar meminta kembali al-Qur'an kecil itu tanpa rasa takut dan menyalin al-Qur'an lain dalam tulisan Tumar, tiap halaman hampir satu meter ukurannya dan oleh karena An dia mendapatkan hadiah besar. Tradisi kaligrafi murni ini dilanjutkan oleh pengganti Timur Leng. Putranya, Shah Rukh (1405-47), adalah seorang Muslim taat yang menghargai kaligrafi sedemikian tinggi dan dialah yang memerintahkan penyalinan banyak kitab al-Qur’an yang indah. Dia jugs memiliki seorang putra yang sangat ahli di bidang ini. Salah satu dari sejumlah al-Qur'an dari masa pemerintahannya yang ada sekarang adalah bush tangan ahli kaligrafi Timurid terkemuka Muhammad al Tughra'i, disalin tahun 1408 dalam tulisan Muhaqqaq emas. Putra Shah Rukh, Ibrahim Sultan, menjadi salah seorang ahli kaligrafi terkemuka pada masa itu, seperti terlihat dari al-¬Qur'an yang dia salin dalam tulisan Rayhani emas pada tahun 1431. Putra Shah Rukh yang lain, Baysunghur (w.1433) adalah tokoh budaya yang berbakat pada masa Timurid dan setaraf kedudukannya diantara para kolektor buku tingkat dunia. Sepanjang hidupnya dia mengayomi seni dan pengkajian ilmu, menghimpun banyak seniman, ahli kaligrafi, penjilid buku & pelukis yang mengembangkan gaya yang indah dari produksi buku madzab Timurid, menonjol karena salinan al-Qurannya yang indah dan berjilid jilid, salinan epik Persia yang mempesona, dengan lukisan miniatur dan hiasan lain yang bagus.<br /><br />Pencinta buku lain adalah Sultan Husayn (w.15o6), yang dari istananya di Herrat lahir salinan-salinan al-Qur'an dalam gaya Timurid yang sangat indah. Antara para ahli kaligrafi hebat zaman Timurid yang paling berbakat, sebagai tambahan bagi nama-nama yang dab disebutkan, adalah Abd Allah ibn Mir Ali, Ja'far al-Tabrizi, Muhammad Mu'min ibn 'Abd Allah, Abd Allah al-Tabbakh & muridnya, Abd al-Haqq al-Sabzawari. Kekhalifahan Memeluk, yang menegakkan dinastinya (1250-1517) terutama di Mesir dan Siria, memerintah untuk menyelamatkan wilayah Dar al¬-Islam mereka dari kehancuran yang melanda provinsi-provinsi Timur, sehingga kelanjutan kehidupan budaya terpelihara. Apresiasi mereka yang tinggi terhadap seni Islam secara umum membuat mereka jadi pelindung seni kaligrafi hiasan al-Qur’an yang sangat gairah, yang memuncak hingga mencapai tingkat yang paling tinggi, menyaingi pencapaian dinasti I1-Khanid di Timur. Malahan, sampai sekarang pun banyak salinan al¬-Qur’an peninggalan dinasti Mameluk dipandang sebagai puncak karya kaligrafi yang tak pernah tertandingi. Sultan besar dinasti Mameluk yang pertama adalah Rukh al-Din Baybars I (1260-77). yang tersohor baik dalam peperangan maupun dalam perdamaian, dan pelindung besar seni. Baybars diikuti oleh sederet panjang sultan Mameluk, yang paling besar adalah Qalawun (1279-90) dan putranya, al-Nasir, yang memerintah dalam tiga masa antara 1293 dan 1340, al-Ashraf (1363-76) dan Barquq (1387-98).<br /><br />Untungnya sejumlah salinan al-Qur'an zaman Mameluk yang terpandang sampai kepada kita. Ahli kaligrafi terbesar zaman Mameluk adalah Muhammad ibn al-Wahid, yang meninggalkan kepada kita salinan al-Qur’an yang unik dalam tulisan Thuluth, yang telah disinggung, disalin pada tahun 1304 untuk seorang pejabat tinggi Baybar, yang kemudian menjadi Sultan Baybar II (1308-09). Tiga ahli kaligrafi yang tumbuh pada masa panjang pemerintahan al-Nasir, dan meninggalkan kepada kita contoh karya sebagai bukti keahliannya yang hebat dalam kaligrafi, adalah Muhamad ibn Sulaiman al-Mubsini, Ahmad ibn Muhammad al-Ansari dan Ibrahim ibn Muhammad al-Khabbaz. Abd al-Rahman ibn al-Sayigh tersohor karena menyalin dalam tulisan Muhaqqaq kitab al-Qur'an yang dikenal paling besar dari zaman Mameluk, yang panjangnya lebih dari dua meter, dibuat hanya dengan menggunakan pena bambu dan ditulis dalam waktu singkat, enam puluh hari. Qur'an ini, dengan hiasan yang mengagungkan, dibuat pads tahun 1397 untuk Sultan Barquq, yang setelah dia kekuasaan dinasti Mameluk mulai merosot. Sekalipun demikian, ukuran kaligrafi yang sangat tinggi tetap dipertahankan selama hampir satu abad kemudian, seperti dapat dilihat dari sebuah Qur'an lebar yang disiapkan untuk al-Malik al-Ashraf pada tahun 1496 oleh Shahin al¬-Inbitani, yang menyalinnya dalam tulisan Naskhi besar.<br /><br />Masa dinasti Mameluk adalah masa kemajuan kebudayaan yang luar biasa, dan para ahli umumnya sepakat bahwa kaligrafi Arab mencapai puncak kesempurnaannya di Mesir dan Siria pada abad pertama pemerintahan dinasti Mameluk. Sementara pandangan ini benar bagi seni kaligrafi dan hiasan al-Qur'an zaman Mameluk, kemajuan itu juga tercermin dalam penggunaan bahan kaligrafi seperti logam, kaca, gading, kain, kayu dan batu. Penggunaan kaligrafi yang luas ini, yang menarik perhatian karena cakupan dan bobotnya, membangkitkan lahirnya gaya Thuluth dan Naskhi khusus, yang selalu dikaitkan dengan masa ini.<br /><br />Kemunduran dinasti Timurid, yang berlangsung sedemikian cepat menjelang abad ke-15, memberi peluang dinasti Safawi muncul di bawah pemimpin mereka yang energetik yang kemudian memperoleh gelar Shah Isma'il (1502-24). Dinasti Safawi yang bertahan sampai tahun 1736 adalah dinasti yang paling lama dan jaya yang memerintah Persia dan Iraq. Sekalipun selalu timbul pertentangan dengan musuh-musuhnya, namun dinasti Safawi berhasil antara kehidupan budaya Persia ke era baru, yang berpengaruh langsung kepada perkembangan seni Islam, tidak hanya dalam wilayah mereka, namun juga di wilayah kerajaan musuh mereka dinasti Usmaniyyah. Perkembangan kaligrafi yang benar-benar penting terjadi pada masa kekuasaan Shah Isma’il dan penggantinya, Shah Tahmasp (1524-76).<br /><br />Berjuta juts Muslim Cina yang memakai tulisan Arab, setidak-¬tidaknya untuk tujuan pengajian agama, biasanya mengambil gaya kaligrafi yang dewasa itu berkembang di Afghanistan, dengan sedikit perubahan. Dengan tambahan mereka lambat laun mengembangkan tulisan khusus yang disebut tulisan Sinii (Cina) dengan garis yang sangat indah dan bulatan besar, kebanyakan dipakai pads keramik. dan tembikar Cina. Gaya ornamental yang sebenarnya berasal dari tulisan Sini, dengan mempertahankan kebulatannya, namun mudah dibedakan dengan garis-¬garis vertikalnya yang sangat tebal dan hampir segi tiga dibandingkan dengan garis-garis horisontalnya yang tipis. Secara keseluruhan, ahli kaligrafi di India maupun Afghanistan secara langsung dipengaruhi oleh ahli kaligrafi Persia. Kaum Muslimin India mengambil tulisan Nasta'liq sebagai tulisan nasional dan memakainya untuk tulisan Urdu. Namun di Afghanistan dan bagian-bagian tertentu anak benua India, tulisan Naskhi yang sedikit mengalami perkembangan terus dipakai. Ciri utama yg bisa diistilahkan sebagai tulisan Naskhi India, terletak pada huruf2nya yang lebih berat, tebal dan lebih renggang jaraknya. Lengkungannya hampir sepenuhnya bulat, memberikan kepadanya kekukuhan yang tidak terdapat pada tulisan Naskhi yang lazim. Tulisan Thuluth berkembang sepanjang garis yang sama, dan karenanya is disebut sebagai Thuluth India. Perkembangan sepenuhnya dikukuhkan di bawah dinasti Mongol (1526¬1857) yang memerintah India dan Afghanistan.<br /><br />Kaligrafi khususnya dijunjung tinggi oleh Kaisar Mongol, Babur (w. 1530), Akbar (1556-1605) dan Jahangir (1605-28). Nama yang terakhir ini sangat mengagumi dan memperhatikan karya kaligrafi Imad al-Din al¬-Husayni, sehingga dia akan membayar tinggi kepada orang yang mempersembahkan contoh hasil tangan ahli kaligrafi besar Persia ini. Dinasti Usmaniyyah, yang memperoleh nama dari pendirinya, terhitung sejak abad ke-14 awal, namun kerajaannya tidak sepenuhnya mapan sampai mereka menaklukkan dinasti Mameluk pada tahun 1517, dan mewarisi wilayah mereka di Siria, Mesir dan Arabia. Segera setelah itu, mereka mampu menyatukan seluruh dunia Arab ke dalam kerajaannya. lni mengakhiri lembaran kejayaan kaligrafi Mameluk dan membuka sebuah kaligrafi baru dan mungkin yang terakhir dalam sejarah kaligrafi Islam. oleh karena itu dari masa ini sampai akhir, sejarah seni Islam terkait dengan dinasti Usmaniyyah Turki. Ini juga berlaku pada seni kaligrafi, yang oleh dinasti Usmaniyyah dipadukan dan digerakkan agar berkembang dengan kegairahan dan imaginasi yang luas biasa.<br /><br />Mereka menjadi tersohor karena kecintaannya terhadap kaligrafi, dan tanpa terpengaruh oleh pertikaian dengan musuh bebuyutan mereka di Persia mereka tetap mengagumi tradisi kaligrafi Persia dan memberlakukan tulisan Ta'liq ke dalam bahasa mereka. Hubungan yang rapat ini meluas ke bidang seni kaligrafi, tulisan buku dan penjlidan sehingga dengan peristiwa itu sangatlah sukar dikatakan dengan pasti apakah sebuah naskah dibuat di Persia atau di Turki. Dinasti Usmaniyyah tidak saja menerima, sebagian besar kaligrafi mutakhir Persia & ahli dam bidang itu, namun mereka juga mengembangkan beberapa gaya baru dan benar-benar asli. Mereka menghargai tinggi kaligrafi Arab, dan merasakan kesuciannya yang sangat mendalam. Ini tercermin dalam sejumlah besar naskah al-Qur'an yang berhias yang mereka hasilkan, dalam penggunaan tulisan ornamental yang melimpah di mesjid-mesjid, sekolah-sekolah dan gedung umum, dan dalam ribuan naskah kaligrafi karya keduniawian yang masih terdapat di Turki dan di tempat-tempat lain. Sumbangan terbesar bagi kaligrafi Islam adalah sumbangan dari Syaikh Hamdullah al-Amasi (w. 1520), yang dipandang sebagai pendekar kaligrafi terbesar sepanjang masa Dinasti Usmaniyyah. Dia mengajar kaligrafi kepada Sultan Usmaniyyah Bayazid II (1481-1520) yang sangat menghormatinya dan membayarnya mahal untuk setiap tinta yang mengalir, sementara Syaikh menulis kalimat¬-kalimatnya.<br /><br />Semoga kehadiran buku ini bisa memperkaya khazanah literatur mata kuliah non-bersyarat Praktikum Kaligrafi bagi mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, umumnya dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Adab pada khususnya. Buku ini juga berguna bagi literatur untuk beberapa mata kuliah wajib dalam GBPP Jurusan Seni Islam dan Kaligrafi Fakultas Ilmu Budaya Adab LAIN Imam Bonjol Padang yang Insya Allah akan dibuka pada Tahun Akademik 2011/2012 yang akan datang. Terima kasih penulis ucapkan pada LPPBI dan Sanggar Al-Aqlam yang bersedia menerbitkan buku ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="font-family:arial;">(Secara umum, artikel diatas, sebagian besar penulis transliterasi dari www.calligraphicworld.com)</span></span><br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3617070780537808929.post-11262909432804434332011-04-06T07:43:00.001-07:002011-04-06T07:45:27.345-07:00Islam Minang dalam Lingkaran Peradaban Dunia Melayu Dunia IslamOleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Sastra Arab FIBA/Ketua Puslit IAIN Padang)<br /><br /><div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5ANeZ1cWIoFgn0-CogJcVm39YyZxwxEOGFRhPwXipSgansl1VNnU5I17bVtjmiwdiU6JqqNtMuyZuyihJNHpvowfOmxaMb1Y6GpUv2HiIh675CaQVP0m54L20G_gpRNDVmeTbu_adw9yH/s1600/yu26.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 77px; height: 77px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5ANeZ1cWIoFgn0-CogJcVm39YyZxwxEOGFRhPwXipSgansl1VNnU5I17bVtjmiwdiU6JqqNtMuyZuyihJNHpvowfOmxaMb1Y6GpUv2HiIh675CaQVP0m54L20G_gpRNDVmeTbu_adw9yH/s200/yu26.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5592481705730112818" border="0" /></a>Melayu salah satu rumpun dalam kawasan peradaban Islam. Bagi melayu, Islam adalah identitas yang tidak boleh diutatatik. Di Malaysia Islam menjadi satu-satunya agama Negara. Di Indonesia satu di antara beberapa agama di Negara, termasuk diberlakukan di Minangkabau dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Namun Islam di Minang secara subtantif adalah agama satu-satunya bagi subkultur Minang. Minang adalah dunia melayu dunia Islam. Islam Minang punya identitas khusus. Islam menjadi sandi dari adat budaya Minang.<br /></div><span class="fullpost"><br /><br />Dunia Islam dari perspektif rumpun peradaban dunia dapat dikelompokan dalam 7 kawasan. Tujuh kawasan itu adalah (1) rumpun Arab, (2) rumpun Melayu , (3) rumpun Parsi, (4) rumpun Turki, (5) rumpun Asia Selatan, (6) rumpun Cina dan (7) rumpun Afrika Hitam. Minang di Provinsi Sumaera Barat salah satu daerah di Indonesia termasuk dalam lingkaran peradaban melayu. Islam Minang dalam lingkaran peradaban Melayu Islam.<br /><br />Wilayah/ kawasan rumpun melayu lainnya: Philippina Selatan, Thailand Selatan, Malaysia dan Singapura, Brunei Darussalam, serta sebagian penduduk Indonesia tidak hanya memiliki kesamaan budaya, bahkan postur tubuh. Heru Susetyo (2009) menyebut hal itu dimungkinkan karena seluruh bangsa di kawasan rumpun melayu itu berasal dari rumpun antropologi yang sama yaitu Austronesian/ Malayo Polynesian. Maka, tak heran memiliki kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa (etnolinguistik) yang hampir sama pula. Dalam bahasa Tagalog (Filipino) yang kini menjadi bahasa nasional Philippina misalnya, terdapat kurang lebih 5000 kata-kata yang hampir sama dengan bahasa Melayu (Indonesia) walau kadang artinya berbeda, seperti : /pintu, kanan, murah, mahal, gunting, anak, balai, aku (ako), kita, /dan hitungan angka (1 sampai 10 yang amat mirip dengan bahasa Indonesia). Apalagi bahasa melayu Malaysia dan Brunai dan Minang memiliki kesamaan bahasa yang cukup kaya, terutama dengan identitas Islam. Peran Minang dalam hal ini tidak bias diabaikan, karena berawal dari penyebaran Islam ke Indonesia bagian timur seperti di Makassar dan Ternate dan menyeberang ke Negara tetangga bangsa rumpun melayu. Kata Heru Penyebaran Islam di Mindanao tak lepas dari peran pendakwah Minangkabau masa silam. Salah Jubair (1999) menyebutkan sejarah keislaman Bangsamoro berakar sejak tahun 1310 M dengan ditemukannya nisan seorang pemimpin dan pendakwah Islam generasi awal di Mindanao. Karena penyiaran Islam itu bangsa-bangsa melayu yang dimasuki, memiliki kesamaan budaya yang kuat.<br /><br />Kesamaan bangsa muslim rumpun melayu ini semakin kental dan kentara ketika mereka sama-sama berada dalam berbagai event Islam, sulit membedakan mana yang Minang (Indonesia) dan mana yang Malaysia, Brunei, S’pore, Thailan, Philipinan sebelum mereka berbicara. Hal ini dimungkinkan karena melayu itu dipastikan semua warganya Islam dengan budaya spasifik Islam Melayu. Dunia melayu adalah juga dunia Islam. Demikian pula Minang dari perspektif pilosofi sub kultur kehidupan masyarakatnya “adat basandi syara’ / syara’ basyandi kitabullan (ABS/ SBK)” dipastikan seratus parsen penganut agama Islam. Artinya orang Minang ialah orang Islam, tetapi (tentu) tidak semua orang Islam orang Minang. Demikian pula dari perspective (sudut pandang) regional (kawasan/ wilayah), Minang berada dalam Sumatera Barat salah satu provinsi/ wilayah administrasi pemerintahan NKRI. Orang Minang dipastikan orang Sumatera Barat, tetapi tidak semua orang Sumatera Barat orang Minang.<br />Dalam lingkaran peradaban Melayu, suka atau tidak suka, dipastikan Minang ada di dalamnya. Fakta empiris menunjukkan masih banyak orang Minang marah kalau Minang tidak disebut orang Melayu, apalagi dikeluarkan dari lingkaran peradaban Melayu. Sungguh pun demikian secara tegas orang Minang tidak mau menempatkan posisi dan eksistensinya di bawah struktur rumpun Melayu, kalau maunya Melayu itu di bawah struktur Minang. Pragmatisme orang dalam suku Minang ada bagian budaya (laku) “taimpik nak di ateh/ takurung nak di lua” (terhimpit ingin di atas/ terkurung ingin di luar). Tetapi kalau akan mendapat “durian runtuh” (tanda ketibaan rezki, hibbah dari para pihak) boleh-boleh saja berada dalam lingkaran kapan perlu untuk sementara di bawah struktur peradaban melayu itu. Meraihnya keuntungan mengesankan sikap: “bia kapalo baluluk asa tanduak lain makan/ baluluk maambiak cikarau” (biar kepala terbenam lumpur asal tanduk makan/ berlumpur dalam mengambil cikarau). Fenomena budaya warga ini satu di antara budaya (prilaku) pragmatisme orang di dalam suku Minang. Sebenarnya itu sementara orang Minang, tidak keseluruhan orang Minang. Hal yang subtantif norm Minang mencegah sikap pragmatisme berlebihan itu, bahkan ada protek agar tidak menganut sikap pragmatis, misalnya dalam keinginan meraih sesuatu diamanatkan nilai Minang jangan dengan cara tidak baik begitu. Nilai ini dicerminkan dalam adagium: lilik kacang nak mamanjek/ lilik jariang nak baisi (kacang panjang melilit hendak memanjat junjungannya/ jengkol kulitnya melilik pertanda akan berisi).<br /><br />2<br /><br />Melayu Minang atau Minang Melayu apapun bentuk pembahasaannya (Yulizal Yunus, 2009) yang Minangkabau itu sebagai suku bangsa “berada dalam rumpun Melayu”, itu sudah menjadi mitos. Namun banyak identitas melayunya yang sudah tercecer, di antaranya (1) identitas aksara nyaris tak punya, disebut ada tetapi sama dengan tidak ada karenda validitasnya dan eksistensinya masih dalam polemic, (2) dulu aksra yang dipakai dalam tradisi tulis disebut “tulisan arab melayu”, dulu di pelajari sejak di SD sekarang sertamerta hilang, anak Minang sekarang dominant tidak bisa membaca tulisan arab melayu dan amat berbeda dengan Malaysia yang masih mempunyai Koran yang dicetak dengan “tulisan jawi” (arab melayu yang dipopulerkan di Minang), (3) dalam tradisi berbusana termasuk perlengkapan pesta adat lainnya terkesan orang Minang meniru-niru Melayu Malaysia, (5) masyarakat Minang ialah masyarakt Islam namun identitas ke-Islamannya tercabut dari akarnya terlihat roh Islam dalam praktek adapt (sistim) dan budaya (prilaku) tidak lagi menjadi subtantif dan esensial, karena dimungkin akidah mulai longgar, (6) dalam pengambilan kebijakksanaan orang Minang masih mengakui dengan “musyawarah mufakat”, tapi lebih mengagungkan kata “demokrasi” produk barat yang inheren dengan premanisme dibungkus konsep akademis dan tidak pernah ada dalam kosa kata subkulturnya, (7) jargonnya banyak tergiur dagangan politik terbius budaya pragmatisme dan mengabaikan proteksi agar tidak terperosot kearah pragmatisme berlebih, (8) orang Minang hampir-hampir tidak menjadikan melayu menjadi identitasnya, dimungkinkan ingin memperkuat ke-Minangkabau-annya, tetapi masih saja dalam mimpi panjang suku bangsa ini.<br /><br />Dari beberapa fenomena Minang dalam kontek DMDI, indentitas masyarakat Islam Melayu Minang sudah di ambang kematian. Sering mendapat tekanan politik budaya negeri tetangga tidak hendak menyebut/ apalagi mengukuh Minang sebagai orang Melayu, kalau boleh dipagar diperbatasan akan mereka pagar dengan baja kebudayaan.<br /><br />Perlu sebenarnya dipertegas, menurut Lucky Mulyadi (2008) istilah Melayu Islam dan Islam Minang. Secara sederhana Melayu Islam menunjukkan kelompok melayu Islam (yang menganut Islam). Di Sarawak misalnya istilah melayu (sejak awal pemerintahan Brooke) menjelaskan tentang kelompok Melayu Islam dan Melanau yang menganut agama Islam, bertutur dialek Melayu, dan mengamalkan adat istiadat Melayu. Di Sabah istilah ini merujuk pada kelompok orang Melayu Brunai, Bajau, Kedayan, Balangnini, Bisaya, Idaan, Illanun dan Sulu. Perlu juga dijelaskan, bahwa Syarikat dagang Inggris Kalimantan Utara atau BNBC tidak menggunakan istilah Melayu; BNBC menyebut nama setiap kelompok pribumi asli dengan nama etnis masing-masing. Di kedua wilayah ini, orang Melayu Islam merupakan kelompok minoritas. Di Sarawak pada tahun 1840-an orang Melayu Islam hanya berjumlah 32% dari keseluruhan jumlah penduduk Sarawak, sedangkan di Sabah pada tahun 1880-an , orang Melayu Islam hanya berjumlah 35% berbanding dari keseluruhan jumlah penduduk Sabah.<br /><br />Islam Minang dalam lingkaran peradaban Islam rumpun melayu berbeda dengan Sarawak tadi. Tidak ada istilah Minang Islam dan non Islam yang ada Islam Minang menunjukkan karakter ke-Islamannya. Orang Minang sudah barang tentu seluruhan kelompok suku Minang tak ada yang tidak menganut Islam dan berada di dalam wilayah luak nan tigo dan rantau. Islam Minang bagaimana? Secara sloganistik, orang Minang, tetap klaim orang Minang kuat Islamnya, filosofi hidupnya ABS/ SBK diimpelementasikan SM/ AM (syara’ mangato adat mamakai), Minang negeri gudang ulama, negeri melahirkan putra terbaik pemimpin bangsa. Dijagokan Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Iljas Ja’cub, Hamka, Natsir dsb. Yang harus dicermati kebesaran tokoh dan negarawan asal Minang itu, mereka tidak serta merta menjadi negarawan dengan ilmu modern yang dimilikinya, tetapi kebesarannya terutama seperti Agus Salim, Hatta, Iljas Ja’cub, Natsir, Hamka dll kebesarannya sebagai tokoh dunia tidak pernah melepaskan identitas ke-Islaman pada dirinya, artinya mereka negarawan sekaligus tokoh besar muslim.<br /><br />3<br /><br />Belajar dari sejarah, kebesaran melayu pada gilirannya karena identitas Islamnya. Di Malaysia kebesaran negaranya sebagai bangsa melayu, karena ada tiga hal penting yang tidak boleh diutak atik,(1) charisma raja, (2) Islam sebagai satu-satunya agama Negara dan (3) identitas melayu. Di Minang Islam memang juga tidak bisa diutak atik karena identitas Minang, namun tidak bisa mengedepankan Islam, karena Islam tidak agama Negara satu-satunya. Identitas melayu nyaris tidak pernah lagi terdengar di lidah orang Minang, meskipun secara eksplisit masih menjadi budaya (prilaku). Bahkan identitas melayu yang masih kental sampai awal abad ke-20 ulama menulis buku masih ada dengan memakai aksara arab melayu, dasawarsa ke-7 masih diajarkan aksara arab melayu mulai dari SD, bahasa Minang masih banyak menjadi bahasa tutur anak muda dan bahasa sastrawa menulis syair dan cerkan (cerpen dan novel) sekarang tidak lagi ditemukan. Padalah mengikuti Abdul Hadi WM (2009) sastra Islam di Indonesia pada awalnya muncul dalam bahasa Melayu pada abad ke-14 – 15 M bersamaan dengan semakin meluasnya penyebaran agama ini di kepulauan Melayu. Awal kemunculannya dalam bahasa Melayu dimungkinkan karena bahasa inilah yang pada awalnya digunakan sebagai media penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahkan pada gilirannya tahun 1928 bahasa melayu itu dijadikan bahasa Indonesia.<br /><br />Di Minang mulai dari arus bawah dan wilayah terkcil seperti nama nagari saja yang memakai bahasa Minang sudah diganti bahasa Indonesia, tidak dihormati lagi bahasa Minang, dan peng-Indonesiaannya pun tidak pas pula dimulai sejak orde baru. Sampai kepada politik dan pemerintahan, jangankan memerankan lebih besar tokoh adat, di lembaga adatnya saja tokoh adat sudah dimarjinalkan bahkan dicap mengganggu investor masuk dengan alasan tidak mau menjual tanah pusaka tinggi. Demikian di lembaga adat, coba lihat di mana peranan KAN (Kerapatan Adat Nagari) ditempatkan setelah pemerintahan (wali nagari dan Bamus/ Badan Musyawarah Nagari).<br /><br />Beda di Negara tetangga, menurut catatan Lucky Mulyadi (2008) peranan orang melayu Islam pada masa Kesultanan Brunai, kita dapat melihat proses kesinambungan dan perubahan peran mereka dalam pemerintahan Sarawak pada era keluarga Brooke dan pemerintahan Sabah pada era BNBC. Walaupun hanya sebagai kelompok minoritas di kedua wilayah tersebut, tetapi orang Melayu Islam menguasai hampir 75% jabatan dalam pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan BNBC di Sabah dan keluarga Brooke di Sarawak tetap menggunakan dan melibatkan Orang Melayu Islam dalam pemerintahan. Di Sarawak , James Brooke tetap mengekalkan sistem Datu-Datu Melayu Sarawak dan melibatkan mereka dalam pemerintahan pusat yang berkedudukan di Kuching. Faktor lain yang menyebabkan kerterlibatan mereka dalam pemerintahan yang baru adalah pengaruh agama Islam yang positif dan kedudukan geografis mereka, di mana hampir sebagian besar orang-orang Melayu Islam tinggal di muara-muara sungai, hal ini sangat menguntungkan posisi mereka, karena mereka dapat mengawal lalu lintas perdagangan , selain itu memudahkan mereka berhubungan dengan dunia luar. Di Minang, mana lagi ada sistem adat terlibat dalam pemerintahan, justru dimarjinalkan, jangankan memerankan tokoh adat di sektor pelabuhan seperti dulu pernah masa kerajaan seperti di Banda X tokoh adapt berperan sampai ke kapalo banda pengairan sawah. Bahkan sekarang sistim (adat) sudah dimarjinalkan, adat budaya Minang nyaris tidak pula dipasilitasi dengan anggaran, jangankan separoh olah raga, sepersepuluh saja tidak.<br /><br />4<br /><br />Dari fenomena tadi, sistim adat di Minang tidak berdaya. Roh Islam yang menjadi substansi Minang tidak hidup. Akidah (tauhid) dalam aplikasi adat budaya melayu orang Minang banyak menghadapi persoalan (Yulizal Yunus, 2009). Dalam praktek ibadat (ubudiyah) orang Minang tidak terbebas dari cara yang menggambarkan fenomena, panggilan ibadatnya sering dikalahkan kebiasaan orangnya dalam pelaksanaan adat yang dipakainya. Fenomena seperti ini disebut dalam ilmu sosiologi dengan praktek ibadat yang dominan diwarnai budaya (prilaku) dan kebiasaan (adat yang dipakai) orangnya. Faktanya, dalam alek “manjalang mintuo” misalnya, ketika mengantar mempelai (anak daro + marapulai), di jalan terdengar kumandang azan maghrib, prosesi manjalang mintuo sedang mengiringi mempelai, coba perhatikan, mana yang didahulukan, ibadat atau terus mengiringi mempelai dengan mengorbankan waktu shalat?. Sering terjadi, panggilan azan disahuti dengan doa, tetapi mengiringi mempelei terus berlanjut dan shalat maghrib jadi korban.<br /><br />Di kasus lain tradisi lama orang Minang dalam menyelenggarakan upacara adat bernuansa syara’. Ditunjukan dari praktek kehidupan dan didukung ajakan terus menerus. Nuansa sufistik hidup dalam kehidupan melayu. Tidak saja suara ulama di Mimbar dan Surau, juga dalam karya seni seperti syair/ puisi. Banyak ahli metafisik dan ulama Minang menyair. Kenang kembali Syeikh Daud Sunur (Braginsky, 1998:479). Juga Syiekh Bayang, Syeikh Khatib Ali, Syeikh Sulaiman Arrasuli dsb.<br /><br />Upacara adat yang bernuansa syarak hidup. Misalnya upacara pernikahan. Di berbagai nagari, pelaksanaannya di waktu pagi subuh. Mempelai lelaki dijemput dini (tengah malam), menjelang subuh terjadi adu kearifan berkata dialogis antara tim yang mamanggia (memanggil) mempelai dengan tim yang menanti tim yang mamanggia. Tim mamanggia menyampaikan maksud kedatangan hendak mamanggia (memanggil) mempelai pria membawanya ke rumah mempelai wanita untuk menikahi calon isterinya itu. Yang menanti pun demikian pula membincangkan dan memeriksa persyaratan boleh tidaknya mempelai pria dibawa ke rumah calon isterinya. Upacara adat mamanggia itu berakhir subuh. Sering dipertanyakan apakah sempat prosesi tim mamanggia dan tim penanti serta mempelai pria shalat subuh. Mempelai diarak dengan dendang disebut badampiang. Sering Shalat subuh lenyap di tengah jalan dalam arena damping. Ironis, upacara adat dan Islam ini (menikah), mempelai tidak sempat shalat subuh.<br /><br />Ada lagi tradisi baru misalnya yang menyangkut yang memimpin upacara pernikahan P3N atau KUA. Prilakunya sering melanggar pantangan agama dan adat yakni mempersandingkanmempelai wanita dengan mempelai pria sa’at menjelang/ dalam proses ijab qabul. Nilai adat Minang mengajarkan sesuai kato (sumber) syara’ (Islam): “tidak boleh lain jenis dipersandingkan sebelum menikah”. P3N dan KUA menyetujui bahkan meminta keduanya dipersandingkan. Dampaknya menjadi buah bibir, pembimbing pernikahan “gata” (gatal), belum menikah, anak orang sudah dipersandingkan, membuat pantangan ninik mamak dan ulama, fenomena ini disebut petatah adat: basuluah matohari/ bagalanggang mato urang banyak, artinya aib di Minagkabau, tak boleh ada persandingan di luar nikah dipertontotkan kepada ninik mamak. Padahal dulu, anak dara disembunyikan walinya di dalam kamar dan sebelum dinikahkan meminta persetujuannya, ada jawab sikap diam tanda suka, ada jawab dengan tangis tanda haru, ada jawaban dengan mengangguk rada-rada malu padahal mau, itu tanda setuju. Sekarang dalam minta persetujuan itu karena sudah dipersanding, di depan orang banyak itu wali minta persetujuan: “mau kamu ayah nikahkan dengan sianu?” dan mengatakan ya, bahkan ada yang mengatakan lebih janggal “lebih cepat lebih baik yah”, kalau di Minang namanya juga “gata”. Bahkan ada pula protokol/ MC dan disetujui pembimbing pernikahan P3N dan atau KUA, mempelai wanita meminta kepada ayahnya supaya dinikahkan dengan si anu, ini lebih gatal lagi dalam perspektif nilai adat Minang.<br />Dalam upacara perkawinan adat ada dimensi upacara yang subtansinya Islam. Upacara itu “ijab dan qabul”. Ada fenomena akad nikah ijab qabul itu tidak dibimbingluruskan oleh KUA/ P3N, bahkan ada yang dibiarkan dengan pembahasaan lafalnya bertentngan dengan Islam. Kalau dalam Islam yang berwali itu perempuan, dalam pembahasaan masih banyak terdengar yang berwali itu lelaki. Dalam praktek dahulu lafal ijab qabul itu sebgai terjemahan dari lafal Arab berbunyi: “nu… aku nikahkan akan engaku akan anak kandungku dengan maharnya …”. Pembahasaan seperti ini masih dipahami anak kandung perempuan yang berwali dinikahkah ayahnya dengan (akan engaku) mempelai pria. Sekarang seperti mau menterjemahkan lafal Minang itu dan ternyata salah dan menyalahi syari’at dan akidah. Bahasa yang terasa salah itu adalah: “aku nilakah engkau dengan anak kandungku …dengan maharnya…”. Kalimat dipahami lelaki mempelai calon minantu yang berwali, seharusnya anak gadisnya/ perempuannya yang berwali. Makanya kalimat yang benar secara Islam: “aku nikahkah anak kandungku … dengan engkau, dengan maharnya…”. Fenomena praktek adat perkawinan dimensi Islam pada orang-orang di Minang sekarang ini, jelas menyalahi syari’at.<br /><br />Fenomena ini bukan memperlihatkan “adat bertentangan Islam”, tetapi menunjukkan budaya (perilaku) orang di Minang yang berubah, dalam menyelenggarakan prosesi adatnya tanpa mempertimbangkan norm, cara, waktu beribadat, yakni prilakunya berubah dari perinsip strategis pelaksanaan ABS-SBK yakni SM-AM (Syarak Mangato Adat Mamakai). Ini satu di antara fenomena “adat bukan berubah, yang berubah budaya/ prilaku orang yang memakai adapt di Minang”. Kalau adat perubahan itu bertentangan dengan Islam, adat itu tidak lagi adat Minang, tetapi adat orang di Minang yang tidak lagi merujuk adat Minang yang basandi Islam (syara’).<br /><br />Banyak sebenarnya prakktek budaya (prilaku) orang Minang menyelenggarakan adatnya menyalahi perinsip adatnya yang menjadikan Islam sebagai sumbernya. Seperti (1) cara berpakaian perempuan muda lebih dominan muatan pengaruh global dibanding muatan perinsip adatnya bersumber Islam yang mengharuskan mereka menutup aurat seperti dengan “mudawarah” perempuan Minang dulu atau jilbab dalam perinsip Islam (tidak perinsip jilbab kultur model, jilbab politik ambil muka dsb); (2) cara lelaki Minang di rumah anak-isterinya sudah mementingkan kekuatan material dibandingkan kekuatan akomodasi nilai adat “sopan santun” kepada kerabat (dari kaumnya sendiri sampai keluarga bako dan anak pisang), yang dalam prakteknya ayah dan anaknya kurang menghargai mamak yang tak punya/ tak kaya meskipun kaya advis adat dan agamanya. Fenomena orang Minang, bahwa sumando tak tahu adat, membahayakan nilai adat bersumber Islam: anak saparentah jo bapak, kapanakan saparentah jo mamak (kapanakan barajo jo mamak). Norm itu seperti diabaikan, ayah telah mengambil alih semuanya dan meniadakan mamak, padahal di kampungnya seorang ayah juga mamak. Berarti lelaki Minang sendiri yang melecehkan perannya sebagai mamak. Banyak lagi fenomena akhlak mulia (dalam hubungan dengan Tuhannya dan hubungan manusia sesama) orang Minang yang berubah dalam memakai nilai dan filsafat adatnya (ABS-SBK), sedangkan nilai dan adat tak pernah berubah dan kawi (kuat), tak lakang dek paneh – tak lapuak dek hujan. Tegasnya nilai adat Minang sandinya Islam, tidak pernah beubah yang berubah orang Minang dan prilakunya sejalan perkembangan dan pengaruh global sekarang.<br /><br />5<br /><br />Simpul kecil dalam pembicaraan dalam diskusi panel ini, dapat dijelaskan: (1) tidak dapat dipungkiri suku bangsa melayu salah satu rumpun dalam kawasan peradaban Islam. Dunia melayu dunia Islam (DMDI); (2) Islam adalah agama satu-satunya suku melayu. Bagi melayu, Islam adalah identitas yang tidak boleh diutatatik; (3) Di Malaysia Islam menjadi satu-satunya agama Negara. Di Indonesia satu di antara beberapa agama di Negara, termasuk diberlakukan di Minangkabau dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Namun Islam di Minang secara subtantif adalah agama satu-satunya bagi subkultur Minang; (4) Islam Minang punya identitas khusus. Islam menjadi sandi dari adat budaya Minang. Karenanya Minang dunia melayu dunia Islam; (5) Secara kategoris (kasat mata) ada fenomena praktek budaya seolah bertentangan dengan Islam, sebenarnya secara subtantif tidak ada yang bertentangan, kalau ada adat bertentangan dengan Islam, adat itu tidak lagi menjadi adat budaya Minang. Sekarang yang sering diperdebat-alot-kan seberapa tinggi intensitas adat budaya Minang dalam prakteknya menjiwai Islam. Demikian pula karya budaya dalam berbagai sistim (social, ekonomi, politik, iptek, filsafat, seni dan sistim religi) diisi dengan roh Islam oleh masyarakatnya. Sebuah diskusi menarik.***<br /></span>PKBIhttp://www.blogger.com/profile/16906870030982781409noreply@blogger.com1