Oleh : DR.H. Saifullah SA., MA
Tidak ada orang Malaysia yang tidak kenal Datuk Seri Utama DR. Rais Yatim, pribadi utama yang berturut-turut pernah menjadi anggota Dewan Rakyat, menjadi Setiausaha Parlimen Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan (KKBS 1974-1976). Timbalan Menteri undang-undang (1976-1977), Timbalan Menteri Dalam Negeri (1977-1978), Menteri Besar Negeri Sembilan (1978-1982), Menteri Kemajuan Tanah dan Kemajuan Wilayah (1982-1984), Menteri Penerangan (1984-1986), Menteri Luar (1986-1987), Menteri di JPM (1999-2002), Menteri Kesenian, Kebudayaan dan Warisan Kebangsaan (2002-sekarang). Dibawah lima orang PM : Tunku Abdul Rahman, Tun Abdul Razak, Tun Husein On, Tun Dr, Mahathir Mohammad dan Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Dari segi perkhidmatan Rais Yatim merupakan menteri paling kanan (senior), sekalipun ada masa ”jeda politik” selama 13 tahun.
Rais yang lahir di Kampung Gagu, Jelebu, pada tanggal 15 April 1942, masa kecil mendapat panggilan kesayangan ”Lomoi” oleh ibundanya Siandam, panggilan yang berbau Cina, mungkin karena wajahnya yang terlalu comel untuk seorang anak lelaki, waktu kecil mirip anak Cina. Ayahnya Muhammad Yatim, berasal dari Palupuh Kabupaten Agam. Di Palupuh ayahnya Yatim biasa dipanggil Jatin saja, sedang ibunya – biasa dipanggil bonda oleh Rais -- bernama Siandam, nama-nama khas Minang. Rais bersaudara empat orang : Abang Naam (lahir 1927 tinggal di Kampung Mengkan), Kak Suri (lahir 1932 dan yang meninggal pada tahun 1989 ketika berumur 60 tahun), dan Abang Atan (lahir 1936 tinggal di Kampung Gagu), serta Rais sendiri (lahir 1942).
Bonda Siandam dibawa oleh ibunya Ambun dari Kampung Sipisang, Palupuh (Minangkabau) ketika berumur belasan tahun dan pernah menetap sebentar di Sungai Serai, kemudian Kampung Katub, Lenggeng dan kemudian Jelebu. Bonda Siandam meninggal pada 30 Januari 1954, ketika Rais masih berusia 11 tahun dan sedang bersiap masuk sekolah Government English School (GES) Jelebu. Sedang ayah Rais : Mohammad Yatim alias Jatin bin Tahir gelar Pandeka Takue berasal dari kampung Lereang, Palupuh, meninggal 20 Mei 1986 dalam usia 82 tahun, ketika Rais sedang menjadi Menteri Penerangan. Ayah Rais (Jatin bin Tahir) datang merantau ke Gagu, bersama uninya Rafak, dan abangnya Arifin dan Said. Mereka berangkat ke Malaya melalui ”Kolang” (Klang) sekitar tahun 1920-an. Sepeninggal bonda Siandam, ayahnya kawin lagi dengan Sariaman binti Mangkudum, yang menyayangi Rais seperti anak sendiri, karena dia tidak punya anak.
Ayah Rais : Muhammad Yatim alias Jatin bin Tahir gelar Pandeka Takue, sebagaimana orang Minang pada umunya, bekerja sebagai pedagang, mulai pedagang kumango dari pakan ka pakan, sampai ke suplier bahan makanan, mulai buah-buahan sampai ke pedagang daging. Sedang bondanya Siandam bekerja sebagai petani sawah, dan suri rumah tangga yang penyayang pada anak-anak.
Tidak ada yang istimewa dari masa kecil Rais, kecuali dia benar-benar memerankan ”anak kampung sejati”, mulai dari berlarian main kelereng (guli) sampai kepada mandi bersama di sungai, mulai dari memikat burung di sawah sampai mengail ikan di ”toboh” (hulu sungai), bahkan menoreh getah atau berkelahi, adalah hal yang sangat biasa bagi kehidupan ceria masa remajanya. Rais juga biasa membantu bondanya manggaro padi di Sawah, atau mendengarkan kaba-kaba cerita-cerita klasik Minang.
Dari cerita nostalgia masa kecil Rais, ternyata bahwa Kampung Gagu memanglah kampung pedalaman yang penuh dengan takhayul dan cerita yang aneh-aneh, cerita sijundai merupakan cerita rakyat yang paling ditakuti sekaligus paling digemari di Kampung ini. Bagaimana seorang gadis yang cantik, terlanjur menghina orang lain, nanti berperangai seperti orang gila, bagaimana anak-anak yang mencuri rambutan, tidak bisa turun dari pohon rambutan, atau kesakitan sepanjang malam. Semua kisah-kisah tersebut merupakan panorama imajinasi yang ikut membentuk rasa budaya Rais dan merupakan gambaran masa kecil di Kampung Gagu.
Pendidikan informal Rais bermula dari belajar mengaji bersama Abang Sawer yang merupakan kakak ipar Rais (Suami Kak Suri). Yang selalu diingat Rais dari guru mengajinya itu, adalah bahwa Abang Sawer yang berasal dari Banuhampu Bukittinggi itu, agak pemarah dan berdisiplin dalam mengajar mengaji, dan pukulan rotan merupakan ”hadiah” yang paling ditakuti bagi yang tidak lancar mengulang kaji. Mungkin disiplin yang didapatnya dari guru mengajinya ini ikut membentuk kepribadian Rais hinggalah dewasa.
Kalau ketika kecil Rais mirip Cina, sehingga digelari ”Lomoi”, setelah remaja Rais merupakan seorang yang ”fotogenik” layak menjadi model atau peragawan, dan menjadi incaran dan idaman gadis-gadis. Bahkan ketika umurnya telah melewati 60 saat ini, ”kakek” Rais masih kelihatan muda. Harus diakui bahwa Rais sangat comel, handsome dan awet muda, jauh lebih muda dari bilangan umurnya.
Pendidikan formal dilewati Rais berturut-turut Sekolah Melayu Kampung Gagu (1949-1953), Sekolah Government English School (GES) Kuala Klawang (1954-1962), Maktab Perguruan Bahasa (Language Institut/LI) Lembah Pantai (1963-1965), Mengajar US Peace Corps di Nothern Illinois University Dekalb AS, dan kemudian Hawai (1965-1966), LLB (Hons) Universiti Singapura (1968-1973), M.Phil dan Ph.D. di King College Universiti London (1991-1994)
B. Rais anak kampung dan Anak Minang
Ke Jolobak ke Jolobu
Tuai padi tigo tangkai
Kok kono komat Jolobu
Kok tak mati badan meghasai
Pantun atau bidal diatas, merupakan Pembuka Kata buku otobiografi Jelebak-Jelebu Corat coret anak kampung, yang oleh Rais diberi ulasan yang cukup panjang latar belakang, sejarah muncul dan maksud serta makna pantun tersebut. Pantun diatas satu diantara banyak pantun yang terdapat dalam buku tersebut. Kalau boleh disimpulkan bahwa memang Rais adalah ”anak kampung” yang bukan saja sangat memahami tapi juga sangat bangga dengan adat resam Melayu. Sangat mengenal seluruh lekuk-liku jalan-jalan yang dilewati ke-dari Jelebu, sangat mencintai bukit, lurah dan hutan-hutan yang memayungi Kampung Gagu dan sangat memahami adat, kebiasaan dan budaya Negeri Sembilan. Lebih dari itu, Rais juga mampu mengaitkannya dengan adat istiadat negeri leluhurnya Minangkabau.
Pantun Jolobak Jolobu – dan pantun-pantun lainnya dalam buku itu -- menggunakan bahasa kampung atau bahasa Noghogi, yang sedikit berbeda dengan bahasa Malaysia populer. Dalam ulasannya Rais secara eksplisit menyatakan bahwa bahasa Noghogi merupakan bahasa Minangkabau yang telah mendapat penyesuaian dialek lokal (melayunisasi) dengan sedikit campuran dialek Pahang. Kalau ditelusuri lagi, maka bahasa Minangkabau disini yang dominan adalah bahasa Minangkabau Payakumbuh, sebagai migran awal yang mengembangkan dan menerapkan adat Datuk Perpatih di Negeri Sembilan.
Pantun Jolobak Jolobu merupakan pantun ”pemagar kampung”, karena berisi keharusan orang luar untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan adat resam Jelebu, kalau tidak alamat badan akan merasai. Pantun ini juga pantun ”muda mudi”, karena sekali meminum air Jelebu, alamat badan akan tersangkut dan tidak mungkin keluar dari Jelebu. Karenanya dari sudut manapun, diperlukan ”kehati-hatian” memasuki dan menghadapi Jelebu.
”Kami semua anak Minang totok, diasuh mengikut budaya Minang semenjak kecil lagi”, begitu pengakuan Rais dalam buku otobiografinya tersebut diatas. Bahasa sehari-hari dirumah keluarga Mohammad Yatim adalah bahasa ”Minang totok”, karena kedua-dua orang tua Rais adalah kelahiran Palupuh, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Sedang bahasa dilingkungan Kampung Gagu, Jelebu adalah bahasa Noghogi, bahasa Minang dengan sedikit penyesuaian.
Rasa bangga menjadi (keturunan atau bagian) anak Minang, terpancar dalam setiap pembicaraan dan tulisan-tulisannya, baik kosakata maupun pepatah-petitih atau pantun dan bidal Minang sering diselipkan dalam setiap narasi Rais, lebih-lebih setelah Rais menjadi Menteri Kesenian, Kebudayaan dan Warisan – suatu jabatan yang seakan sangat sesuai dengan watak, kepribadian, naluri etnik Rais – maka naluri keminangannya muncul mengalir tanpa dipaksakan.
Setelah pulang dari Hawai dan sebelum masuk ke Universiti Singapura, Rais menjadi guru di Sekolah Menengah Bandar Tinggi, pada waktu mengajar disini hati Rais tertambat pada muridnya yang cantik Masnah binti Muhammad yang oleh Rais diberi panggilan khas dan mesra ”Mas”, panggilan pendek lagi mesra ini berpanjangan sampai saat ini, kemanapun dan dimanapun Rais selalu memanggilkan dan memperkenalkan isterinya hanya dengan panggilan pendek itu. Hubungan yang bermula sejak hubungan guru-murid itu, berlanjut setelah Rais menamatkan pendidikan di Singapura, dan berkahwin pada Juni 1975, hanya tiga bulan setelah Rais dilantik sebagai Setiausaha Parlemen Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan.
Majlis kenduri kawin yang dilenggarakan di Sungai Choh, digambarkan Rais dengan sedikit kocak, bagaimana puak Minang bercakap dengan bahasa Minang dan puak Bengkulu-Pahang bercakap dengan logat Bengkulunya, dan bagaimana corak masakannya yang campur aduk, menambah indah suasana perhelatan itu.
Keluarga Mas yang merupakan anak pertama (Kak Long) dari lapan orang adik beradik berasal dari Bengkulu, kemudian menetap di Sungai Choh, Rawang. Sebelum naik ke pelaminan Mas sempat bekerja sebagai penyiar di TV Pendidikan.
Pasangan muda ini sangat ideal, memilki banyak persamaan : sama-sama perantau dari Sumatera, pencinta seni dan budaya dan secara fisik termasuk kategori langsing dan tidak terlalu tinggi, khas perawakan Melayu. Namun keduanya ibarat kata pepatah Minang, Ciek landak ciek landieng, samo baburu kaduonyo, ciek rancak ciek santiang, samo katuju kaduonyo.
Walaupun perbedaan umur antara Rais dan Mas cukup jauh, yakni sepuluh tahun, tapi Allah memberkahi perkawinan mereka berbentuk rumah tangga yang Sakinah, mawaddah dan rahmah dengan empat orang cahaya mata : Dino, Malini, Ronni dan Danni. Saat ini keluarga besar Rais telah bertambah dengan kawinnya Malini dengan Dr. Kubad (Raja Badrul) dan melahirkan seorang cucu dengan nama panggilan kesayangan Potet.
C. Migrasi perantau Minang ke Negeri Sembilan
Menurut sejarahnya, terdapat dua gelombang besar migrasi keturunan Minang ke Negeri Sembilan umumnya dan sekitar Rembau, Jelebu khususnya. Gelombang pertama bermula pada abad ke 15 dan mencapai puncaknya pada abad 18 ketika Raja Malewar dijemput ke Pagaruyung dan dinobatkan jadi Raja di Negeri Sembilan. Migran gelombang pertama ini telah menyatu secara total dengan masyarakat Melayu tempatan, dengan Penduduk Asli dan telah menjadi masyarakat Melayu Negeri Sembilan. Gelombang kedua terjadi pada abad ke 20 oleh para petani, pedagang dan tukang serta ulama/pendakwah Minang yang berpindah secara bergelombang, sproradis dan terus menerus pada awal zaman modern ini.
Perbedaan prinsipil antara migrasi gelombang pertama dan kedua adalah bahwa masyarakat migran gelombang pertama telah ”sangat tipis keminangannya”, dalam artian secara harfiah dan struktural. Sekalipun mereka tetap ”merasa Minang”, tapi tidak tahu dimana kira-kira letak asal usul mereka, telah sangat jauh jarak waktu dan jarak budaya yang memisahkan mereka dengan tanah leluhurnya, karenanya tidak pernah menjenguk kampung, dan suku-suku yang mereka gunakan adalah nama negeri asal mereka, karenanya kita kenal Suku Mungka, Simalanggang, Batuhampa, Tanah Datar dll. Nama-nama yang di Minangkabau merupakan nama Negeri dan bukan nama suku.
Migrasi gelombang kedua lebih kuat dan lebih ”asli rasa keminangannya” dan mereka menggunakan nama suku seperti yang digunakan hari ini di Minangkabau, yakni Suku Bodi Caniago, Koto Piliang, Jambak, Sikumbang dll. Mereka sangat mengenal kampung asalnya dan untuk itu itu mereka sering pulang kampung. Kedatangan keluarga Muhammad Yatim alias Jatin bin Taher Pandeka Tangkue dan keluarga ibundanya merupakan migrasi gelombang kedua.
Menurut- sumber-sumber di Minangkabau dan juga di Negeri Sembilan, dan terdapat dalam banyak tulisan Rais, migrasi gelombang pertama sebagai termuat dalam buku Sejarah Negeri Sembilan tidak terjadi secara serentak atau pada satu waktu, tapi secara sporadic dan bergelombang atau bertahap. Seluruhnya diperkirakan terjadi pada abad ke 15 dan 16, pada waktu perdagangan di Selat Melaka sangat menjanjikan dan memikat banyak pendatang pada zaman kejayaan Kerajaan Melaka.
Perantau awal dari Minang ini diperkirakan mendarat di Sungai Muar, kemudian mereka memudiki Sungai Muar sampai ke Kuala Pilah lalu berlanjut ke Sungai Pahang. Hingga sekarang terdapat satu tempat di Kuala Pilah yang dikenali dengan nama Hulu Muar, diperkirakan yang memberi nama ini adalah perantau Minang, yang sampai kesana dengan dengan berkayuh sampai ke hulunya. Perantau Minang lainnya mendarat di Sungai Klang, sehingga terkenal sebutan orang-orang Minang yang hendak merantau ke Semenanjung Melaka, dengan menyebut hendak ke Kolang. Sebahagian dari mereka terus ke Hulu Langat menyebar hingga ke Kajang, Semenyih, Beranang, Lenggeng dan Mantin. Sebahagian lainnya terus mudik memasuki Sungai Gombak dan Kuala Lumpur, Gombak, Setapak, Kuang hingga ke Hulu Selangor. Sekumpulan perantau lainnya sampai ke Hulu Selangor melalui muara Sungai Bernam dan Kuala Selangor. Mereka yang mudik melalui muara Sungai Perak sampai di Kuala Kangsar dan Matang, sampai saat ini terdapat keturunan Minang di Kuala Kangsar dan Matang.
Begitulah, akhirnya terdapat wilayah rantau perantau Minang, yang cukup luas di semenanjung Melaka, dengan konsentrasi di Negeri Sembilan. Sehingga di Negeri Sembilan ini, terdapat kantong-kantong perantau Minang, yakni di Rembau, Sungai Ujung, Jelebu dan Naning. Jelebu adalah daerah kelahiran Rais Yatim tokoh yang sedang kita bicarakan.
Mengikuti cerita rakyat yang beredar di sekitar Sri Menanti, adalah masa ketika seorang bangsawan Minangkabau bernama Dato’ Raja (di Minangkabau mungkin Datuk Rajo Batuah), kerabat Datuk Bandaharo, yang memerintah di Sungai Tarap, datang ke Rembau. Dia datang bersama isterinya To’ Sri beserta beberapa orang anak buahnya, berlayar dari Minangkabau melalui Batang Kampar menuju Siak. Dari Siak menyeberang Selat Merlaka langsung ke Johor dan sampai di Naning dan Rembau. Keturunan Datok Raja inilah yang bekerjasama dan dinobatkan menjadi dua diantara empat bangsawan Istana Sri Menanti, dengan gelar Dato’ Penghulu Dagang dan Dato’ Akhir Zaman, dua gelar yang masih diingati sampai sekarang.
Secara berturut-turut berdatangan gelombang perantau Minang ke daerah ini, diantaranya rombongan Sutan Sumanik dan Johan Kabasaran, keduanya masih saudara dari Datuk Makhudum Sati (Pimpinan Alam Minangkabau), kedua rombongan ini menetap di daerah bernama Tanjung Alam (sekarang populer dengan nama Gunung Pasir). Kemudian datang rombongan Datuk Putih (gelar yang dikenal di Payakumbuh), lalu menetap di Kuala Gamin. Adalah di daerah Kuala Gamin yang sangat indah ini kelak dibangun Istana Sri Menanti.
Sekitar tahun 1740-1760 keturunan Dato’-dato’ yang telah meneroka sawah ladang dan telah memiliki keturunan, bermusyawarat untuk mengangkat Penghulu diantara mereka, lalu bersepakatlah mereka mengangkat Penghulu Luak Muar, suatu lembaga yang masih bertahan dan berfungsi sampai sekarang.
Karena kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan Johor, a.l. karena ancaman Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam dari Aceh (1607-1636) dan huru hara dalam negeri, maka Negeri Sembilan terabaikan dan tidak mendapat perhatian semestinya, sampai kemudian mendapat kekacauan dibawah perompak bajak laut Daeng Kemboja dari Bugis. Dato’- dato’ Negeri Sembilan memohon kiranya Sultan Johor memberikan bantuan dan perhatian bagi keamanan Negeri Sembilan. Sayang Kerajaan Johor tengah mengalami nasib yang serupa, sehingga akhirnya Sultan Johor mempersilahkan Dato’- dato’ tersebut mencari bantuan dan bahkan mengundang raja dari tanah leluhur yakni Minangkabau.
Dato’-dato’ Negeri Sembilan mengutus dua panglima bernama Panglima Bandan dan Panglima Bandut menghadap Yang Dipertuan Pagaruyung, baik dalam kapasitas penguasa yang mungkin bisa memperkuat dan membela atau melanjutkan kekuasan Negeri Sembilan dan juga karena pertautan histories dan cultural antara Pagaruyung dengan mayoritas penduduk Negeri Sembilan. Yang dipertuan Raja Pagaruyung, mengutus Raja Khatib untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum raja Pagaruyung akhirnya mengirim Raja Mahmud, ke Negeri Sembilan, diiringi oleh 40 ahli-ahli persilatan dan ilmu lainnya. Pada tahun 1773, Raja Mahmud dinobatkan menjadi Raja Negeri Sembilan yang pertama, dengan gelar Raja Malewar ( Malewakan dalam bahasa Minang artinya mengumumkan kepada khalayak ramai), dengan restu dari Raja Johor. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Raja Malewar dibantu oleh empat bangsawan :
1. Dato’ Seri Amar Diraja (berasal dari penduduk asli)
2. Dato’ raja Dewangsa (berasal dari penduduk asli)
3. Dato’ Penghulu Dagang (berasal dari keturunan Minang)
4. Dato’ Akhir Zaman (berasal dari keturunan Minang)
Struktur dan pembagian kekuasaan Adat tersebut bertahan dan diwarisi oleh generasi ke generasi sampai dengan Negeri Sembilan modern.
D. Negeri Sembilan dulu dan Kini :
Kata-kata “Negeri” sebagai pangkal dari nama “Negeri Sembilan”, dapat dipastikan berasal dari kata “Nagari” (kampung dengan struktur pemerintah dan Hukum Adat yang otonom di Minangkabau). Walaupun akhirnya teritori Nagari di Minangkabau berbeda dengan Negeri (sebagaimana Negeri Sembilan di Malaysia), yakni Nagari di Minangkabau lebih kecil cakupannya ketimbang Negeri di Malaysia. Sedang kata-kata “Sembilan” jelas merupakan gabungan dari sembilan Luak yang ada di Negeri Sembilan, yakni : Segamat, Johol, Naning, Sungai Ujong, Jelebu, Rembau, Kelang, Ulu Pahang dan Jelai-inas. Sekalipun kemudian ada diantara beberapa Luak yang berpisah dari Negeri Sembilan, seperti misalnya tahun 1780-an Belanda mengambil alih Naning, Jelai-Inas dan Kelang, lalu kemudian tahun 1895 Segamat dimasukkan ke Kerajaan Johor dan Ulu Pahang dimasukkan ke Kerajaan Pahang, sehingga negeri asli yang tinggal hanya empat saja lagi, lalu untuk mencukupkan tetap menjadi “Sembilan”, maka digabungkan Ulu Muar, Tampin, Jempol, Terachi dan Gunung Pasir kedalam “Negeri Sembilan Baru” hal itu terjadi pada tahun 1895.
Sebelum menjadi Kerajaan Negeri yang berdiri sendiri, Negeri Sembilan sebelumnya menjadi wilayah Kerajaan Johor, dibawah pemerintahan Sultan Abdul Jalil (abad ke 17). Itulah sebabnya muncul adagium adat yang berbunyi :
Beraja ke Johor
Berpangkalan ke Melaka
Bertali ke Siak
Bertuan ke Minangkabau.
Di daerah ini terdapat beberapa Luak yang dikepalai oleh Penghulu Luak, dibantu oleh Datuk Lembaga dan Buapak. Salah satu Luak tersebut adalah Luak Johol di daerah mana kemudian didirikan Istana Sri Menanti. Istana Sri Menanti yang sekarang kita kenal terletak l.k. 40 km dari Bandar Seremban, dan 14 Km dari Kuala Pilah, merupakan bangunan tempat bersemayamnya Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan.
Pemerintahan Adat di Negeri Sembilan dipegang oleh empat Pembesar Negeri yang disebut Undang Yang Empat, yakni Empat Pimpinan pada empat Luak Utama (Besar) di Negeri Sembilan, yakni Sungai Ujong, Jelabu, Johol dan Rembau. Pada peringkat berikutnya dibantu oleh Lima orang Penghulu Luak, yakni Luak Hulu Muar, Jempol, Terachi, Gunung Pasir dan Inas. Secara teknis, memang Undang Yang Berempat memiliki kekuasaan lebih tinggi dan lebih diperhatikan oleh Yang Dipertuan maupun Inggeris, ketimbang Penghulu Luak yang berlima.
Sebelum kedatangan perantau dari Minangkabau, di Negeri Sembilan telah terdapat penduduk asli, dari Suku Sakai, Semang, dan Jakun. Bukti-bukti bahwa telah ada penduduk asli di Negeri Sembilan, yakni tetap hidup berkembangnya Penghulu-penghulu Luak, seperti Batin Bercanggai Besi, Batin Sibu Jaya, To’ Jenang Jelondong dll. Gelaran Batin dan Jenang itu hanya terdapat dalam system social Orang atau Penduduk asli. Namun kehadiran migran Minang ternyata lebih mewarnai begitu kuat kultur setempat, sehingga seakan-akan setiap orang berbicara Negeri Sembilan seakan-akan seluruhnya adalah keturunan etnik dan menggunakan budaya dan Adat Minangkabau.
Secara cultural sangat banyak warna dari budaya Minangkabau dipakai atau setidak-tidaknya dikenal di Negeri Sembilan, antara lain adat Perpatih, nama-nama Suku, dan tata cara berbagai ritual siklus kehidupan, seperti perkawinan (meminang, nikah, baralek dst), turun mandi, pepatah-petitih dan pantun-pantun adat, asesoris adat, pakaian adat dan pakaian temanten pria dan wanita dll.
Negeri Sembilan hari ini, telah menjadi satu dari 13 Kerajaan Negeri (Negara Bagian) dari Persekutuan Malaysia. Negeri Sembilan telah bergerak maju dan bersolek sehingga menjadi Daerah metropolitan, modern dan plural, dengan penduduk l.k. 650.000 jiwa, dengan ibukota Seremban.
Adalah sebuah realita yang harus diterima, bahwa kisah-kisah, kejayaan dan dominasi keturunan Minang di Negeri Sembilan, telah menjadi sejarah masa lampau dan tinggal “nostalgia” yang menjadi bahan kajian Sejarah dan Sosiologi. Negeri Sembilan dan Seremban hari ini, secara demografis telah menjadi wilayah yang plural/multi ras, etnik dan suku bangsa, dan agama.
Dalam struktur Pemerintahan Negeri Sembilan, terdapat dua Lembaga utama. Yang pertama : Yang Dipertuan Besar Raja Negeri Sembilan (yang merupakan Lembaga tradisional sebagai lambang dan representasi Kerajaan Negeri Sembilan). Secara bertutut-turut Yang Dipertuan Besar yang memerintah Negeri Sembilan telah berjumlah 11 orang :
(a). Raja Malewar (1773-1795),
(b). Raja Hitam (1795-1808),
(c). Raja Lenggang (1808-1824),
(d). Raja Radin (1824-1861),
(e). Yamtuan Imam (1891-1869),
(f). Tengku Ampuan Intan (1869-1872),
(g). Yamtuan Antah (1872-1888),
(h). Tuanku Muhammad (1888-1933),
(i). Tuanku Abdul Rahman (1933-1960),
(j). Tuanku Munawir (1960-1967),
(k). Tuanku Jaafar (1967-sekarang).
Sedang kekuasaan Pemerintahan secara langsung dijalankan oleh lembaga kedua yakni Menteri Besar, mereka yang pernah menjabat Menteri Besar Negeri Sembilan adalah :
(a). Datuk Abdul Malek bin Yusof
(b). Datuk Shamsuddin bin Nain,
(c). Datuk Dr. Mohd. Said bin Muhammad,
(d). Tan Sri Datuk A. Samad Idris.
(e). Datuk Mansor Othman
(f). Datuk Rais Yatim
(g). Datuk Isa Abd. Samad.
(h). (yang sekarang menjabat)
Kedua Lembaga Tinggi tersebut dibantu oleh Majelis Mesyuarat Kerajaan Negeri (EXCO) dan Dewan Undangan Negeri dengan 28 orang anggota. Untuk penasehat dalam bidang Agama dan Adat istiadat dibentuk Dewan Keadilan dan Undang. Sedang dari aspek Adat dan Agama kekuasaan dipegang oleh Undang Yang Berempat :
1. Datuk Undang Luak Sungai Ujung, bergelar Datuk Kelana Putera
2. Datuk Undang Luak Jerlebu bergelar Datuk Mendika Menteri Akhirulzaman
3. Datuk Undang Luak Johol bergelar Datuk Johan Pahlawan Lerla Perkasa Sitiawan.
4. Datuk Undang Luak Rembau bergelar Datuk Sedia Raja.
Selanjutnya terdapat seorang lagi pembesar negeri yang bergelar Tuanku Besar Tampin, ditambah dengan Lima orang Penghulu, Penghulu Hulu Muar, Jempol, Terachi, Gunung Pasir dan Inas.
Negeri Sembilan sebagai wilayah adaministratif terdiri atas 7 daerah (Kabupaten) yakni :
1. Daerah Seremban, ibukota Seremban
2. Daerah Kuala Pilah, ibukota Kuala Pilah
3. Daerah Port Dickson, ibukota Port Dickson
4. Daerah Tampin, ibukota Tampin
5. Daerah Rembau, ibukota Rembau
6. Daerah Jelebu, ibukotanya Kuala Klawang
7. Daerah Jempol, ibukotanya Bahau.
D. Rais Yatim sebagai Seniman, Politisi dan Pembangkang.
Secara umum orang/etnik Minangkabau oleh Mokhtar Naim disebut sebagai etnik yang sesuai atau lebih cocok untuk propesi atau bidang tertentu, yakni bidang politik (karenanya dia harus berwawasan luas, pandai melobbi, pandai berpidato dan bisa bergaul dengan segala orang, egalitarian, tahu di ereng kato gendeng, tahu di dahan nan kamanimpo), Ulama (karenanya harus pandai berdakwah, dekat dengan masjid dan mudah untuk bergaul), seniman/budayawan (karenanya harus pandai mengatur kata dan bicara, bisa menikmati hidup dalam suasana bagaimanapun). Kami menambahkan satu lagi prophesi orang Minang, yakni pembangkang. Dan ternyata pada diri Rais Yatim bertemu setidak-tidaknya tiga dari propesi yang cocok dengan etnik Minang, yakni Seniman/budayawan, politisi dan ”Pembangkang”.
Kalau kita baca tulisan, dan kita dengarkan pembicaraan/ucapannya dimana tempat kita semakin yakin kalau Rais ternyata seorang ”seniman yang politisi”, atau ”politisi yang seniman”. Bukunya Jelebak-Jelebu mulai dari awal sampai ke akhir penuh dengan seni tutur yang sangat indah. Mari kita simak bagaimana Rais menggambarkan eloknya Kampung Gagu tempat dia lahir dan dibesarkan : Judul Bab ini Gagu : Kampung Nan Jauh di Mata Dekat di Hati. Lalu dilanjutkan dengan sebait pantun
”Berkelok-kelok akar kajai
Berkelok masuk kedalam paku
Biar teruk badan marasai
Hati tetap di Kampung Gagu.
Dari puncak Bukit Baling-baling yang tinggi menjulang di sebelah kiri Kampung Gagu, seseorang itu akan beroleh pemandangan indah. Akan terlihatlembah bagaikan kuali yang dikelilingi bukit bukau menghijau. Kelihatan juga dangau dan rumah-rumah kampung. Rumah saya yang didirikan di lerengnya turut beroleh vista pemandangan yang mengharukan. Dari balkoni rumah kelihatan sawah padi, kebun getah, lereng bukit. Persekitaran alam semula jadi ini menyegarkan terutama apabila waktu pagi kicauan burung memenuhi keheningan desa. Pohon kelapa yang gaya, dusun menghijau dan rumah kampung yang jarak, semua ini adalah persekitaran yang amat saya gemari”.
Intro pengenalan Kampung Gagu diatas, menggambarkan siapa Rais sebenarnya, pribadi yang lembut, suka keindahan, penikmat seni dan menghargai alam ciptaan Tuhan. Hal tersebut bermula ketika Rais mengambil mata pelajaran Seni Lukis (art), sejarah dan Bahasa Inggeris sebagai mata pelajaran dalam ujian Higher School Certificate (HSC) di Sekolah Menengah Bandar Tinggi Jelebu enam tahun kemudian. Bahkan ketika belajar di Universiti Singapore (mulai 1968), sebagai penghuni asrama Dunan Road Hostels universiti, Rais sempat menghasilkan sebuah karya lukis yang sangat indah, dan sebagai hadiahnya lukisan tersebut dipajang di Dewan Besar Shears Hall Kent Ridge sampai hari ini.
Kecintaan pada Bahasa dan bakat menulis Rais semakin kuat dan tersalurkan ketika dia belajar di Maktab Perguruan Bahasa (Language Institut/LI) di Lembah Pantai, pada masa ini dia menghasilkan tidak kurang 30 karangan, yang disiarkan melalui jurnal Dewan Masharakat (1964), Mastika dan Dewan Bahasa. Bahkan sebelum tamat di Maktab Perguruan Bahasa (LI) Rais diundang menjadi Guru Bahasa Melayu bagi sukarelawan Amerika (US Peace Corps) di DeKalb Nothern Illinois University (NIU) mulai tahun 1965 sampai 1966. Menjadi guru di Amerika Serikat, waktu itu merupakan anugerah yang sangat luar biasa bagi seorang ”anak kampung” seperti Rais. Belajar, mengajar bahasa dan adat kebiasaan orang Malayu di Amerika Serikat, mempunyai berbagai dampak positif : Memperkuat kemampuan berbahasa, memperdalam kecintaan pada budaya sendiri (nasionalisme) dan memperluas wawasan. Seluruhnya berkaitan dengan Seni dan kemudiannya dengan politik, dua bidang yang digandrungi etknik Minang dan yang akan segera dimasuki Rais dewasa.
Dalam bidang budaya dan tradisi Minang. Misalnya dia memiliki pengetahuan mulai dari tata adat yang rumit sampai dengan hal yang enteng dan penuh humaniora, misalnya tentang bagaimana memasak rendang Minang tulen, sebagaimana diwarisinya dari ibunya : ”... rendang yang sedap bergantung kepada tiga perkara : pertama cukup kelapa dan ramuan, kedua mesti dikacau berterusan dan ketiga apinya jangan besar. Jika memasak rendang sekedar untuk keluarga, elok dibuat dalam belanga agar panasnya senantiasa terkawal berbanding dengan kuiali besi ”. Bahkan Rais memiliki pengetahuannya tentang ”Tabuah Larangan, Si Binuang” sebagaimana terdapat dalam cerita-cerita Cindue Mato, Malin Deman, Rambun Pamenan, Si Umbuik Mudo dan lain-lain.
Kecintaannya pada budaya Minang, juga muncul dalam bentuk bangunan rumah yang dibangunnya. Rumahnya yang terdapat di Ampang Jaya dan Kampung Gagu, keduanya menggunakan motif dan arsitektur Minang. Demikian juga berbagai bangunan yang dibina ketika menjadi Menteri Besar Negeri Sembilan, banyak dipengaruhi oleh arsitektur Minang. Bangunan pertama yang dibina berdasarkan gaya rumah bagonjong adalah Astaka Musabaqah Nasional pertama di Padang Stesen Seremban tahun 1981, selanjutnya Dewan Undangan Negeri (DUN) dan beberapa bangunan lainnya
Kiprah dan jatuh bangun Rais dalam bidang politik bermula sejak dia di bangku pendidikan. Dia mengenal UMNO sebenarnya sejak di Maktab Perguruan Bahasa (LI) Lembah Pantai (1957), dan berjinak-jinak dengan politik praktis sejak tahun 1962, terlibat langsung kedalam kancah politik melalui UMNO sejak tahun 1966.
Setelah mendapat graduan (LLB) dari Singapore Universiti, sambil menjadi peguam (Pengacara) di firma Yazid Baba & Co di Seremban, pada tahun 1974 menjadi ahli UMNO, dan langsung menjadi Penolong Setia Usaha Pergerakan Pemuda UMNO Negeri Sembilan. Keterlibatannya dalam bidang politik yang semakin hari semakin dalam, menyebabkan kelanjutan pendidikannya (LLM) di Singapore Universiti batal tak berlanjut.
Dalam pilihan raya tahun 1974, Rais bertanding memperebutkan anggota Parlemen mewakili Barisan Nasional kawasan Jelebu-Jempol, dan memenangkannya dengan mengalahkan Abdul Muluk Daud dan Zainal Bador. Bagi masyarakat Jelebu-Jempol, ini kali pertama putera tempatan mewakili kepentingan daerah ini. Tiga hari kemudian, ketika Rais masih merasa dalam mimpi karena kemenangan, datang mimpi berikutnya dia dilantik menjadi Setiausaha Parlemen Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan (KKBS/1974), maka dengan sekali dayung dua tiga pulau terlampau, menjadi aktifis politik (UMNO dan Parlemen) sekaligus masuk kedalam segmen eksekutif (Supar-KKBS). Bermula dari posisi ini, yang mengurus seluruh masalah Kebudayaan (termasuk Agama, kesenian, museum, adat istiadat Melayu), pemuda dan Olah Raga membawa Rais telah melawat ke seantero Malaysia, dan berkenalan dengan banyak tokoh dan kepentingan. Disini juga Rais bergaul akrab dengan Pak Lah (Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, yang waktu itu menjadi Ketua Pengarah pada KKBS, sekarang PM Malaysia).
Semenjak bertugas sebagai supar KKBS ini sudah kelihatan bahwa Rais kurang suka pada gaya kepemimpinan Anwar Ibrahim dengan ABIM-nya. Dan hal inilah kelak yang membawa Rais berbalah (berpisah) dengan Tun DR. Mahathir, ketika Mahathir membawa Anwar kedalam UMNO dan petadbiran negara dalam berbagai posisi (1982-1998).
Lebih kurang tiga minggu selepas Tun Razak digantikan Datuk Hussein On, Rais dilantik sebagai Timbalan Menteri Undang-undang (1976). Pada waktu itu Menteri Undang-undang sekaligus adalah Pejabat Peguam Negara, dijabat oleh Tan Sri Abdul Kadir. Dalam posisi sebagai Timbalan Menteri, Rais sudah mulai masuk ke sidang-sidang kabinet, dan mempelajari bagaimana gaya, cara, style masing-masing pejabat arus perdana. Kemudian tahun 1977, Rais dipindahkan sebagai Timbalan Menteri Dalam Negeri (KDN) dibawah Tan Sri Ghazali Syafei. Menteri KDN Ghazali Syafei ini diberi catatan oleh Rais sebagai figur yang garang tapi cerdik sehingga digelari ”King Ghaz”. Begitu pentingnya posisi KDN, untuk periode berikutnya, KDN selalu dipegang oleh Timbalan PM atau oleh PM sendiri.
Mei 1978, Rais diminta PM Dato’ Husein On untuk kembali ke Negeri Sembilan untuk menjadi Menteri Besar Negeri Sembilan (MBNS), walaupun Rais sebenarnya agak keberatan dengan tugas itu, yang menganggap MB sepatutnya dijabat orang yang lebih tua dan senior, tapi dia akhirnya mengikut arahan PM. Rais dilantik menjadi MBNS yang ketiga sesudah merdeka. ketika baru berusia 34 tahun tanggal 11 Juni 1978. Rais tercatat Menteri Besar yang paling muda diantara jajaran Menteri Besar dan Ketua Kerajaan Negeri waktu itu.
Berkhidmat di Negeri Sembilan, sekalipun adalah tanah kelahiran yang dicintai Rais, tapi penuh dengan birokrasi pentadbiran, birokarasi adat dan birokrasi politik yang saling kait berkait, yang tidak ditemui di Negeri lainnya. Di Negeri ini ada dua undang-undang yang sama berlaku : Undang-undang kerajaan dan undang-undang adat, ada dua penguasa yang harus diikut : penguasa kerajaaan dan penguasa adat yang terdiri dari beberapa tingkat pula.
Diantara banyak yang dirancang, yang berhasil diselesaikan pembangunannya pada masa Rais jadi MBNS adalah pembangunan Desa Permai, kompleks pelancongan Port Dickson, pembangunan ibu pejabat (Wisma) UMNO di Jalan Lemon, Kompleks Dewan Undangan Negeri (DUN) dan Kompleks Pentadbiran Kerajaan Negeri di Seremban, Dewan Besar dan Kompleks Daerah Jelebu di Kuala Klawang serta Kompleks Pejabat Daerah Kuala Pilah. Sedang proyek lainnya dilanjutkan oleh penggantinya Mohd. Isa Abdul Samad. Masa bakti Rais sebagai MBNS tidak lama yakni hanya empat tahun kurang dua bulan (Juni 1978-April 1982). Hal itu disebabkan adanya dorongan kuat agar Rais dapat kembali berkhidmat di KL (Pusat Kekuasaan).
Banyak peristiwa politik terjadi selama Rais menjadi MBNS, salah satunya adalah peristiwa pembunuhan politik atas Datuk Mohd. Taha Talib speaker Dewan Undangan Negeri Sembilan, mati ditembak di Kampung Asahan, Gemencheh, Tampin pada tanggal 14 April 1982. Selanjutnya rebutan atau pertikaian jabatan adat Undang Yang Empat, Tunku Besar Tampin, Dato’ Syahbandar Sungai Ujong.
Undang Sungai Ujong Datu’ Mubarak menghadapi krisis kesahihan pusaka yang belau sandang. Datu’ Syahbandar Sungai Ujong tidak pernah dilantik selama sembilan tahun karena pertikaian dan perebutan kuasa. Datu’ Musa bin Wahab Undang Luak Jelebu yang ke 15, juga digugat oleh keturunan lain yang merasa lebih berhak. Seluruhnya menghabiskan waktu dan pikiran Rais ketika berkhidmat di MBNS.
Pada 27 April 1982, Dr.Mahathir – yang terkenal dengan semboyan BCA (bersih, cekap dan Amanah) -- mengumumkan kabinetnya, Rais ditarik ke KL dan dilantik sebagai Menteri Kemajuan Tanah dan Kemajuan Wilayah (KKTKW) (1982-1984). Pada masa ini diperkenalkan program Felda, Felcra dan Rancangan Tanam Semula Risda, yang sempat dilihat oleh King Huseein dari Yordania, ketika beliau berkunjung ke Malaysia (April 1983).
Kemudian khidmat Rais berpindah lagi menjadi Menteri Penerangan bertempat di Angkasa Puri (1984-1986). Berubah lingkungan dari tapak-tapak perkebunan yang luas kepada klik lampu kamera, dari penakik getah kepada artis, bintang dan selebriti. Dari pecah tanah ke pemotongan bunga dan ucaptama. Disini hobbi lama Rais yakni fotografi kembali mendapat tempat yang subur, kamera yang dibelinya di Hawai kembali dibawa-bawa kemana pergi.
Selepas Pilihan Raya 1986, Rais diangkat sebagai Menteri Luar bertempat di Wisma Putera (1986-1987), menggantikan Tengku Roithauddeen (Tengku Din). Karena selalu mendampingi PM setiap perjalanan ke luar negara, maka Rais mendapat tahu bahwa PM sangat mengorbitkan Anwar Ibrahim, yang dalam bahasa Rais, ’... loncatannya tidak melalui pintu, tapi lewat tingkap ...”.
Merasa bahwa ada tradisi lama yang ditinggalkan, seperti urut kacang dalam promosi, ”loncat indah” yang dilakukan Anwar Ibrahim, adanya ”bilik kecil” dimana mereka tidak lagi dibawa serta, rasa tersisihkan, terpinggirkan atau ditinggalkan dalam berbagai masalah. Ditambah oleh adanya issu-issu : Hilangnya hak kemelayuan pada proyek-proyek mega seperti jembatan Pulau Pinang, Binaan Bangunan Dayabumi oleh Syarikat Zinecon-Kogyo Gumai dll, menyebabkan beberapa tokoh UMNO mulai menyusun upaya mengingatkan Mahathir, dan ketika upaya itu tidak ditanggapi atau ditanggapi secara dingin, mulai ada friksi didalam Pimpinan Tertinggi UMNO dan Kabinet. Friksi itu semakin meruncing dan muncul dalam bentuk munculnya ”Team A dan Team B” dan akhirnya memuncak menjadi perpecahan UMNO menjadi UMNO dan Semangat 46.
Tanggal 24 April 1987, Pemilihan Majlis Tertinggi UMNO, untuk pertama kalinya Presiden UMNO ditantang Tengku Razaleigh Hamzah salah seorang Naib Presiden. Tengku Razaleigh disokong oleh sebarisan orang kuat UMNO, yakni Datuk Musa Hitam, Datuk Abdullah Ahmad Badawi, Rais Yatim, Datuk Shahrir Abdul Samad dan sebilangan lain pemimpinan lapisan kedua, seperti Datuk Zainal Abidin Zin, Datuk Paduka Rahman Osman, Marina Yusof, Tengku Azlan bin Sultan Abu Bakar, Abdul Manan Osman (bekas Menteri Pertanian), Datuk Harun Idris, Fahmi Ibrahim, Datuk Haji Sdamad Said, Datuk Zakaria Abdul Rahman (bekas Timbalan Menteri Tenaga manusia), yang disebut ”Team B”. Berhadapan dengan Dr. Mahathir, Anwar Ibrahim, Najib Tun Razak dan beberapa pimpinan UMNO lainnya yang disebut ”Team A”.
Sesuai dengan tradisi Melayu dan konvensi di UMNO, adalah tidak patut dan tidak elok seorang Naib Presiden menantang Presidennya sendiri. Tapi karena beberapa issue dan berbagai faktor tersebut, maka ”perbalahan” telah menjadi suatu kenyataan pada Majlis Agung UMNO saat itu. Ternyata bahwa Team B dan Tengku Razaleigh (Ku Li) – apapun kondisi yang dipermasalahkan waktu itu, seperti lampu padam, kunci tabung undi yang hilang, waktu yang ditunda-tunda sampai sore hari – mengalami kalah tipis hanya 43 suara. Bak kata bidal Minang, kalah sakapalo, dimana rasanya bagi yang mengalami kekalahan akan lebih sakit, dibanding kalah majoriti.
Watak Rais yang lemah lembut, tidak mau berbalah dengan atasannya, kelihatannya sampai pada puncaknya. Pada tanggal 29 April 1987 (hanya lima hari setelah konflik tingkat tinggi itu) Rais Yatim meletakkan jabatannya sebagai Menteri Luar, demikian juga Tengku Razaleigh. Suatu tindakan yang belum pernah terjadi pada mana-mana Menteri sebelumnya. Kawan-kawan Team B lainnya, Abdullah Ahmad Badawi (Pak Lah), Sharir Abd. Samad, Zainal Abdidin Zin, Rahmah Osman dan pemimpin Team B yang lain memilih untuk ”tunggu dan diam”. Sedang Datuk Musa Hitam memang sudah lama berhenti sebagai Timbalan PM, sekalipun tetap pada jabatan Naib Presiden UMNO.
Mungkin hanya orang Minang dengan tradisi dan watak Minang yang mampu melakukannya, sebagaimana tercatat dalam sejarah. Dr. Mohd Hatta (meletakkan jabatan Wakil Presiden tahun 1957), HAMKA (meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI Pusat tahun 1999), Wartawan Senior Rosihan Anwar (menolak menjadi Dubes di Korea Utara), Prof. Dr. Deliar Noer (menolak pengukuhan Guru Besar, karena dipaksa menukar isinya oleh Pemerintah ORBA), Mukhlis Ibrahim (meletakkan jabatan sebagai Gubernur Sumbar tahun 1999), semuanya karena bertolak belakang dengan prinsip dan keyakinan hatinya.
Semenjak itu dan selama 13 tahun lamanya Rais meletakkan dirinya sebagai ”pembangkang”, dengan meluaskan dan merasmikan Team B menjadi partai baru yakni ”Partai Semangat 46”. Pengunduran diri Rais Yatim dan Ku Li yang diliput secara sangat luas oleh Surat kabar dalam dan luar negara, mendapat penghargaan khusus oleh Dr. Mahathir, dengan mengatakan : ”...saya memahami dan menghargai keputusan peletakan jawatan yang dibuat oleh Rais Yatim. Tidak ada yang berani mengeluarkan pendapat seperti beliau. Dukacita karena sokongan Rais tidak diberikan kepada saya...”.
Tiga hari setelah Rais Yatim meletakkan jabatan, Dr. Mahathir memecat Pak Lah, Shahrir, Zainal Abidin Zin, dan Rahmah Osman daripada jawatan masing-masing selaku Menteri atau Timbalan Menteri.
Itulah riwayat hidup dan perjuangan Rais Yatim yang ternyata juga mampu memerankan peran ”Pembangkang” dalam hidupnya.
E. Gambaran dan Prospek hubungan budaya Indonesia (Mingkabau) dan Negeri Sembilan (Malaysia).
1. Gambaran Hubungan dan kedekatan budaya Minangkabau dan Negeri Sembilan
a. Asal usul Masyarakat Negeri Sembilan.
Bagaimana Masyarakat Negeri Sembilan menjelaskan tentang asal usul dan tata sosial mereka, dapat disimak dalam petatah-petitih berikut :
Asal asal usul usul
Akhir bokosudahan
Solilit Pulau Peroco
Seri Alam di Minangkabau
Tok Bendaro di Sungai Tarap
Tok Indomo di Saruaso
Tok Kali di Padang Gonting
Tok Mengkudum di Sumanik.
Takik durian di tasik rajo
Si Balong bolantak bosi
Singkat lukah, lukah hanyut
Singkat pemerintah Pagaruyung
Sojoman dato’ bujang, nenek gadih
Putih kepalo tatkalo itu
Gagak hitam bangau putih
Adat sentoso dalam nogori eh
Air eh jernih orang eh ramai
Komudian duduk pandang momandang
Pandang ke darek moranti bosanggit dahan
Pandang ke hulu gaung eh dalam
Pandang ke baroh lopan eh lueh
Turun dari Pagaruyung
Rajo badorah putih
Baduo dongan Batin Monggalang
Lalu naik gunung Rombau
Lalu turun ke Sori Monanti
Komudian duduk bosuku-suku
Barapolah suku, duo boleh
Suku bertuo, bobuapak, bolombago
Kemudian duduk dokek rumah
dokek kampung
Laman sobuah sopomainan
Pigi sobuah sopomandian
Jamban sobuah sopoulangan
Petatah-petitih diatas, isinya menjelaskan struktur social di Minangkabau, asal usul nenek moyang masyarakat Negeri Sembilan, dan bagaimana mereka berkembang biak dan meneruskan tradisi ditempat asalnya, dan bagaimana mereka membina masyarakat baru.
Hubung-kait kultural juga kelihatan dari pengabadian nama-nama Nagari asal masing-masing perantau Minang ke Negeri Sembilan menjadi nama Suku, nama daerah baru di tanah rantaunya. Itulah sebabnya banyak nama-nama kampung, daerah, suku di Negeri Sembilan yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki warna Minangkabau. Secara resmi di Negeri Sembilan terdapat 12 Suku, yaknih :
1. Tanah datar
2. Batuhampar
3. Seri Lamak Pahang
4. Seri Lamak Minangkabau
5. Mungka
6. Payakumbuh
7. Seri Malanggang (Simelenggang)
8. Tigo Batu
9. Biduanda
10. Tigo Nenek
11. Anak Acheh
12. Batu Belang.
Ternyata dari 12 nama Suku tersebut diatas, 9 diantaranya adalah berasal dari Luhak Lima Puluah Koto, yakni Suku Batuhampar (berasal dari Batuhampa), Seri Lamak Pahang (berasal dari Sarilomak), Seri Lamak Minangkabau (Sarilomak), Mungka, Payakumbuh, Seri Malanggang (Simalonggang) dan Tigo Batu (Situjuah Batur), Tigo Nenek dan Batu Belang (Batu Bolang) satu berasal dari Luhak Tanah Datar, yakni nama Suku Tanah Datar sendiri. Sedang nama Suku Biduanda dipastikan berasal dari Suku atau Penduduk Asli Semang, Sakai dan Jakun, dan Suku Anak Acheh diperkirakan berasal dari keturunan Aceh.
Sedang suku yang ada dan berrkembang di Minangkabau, bermula dari empat Suku Induk : Bodi, Chaniago, Koto, Piliang, dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang Suku, yang jumlahnya cukup banyak, A.L Malayu, Mandahiliang, Bendang, Salayan, Kampai, Panai, Sani, Koto, Piliang, Guci, Dalimo, Tanjuang, Payobadar, Simabur, Kamalakang, Sikumbang, Pisang, Pagacancang, Katianyir, Domo, Jambak, Petopang, Salo, Banuampu, Bariang, Bodi, Caniago, Mandaliko, Sumagek, Panyalai, Balai Mansiang, Singkuang, Sumpadang, Sipanjang, Lubuak Batang, Bulukasok, Sungai Napa, Sinapa, dll..
Adat yang dipakai di Negeri Sembilan adalah Adat Datuk Perpatih Nan Sabatang. Perbedaan terdapat pada pewarisan harta pusaka, dimana di Minangkabau harta dibedakan menjadi dua bahagian : Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka rendah. Harta Pusaka Tinggi dibagikan menurut ketentuan Adat, yakni dari Mamak turun ke Kemenakan, sedang Harta Pusaka Rendah (Harta pencaharian Bapak) dibagi menurut Hukum faraidl. Sedang di Negeri Sembilan, hanya dikenal harta warisan yang dibagikan kepada anak sesuai dengan Hukum faraidl.
Kalau kita perhatikan Bendera Negeri Sembilan yang terdiri dari tiga warna : kuning, merah dan hitam, ternyata juga memiliki hubungan dengan warna kebewsaran Minangkabau. Kuning warna dasar bendera, merah melintang serong di sebelah atas, dan warna hitam dibawahnya, keduanya membentuk empat persegi. Bendera ini diresmikan pada tahun 1895, ketika Inggeris berhasil mempersatukan kembali Datuk-datuk Undang yang Empat dengan Yamtuan Muhammad sehingga Kerajaan Negeri Sembilan kembali utuh.
Menurut sumber Negeri Sembilan, warna kuning berarti kedaulatan raja, warna merah melintang serong berarti pengaruh Kerajaan Inggeris, dan warna hitam berarti hak kebesaran Penghulu (Undang) dan jajarannya. Segera setelah kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1957, maka warna merah ditukar artinya dengan perlindungan Persekutuan (Federal) Malaysia.
Ternyata warna-warna bendera Negeri Sembilan, memiliki pertautan atau persamaan dengan warna-warna adat di Minangkabau, sebagaimana terdapat pada warna Marawa, warna dasar hiasan atau motif Rumah Adat, warna-warna dominan pada pelaminan dan baju kebersaran adat, yang digunakan pada setiap upacara resmi adat dan kenegaraan di Minangkabau dan Sumatera Barat.
Seperti sudah dimaklumi, gelar Pimpinan tertinggi di Negeri Sembilan adalah Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan (Yamtuan), berbeda dengan 8 kerajaan Negeri lainnya di Semenanjung Melaka, dimana 7 diantaranya bergelar Sultan (Sultan Kedah, Trenggano, Pahang, Melaka, Selangor, Johor, Perak, Kelantan), satu bergelar Raja (Raja Perlis), dan satu lainnya bergelar Yang Dipertuan (Yamtuan), yakni Negeri Sembilan. Ternyata gelar Yang Dipertuan tersebut juga dipakai di Minangkabau., Bedanya, kalau di Negeri Sembilan disebut Yang Dipertuan Besar , maka di Pagaruyung disebut Yang Dipertuan Sakti Raja Pagaruyung.
Bagaimana kedekatan kultural masa lalu itu dibuhul ulang kembali oleh Pemerintah dua ibukota : Seremban dan Bukittinggi. Pada tanggal 6 Desember 1986, dideklarasikan Kota Kembar antara Bandar Seremban (Ibukota Negeri Sembilan) dan Kota Bukittinggi (bekas ibukota Sumatera Tengah dan Kota perjuangan di Sumatera Barat). Adapun latar belakang deklarasi tersebut adalah aspek sejarah, aspek adat resam, cara hidup dan kebudayaan yang masih digunakan di Negeri Sembilan. Deklarasi Kota Kembar antara Bandar Seremban di Negeri Sembilan. dan Kota Bukittinggi di Sumatera Barat, dua kota yang dianggap memiliki potensi budaya, potensi politik dan potensi administrative kenegaraan di dua negeri.
Setelah hubungan cultural kembali dibuka, maka kedua negeri mencoba memberikan makna, dan merekat erat hubungan kultural tersebut, dengan antara lain melakukan pemberian gelar adat kepada pimpinan/tokoh yang memiliki peran penting bagi pertautan budaya tersebut. Penganugerahan gelar itu misalnya pemberian gelar Datuk Perba Jasa Diraja kepada Prof. Drs, Harun Zain (bekas Gubernur/Menteri Nakertrans), dari Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan DYMM Tuanku Jaafar tgl 20 Juli 1970. Gelar Datuk Seri Utama kepada Ir.H. Azwar Anas (bekas Gubernur/Menteri Perhubungan/Menko Kesra), dari DYMM Tuanku Jaafar Yang Dipoertuan Besar Negeri Sembilan.
Pemberian gelar Perkasa Alam Johan Berdaulat kepada DYMM Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar tanggal Agustus 1985. Dan pemberian gelar Datuk Tan Patih Johan Pahlawan, kepada Sri Dato’ Samad Idris (bekas Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia), tanggal 7 September 1989, oleh LKAAM Sumbar. Dan kelihatannya akan banyak lagi pemberian gelar Sangsako dari Yang Dipertuan Pagaruyung dan LKAAM Sumbar, pada tokoh-tokoh Negeri Sembilan khususnya dan Malaysia umumnya, guna menambah eratnya hubungan kedua hala serumpun.
Menurut sumber-sumber Negeri Sembilan, rumah-rumah Penghulu atau dato’ apalagi rumah-rumah rakyat pada umumnya tidak menggunakan atap dengan arsitektur Minang (Rumah Bagonjong), tapi lebih mirip pada rumah Melayu Riau. Barulah setelah hubungan dibina kembali setelah tahun 1968, maka bangunan rumah gadang atau Rumah bagonjong dipopulerkan dan dibina di Negeri Sembilan.
Bangunan lama Istana Seri Menanti, yang sejak lama dijadikan tempat persemayaman Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan tidak menggunakan arsitektur Minang, demikian juga bangunan baru Istana Seri Menanti (yang mulai digunakan tahun 1930). Demikian juga halnya Istana Hinggap di Seremban. Dan Bangunan Pejabat Menteri Besar, semuanya bangunan modern bercorak barat.
Bangunan yang agak mendekati bentuk “Gonjong” adalah atap Mesjid Negeri Negeri Sembilan. Wisma UMNO Jelebu yang dibangun 1980, Dewan Besar Kuala Klawang (1981), Teras atau serambi Kompleks Pejabat Daerah Jelebu. Dan yang terbaru yang merupakan duplikat 100 % Rumah Adat Minang modern adalah bangunan Dewan Undangan Negeri di Seremban. Konon kabarnya arsitek bangunan Dewan Undangan Negeri ini didatangkan dari Sumatera Barat. Bangunan ini merupakan buah karya Rais Yatim ketika dia menjadi Menteri Besar Negeri Sembilan.
Dua buah rumah Rais Yatim, baik rumah di Kampung Gagu yang dibangun tahun 1980 maupun di Grandview Ampang Jaya yang dibangun 1975, keduanya menggunakan arsitektur rumah Minang asli, dua rumah yang ”tampil beda” diantara sekian banyak rumah di Malaysia. Sayang rumah bergonjong di Kampung Gagu itu terbakar pada tanggal 10 Oktober 2001.
Terakhir dinukilkan persamaan dan hubung kait antara petatah-petitih kedua daerah ini. Terdapat persamaan baik pada kata, makna maupun ritme dan lirik petatah-petitih dan pantaun yang biasa dipakai sehari-hari di Negeri Sembilan dan Minangkabau, sebagaimana misalnya yang terdapat pada Kata Pembukaan peresmian Pesta Persukuan Adat Perpatih, tahun 1999 :
Bukan lobah sobarang lobah
Lobah bosarang di rumpun buluh
Bukan sombah sobarang sombah
Sombah menyusun jari sopuloh
Bukan lobah sobarang lobah
Lobah bosarang di ateh atap
Bokan sombah sobarang sombah
Sombah ese ondak bocakap
Awal pomulaan, akhir bokosudahan
Tatkalo alon boalun
Alam bolom boraja, luak bolom bopongulu
Adat bolom torato
Pulai bopangkat naik
Mandapek an rueh dongan buku
Manusio bojinjang turun, botanggo naik
Membimcang adat dongan pesako
Bulat air togah dek gopong
Bulat kato togah dek mempokat
Dek kato sopokat
Gunung nan tinggi samo didaki
Lurah nan dalam samo dituruni
Mako diadoanlah olek nan sahari duo ini
Pesta Persukuan Adat
Dari untaian pepatah-petitih diatas, yang bisa disimpulkan adalah bahwa keseluruhan pilihan kata, pilihan kalimat, ritme dan isi atau makna yang hendak disampaikan, sangat dekat – kalau tidak akan dikatakan sama persis – dengan petatah-petitih yang biasa disampaikan dalam upacara adat yang bersamaan maksudnya di Minangkabau. Sedang dari aspek bahasa atau kosakata, kelihatannya bahasa dan kosakata di Negeri Sembilan, sangat dipengaruhi bahasa sehari-hari di Payakumbuh.
Bagaimanakah prospek hubungan cultural Negeri Sembilan dan Minangkabau kalau ditilik dari penubuhan budaya Nusantara dan penggalian kembali akar umbi budaya local untuk menghadapi budaya asing ?. Ketika menghadapi budaya global, ketika budaya Merlayu mendapat tekanan yang luar biasa, sehingga komunitas Melayu seakan kehilangan akar budaya, jati diri dan identitasnya, akan muncul keinginan yang kuat untuk menemukan identitas diri. Dengan memahami asal usul, pertautan dan perkembangan budaya tersebut – bahwa komunitas Negeri Sembilan, budaya dan adat-istiadatnya berasal dari Minangkabau -- akan muncul semangat memiliki, mencintai, mengembangkan dan akhirnya mempertanggung jawabkan kelangsungannya. Dan dengan begitu mereka akan kembali memiliki identitas ke-melayu-annya. Disini peran seorang Rais Yatim – baik dalam posisinya sebagai seorang keturunan Melayu Minang yang berbudaya tinggi, maupun sebaGai seorang Menteri yang mempertanggung jawabkan pewarisan budaya -- sangat jelas dan sangat mentukan.
Pertautan budaya dan asal usul ini, akan dapat menjadi perekat yang sangat kuat, penyambung atau jembatan batin yang efektif, kalau misalnya terjadi masalah yang menjadi batu penarung hubungan antara dua bangsa dan negara : Malaysia dan Indonesia, seperti misalnya ketika adanya riak akibat masalah Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, masalah kepulauan Ambalat di kaltim dan Selat Malaka.
Secara riil Indonesia dan Malaysia memiliki potensi spesifik, yang sangat prospektif untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dimasa datang. Bagaiamanapun, bagi kedua negara ini akan sangat efisien dan ekonomis memanfaatkan potensi Negara tetangga terdekat, ketimbang mengambil atau memanfaatkan dari negara yang lebih jauh – baik jauh lokasi maupun jauh kulturalnya. Misalnya Indonesia kaya akan wisata alam dan wisata budaya serta wisata dakwah yang masih mungkin dikembangkan, bagi wisatawan yang berminat, maka datang ke Indonesia lebih efisen, ekonomis dan “dekat dihati”, begitu sebaliknya.
Karena persamaan budaya, persamaan bahasa dan perilaku lainnya, maka melakukan kerjasama dalam bentuk apapun, dapat dilakukan tanpa menghabiskan waktu, tenaga dan dana, karena kedua bangsa telah sangat mengenal satu sama lain, seperti mengenal dirinya sendiri. Untuk itu sekali lagi kesediaan hati untuk menggali, mencintai, mengembangkan dan mempertanggung jawabkan warisan budaya bangsa, budaya Melayu dan budaya timur adalah tanggung jawab seluruh putera nusantara.
Untuk masa datang, setelah kita memahami pertautan, hubungan cultural kedua negeri ini, maka yang harus dilakukan adalah mempererat, menjaga dan kemudian mengisi dan memanfaatkan asset sejarah dan sosiologis tersebut, dengan kerjasama dan kerja bersama yang menguntungkan kedua berlah pihak.
Dari sudut posisi Datuk Seri Utama Rais Yatim sebagai salah seorang Menteri kanan (senior) dalam Birokrasi Malaysia maka kerjasama itu boleh dirancang dan dipereratkan lagi secara lebih baik.
Rabu, 28 Januari 2009
Datuk Seri Utama Rais Yatim : Orang Minangkabau yang "dihibahkan" ke Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tp bagaimana kalau menurut kalian kalau rendang di patenkan di malaysia? reog ponorogo dipatenkan di sana? angklung juga, batik juga... jd sebanranya yg punya itu siapa? berakar pada asal usul sejarah atau hanya dilihat pada dimana dia dimainkan...
BalasHapussaran saya kalau memang sama2 rasa memiliki, jangan lah di cap sebagai "aku punya" mari bersama menjaga...
kenapa rendang diributkan sih, itu sama saja kita bilang dengan orang kampuang tetangga di minang " etek jan etek buek pulo randang ndak karano randang itu amak kami nan dulu mambueknyo " ha lucukan lah aneh juga kita ini, jelas jelas sebagian besar warga malaysia itu asalnya dari Indonesia contohnya Negeri sembilan diatas, jelas dari Minangkabau, nah otomatis pinterlah mrk bikin rendang apalagi rendang payakumbuah kenapa kita marah,apanya yang salah sih rendangnya atau salah nenek moyang kita kenapa disuruh datang ke malaysia dulu jadi raja lagi udahlah bagi orang malaysia yang asalnya dari Indonesia bikin aja semua jangan lupa botiah, gajeboh kabau, dendenng balado nanti jual ke Indonesia nggak ada yang larang semua orang bisa kok eh jangan lupa buek kocang tojin dan gulai joriang
BalasHapusAssalamualaikum WrWb Saudaraku Sahabat Teman2ku Anak perantau Minang manapun Semoga sehat dan Bugar,
BalasHapusmaaf kepada penuli,ralat sedikit,kampung asal ayah dt rais bukan lereng,akan tetapi jorong laring,atau biasa di sebut lariang,di nagari nan 7.
BalasHapus