Oleh : Dra. Yulniza, M.Ag.
Tulisan ini bertumpu pada rasionalisasi atau pertimbangan histories bertahannya Dinasti Abbasiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, lebih kurang enam abad. Nabi Muhammad SAW. telah meletakkan dasar-dasar Islam di Mekkah dengan penuh tantangan dari kaum Qurays. Pada periode Mekkah ini, Nabi Muhammad SAW belum berhasil membentuk komunitas Islam, karena jumlah pengikutnya masih sedikit.
Dengan demikian, pada periode Mekkah ini beliau hanya berfungsi atau hanya memfungsikan perannya sebagai seorang pemimpin agama. Akan tetapi, setelah hijrah ke Madinah pada tahun 1 H./622 M., jumlah pengikutnya mulai bertambah sehingga beliau perlu meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam. Di Madinah inilah Nabi Muhammad SAW mulai melakukan kegiatan dan strategi untuk membangun masyarakat Islam. Kegiatan yang dilakukannya diantaranya membangun masjid sebagai sarana ibadah dan social. Kemudian meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah dalam rangka mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Selanjutnya menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang non-muslim dimana pada waktu itu, masyarakat Madinah secara sosiologis, terdiri dari tiga kelompok besar masing-masing kelompok muslim, Arab yang belum masuk Islam dan kelompok Yahudi. Untuk itu dibentuklah suatu konstitusi yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan Konstitusi Madinah.
Dengan adanya Konstitusi Madinah tersebut, hal ini memperlihat kan bahwa masyarakat Madinah pada waktu itu telah membentuk satu kekuatan politik bentuk baru yang bernama ummah atau komunitas. Bentuk ummah inilah yang kemudian berkembang menjadi kekuatan politik yang besar dan akhirnya menjadi Negara. Di Madinah ini keadaan nabi Muhammad SAW dan ummat Islam mengalami perobahan yang cukup signifikan. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan ummat yang lemah dan tertindas, maka setelah hijrah ke Madinah, mereka memiliki kedudukan yang baik dan menjadi ummat yang kuat dan mandiri secara social-politik. Nabi Muhammad SAW sendiri kemudian menjadi pemimpin dari masyarakat yang baru terbentuk tersebut, yang pada giliran selanjutnya, komunitas ini menjelma menjadi suatu entitas Negara.
Negara itu pada masa Nabi Muhammad SAW meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa di Madinah Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai Rasulullah (pemimpin agama) an sich, akan tetapi juga merupakan kepala Negara. Pada diri Nabi Muhammad SAW terhimpun dua kekuasaan yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Setelah nabi Muhammad SAW wafat, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H./8 Juni 632 M., fungsinya sebagai pemimpin agama tidak dapat digantikan oleh siapapun karena penggantian Nabi Muhammad SAW itu didasarkan pada otoritas mutlak dan penegasan Illahi dan tidak dapat dialihfungsikan oleh manusia, akan tetapi funsgi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik harus dan mesti ada yang mengganti kannya. Oleh sebab itu, setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan pertama yang muncul adalah persoalan politik yaitu persoalan siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai kepala Negara. Ada tiga golongan yang bersaing dalam perebutan kepemimpinan yaitu kaum Anshar, kaum Muhajirin dan keluarga Hasyim. Persoalan ini muncul karena tidak ada wasiat dari Nabi Muhammad SAW.
Proses pemilihan pemimpin politik sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW sangat menegangkan dan hamper saja menimbulkan pertumpahan darah, karena masing-masing golongan merasa dan mengklaim paling berhak sebagai pengganti Nabi. Namun setelah melalui musyawarah dan pertimbangan-pertimbangan logis-rasional, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama. Masa pemerintahan khalifah Abu Bakar tidak begitu lama (11-13 H./632-634 M.). Kemudian berturut-turut yang memerintah adalah ‘Umar bin Khattab (13-23 H./634-644 M.), ‘Utsman bin Affan (23-35 H./644-656 M.) dan ‘Ali bin Abi Thalib (35-40 H./656-661 M.).
Dalam sejarah Islam keempat orang pengganti Nabi Muhammad SAW tersebut adalah pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari Rasulullah SAW bagi kemajuan Islam dan ummatnya. Karena itu, kepada mereka diberi gelar al-Khulafa al-Rasyidin. Pada masa Nabi Muhammad SAW., negara Islam baru meliputi Kota Madinah yang merupakan City State atau Stadstaat. Akan tetapi pada masa Khulafa al-Rasyidin, kekuasaan Islam telah meluas. Negara Islam telah menjadi A World State. Dengan meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, maka berakhir pula kekuasaan Khulafa al-Rasyidin. Pada masa ini, Gubernur Syam yaitu Mu’awiyyah bin Abi Syofyan tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal dari kedaulatan Dinasti Umayyah.
Mu’awiyyah bin Abi Syofyan adalah pembangun Dinasti Umayyah sekaligus menjadi khalifahnya yang pertama. Beliau memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Kuffah ke Damaskus. Dengan naiknya Mu’awiyyah bin Abi Syofyan ini sebagai penguasa Dinasti Umayyah tersebut, hal ini merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan Negara Islam atau al-Dawlah al-Islamiyyah dari system khilafah menjadi pemerintahan yang monarchiheredetis (kerajaan turun temurun). Dinasti Ummayyah ini berkuasa dari tahun 41-132 H./661-750 M. dengan 14 orang khalifah. Masa pemerintahan Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai era agressif dalam sejarah peradaban Islam. Stressing kebijakan politik tertumpu pada perluasan wilayah kekuasaan. Dinasti ini melakukan ekspansi besar-besaran, baik ke bahagian barat maupun ke bahagian belahan timur dunia. Wilayah kekuasannya menjadi sangat luas, diantaranya meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Jazirah Arabia, Palestina, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan, Turkistan dan Kyrghistan di Asia Tengah.
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Umayyah ini ternyata tidak mampu membuatnya bertahan lama. Dinasti ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang 90 tahun, dan setelah itu hancur ditelan sejarah. Diantara penyebab langsungnya antara lain dengan munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib. Dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa factor yang mendukung keberhasilan mereka dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, antara lain meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Umayyah, pecahnya persatuan diantara suku-suku bangsa Arab, munculnya kekecewaan masyarakat agamais dan keinginan mereka untuk memiliki pemimpin kharismatik serta perlawanan Syi’ah.
Setelah hancurnya Dinasti Umayyah ini, muncullah Dinasti Abbasiyah sebagai penggantinya. Dinasti ini didirikan oleh salah seorang keturunan paman Nabi Muhammad SAW yang bernama ‘Abdullah al-Saffah bin Muhammad Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Dinasti Umayyah. Mereka dapat mencapai hasil yang lebih banyak karena landasannya infrastruktur dan suprastrukturnya telah dipersiapkan oleh Dinasti Umayyah. Dengan berdirinya Dinasti Abbasiyah ini pusat pemerintahannya kemudian dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu dari tahun 132-656 H./750-1258 M.
Rentang waktu yang begitu lama yang dilalui oleh Dinasti Abbasiyah ini bukanlah berarti khalifahnya sama atau sejajar. Karena inilah, secara metodologis, para sejarawan kemudian membagi masa Dinasti Abbasiyah ini ke dalam tiga periode yaitu : Periode Pertama dari tahun 132-232 H./750-850 M. dimana pada periode ini khalifah Abbasiyah berkuasa penuh. Periode Kedua dari tahun 232-590 H./750-1195 M. dimana kekuasaan khalifah berada ditangan orang atau kelompok lain yaitu di tangan orang-orang Turki, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk. Sedangkan Periode Ketiga berlangsung dari tahun 590-656 H./1195-1258 M. dimana pada periode ini kekuasaan kembali kepada para khalifah Dinasti Abbasiyah namun wilayah kekuasaan mereka telah menyempit yaitu di sekitar pusat pemerintahan saja (dalam hal ini kota Baghdad dan sekitarnya).
Berdasarkan periodesasi yang ditetapkan oleh para sejarawan tersebut diatas, terlihat hanyalah pada periode pertama saja yang merupakan masa-masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Sedangkan pada periode kedua dan ketiga, kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah mulai mengalami kemunduran. Namun demikian, walaupun kejayaannya tidak begitu lama, akan tetapi Dinasti Abbasiyah ini dapat bertahan hingga tahun 656 H./1258 M. atau lebih kurang enam abad dan kemudian dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan yang merebut Baghdad dan membunuh khalifah beserta keluarganya.
Stressing atau focus analisis buku ini bertumpu pada rasionalisasi atau pertimbangan histories bertahannya Dinasti Abbasiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, lebih kurang enam abad. Dinasti-dinasti lainnya seperti Dinasti Umayyah dengan kekuatan ekspansifnya dalam memperluas wilayah kekuasaan mereka, namun hanya mampu bertahan lebih kurang 90 tahun. Begitu juga halnya dengan Dinasti Ummayah di Spanyol yang bertahan dalam panggung sejarah selama 275 tahun (138-422 H./756-1031 M.). Demikian juga halnya dengan Dinasti Buwaihi yang hanya mampu bertahan selama 130 tahun (320-454 H./932-1062 M.). Dinasti Seljuk selama 156 tahun (429-590 H./1038-1194 M.) dan beberapa Dinasti-Dinasti Islam lainnya yang tidak bisa bertahan lama sebagaimana halnya Dinasti Abbasiyah.
Dengan menggunakan pendekatan atau metode penelitian sejarah, analisis histories utama yang dimunculkan oleh buku ini adalah analisis terhadap kebijakan-kebijakan apa yang dipakai oleh Dinasti Abbasiyah sehingga memiliki daya tahan politik dalam sejarah kontributifnya.
DINASTI ABBASIYAH PADA FASE AWAL
A. Ummat Islam Sebelum Dinasti Abbasiyah
Ummat Islam menjelang munculnya Dinasti Abbasiyah berada dibawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Bila diperhatikan kondisi ummat Islam pada masa ini, memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan kondisi ummat pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa al-Rasyidin. Masa awal berdirinya Negara Islam, ummat Islam bersatu-padu menghadapi segala bentuk ancaman, pemberontakan dan sejenisnya yang muncul, termasuk menghadapi segala bentuk fanatisme suku dan golongan karena hal ini memiliki potensi untuk menimbulkan perpecahan di tubuh ummat. Ummat Islam seiring sejalan dalam membela dan mempertahankan agama serta tunduk dibawah pengawasan seorang pemimpin.
Kondisi ini hanya berlangsung sampai pada akhir masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, keadaan ummat Islam menjadi berbalik, yang pada awalnya bersatu menjadi terpecah-pecah. Hal ini terus berlanjut seperti pada masa ‘Ali bin Abi Thalib telah banyak terjadi pemberontakan diantara nya Perang Jamal yang didalam sejarah disepakati sebagai perang saudara pertama dalam sejarah Islam. Perpecahan di kalangan ummat Islam bertambah parah lagi sewaktu terjadinya pertentangan politik antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah bin Abi Syofyan. Pertentangan ini telah menimbulkan tiga golongan ummat Islam pada masa itu. Munculnya tiga golongan tersebut menyebabkan posisi khalifah Ali menjadi lemah, sementara posisi Muawiyyah menjadi lebih kuat. Kondisi ini pada akhirnya membawa kepada terbunuhnya khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Kedudukan ‘Ali sebagai khalifah kemudian digantikan oleh putranya Hasan bin ‘Ali. Akan tetapi karena ia menyadari kelemahannya dibandingkan dengan Muawiyyah, akhirnya ia membuat perjanjian damai dengan menyerahkan kepemimpinan ummat Islam kepada Muawiyyah. Tujuan dari perjanjian tersebut pada prinsipnya untuk mempersatukan kembali ummat Islam dibawah satu kepemimpinan politik. Tahun ini dalam sejarah kemudian dikenal dengan Tahun Persatuan. Dengan demikian, berakhirlah era Khulafa al-Rasyidin dan muncullah kekuasaan Dinasti Umayyah. Transisi kekuasaan dari Khulafa al-Rasyidin kepada Dinasti Umayyah ini berimplikasi kepada perubahan kondisi ummat Islam pada masa itu. Pemerintahan yang awalnya bersifat demokrasi berubah menjadi pemerintahan yang bersifat turun temurun. Pada masa Dinasti Umayyah ini, banyak bermunculan pemberontakan-pemberontakan. Pergolakan politik yang bermula dari akhir pemerintahan ‘Utsman bin Affan, terus berlanjut. Bahkan pada masa ini, persoalan-persoalan politik justru merembes kepada wilayah atau “ranah” ideology keagamaan. Hal ini ditandai dengan bermuculannya beberapa aliran teologi di kalangan ummat Islam. Ketegangan yang terjadi diantara golongan-golongan tersebut akhirnya membawa kepada persoalan kafir mengkafirkan.
Persoalan ini pertama sekali dimunculkan oleh aliran Khawarij yang tidak menyetujui adanya tahkim (arbitration)antara ‘Ali dengan Muawiyyah. Persoalan-persoalan teologi dalam tingkat perkembangan selanjutnya menimbulkan kelompok-kelompok teologis lainnya di kalangan ummat Islam. Kelompok-kelompok ini memiliki hubungan yang longgar dalam masalah politik namun kaku dalam maslah teologis. Di antara aliran teologi yang dianggap menjadi system pemikiran yang berpengaruh luas adalah Muktazilah. Munculnya lairan ini memiliki implikasi besar terhadap pemikiran ummat Islam, karena aliran ini membawa paham rasional yang mempu mensejajarkan antara akal dengan wahyu dalam mencari kebenaran agama. Disamping itu, kehadiran aliran ini telah membebaskan ummat Islam dari paham Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Semua yang terjadi pada manusia tersebut adalah kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh Allah SWT. Dengan kata lain, manusia dipaksa untuk melaksanakan apa yang harus mereka kerjakan serta apa yang seharusnya mereka tinggalkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini memiliki implikasi terhadap tumbuh-berkembangnya ijtihad-ijtihad di berbagai daerah, yang pada akhirnya menimbulkan keberagaman dan kekayaan perspektif hukum. Keberadaan penguasa Dinasti Umayyah pada masa ini sangat berbeda dengan penguasa Khalifa al-Rasyidin. Keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat menjadi kacau, disebabkan begitu beragam dan multi-perspektifnya hukum ditengah-tengah masyarakat. Hukum yang berkembang pada masa ini, umumnya adalah hukum yang dikondisikan dan disesuaikan dengan selera para penguasa. Disamping itu, kehidupan kenegaraan mulai menyimpang dari tradisi yang murni – dalam hal ini berpegang kepada al-Qur’an dan Hadits. Hal ini terlihat dalam praktek yang dilakukan oleh para penguasa Dinasti Ummayh yang tidak berusaha untuk melindungi kemurnian dan kesinambungan praktek ritual ataupun pemikiran Islam yang ideal. Dari sini terlihat bahwa system pembinaan hukum menjadi wilayah pribadi, khususnya untuk para konsultan hukum (baca: Mufti). Implikasinya terbesarnya adalah kekacauan hukum kemudian sulit untuk dikendalikan.
Agaknya bila diperhatikan lebih kritis lagi, munculnya sikap penguasa Dinasti Umayyah seperti itu karena para penguasanya (kecuali khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Azis) tidak memahami secara mendalam syari’at Islam. Sehingga terjadilah pemisahan kekuasaan, urusan keagamaan dipegang oleh para ulama sedangkan urusan politik merupakan wilayah atau domain mutlak para khalifah. Namun demikian, kekuasaan ulama tetap sub-ordinat dari kekuasaan khalifah. Hal ini disebabkan karena khalifah merupakan penguasa tertinggi yang memiliki hak mutlak, karena mereka merupakan khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah SWT.
Dalam bidang social bidang social kemasyarakatan dapat dilihat bahwa Dinasti Umayyah telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Jazirah Arabia, Palestina, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan, Turkistan dan Kyrghistan di Asia Tengah. Wilayah yang begitu luas tersebut dihuni oleh empat tingkatan masyarakat yaitu pertama, masyarakat Arab-Muslim yang merupakan kelompok elit dalam pemerintahan. Kemudian yang kedua adalah masyarakat Mawali yaitu masyarakat Islam non-Arab. Umumnya mereka tidak memiliki posisi penting di dalam pemerintahan. Kemudian tingkatan yang ketiga adalah masyarakat non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Sedangkan tingkatan yang keempat merupakan golongan budak yang pada waktu kedatangan Islam telah dihapuskan, namun pada masa Dinasti Umayyah, golongan ini dimunculkan kembali karena ada factor kepentingan kelompok elit-kaya waktu itu. Umumnya mereka mendatangkan para budak ini dari luar jazirah Arabia.
Dalam konteks ini, politik Arabisasi dijalankan oleh Dinasti Umayyah. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa superioritas etnik. Mereka merasa bahwa derajat mereka lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Islam yang berasal dari non-Arab, sehingga orang-orang Islam non-Arab ini mereka beri gelar dengan nama jelek yaitu Mawali. Orang Arab mempersepsikan diri mereka sebagai tuan orang dari non-Arab. Seolah-olah mereka dijadikan oleh Allah SWT. Untuk memerintah. Oleh karena itu, orang-orang Islam Arab bekerja di bidang pemerintahan-politik, sementara dalam aspek profesi lainnya mereka serahkan kepada Mawali. Kebijakan yang diambil oleh para penguasa Dinasti Umayyah tersebut menimbulkan rasa tidak senang orang-orang Mawali. Mereka menganggap bahwa mereka bersama-sama dengan orang-orang Arab telah mengalami beratnya peperangan bahkan mereka merasa bahwa kecakapan mereka justru berada diatas rata-rata orang-orang Arab. Namun harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak politik tidak diberikan, seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mereka jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan yang diberikan kepada orang-orang Arab.
Konsekuensi dari diskriminasi politik ini, pada akhirnya kelompok Mawali memiliki keberanian untuk menentang kesombongan bangsa Arab dengan kesombongan pula. Dalam al-Qur’an maupun nHadits dinyatakan bahwa tidak ada kelebihan bangsa Arab atas orang ‘ajamí (Mawali), terkecuali dengan taqwanya. Oleh karena itu, dikalangan Mawali muncul gerakan yang terkenal dengan al-Syuubiyah. Gerakan tersebut bertujuan untuk melawan paham yang membedakan derajat ummat Islam serta mensosialisasikan bahwa ajaran Islam justru menekankan kepada nilai-nilai bahwa semua orang Islam adalah sama dan bersaudara.
Dalam lapangan social budaya, terlihat bahwa ummat Islam telah membuka diri untuk melakukan kontak antara bangsa Arab Muslim dengan masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang berada di luar Arab seperti Mesir, Persia dan wilayah-wilayah lainnya yang terkenal memiliki tradisi luhur. Hubungan tersebut telah melahirkan improvisasi dan kreatifitas social-kultural yang menakjubkan, terutama dalam bidang seni baik seni arsitektur maupun seni sastra. Sedangkan dalam bidang social ekonomi terlihat bahwa perekonomian ummat Islam pada masa itu tidak begitu stabil. Kondisi ekonomi terkesan fluktuatif, tergantung kepada penguasanya. Akan tetapi pada umumnya, para penguasa tidak semena-mena terhadap rakyatnya. Pajak yang dikenakan pada masa ini tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan pajak waktu Khulafa al-Rasyidin. Kekayaan yang dikumpulkan dari rakyat berupa pajak, merupakan kekayaan yang berada dalam control penuh negara, namun dapat dikendalikan dan dibelanjakan oleh Khalifah.
Dalam perkembangan sejarah Dinasti Umayyah, tidak semua khalifah Dinasti ini yang jelek, ada khalifah yang hingga sekarang tercatat dalam sejarah sebagai figure-figur teladan. ‘Umar bin Abdul Azis misalnya, yang dianggap sebagai seorang pemimpin yang jujur dan penuh kebersahajaan. Sebagai penguasa politik, ‘Umar juga dikenal sebagai figure yang sangat takut dengan dosa. Beliau pernah memberikan petunjuk kepada para gubernurnya, sebagaimana yang dikutip bebas oleh Mahmu dunnasir :
“ Jangan menganggap enteng atas dosa apapun, jangan mencoba mengurangi penduduk yang padat, jangan meminta apapun dari rakyat diluar kemampuan mereka, ambillah dari mereka sesuatu yang dapat berikan , lakukan segala sesuatunya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, memerintahlah dengan lemah lembut, jangan memberikan hadiah pada acara pesta, jangan menghargakan kitab suci, jangan membebankan pajak atas para pelancong, pernikahan, air susu unta serta jangan menuntut pajak untuk orang yang masuk Islam”.
Selama pemerintahannya, ummat Islam dibebaskan dari pembayaran pajak, mereka hanya dituntut dan diwajibkan untuk membayar zakat.
Masa ini tidak berlangsung lama, karena setelah ‘Umar wafat, keadaan mulai bertolak belakang lagi dari keadaan semula. Melihat kondisi demikian, banyak masyarakat Islam yang tidak merasa senang. Akibatnya mereka melakukan pemberontakan dan bergabung dengan para penentang Dinasti Umayyah. Keadaan ini tidak bias dikendalikan oleh Dinasti ini sehingga pada akhirnya mengalami kehancuran dengan bangkitnya kekuatan baru dari keluarga Bani Hasyim yang mendapat dukungan dari mayoritas ummat Islam terutama dukungan penuh dari kelompok yang selama ini merasa didiskriminasikan yaitu kelompok muslim non-Arab Mawali.
B. Teori Munculnya Dinasti Abbasiyah Dalam Panggung Sejarah Sebagai Sebuah Revolusi
Berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 123 H./750 M. telah mengantarkan Dinasti Abbasiyah untuk naik ke panggung kekuasaan. Dinasti Umayyah selamamasa pemerintahannya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari negeri Sindh hingga ke Spanyol. Dinasti ini telah mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi pada masanya dalam bidang ekonomi, pendidikan-keilmuan, militer dan lain-lain. Meskipun pemerin-tahan Dinasti Umayyahdipatuhi oleh sebagian besar masyarakat yang takluk dibawah kekuasaannya, akan tetapi tidak sedikitpun Dinasti ini memperoleh apresiasi dari masyarakat. Itulah sebabnya, belum sampai satu abad Dinasti Umayyah berada di panggung sejarah, akhirnya digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.
Munculnya Dinasti Abbasiyah dalam sejarah peradaban Islam, telah membawa perobahan yang cukup signifikan dan radikal dalam catatan sejarah Islam. Hal ini tidak hanya sekedar pergantian kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Karena itu, mayoritas ahli sejarah menilai bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah merupakan suatu revolusi, seperti yang dikemukakan oleh Richard N. Frye dalam artikelnya yang bertitelkan The Abbasid Conspiracy and Modern Revolutionary Theory yang menyatakan bahwa cirri-ciri yang menyertai kebangkitan Dinasti Abbasiyah sama dengan cirri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern saat sekarang ini. Frye menggunakan teori Anatomi Revolusi (Revolution Anatomy of Theory) yang dikembangkan oleh Crane Brinton ketika mengamati empat revolusi besar dalam sejarah peradaban ummat manusia yaitu revolusi Industri di Inggris, revolusi Amerika, revolusi Perancis dan revolusi Rusia.Menurut Frye, paling tidak terdapat empat persamaan yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang berkuasa mendapat kritik yang keras dari masyarakat yang disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya dalam beradaptasi terhadap perkem-bangan dan perubahan-perubahan zaman yang terjadi secara dinamis.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari kondisi awal yaitu mendukung ideology penguasa kepada wawasan baru yang ditawarkan.
4. Bahwa revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan dan kaum bawahan, melainkan juga dipelopori dan digerakkan oleh kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada atau system yang berjalan.
Sementara itu, Bernard Lewis juga menggunakan istilah revolusi ketika menguraikan kebangkitan Dinasti Abbasiyah dalam bukunya The Arab in History. Ia mengatakan :
“Penggantian Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah adalah lebih dari sekedar pergantian Dinasti atau kekuasan, melainkan suatu revolusi yang memiliki arti penting sebagai titik balik dalam sejarah Islam sebagaimana pentingnya revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah bukanlah hasil dari suatu kudeta, melainkan hasil dari suatu usaha yang panjang dan memakan waktu yang lama dengan menggabungkan berbagai kepentingan golongan masyarakat kepada tujuan yang sama, yaitu menumbangkan Dinasti Umayyah, meskipun segera setelah revolusi itu berhasil dilaksanakan, mereka pun mulai tercerai berai”.
Berkaitan dengan sebab kebangkitan Dinasti Abbasiyah ini, para ahli sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat teori yang dikemukakan yaitu :
1. Teori Faksionalisme Rasial atau Teori Pengelompok-kan Kebangsaan. Teori ini mengatakan bahwa Dinasti Umayyah pada dasarnya adalah kerajaan Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Atas perlakuan diskriminatif pihak penguasa, orang-orang Mawali merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayyahyang berpusat di Damaskus. Atas dasar itulah, menurut teori inijatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab dan bangkitnya Dinasti Abbasuyah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.
2. Teori Faksionalisme Sektarian atau Teori Pengelompo kkan Golongan Atas Dasar Paham Keagamaan.Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umayyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.
3. Teori Faksionalisme Kesukuan. Menurutv teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.
4. Teori yang Menekankan Kepada Ketidakadilan Ekonomi dan Disparitas Regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.
Dari keempat teori tersebut akan terlihat dengan jelas bagaimana Dinasti Abbasiyah bias bangkit dan berhasil mengalahkan Dinasti Umayyah. Usaha-usaha Dinasti Abbasiyah untuk menduduki jabatan khalifah tersebut sebenarnya sudah pernah dimulainya jauh sebelum masa al-Saffah yaitu semenjak kakeknya ‘Ali bin ‘Abdullah bin al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib mulai menunjukkan ambisi politik mereka. Pada masa ini, ‘Ali bin ‘Abdullah sering berkunjung ke istana Dinasti Umayyah di Damaskus, terutama pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan. Pada masa pemerintahan khalifah Walib bin ‘Abd al-Malik, ambisi politik ‘Ali bin ‘Abdullah mulai tercium oleh kalangan istana Dinasti Umayyah sehingga Walid bin Abd al-Malik berusaha mencari alas an untuk menindak ‘Ali bin Abdullah. Tiga kali ‘Ali bin Abdullah terkena hukuman pukul. Pertama sekali ketika beliau mengawini janda Abdul Malik. Perbuatan ini dianggap oleh khalifah Marwan sebagai manifestasi penghinaan terhadap ayahnya. Kemudian yang kedua ketika beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Dinasti Umayyah. Sedangkan yang ketiga, ketika ‘Ali bin Abdullah dituduh membunuh saudaranya Salid bin Abdulllah bin Abbas. Untuk kasus dan tuduhan yang ketiga ini, beliau diusir dari Damaskus dan kemudian tinggal di Humaimah hingga akhir hayatnya.
Setelah ‘Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya diteruskan oleh putranya yang bernama Muhammad. Pada masa Muhammad inilah Bani Abbas resmi berkoalisi dengan Syiah, bahkan menyatakan dirinya sebagai imam dalam kelompok tersebut – imam dari kelompok garis non-Fathimah. Ahli sejarah mengatakan bahwa Syiah dari garis Fathimah ini moderat dan mau berkoalisi dengan Dinasti Umayyah sekalipun mereka harus menyembunyikan rasa kebencian mereka kepada Dinasti Ummayah ini. Namun ada juga yang konfrontatif langsung seperti halnya pemberontakan kaum Syiah yaitu pemberontakan al-Mukhtar pada tahun 685 M.
Berkoalisi dengan Syiah ini akan mempermudah Bani Abbas dalam menambah kuantitas pengikut gerakan mereka. Ini juga sekaligus memberikan legitimasi dan justifikasi yang bersifat doktriner tentang pentingnya meruntuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepada ahlul bait dimana Abbasiyah bernaung dibawahnya. Namun sampai masa itu, gerakan Bani Abbas masih bersifat Clandesten (gerakan bawah tanah). Simbol dan slogan yang digunakan belum lagi menggunakan bendera dan slogan Abbasiyah, tetapi masih menggunakan bendera ahlul bait atau al-Ridha Muhammad. Dibawah kepemimpinan Muhammad bin ‘Ali ini, mereka berusaha meluaskan pengaruhnya ke bahagian timur wilayah Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Thabari bahwa pada tahun 100 H., Muhammad bin ‘Ali mengirimkan Maisara ke Irak untuk menjajaki dan merekrut pengikut baru bagi gerakannya. Maisara dengan mudah mendapat dukungan dari orang-orang Kuffah. Dari Kuffah ini, kemudian ia mengirimkan tiga orang dari penduduk Kuffah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasiyah. Di Khurasan, ketiga orang ini kemudian membentuk Komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Dari Komite 12 ini kemudian dibentuk lagi Komite yang lebih besar yang terdiri dari 70 orang.
Mekanisme yang demikian itu menyebabkan Bani Abbasiyah memutuskan Khurasan sebagai pusat kegiatan propagandanya. Muhammad bin ‘Ali memilih Khurasan tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Kuffah tidak dipilih karena dalam pandangan Muhammad bin ‘Ali orang-orangnya hanya mau mengikuti ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Bashrah juga tidak dimasukkan kedalam prioritas karena penduduknya banyak yang menaruh simpati kepada khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan keturunan dari Dinasti Umayyah.Jazirah Arab tidak dipilih karena kebanyakan penduduknya merupakan pengikut Khawarij. Demikian juga dengan Damaskus yang berada dibawah pengaruh Dinasti Umayyah. Sedangkan Mekkah dan Medinah tidak dipilih karena Muhammad bin ‘Ali beranggapan bahwa masyarakatnya masih mengidolakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, tetapi tidak dengan ahlul bait. Sedangkan Mesir dianggap dekat dan menjadi sekutu Damaskus. Afrika dianggap jauh secara geografis ditambah lagi dengan tipikal penduduknya yang nomaden dan memiliki kecenderungan tidak menyukai gerakan yang berbau suku Arab, apapun namanya.
Oleh karena itu, satu-satunya daerah yang ditetapkan dan dianggap strategis dari berbagai sudut pertimbangan adalah Khurasan yang terleyak jauh disebelah timur. Selain pertimbangan geografis, Khurasan juga memiliki keuntungan social lainnya terutama bagi arah gerakan. Masyarakat Khurasan tidak anti dan alergi dengan gerakan-gerakan yang berkonotasi suku Arab, bahkan sebagian masyarakatnya berkebangsaan Arab. Disamping itu, penduduk Khurasan merupakan penduduk yang bertipikal berani, kuat fisiknya, tegap dan tinggi, konsisten dan tidak mudah terpengaruh dengan rayuan-rayuan politik. Keuntungan lainnya adalah masyarakat Khurasan memiliki kekecewaan-kekecewaan terhadap Dinasti Umayyah karena kebijakan pajak kharaj yang dirasakan oleh masyarakat Khurasan sangat memberatkan.
Muhammad bin ‘Ali meninggal dunia pada tahun 742 M. dan sebelum beliau meninggal tersebut ia telah menunjuk anaknya yang bernama Ibrahim sebagai penggantinya. Di tangan Ibrahim inilah kelak gerakan Abbasiyah bersifat terbuka dan memperoleh perkembangan yang maju. Pada tahun 743 M. Ibrahim menunjuk dan mengirim Abu Muslim al-Khurasani untuk memimpin perjuangan di Khurasan. Ia sukses dalam melaksanakan tugasnya dan mendapat kepercayaan dari Ibrahim. Dalam waktu tidak kurang dari sebulan, tentara Abu Muslim telah bertambah menjadi 7000 orang. Gerakan yang diproklamasikan oleh Abu Muslim ini tidak menyebut-nyebut nama Baji Abbas. Nama yang dibawanya adalah Ridha min Ahlul Bait dan bendera yang digunakan adalah warna hitam. Oleh karena itu, dalam beberapa catatan sejarah mereka sering disebut dengan sebutan al-Suda (orang-orang yang berpakaian hitam).
Warna hitam tersebut menurut sebahagian ahli sejarah adalah untuk melambang suasana berkabung, dalam artian merupakan refleksi dari gerakan rakyat tertindas. Tetapi sebahagian ahli sejarah warna hitam tersebut adalah bentuk usaha untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang sewaktu berperang sering berpakaian hitam dan membawa bendera hitam. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bendera hitam tersebut bukanlah pilihan Abu Muslim, melainkan perintah dari Imam Ibrahim bin Muhammad di Humaima. Sedangkan tujuan gerakan yang diproklamasikan itu adalah untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW.
Walaupun jumlah tentara Abu Muslim terus bertambah, tetapi gerakan atau perlawanan bersenjata belum bisa dilakukan karena kekuatan tersebut masih dianggap belum cukup memadai. Sementara itu, Abu Muslim terus berusaha memperkuat posisinya di Khurasan. Setelah merasa kuat, beliau kemudian mengirim sebahagian tentaranya ke berbagai kota di sekitar daerah Khurasan. Umumnya kedatangan tentara Abu Muslim tidak mendapat perlawanan yang cukup resisten. Satu-satunya kesulitan yang dihadapi oleh pasukan Abul Muslim adalah ketika hendak menguasai kota Balkh dan Tirmidh. Tapi akhirnya kedua kota ini tetap bisa mereka taklukkan. Ketika Abu Muslim masih sibuk dan terkonsentrasi melakukan konsolidasi di Khurasan, beliau menunjuk Abu Jahm bin Attiya sebagai penghubung politik dengan kekuatan gerakan yang dipimpin oleh Abu Salamah di Kuffah. Karena pendukungnya kebanyakan orang Syiah yang mempunyai keyakinan bahwa Negara harus dipimpin oleh seorang imam, dan memiliki otoritas keduniaan dan otoritas keagamaan. Akhirnya mereka segera mengangkat Ibrahim bin Muhammad sebagai imam. Hal ini kemudian tercium oleh Dinasti Umayyah. Imam Ibrahim bin Muhammad kemudian ditangkap dari Humaima dan ditahan di Harat.
Ketika beliau tertangkap, Ibrahim bin Muhammad menyuruh anggota keluarganya untuk pindah ke Kuffah karena disana gerakan telah menguasai keadaan. Beliau meninggal dalam penjara pada tahun 132 H. tepatnya pada bulan Agustus 749 M. Namun mayoritas orang berpendapat bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, Imam Ibrahim bin Muhammad sempat berwasiat supaya jabatannya sebagai imam digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas ‘Abdullah bin Muhammad. Tetapi ada sumber yang menyangkal pendapat ini.
Kurang lebih dua bulan lamanya setelah Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia, maka anggota gerakan mengambil kebijakan dengan mengangkat Abu ‘Abbas bin Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin. Abul Abbas menerima dengan senang hati. Tahun 122 H./749 M. Abul Abbas dibawa ke masjid Kuffah dan secara resmi kemudian diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dengan dibai’atnya Abul Abbas sebagai khalifah, belum berarti gerakan ini sudah selesai karena kekuasaan mereka baru mencakup Khurasan dan Irak. Sedangkan di Damaskus masih berdiri Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad. Karena itu, prioritas dan langkah pertama yang dilakukan oleh Abul Abbas adalah mengirim pasukannya ke Damaskus untuk menghadapi tentara khalifah Marwan bin Muhammad.
Pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah terjadi di tepi sungai Zab yang terletak antara Mosul dan Ibriel pada bulan Januari 750 M./123 H. Dalam pertempuran yang sengit tersebut, pasukan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad mengalami kekalahan total. Marwan dan tentaranya yang masih tersisa berusaha melarikan diri dengan menyeberangi sungai Tigris menuju Harran, kemudian pindah ke Damaskus dan terus ke Mesir. Di Mesir inilah khalifah Marwan bin Muhammad mati terbunuh, tepatnya pada awal Agustus 750 M./ 123 H. Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dan kemudian secara resmi dalam sejarah berdirilah Dinasti Abbasiyah dengan Abu al-‘Abbas bin Muhammad sebagai khalifahnya yang pertama.
CAPAIAN SEJARAH DINASTI ABBASIYAH
Setelah melalui perjuangan yang demikian panjang dan sangat melelahkan, akhirnya Dinasti Abbasiyah berhasil menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah yang telah berkuasa selama lebih kurang 90 tahun. Sejarah kemudian mencatat bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, ummat Islam mencapai puncak peradabannya terutama dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Peradaban Islam menjadi trend-setter peradaban-peradaban ummat manusia lainnya pada masa itu. Berbagai kemajuan dan perobahan telah terjadi pada masa ini, terutama bermula sejak khalifah Al-Mansur (136-158 H./754-775 M.) sampai masa pemerintahan Al-Mutawakkil (232-247 H./847-861 M.). Oleh karena itulah, tidaklah berlebihan bila Harun Nasution menyebut masa ini sebagai masa kemajuan Islam serta masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Diantara kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini adalah :
A. Bidang Ekonomi
Pada masa Dinasti Abbasiyah memerintah, masyarakatnya cenderung heterogen dalam aspek profesi. Golongan menengah ke atas pada umumnya berprofesi sebagai produser, pedagang, seniman, pengarang dan ahli teknik. Sedangkan golongan menengah ke bawah pada umumnya berprofesi sebagai petani dan penggembala ternak. Secara kasat mata, pada masa ini telah terlihat kecenderungan pengelompokkan ataupun karakteristik profesi yang berhubungan dengan kelompok ataupun strata social yang ada. Peranan ekonomi sangat disadari oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah dalam menentukan maju mundurnya suatu pemerintahan. Oleh sebab itu, mereka memberikan perhatian khusus pada bidang ini. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan riil bahwa sector ekonomi harus mendapatkan perhatian yang serius karena sector ini memiliki kontribusi besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Devisa dan dana Negara berkorelasi dengan kemapanan dan stabilitas jalannya roda pemerintahan.
Berbeda halnya dengan Dinasti Umayyah yang lebih mengandalkan perolehan pendapatan Negara dari sector ghanimah dan jizyah sebagai bentuk hasil dari ekspansi atau perluasan daerah, maka Dinasti Abbasiyah justru menekankan pendapatan ekonomi dari sumber-sumber dalam negeri. Sektor-sektor ataupun sumber-sumber perekonomian dalam negeri yang dikembambangkan pada masa Dinasti Abbasiyah tersebut antara lain :
1. Sektor Pertanian
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan sector pertanian. Para petani dibina dan diarahkan serta pajak bumi yang dikenakan pada mereka diminimalisir, bahkan pada daerah-daerah tertentu, masyarakatnya sama sekali dibebaskan dari membayar pajak. Disamping itu, para petani diperlakukan dengan baik serta hak-hak mereka dilindungi dari praktek-praktek ekonomi yang dapat menekan mereka. Para khalifah begiti bersemangat mendorong para petani dalam menggalakkan usaha-usaha mereka. Hal ini terbukti dengan dibangunnya berbagai infrastruktur pertanian seperti irigasi, kanal dan lain-lain. Semua ini dilakukan dalam rangka mempermudah pendistribusian air untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Tercatat dalam sejarah Islam bahwa luasnya areal pertanian yang dialiri sungai pada masa itu mencapai 36.000 jarib (satu jarib itu sama dengan 9000 hektar). Selain itu, juga dibangun infrastruktur lainnya seperti transportasi yang dapat memperlancar transportasi dan distribusi hasil-hasil pertanian. Dengan dilengkapi oleh berbagai infrastruktur tersebut, maka hasil pertanian menjadi berlipat ganda dan mudah dipasarkan.
Disamping itu, juga didirikan sekolah-sekolah pertanian. Melalui sekolah ini diharapkan para siswanya dapat mengetahui berbagai macam jenis-jenis tumbuhan serta bentuk-bentuk tanah yang baik. Mereka juga diajarkan pengetahuan tentang berbagai macam dan bentuk pupuk-pupuk yang baik, sehingga produktifitas hasil pertanian seperti gandum, zaitun dan lain-lain menjadi lebih berlipat ganda. Perhatian yang begitu besar dari pemerintah Dinasti Abbasiyah terhadap bidang pertanian ini menyebabkan munculnya para ahli pertanian. Mereka inilah yang kemudian diharapkan untuk menjadi pelatih atau Pembina petani untuk dapat bercocok tanam dengan baik agar yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Sektor Perindustrian
Disamping sector pertanian, sector perindustrian juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Kegiatan-kegiatan industri berkembang dengan pesat karena ditunjang oleh beberap factor diantaranya :
- Potensi alam berupa barang tambang seperti perak, tembaga, biji besi dan lain-lain. Serta hasil pertanian sebagai bahan baku industri.
- Adanya usaha alih teknologi industri seperti dari tawanan serdadu Cina yang dikalahkan dalam pertempuran di Asia Tengah pada tahun 751 M./124 H. Mereka pada umumnya adalah ahli dalam bidang industri. Untuk itu, khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka khususnya industri kertas.
Nampaknya disini penguasa Dinasti Abbasiyah sangat menyadari bahwa potensi yang dimiliki oleh serdadu Cina yang ditawan yang umumnya memiliki keahlian dalam bidang industri dipandang cukup signifikan untuk dimanfaatkan bagi kemajuan masyarakat dan industri pada masa itu. Kemajuan dalam sector perindustrian ini menyebabkan munculnya kota-kota industri yang menghasilkan barang-barang industri yang beraneka ragam seperti permadani, sutra, hiasan-hiasan, gelas, keramik, berbagai jenis kain seperti katun, wool, satin, brokat, sofa dan penutup kasur serta perabot rumah tangga lainnya termasuk perabotan dapur. Di kota Baghdad saja telah terdapat 400 buah kincir air, 4000 pabrik gelas, 30.000 kilang keramik. Ditambah lagi dengan dibangunnya pabrik sabun di Bashrah dan Samarah. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kemajuan dalam sector industri ini telah menjadikan beberapa kota dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sebagai kota industri yang telah mampu menghasilkan berbagai bentuk dan jenis barang-barang industri.
3. Sektor Perdagangan
Sejalan dengan perkembangan sector pertanian dan perindustrian, sector perdagangan juga mengalami peningkatan. Pada masa ini banyak didirikan kota-kota dagang dan kota-kota pelabuhan yang menghubungkan lalu lintas perdagangan antara Barat dan Timur Jauh. Diantara kota dagang yang didirikan tersebut adalah Baghdad, Bashrah, Samarrah dan kota-kota besar lainnya.
Kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah yang dibangun oleh khalifah Al-Mansur (khalifah ke-dua dari Dinasti Abbasiyah) merupakan kota yang sangat indah, disamping letaknya yang sangat strategis. Kota ini dikenal dalam cerita “Seribu Satu Malam” (The Thousand and One Night). Kota ini terletak antara sungai Tigris di sebelah Timur dan Eufrat di sebelah Barat. Semua kapal yang masuk ke Tigris dari Wasith, Bashrah, Awaz, Fars, Yamamah, Bahrain dan daerah-daerah sekitarnya akan membongkar muatan kapal ini. Begitu juga dengan kapal-kapal barang yang masuk dari Mosul lewat Tigris, Diyar, Rabi’a, Mudur, raga, Syiria dajn perbatasan yang sejajar dengan Mesir dan Afrika Utara. Kota-kota transit yang menghubungkan lalu lintas perdagangan antara Barat dan Timur Jauh tersebut, maka dibuka kantor perwakilan dagang India dan Cina.
Kapal-kapal dagang Arab pada waktu itu tidak hanya menjangkau daerah-daerah di sekitar wilayah kekuasaan Abbasiyah saja, akan tetapi sampai ke Ceylon (Negara Sri langka sekarang: ed.), Bombay dan bahkan telah sampai ke kota-kota pelabuhan di Indo Cina dan Tiongkok. Dari sini terlihat bahwa sector perdagangan pada masa ini telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Suatu hal yang menarik dicatat adalah diperkenalkannya system perbankan dengan tujuan untuk mempermudah kelancaran arus lalu lintas uang dan moneter terutama pertukaran uang karena daerah bagian timur menggunakan uang dirham perak, sementara daerah bagian barat menggunakan mata uang dinar emas. Suatu fenomena yang sangat menakjubkan bila dilihat dari perspektif masa itu.
Disebabkan oleh kemajuan yang demikian, maka Negara memperoleh devisa yang sangat banyak yang pada umumnya devisa tersebut dialokasikan untuk berbagai keperluan rakyat dan pemerintah. Secara keseluruhan, sumber devisa Negara pada masa Dinasti Abbasiyah berasal dari pajak hasil bumi (kharaj), pajak jiwa (jizyah), berbagai macam bentuk zakat, pajak perniagaan dan cukai (unsyur), dan pembayaran dari pihak musuh yang kalah dalam peperangan (fai). Semua pendapatan yang diperoleh tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kas Negara (dalam hal ini baitu al-mal) yang berfungsi sebagai tabungan Negara. Pendapatan yang dikumpulkan tersebut sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat dan jalannya roda pemerintahan. Sedangkan pengeluaran Negara mencakup pembayaran gaji para qahi, perbaikan aliran sungai dan perbaikan irigasi, pembiayaan narapidana, biaya perang dan hadiah bagi para ulama dan sastrawan.
B. Bidang Administrasi Pemerintahan
Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang bersifat monarkis, tetap mempertahankan kekuasaan tertinggi berada ditangan khalifah. Sebagai kepala Negara dalam dunia Islam dan sebagai symbol yang merepresentasikan kesatuan ummat Islam. Khalifah mempunyai kewajiban untuk menangani seluruh persoalan ummat Islam, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan, atau dengan kata lain, khalifah tersebut berfungsi sebagai pemimpin spiritual (pemimpin dalam bidang keagamaan) dan sekaligus sebagai pimpinan temporal (pemimpin dalam hal-hal yang bersifat keduniaan).
Disamping itu, khalifah juga mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan pengawasan kemurnian doktrin-doktrin Islam dan pelaksanaannya. Akan tetapi, sebagai pengganti dari Nabi Muhammad SAW., bagaimanapun juga khalifah tidak berhak untuk mengemukakan atau menetapkan doktrin-doktrin hokum. Mereka hanya bisa mempertahankan dan melaksanakan doktrin-doktrin hokum Islam yang sudah ada yang yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa khalifah, betapapun besar kekuasaannya (mencakup keagamaan dan keduniaan), namun khalifah tidak berhak membentuk dasar hukum baru. Dalam artian mereka hanya bias mengatur apa yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai doktrin hukum Islam.
Adapun dasar-dasar daripada pemerintahan Dinasti Abbasiyah diletakkan oleh khalifahnya yang kedua yaitu khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Dialah yang dikenal sebagai pembangun dari Dinasti Abbasiyah. Disamping itu, khalifah Al-Manshur atas saran dari Ibn al-Muqaffa’ telah berhasil membentuk konstitusi (Undang-Undang Dasar) negara yang baru yang dinamakan dengan Namus. Dengan konstitusi baru tersebut inilah pemerintah Dinasti Abbasiyah dijalankan. Dalam menjalankan wewenang sipilnya, khalifah menyerah kan kepada wazir atau Perdana Menteri, kekuasaan pengadilan kepada al-qadhi atau hakim dan kekuasaan militer kepada amir al-umara’ atau panglima perang. Namun demikian, bagaimanapun juga khalifah merupakan penentu terakhir dari seluruh urusan-urusan pemerintahan, baik yang bersifat birokratis maupun politis. Dengan demikian, terdapat tiga lembaga resmi pemerintahan dibawah khalifah yaitu wazir, al-qadhi dan amir al-umara’.
Dalam struktur pemerintahan, posisi wazir sangat penting, karena ia merupakan tangan kanan khalifah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Perdana Menteri, lembaga wazir tersebut terbagi atas dua bagian yaitu Wazir Tanfiz yang memiliki otoritas terbatas (with excecutive ower only) dan Wazir Tafwidh yang memiliki otoritas penuh (withfull authority unlimited). Ini memperlihatkan bahwa wazir yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah memiliki kedudukan yang berbeda. Namun demikian, kedua macam lembaga wazir tersebut dalam operasionalnya, merupakan pembantu khalifah dalam melaksanakan urusan-urusan kepemerintahan.
Qadhi al-Qudhat diangkat oleh khalifah untuk memimpin lembaga pengadilan. Ia berasal dari kalangan ahli hokum (fiqh, jurist) dan berkedudukan di ibu kota pemerintahan. Sedangkan untuk wilayah propinsi, diangkatlah para hakim yang bertindak sebagai wakil dan diangkat oleh Qadhi al-Qudhat. Dalam hal ini terdapat dua bentuk pengadilan, yaitu : Satu, bersifat umum dan mutlak. Kedua, bersifat khusus dan terbatas. Bentuk pengadilan pertama bertugas untuk memutuskan perkara, bertanggung jawab atas penyantunan anak yatim, orang-orang gila, anak-anak terlantar serta mengelola lembaga-lembaga amal dan mengangkat para hakim ditingkat propinsi. Sedangkan bentuk pengadilan yang kedua hanya bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh khalifah atau wazir. Qadhi al-Qudhat yang diangkat oleh khalifah dalam melaksanakan tugas-tugasnya, ia dibantu oleh para hakim. Akan tetapi dalam menetapkan suatu perkara, walaupun ia telah diberi wewenang, namun ia tidak dapat menjatuhkan hokum secara leluasa tanpa persetujuan khalifah, karena bagaimanapun juga, khalifah merupakan ujung atau akhir dari semua keputusan politik dan birokratis.
Amir al-Umara’, istilah ini pada awalnya dipakai dalam kalangan internal militer. Sebagai sebuah jabatan konstitusional, mula-mula diperkenalkan oleh khalifah Al-Radi (322-329 H./934-940 M.). Pada waktu itu, beliau mengangkat Ibn Ra’iq sebagai amir al-umara’ dengan kekuasaan yang cukup besar atas tentara, pengumpul pajak dari seluruh negeri serta penjaga keamanan Negara. Suatu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kedudukan militer dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah dipandang penting dan strategis sekali. Negara sangat mengandalkan kekuatan militer yang jumlah tentaranya mencapai ratusan ribu personel. Setiap tentara menerima gajinya secara teratur yang pembayarannya ditanggung oleh Negara. Kelompok tentara ini dinamakan dengan Nidhami atau Murtaziwqah, disamping itu juga terdapat korp pasukan yang disebut dengan Muthathawwi’ah (pasukan Voulounter), dimana mereka menerima gaji saat mereka bertugas.
Korp pasukan tentara juga dibedakan menurut daerah asal mereka seprti kelompok al-Hadabiyah (pasukan berkuda : kavaleri) yang umumnya berasal dari bangsa Arab. Selain dari itu, pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim (218-227 H./833-842 M.), beliau telah mengambil tentara dari bangsa Turki dan bahkan juga diangkat menjadi pengawal istananya (seperti Paspampres di Indonesia pada masa sekarang). Selain dari Turki, khalifah juga merekrut tentara dari Mesir. Kebijakan yang diambil ini memperlihatkan adanya internasionalisme dalam tubuh atau korp militer.
Pada masa ini keorganisasian tentara telah diatur secara sistematis dan professional. Seperti yang digambarkan oleh M. Jalal Syaraf bahwa hirarkis atau organisasi kepemimpinan tentara pada masa itu adalah sebagai berikut : setiap sepuluh orang tentara dikepalai oleh seorang arif (komandan regu), setiap sepuluh orang arif dikepalai noleh seorang naqib i(komandan kompi) dan setiap sepuluh orang naqib dikepalai oleh seorang qaid (komandan batalyon) serta setiap orang qaid dikepalai oleh seorang amir (panglima divisi).
Disamping lembaga-lembaga diatas, juga terdapat lembaga-lembaga lain yang pada dasarnya sudah ada sejak zaman Dinasti Umayyah bahkan sudah eksis pada waktu Khulafa al-Rasyidin, namun pada masa Dinasti Abbasiyah, fungsi dan organisasi-birokratisnya lebih dilengkapi lagi, diantaranya :
1. Khatib al-Rasa’il dimana lembaga ini sudah ada pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah yang terkenal dengan nama Diwan al-Rasail. Pada masa Dinasti Abbasiyah, lembaga ini kemudian dikembangkan. Diantara tugas-tugasnya adalah menulis surat-surat politik dan mencap-nya dengan cap khalifah serta membalas surat-surat resmi. Ia duduk bersama khalifah dalam mejelis hakim untuk menganalisa kejahatan-kejahatan yang terjadi.
2. Al-Hijabah. Tugas dari lembaga ini sama dengan tugas sekretaris Negara (Setneg.) pada masa sekarang ini yaitu mengerjakan tugas-tugas yang bersangkutan dengan istana. Lembaga ini dapat menyaring atau menerima dan menolak orang yang ingin berjumpa dengan khalifah.
3. al-Imarah Ala al-Buldan yaitu lembaga yang mirip dengan Diwan al-Kharaj pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Hanya saja namanya yang berobah, akan tetapi substansi kerjanya sama. Daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang demikian luas tersebut, maka wilayah kekuasaannitu dibagi atas dua belas propinsi seperti Mesir, Persia, Kuffah, Bashrah, Hijaz, Khurasan dan lain-lain. Para gubernur di daerah-daerah tersebut dibantu al-Imarah Ala al-Buldan untuk mengumpulkan pajak di daerah-daerah. Pajak-pajak tersebut kemudian diserahkan kepada gubernur sesuai dengan anggaran belanja daerahnya. Sedangkan sisanya dikirimkan atau dikembalikan ke pusat dan dimasukkan ke dalam kas Negara (baitul mal). Semua pendapatan yang terkumpul dalam kas Negara tersebut pada prinsipnya digunakan untuk kepentingan rakyat.
4. al-Syurthah yaitu lembaga kepolisian yang sebenarnya telah ada sejak zaman khalifah Umar bin Khattab, namun baru dalam bentuk yang sangat sederhana sekali. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, lembaga ini kemudian dikembangkan menjadi lembaga kepolisian yang lebih sistematis dan professional. Sementara itu, orang-orang dalam lembaga ini yang khususnya untuk melakukan penyelidikan dan hukuman kejahatan sesudah hakim dinamakan dengan Shahib al-Syurthah.
5. el-Barid yaitu lembaga yang memiliki tugas-tugas untuk menyampaikan berita-berita kepada khalifah. Lembaga ini sebenarnya telah ada semenjak zaman pemerintahan Dinasti Umayyah. Lembaga ini juga menjalankan fungsi-fungsi spionase dimana juga bertugas sebagai intelejen khalifah. Lembaga ini juga menyampaikan instruksi-instruksi khalifah ke propinsi-propinsi dan menerima berita dari propinsi tersebut untuk kemudian disampaikan kepada khalifah.
6. al-Dawawien. Lembaga ini telah ada semenjak zaman Dinasti Umayyah, akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dikembangkan bentuk dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan pada masa itu, seperti :
- Diwan Aziman yaitu Departemen Pengawasan Urusan-Urusan Negara.
- Diwan Nadhar fi al-Mazalim yaitu Departemen Pembelaan Rakyat Tertindas.
- Diwan Ziman an-Nafaqah (Departemen Pengawasan Keuangan)
- Diwan Kharaj (Departemen Perpajakan)
- Diwan Diyat (Departemen Kehakiman)
- Diwan al-Akhdas wa asy-Syurthah (Depar-temen Keamanan dan Kepolisian)
- Diwan Jund (Departemen Ketentaraan)
- Diwan al-‘Atha’ wa al-Hawaij (Departemen Sosial)
- Diwan al-Barid (Departemen Pos)
- Diwan al-Akhasyam (Departemen Urusan Keluarga dan Wanita)
- Diwan al-Akarah (Departemen Pekerjaan Umum)
- Diwan al-Mawali wa Ghilman (Departemen Pencatat dan Pelindung Masyarakat Mawali dan Budak)
- Diwan al-Rasail (Sekretaris Negara).
Melihat keteraturan system birokrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, setidaknya untuk masa atau zaman mereka, tidaklah mengherankan kemudian apabila Dinasti ini mampu bertahan atau survive dalam sejarah peradaban Islam dalam rentang waktu yang sangat panjang.
C. Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Para pemikir muslim tidak hanya menterjemahkan karya asing ke dalam bahasa Arab, baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi mereka memberikan ulasan, pemodifikasian, penyempurnaan dan penyesuaian dengan konteks dengan agama mereka (dalam hal ini agama Islam). Akibatnya, lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam khazanah intelektual Islam. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu secara garis besarnya terbagai kepada dua bagian, yaitu :
1. Ilmu-Ilmu Naqliyah (Ilmu Pengetahuan Agama)
Diantara ilmu-ilmu naqliyah tersebut yang berkembang pesat pada masa ini adalah sebagai berikut :
a.1. Ilmu Tafsir
Kalau diperhatikan, ilmu tafsir mengalami perkembangan yang pesat dalam masa ini. Hal ini terlihat dengan munculnya dua aliran dalam ilmu tafsir yaitu aliran Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan kepada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits dan pendapat-pendapat para sahabat. Sedangkan aliran yang kedua lebih banyak berpijak pada logika daripada nash. Metode kedua ini nampaknya banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, agaknya tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa tanpa adanya perkembangan pemikiran filsafat, maka aliran tafsir yang kedua ini tidak dapat berkembang dengan baik.
Diantara ulama-ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H.) dengan karangannya yang bertitelkan Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Kemudian juga dikenal Al-Baidhowi dengan karangannya Mu’allim al-Tanzil, Al-Zamakhsyarri dengan karangannya yang berjudul al-Kasyaf, Al-Razi dengan Tafsir al-Kabir dan lain-lain. Perkembangan ilmu tafsir pada masa ini sudah sangat meluas. Hal ini disebabkan oleh karena sebahagian besar ulama-ulama dalam bidang ilmu lainnya juga berupaya untuk mengembangkan ilmunya dengan dalil-dalil ayat al-Qur’an seperti ilmu nahwu, ilmu fiqh dan lain-lain.
a.2. Ilmu Hadits
Pada masa pemerintahan ‘Umar bin Abd Azis (99-101 H./717-720 M.) dari Dinasti Umayyah, sudah dimulai usaha-usaha untuk mengumpulkan dan membukukan hadits. Tetapi perkembangan ilmu hadits yang paling menonjol justru terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sebab dalam masa inilah banyak bermunculan ulama-ulama yang memfokuskan ilmu dan usaha mereka pada hadits-hadits yang belum ada tandingannya hingga saat sekarang ini. Para ulama-ulama tersebut berhasil menyusun kitab-kitab hadits yang masih dapat kita temukan pada masa sekarang ini.
Diantara ulama-ulama hadits yang terkenal adalah Imam Bukhari (w. 256 H.). Beliau telah berhasil mengumpulkan sebanyak 7.257 hadits. Setelah diteliti kembali secara hati-hati dan intensif, maka ditemukanlah sekitar 4.000 hadits. Semua hadits ini terkumpul dalam kitab Shahih al-Bukhari. Kemudian Imam Muslim (w. 251 H.) terkenal dengan salah seorang ulama hadits dengan kitabnya Shahih Muslim. Kitab karangan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas lebih berpengaruh bagi ummat Islam dari pada kitab-kitab hadits lainnya seperti Sunan Abu dawud karangan Abu Dawud (w. 275 H.), Sunan al-Turmudzi karangan Imam al-Turmudzi (w. 278 H.), Sunan al-Nasai karangan Imam al-Nasa’i (w. 3030 H.) dan Sunan Ibn Majah oleh Imam Ibn Majjah (w. 375 H.). Keenam buku-buku hadits yang disebutkan diatas tersebut lebih popular disebut dengan al-Kutub al-Sittah. Kitab-kitab hadits inilah yang menjadi pedoman bagi para ulama hadits pada masa-masa selanjutnya.
a.3. Ilmu Fiqh
Agaknya tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa dasar-dasar ilmu fiqh disusun pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Ilmu tersebut disusun oleh ulama-ulama terkenal pada masanya dan memiliki pengaruh yang cukup besar hingga saat sekarang ini. Dikalangan ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, muncul tokoh-tokoh seperti Imam Abu Hanifah (80-150 H.), yang dalam ijtihadnya lebih cenderung memakai akal. Imam Anas ibn Malik (93-179 H.), lebih cenderung memakai hadits dan menjauhi pemakaian rasio sampai batas tertentu. Imam Anas ibn Malik (93-179 H.) lebih cenderung memakai hadits dan menjauhi pemakaian rasio sampai batas-batas tertentu. Imam Syafii (150-204 H.) yang berusaha mengkompromikan antara ahl al-ra’yi dengan ahl al-hadits dalam fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dibandingkan dengan aliran-aliran fiqh yang lainnya. Kitab-kitab fiqh karangan ulama-ulama tersebut hingga hari ini masih dapat ditemukan, seperti al-Muwatha’, al-Um, al-Risalah dan sebagainya. Buku-buku fiqh yang telah dihasilkan pada masa ini menjadi patokan bagi para ulama fiqh berikutnya.
a.4. Ilmu Kalam (Teologi Islam)
Awal munculnya teologi Islam berakar pada perdebatan politis dan teologis yang bersifat internal semenjak masa pemerintahan Dinasti Umayyah, seperti Khawarij, Syiah, Murjiah dan Muktazilah. Akan tetapi perkembangannya justru lebih berakar dari factor-faktor eksternal yang muncul semenjak abad ke-dua Hijriyah. Hal ini terlihat bahwa pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa ini yaitu setelah terjadinya kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran-pemikiran berbasiskan epistimologi rasional. Pemikiran Yunani tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan pemikiran ummat Islam sehingga mereka bisa memaksimalkan rasio mereka dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan yang mereka hadapi. Disamping itu, ummat Islam pada masa ini telah berkenalan dan berinteraksi dengan bangsa-bangsa yang secara histories telah memiliki nilai-nilai peradaban tinggi seperti di Iskandariyah, Mesir, Yudhisapur dan lain-lain. Oleh karena itu, para ulama dituntut untuk memiliki kemampuan penafsiran sesuai dengan tingkat peradaban atau alam pemikiran peradaban bangsa-bangsa tersebut.
Pada masa ini, bermunculan beberapa orang ulama dari golongan atau aliran Mu’tazilah yang lebih apresaitif terhadap akal atau rasio, seperti Washi bin Atha’ (81-131 H.), Abu Huzail (135-235 H.) dan al-Nadzham (185-221 H.). Uraian-uraian ulama Mu’tazilah ini lebih rasional dan arena itu memiliki potensi untuk lebih mudah dimengerti oleh orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Bahkan pada masa khalifah al-Makmum (198-218 H./813-833 M.), tepatnya pada tahun 212 H./827 M. aliran Mu’atazilah dijadikan sebagai mazhab resmi Negara.
Disamping itu, pada masa ini muncul pula seorang ulama ilmu kalam yang terkenal dan sangat besar pengaruhnya sampai sekarang yaitu Abu Hasan al-Asyari (259-323 H./873-935 M.) yang berusaha menjembatani pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dengan al-hadits. Hal ini mampu dilakukannya karena dia telah lama menjadi pengikut aliran Mu’tazilah, maka pemikirannya juga telah lama dipengaruhi oleh aliran pemikiran Yunani. Kemudian muncul pula ulama-ulama pendukung al-Asyari seperti al-Juwaini (419-478 H.) dengan karangannya yang berjudul al-Luma’ al-Adillat fi Qawa’id ‘Aqidah ahli al-Sunnah wa al-Jamaah dan al-Irshad ilaa Qawaathii al-Adillat fi Ushul al I’tiqad dan Imam Al-Ghazali (1058-1111 M.).
a.4. Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lainnya, juga mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini. Perkembangan pesat ilmu ini juga didasari oleh arti pentingnya bagi ummat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Substansi ilmu ini, manusia boleh mengejar kehidupan dunia asal tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah SWT. Kehidupan ini bukan hanya di dunia saja akan tetapi masih ada kehidupan yang lain yang lebih hakiki dan abadi.
Oleh sebab itu, pada masa Dinasti Abbasiyah ini banyak bermunculan ahli-ahli tasauf yang terkenal diantaranya Imam Al-Ghazali, seorang ulama Sunni yang pada telah menulis kitab Ihya Ulum al-Din. Kitab yang terdiri dari lima jilid ini hingga saat sekarang dianggap sebagai salah satu kitab paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran ummat Islam. Kitab yang terdiri dari lima jilid ini hingga saat sekarang dianggap sebagai salah satu kitab paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran ummat Islam. Disamping Imam Al-Ghazali, dikenal juga Al-Hallaj (858-922 M.) yang menulis buku tentang tasuf berjudul al-Thawashin, kemudian Al-Thusi dengan bukunya yang bertitelkan al-Lam’u fi al-Tasawuf, Al-Qushairi (w.465 H.) dengan bukunya yang berjudul al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawuf dan lain-lain.
2. Ilmu-Ilmu Aqliyah (Ilmu Pengetahuan Umum)
Selain ilmu-ilmu naqliyah, pada masa ini juga berkembang ilmu-ilmu ‘aqliyah seperti :
b.1. Filsafat
Khalifah Harun Al-Rasyid dan al-Makmum adalah khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang concern terhadap filsafat, terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Mereka mengada-kan hubungan kerja sama dengan raja-raja dari Bizantium dalam pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa ini muncul para filosof-filosof muslim dengan berpuluh-puluh kitab karangan mereka tentang filsafat. Para filosof muslim yang terkenal pada masa ini diantaranya al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina. Ketiga tokoh filosof ini merupakan mata rantai perkembangan filsafat Islam. Al-Kindi merupakan peletak dasar pengintegrasian antara filsafat Yunani dengan Islam. Kemudian al-Farabi melanjutkannya, dan Ibnu Sina memfinalkannya. Disamping itu, sekitar tahun 358 H./970 M. di Baghdad berkembang perkumpulan filsafat yang sekaligus bergerak dalam bidang religio-politik dengan nama Ikhwan al-Shafa.
Pandangan para filosof muslim tersebut para umumnya dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani, terutama Aristoteles, Plato serta Neo-Platonik. Namun demikian, menurut Harun Nasution, keduanya harus dibedakan. Kalau pemikiran para filosof Yunani bersifat sekuler, tanpa adanya ikatan dengan ajaran agama tertentu, maka pemikiran para filosof Islam bersifat agamais, terikat dengan ajaran atau nilai-nilai agama Islam. Selanjutnya, pemikiran para filosof Yunani ini mampu berinteraksi dan berintegrasi dengan para filosof Islam karena pemikiran para filosof Yunani tersebut mudah disesuaikan dengan ajaran Islam yang tentunya terlebih dahulu harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
b.2. Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran sudah eksis dalam sejarah peradaban ummat Islam sejak masa Dinasti Umayyah. Hal ini terbukti dengan adanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Yudhisapur dan di Harran. Akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu kedokteran tidak begitu berkembang. Hal ini terbukti dengan adanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Yudhisapur dan di Harran. Akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu kedokteran tidak begitu berkembang. Hal ini terbukti dengan adanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Yudhisapur dan di Harran. Akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu kedokteran tidak begitu berkembang. Pada masa Dinasti Abbasiyah, perkembangan ilmu kedokteran menunjukkan perkembangan yang demikian maju. Terutama setelah George Bakhtisyu, seorang dokter dari Yudhisapur berhasil mengobati khalifah al-Manshur sampai sembuh. Ilmu kedokteran sudah eksis dalam sejarah peradaban ummat Islam sejak masa Dinasti Umayyah. Hal ini terbukti dengan adanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Yudhisapur dan di Harran. Akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu kedokteran tidak begitu berkembang. Pada masa Dinasti Abbasiyah, perkembangan ilmu kedokteran menunjukkan perkembangan yang demikian maju. Terutama setelah George Bakhtisyu, seorang dokter dari Yudhisapur berhasil mengobati khalifah al-Manshur sampai sembuhAkibatnya, perhatian khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah bertambah terhadap ilmu kedokteran ini serta mendorong para ulama dan ilmuan untuk mendalaminya.
Pada masa ini muncullah beberapa orang ilmuan muslim yang terkemuka dalam bidang kedokteran seperti Abu ‘Ali al-Hasan bin al-Haithami atau dalam khazanah Barat biasa dipanggil dengan Al-Hazen (355-429 H./966-1038 M.) adalah merupakan ahli mata dengan karyanya yang bertitelkan Optics. Ibnu Sina atau biasa dipanggil dengan Avissena (370-428 H./980-1037 M.) dengan karyanya al-Qanun fi al-Thib, merupakan salah satu buku yang hingga hari ini dipakai sebagai rujukan primer ilmu kedokteran. Perkembangan ilmu astronomi tersebut telah membawa ummat Islam dapat mengetahui benda-benda ruang angkasa seperti mereka telah dapat mengetahui gerak dan arah matahari awal bulan. Ini sangat urgen sekali dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal.A-Razi dengan karyanya yang berjudul al-Hawi yang terdiri dari 20 Jilid, dipandang sebagai salah satu buku induk dalam ilmu medis. Ibnu Sina dan Al-razi disamping dipandang sebagai pakar dalam ilmu kedokteran, juga dianggap sebagai filosof besar dan fisikawan terkemuka. Disamping itu, pada masa Dinasti Abbasiyah ini banyak didirikan rumah sakit serta bermunculannya berbagai cabang ilmu kedokteran seperti ilmu bedah, farmasi, kesehatan mata dan lain-lain.
b.3. Ilmu Matematika
Dinasti Abbasiyah nampaknya memberikan perhatian yang cukup besar kepada perkembangan ilmu ini, sebab disiplin ilmu ini dianggap penting untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Dalam bidang matematika ini, muncul tokoh-tokoh Islam yang sangat terkenal hingga sekarang seperti al-Khawarizmi (164-235 H./780-850 M.) – seorang ahli matematika pertama dalam dunia Islam yang mengadopsi system angka Sanskerta (Hindi) dan mentransformasikannya menjadi angka Arab. Al-Khawarizmi mengarang buku yang berjudul Al-Jabr dan al-Mukabala yang merupakan buku pertama tentang ilmu pasti paling sistematis dalam sejarah pemikiran ummat manusia. Dari buku inilah kemudian dikenal istilah-istilah yang hingga hari ini dipakai dalam matematika seperti aljabar dan logaritma. Bahkan kemajuan matematika yang dihasilkan oleh ummat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah ini telah menyumbangkan pemakaian angka-angka Arab dalam matematika. Tokoh-tokoh lainnya yang terkenal dalam bidang ini antara lain ‘Umar Kayam, al-Thusi, al-Biruni, Abu Kamil dan Abu al-Wafa’ Muhammad bin Isma’il bin al-Abbas. Hasil-hasil temuan mereka tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan matematika sebagai salah satu disiplin ilmusekarang ini. Bahkan angka Arab sangat kontributif terhadap pembuatan mesin hitung yang dipakai manusia masa sekarang.
b.4. Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi juga mendapat perhatian serius dari para ilmuan pada masa Dinasti Abbasiyah ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bermunculan para ilmuan atau tokoh-tokoh ilmu astronomi yang sangat berpengaruh pada masa ini seperti Ibrahim al-Fazari. Ibrahim al-Fazari dikenal dalam sejarah Islam sebagai astronom Islam yang pertama sekali membuat astrolobe. Al-Farghani menulis ringkasan ilmu astronomi yang berjudul al-Harkat al-Samawat wa Jawami’ ‘Ilm al Nujum dan al-Mudkhi Ila Ilm Hayat al-Aflak. Disamping itu, beliau juga telah mengkoreksi beberapa pendapat Ptolomeus, termasuk melakukan perhitungan yang benar terhadap orbit bulan dari planet-planet tertentu. Beliau juga membuktikan tentang probabilitas gerhana matahari yang berbentuk cincin, menentukan garis edar matahari dan mengem-bangkan teori orisinal tentang penentuan dapat melihat bulan baru. Hasil karyanya yang paling terkenal adalah Tahmid al-Mustaqin li Ma’na al-Mamar.
Perkembangan ilmu astronomi tersebut telah membawa ummat Islam dapat mengetahui benda-benda ruang angkasa seperti mereka telah dapat mengetahui gerak dan arah matahari awal bulan. Ini sangat urgen sekali dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal. Perkembangan ilmu astronomi tersebut telah membawa ummat Islam dapat mengetahui benda-benda ruang angkasa seperti mereka telah dapat mengetahui gerak dan arah matahari awal bulan. Ini sangat urgen sekali dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal.Berkaitan dengan perkembangan ilmu astronomi ini juga, maka didirikanlah Observatorium (pusat observasi ruang angkasa). Observatorium pertama sekali didirikan oleh khalifah al-Makmum di Baghdad pada tahun 828 M. Kemudian baru disusul dengan munculnya beberapa observatorium lainnya seperti observatorium-observatorium swasta.
b.5. Ilmu Kimia
Ummat Islam pada masa ini telah berhasil mengembangkan ilmu kimia. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh salah seorang orientalis yang bernama Lenon yang mengatakan bahwa apa yang diperoleh ummat Islam dari Yunani tidaklah begitu banyak, akan tetapi ilmuan-ilmuan muslim-lah yang mengembangkannya sehingga mereka tersebut berhasil dalam menguasai dunia ilmu pengetahuan pada masa ini, termasuk ilmu kimia. Dalam disiplin ilmu kimia ini, bermunculanlah ilmuan-ilmuan muslim yang cukup terkenal diantaranya Jabir Ibn Hayyan, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kimia Modern. Di tangan ilmuan-ilmuan Yunani, ilmu kimia didasarkan pada spekulasi, maka ditangan ilmuan-ilmuan Islam, ilmu kimia tersebut berkembang berdasarkan pada eksperimen.
b.6. Ilmu Sejarah dan Ilmu Bumi
Dalam bidang sejarah dan ilmu bumi muncul beberapa ilmuan yang terkenal diantaranya Ahman bin Ya’coubi dengan karyanya al-Buldan (mengenai ilmu bumi) dan al-Tarikh (mengenai sejarah), Abi Muhammad ‘Abdullah al-Quthubah dengan karyanya antara lain al-Imamah wa al-Siyasah, al-Ma’arif, dan ‘Uyun al-Akhbar, Abu Ja’far Muhammad bin Ja’far bin Jabir al-Thabari dengan karyanya yang terkenal al-Umam wa al-Mulk. Kemudian Ibn Khurdazabah yang merupakan ahli ilmu bumi Islam yang tertua, diantara karyanya yang sangat terkenal adalah al-Masalik al-Mamalik yang mengandung data penting tentang pemerintahan (system ketatanegaraan) dan peraturan keuangan. Abu Muhammad al-Hassan al-Hamdani dengan karyanya yang berjudul Sifat Jazirah al-Arab. Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad dengan karyanya Ahsan at-Tawasim fi Ma’rifat al-Aqwalin dan lain-lain. Di antara buku-buku hasil karya mereka ini, hingga saat sekarang masih bisa dijumpai.
D. Bidang Politik
Dinasti Abbasiyah yang didirikan diatas puing-puing kehancuran Dinasti Umayyah, berusaha untuk menjalankan system politik yang tepat, agar mampu menguasai seluruh wilayah kekuasaan bekas Dinasti Umayyah. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Dinasti Abbasiyah dalam mencapai keinginannya antara lain :
1. Menghancurkan Sisa-Sisa Kekuatan Dinasti Umayyah Serta Melumpuhkan Gerakan-Gerakannya
Pembai’atan Abu al-Abbas sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama pada tahun 122 H./749 M. di Masjid Kuffah, menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah secara resmi. Akan tetapi kekuasaan dan pengaruh Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus masih tetap eksis dibawah pemerintahan khalifah nya, Marwan II. Pada masa awal berdirinya Dinasti Abbasiyah ini, terjadi dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan Dinasti Umayyah yang sedang berada dalam keadaan lemah namun tetap dipandang sebagai ancaman serius bagi kedaulatan Dinasti Abbasiyah yang baru muncul dan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sedang bangkit.
Untuk menghadapi kekuatan Dinasti Umayyah tersebut, Abu al-Abbas menyiapkan pasukan dibawah komando ‘Abdullah bin ‘Ali. Akhirnya terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah di lembah sungai Az-Zab. Dalam pertempuran ini, pasukan Umayyah mengalami kekalahan dan khalifah Marwan II berhasil melarikan diri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 123 H./750 M. Dengan demikian, berarti Dinasti Abbasiyah telah berhasil menguasai daerah-daerah Syam termasuk pusat pemerintahan Dinasti Umayyah. Upaya pembersihan keturunan Dinasti Umayyah serta pengejaran terhadap khalifah Marwan II terus dilakukan. Akhirnya, pada tahun 123 H./750 M. pasukan Abbasiyah dibawah pimpinan Ahaleh bin Ali berhasil membunuh khalifah Marwan II. Dengan terbunuhnya khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dalam panggung sejarah peradaban ummat Islam.
2. Memadamkan Para Pemberontak dan Rival Politik
Setelah kekuasaan Dinasti Umayyah dapat dilumpuhkan, belum berarti bahwa kedaulatan Dinasti Abbasiyah sudah berdiri dengan kokoh. Berbagai pemberontakan dan ancaman muncul sewaktu-waktu yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Diantara banyak ancaman tersebut, ada tiga ancaman paling potensial yaitu gerakan Abdullah bin ‘Ali, gerakan Abu Muslim al-Khurasani dan gerakan Syiah.
Pembrontakan ‘Abdullah bin ‘Ali muncul disebabkan karena ketidakpuasannya terhadap tindakan Abu al-Abbas yang mengangkat Abu Ja’far al-Manshur sebagai khalifah. Padahal ia menganggap dirinya adalah orang yang paling berjasa dalam menumbangkan kekuasaan Dinasti Umayyah serta berhasil membunuh khalifah Dinasti Umayyah yang terakhir, Marwan II. Disamping itu, Abu al-Abbas pernah menjanjikan kepadanya untuk menjadi khalifah setelah ia meninggal. Akan tetapi dimasa akhir kekuasaannya, dia menunjuk al-Manshur sebagai khalifah. Pemberontakan ini hamper saja menggoyahkan kedaulatan Dinasti Abbasiyah tersebut, akan tetapi dengan cepat dapat diatasi oleh khalifah Al-Manshur. Dengan bantuan Abu Muslim al-Khurasani akhirnya ‘Abdullah bin ‘Ali berhasil ditangkap dan dipenjarakan.
Sementara itu, gerakan yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Khurasani juga membuat stabilitas politik Dinasti Abbasiyah terancam. Abu Muslim al-Khurasani merupakan salah seorang yang sangat berjasa dalam proses awal pendirian Dinasti Abbasiyah. Kepintaran dan kemampuannya dalam menggalang kekuatan di Khurasan menyebabkannya mampu menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah. Disatu pihak, dapat dibuktikan betapa besarnya potensi dan pengaruh yang dimiliki oleh Abu Muslim al-Khurasani. Akan tetapi dipihak lain, potensi Abu Muslim al-Khurasani ini menimbulkan kekhawatiran bagi khalifah terhadap kemungkinan munculnya rival politik yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasaannya.
Munculnya gejala yang menunjukkan adanya keinginan Abu Muslim untuk memainkan peran yang lebih besar di dalam tubuh Dinasti Abbasiyah dilihat oleh beberapa pihak sejak masa pemerintahan khalifah Abu al-Abbas yang ditandai dengan seringnya Abu Muslim tidak menjalankan perintah khalifah. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, khalifah (khalifah al-Manshur) akhirnya mengundang Abu Muslim ke istana. Setelah terjadi dialog-dialog panjang yang substansi dialog tersebut umumnya tentang tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Abu Muslim, akhirnya ia dibunuh oleh para algojo istana. Peristiwa ini terjadi pada bulan Sya’ban 137 H.
Sementara itu, golongan Syi’ah yang pada mulanya bergabung ke dalam gerakan Dinasti Abbasiyah mulai menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap klan Abbasiyah ini. Pada awal gerakan untuk meruntuhkan Dinasti Umayyah, Bani Abbas mengatakan bahwa gerakan yang mereka lakukan adalah atas nama “keluarga Muhammad yang harus didukung”. Namun dalam perkembangan selanjutnya, apa yang diinginkan oleh kalangan Syiah tidak pernah jadi kenyataan. Akibatnya, muncullah gerakan pemberontakan dari kalangan Syi’ah melawan penguasa Dinasti Abbasiyah. Diantara pemberontakan tersebut yang cukup dikenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Imam Ibrahim dan saudaranya Imam Muhammad al-Nafs al-Zakiyah di Bashrah dan Hijaz. Dalam pemberontakan tanggal 6 Desember 762 M. Imam Muhammad terbunuh dan pada tanggal 14 Februari 763 M. Imam Ibrahim dipenggal lehernya di dekat Kuffah. Kekejaman penguasa Dinasti Abbasiyah ini membuat rasa dendam kaum Syi’ah. Harapan mereka tidak pernah menjadi kenyataan sebab setelah dinasti ini kuat, mereka tidak pernah diperhatikan lagi, bahkan mereka telah berani melakukan pembunuhan terhadap imam Syi’ah.
Disisi lain, kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan Wazir. Dengan demikian, pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan tetapi juga terjadi di kalangan elit pemerintahan.
Masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran pemerintahan Dinasti Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti Abbasiyah pada periode awal berdirinya Dinasti ini. Disamping “politik balas budi”, masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran penting pemerintahan Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena Dinasti ini mengedepankan “politik terbuka”. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti Umayyah yang bersifat Arab-Sentris.
Pada awalnya, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah terdapat di al-Hasyimiah dekat Kuffah. Akan tetapi untuk menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri tersebut, khalifah Al-Manshur memindahkan ibu kota atau pusat pemerintahannya Baghdad yang berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kotanya yang baru inilah, khalifah al-Manshur mengadakan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Ia mengangkat sejumlah personil untuk menduduki jabatan-jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, ia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai coordinator departemen, disamping mengangkat hakim di lembaga kehakiman Negara. Jawatan pos yang telah ada sejak masa Dinasti Umayyah ditingkatkan peran dan profesionalismenya dengan tambahan tugas. Kalau pada masa Dinasti Umayyah, tugasnya hanya sekedar mengantarkan surat, maka pada masa Dinasti Abbasiyah ini jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi-informasi di daerah-daerah serta melaporkan tingkah laku para gubernur kepada khalifah.
Secara umum, ciri-ciri yang paling menonjol pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah :
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, maka pemerintahan Dinasti Abbasiyah makin jauh dari pengaruh Arab, sedangkan pemerintahan Dinasti Umayyah justru kebalikannya, pengaruh Arab sangat kentara sekali.
2. Dalam penyelenggaraan Negara, ada jabatan Wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ditemukan pada masa Dinasti Umayyah.
3. Militer secaraprofesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
4. Khalifah Abbasiyah memakai “Gelar Tahta” yang mana gelar tahta ini lebih popular dibandingkan dengan namanya yang asli.
Capaian-capaian Dinasti Abbasiyah diatas memperlihatkan bahwa Dinasti Abbasiyah dalam sejarahnya yang panjang, pernah mengalami masa-masa keemasan yang seterusnya akan tercatat dengan baik dalam tinta emas sejarah peradaban ummat manusia di dunia ini.
ERA TITIK BALIK :
MASA KEMUNDURAN
Dinasti Abbasiyah yang telah berkuasa selama lebih kurang 600 tahun telah memberikan catatan tersendiri bagai sejarah peradaban Islam. Walaupun masa jaya Dinasti ini tidak begitu lama, akan tetapi masa pemerintahannya merupakan masa-masa keemasan bagi sejarah peradaban Islam. Torehan capaian dan kemajuan yang dihasilkan dalam masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dianggap sebagai capaian terbesar pada zamannya yang sulit untuk ditandingi oleh ummat manusia pada masa sekarang. Pada saat sekarang ini, belum ada suatu negara ataupun kekuatan politik serta ideology tertentu yang mampu menandingi kemajuan peradaban yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah ini. Setelah mencapai puncak kejayaannya yaitu sekitar abad ke-VIII M. dan awal abad ke-IX M. Dinasti ini kemudian mengalami titik balik. Mulai dari masa ini, Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran sampai akhirnya hancur pada tahun 656 H./1258 M. Berkaitan dengan masa kemunduran yang dialami terlihat bahwa factor kemunduran tersebut tidak dating secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat semenjak periode pertama, hanya saja pada masa ini para khalifah sangat kuat sehingga benih-benih tersebut tidak dapat berkembang. Dalam sejarah Islam, kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu terlihat, apabila khalifahnya kuat, maka menterinya cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil saja. Akan tetapi jika khalifahnya lemah, para menteri tersebut akan memiliki kekuasaan politik yang cukup besar dalam mengatur pola pemerintahan dan menjadikan khalifah sebagai boneka.
Kejayaan Dinasti Abbasiyah ini telah mulai pudar sejak akhir masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil yang kemudian diikuti oleh 27 orang khalifah berikutnya. Tidak seorang pun dianggap cakap dan memiliki kompetensi yang lumayan dalam memerintah. Akibatnya, kekuasaan khalifah makin lama makin berkurang, sehingga kehadiran mereka seperti boneka ataupun pelengkap seremonial semata tanpa memiliki otoritas apa-apa. Meskipun khalifah tidak berdaya secara politis, namun tidak ada usaha untuk merebut kekuasaannya. Hal ini karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sacral. Khalifah pada masa itu menjadi alat bagi para menteri yang ambisius dan korup untuk memperkaya diri. Kelemahan dan ketidakberdayaan khalifah dimanfaatkan oleh para gubernur propinsi untuk melepaskan diri. Maka pada saat ini, banyaklah bermunculan Dinasti-Dinasti kecil, diantaranya Bani Thulun (254-292 H./868-905 M.), Bani Ikhsidiyah (323-358 H./935-969 M.), Bani Thahir (205-259 H./821-873 M.) di Khurasan dan beberapa Dinasti-Dinasti kecil lainnya.
Semua daerah-daerah yang dikuasai oleh Dinasti-Dinasti diatas merupakan daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Mereka memperoleh kekuasaan tersebut ada yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai bentuk politik balas jasa. Sesorang yang telah berjasa dalam pengamanan Negara, kemudian diangkat sebagai penguasa di suatu daerah tertentu. Sebagai contoh seperti kasus Panglima Ibrahim bin al-Aghlab yang berhasil mengatasi pemberontakan di Afrika Utara pada tahun 184 H./800 M., maka untuk mengapresiasi hal ini, khalifah Harun al-Rasyid memberikan wilayah otonomi kepada Ibrahim sebagai pimpinan Dinasti Al-Aghlabiyah. Ada pula diantara mereka yang menjadi gubernur, kemudian memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Dengan adanya dinasti-dinasti tersebut, maka secara geografis-teritorial, wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah menjadi semakin berkurang.
Dominasi pemerintahan oleh kekuatan asing dimulai oleh orang-orang Turki. Semenjak masa pemeritahan khalifah al-Manshur (754-775 M.), mereka telah mulai masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Dinasti Abbasiyah, namun dalam jumlah yang kecil sehingga mereka tidak memiliki kekuasaan politik dan militer yang cukup signifikan. Kemudian pada masa pemerintahan al-Mu’tashim (833-842 M.), khalifah mulai menambah jumlah tentaranya yang diambil dari orang-orang Turki dalam jumlah yang besar. Khalifah al-Wathiq (842-847 M.) meninggal tanpa mengatur pergantian tahta. Oleh sebab itu, sejumlah orang yang memiliki kekuatan politik yang besar di kalangan istana mengadakan musyawarah serta memutuskan siapa yang akan menggantikan khalifah. Dalam hal ini terdapat dua kelompok. Para wazir dan beberapa orang lainnya menunjuk putera al-Wathiq untuk menjadi khalifah. Akan tetapi dalam pemilihan itu, mereka dapat dikalahkan oleh kelompok yang terdiri dari perwira-perwira Turki yang mencalonkan saudara khalifah sendiri yaitu Ja’far. Setelah berhasil memenangkan pemilihan tersebut, maka resmilah Ja’far menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah dengan gelar al-Mutawakkil. Dengan demikian, dominasi orang-orang Turki mulai menunjukkan kekuatan yang signifikan, walaupun hal tersebut dilakukan secara bertahap.
Pada masa khalifah al-Muntashir (861-862 M.), al-Musta’in (862-866 M.), al-Mu’tadz (866-869 M.) dan al-Muhtadi (869-870 M.) merupakan masa yang paling gelap dalam sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Para khalifah ini pada umumnya diposisikan hanya sebagai “bonek politik” semata, sementara yang berkuasa secara politik justru orang-orang Turki. Bila ada seorang khalifah tidak disenangi oleh orang-orang Turki tersebut, mereka akan dipecat ataupun dibunuh. Ketika al-Mu’tamid berkuasa pada tahun 870 M., beliau berkeinginan untuk mengembalikan wibawa institusi khalifah. Namun keinginan ini tidak begitu maksimal, karena secara moralitas-personal, khalifah memiliki kewibawaan yang lemah. Beliau banyak menghabiskan kehidupannya di harem dan bergelimang anggur. Pada masa ini timbullah pemberontakan dari budak-budak negro yang dipimpin oleh ‘Ali bin Muhammad yang mengaku keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan ini akhirnya dapat menguasai daerah Irak, Kurdistan, Bahrain dan Abadan. Namun pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh Al-Muwaffaq, salah seorang saudara dari khalifah al-Mu’tamid.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Mustakfi (943-946 M.), muncul Bani Buwaihi sebagai kekuatan baru yang dapat diandalkan dan telah menguasai Irak dan Persia. Khalifah Abbasiyah mengundang mereka ke Baghdad untuk menyingkirkan para panglima-panglima Turki. Dengan berkuasanya Bani Buwaihi di Baghdad, maka mulailah babak baru dari kemunduran Dinasti Abbasiyah. Perlakuan mereka terhadap khalifah tidak kurang buruknya dari perlakuan yang diterima oleh para khalifah dari orang-orang Turki. Khalifah al-Mustakhfi (1031-1075 M.) sendiri mereka pecat karena mereka tidak mempercayai khalifah. Pada masa pemerintahan al-Qa’im (1031-1075 M.), Khurasan dan Irak telah dikuasai oleh kekuatan baru yang berasal dari Transoxiana yaitu Bani Saljuk. Dengan kekuatan mereka, mereka dapat menentukan dan menuntut segala kehendak mereka kepada Sulthan dan khalifah.
Dari dinamika histories pengaruh khalifah Dinasti Abbasiyah diatas, ada hal yang perlu dicatat disini yaitu walaupun para tentara baik Turki maupun Buwaihi kuat secara politik dan militer, akan tetapi mereka tidak mau mengambil alih kekuasaan khalifah dalam artian de jure karena mereka memiliki keyakinan normative bahwa khalifah tersebut harus berasal dari Bani Qurays. Walaupun Dinasti ini secara politik telah lemah, namun khalifah tetap dianggap memiliki kekuatan spiritual dan kekuasaan mereka tetap diakui eksistensinya hingga datangnya serangan dari tentara Mongol dibawah pimpinan Hulaghu Khan pada tahun 656 H./1258 M. yang membuat Dinasti Abbasiyah “ditelah sejarah” dalam sebuah tragedy paling memilukan dalam sejarah Islam.
Kalau diperhatikan secara seksama, terlihat beberapa factor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah, antara lain :
1. Faktor Politik
Berkembang dan lemahnya suatu Dinasti tergantung pada strategi politik yang dijalankannya. Hal ini pula yang dialami oleh Dinasti Abbasiyah yang telah berjaya selama seratus tahun, akhirnya mengalami masa kemunduran. Suatu dinasti itu mulai bangkit kemudian tumbuh dan berkembang sampai pada saat-saat tertentu akan mengalami masa kemunduran yang akhirnya membawa pada kehancuran. Hal merupakan Sunnatullah, sebab tidak ada yang abadi di muka bumi ini.
Menurut Ibnu Khaldun, bahwa mundurnya suatu kekuasaan atau dinasti adalah merupakan suatu gejala alamiah dalam sejarah. Usia efektif suatu imperium dinasti tidak bias lebih dari pada usia manusia. Masa seratus tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama dari waktu yang diharapkan dari seorang manusia. Keadaan seperti ini juga dialami oleh Dinasti Abbasiyah. Terdapat beberapa factor yang menyebabkan mundurnya dinasti ini, di anataranya :
a. Faktor Pribadi Khalifah
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, setelah masa pemerintahan al-Mutawakkil, tidak ada lagi khalifah yang dianggap “besar” yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan roda pemerintahan. Pada umumnya mereka lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap Negara. Akibatnya, dinasti ini sedikit demi sedikit berangsur-angsur mundur dan menuju ambang kehancuran. Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil terdapat perobahan besar dalam tatanan ketatanegaraan. Seperti diketahui, pada masa al-Makmum, mazhab resmi Negara adalah mazhab Mu’tazilah. Namun pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, mazhab ini tidak diakui lagi sebagai mazhab Negara. Hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan-pertentangan dikalangan rakyat dan ulama. Para cendekiawan dan ulama dari mazhab Mu’tazilah ada yang dibunuh dan dipenjarakan. Sebagai contoh, qadhi Abu Dawud yang merupakan salah seorang ulama Mu’tazilah dibunuh dan anaknya dipenjarakan sementara hartanya disita.
Kehidupan rakyat pada masa ini telah sampai pada tingkat hedonistic. Terlebih-lebih kehidupan yang terjadi di kalangan istana. Sehingga tidaklah mengherankan apabila istana memiliki orang-orang yang bermental lemah dan suka dengan glamouritas dunia. Oleh karena itu, anak-anak khalifah yang kemudian diangkat menjadi khalifah, dalam sejarah dikenal sebagai pribadi-pribadi lemah yang tidak memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengendalikan Negara. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga daripada kepentingan Negara dan agama Islam. Keagungan nasional diganti dengan kemegahan personal. Mereka menjalankan kehidupan dengan kemewahan dan kemegahan. Sekalipun mereka memfokuskan diri untuk mengatasi instabilitas politik Negara, namun tetap focus dan kehidupan sehari-hari mereka diisi dengan kegiatan hedonisme seperti musik-musik, minuman-minuman keras dan para wanita. Bahkan para khalifah tersebut telah kehilangan semangat perjuangan ketika kekuatan out-goup menyerang kepentingan rakyat mereka. 27 orang khalifah pasca khalifah al-Mutawakkil merupakan khalifah-khalifah yang lemah. Mereka menjadi “boneka” ditangan para menterinya. Kelemahan dan ketidakmampuan para khalifah tersebut juga dimanfaatkan oleh para gubernur di berbagai propinsi untuk kemudian melepaskan diri.
b. Luasnya Wilayah Kekuasaan dan Rasa Tidak Saling Percaya
Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil merebut kekuasaan dari tangan Dinasti Umayyah, mereka mewarisi wilayah kekuasaan yang meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebahagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, wilayah sekarang dinamakan dengan Pakistan, Purkmenia, Uzbekistan, Kyrgistan di Asia Tengah. Bahkan pada masa ini, Islam telah sampai ke Sicilia di Italia dan wilayah-wilayah yang berada disekitarnya. Akan tetapi wilayah kekuasaan kekuasaan yang luas tersebut tidak dapat dikendalikan secara baik oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah, terutama dilihat dari lambatnya komunikasi antara pusat dengan wilayah-wilayah tersebut.
Alat transportasi dan komunikasi yang paling cepat dan efektif pada waktu tiu adalah melalui surat atau utusan dengan menggunakan kendaraan kuda. Jadi kalau sekiranya ada berita dari daerah atau sebaliknya (berita dari pusat), maka akan menghabiskan waktu cukup lama, terutama bagi daerah-daerah yang jauh seperti Maroko. Hal ini sama sekali bukannya tidak dapat diatasi, hanya saja perlu didukung oleh rasa saling mempercayai dikalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan. Semenjak berdirinya Dinasti Abbasiyah sampai berakhirnya masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, sikap saling percaya mempercayai diantara para pejabat dengan khalifah cukup terjaga. Hal ini dikarenakan karena para pejabat dan hakim-hakim diambil dari kalangan ulama. Para ulama inilah yang berhak merumuskan peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan mengenai hokum untuk diterapkan di dalam pemerintahan dan peradilan. Dengan demikian, khalifah dan para pejabat hanya dapat melaksanakan tugas mereka di dalam batasan-batasan peraturan yang telah ditetapkan dan dirumuskan oleh kalangan ulama.
Akan tetapi, setelah masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, rasa saling mempercayai antara pejabat dengan khalifah mulai memudar. Hal ini terjadi karena kekuasaan para khalifah telah mulai melemah dan sementara itu dipihak lain, kekuasaan wazir mulai signifikan. Wazir telah ikut campur dalam mengangkat dan memberhentikan khalifah. Wazir bertindak diluar konstitusi yang telah ditetapkan oleh khalifah bersama-sama dengan para ulama, sehingga hal ini berkonsekuensi terhadap timbulnya suasana atau kondisi yang dis-integratif. Akibatnya ada pejabat yang memihak pada khalifah dan ada yang memihak wazir. Kondisi ini juga terjadi dikalangan gubernur. Dengan berkurangnya sikap saling mempercayai ini, maka timbullah keinginan di kalangan mereka untuk saling mencari keuntungan pribadi dengan merugikan pihak-pihak lain. Oleh sebab itu, semakin sulit bagi khalifah untuk mendapatkan orang-orang yang akan ditunjuk sebagai gubernur yang dapat dipercaya untuk mengirimkan pajak ke Baghdad. Karena ketidaksanggupan khalifah tersebut dalam mengendalikan wilayah kekuasaannya yang sangat luas itu, maka bermunculanlah dinasti-dinasti kecil yang berkuasa di samping Dinasti Abbasiyah.
Berdasarkan fakta histories, diantara dinasti-dinasti kecil tersebut yang muncul pada masa ini, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Berkebangsaan Persia
1. Dinasti Thahiriyah di Khurasan (205-259 H./820-872 M.)
2. Dinasti Shafariyah di Fars (254-290 H./668-901 M.)
3. Dinasti Samaniyah di Transoxiana (261-389 H./873-998 M.)
4. Dinasti Sajiyyah di Azerbaijan (266-328 H./878-930 M.)
5. Dinasti Buwaihi di Baghdad (320-447 H./932-1055 M.)
- Berkebangsaan Turki
1. Dinasti Thuluniyah di Mesir (254-292 H./837-903 M.)
2. Dinasti Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H./932-1163 M.)
3. Dinasti Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H./962-1055 M.)
4. Dinasti Saljuk dengan cabang-cabangnya :
a. Saljuk Besar (Saljuk Agusng) yang berkedu-dukan di Baghdad (429-52 H./1037-1127 M.)
b. Saljuk Kirman di Kirman di Kirman (433-583 H./1040-1187 M.)
c. Saljuk Syiria atau Syam di Syiria (487-511 H./1094-1117 M.)
d. Saljuk Iraq di Irak dan Kurdistan (511-590 H./1117-1194 M.)
e. Saljuk Rum atau Asia Kecil di Asia Kecil (470-700 H./1077-1299 M.)
- Berkebangsaan Kurdi
1. Al-Barzuqani (348-406 H./959-1015 M.)
2. Abu Ali (380-489 H./990-1095 M.)
3. Ayyubiah (564-648 H./1167-1250 M.)
- Berkebangsaan Arab
1. Idrisiyyah di Maroko (172-375 H./788-985 M.)
2. Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H./800-900 M.)
3. Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H./825-898 M.)
4. Alawiyah di Tabaristan (250-316 H./864-928 M.)
5. Hamdaniyyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H./929-1002 M.)
6. Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H./1011-1150 M.)
7. Ukailiyyah di Maushil (386-489 H./996-1095 M.)
8. Midrassiyah di Aleppo (414-472 H./1023-1079 M.)
- Mengaku Dirinya Khalifah
1. Umaiyyah di Andalusia (138-422 H./756-1031 M.)
2. Fathimiyah di Mesir (297-567 H./909-1171 M.)
Dinasti-dinasti yang muncul ini tidak semuanya melepaskan diri secara keseluruhan dari pemerintahan pusat (dari kekuasaan Dinasti Abasiyah). Sebahagian diantaranya, walaupun telah memerdekakan diri, namun tetap mengirimkan bantuan ke pemerintah pusat. Mereka masih tetap mengakui kekhalifahan Abbasiyah sebagai pemimpin ummat Islam secara keseluruhan.
c. Ketentuan Suksesi Kepemimpinan Yang Tidak Jelas
Suksesi merupakan sisi politik yang sangat fundamental dan arena sifat biologis manusia, maka suksesi itu harus terjadi. Bagaimanapun lama perubahan kepemimpinan tersebut ditangguhkan, proses suksesi pada akhirnya akan terjadi juga. Dalam hal ini suksesi tidak akan mempersoalkan masalah penerimaan atau tindakan mengganti seseorang, melainkan juga serangkaian keputusan untuk melakukan penerapan pilihan itu. Suksesi kepemimpinan tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam lingkaran kepemimpinan dan kekuasaan. Suksesi kepemimpinan tersebut, idealnya, harus jelas sehingga pemerintahan itu dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Dalam sejarah Islam, kelihatannya suksesi kepemimpinan ummat Islam merupakan sesuatu yang menimbulkan problem tersendiri. Persoalan ini muncul setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Berbagai cara dan model pengangkatan pemimpin ummat Islam telah tercatat dalam lembaran sejarah, mulai dari yang dianggap demokratis hingga pada cara yang dianggap tidak demokratis. Sebabnya adalah karena al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam tidak memberikan petunjuk secara jelas dan tegas tentang hal ini. Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pemimpin ummat Islam sepeninggal beliau. Bahkan lebih jauh, al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah mengatur system ketatanegaraan secara eksplisit. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keragaman dan variasi dalam penetapan, pemilihan dan penggantian kepemimpinan.
Menurut al-Mawardi, yang berwenang dalam melakukan pemilihan khalifah (kepala Negara) adalah lembaga legislative. Mereka disyaratkan :
1. Memiliki keadilan
2. Memiliki pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala Negara.
3. Memiliki wawasan yang luas dan memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala Negara.
Sementara itu, untuk jabatan khalifah (kepala Negara), al-Mawardi mensyaratkan :
1. Adil dalam artian yang luas
2. Ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan lisanya.
4. Sehat jasmani sehingga tidak terhalang untuk melaksanakan aktifitas.
5. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat.
6. Berani dan tegas dalam membela rakyat.
7. Keturunan suku Qurays.
Dalam suksesi kepala Negara dapat ditempuh melalui dua cara yaitu pemilihan ahl al-hall wa al-aqd dan wasiat kepala Negara sebelumnya atau penunjukan. Khazanah suksesi kepemimpinan dalam Islam yang telah diimplementasikan oleh para sahabat ada tiga system, yaitu :
1. Pertimbangan di sebuah majelis (saqifa). Cara ini terlihat dalam proses pengangkatan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW.
2. Pemilihan dari seorang yang berkuasa (‘ahd) dimana cara ini terlihat pada pengangkatan khalifah ‘Umar bin Khattab, dimana khalifah Abu Bakar menunjuk langsung ‘Umar bin Khattab sebagai khalifah. Tindakan ini kemudian disetujui oleh para sahabat, sebab hal ini merupakan hak seorang khalifah yang sedang berkuasa. Dalam hal ini Ibn Khaldun memberikan argumentasi bahwa khalifah yang sedang berkuasa mempunyai hak mutlak untuk menentukan siapa yang akan menggantikannya. Khalifah yang telah terpilih ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat yang kemudian untuk dijustifikasi (disah-legal-kan)
3. Pemilihan melalui musyawarah sahabat tertentu (syura) yang terlihat dalam proses pengangkatan khalifah yang ketiga, ‘Utsman bin Affan, dimana pada akhir pemerintahan khalifah ‘Umar bin Khattab, ia telah membentuk kelompok dengan beberapa anggota yang ditunjuknya untuk mencari penggantinya. Kelompok inilah kemudian yang bertugas untuk memilih siapa yang berhak menjadi khalifah dengan terlebih dahulu memperhatikan suara public.
Dalam perkembangan selanjutnya, oleh Mehdi Muzaffari, cara ini kemudian ditambahkan dua lagi, yaitu :
1. Khalifah diangkat setelah terjadinya pemberontakan atau fitnah. Cara ini terlihat dari pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah terjadinya pembunuhan terhadap ‘Utsman bin Affan, Ali diangkat oleh para pemberontak (kelompok mayoritas ummat Islam yang tidak senang dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh khalifah ‘Utsman bin Affan).
2. Pemilihan berdasarkan kepada keturunan (irth) yang terlihat setelah berakhirnya masa pemerintahan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Muawiyyah bin Abi Syofyan memegang tampuk pemerintahan. Naiknya Muawiyyah ini menyebabkan terjadinya perubahan fundamental dal institusi kekhalufahan karena beliau mempraktekkan suksesi kepemimpinan berdasarkan pada pewarisan kekuasaan dengan system turun temurun.
Menyangkut suksesi pada Dinasti Abbasiyah, terlihat bahwa suksesi kepemimpinan yang dijalankan oleh para penguasa (khalifah-khalifah) tidak jelas, apakah anak tertua, kepada saudara atau kepada yang lainnya. Akan tetapi, bila dilihat secara cermat bahwa cara yang dipakai oleh Dinasti Abbasiyah dalam proses suksesi tersebut, mereka memakai cara yang kelima, namun tetap saja dalam perkembangannya tidak begitu jelas. Keadaan seperti ini menyebabkan sering terjadinya perebutan kekuasaan dilingkungan istana. Kalau khalifah yang berkuasa memiliki kualitas kepemimpinan yang bagus, maka ia akan dapat sesegera mungkin mengatasi kekacaan yang terjadi. Namun sebaliknya, bila khalifah tersebut lemah maka akan timbul pro-kontra terhadap khalifah bahkan sering menyebabkan terjadinya perang saudara. Hal ini terlihat sewaktu khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, beliau telah menetapkan tiga orang puteranya sebagai penggantinya kelak (putra mahkota). Akibat penetapan yang lebih dari satu orang tersebut, maka terjadi perang saudara antara al-Makmum dengan al-Amin. Dalam perang saudara tersebut, akhirnya al-Amin terbunuh dan al-Makmum naik menjadi khalifah.
Sewaktu khalifah al-Watiq meninggal dunia, ia malahan tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan nya sebagai khalifah. Maka pada saat itu, muncullah dua golongan yang mencalonkan calon mereka masing-masing menjadi khalifah. Satu golongan mencalonkan putra al-Watiq yang masih muda menjadi khalifah, dan golongan yang lain mencalonkan saudaranya yang telah berpengalaman dalam bidang pemerintahan. Pertentangan ini kemudian dimenangkan oleh golongan yang mencalonkan saudara al-Watiq yaitu Ja’far sebagai khalifah yang bergelar al-Mutawakkil. Demikian juga dengan khalifah al-Mukhtafi yang juga tidak menunjuk siapa penggantinya sewaktu beliau meninggal dunia. Hal ini berimplikasi terhadap perpecahan yang terjadi di kalangan istana. Dalam hal ini ada yang mencalonkan saudaranya yang masih muda dan sebagian yang lain ada yang mencalonkan dari pihak keluarganya yang lain, tetapi lebih berpengalaman. Namun persaingan ini dimenangkan oleh kelompok yang pertama yang mencalonkan saudaranya yang berusia 13 tahun.
Hal-hal diatas memperlihatkan bahwa proses suksesi yang tidak dilandasi oleh system yang jelas justru memiliki potensi besar menimbulkan konflik dan kekacauan. Disamping itu, hal-hal tersebut diatas juga berpotensi dalam melahirkan kelompok-kelompok “sempalan” atau oposisi yang berpotensi merusak stabilitas pemerintahan.
d. Tersisihnya Kaum Syi’ah dalam Jabatan Pemerintahan
Dalam usaha pendirian Dinasti Abbasiyah, Bani Abbas bekerjasama dengan golongan Syiah. Namun setelah Bani Abbas memegang tampuk kekuasaan, mereka justru melakukan praktek monopoli kekuasaan bahkan membunuh pejabat-pejabat Syiah yang berpengaruh seperti ‘Abu Muslim al-Khurasani. Perlakuan yang dilakukan oleh Bani Abbas ini membuat golongan Syiah memposisikan diri mereka sebagai penentang. Diantara yang melakukan penentangan tersebut adalah Idris bin Abdullah yang telah berhasil mendirikan Dinasti Idrisiyah pada tahun 172 H./788 M.. Pada tahun 255 H./869 M. timbul pemberontakan Kaum Zanj yang dipimpin oleh ‘Ali bin Muhammad. Sewaktu para khalifah yang berkuasa di Dinasti Abbasiyah kuat, gerakan golongan Syiah tidak begitu kentara sekali. Mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan profokatif karena mereka diawasi secara ketat oleh khalifah. Akan tetapi, bila khalifahnya lemah, barulah mereka bangkit dan mengadakan pemberontakan, bahkan ada yang sempat mendirikan dinasti yang kuat dan menjadi tandingan yang cukup berarti bagi pemerintahan pusat seperti berdirinya Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Gerakan-gerakan lain yang dilakukan oleh golongan Syiah ini adalah gerakan Qaramithah pada tahun 260 H./874 M. yang dipimpin oleh Hamdan Darmad, seorang penganut Syiah Ismailiyah di Irak. Pada tahun 286 H./899 M. kaum Qaramithah membentuk Negara merdeka di Bahrain yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 318 H./930 M. serangan mereka sampai ke Mekkah. Mereka kemudian mengangkat Hajr al-Aswad ke Bahrain dan baru dikembalikan 20 tahun kemudian. Mereka melarikan Hajr al-Aswad dari Ka’bah karena mereka melihat batu tersebut sebagai tahyul. Mereka baru mau mengembalikannya kepada khalifah Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Orang-orang Syiah juga mendalangi perlawanan terhadap Dinasti Abbasiyah di Mesopotamia. Warga Arab-Badui yang merdeka dibawah kepemimpinan keluarga Hamdaniyah memperluas pengaruhnya kearah selatan dari Mosul hingga ke Baghdad. Perluasan kearah barat sampai ke Syiria Utara dan ke utara sampai ke Armenia. Di propinsi Kaspia yang dihuni oleh suku Daylami , warga Syiah Daylam memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 250 H./864 M. dan kemudian mengusir gubernur Dinasti Abbasiyah yang ditempatkan di daerah mereka ini. Pada awal abad ke-X M., penguasa local Daylamah yang bernama Mardawij bin Ziyar menaklukkan sebahagian besar wilayah Iran bahagian barat. Setelah ia meninggal pada tahun 325 H./937 M. imperiumnya diwariskan kepada para prajurit-prajurit yang telah banyak berjasa kepadanya sampai padsa akhirnya mereka bias ditaklukkan oleh Buwaihiyyah.
Disamping itu, masih ada lagi gerakan yang dilancarkan oleh kelompok Syiah yaitu gerakan Hasasiyyin yang merupakan cabang dari aliran Syiah Ismailiyah yang sering melakukan terror terhadap pasukan perang Salib dan juga terhadap khalifah dan pejabat-pejabat Dinasti Abbasiyah. Oleh sebab itu, dalam sejarah gerakan ini terkenal dengan sebutan raja terror (the great terror). Gerakan ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gerakan Qaramithah. Pemimpinnya bernama Hassan bin Sabah yang menjadikan Alamud di sebelah laut Kaspia sebagai basis kegiatan mereka. Dari sinilah mereka melakukan kegiatan-kegiatan penyerangan terhadap tentara salib dan pejabat-pejabat Dinasti Abbasiyah. Mereka juga membunuh para pejabat-pejabat elit Dinasti Abbasiyah seperti Nizam al-Mulk, seorang Perdana Menteri Salajiqah pada tahun 484 H./1092 M.
Kelompok Syiah inipun sempat pula mendirikan pemerintahan yang dapat menandingi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Fathimiyyah di Mesir yang didirikan oleh Ubaidillah pada tahun 296 H./909 M. Keturunan-keturunan Syiah yang sempat menguasai pusat pemerintahan adalahDinasti Buwaihiyyah. Dinasti ini berkuasa pada tahun 320-454 H./932-1062 M. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Syiah memiliki potensi besar terhadap proses kemunduran Dinasti Abbasiyah.
e. Persaingan Antar Bangsa
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan ini dilator belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan ini yang pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, mereka sama-sama disub-ordinasikan dan ditindas. Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, mereka tetap mempertahankan persekutuan tersebut. Menurut Stryzewska, ada dua factor yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah justru lebih memilih orang-orang Persia untuk bersekutu dibandingkan dengan orang-orang Arab, yaitu :
1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Dinasti Umayyah, sebab pada masa ini mereka memperoleh keduduikan dan posisi yang terhormat dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain (orang-orang non-Arab). Secara hirarkis social, bangsa Arab merasa pada masa Dinasti Umayyah tersebut, mereka menjadi masyarakat kelas satu.
2. Orang-orang Arab sendiri terpecah dengan adanya sikap ashabiyyah atau kesukuan, terutama antara Arab Utara dengan Arab Selatan.
Walaupun orang-orang Persia telah diberi kedudukan di dalam pemerintahan, namun mereka belum merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawainya berasal dari orang-orang Persia secara keseluruhan. Sementara itu, orang-orang Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam. Selain itu, wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah sangat luas yang meliputi berbagai bangsa yang berbeda seperti Maroko, Mesir, Persia, Irak, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada saat itu tidak kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping adanya fanatisme ke-Arab-an, juga muncul fanatisme bangsa-bangsa yang lain yang pada hakikatnya berpotensi melahirkan gerakan-gerakan syuubiyyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh Dinasti Abbasiyah. Sementara itu, para penguasa Dinasti Abbasiyah melahirkan system perbudakan yang baru. Budak-budak bangsa Persia dan Turki dijadikan pegawai-pegawai Negara dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan kepada mereka juga diberikan gaji sebagai imbalannya. Sistem perbudakan yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah ini telah memberikan pengaruh yang besar bagi bangsa Persia dan Turki. Oleh karena jumlah dan kekuatan mereka dari waktu ke waktu makin signifikan, akhirnya mereka merasa bahwa Negara adalah milik mereka dan mereka juga merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendo-minasi kekuasaan sudah dirasakan semenjak awal berdirinya Dinasti Abbasiyah. Masing-masing bangsa itu akan berusaha semaksimal mungkin untuk merebut kekuasaan. Biasa saja terjadi dalam realitas social politik Dinasti Abbasiyah, kalau salah satu bangsa atau suku berhasil meraih tampuk kekuasaan, maka konsekuensinya adalah mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi kepentingan bangsa mereka dan tentunya kepentingan kelompok ataupun pribadi mereka. Untuk melindungi kekuasaan tersebut, sudah lumrah bila mereka bertindak sewenang-wenang terhadap lawan-lawan politik mereka, tentunya yang berasal dari bangsa-bangsa selain bangsa mereka.
2. Faktor Ekonomi
Pada masa jayanya, Dinasti Abbasiyah memiliki sumber ekonomi yang sangat banyak, sehingga tidak terasa bila terjadi pengeluaran Negara dalam jumlah besar. Akan tetapi, pada waktu terjadinya kekacauan dalam negeri, sumber ekonomi semakin berkurang sementara dipihak lain, justru pengeluaran semakin tinggi yang berimplikasi kepada terjadinya deficit anggaran Negara. Kemerosotan dalam bidang ekonomi ini bersaman dengan terjadinya kemunduran dalam bidang politik. Periode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan periode yang secara ekonomi dianggap masa kaya raya. Dana yang masuk ke kas Negara jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran. Pemasukan dana yang begitu besar berasal dari hasil pertanian, perindustrian, pertambangan, zakat, pajak dan sebagainya.
Sebagai gambaran, pemasukan tahunan dari berbagai propinsi pada masa pemerintahan khalifah al-Makmum, berdasarkan data dari Ibn Khaldun yang dikutip oleh Philip K. Hitti adalah sebagai berikut :
“Dari daerah Sawad (Babilonia) sebesar 27.800.000 dirham, dari Khurasan sebesar 28.000.000, dari Mesir sebesar 23.040.000 dirham, dari Syiria 14.724.000 dirham. Kesemuanya ini belum termasuk pemasukan berupa barang (bukan berupa uang). Dari Quddamah menunjukkan bahwa pemasukan baik berupa uang maupun berupa barang yang berasal dari Sawad mencapai 130.200.000 dirham, dari Mesir termasuk Iskandariyah sebesar 37.000.000 dirham, dari Syiria, Palestina dan Hims dan dari keseluruhannya mencapai 299.265.340 dirham”.
Pajak pertanian tidak hanya sebagai sebuah pengaturan financial semata melainkan ia juga sebagai penggantian bentuk administrasi. Petani pengumpul pajak tidak hanya mengeluarkan sejumlah uang atas hak untuk mengumpulkan pajak, tetapi juga sepakat untuk menopang administrasi local seperti mendanai seluruh anggaran pemerintahan local, memberikan investasi proyek irigasi bahkan juga untuk menopang kepolisian local. Meskipun para inspektur pemerintah mengawasi operasi pajak pertanian dan mencoba melindungi kaum petani dari tindakan sewenang-wenang, namun beberapa aparat penting dalam pemerintahan local digantikan dengan pejabat-pejabat dari kalangan sendiri. Melalui distribusi dari kalangan sendiri hak íiqta’ dan pelelangan pajak pertanian. Pendistribusian iqta’ merupakan metode yang diterapkan kepada tentara, pegawai-pegawai istana dan pejabat-pejabat yang terlibat dalam pengumpulan pajak, yang lazimnya dipungut dari kaum petani dan menyerahkan sebagian hasilnya kepada pemerintah pusat. Sedangkan pelelangan pajak pertanian tersebut diharapkan dapat menambah pendapatan Negara dalam waktu dekat. Melalui distribusi hak iqta’ dan pelelangan pajak pertanian ini menyebabkan pemerintah kehilangan kekuasaannya atas daerah-daerah penyumbang pendapatan bagi Negara.
Akibat dari adanya kebijakan hak iqta’ pelelangan pajak tersebut, mengakibatkan pemasukan Negara pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan sampai pada titik yang rendah. Sehingga pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan lagi untuk menggaji para tentara mereka. Disamping itu, menurunnya pemasukan Negara terutama yang berasal dari pajak disebabkan oleh rusaknya daerah yang dulunya sangat subur, seperti Sawad.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, sejumlah wazir ditunjuk untuk menangani seluruh tugas pemerintahan. Meskipun mereka dipilih dan dapat juga diberhentikan oleh khalifah, namun khalifah jarang sekali terlibat dalam kerja birokrasi-administratif sehari-hari. Seorang wazir dan faksinya akan berkuasa melalui sejumlah intrik dan menyogok khalifah serta pejabat-pejabat istana yang berpengaruh. Tujuan utama mereka adalah mengeksploitasi jabatan mereka, mengembalikan uang sogok yang telah mereka berikan kepada khalifah dan pejabat-pejabat istana serta antisipasi untuk menghadapi masa-masa yang akan dating. Untuk melakukan hal-hal tersebut, mereka umumnya tidak segan-segan melakukan sesuatu yang curang dan tidak jujur seperti memalsukan data-data pembukuan, menggelapkan daftar gaji dan berbagai spekulasi secara tidak syah serta memungut uang sogok.
Para pejabat menganggap bahwa jabatan mereka sebagai sesuatu kekayaan yang harus dibeli dan ditebus dengan uang, dan tentunya bias ditawar dan dijual. Ketika suatu faksi telah meraih kekuasan dan kekayaan, maka faksi lain berusaha pula untuk merebut keberuntungan itu. Faksi yang satu akan berusaha menyogok dan mempengaruhi khalifah. Bila faksi yang awalnya memegang tampuk kekuasaan jatuh, maka faksi yang kemudian mengambil alih kekuasaan itu, akan berusaha untuk mempengaruhi khalifah agar kekayaan faksi yang telah jatuh tersebut disita untuk Negara. Sejumlah uang itu, pada kenyataannya justru setengahnya masuk ke kas Negara dan setengahnya lagi masuk ke kantong pejabat-pejabatn dari faksi yang menang. Sejumlah dewan khusus dibentuk untuk menangani penyitaan harta kekayaan seperti Diwan al-Mushadarat untuk menangani penyitaan pertanahan dan Diwan al-Marafiq untuk menangani harta kekayaan hasil suap. Politik ekonomi seperti ini kemudian berpotensi merugikan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Disamping itu, kemunduran dalam bidang ekonomi pada masa Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh semakin menyempitnya serta banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang timbul dan ini berkorelasi dengan stabilitas politik dan keamanan yang mau tidak mau berhubungan erat dengan stabilitas ekonomi rakyat. Daerah-daerah yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat tidak mau lagi membayar upeti sementara biaya pengeluaran yang harus dipenuhi sangat besar.
Para pejabat-pejabat dan khalifah telah terbiasa hidup dalam kemewahan. Oleh sebab itu, kebutuhan mereka terus meningkat, sementara itu masyarakat bertambah miskin. Keadaan ini makin lama – dari satu khalifah ke khalifah lainnya – makin menunjukkan tingkat yang paling mengkhawatirkan, sampai pada akhirnya semua uang yang masuk ke kas Negara tidak lagi bias menutupi pengeluaran yang ada. Mensikapi hal ini, terkadang para penguasa Dinasti Abbasiyah melakukan praktek-praktek yang tidak rasional seperti menyita kekayaan orang-orang kaya serta menetapkan denda yang sangat besar terhadap suatu kesalahan, baik yang menyangkut kesalahan yang bersifat pidana maupun administrative. Hal ini pada gilirannya justru menimbulkan sikap anti pati yang sangat dalam dari berbagai kalangan masyarakat.
3. Faktor Militer
Pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah, baik khalifah maupun nmasyarakat telah merasakan manisnya perekononomian pada masa jaya tersebut. Mereka tidak mau lagi berjuang apalagi berperang. Kebiasaan yang bersifat ekspansif tersebut kemudiuan diganti dengan kebiasaan hedonistic, baik yang terjadi dalam kalangan istana maupun masyarakat banyak. Ibn Khaldun memberikan suatu analisa yang meyakinkan bahwa apabila Negara telah berdiri teguh, ia dapat meninggalkan solidaritas social. Rakyat akan tunduk kepada mereka yang memerintah sebagaimana mereka juga tunduk kepada agama mereka sendiri. Dalam tingkat ini, orang yang memerintah tidak lagi bergantung pada kekuatan angkatan bersenjata yang besar sebab kekuasaan telah diterima dari kehendak Allah SWT dan hal ini tidak bias dirubah. Suasana seperti berlanjut terus sehingga pada akhirnya menjadi sulit untuk mencari orang yang betul-betul berbuat dengan mengedepankan pengorbanan diri mereka demi agama dan Negara.
Untuk mempertahankan kekuasaannya mereka hanya membayar tentara, bahkan membelinya dari Turki, Afrika, Persia, Daylam, Saljuk dan sebagainya. Akibatnya, sebahagian besar para khalifah sangat bergantung kepada para tentara bayaran tersebut. Khlaifah al-Mu’tashim (218-227 H./833-847 M.) sebagai salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyah yang juga memiliki garis keturunan Turki, mendatangkan orang-orang Turki untuk menjadi tentara, khsusunya menjadi pengawal pribadinya. Dengan masuknya orang-orang Turki dalam dunia militer, membuat daya tawar khalifah makin lama makin berkurang. Khalifah pada akhirnya hanyalah menjadi boneka, sementara itu yang justru berkuasa dalam konstelasi social politik pada masa ini adalah para panglima militer dan pejabat-pejabat yang berasal dari keturunan Turki.
Pada masa pemerintahan al-Watsiq (227-232 H./842-847 M.) berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan mendirikan ibu kota Samarra dan pindah dari Baghdad. Namun usahanya ini tidak membawa hasil yang menggembirakan, karena justru di ibu kotanya yang baru tersebut, beliau justru lebih mudah disetting oleh para pengawal Turki-nya.
Dari contoh yang telah dikemukakan tersebut terlihat bahwa para khalifah dari Dinasti Abbasiyah tidak bias lagi melepaskan diri dari ketergantungan mereka pada tentara Turki. Konsekuensinya, khalifah memerlukan uang yang cukup banyak untuk menggaji mereka karena bagaimanapun juga, ketegantungan tersebut berkorelasi dengan apresiasi yang diberikan oleh khalifah dalam bentuk reward (baca : gaji besar dan memadai). Karena beban Negara yang semakin lama semakin besar, sementara itu kas Negara semakin mengecil, maka para tentara Turki tersebut merasa tidak puas sampai-sampai mereka melakukan pemberontakan terhadap khalifah. Hal ini memperlihatkan bahwa kesetiaan tentara Turki kepada Dinasti Abbasiyah (khususnya para khalifahnya) dibangun atas hubungan ekonomi dan profesionalitas militer semata bukan kecintaan dan rasa patriotisme.
4. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan dengan persoalan kebang-saan. Hal ini disebabkan karena keinginan orang-orang Persia tidak sepenuhnya terakomodasi. Kekecewaan inilah yang memicu mereka untuk mempropagandakan ajaran Manvisme Zoroasterianisme dan Mazdakisme yang kesemuanya tersebut dalam khazanah Islam dikenal dengan gerakan Zindik. Para khalifah berusaha membasmi gerakan ini, seperti halnya yang dilakukan oleh khalifah al-Manshur. Bahkan khalifah al-Mahdi sendiri mendirikan jawatan khusus untuk menangani kegiatan-kegiatan orang-orang zindiq tersebut serta melakukan mihnah yang bertujuan memberantas praktek-praktek yang berbau bid’ah. Namun demikian, semua usaha-usaha yang telah dilakukan oleh khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah tidak berhasil menghentikan kegiatan-kegiatan gerakan ini. Konflik diantara mereka tetap berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana sampai dengan konflik bersenjata yang diwarnai dengan pertumpahan darah, seperti gerakan Qaramithah dan gerakan Hasasiyyin.
Gerakan ini mulai tersudut sehingga banyak pengikutnya yang brelindung dibalik ajaran Syiah. Akibatnya, banyak ber-munculan aliran Syiah yang ekstrim yang secara internal dianggap sesat oleh penganut Syiah sendiri. Aliran Syiah dikenal sebagai salah satu aliran yang sering konflik dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kadang-kadang konflik tersebut melibatkan penguasa. Sebagai contohnya, terjadi pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, dimana beliaun memerintahkan agar makam Hussein bin ‘Ali di Karbal dihancurkan. Akan tetapi sewaktu khalifah al-Muntashir (247-248 H./861-862 M.), dia mengizinkan orang-orang Syiah menziarahi maqam Hussein tersebut. Sepanjang pemerintahan Dinasti Abbasiyah, golongan Syiah pernah berkuasa melalui Dinasti Buwaihi, Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dua Dinasti yang terakhir merupakan dinasti Syiah yang sempat memerdekakan diri dari Baghdad.
Konflik keagamaan itu tidak hanya terbatas pada pertentangan antara muslim dan zindik, Ahlus Sunnah dan Syiah, tetapi aliran-aliran lain yang terdapat dalam Islam juga mengalami hal yang serupa seperti aliran Muktazilah dan ‘Asy’ariyah. Aliran Muktazilah yang cenderung rasional tersebut dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan ‘Asy’ariyah. Pertentangan antara kedua golongan itu dipertajam oleh khalifah al-Makmum dimana beliau menjadikan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Kemudian pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, muktazilah dibatalkan sebagai aliran Negara dan ‘Asy’ariyah kembali muncul. Tidak tolerannya Asy’ariyah terhadap Muktazilah yang rasional tersebut mengakibatkan menyempitnya horizon intelektual.
Terakhir pada masa Dinasti Buwaihi, aliran Muktazilah bangkit kembali, namun aliran ini tidak bertahan lama. Munculnya Dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy’ariyah, golongan Muktazilah disingkirkan secara sistematis dengan – tentunya – dukungan politis dari penguasa. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali mendukung aliran ini yang menjadi karakteristik atau paham utama Ahlus Sunnah. Pemikiran ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan kreatifitas dan dinamika intelektual dan per-kembangan keilmuan.
5. Perang Salib
Secara tidak langsung perang Salib juga merupakansalah satu penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah dari luar. Sekalipun kekuatan Islam dalam perkembangannya berhasil mengalahkan dan menguasai ummat Kristen, namun hak-hak mereka tidak berkurang sedikitpun. Mereka tetap berada dalam kebebasan menjalankan aktifitas dan ritual keagamaan mereka masing-masing. Penguasa Islam memandang Yerusalem sebagai kota suci yang harus dilindungi dan bahkan pada masa Dinasti Fathimiyah berkuasa di Mesir dan Syiria, ummat Kristen menikmati hak-haknya secara luas. Akan tetapi, ummat Kristen seolah-olah tidak menghiraukan kebijaksanaan penguasa muslim ini, melainkan mereka memandang kehadiran kekuatan muslim di Yerusalem dengan sikap kebencian. Mereka tidak senang terhadap orang-orang Islam di Asia yang telah melakukan penaklukan semenjak tahun 11 H./632 M. tidak saja terhadap Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga terhadap Spanyol.
Oleh sebab itu, pada tanggal 26 Nopember 1095 M. Paus Urbanus II menyampaikan pidatonya di hadapan massa Kristen dan mengatakan (antara lain) : “Masuklah ke jalan demi gereja yang suci, rebutlah itu dan kuasai itu dari bangsa yang jahat”. Pidato tersebut oleh sejarawan Philip K. Hitti dianggap sebagai pidato yang mengena dalam sejarah yang pernah disampaikan oleh para Paus. Ajakan Paus tersebut akhirnya menggema ke seluruh Eropa. Menjelang musim semi 1097 M., 150.000 orang memenuhi ajakan Paus tersebut dan mereka berkumpul di Konstatinopel yang akhirnya menyebabkan terjadinya Perang Salib. Dinamakan Perang Salib karena orang-orang Kristen membawa tanda-tanda salib sebagai lambang kesatuan mereka.
Perang Salib berlangsung selama lebih kurang dua abad, suatau masa yang sangat panjang untuk sebuah peperangan. Para sejarawan umumnya membagi Perang Salib ini berdasarkan batasan temporalnya atas tiga periode yaitu Periode Pertama (1096-144 M.), Periode Kedua (1144-1192 M.) dan Periode Ketiga (1193-1291 M.). Elaborasinya sebagai berikut :
1. Periode Pertama dinaggap sebagai periode penaklukan dimana pada periode ini pasukan Kristen berhasil merebut dan menduduki kota-kota disekitar pantai timur Laut Tengah seperti Antiochia, Tripoli, Agre, Yerusalem, Raha (edessa) dan sebagainya. Setelah berhasil menaklukkan kota-kota tersebut, mereka mendirikan kerajaan Kristen Latin di Timur. Kerajaan Latin pertama dengan wilayah Nicea dan Raha (Edessa) yang dipimpin oleh Baldwin. Kerajaan Latin II dengan wilayah Anthiocia dipimpin oleh Bohemond dan Kerajaan Latin III dipimpin oleh Godfrey.
2. Pada Periode Kedua yang dianggap sebagai periode reaksi dari ummat Islam atas penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, pasukan Islam dipimpin oleh Imaduddin Zaki. Pasukan Islam berhasil membebaskan kota-kota yang telah direbut oleh pasukan Kristen. Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh ummat Islam dan puncak kemenangan tersebut dicapai pada waktu pasukan Islam dibawah pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi.
3. Pada Periode Ketiga yang dianggap sebagai periode Perang Sipil dan perang kecil-kecilan yang berakhir pada tahun 1291 M., pasukan Kristen kehilangan daerah terakhir mereka di Syiria yang menjadi basis terpenting dari pertahanan mereka.
Perang Salib yang berlangsung sangat lama tersebut telah membawa beberapa akibat yang sangat signifikan bagi perkembangan sejarah dunia. Perang Salib ini menjadi penghubung bangsa Eropa untuk mengenal dunia Islam secara interaktif dan lebih dekat. Kontak antara Timur dan Barat menjadi intensif. Kontak ini mengawali terjadinya transformasi ide antara keduanya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya timur menjadi motivasi bagi pengayaan dan perkembangan intelektual barat. Hal ini sangat besar dalam melahirkan era renaissance di Eropa. Disamping itu, Perang Salib telah membawa akibat bagi timbulnya kegiatan-kegiatan penyelidikan bangsa Eropa untuk mengenal berbagai varian seni dan pengetahuan serta berbagai penemuan yang telah dikenal di Timur seperti kompas, kincir angin dan lain-lain. Selain itu, mereka juga menyelidiki system pertanian dan mengenali system industri Timur yang cukup berkembang.
Setelah kembali ke negerinya, mereka lantas mendirikan system pemasaran barang-barang produk Timur, karena mereka menyadari bahwa produk-produk tersebut sangat berguna. Hal ini mengakibatkan semakin pesatnya pertumbuhan kegiatan perdagangan antara Timur dan Barat. Namun demikian, orang-orang Islam yang menguasai jalur pelayaran di Laut Tengah kehilangan supremasinya ketika bangsa Eropa menempuh rute pelayaran Laut Tengah secara luas. Perang Salib yang berkepanjangan tersebut, telah banyak menguras energi ummat Islam. Banyaknya energi yang dikeluarkan itusangat berpengaruh terhadap kekuatan ummat Islam.
BAB V
ERA TITIK BALIK :
MASA KEHANCURAN
Ibnu Khaldun mengemukakan salah satu teorinya yang terkenal tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu Negara atau dinasti. Menurutnya ada lima tahapan pertumbuhan dan perkembangan suatu Negara atau dinasti, yaitu :
1. Tahap Pertama yaitu tahap sukses, penggulingan seluruh oposisi dan penguasaan kedaulatan, dari dinasti-dinasti sebelumnya. Dalam menetapkan dan menentukan keputusan, penguasa tidk sendirian melainkan mengikutsertakan bawahannya.
2. Tahap Kedua dimulai dengan tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap rakyatnya. Menetapkan keputusan sendiri tanpa mengikutsertakan bawahan, bahkan menjauhkan mereka agar tidak ikut ambil bagian dalam urusan pemerintahan. Seluruh kekuasaan berada ditangan keluarganya. Ia mencanangkan seluruh keagungan yang telah ia bangun untuk anggota “rumahnya”.
3. Tahap Ketiga merupakan tahap bersenang-senang, ketika buah kedaulatan telah dinikmati, keinginan akan harta, menciptakan hal-hal yang bersifat monumental serta popularitas. Segala perhatian penguasa terfokus dan tercurah pada urusan pajak, mengatur uang belanja, pemasukan dan pengeluaran, mendirikan bangunan-bangunan besar, konstruksi-konstruksi kokoh, kota-kota luas dan monument-monumen yang menjulang, memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang terhormat dan pemuka-pemuka suku yang disegani. Pada tahap ini, ia mengabulkan permohonan yang diajukan oleh para pengikutnya, baik berupa uang maupun jabatan.
4. Tahap Keempat merupakan tahap kepuasan hati, tentram, damai. Pada tahap ini penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang dibangun oleh para pendahulunya. Semua tradisi dan kebiasaan tersebut diikuti persis seperti apa adanya dan sangat hati-hati.
5. Tahap Kelima merupakan tahap boros dan berlebihan. Pada tahap ini pemegang tampuk kekuasaan menjadi potensi perusak bagi kebaikan dan keberhasilan yang telah dikumpulkan oleh para pendahulunya. Ia menuju pemuasan hawa nafsu, kesenangan menghibur diri dan memper-tontonkan kedermawanannya kepada orang-orang dalam. Ia juga mengambil bawahan yang berwatak jahat untuk dipercayai melakukan tugas-tugas penting. Padahal mereka tidak memiliki kemampuan untuk memikul beban seberat itu dan tidak mengetahui apa-apa yang seharusnya mereka lakukan. Sang penguasa berusaha merusak orang-orang besar yang dicintai oleh rakyat. Mereka pada akhirnya membenci penguasa dan tidak mendukungnya lagi. Penguasa kehilangan banyak tentara dengan segala pemberian untuk kesenangannya. Ia menutup pintu bagi orang-orang yang secara jujur menasehati dan mengawasinya. Ia merusak dasar-dasar yang telah dibangun oleh para pendahulunya dan merobohkan apa yang telah mereka bangun. Pada tahap ini, Negara atau dinasti tersebut telah berada dalam kondisi “tua” dan dihinggapi penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan lagi hingga pada akhirnya hancur.
Berangkat dari teori diatas, dapat dianalogikan dengan pertumbuhan dan perkembangan Dinasti Abbasiyah, yaitu tahap pertama dapat dianalogikan dari khalifah Abu al-Abbas sampai kepada khalifah al-Mutawakkil. Tahap kedua sampai dengan tahap yang kelima dapat dianalogikan kepada masa-masa setelah pemerintahan al-Mutawakkil sampai kepada al-Mu’tashim. Sedangkan proses kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak bisa dilepaskan dari masa kemundurannya. Penyebab langsung kehancuran Dinasti ini adalah datangnya serangan pasukan Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H./1258 M. Proses kedatangan tentara Mongol ke Baghdad, menimbulkan ragam pendapat di kalangan sejarawan. Al-Suyuthi dan Ibn Katsir berpendapat bahwa kedatangan tentara Mongol tersebut ke Baghdad ada kaitannya dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Ibn Al-Qami dari kelompok Syiah Rafidah, dimana ia sangat berambisi untuk merampas khilafah dari tangan Bani Abbas dan kemudian meyerahkannya kepada Dinasti Fathimiyah. Kesempatan emas tersebut diperolehnya sewaktu pasukan Mongol menyerbu wilayah-wilayah Islam. Ia aktif mengadakan kontak dengan pasukan Mongol untuk merebut Baghdad. Jika ia menerima surat dari pasukan Mongol, maka surat tersebut dirahasiakannya. Sebaliknya, seluruh hal yang berhubungan dengan Dinasti Abbasiyah, ia beberkan secara transparan dan detail kepada pasukan Mongol.
Hal ini juga terungkap dari ungkapan sejarawan Islam klasik lainya Ibn Katsir yang mengatakan bahwa Ibn Alqami menulis surat kepada Mongol yang intinya mendukung rencana mereka untuk merebut Baghdad dan siap “melicinkan” jalan bagi pasukan Mongol. Ia membeberkan kepada pasukan Mongol tentang kondisi yang dialami oleh Dinasti Abbasiyah termasuk kelemahan-kelemahan pasukan al-Mu’tashim. Itu semua dilakukannya tidak lain karena ia melihat Dinasti Abbasiyah hancur dan khalifahnya tumbang. Kebencian Ibn Alqami bertambah lagi setelah adanya tragedy di Baghdad pada tahun 655 H./1257 M. antara aliran Syiah Rafidah dan aliran Sunni. Ketika itu, aliran Sunni berhasil mengalahkan aliran Syiah Rafidah dan kemudian mengambil alih semua rumah-rumah pengikut aliran Syiah Rafidah tersebut, termasuk rumah keluarga Ibn Alqami.
Ibn Alqami akhirnya dapat merayu pasukan Mongol untuk menyerang Baghdad. Ia menyarankan agar khalifah al-Mu’tashim mengirimkan hadiah yang berharga kepada Hulagu Khan agar ia membatalkan rencananya untuk menguasai Baghdad. Beberapa pembantu khalifah mengusulkan agar khalifah tidak memberikan hadiah dalam bentuk hadiah yang mewah, cukup hadiah yang secara materi biasa-biasa saja. Khalifah al-Mu’tashim sependapat dengan ususlan para pembantunya tersebut. Kemudian, beliau mengirimkan hadiah yang tidak begitu berharga kepada Hulagu Khan. Pada sisi lain, Ibn al-Aqlami kemudian memberikan informasi kepada Hulagu Khan tentang perdebatan di istana mengenai hadiah dari khalifah untuk Hulagu Khan. Hulagu Khan kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Mu’tashim untuk mengirimkan pembantu dekatnya yang mengusulkan pemberian hadiah yang tidak berharga tersebut. Khalifah tidak membalas surat tersebut dan tidak menanggapinya secara serius. Hal ini menambah kegeraman Hulagu Khan terhadap khalifah al-Mu’tashim dan kaum muslimin.
Pada awal tahun 656 H./1258 M. Hulagu Khan mengirim-kan pasukan ke Baghdad di bawah pimpinan amir-nya sebagai bentuk kedatangan awal pasukan yang lebih besar. Sampai di Baghdad, mereka mendapati kota Baghdad dijaga dengan ketat. Akan tetapi hal tersebut tidak merubah rencana mereka untuk menyerang kota Baghdad. Mereka mengepung istana khalifah dan menyerangnya dengan “hujan panah” dari seluruh penjuru. Panah tersebut masuk ke dalam istana dan mengenai salah seorang pembantu istana. Melihat hal tersebut, khalifah al-Mu’tashim meminta kepada para pengawalnya untuk melipatgandakan pengawalan.
Pada tanggal 12 Muharram 656 H./1258 M. pasukan yang berkekuatan 200.000 personil dipimpin oleh Hulagu Khan tiba di Baghdad. Mereka mengepung Baghdad dari Barat dan Timur. Cucu Jengis Khan ini meminta agar khalifah menemuinya. Al-Mu’tashim dengan kawalan hamper 700 orang keluar dari Baghdad. Menjelang sampai ke tempat Hulagu Khan, para pengawal tersebut tidak diperbolehkan mengawal khalifah sebanyak 700 orang tesebut, justru yang diperbolehkan Cuma 17 orang saja. Dan selanjutnya, pengawal-pengawal yang tinggal tersebut dibunuh. Pertemuan antara Hulagu Khan dengan khalifah al-Mu’tashim tetap berjalan seperti yang direncanakan. Setiap Hulagu Khan menanyakan sesuatu kepada khalifah, khalifah menjawabnya dengan gemetar karena melihat penghinaan dan pelecehan yang dilakukan oleh hulagu Khan pada dirinya. Usai pertemuan tersebut, khalifah kembali ke Baghdad dengan pengawalan yang cukup ketat. Ia diikuti oleh Ibn Alqami dan salah seorang kepercayaan Hulagu Khan bernama Nashiruddin al-Thusi. Tidak lama kemudian khalifah mengirimkan hadiah yang terdiri dari emas dan benda-benda berharga lainnya kepada Hulagu Khan. Namun pemberian hadiah tersebut tidak berarti karena Ibn Alqami dan Nashiruddin al-Thusi selalu mempengaruhi Hulagu Khan untuk tetap menyerang Dinasti Abbasiyah (dalam hal ini khalifah al-Mu’tashim).
Bahkan Ibn Alqami mengusulkan pembunuhan khalifah dan usulan tersebut didukung oleh Nashiruddin al-Thusi. Ketika khalifah al-Mu’tashim untuk kali keduanya menemui Hulagu Khan, maka Nashiruddin al-Thusi mengatakan kepada Hulagu Khan bahwa inilah saat yang tepat untuk membunuh khalifah. Akhirnya, pada hari Rabu tanggal 14 Safar 656 H./17 Januari 1258 M., khalifah al-Mu’tashim terbunuh dalam usia 46 tahun. Setelah khalifah terbunuh, pasukan Mongol memasuki Baghdad dan membunuh siapa saja yang memungkinkan untuk mereka bunuh, laki-laki, perempuan, anak-anak dan seterusnya. Disamping itu, mereka juga membunuh para khatib, imam dan penghafal al-Qur’an. Mereka dibunuh secara kejam. Selain membunuh masyarakat, pasukan Mongol ini juga memporakporandakan kota Baghdad, menghancurkan masjid, sekolah dan juga menghancurkan pilar-pilar peradaban Islam yang tidak ternilai harganya seperti membakar dan memusnahkan buku-buku di berbagai perpustakaan di kota Baghdad.
Setelah terbunuhnya al-Mu’tashim, maka secara resmi berakhirlah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang telah mampu bertahan selama lebih kurang 600 tahun.
DAYA TAHAN POLITIK DINASTI ABBSIYAH DALAM SEJARAH
Walaupun masa jayanya tidak begitu lama, tetapi Dinasti Abbasiyah masih dapat bertahan selama lebih kurang 600 tahun. Sebuah prestasi yang cukup mengesankan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah ini memiliki daya tahan yang cukup luar biasa selama waktu yang demikian panjang tersebut. Faktor-faktornya antara lain :
1. Keyakinan Terhadap Hadits
Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan ummat Islam. Biasanya hadits ini akan dipegang teguh. Begitu juga halnya dengan hadits al-aimmatun min quraisyin. Hadits ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses keberlangsungan Dinasti Abbasiyah dalam lintasan sejarah peradaban ummat manusia. Selama berabad-abad lamanya, para ulama dan ummat Islam meyakini bahwa kepala negara (khalifah) haruslah berasal dari suku Quraisy, sebab menurut mereka hadits ini dalam posisi harus diamalkan. Ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H./1449 M.) telah membahas kandungan hadits tersebut secara panjang lebar. Ia mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama-pun kecuali dari kalangan Muktazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara (khalifah) diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dijelaskan juga, bahwa dalam sejarah Islam telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah dan mereka tidak berasal dari suku Quraisy. Maka menurut pandangan ulama sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imamah al-uzhma), karena mereka bukan berasal dari suku Quraisy.
Berhubungan dengan hal ini, maka al-Qurthubi (w. 671 H./1273 M.) menyebutkan bahwa kepala negara disyariatkan harus dari suku Qurays. Sekiranya, menurut al-Qurthubi, suatu saat tinggal satu orang saja, maka yang satu orang tersebutlah yang berhak sebagai kepala negara. Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya telah pernah dimunculkan oleh al-Mawardi (364-450 H./ 975-1059 M.) yang merupakan salah seorang ulama pemikir paling berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam tulisannya, al-Mawardi tetap mempertahankan kepala negara dari suku Quraisy, termasuk juga para wazir tawfidh dan para pembantunya. Hak prerogatif bagi suku Quraisy didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa : “pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy” dan hadits lainnya : “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu pemegang amanah”. Ungkapan-ungkapan hadits tersebut diterima oleh semua pihak baik ulama maupun masyarakat, tidak ada yang meragukan kebenaran nya dan tidak ada yang menyanggahnya.
Pemahaman secara tekstual hadits tersebut dan yang sepemahaman dengannya dalam sejarah Islam telah menjadi pendapat umum para ulama dan kaum muslimin serta menjadi landasan normatif bagi pemegang kekuasaan selama berabad-abad. Dalam perkembangan sejarah Dinasti Abbasiyah, walaupun khalifahnya lemah, sementara dinasti-dinasti kecil berdiri dan memiliki kekuatan untuk merebut jabatan khalifah seperti Dinasti Seljuk dan Dinasti Buwaihi , akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk merebut jabatan khalifah. Salah satu sebabnya adalah karena mereka merasa bahwa mereka bukan berasal dari suku Quraisy dan mereka yakin bahwa mereka tidak berhak untuk jabatan khalifah tersebut. Pemahaman hadits secara tekstual itulah yang menyebabkan kemudian Dinasti Abbasiyah dapat bertahan lama sampai datangnya serangan Mongol.
Setelah berlangsung pemahaman tekstual selama berabad-abad terhadap hadits tersebut, maka muncullah seorang ulama yang mempelopori pemahaman hadits tersebut secara kontekstual. Dia adalah Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa hak kepemimpinan bukanlah terletak pada suku Quraisy, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakatnya adalah dari suku Quraisy. Apabila pada suatu waktu ada orang yang bukan berasal dari suku Quraisy namun memiliki kewibawaan dalam memimpin, maka orang tersebut bisa diangkat sebagai pemimpin atau kepala negara (khalifah).
Apabila kandungan hadits diatas dihubungkan dengan fungsi kenabian Nabi Muhammad SAW., maka dapatlah dinyatakan bahwa pada waktu nabi Muhammad SAW mengeluarkan hadits tersebut, posisi beliau adalah kepala negara yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial yaitu sifat yang mengutamakan suku Quraisy. Hal ini bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwa yang paling utama disisi Allah adalah yang paling taqwa (QS. Al-Hujurat : 13). Mengutamakan suku Qurays bukanlah ajaran dasar dari ajaran agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW., karena hadits tersebut hanyalah ajaran yang bersifat temporal. Namun terlepas dari perdebatan pemahaman, baik perspektif tekstual maupun kontekstual, namun yang jelas hadits ini telah memberikan daya normatif ketahanan Dinasti Abbasiyah sehingga mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil
Dis-integrasi dalam bidang politik sebenarnya telah dimulai pada masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah. Namun, bila berbicara tentang politik dalam lintasan sejarah Islam akan terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Hal ini dapat dilihat, bahwa wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dari masa awal berdirinya hingga masa keruntuhannya cenderung sama – untuk tidak mengatakan cenderung bertambah luas. Sementara pada Dinasti Abbasiyah, hal yang dialami oleh Dinasti Umayyah tidaklah sama. Karena pada masa Dinasti Abbasiyah, wilayah kekuasaannya memeiliki kecenderungan terpecah-pecah dibawah pemerintahan dinasti-dinasti kecil. Disamping itu, kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini tidak pernah diakui di Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir. Akan tetapi, pengakuan Mesir tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini terbukti dengan berdirinya Dinasti Fathimiyah yang memiliki khalifah sendiri yang sekaligus merupakan tandingan bagi khalifah Abbasiyah. Bahkan dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa banyak daerah-daerah yang tidak dapat dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah. Secara nyata, wilayah-wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan para gubernur wilayah yang bersangkutan. Hubungannya dengan pemerintah pusat (khalifah) tidak hanya ditandai dengan pembayaran upeti, tetapi juga dengan menyebutkan nama khalifah dalam setiap sholat Jumat dan di dalam mata uang yang beredar.
Ada anggapan yang mengatakan bahwa khalifah Dinasti Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tersebut, seperti pembayaran upeti. Alasan yang dikemukakan adalah khalifah tidak memiliki kekuasaan dan kekuataan yang cukup kuat untuk membuat mereka tunduk dan para penguasa Dinasti Abbasiyah lebih menitikberatkan pemerintahan nya pada pembinaan dan pengembangan peradaban dan kebuda-yaan dari pada ekspansi wilayah.
Akibat kebijaksanaan yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah dengan lebih mengutamakan kepada pengembangan dan pembinaan peradaban tersebut menyebabkan munculnya beberapa dinasti kecil. Pada satu sisi, kemunculan dinasti-dinasti kecil ini memberikan potensi yang potensial dalam menngkondisikan kelemahan bagi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sementara pada sisi lain justru hal ini memperlambat runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena mereka turut membantu dinasti ini dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang datang menyerang pusat kekuasaannya. Diantara dinasti-dinasti kecil tersebut yang dependent terhadap pemerintahan pusat adalah :
1. Dinasti Aghlabiyah (184-296 H./800-909 M.)
Aghlabiyah merupakan suatu dinasti yang berkuasa di Tunisia, Afrika Utara. Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim ibn al-Aghlab. Berdirinya dinasti ini berawal ketika Ibrahim ibn al-Aghlab mengusulkan kepada khalifah Harun al-Rasyid supaya ia diangkat menjadi gubernur di Tunisia. Ibrahim tidak hanya memulihkan ketentraman di Afrika Utara, tetapi juga dapat mengirimkan upeti sebesar 40.00 dinar setiap tahun ke Baghdad. Usulan ini diterima oleh khalifah, maka pada tahun 184 H./800 M., Ibrahim ibn al-Aghlab ditetapkan sebagai gubernur di Tunisia. Sementara itu versi lain, CE. Bosworth mengatakan bahwa khalifah Harun al-Rasyid memberikan propinsi Tunisia kepada Ibrahim al-Aghlab sebagai imbalan dari pajak tahunan yang dikirim dari Tunisia sebesar 40.000 dinar ke Baghdad.
Terlepas dari semua versia itu, Ibrahim al-Aghlab setelah beliau menjadi gubernur Tunisia terus berusaha menjaga hubungan baik dengan khalifah di Baghdad. Sehingga, baru setahun setelah pengangkatannya tersebut, kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak ada lagi di Tunisia. Akan tetapi secara formal mereka masih memiliki keterikatan dengan pemerintahan pusatdi Baghdad, walaupun pada hakekatnya mereka telah menjadi pemerintahan yang merdeka. Mereka dapat menentukan sendiri kebijakan politiknya termasuk menentukan penggantinya tanpa adanya campur tangan dari khalifah.
Ibrahim al-Aghlab serta para penggantinya merupakan amir-amir yang berhasil mengatasi ancaman dan tantangan yang timbul di wilayah kekuasaan mereka. Keberhasilan yang mereka peroleh membuat keberadaan dinasti ini cukup disegani oleh dinasti-dinasti lain, terutama dinasti-dinasti yang berada di daerah Afrika Utara. Selama masa pemerintahannya, dinasti Aghlabiyah telah berhasil memperoleh beberapa kemajuan terutama dalam membangun armada angkatan laut. Tujuannya adalah untuk menjaga pantai Tunisia dari serangan Bizantium, Piza dan Franka, bahkan mereka berhasil dianggap sebagai raja lautan selama satu abad.
Pada perkembangan selanjutnya, dinasti Aghlabiyah berhasil menaklukkan Sicilia pada tahun 264 H./878 M. Sicilia kemudian dijadikan basis pasukan Aghlabiyah untuk melakukan serangan ke pulau-pulau lainnya dan pantai-pantai Eropa, diantaranya mereka berhasil menaklukkan beberapa kota pantai di Italia seperti Brindisi (221 H./836 M.), Napoli (22 H./837 M.), Calabria (223 H./838 M.), Toronto (225 H./840 M.) dan Benevanto (227 H./842 M.). Serangan yang berkepanjangan yang dilakukan oleh dinasti ini terhadap pantai-pantai Italia termasuk ke jantung peradaban Italia yaitu kota Roma, menyebabkan Paus Yohannes VIII minta agar pasukan Aghlabiyah meninggalkan kota Roma dan sekitarnya dengan imbalan upeti 25.000 uang perak per tahun. Disamping itu, pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (253 H./866 M.), pulau Malta (258 H./869 M.) pulau Corsica dan Mayorka.
Mereka juga berhasil menguasai daerah Portofino di pantai barat Italia Utara serta menguasai Athena dan bermukim di kota ini sampai awal abad ke-10 M. Keberhasilan Dinasti Aghlabiyah ini dalam penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, membuat mereka menjadi dinasti yang kaya raya. Para penguasanya bergairah membangun Tunisia dan Sicilia. Mereka membangun irigasi yang besar dan airnya disalurkan melalui pipa yang panjangnya 25 kilo meter dan mereka juga mendirikan masjid-masjid yang sangat indah dan eksotik. Pada masa inbi bermunculan kota-kota baru yang memiliki rumah-rumah yang indah dan menawan. Perekonomian masyarakat Aghlabiyah terbilang makmur. Dinasti Aghlabiyah juga membangun al-Qasr al-Qadin, sebuah istana yang dibangun sebagai bentuk apresiasi terhadap khalifah. Kota-kota Aghlabiyah juga dilengkapi dengan tempat pemandian umum, benteng-benteng, pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat pertemuan serta tempat-tempat hiburan. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah kemajuan dalam bidang arsitektur. Hal ini bisa dilihat dari arsitektur masjid Qairawan yang dibangun oleh Ziyadatullah, berdiri megah dan dapat menandingi kemegahan masjid dari belahan timur. Masjid ini masih berdiri dengan megahnya hingga sekarang. Masjid Qairawan dianggap salah satu masjid suci oleh orang-orang Islam bahagian barat setelah masjid al-Haram di Mekkah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid al-Aqsha di Yerusalem.
Qairawan sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah muncul menjadi pusay terpenting perkembangan mazhab Maliki menggantikan kedudukan dan dominasi Medinah. Di kota ini berkumpul para ulama terkemuka seperti Sahnun (w. 240 H./854 M.), pengarang kitab Mudawwanah, Yusuf Ibn Yahya (w. 240 H./854 M.) dan Isa ibn Muslim (w. 295 H./908 M.). Karya-karya ulama Mazhab Maliki ini beserta karya-karya ulama-ulama lainnya hingga saat sekarang masih tersimpan dengan baik di masjid Agung Qairawan. Namun, setelah berjaya selama berabad-abad, akhirnya dinasti ini mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan – sebagaimana digambarkan dalam filsafat sejarah-nya Ibn Khaldun – karena penguasanya tenggelam dalam kehidupan hedonistik. Akhirnya muncul dinasti Fathimiyyah yang kemudian mengalahkan Dinasti Aghlabiyah.
2. Dinasti Samaniyah (209-395 H./819-1005 M.)
Dinasti ini berasal dari keturunan yang mulia dari Persia. Khalifah al-Makmum mengakui keberadaan dan kemuliaan mereka sehingga salah seorang dari pemimpin mereka yang bernama Asad bin Saman diangkat menjadi pembantu khalifah. Empat orang anaknya juga bekerja pada khalifah al-Makmum di Khurasan. Mereka bekerja dengan baik dan loyal terhadap khalifah sehingga mereka diangkat menjadi gubernur di empat propinsi. Nur diangkat menjadi gubernur di Samarkand, Ahmad di Farghana, Yahya di Syasy dan Ilyas di Heart. Disamping mendapat simpati dari khalifah, mereka juga mendapat simpati dari masyarakat. Mulanya yang menaruh simpati pada mereka adalah warga masyarakat yang berada di bawah kekuasaan mereka, akan tetapi karena kebaikan mereka, akhirnya simpati masyarakat menyebar ke seluruh wilayah Persia termasuk diantaranya daerah-daerah seperti Sijistan, Karman, Jurjan, Ray, Thabaristhan, Transoxiana dan Khurasan.
Salah seorang putera mereka yang bernama Natsir bin Ahmad diangkat menjadi gubernur untuk seluruh wilayah Transoxiana oleh khalifah al-Mu’tamid. Natsir bin Ahmad inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangun dinasti Samaniyah dengan menjadikan Samarkand sebagai pusat kekuasaannya. Sepeninggal Natsir bin Ahmad, kekuasaan dilanjutkan oleh saudaranya Ismail bin Ahmad. Di masa pemerintahannya ini, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Khurasan. Ia juga berhasil menaklukkan Thabaristhan dan menyatukannya dengan al-Ray. Maka dengan demikian, terpeliharalah batas-batas kekuasaannya di arah barat. Ia juga berhasil menguasai daerah Afghanistan dan daerah-daerah yang berada di perbatasan India. Akibatnya, Dinasti Samaniyah pada waktu itu menjelma menjadi dinasti terkuat di kawasan timur.
Walaupun dalam prakteknya Dinasti Samaniyah bersifat otonom, namun dinasti ini tetap loyal pada khalifah di Baghdad. Sementara itu, mereka juga diakui oleh khalifah sebagai penguasa wilayah Islam di bagian timur. Ada beberapa peranan penting yang dilakukan oleh dinasti ini sehingga ia memiliki kontribusi yang signifikan dalam perkembangan Islam seperti dalam bidang politik dan kebudayaan. Dalam bidang politik, mereka telah berhasil melindungi wilayah-wilayah strategis bagi pengembangan wilayah Islam di bahagian timur serta mengembangkan Islam ke wilayah Turki. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, dinasti ini telah menjadikan istananya di Bukhara sebagai tempat beraktualisasinya para ulama-ulama dan ilmuan. Setelah wafatnya Ismail bin Ahmad, dinasti ini dipimpin oleh penguasa-penguasa yang lemah. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan wilayah mereka. Sehingga satu persatu wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan Dinasti Samaniyah ini mulai melepaskan diri, sampai akhirnya pada tahun 395 H./ 900 M. dinasti ini runtuh.
Walaupun masa jayanya tidak lama, namun dinasti ini telah mengalami berbagai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan seperti dalam bidang tasauf dengan munculnya beberapa ahli tasauf seperti Syaqi’ al-Bakhi, ‘Umar bin Salim, Abu Thurab al-Nakhsyabi, ‘Abu Ali al-Jurjani. Sedangkan dalam bidang sastra, sejarah peradaban Islam mengenal nama-nama al-Ba’lani dan al-Jaithabi. Dalam bidang filsafat dan sains muncul nama-nama besar seperti Ibnu Sina, Abu Zaid al-Bakhi, Abu Qasim al-Ka’bi dan beberapa nama lainnya.
3. Dinasti Thahiriyah (205-259 H./821-873 M.)
Dinasti ini didirikan oleh Thahir bin al-Hussein, berkuasa di Khurasan dengan Naishapur sebagai ibu kotanya. Ia tampil ketika terjadinya pertentangan diantara putra-putra khalifah Harun al-Rasyid (antara al-Amin dan al-Makmum). Dalam kondisi ini, ia mengabdikan diri kepada al-Makmum dan memimpin pasukan melawan al-Amin. Pasukannya berhasil mengalahkan pasukan al-Amin. Kemenangan ini dicatat oleh beberapa ahli sejarah sejarah sebagai refleksi dan perwujudan dari kemenangan simbol-simbol Persia. Atas keberhasilannya tersebut, ia digelari oleh al-makmum dengan zu al-yaminain (terampil). Imbalan atas kemenangannya tersebut, Thahir diangkat menjadi gubernur di Khurasan pada tahun 205 H./821 M. Jabatan ini hanya dipegangnya selama dua tahun, selanjutnya setelah beliau wafat, jabatan gubernur tersebut diserahkannya kepada puteranya, Thalhah bin Thahir.
Thalhah sebagai pengganti ayahnya berusaha meningkatkan hubungan yang baik dengan pemerintahan pusat di Baghdad. Hal ini terlihat dari pembayaran upeti secara teratur ke Baghdad. Diangkatnya Thalhah sebagai gubernur di Khurasan, mengindikasikan semakin kuatnya posisi Thahiriyah di Khurasan. Ditambah lagi setelah beliau wafat, jabatan gubernur kemudian diserahkan kepada saudaranya Abdullah bin Thahir. Masa pemerintahan Abdullah merupakan masa kemajuan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini selalu memberikan bantuan kepada pusat terutama dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang ada di Irak dan Transoxiana.
Kemajuan yang diperoleh pada masa ini tidak bisa dilanjutkna oleh penggantinya. Sehingga setelah Abdullah wafat, dinasti ini mengalami kemunduran. Pada saat itu, muncullah kekuatan baru di Sijistan yang berasal dari keluarga Shaffar. Akibatnya pada tahun 259 H./873 M. mereka berhasil mengusir penguasa Thahiriyah (dalam hal ini waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Thahir II) dan keluarganya dari Naisapur. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Thahiriyah.
4. Dinasti Shafariyah (253-298 H./867-911 M.)
Dinasti ini berpusat di Sijistan, salah satu propinsi yang terletak di Persia. Dinasti ini didirikan oleh Ya’qub ibn Laith al-Shaffar. Al-Shaffar artinya “tukang barang kuningan atau tembaga”. Hasan Ahmad Mahmud dan Ahmad Ibrahim Syarif mengatakan bahwa Ya’qub adalah seorang pemimpin yang gagah berani serta dapat memanfatkan momentum saat terjadinya konflik politik dan lemahnya Dinasti Abbasiyah. Ia dan saudaranya ikut serta dengan kelompok yang memerangi para pembangkang Dinasti Abbasiyah, terutama di daerah bagian timur khususnya di Sijistan.
Keberhasilan Ya’qub dan saudaranya dalam memerangi para pembangkang tersebut, sebagai reward-nya, khalifah memebri kekuasaan di Sijistan dan Punjab pada tahun 253 H./867 M. Pada tahun ini juga ia mengumumkan Dinasti Shafariyah dan menyatakan dirinya sebagai amir. Walaupun telah memiliki kekuasaan sendiri, namun Ya’qub tetap tunduk dan patuh terhadap khalifah. Tahun 259 H./873 M. ia berhasil menguasai daerah Khurasan yang pada waktu itu berada dibawah kekuasaan Dinasti Thahiriyah. Disamping itu, daerah-daerah seperti Kabul di Afghanistan dan Bulkh berhasil juga ditaklukannya. Akibat dari kekuatan yang mereka miliki ini, khalifah akhirnya memberikan wewenang penuh pada mereka untuk membasmi para penyamun di daerah kekuasaan mereka tersebut.
Setelah Ya’qub meninggal dunia, khalifah dilanjutkan oleh saudaranya Amr ibn al-Laith. Di masa pemerintahannya, ia berusaha memperluas wilayah kekuasannya dan mencoba menaklukkan daerah Transoxiana yang secara politis berada dibawah kekuasaan Dinasti Thahiriyah. Namun dalam penaklukan tersebut, pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail bin Ahmad dari Dinasti Samaniyah. Ia kemudian ditangkap dan seluruh wilayah kekuasaannya dilepas, kecuali Sijistan. Selain Ya’qub dan Amir, terdapat tiga orang lagi penguasa dinasti ini yaitu Thahir bin Muhammad, Lais bin ‘Ali dan al-Mu’addil bin ‘Ali. Namun ketiganya dianggap sebagai penguasa yang tidak dapat mempertahankan eksistensi dinasti ini dan kiprah mereka tidak ada yang signifikan untuk dicatat dalam lembaran sejarah Islam.
Disamping dinasti-dinasti kecil diatas, dinasti-dinasti lain yang dianggap berperan dalam mempertahankan kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah :
1. Dinasti Murabithun (448-541 H./1056-1147 M.)
Murabithun pada awalnya merupakan gerakan hasrat akan keagamaan ditengah-tengah suiku Barbar cabang Sanhajjah di Sudan Barat. Gerakan ini dipimpin oleh Yahya bin Ibrahim. Setelah melaksanakan ibadah haji, setelah abad ke-5 M. ia diperkenalkan oleh salah seorang penguasa Qairawan dengan seorangb ulama yang bernama Abdullah bin Yasin, seorang ulama yang diberikan tugas untuk menambah pengetahuan dan penghayatan keagamaan (Islam) kepada mereka. Mulanya Abdullah bin Yasin hanya mengajar delapan orang, dua diantaranya adalah kepala suku Lamtumah (satu cabang dari Sabhajah) yaitu Yahya bin Umar dan Abu Bakar bin Umar. Mereka kemudian mendirikan pondok yang disebut dengan Ribath. Ibn Yassin menyebut murid-muridnya dengan Murabithun. Berkat adanya ribath ini, maka murid-muridnya bertambah mencapai ribuan orang. Mereka pada umumnya berasal dari para prajurit dan kepala suku Lamtumah dan Nufusah.
Dengan jumlah yang cukup signifikan tersebut, akhirnya cabang-cabang suku Sanhajjah satu per satu dapat ditaklukkan sehingga pengikut Murabithun berkembang pesat. Dibawah pimpinan Yahya bin Umar, mereka berhasil menaklukkan daerah-daerah di Sahara dan Wadi Dar’ah. Kemudian dibawah pimpinan Abu Bakar bin Umar, ia kemudian melanjutkan usaha penaklukkan ke wilayah utara dan berhasil menguasai daerah-daerah seperti Sus, tarudant serta kerajaan Agmat.
Beberapa waktu setelah meninggalnya ‘Abdullah bin Yasin, terbentuklah sebuah imperium dibawah pimpinan Abu Bakar bin ‘Umar. Usahanya ini kemudian dilanjutkan oleh keponakannya yang bernama Yusuf bin Tasyfin. Ia berhasil menguasai Maroko tahun 453 H./1061 M. dan pada tahun berikutnya, ia membangun kota Marakesy sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti ini kemudian cepat berkembang sebagai kekuatan baru dalam dunia Islam di Afrika Utara. Hal ini terjadi karena pengaruh Dinasti Fathimiyyah di Mesir sudah mulai melemah. Begitu juga dengan Dinasti Umayyah di Spanyol yang telah terpecah-pecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Demikian juga dengan Baghdad. Kondisi inilah yang dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Ibn Tasyfin sehingga ia berhasil mengembangkan kekuasaannya.
Hancurnya kekuasaan di Spanyol menyebabkan ummat Islam Spanyol terpecah-pecah dan timbulnya intimidasi dari kalangan Kristen. Salah seorang diantara mereka, yaitu al-Mu’tamid (penguasa kerajaan Sevilla) minta bantuan kepada Ibn Tasyfin untuk menghadapi pasukan Kristen yang dipimpin oleh Alvonso VI. Ibn Tasyfin berhasil mengalahkan pasukan Alvonso VI dalam peperangan di Zalaqqah dekat Baddajoz pada tahun 479 H./1086 M. Setelah berhasil membantu al-Mu’tamid, ia kembali ke Afrika Utara. Namun empat tahun kemudian, ia kembali lagi ke Spanyol dan berhasil menaklukkan sejumlah wilayah-wilayah di Spanyol seperti Granada (487 H./1094 M), Sevilla (487 H./1094 M.), valencia (496 H./1102 M.) dan kota Badacos (487 H./1094 M.). Keberhasilannya ini tidak hanya berhenti pada penaklukan wilayah saja, akan tetapi beliau memiliki kemampuan dalam mengendalikan roda pemerintahan dengan baik. Ibn Tasyfin menerima pengakuan otoritas dari khalifah Abbasiyah dengan gelar Amir al-Mukminin, maksudnya bahagian dari khalifah Abbasiyah.
Walaupun telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Ibn Tasyfin tidak berusaha untuk melepaskan diri dari Baghdad. Hal ini terbukti bahwa dalam setiap khutbah Jumat selalu disebut nama khalifah Abbasiyah dan juga dalam mata uang yang mereka gunakan. Tahun 500 H./106 M. Ibn Tasyfin meninggal dunia yang kemudian kekuasaannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama ‘Ali. Wilayah kekuasaan yang ditinggalkan oleh Ibn Tasyfin telah meluas sampai ke Liberia Selatan serta Valencia, dan dari Kepulauan Atlantik hingga Aljazair di Afrika Utara. Dalam perkembangan selanjutnya, dinasti ini tidak mampu mempertahankan kekuasaan dan eksistensi mereka, yang pada akhirnya mereka mampu dikalahkan oleh Dinasti Muwahhidun dan menguasai Marakesh pada tahun 541 H./1146 M.
2. Dinasti Muwahhidun (524-667 H./1130-1269 M.)
Al-Muwahhidun pada awalnya merupakan gerakan keagamaan yang berkuasa di Maroko dan Spanyol. Gerakan ini mendapat tempat di Arab bagian Barat. Gerakan ini mengajarkan kesadaran bahwa dunia ini berada pada dimensi kesucian karena itu mereka menamakan gerakan mereka tersebut dengan al-Muwahhidun (penegak keesaan Tuhan).
Gerakan ini dipimpin oleh Ibn Thumar (470-521 H./1077-1130 M.), seorang keturunan Barbar dari suku Masmudah di pegunungan Atlas Maroko. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau kemudian belajar di Damaskus dan Baghdad. Kemudian ia kembali ke Maroko dan kemudian mengembangkan teologi ‘Asyariyah dan pemikiran tasauf Al-Ghazali. Ia merupakan penganut teologi ‘Asyariah yang sangat fanatik. Kelahiran gerakan yang dipelopori Ibn Thumar pada masa itu merupakan antitesa dari faham yang berkembang masa ini. Disamping itu, gerakan ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi moral penguasa Murabithun yang telah mengalami dekadensi moralitas serta pendangkalan terhadap ajaran-ajaran agama Islam. Ibn Thumar mengklaim bahwa kebobrokan moral rakyat serta terdapatnya penyimpangan-penyimpangan moral ditengah-tengah masyarakat tersebut berkorelasi erat dengan moralitas penguasa Murabithun. Oleh sebab itu, menurutnya, jihad merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk menghancurkan Dinasti Murabithun.
Pada tahun 515 H./1121 M. Ibn Thumar mengklaim dirinya sebagai al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan sebuah pemerintahan. Semenjak berhasil mengaku sebagai al-Mahdi, ia mampu memikat suku Barbar Atlas yang telah menganut agama Islam, namun pengetahuan agama mereka masih dangkal. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Ibn Thumar adalah membuat komunitas pasukan agama. Dari sinilah kemudian ia menyerukan perang suci untuk menaklukkan daerah-daerah sekitarnya.
Kontak pertama yang terjadi dengan Dinasti Jurabithun adalah ketika gubernur di Sus dengan pasukannnya menyerang suku Hargu yang membangkang, namun dapat dipukul mundur. Dengan kemenangan pertama ini, pasukan al-Mahdi selanjutnya berkembang dengan pesat. Ia kemudian pindah ke dusun Timnal dan nmembangun pusat pemerintahannya yang pertama. Setelah Ia meninggal, kekuasaan diambil alih oleh penggantinya Abdul Mun’im yang kemudian berhasil menaklukkan Afrika Utara sampai dengan padang pasir Libya. Ekspansi ini secara intensif berlangsung setelah Murabithun mengalami kelemahan. Tahun 566 H./1170 M. ummat Islam Spanyol jatuh ke tangan Muwahhidun. Sevilla dijadikan ibu kotanya untuk beberapa waktu, namun penguasanya sering ke Maroko dan menjalankan pemerintahan dari Marakesy.
Dalam perkembangannya, Dinasti Muwahhidun telah mengalami berbagai bentuk kemajuan dalam berbagai bidang, namun yang paling menonjol adalah ilmu pengetahuan, filsafat dan arsitektur. Pada masa ini telah bermunculan beberapa tokoh filsafat terkenal dalam khazanah intelektual Islam maupun dunia seperti Ibn Thufail (w. 585 H./1185 M.) dan Ibn Rusyd (w. 595 H./1195 M.) serta Ibnu ‘Arabi (w. 638 H./1240 M.). Seni pahat dan arsitektur juga berkembang pesat. Dinasti ini memperkenalkan seni arsitektur khas Islam Spanyol yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk peninggalan masjid di Geraldo yang sekarang telah dirubah menjadi Kathedral Agung di Sevilla. Kemudian masjid Kutubbiyahdi Marakesy, masjid Hasan dan masjid Tlemcen di Rabat. Namun dinasti ini tidak bertahan lama, lebih kurang hanya selama satu setengah abad. Dinasti ini kemudian mengalami kemnduran dan sedikit demi sedikit digerogoti oleh penyerbuan ummat Kristen. Akhirnya dinasti ini kemudian digantikan oleh Dinasti Mariniyah.
Kehadiran dinasti-dinasti-dinasti yang dependen pada masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini, besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang.
Namun, kehadiran dinasti-dinasti kecil ini telah mampu memadamkan begitu banyak pemberontakan yang secara politis potensial dalam menggerogoti kewibawaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Aghlabiyah, misalnya, dalam sejarah Islam telah memiliki kontribusi besar dalam memadamkan pemberontakan rakyat di Tripoli, pemberontakan yang dipimpin oleh Hamdis, pemberontakan Ziyad bin Sahal, pemberontakan Ahmad, pemberontakan Mansyur ibn Nasyr, pemberontakan ‘Umar bin Salim, pemberontakan-pemberontakan lainnya yang umumnya banyak dipelopori oleh suku Barbar. Pemberontakan-pemberontakan yang berpotensi politis dan menghabiskan anggaran atau kas negara ini bisa diatasi oleh Dinasti Abbasiyah karena kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut yang secara hirarkis-politis masih menganggap Dinasti Abbasiyah sebagai “pusat pemerintahan mereka”.
Dalam bidang ekonomi, keberadaan dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah untuk memeratakan perkembangan ekonomi daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sangat luas tersebut. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil yang lahir dan berkembang tersebut telah mampu memastikan pendapatan bagi kas negara Dinasti Abbasiyah terjamin dan terjaga.
Disamping kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut dalam bidang ekonomi dan politik, kontribusi lainnya adalah kemampuan dinasti-dinasti kecil itu dalam menjaga tradisi intelektual dan peradaban Islam dengan baik. Dinasti-dinasti kecil ini dalam sejarah dianggap telah memberikan ruang untuk menumbuhkembangkan peradaban Islam dengan baik dan apresiatif. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam masa dinasti-dinasti kecil ini eksis, mereka telah mampu memfasilitasi zaman untuk melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar Islam sekaliber Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibn al-Na’im, Abu Farij al-Isfahan, al-Khaitami dan lain-lain. Dinasti-dinasti kecil ini juga dikenal sebagai dinasti-dinasti yang apresiatif dengan seni arsitektur. Jadi tidaklah mengherankan apabila pusat-pusat pemerintahan dinasti-dinasti kecil ini memiliki banyak bangunan-bangunan (terutama masjid) dengan arsitektur yang indah dan megah.
Sedangkan dalam bidang keagamaan, dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah phery-phery. Tanpa adanya “perpanjangan tangan” Dinasti Abbasiyah (baca : dinasti-dinasti kecil), besar kemungkinan penyebaran Islam ke daerah-daerah pinggiran kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak mampu berjalan dengan baik dan dengan intensif sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut.
3. Tidak Adanya Kekuatan Signifikan Yang Lain Selain Dinasti Abbasiyah
Kekuatan lain yang dimaksud dalam buku ini adalah kekuatan di luar Bani Abbasiyah yang berasal dari suku Quraisy. Akibat adanya landasan normatif agama Islam—dalam hal ini hadits yang mengutamakan suku Quraisy sebagai pemimpin – maka hal ini memperkuat posisi kekhalifahan Abbasiyah untuk bertahan dalam waktu yang lama. Tidak adanya dinasti dari suku Quraisy selain dinasti Abbasiyah membuat kekhalifahan Abbasiyah memiliki keleluasaan dalam “memonopili justifikasi normatif keagamaan” tersebut.
Potensi ini kemudian ditambah lagi dengan kepatuhan beberapa kekuatan-kekuatan lainnya (maksudnya dinasti-dinasti Islam lainnya yang secara kekuasaan dan kekuatan militer berpotensi besar bisa mengalahkan dinasti Abbasiyah), namun karena kepatuhan terhadap hadits tersebut, maka dinasti-dinasti yang berasal dari non-Qurays ini merasa terpanggil untuk mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah karena panggilan dan justifikasi keagamaan. Tidak bisa dibayangkan apabila ada kekuatan lain (dalam hal ini Dinasti lain dari Bani Quraisy, maka kekuasaan Dinasti Abbasiyah memiliki potensi besar untuk dapat bertahan dalam masa yang demikian panjang tersebut.
EPILOG
Sebagai epilog, dapat disimpulkan bahwa keyakinan terhadap hadits yang menyatakan bahwa ada “nilai lebih” pada suku Quraisy untuk menjadi kepala negara (dalam hal ini khalifah) membuat hal ini menjadi faktor paling potensial dalam mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah dalam waktu yang sangat lama. Justifikasi-normatif keagamaan ini memiliki daya besar untuk menimbulkan rasa fanatik bagi ummat Islam. Disamping itu, jabatan khalifah dianggap sesuatu yang sakral. Dua hal ini menjadi suatu faktor yang paling signifikan dalam melihat daya tahan politik Dinasti Abbasiyah. Justifikasi terhadap hadits dan sakralisasi jabatan kepala negara (khalifah) yang juga dijustifikasi secara normatif oleh ajaran Islam.
Sementara itu, munculnya dinasti-dinasti kecil telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah pemberontakan-pemberontakan yang potensial melemahkan kewibawaan Baghdad, bisa diatasi oleh dinasti-dinasti kecil ini. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil ini mayoritas adalah dinasti-dinasti yang memiliki apresiasi yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tidaklah mengherankan apabila Dinasti Abbasiyah dikenal dalam sejarah sebagai salah satu Dinasti besar yang mampu melahirkan capaian-capaian peradaban dan ilmu pengetahuan paling unggul untuk masanya dalam sejarah peradaban Islam. Namun, bila kita jujur terhadap sejarah, semua ini tidak terlepas dari kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut.
Disamping justifikasi normatif agama tentang nilai plus suku Quraisy menjadi khalifah dan sakralisasi jabatan kepala negara, daya tahan Dinasti Abbasiyah juga disebabkan karena tidak adanya kekuatan lain yang muncul “sebanding” dengan kekuatan Dinasti Abbasiyah. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan yang sama-sama berasal dari suku Qurays.
Kamis, 22 Januari 2009
Daya Tahan Politik Dinasti Abbasiyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar