Oleh : DR. Firdaus, M.Ag
Pembicaraan tentang pakaian dalam Al-Qur’an, dibahas dalam konteks etika (akhlak), estetika dan ibadah. Dalam konteks etika, pakaian berfungsi menunjukkan kepribadian seseorang. Pakaian berpengaruh pada keindahan pemakainya, di sini pakaian mempunyai fungsi estetika. Pakaian juga berfungsi sebagai pelindung seseorang dari segala yang akan mencelakainya. Dalam ibadah, pakaian menentukan diterima atau tidaknya suatu ibadah.
Kewajiban menutup aurat disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batasan aurat yang harus ditutup. Perbedaan ini tidak mengurangi kewajiban menutup aurat. Selama ini belum diperbincangkan ulama sanksi bagi orang yang tidak menutup aurat, padahal ini penting untuk mendukung penerapan kewajiban menutup aurat di kalangan masyarakat muslim. Ketentuan sesuatu yang wajib bila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa, berlaku di akhirat nanti. Pertanyaannya apakah mungkin ditetapkan sanksi duniawi bagi muslim yang tidak menutup aurat. Ini salah persoalan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Di samping itu, akan dijelaskan fungsi pakaian, etika berpakaian dan pakaian wanita dalam pandangan Al-Qur’an.
Kata pakaian dalam bahasa Indonesia, berarti barang yang dipakai di badan manusia. Dengan pengertian yang sama Peter Salim dan Yenny Salim mendefinisikan pakaian sebagai sesuatu yang dipakai manusia untuk menutupi tubuh. Kedua pengertian ini bersifat umum, tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan batasan yang disebut pakaian. Bentuk dan batasannya menjadi jelas ketika kata pakaian dihubungkan dengan kata lainnya, seperti pakaian ihram, yaitu pakaian yang khusus dipakai waktu melaksanakan ibadah haji, terdiri dari dua helai kain putih.
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah untuk pakaian, yaitu, libas, labus, tsiyab, sarabil dan zinah. Semua kata-kata ini menunjukan arti menutupi dan melindungi. Kata libas awalnya berarti penutup yang dipakai untuk menutup apa saja karena makna dasar kata itu adalah menutupi sesuatu. Al-Qur’an menggunakan kata libas untuk menunjukkan pakaian lahir dan pakaian batin. Al-Maraghi menjelaskan yang dimaksud dengan libas pada surat al-A’raf ayat 26 adalah semua yang digunakan untuk menutup aurat dan sesuatu yang dipakai sebagai perhiasan, termasuk di dalamnya baju besi dan pakaian perang.
Kata libas digunakan Al-Qur’an untuk pakaian yang dapat menutupi seseorang dari aib. Karenanya, Al-Qur’an memandang seorang suami pakaian bagi istrinya karena ia mencegah isterinya dari melakukan perbuatan yang menimbulkan aib bagi dirinya atau sebaliknya, sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Baqarah ayat 187. Di samping itu, Al-Qur’an pada surat al-A’raf ayat 26 mengungkapkan kata libas dalam bentuk tamtsil yaitu takwa sebagai pakaian.
Kata tsiyab dipakai untuk menunjukkan pakaian lahir. Ia berasal dari kata tsaub yang berarti kembali, yaitu kembalinya sesuatu pada keadaannya semula atau pada keadaan yang semestinya sebagaimana yang dikehendaki dengan ide pertamanya. Pakaian disebut tsiyab atau tsaub karena ide dasar pakaian adalah agar dipakai. Bila bahan-bahan itu dipintal menjadi pakaian, maka ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya. Ide dasar itu, menurut Quraish Shihab, dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya. Ide dasar yang terdapat dalam diri manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana yang diisyaratkan pada surat al-A’raf ayat 20 dan 22 adalah “tertutupnya aurat”, tetapi karena godaan setan, aurat manusia menjadi terbuka.
Istilah lain yang digunakan Al-Qur’an untuk pakaian adalah sarabil, berarti pakaian dengan segala jenisnya. Dalam bentuk lain, Al-Qur’an memakai kata zinah dengan maksud pakaian. Zinah dengan pengertian pakaian dijelaskan al-Maraghi ketika menafsirkan surat al-A’raf ayat 27, di mana zinah adalah semua pakaian yang baik dan pantas dipakai.
Kata zinah secara umum mengandung tiga pengertian, yaitu zinah nafsiyah seperti ilmu pengetahuan dan keyakinan, zinah badaniyah seperti kekuatan atau perawakan tinggi dan zinah kharijiyah seperti harta kekayaan. Namun, dalam konteks lebih khusus, kata zinah dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, zinah khalqiyah, yaitu keelokan atau kecantikan rupa yang diberikan Allah kepada manusia. Dalam hal ini, kecantikan wajah merupakan zinah yang paling utama. Kedua, zinah muktasabah, yaitu kecantikan yang dapat diusahakan memperolehnya, seperti melalui pakaian.
Dari uraian terdahulu, diketahui pakaian adalah sesuatu yang dapat melindungi pemakainya dari hal-hal yang dapat mencelakai dan merusaknya, baik diungkapkan dalam pengertian sebenarnya (hakiki) maupun dalam bentuk kiasan (majazi).
C. Ayat-ayat Tentang Berpakaian
Dari beberapa istilah yang digunakan Al-Qur’an tentang pakaian, yaitu libas, tsaub, sarabil dan zinah, menunjukkan Allah memerintahkan manusia berpakaian. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsaub ditemukan sebanyak delapan kali, sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat dan zinah ditemukan sebanyak sembilan belas kali, meskipun tidak semuanya selalu berhubungan dengan pakaian. Diantara ayat tentang pakaian tersebut adalah:
يابنىآدم قد أنزلنا عليكم لباسا يواري سوآتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من آيات الله لعلهم يذكرون
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS.7: 26).
ياايها المدثر قم فأنذر وربك فكبر وثيابك فطهر
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” …(QS.74: 1-4).
...وجعل لكم سرابيل تقيكم الحر وسرابيل تقيكم بأسكم كذلك يتم نعمته عليكم لعلكم تسلمون
… Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)” (QS. 16: 81).
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن علىجيو بهن ولا يبد ين زينتهن الا لبعولتهن او آبائهن او آباء بعولتهن او ابنائهن او ابناء بعولتهن او إخوانهن او بني إخوانهن او بني اخواتهن او نسائهن او ما ملكت ايمانهن او التابعين غير اولي الإربة من الرجال او الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا ايها المؤمنون لعلكم تفلحون.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS.24: 31).
يابني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”(QS.7: 31).
ايها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك ادنى ان يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما.
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang “ (QS. 33: 59).
1. Penutup Aurat.
Pakaian berfungsi sebagai penutup aurat sebagaimana dalam surat al-A’raf ayat 26. Menurut jumhur, ayat ini menjadi dalil wajibnya menutup aurat bagi setiap pribadi muslim. Hal ini ditegaskan dalam ayat ini dengan يواري سوآتكم . Dari ayat ini dipahami pakaian dengan bermacam bentuknya dianugerahkan Allah kepada manusia yang berfungsi untuk menutup auratnya.
Kata sau-at dalam Al-Qur’an berasal dari kata sa-a-yasu-u yang berarti buruk. Kata ini semakna dengan kata ‘aurat, terambil dari kata ‘ar yang berarti onar, aib dan tercela. Keburukan dimaksud bukan pada apa yang terdapat didiri manusia, tetapi keburukan muncul karena berasal dari faktor lain. Ini dapat dipahami karena tidak ada pada diri manusia yang buruk, semuanya bermanfaat, termasuk aurat. Tetapi, bila aurat dilihat orang, maka keterlihatan itulah yang buruk. Karenanya, ulama sepakat mengenai kewajiban berpakaian sampai menutup aurat agar tidak dapat dilihat orang.
Namun, ulama berbeda pendapat tentang batasan aurat, bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup. Dalam konteks ini, dapat diamati dari empat sisi. Pertama, aurat laki-laki sesama laki-laki. Jumhur ulama berpandangan, aurat laki-laki sesama laki-laki adalah dari pusat sampai ke lututnya. Imam Malik berpendapat paha tidak termasuk aurat.
Kedua, aurat laki-laki dihadapan wanita. Untuk ini, ada beberapa kemungkinan yaitu, bila laki-laki itu merupakan orang yang tergolong mahram wanita itu, maka auratnya adalah dari pusat sampai ke lutut. Namun, bila laki-laki ajnabi, maka auratnya adalah seluruh badannya.
Ketiga, aurat wanita sesama wanita yaitu, dari pusat sampai ke lutut, sama dengan aurat laki-laki sesama laki-laki. Aurat wanita terhadap budaknya, baik laki-laki maupun wanita dari pusat sampai ke lutut. Namun, menurut pendapat terkuat aurat wanita dari pusat sampai ke lutut hanya berlaku pada budak wanita bukan budak laki-laki dan pendapat ini yang dipegang oleh Said ibn Musayyab.
Keempat, aurat wanita dihadapan laki-laki. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali semua bagian tubuh wanita aurat. Bahkan, imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat semua tubuh wanita merupakan aurat sampai ke kukunya. Sementara mazhab Hanafi berpendirian seluruh tubuh wanita memang aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ini diperkuat kewajiban membuka wajah dan telapak tangan dalam ihram dan perintah Nabi saw. melihat wajah dan telapak tangan wanita yang ingin dinikahi seorang laki-laki. Sedangkan aurat budak wanita adalah bagian tubuh yang berada di bawah dada. Pendapat lain, mengatakan auratnya sama dengan aurat laki-laki.
Perbedaan pendapat ulama mengenai batas aurat wanita dihadapan laki-laki dilatar belakangi perbedaan mereka memahami ayat ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها. Pengecualian dalam ayat ini, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah adalah kebolehan membuka wajah dan kedua telapak tangan dengan berpegang kepada pendapat sebagian sahabat dan tabi’in yang juga menafsirkan pengecualian dalam ayat itu untuk wajah dan kedua telapak tangan, bahkan menurut mazhab Hanafi, “kedua kaki” bukan termasuk aurat bagi wanita dalam sholat.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali memahami pengecualian dalam ayat itu hanya kebolehan menampakan aurat wanita secara tidak sengaja seperti ditiup angin. Di luar kondisi ini, semua tubuh wanita aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangan.
Surat al-A’raf ayat 26 di atas, disamping membicarakan pakaian penutup aurat, ayat ini menyebutkan pula fungsi lain pakaian, yaitu libas al-taqwa. Ulama berbeda pendapat memahami dan menafsirkan libas al-taqwa. Sebagian mereka, menafsirkannya dengan rasa malu, amal salih, wajah yang berseri-seri atau bentuk pakaian yang menggambarkan sikap tawadhu’ seseorang pada Allah. Sebagian ulama, memahami pada fungsi pakaian yang memiliki unsur taqwa (pemeliharaan), sehingga yang dimaksud adalah pakaian dalam bentuk perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana lainnya.
Menurut pendapat yang masyhur, libas taqwa lebih tepat dipahami dengan libas maknawi merupakan gambaran ketakwaan seseorang kepada Allah sebagai pakaian batin yang menyelamatkannya dari bencana dunia dan akhirat. Ini merupakan pakaian yang terbaik bagi seseorang. Namun, pemahaman ini tidak menggugurkan kewajiban menutup aurat karena libas al-taqwa secara lahir adalah menutup aurat. Dengan demikian, seseorang bukan hanya wajib menutup aurat yang lahir, tetapi juga wajib menutup aurat yang bersifat batin sebagai wujud ketaqwaannya pada Allah.
2. Pelindung tubuh dari pengaruh cuaca dan serangan musuh
Fungsi pakaian ini ditemukan pada surat al-Nahl ayat 81. Kata sarabil dalam ayat ini dipahami sebagai sesuatu yang dipakai menutupi tubuh yang dapat berbentuk baju, wol, bulu, kapas atau katun. Pakaian ini menjadi bukti kelebihan manusia dari makhluk lainnya dan karunia Allah yang tidak ternilai bagi manusia. Kenyataannya, binatang melindungi tubuhnya dari pengaruh cuaca hanya diberikan Allah melalui kulit atau bulu. Sedangkan manusia diberikan Allah pakaian yang berasal dari luar tubuhnya.
Pakaian juga berfungsi melindungi manusia dari serangan musuh dalam peperangan. Allah memberikan manusia kemampuan membuat pakaian perang seperti baju besi dan senjata yang digunakan dalam peperangan. Kemampuan ini di antaranya diberikan Allah pada Nabi Daud membuat pakaian perang dan senjata-senjata yang ampuh dalam mengalahkan musuh, sebagaimana dalam surat al-Anbiya’ ayat 80.
3. Penunjuk identitas dan perhiasan
Fungsi pakaian yang lain adalah penunjuk identitas sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 59 yang menugaskan Nabi saw. agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita mukmin agar mengulurkan jilbab mereka sebagai suatu indentitas. Asbabun nuzul ayat ini, berkaitan dengan wanita-wanita muslim yang keluar pada malam hari membuang hajatnya selalu diganggu orang-orang munafik dan fasiq kota Madinah. Bila wanita itu pakai tutup kepala, maka ia adalah orang merdeka dan tidak diganggu orang munafik dan fasiq. Namun, bila wanitanya tidak pakai tutup kepala, maka ia dipandang budak sehingga orang munafik “menginginkannya”, lalu turunlah ayat ini.
Pertanyaan muncul bagaimana bila identitas wanita muslim dengan wanita non muslim dan budak telah dapat dibedakan dengan jelas serta wanita muslim dapat menjaga diri mereka dengan baik, apakah hukum memakai jilbab seperti yang disebutkan dalam ayat itu masih berlaku karena illat tidak terwujud lagi. Ketentuan berjilbab dalam ayat, apakah bersifat taaqulli, di mana ketika tidak terwujud illatnya boleh diganti dengan bentuk lain atau bersifat taabuddi, di mana tidak dapat berubah kapanpun dan di mana pun.
Menutup aurat dengan memakai jilbab termasuk kewajiban yang bersifat ‘aini ta’abbudi (wajib dilakukan setiap individu karena ibadah semata-mata). Meskipun, memakai pakaian yang menutup aurat termasuk jilbab ada hikmahnya, tetapi terwujud atau tidaknya hikmah, tidak dapat merubah status hukum memakai jilbab.
Pakaian berfungsi pula sebagai perhiasan karena membawa keindahan bagi pemakainya, meskipun keindahan itu sendiri bersifat relatif, tergantung kepada sudut pandang siapa yang menilainya. Fungsi pakaian sebagai perhiasan akan terungkap ketika menjelaskan etika berpakaian pada uraian selanjutnya.
1. Dalam ibadah
Etika berpakaian dalam ibadah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-A’raf ayat 31. Asbabun nuzul ayat ini terdiri dari beberapa riwayat, di antaranya berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab, laki-laki dan wanita-wanitanya, melakukan tawaf di sekitar Baitullah dalam keadaan telanjang. Riwayat lain sebagaimana yang diinformasikan Ibn Abbas bahwa para wanita pada masa Jahiliyah selalu melakukan tawaf dalam keadaan telanjang dengan hanya menutup sehelai kain pada kemaluannya. Berkenaan dengan kondisi ini, Allah menurunkan ayat 31 surat al-A’raf.
Ayat ini menjadi dalil tentang etika menutup aurat dalam melakukan ibadah di Baitullah. Namun demikian, perintah menutup aurat berlaku dalam peribadatan di semua masjid, sebagaimana ditunjukkan ayat itu sendiri. Dalam konteks ini, ulama menyusun sebuah kaedah: العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السباب, yang dijadikan patokan, yaitu umumnya lafaz bukan khususnya sebab. Karenanya setiap muslim diperintahkan memakai pakaian yang baik, pantas dan menutup aurat ketika memasuki masjid sebagai wujud penghormatan terhadap kesucian masjid.
Memakai pakaian yang baik dan pantas ketika beribadah dalam masjid, menurut sebagian ulama disesuaikan dengan kebiasaan pada acara-acara atau perkumpulan-perkumpulan lainnya. Jangan sampai seorang muslim lebih rapi dan berpakaian baik ketika mengikuti acara-acara yang bersifat duniawi, sementara ke masjid atau untuk sholat menggunakan pakaian yang sudah usang dan tidak bersih. Bila ini terjadi, berarti ia tidak dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebaliknya tidak tercela seorang muslim memakai pakaian lebih baik dan bersih ke masjid dari acara-acara lainnya. Ini dimaksudkan agar seorang mukmin yang beribadah kepada Allah tampak dalam penampilan terbaiknya. Etika ini berlaku bagi laki-laki dan wanita.
Memakai pakaian dalam ibadah, terkait pula dengan pelaksanaan sholat. Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menutup aurat dalam sholat, apakah syarat sah sholat atau bukan. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat menutup aurat merupakan syarat sah sholat sebagaimana yang terdapat dalam ayat di atas. Namun, Malik menempatkan menutup aurat sebagai sunat sholat, tetapi bukan berarti menutup aurat tidak penting dalam sholat. Malik berpegang pada perbuatan Nabi saw. yang membenarkan sebagian sahabat laki-laki melakukan sholat dengan pakaian yang tidak sepenuhnya menutup aurat mereka. Syatibi menempatkan menutup aurat sebagai mukammilat sholat. Bila seseorang sulit menemukan sesuatu yang dapat digunakan menutup aurat bukan berarti kewajiban sholat gugur bagi dirinya, ia tetap sholat meskipun tidak menutup aurat sebagai wujud penghormatan terhadap ibadah sholat.
2. Bentuk pakaian dalam kegiatan lainnya
Ayat-ayat mengenai perintah menutup aurat, seperti surat al-Nur ayat 31, al-Ahzab ayat 59 dan al-A’raf ayat 7 dapat dijadikan landasan bahwa Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim menutup aurat ketika melakukan interaksi dengan orang-orang yang bukan muhrimnya, dan dengan muhrim dalam batas tertentu kapan dan dimana pun. Mengenai bentuk dan model pakaian disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakai, suasana dan acara apa dipakai pakaian tersebut. Al-Qur’an memang sengaja mengatur prinsip-prinsip umumnya, yaitu tertutupnya aurat dan tidak menjelaskan persoalan model dan bentuk pakaian karena merupakan hal yang selalu berkembang setiap waktu. Manusia bebas menentukan pakaian yang dipakainya ke pesta, sawah, pasar atau tempat dan kegiatan lainnya selama menutup aurat.
3. Memakai pakaian bersih dan sederhana
Perintah ini dilandaskan pada ayat 4 surat al-Muddatsir; وتيابك فطهر . Kata tsiyab, menurut al-Qurtubhi memiliki beberapa arti yaitu, amal, qalbu, nafs, tubuh, keluarga, agama dan pakaian yang dipakai. Mayoritas ulama menafsirkan tsiyab dalam ayat ini dengan makna majazi yaitu kiasan dari jiwa {nafs). Jiwa yang suci adalah jiwa yang dihiasi dengan akhlak mahmudah dan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Imam Malik menafsirkannya dengan agama, berarti ayat itu memerintahkan setiap muslim memelihara kesucian agama Islam dari segala bentuk penyimpangan.
Kata tsiyab dapat pula dipahami dari makna hakikinya sebagai pakaian yang dipakai manusia. Dari sisi ini, dapat ditarik dua pengertian; Pertama, perintah memendekan pakaian agar ujungnya tidak mengenai najis ketika berjalan. Ini didukung hadis Nabi yang menetapkan batas akhir izar (sarung) dan pakaian lain, yaitu mata kaki dan mengancam orang yang memanjangkan pakaian sampai melewati mata kaki dengan api neraka. Kedua, perintah mensucikan pakaian yang terkena najis. Jadi, ayat ini merupakan dalil bahwa Islam mengutamakan kebersihan dan kesederhanaan dalam berpakaian.
F. Pakaian Wanita
Ada dua istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menyebutkan pakaian penutup aurat wanita, yaitu jilbab dan khimar. Kata jilbab terdapat pada surat al-Ahzab ayat 59. Jilbab adalah suatu pakaian yang menutupi seluruh tubuh, semacam mantel pada saat ini. Dalam pengertian lain, jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala.
Ayat ini menjelaskan jilbab merupakan hijab syar’i yang diperintahkan Allah kepada setiap muslimah (mukallaf; baliqh dan merdeka) memakainya dengan tujuan menjaga kehormatan dan kemuliaannya dari gangguan tangan atau lidah usil. Jilbab yang dimaksud ayat adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita sehingga keindahan tubuhnya tidak tampak. Jilbab berfungsi juga sebagai identitas muslimah.
Jilbab sebagai identitas muslimah, dipahami dari lafal yang dikandung ayat 59 surat al-Ahzab dan asbab nuzulnya mengenai wanita mukmin yang diganggu orang-orang fasiq ketika buang hajat pada malam hari karena mereka mengira wanita-wanita mukmin itu para budak. Sahabat melaporkan kejadian ini kepada Nabi saw., lalu turunlah ayat itu.
Perintah berhijab turun setelah kewajiban menutup aurat ditetapkan. Dari sini dipahami berhijab merupakan perintah tambahan terhadap kewajiban menutup aurat. Ini sebabnya, mufassir cenderung mengatakan jilbab sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita, bukan hanya menutup auratnya sebagaimana dipahami sebagian orang. Teks ayat membantah anggapan orang yang menganggap kewajiban hijab hanya berlaku bagi istri-istri Nabi. Padahal hijab berlaku juga bagi para muslimah.
Al-Shabuni menetapkan beberapa syarat hijab yang dikehendaki ayat di atas. Pertama, hijab mesti menutupi seluruh tubuh. Kedua, harus terbuat dari bahan yang tebal, sebab kalau tipis dapat ditembus pandangan. Ketiga, tidak berwarna menyolok, sebab dapat menarik perhatian orang yang melihatnya. Keempat, hijab mesti longgar, tidak ketat. Kelima, hijab bukan pakaian yang diberi wangi-wangian sehingga baunya dapat merangsang laki-laki. Keenam, tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Mengenai tata cara memakai jilbab ada beberapa pendapat ulama. Ibn Abbas berpendapat bahwa jilbab dikenakan di atas dahi, lalu diikat di atas hidung sehingga kedua mata terlihat, tetapi dada dan sebagian besar muka tertutup. Sebagian ulama, berpandangan jilbab dipakai sehingga menutupi salah satu mata dan dahi dan menutupi sebagian muka kecuali satu mata, tradisi seperti ini yang berkembang di Andalusia sebagaimana yang dijelaskan Abu Hayyan.
Al-Qur’an pun memakai istilah lain untuk pakaian wanita, yaitu khimar sebagaimana dalam surat al-Nur ayat 31: وليضربن بخمرهن على جيوبهن . Khimar adalah sesuatu yang dipakai untuk menutup kepalanya. Jaib adalah bagian yang dapat dibuka pada bagian atas baju sehingga terlihat sebagian leher perempuan.
Asbab al-nuzul ayat ini, salah satunya sebagaimana yang disampaikan Ali ibn Abi Thalib, yaitu mengenai seorang laki-laki muslim yang melewati salah satu jalan di Madinah. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan seorang wanita, lalu ia memandang wanita tersebut, dan wanita itu membalas pandangannya. Syaithan membisikan pada keduanya rasa saling mengagumi satu sama lain. Karena asyik memandangi wanita tadi tanpa disadari ia membenturkan hidungnya ke dinding di pinggir jalan. Ia menyampaikan kejadian itu kepada Nabi, lalu turunlah ayat ini.
Ayat di atas, menunjukkan bagian depan tubuh wanita, dada, leher dan kepala merupakan perhiasan dan bagian tubuh yang indah sehingga harus ditutup dengan khimar. Imam Bukhori meriwatkan sebuah hadis yang berasal dari Aisyah ra. yang mengatakan: Allah mengasihi wanita-wanita yang ikut hijrah ketika ayat ini turun, di mana mereka memotong izar mereka untuk dijadikan sebagai khimar.
Kewajiban menutup aurat sama penting dengan kewajiban agama lain seperti sholat dan puasa ramadhan. Karenanya, Al-Shabuni dengan tegas menyatakan barang siapa yang mengingkari kewajiban menutup aurat dan tidak melakukkannya, maka ia tersebut “kafir”. Orang yang tidak menutup aurat karena mengikuti adat masyarakat yang telah rusak, tetapi masih meyakini kewajibannya, ia dipandang berbuat dosa.
Dalam kajian ushul fiqh, suatu perbuatan wajib adalah perbuatan yang diberi Allah pahala bagi yang melakukannya dan mendapat dosa bagi yang meninggalkannya. Balasan ini jelas berlaku di akhirat, termasuk bagi orang yang tidak menutup aurat. Persoalannya mungkinkah dengan memahami nash-nash tentang kewajiban menutup aurat dan hikmah yang dikandungnya serta pertimbangan kemaslahatan masyarakat untuk menetapkan sanksi duniawi bagi orang yang tidak menutup aurat.
Berpijak pada prinsip hukum yang ditetapkan Syari’ selalu membawa manfaat bagi manusia ‘ajilun wa ajilun. Untuk mendukung pelaksanaannya perlu didukung dengan sanksi. Ini dapat diterapkan untuk kasus menutup aurat, di mana bagi orang yang tidak menutup aurat dapat diberikan sanksi tertentu oleh penguasa atau masyarakat guna mendukung kewajiban menutup aurat.
Sanksinya jelas bukan hudud, mengingat sanksi ini langsung diatur nash, sementara sanksi menutup aurat tidak diatur nash. Oleh sebab itu, kemungkinan yang dapat diterapkan sanksi yang dalam fiqh disebut ta’zir dari penguasa atau masyarakat. Sanksinya berupa sanksi moral misalnya, mempersempit peluang kesempatan bekerja atau kesempatan belajar di jenjang pendidikan tertentu, terutama di lembaga pendidikan keagamaan bagi orang-orang yang tidak menutup aurat.
Terbuka aurat wanita bukan satu-satunya unsur yang menyebabkan kejahatan seksual terhadap wanita, tetapi setidaknya hal ini mengundang laki-laki nakal memperkosa wanita. Dalam kasus ini, wanita yang tidak menutup aurat, lalu diperkosa dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim bukan hanya menghukum berat pemerkosa, tetapi wanita itu juga dijatuhi sanksi misalnya membayar denda. Bila memang dipandang maslahat oleh penguasa, penguasa dapat memberlakukan hukuman ta’zir bagi orang Islam yang tidak menutup aurat, baik bagi laki-laki maupun wanita, meskipun penerapannya mungkin ada kesulitan.
Pendapat diatas didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, menutup aurat adalah perintah agama baik dalam ibadah maupun di luarnya. Di luar ibadah, tidak effektif bila hanya diserahkan pada keimanan seseorang, tanpa didukung sanksi tertentu, mengingat terbukanya aurat, terutama wanita mengundang kejahatan seksual dari lawan jenisnya, meskipun bukan satu-satunya sebab. Kedua, Menutup aurat bertujuan memelihara beberapa hal dari Kulliyat al-Khams, yaitu pemeliharaan agama, diri dan keturunan. Segala yang mendukung pemeliharaannya seperti sanksi bagi orang yang tidak menutup aurat, dapat diterapkan dengan menggunakan prinsip al-Maqasid al-Tsanawiyah (al-Tabi’ah) sebagai al-Siyasah al-Syar’iyah dari penguasa.
Sebagai penutup kajian ini, perlu dipikirkan bagaimana upaya memasyarakatkan pakaian yang menutup aurat di kalangan masyarakat muslim untuk mendukung pemeliharaan kehormatan dan harga diri setiap muslim. Mewujudkannya diperlukan dukungan sanksi yang bersifat sosial atau sanksi lainnya dari penguasa berwenang.
Senin, 02 Februari 2009
Hukum Etika Berpakaian Menurut Al-Qur'an
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar