Oleh : Drs. Muhapri Musri, M.Ag
Kehadiran seni lukis sebagai media ekspresi estetik para seniman pada masa sekarang, telah menjadi sebuah kebutuhan yang sangat esensi dalam kehidupan, seiring dengan gegap gempitanya pengaruh modernitas dunia saat ini. Ruang lingkup perkembangannya pun sudah semakin luas dan kompleks, tidak dibatasi ruang dan waktu. Pada umumnya karya-karya lukis lahir dari ide-ide yang berbeda dari setiap senimannya mengikuti aliran-aliran, seperti ekspresionis, realis, romantis, naturalis, abstrak, surealis, dan lain-lain.
Umumnya karya-karya lukis tersebut lebih mengandalkan karakter dan bentuk-bentuk konvensional, individualistis dan realitas yang nampak semata yang hanya berakhir pada dunia kasat mata. Dalam arti yang lebih "ekstrim", nilai karya lukis itu hanya sebatas seni untuk seni tanpa menjangkau realitas yang tidak tampak (dimensi religious). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa karakter seni lukis ini lebih banyak dipelopori oleh seniman-seniman lukis Barat yang secara tidak terbendung telah menjalar ke seantero dunia termasuk di Indonesia.
Dalam dunia seni rupa, lukisan kaligrafi adalah salah satu contoh dari pertemuan dua sumber tradisi budaya yang berbeda, yakni tradisi Islam dan alam pikiran seni moderen (baca: Barat). Suatu pertemuan yang dihasilkan melalui perjuangan untuk menemukan identitas, baik dalam bentuk wawasan estetik maupun bentuk pengungkapan moderen yang masih mungkin.
Dengan mengambil ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW dan kata-kata hikmah para ulama sebagai tema senral karya lukis, kehadirannya sebagai media ekspresi seni yang berwawasan religius adalah sebagai cermin dari upaya untuk mengimbangi dominasi seni lukis moderen (baca: Barat) yang berkembang sangat cepat.
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah, apa motivasi pelukis yang 'nota bene' adalah pelukis umum yang bukan berlatar belakang kaligrafer mengambil tema kaligrafi ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW sebagai tema sentral lukisan mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat dari beberapa sisi strategis.
Di satu sisi, munculnya lukisan kaligrafi sebagai warna baru dalam seni rupa moderen bertitik tolak dari rangkaian gerakan yang ingin menggali sumber-sumber tradisi yang pernah berkembang di lingkungan budaya dimana sang seniman itu terlahir. Pada tataran yang lebih jauh, upaya ini diharapkan dapat memberi inspirasi dan memenuhi citra rasa seni moderen mereka. Di sisi lain keberadaanya merupakan hasil dari "ketegangan" dan "kegelisahan" jiwa seorang seniman untuk mencari bentuk-bentuk pengungkapan yang dapat memberi kepuasan batiniah yang tidak hanya terbatas pada lingkup dunia nyata semata akan tetapi juga berdimensi "transeden".
Jika diurut lebih jauh, "ketegangan" dan "kegelisahan", tersebut menurut Jabra Ibrahim Jabra, sebagaimana dikutip Abdul Hadi WM, dalam sebuah tulisannya yang berjudul: "Lukisan Kaligrafi dan Kedudukannya Dalam Seni Moderen", (1991), ternyata dipicu oleh ketegangan dan hubungan "cinta-benci" Timur (Islam) dan Barat. Sehingga berpengaruh dalam diri seniman Timur yang sebahagian berpendidikan Barat, atau paling tidak dalam berkarya sang seniman mendapat pengaruh Barat. Latar belakang pendidikan dan nilai-nilai yang mereka terima dari Barat lebih diarahkan kepada upaya untuk memperkaya wawasan dalam rangka membentuk jati diri seorang seniman Timur (muslim). Sehingga mereka memerlukan upaya lain untuk menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Untuk hal ini, khusus di Indonesia dapat dilihat kehadiran pelukis-pelukis kaligrafi seperti A.D. Pirous, Amri Yahya, Abay D. Subarna, dan lain-lain.
Kecenderungan ini juga terjadi pada beberapa pelukis kaligrafi di beberapa negara Islam lain seperti Naja al-Mahdawi (Tunisia), Ali Omar Ernes (Libya), Dhiya al-Azawi, Hasan Masoudi (Iraq), Mohammed Ehsani (Iran), Rashid Butt (Pakistan), Hamidah Wye, Maha Mohammad Abduh al-Maie (Arab Saudi), dan lain-lain. Uniknya pelukis-pelukis ini berasal dari kaligrafer-kaligrafer yang sangat paham dengan kaidah-kaidah baku kaligrafi Islam. Namun kenyataanya justru mereka lari dari tradisi yang sudah berkembang semenjak awal Islam tersebut.
Agaknya terlalu naïf jika dikatakan bahwa lukisan kaligrafi muncul hanya sebatas bias dari ketegangan dan kegelisahan hubungan antara Barat dan Timur yang diwakili oleh Islam. Lebih dari itu jika ditilik lebih dalam, dimensi-dimensi yang diemban jauh lebih luas cakupannya. Disamping sebagai upaya untuk menggali tradisi dan potensi budaya tanah leluhur yang kaya ide, eksistensinya juga bermuatan sosial dan religius.
Bermuatan sosial disini maksudnya adalah bahwa kehadiran lukisan kaligrafi juga bertujuan untuk memberi kepuasan seniman dan para apresianya. Ini sejalan dengan misi yang diemban seni lukis konvensional.
Sedangkan berdimensi religius (transedent) adalah karena lukisan kaligrafi merupakan manifestasi dari jiwa dan semangat tauhid pelukisnya terhadap Sang Khalik (Allah SWT). Spirit yang selalu jadi simbol adalah sebuah pesan Rasul SAW bahwa Allah SWT Maha Indah dan suka kepada yang indah. Pesan ini kemudian meresap kedalam jiwa menjadi inspirasi, selanjutnya terjelmakan menjadi sebuah karya lukis kaligrafi. Karena berpijak dari semangat tauhid, maka ekspresi yang muncul dalam bentuk lukisan, menimbulkan tatanan harmonis, penuh irama dan kegembiraan spiritual.
Umumnya karya lukisan kaligrafi yang dihasilkan oleh para seniman (muslim) lebih mengarah kepada corak lukisan abstrak, meskipun beberapa orang di antara mereka tetap meneruskan jalur surealisme. Kesukaan pelukis muslim kepada gaya abstrak dan surealime bukan semata-mata pengaruh dari seni lukis Barat, akan tetapi juga sebagai bentuk panggilan kesadaran terhadap estetika Islam yang lebih memberi tempat kepada gaya abstrak sebagai pilihan ideal ekpresi estetik, serta tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan sumber pemahaman estetika Islam yakni tauhid dan pengahrgaan Islam yang tinggi terhadap akal budi.
Pilihan utama para perupa muslim terhadap lukisan kaligrafi memang sangat beralasan karena selain ditentukan oleh akal budi yang dilandasi nilai-nilai Islam juga motivasi agama Islam sendiri yang sangat menghargai rasionalitas dan menganggap betapa pentingnya sikap intelek dalam mengungkapkan rahasia-rahasia keagungan dan kebesaran Tuhan. Itu berarti bahwa bagi seorang muslim, yakin akan keagungan dan kebesaran Tuhan adalah suatu bukti bahwa tidak ada yang jauh lebih penting untuk menunjukkan ketinggian martabat manusia di dunia ini selain sikap taqwa, rasionaliti dan kekayaan rohaninya. Lukisan kaligrafi dalam konteks ini dapat dianggap sebagai suara hati nurani yang diharap dapat menembus keterbatasan diri menuju Zat Yang Maha Tinggi, agar memperoleh berkah dan kedamaian.
Semangat itulah yang mendorong beberapa kalangan perupa muslim Indonesia menjadikan kaligrafi sebagaimedia ekspresi dan tema sentral lukisan mereka. Mereka menganggap bahwa kreativitas seni yang selama ini mereka geluti ternyata tidak memberikan suatu kepuasan spiritual karena hanya terbatas pada realitas yang dapat dicapai panca indera semata tanpa ada pemahaman lain dibalik materi yang tervisualisasi tersebut.
Dengan demikian kehadiran lukisan kaligrafi di antara seni lukis moderen di satu pihak merupakan bukti dari luapan semangat religiositas sehingga memilki hubungan dengan kehidupan nyata. Sedangkan di pihak lain sebuah bentuk ekspresi religius yang dipancarkan melalui corak, gaya, lambing, tekstur, warna dan bahasa.
Akhirnya dipahami bahwa kehadiran lukisan kaligrafi dalam perkembangan seni moderen telah memberi nilai tambah dan dapat mengarahkan kembali abstraksi kepada sumbernya yang hakiki serta pemberian makna terhadap abstraksi yang dihasilkan manusia, yakni makna spiritual religius, sehingga memiliki hubungan dengan kehidupan nyata. ٭٭٭ Wassalam.
-----------------------------------------------------------------------------------
۰ Penulis adalah kaligrafer dan Ketua Sanggar Kaligrafi AL-AQLAM
Fakultas Adab – IAIN Imam Bonjol Padang. Dikirim ke harian Singgalang, 26-02-'07
KALIGRAFI ISLAM KONTEMPORER
Fenomena Konsep Dan Realita
-------------------------------------------------------------------
Oleh: MUHAPRIL MUSRI, M. Ag
(Ketua Sanggar Kaligrafi Islam al-Aqlam Fakultas Adab - IAIN Imam Bonjol Padang)
Perdebatan tentang istilah 'kontemporer' dalam wacana seni rupa Islam, pernah mengemuka dikalangan perupa Indonesia beberaopa waktu lalu. Harian umum Republika, misalnya edisi Minggu, 11 Mei 1997, secara khusus, menurunkan berita seputar persoalan seni rupa Islam kontemporer. Ada kalangan yang setuju dengan istilah tersebut dan ada pula yang tidak.
Yang tidak setuju dengan konsep ini manilai bahwa seni Islam saja belum memiliki konsep yang tegas. Kontemporer dalam seni rupa adalah sebuah istilah yang belum final dan karenanya seni rupa Islam tidak dapat dilengketkan dengan kata kontemporer dibelakangnya. Menambahkan istilah kontemporer dalam dunia seni rupa berkonotasi bahwa seni rupa Islam tidak ada bedanya dengan seni rupa Barat. Jika fenomena ini dibiarkan begitu saja maka seni rupa Islam akan terseret dalam hiruk pikuk mainstream seni rupa Barat. Bagaimanapun juga seni rupa Islam berbeda dengan seni rupa Barat.
Konsekwensi dari pemakaian istilah kontemporer tersebut, maka seni rupa Islam akan sangat tergantung tenggang waktu. Sebuah karya yang sekarang dianggap sebagai karya kontemporer, maka dalam masa lima hingga duapuluh tahun ke depan akan sangat besar kemungkinannya tidak lagi dianggap sebagai karya kontemporer.
Di pihak lain keberadaan istilah kontemporer dalam wilayah seni rupa 'boleh-bole saja' dan tidak perlu dipermasalahkan dan dipolemikan secara tajam. Justru dengan munculnya istilah itu dunia seni rupa Indonesia diharapkan menyadari bahwa seni rupa Islam memang ada termasuk pasarnya. Di sisi lain, penggunaan kata kontemporer itu tidak ada salahnya asalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan nilai dan jiwa keislaman. Dalam tataran yang lebih khusus, jika nilai keislaman terpancar dari roh kontemporer dalam karya lukis seperti ini, maka itu dapat dianggap (meminjam istilah Didin Sirajuddin, AR) sebagai sebuah upaya ijtihadiyah.
Namun di sadari atau tidak, munculnya kontroversi tentang peristilahan ini, di satu sisi sebagai akibat dari belum adanya kritikus dan pengamat seni rupa Islam yang mampu menjelaskan karya, baik ditinjau dari sisi keilmuan maupun dari sisi keberadaanya sebagai komoditi ekonomi. Di sisi lain, para seniman hanya bisa berkarya. Terlepas dari setuju aatau tidaknya terhadap istilah kontemporer itu, yang jelas seni rupa Islam kontemporer sebagai sebuah fenomena baru, saat ini tetap tetap bergulir dan tidak dapat dibendung, mengikuti arus perkembangan budaya yang multi kompleks.
Munculnya Kaligrafi Islam Kontemporer
Sabagaimana dalam seni rupa Islam umumnya, pemakaian istilah kontemporer itu juga merembes ke kaligrafi Islam. Istilah kontemporer dalam kaligrafi Islam, sering digabungkan dengan pengertian kontemporer dalam seni rupa Islam. Lalu muncul sebuah pertanyaan bagaimana pengertian kontemporer dalam bidang kaligrafi Islam? Perkembangan kontemporer dalam bidang kaligrafi Islam ditandai dengan hadirnya karya-karya kaligrafi Islam yang terbebas dari "grammar" atau kaidah-kaidah baku kaligrafi Islam yang sebelumnya dipandang sebagai sesuatu yang sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media.
Terseretnya kaligrafi Islam ke dalam arus perubahan yang dramatis ini, menurut Didin Sirajuddin, AR, maestro kaligrafi Islam Indonesia, di satu sisi disebabkan oleh karena fleksibelitas alphabet Arab yang sangat toleran untuk dijadikan sebagai "ekspresi segala sesuatu". Sementara itu, sejarah kaligrafi Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah sejarah penemuan dan perburuan gaya-gaya. Dalam konteks itu, setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen dan modifikasi selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad, hingga terbentuknya pola yang benar-benar sempurna.
Kapan nuansa kontemporer masuk ke dalam kaligrafi Islam ? Jika dilacak lebih jauh,
SEKILAS TENTANG
SENI ISLAM DAN KALIGRAFI
(Tinjauan Kelembagaan)
1. Dasar Pemikiran
Budayawan Chaerul Umam, ketika membahas tentang “Konsep Estetika dan Pola Pengembangan Kesenian Islam”, pada seminar forum ilmiah festival Istiqlal II tahun 1995, mengatakan bahwa “pengembangan kesenian Islam dalam berbagai bentuk dan aspeknya terasa kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Berbeda dengan wacana pengembangan sosial-ekonomi, bantuan hukum, peran wanita, dan sebagainya yang selalu ramai diperbincangkan. Sebahagian kalangan masyarakat menilai seolah-olah kesenian Islam itu punya dunia dan bahasa tersendiri yang sulit dimasuki, dijangakau dan dipahami”.
Kenyataan itu memang harus diakui, bahwa publikasi hasil penelitian tentang kegiatan-kegiatan kesenian Islam secara utuh dan menyeluruh belum mendapat porsi yang memadai. Di satu sisi ada kesan, bahwa seni Islam itu masih kampungan (tradisional), sangat terbatas ruang gerak dan jumlah peminatnya. Masyarakat lebih suka menerima seni Barat yang sudah dikemas dengan apik dan penuh perhitungan dalam segi pemasarannya. Di sisi lain, ulasan-ulasan dan pemberitaan media massa tentang berbagai aktivitas seni Islam kurang mendapat porsi yang memadai pula kecuali hanya dalam bentuk ulasan-ulasan kecil dan tidak semua orang dapat mengaksesnya.
Beberapa rintisan ke arah itu memang telah dilakukan oleh kalangan terbatas seniman dan pakar seni Islam dan itu hanya bersifat individual. Namun usaha tersebut tampaknya belum berhasil menghimpun suatu gerakan massal yang serentak dan menyeluruh, yang memberi pengaruh luas sehingga mampu – setidaknya – menggeser perhatian orang dari bentuk-bentuk kesenian Barat.
Mandeg dan fakumnya kreativitas pengembangan seni Islam itu terjadi paling tidak disebabkan oleh dua faktor, pertama, umat Islam Indonesia belum pernah memiliki atau menginginkan “ruang khusus” yang refresentatif dan lengkap untuk berungkap seni dan bereksperimen – semacam Taman Ismail Marzuki Jakarta – sehingga perkembangan kesnian Islam selalu terhambat. Apalagi harus bersaing ketat dengan kesenian-kesenian lain yang lebih maju. Kedua, ada anggapan bahwa lembaga-lembaga umat Islam Indonesia belum mampu mengurus masalah pendidikan formal kesenian Islam sehingga sampai saat ini tak banyak melahirkan seniman-seniman muslim yang intelektual. Belum ada lembaga pendidikan tinggi Islam baik negeri ataupun swasta ayang membuka fakultas dan jurusan khusus yang menangani rupa-rupa bidang kesenian khususnya kesenian Islam. Ingin kita mendengar bahwa di Universitas Islam Indonesia, misalnya, telah dibuka jurusan sinematografi, atau di Universitas Ibn Khaldun telah dibuka Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Berdasarkan kepada faktor-faktor di atas, maka pengembangan kesenian Islam kini sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama melalui jalur pendidikan formal terutama di perguruan tinggi Islam. Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi, sebenarnya telah memberi ruang gerak yang sangat baik bagi pengembangan seni dan budaya di lembaga pendidikan formal. Fungsi perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam PP tersebut adalah sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi dan pengembangan seni budaya.
Fakultas Ilmu Budaya (Adab) IAIN Imam Bonjol Padang selaku fakultas dengan disiplin keilmuan budaya, merasa terpanggil dan perlu mengambil peluang ini dengan membuka satu jurusan yang akan mampu mempersiapkan kader SDM seniman muslim berkualitas dan mampu berperan dalam melestarikan dan mengembangkan bidang kesenian Islam ini.
Perkembangan akhir dari aktifitas berkesenian dalam masyarakat dan perkembangan seni itu sendiri, menuntut perlunya wadah pendidikan untuk pengembangan dan pelestarian seni Islam di dunia pendidikan tinggi seperti PTAI sebagai upaya kontrol nilai-nilai dalam berkesenian di kalangan seniman-seniman yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, agar orientasi berkesenian tetap mengacu pada lia’laai kalimatillah hiyal ulya.
N a m a : Drs. MUHAPRIL MUSRI, M. Ag
Tempat/Tgl. Lahir : Kambang – Pesisir Selatan/ 12 April 1969
A l a m a t : Wisma Indah VI, Blok R.II/7
Astek - Kalumbuk, Kuranji – Padang – Sumatera Barat
Telp. (0751) 499853 – HP 08126735169
e-mail : muhapril@yahoo.com
PENDIDIKAN :
1. Sekolah Dasar , Kambang,1982
2. Kulliyyat Mu’allimin el-Islamiyyah - Thawalib Padang/
Madrasah Tsanawiyah Negeri Padang, 1985
3. Madrasah Aliyah Negeri Padang, 1988
4. S.1 Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, 1993
5. S.2 IAIN Imam Bonjol Padang, 2001
PENGALAMAN KERJA
1. Pegawai (PNS) Kanwil Dep. Agama Prop. Sumatera Barat (1994-2007)
2. Dosen Luar Biasa Sekolah Tinggi Ilmu al-Quran Sumatera Barat (1996-1998
3. Staf Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang (2007 s.d sekarang)
PENGALAMAN KALIGRAFI
A. Pendidikan
1. Belajar kaligrafi di Madrasah Thawalib Padang (1982-1985)
2. Belajar Kaligrafi di Madrasah Aliyah Negeri Padang (1986-1988)
3. Guru-guru kaligrafi : Syahruddin Hazka, H. Darami Yunus, Drs. Irhash A. Shamad (Padang), Drs. HD. Sirojuddin AR (Jakarta)
B. Organisasi
1. Pendiri dan Ketua Sanggar Kaligrafi Islam al-Aqlam (1989 s.d. sekarang)
C. Perlombaan
1. Juara I Lomba Kaligrafi Pekan Budaya Sumbar di Batusangkar, 1986
2. Juara II Kaligrafi MTQ Sumbar ke-18 di Padang Panjang, 1987
3. Juara I Kaligrafi MTQ Sumbar ke-19 di Muaro Sijunjung, 1988
4. Juara I Kaligrafi MTQ Sumbar ke-20 di Lubuk Sikaping, 1989
5. Juara I Kaligrafi MTQ Sumbar ke-21 di Solok, 1990
6. Juara I Kaligrafi MTQ Sumbar ke-22 di Painan, 1991
7. Peringkat ke-6 Sayembara Kaligrafi Festival Isatiqlal I di Jakarta, 1991
8. Peringkat ke-4 Kaligrafi ASEAN di Brunei Darussalam, 1992
9. Juara III Desain Cover al-Qur’an Tk. Nasional di Jakarta, 1995
10. Peserta Lomba Kaligrafi Internasional di Istambul-Turki, 1997
11. Peserta Kaligrafi MTQ Nasional ke-17 di Pekanbaru-Riau, 1994
12. Peserta Kaligrafi MTQ Nasional ke-18 di Jambi, 1997
13. Peserta Kaligrafi Festival Walisongo Surabaya, 1998
14. Peserta lomba Kaligrafi Internasional di Istanbul – Turki tahun 2003
dan 2006.
15. Peringkat (saguhati) peraduan Menulis Khat Asean 2006.
D. Penjurian
1993 . Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumatera Barat ke 24 di Bukittinggi
1994 . Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumatera Barat ke 25 di Lb. Basung-Agam
1995 . 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumatera Barat ke 26 Sawahlunto
2. Juri lomba lukis Kaligrafi Dies Natalis IAIN Imam Bonjol Padang
3. Juri lomba kaligrafi antar SLTA se Sumatera Barat di Bukittinggi
1997 . 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumatera Barat ke 27 di Padang
2. Juri lomba mewarnai kaligrafi antar TK se Kota Padang
1999 . 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumbar ke 28 di Koto Baru – Solok
2000 . 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kec. Lb. Kilangan ke 29 di Indarung
2. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kota Padang ke 28 di Indarung - Padang
3. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ PTPN Wil. I Sumatera, 20-23 Feb 2000 di Pdg
2001 . 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumatera Barat ke 29 di Batusangkar
2. Juri Lomba Lukis Kaligrafi Dies Natalis Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol
3. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kab. Swl. Sijunjung ke 30 di Sitiung
4. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kota Padang ke 29 di Nanggalo – Padang
2002 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kab. Agam ke 30 di Kec. IV Koto
2003. - Juri Lomba Kaligrafi antar unit Dharma Wanita Persatuan Prov. Sumbar.
2004. -
2005. 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ ke 31 Prop. Sumbar di Padang Pariaman
2. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ ke 37 Kab. Pasaman di Kec. Rao
2006. 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ ke 36 Kab. Pasaman di Kec. Tigo Nagari
2. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kota Padang di Padang Barat
2007. 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Prop. Sumbar ke 32 di Payakumbuh
2. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ ke 37 Kab. Pasaman di Kec.
2008. 1. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kota Padang di Padang Utara
2. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kab. Pesisir Selatan
3. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ kab. Agam di Kec. IV Nagari
4. Juri lomba mewarnai kaligrafi antar TK Islam se –Sumatera Barat di Padang
5. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ Kab. Pasaman di Padang Gelugur
6. Dewan Hakim Kaligrafi MTQ ke 4 Kab. Pasaman Barat di Ujung Gading
E. Pameran Bersama
1992 1. Pameran Kaligrafi Festival Muharam – di Padang
2. Pamera Kaligrafi Lustrum IAIN Imam Bonjol Padang ke 25
1993 1. Pameran Lukisan Kaligrafi dan Batu Aji di Taman Budaya – Padang
2. Pamera kaligrafi Dies Natalis IAIN Imam Bonjol Padang
1994 Pameran bersama pelukis Minang di Pekanbaru.
1995 Pameran Lukisan Kaligrafi di Gedung Abdullah Kamil - Genta Budaya
1996 Pameran Kaligrafi Islam di Taman Budaya - Padang
2000 Pameran Kaligrafi MTQ PTP Nusantara se Sumatera di Padang
2003 1. Pameran lukisan Kaligrafi di Bank BRI Cab. Padang
2. Pameran lukisan Kaligrafi antar bangsa DMDI – Melaka – Malaysia
3. Pameran Lukisan Kaligrafi di University Putra Malaysia di Selangor
2005 Pameran lukisan Kaligrafi di Bank BRI Cab. Padang
2008 Pameran Kaligrafi Pekan Budaya Minangkabau di Padang
F. Narasumber Simposium/Seminar/Pelatihan/Penataran/Panitia
1988
Anggota Lembaga Kebudayaan Islam bidang Kaligrafi
Panitia Penerimaan pelatihan kaligrafi angkatan I
1989
Mendirikan Sanggar Kaligrafi al-Aqlam
Peresmian Pembukaan pelatihan Kaligrafi angkatan II
1990
Peresmian pembukaan pelatihan kaligrafi angkatan III
1991
Peresmian pembukaan pelatihan kaligrafi angkatan IV
1992
Peresmian pembukaan pelatihan kaligrafi angkatan V
1993
Peresmian pembukaan pelatihan kaligrafi angkatan I
1994
1995
1996
Selasa, 27 Januari 2009
Lukisan Kaligrafi : Semangat Religiositas Dalam Seni Rupa Moder
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar