Oleh : Prof.DR.H. Maidir Harun
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang telah melahirkan globalisasi, bermamfaat atau tidak, tergantung dari orang yang menggunakannya. Sejak beberapa decade yang lalu, Alvin Toffler dan John Naisbit telah memperediksikan bahwa era globalisasi dan informasi akan melahirkan gaya hidup dan budaya global. Artinya, pada mulanya globalisasi baru sebatas alat, yang bersifat netral. Artinya ia akan sekaligus mengandung hal-hal yang positif, ketika dimamfaatkan untuk tujuan yang baik.
Sebaliknya, ia dapat berakibat negative ketika hanyut dalam hal-hal yang negative. Dengan demikian, globalisasi akan tergantung kepada siapa yang mengunakannya dan untuk keperluan apa , serta tujuan ke mana ia dipergunakan. Jadi sebagai alat dapat bermamfaat dan dapat pula mudarat. Terobosan teknologi informasi dapat dijadikan media alat alat dakwah, dan dalam waktu yang bersamaan dapat pula menjadi 'biang kerok' ancaman dakwah. 1
Tetapi, apabila globalisasi diartikan sebagai ideology, maka ia bermakna mengandung nilai dan norma yang melahirkan budaya dan sikap hidup global. Sebagai sebuah ideology dan telah melahirkan gaya hidup dan budaya global, maka globalisasi akan mengikuti hukum dan teori budaya. Dalam ilmu budaya terkenal ungkapan yang menyatakan bahwa budaya yang lebih kuat dan maju akan mempengaruhi budaya yang lemah dan tertinggal. Oleh sebab itu, budaya global yang didukung dan dikembangkan oleh negara-negara kuat dan maju saat ini,yakni negara-negara Barat, pasti akan mempengaruhi budaya bangsa lain yang lemah dan tertinggal. Gaya hidup dan budaya Barat, yang diapandang sebagai budaya global akan mempngaruhi gaya hidup dan budaya bangsa-bangsa lain, termasuk umat Islam.
Umat Islam yang tersebar dari Lautan Atlantik di bagian Barat sampai ke Indonesia di bagian Timur, dengan jumlah sekitar 1,3 milyar, pasti tidak luput dari pengaruh gaya hidup dan budaya global tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tidak jarang terjadi benturan-kultural, benturan nilai, benturan norma. Bagaimana budaya Islam dalam menghadapi gaya hidup dan budaya global tersebut ? Sebab, secara umum terdapat perbedaan nilai dan norma antara budaya Islam dan budaya global.
Budaya global, sebagai budaya yang maju dan modern memiliki nilai teori ( ilmu pengetahuan ), nilai ekonomi dan nilai solidaritas yang kuat. Budaya global meninggikan akal/rasio dari pada intuisi/rasa. Budaya global sangat menaruh perhatian kepada peningkatan kesejahteraan hidup secara ekonomis. Budaya global lebih mudah memahami kemajemukan dan pluralitas, karena didasari oleh nilai solidaritas yang kuat.
Sutan Takdir Alisyahbana, untuk mempelajari dan memperhatikan nilai-nilai mana yang kuat pada suatu budaya, menggunakan sebuah gambar sebagai ilustrasi, seperti berikut :
nilai teori nilai ekonomi
nilai Kuasa nilai solidaritas
nilai seni
nilai agama/spritual
Artinya, ada enam nilai budaya yang menjadi ukuran utama, yaitu 1) nilai agama/spriritual, nilai seni, nilai kuasa, nilai solidaritas, nilai ekonomi dan nilai teori. Budaya yang dipengaruhi oleh perasaan/intuisi akan memiliki nilai agama/spiritual dan nilai seni yang kuat. Selanjutnya, budaya yang lebih kuat dilandasi oleh akal/rasio akan melahirkan nilai teori, nilai ekonomi dan nilai solidaritas yang kuat pada masyarakat yang egaliter dan demokratis. Sedangkan bagi bangsa atau masyarakat yang feodalis , nilai kuasa akan lebih kuat dari pada nilai solidaritas.
Dalam perkembangan terakhir, budaya global dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti yang terlihat pada gambar di atas, mengancam budaya Islam, karena :
a. budaya global tumbuh dan berkembang ke arah budaya materialis dan hedonis, karena sangat dipengaruhi oleh system ekonomi kapitalis global.
b. budaya global tumbuh dan berkembang menjadi budaya sekuler, karena terlalu mengandalkan akal/rasio.
c. budaya global tumbuh dan berkembang menjadi budaya permisif,karena dipengaruhi oleh individualisme, liberalisme dan hak-hak azazi manusia tanpa batas.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya al-Islam Haharat al-Gad mengatakan bahwa salah satu segi negative budaya global yang amat penting adalah dekadensi moral, akibat lepasnya budaya global dari ikatan moral yang diajarkan setiap agama samawi mana pun. Sebab, buah dari jenis pohon materialisme dan pragmatisme yang menjiwai budaya global – budaya Barat – tidak mungkin dapat berbuah akhlakul-karimah (moral) yang dapat memperkokoh sendi kehidupan sosial. Sebaliknya, justru membuahkan kebobrokan dan dekadensi moral yang menggoyahkan struktur masyarakat.2
Agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa akar persoalan yang membawa dekadensi moran budaya global adalah karena budaya sangat bersifat anthropo-sentris, yang hanya berdasarkan pada akal/rasio manusia semata.
II
Yang pasti, demikian Qadri Azizy menulis dalam bukunya Melawan Globalisasi, pergaulan global sudah tidak dapat lagi dihindari oleh seseorang, kecuali ia sengaja mengungkung diri dengan menjauhi interaksi dan komunikasi dengan yang lain.3 Selanjutnya, Alfian, seorang tokoh ilmuan yang cukup terkenal juga menyatakan hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Qadri Azizy di atas yaitu mengibaratkan globalisasi yang dihasilkan oleh sebuah revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, bagaikan seekor harimau yang garang yang sedang melejit deras. Siapa yang berhasil meracak dan mengendallikannya akan beruntung, karena akan cepat sampai kea lam yang lebih baik. Siapa yang tidak berahsil menguasainya akan tertinggal jauh di belakang dengan segala frustrasinya atau lebih berbahaya lagi kalau sampai diterkam dan dimakan habis oleh harimau garang tersebut.4
Oleh sebab itu, pernyataan kedua orang ilmuwan di atas hendaknya menjadi perhatian umat Islam untuk menaruh perhatian dan peduli dengan perkembangan budaya global tersebut, sehingga mampu mersponnya dengan tepat dan baik. Dan sangat mustahil menjauhkan diri dari perkembangannya.
Dalam kaitan inilah budaya Islam akan menemukan banyak sekali persoalan dan kelemahan, karena budaya Islam pada era global seperti sekarang ini, di mana dalam berinter-aksi dan berkomunikasi, karena berada pada posisi lemah dan tertinggal serta kurang mampu bersaing. Kelemahan dan ketertinggalan budaya Islam tersebut paling tidak dapat dilihat pada beberapa bidang kehidupan sebagai berikut :
a. Budaya Islam pada era global lemah dan tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena lemah pada nulai teori. Walaupun kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan budaya Islam tersebut telah disadari sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia Islam, seperti ketika kedatangan ekspedisi Napoleon ke Mesir, kedatangan bangsa Inggeris ke India, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia dan kedatangan beberapa bangsa Eropa ke Turki Usmani, sampai saat sekarang keadaan tersebut belum berubah. Bahkan jumlah umat Islam yang besar telah menjadi 'pasar' yang empuk bagi negara-negara maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam menjual hasil produksinya. Ironisnya, sebahagian besar hasil produksi tersebut menggunakan bahan baku dari sumber daya alam dari dunia Islam. Umat Islam belum mampu mengelola dan mengolah sumber daya alamnya yang kaya, karena tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. budaya Islam lemah dan tertinggal dalam bidang ekonomi, karena
lemah pada nilai ekonomi. Walaupun dunia Islam adalah daerah umumnya kaya dengan sumber daya alamnya, umat Islam tetap saja tertingal dan lemah dalam ekonomi, perdagangan, pertanian, perindustrian, perternakan dan sebagainya. Saudi Arabia dan Kuwait adalah contoh yang tepat dalam hal ini. Kedua negara Islam ini adalah negara petro-dollar, karena kaya dengan hasil minyak. Tetapi, secara ekonomi kedua negara ini amat tergantung dengan dengan negara-negara Barat yang mengembangkan system ekonomi kapitalis global.
c. budaya Islam pada umumnya masih lemah pada nilai solidaritas,
walaupun inter-aksi sosial dan pergaulan serta komunikasi dalam era global telah melibatkan bermacam-macam bangsa, bermacam-macam penganut agama, bermacam-macam adapt-istiadat dan budaya, bermacam-macam warna kulit dan sebagainya.
Untuk jelasnya, gambaran budaya Islam pada era global dapat diperhatikan pada gambar berikut :
nilai teori nlai ekonomi
nilai kuasa nilai solidaritas
nilai seni nilai agama/spritual
Padahal, apabila dipelajari sejarah perkembangan budaya Islam sejak masa lampau sampai era global sekarang , pada hakekatnya budaya Islam pernah mencapai zaman kemajuan dan keemasannya sekitar 400 tahun, yaitu pada periode klasik. budaya Islam.. Pada masa tersebut kuat pada nilai teori, sehingga mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya Islam kuat pada nilai ekonomi, sehingga telah membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Budaya Islam kuat pada nilai solidaritas, sehingga mampu hidup berdampingan dengan rukun dan damai dengan bangsa-bangsa lain, dengan penganut agama lain dan sebagainya. Untuk jelasnya dapat diperhatikna gambar seperti di bawah ini :
nilai ekonomi
nilai teori
nilai kuasa nilai solidaritas
nilai seni
nilai agama/spritual
Pada masa kemajuan tersebut, budaya Islam telah melahirkan beratus-ratus ilmuwan dalam bidang sains, filsafat, humaniora dan ilmu ke-Islaman. Diantara ilmuwan Muslim dalam bidang sains adalah a) Ibnu Haitsam atau al-Hazem, seorang ahli astronomi, b) Fakhruddin al-Razi, seorang ahli astronomi, c) Abu Ali al-Husain Ibnu Sina, seorang ahli kedokteran, yang digelari dengan Syaikh al-Rais, d) Jabir Ibnu Hayyan, seorang ahli kimia, dan e)Muhamad Ibnu Musa al-Khawarizmi, seorang ahli matematika. Masing-masing ilmuwan di atas memiliki beberapa karangan buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Laten dan Bahasa Inggeris.
Diantara filosof Muslim yang terkenal pada Zaman Keemasan Islam adalah a) Abu Yusuf Ya'cub Ibnu Ishaq al-Kindi , b) Abu Nashr al-Farabi.Selanjutnya, beberapa contoh ilmuwan Muslim dalam bidang humaniora adalah a) Ibnu Jarir al-Thabari, seorang penulis sejarah Islam yang terkenal dengan bukunya b) Abu al-Hasan al-Mas'usdi, juga seorang sejarawan yang terkenal dengan bukunya Muruj al-Zahab 5.
Dalam bidang ilmu ke-Islam amat banyak lagi para ulama, fuqaha', dan mufassirin yang dapat dikemukakan diantaranya adalah a) Imam Abu Hanifah, seorang ahli hukum Islam, b) Anas bin Malik , seorang ahli hukum Islam, c)Muhamad Ibnu Idris al-Syafi'I, ahli hukum Islam, d) Ahmad bin Hanbal, ahli hukum Islam, e) Imam Bukhari, seorang ahli hadis, f) Imam Muslim, seorang ahli hadits, g) Imam Turmuzi, seorang ahli hadits, h) Abu Dawud, seorang ahli hadits, i) al-Nasa'I, seorang ahli hadits, j) Ibnu Majah, seorang ahli hadits, k) al-Zamakhsyari, seorang ahli tafsir, l) Abdullah al-Baidhawi, seorang ahli tafsir, m) Abdullah al-Nasafi, seorang ahli tafsir, n)Abu Bakar al- Asham, seorang ahli tafsir, o) al-Juba'I, seorang ahli ilmu kalam, p) al-Nazam , seorang ahli ilmu kalam, q) Abu Hasan al-Asy'ary, seorang ahli ilmu kalam. Masing-masing ulama, fuqaha' dan mufasirin di atas mengarang buku dalam bidang keahliannya yang masih terkenal sampai sekarang.6
Kemajuan budaya Islam dalam bidang ekonomi, yang didorong oleh nilai-nilai ajaran agama Islam tentang ekonomi, ditandai dengan tingginya frekwensi perdagangan di dalam dunia Islam yang dilakukan oleh saudagar-saudagar Muslim dan non-Muslim, hasil pertanian yang meningkat, hasil industri yang banyak, perternakan dan pertambangan. Kemajuan dalam bidang ekonomi telah meningkatkan pendapatan keuangan negara secara signifikan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, pemasukan keuangan negara mencapai 272 juta dirham dan 4,5 juta dinar per-tahun. Sementara itu, pada masa Khalifah al-Mu'tashim, penghasilan negara dari sector ekonomi meningkat lagi menjadi 314,27 juta dirham dan 5,102 dinar per-tahun.7
Kemajuam dalam bidang ekonomi tersebut telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan hidup masyarakat. Puncaknya pernah dialami pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan Putranya al-Makmun. Kekayaan negara yang besar tersebut sebahagian dimamfaatkan untuk keperluan sosial. Lembaga-lembaga sosial banyak dibangun pada masa tersebut, membangun rumah sakit, membangun lembaga pendidikan dokter, lembaga pendidikan farmasi, membangun mesjid dan sebagainya.
Di samping hal di atas pada masa kemajuan budaya Islam juga terdapat hubungan yang harmonis dalam kehidupan manysrakat, sekalipun terdiri dari bermacam-macam suku, etnis, penganut agama dan adapt-istiadat. Maksudnya, adalah bahwa budaya Islam pada hakekatnya dapat menerima kemajemukan atau pluralitas. Di zaman Daulah Abbasiyah didirikan sebuah perpustaan besar yang dinamai dengan Bait al-Hikmah. Perpustakaan ini tempat berkumpul para ulama, ilmuwan dan penerjemah buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam Bahasa Arab, yang dipimpin oleh seorang tokoh Nasrani yang terkenal yaitu Hunain bin Ishaq. Sementara itu, jabatan-jabatan penting di dalam pemerintahan juga ada yang dipercayakan kepada tokoh Nasrani, asal ia memiliki kemampuan dalam pekerjaan tersebut.
Sesuatu yang istimewa dalam budaya Islam adalah bahwa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan dalam bidang ekonomi dan kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan tersebut tetap dilandasi dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat transcendental. Oleh sebab itu , para ahli mengatakan bahwa keunggulan peradaban dan budaya Islam adalah karena bercorak theo-anthropo-sentris. Budaya yang tetap mengandung nilai-nilai yang provan dan sakral sekaligus.
Akibat dari kemajuan budaya Islam tersebut, kota Bagdad, Cairo, Demaskus, Mekkah, Madinah dan Cordova di Andalus telah menjadi kota-pusat peradaban dunia.
III
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, pada hakekatnya tidak terlalu sulit budaya Islam menghadapi budaya global, karena telah pernah mengalami masa kemajuan di masa lampau. Dan diantara langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghadapi budaya global tersebut diantaranya adalah :
a). menerima kemajuan budaya global yang telah maju dalam bi -
dang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki nilai teo-
ri yang kuat, tetapi diwarnai dengan nilai-nilai spiritual yang ber-
sumber dari ajaran agama Islam.
b) menerima kemajuan budaya global dalam bidang ekonomi, kare-
na dilandasai oleh nilai ekonomi yang kuat, tapi harus dikaitkan
dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber dari ajaran agama Islam.
c) menerima kemajuan budaya global dalam bidang sosial-kemasya-
rakatan, terutama dalam menghadapi realitas masyarakat yang pluralis/majemuk, tetapi mesti dilandasi pula dengan nilai-nilai spritul yang bersumber dari ajaran agama Islam.
Hal tersebut dikemukakan, karena pada hakekatnya budaya global yang sedang berkembang saat ini adalah budaya yang kering nilai-nilai spiritual, sehingga lebih menonjol corak materialistisnya. Sehingga dengan demikian, diharapkan budaya global akan berkembang sebagaimana budaya Islam pada masa klasik, yang bersifat theo-anthropo-sentris.
Untuk mengupayakan hal tersebut di atas, cara yang paling tepay adalah melalui pendekatan pendidikan dan dakwah serta politik, yang dilakukan secara beradab dan dengan semangat kompetisi yang sehat dan fair. Cara-cara pendekatan kekerasan dan eksklusif sangat tidak bijaksana dan pasti akan merugikan diri sendiri serta akan menghilangkan simpatik pihak lain.
Rabu, 28 Januari 2009
Budaya Islam Dalam Menghadapi Tantangan Global
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar