oleh : Syofyan Hadi, M.Ag
Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M.Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zamannya. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, gaya berfikir serta agama dan kepercayaan masyarakatnya.
Hal itulah, agaknya yang membuat para sejarawan menjadi “serba salah” memposisikan syair sebagai sumber data dan informasi sejarah. Di satu sisi, syair adalah suatu karya seni yang lebih mementingkan unsur keindahan daripada kebenaran. Sebab, syair disusun oleh beberapa aspek yang menjadikannya indah, di antaranya adalah imajinasi dan emosi. Di sisi lain, seperti yang disebutkan bahwa syair adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat zamannya. Namun demikian, ada hal yang menjadi kesepakatan para ahli sejarah, bahwa khusus untuk syair-syair Arab pra Islam boleh dan bahkan mesti dirujuk untuk dijadikan sumber dalam kajian sejarah. Kajian tentang masyarakat Arab pra Islam tidaklah akan utuh dan sempurna jika tidak merujuk kepada syair-syair Arab pra Islam (Jahiliyah) tersebut.
Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa syair Arab jahiliyah mesti menjadi rujukan sejarah. Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Arab pra Islam tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis tentang kehidupan mereka zaman itu, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, mereka tidak mengenal budaya tulis pada zaman itu dan lebih senang dan bangga dengan budaya “oral” dan hafalan. Oleh karena itu, satu-satunya sumber sejarah yang bisa dilacak adalah syair-syair Arab yang beredar di kalangan para perawi syair. Sebab, tradisi riwayat syair sudah mengakar dalam budaya masyarakat Arab semenjak masa lalu. Hal itu disebabkan oleh kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah dan menjadi kebanggaan bagi setiap orang bila dia bisa menghafal syair-syair penyair kabilahnya, dari generasi ke generasi. Sehingga, masyarakat Arab pra Islam berlomba-lomba untuk bisa menghafal syair para penyair dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya.
Kedua, para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem masyarakat bangsa Arab pra Islam. Para penyair dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural dan mampu mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh kerana itulah para penyair mendapat tempat yang terhormat di tengah masyarakat, bahkan dianggap sebagai nabinya suatu kabilah. Sehingga, kata-kata yang diucapkan oleh para penyair, dianggap bukan perkataan yang biasa dan berhak diabaikan saja. Ungkapan para penyair adalah sesuatu yang mesti dihargai dan dijaga. Dengan demikian, khusus untuk syair-syair Arab pra Islam para sejarawan sepakat - sekalipun ada yang tidak setuju seperti Thaha Husein, namun kapasistasnya bukanlah sebagai sejarawan - untuk menjadikannya sebagai sumber sejarah bagi bangsa Arab. Syair Arab pra Islam adalah rekaman dari kehidupan pada zamannya. Berikut, kita akan melihat salah satu aspek kehidupan masyarakat Arab yang digambarkan syair, yaitu aspek agama.
Ada beberapa bentuk keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat Arab pra Islam. Syair-syair Arab merekam beberapa bentuk keyakinan atau agama masyarakat Arab pra Islam tersebut. Di antaranya,
Aliran Thamthamiyah (animisme dan Dinamisme)
Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. al-Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih. Begitu juga jika tumbuhan, maka tumbuhan itu tidak boleh ditebang dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Mereka berkeyakinan, bahwa jika mereka mengganggu, merusak atau membinasakan binatang atau tumbuhan tersebut, maka bencana besar akan datang menimpa mereka.
Sangat terkenal sebuah syair yang mencela bani Hanifah, karena telah memakan buah sebatang korma yang mereka sembah. Hal ini meraka lakukan karena terpaksa, disebabkan masa paceklik dan kelaparan.
أكلت حنيفة ربها زمن التقحم والمجاعة
لم يحذروا من ربهم سوء العواقب والتياعة
Bani Abu Hanifah telah memakan tuhannya pada masa paceklik dan kelaparan
Mereka tidak takut akan mendapat azab dan dan siksa yang pedih dari tuhannya.
Bahkan saking besarnya pengaruh kepercayaan ini di kalangan masyarakat Arab, sehingga nama-nama kabilah (suku) di beri nama dengan nama bintang atau tumbuhan. Seperti, bani Asad (singa), bani Fahd (macan), Bani Dhabighah (kuda pacu), Bani Tsur (sapi jantan), bani Zi’bu (srigala), Bani Nasr (elang), bani Hanzhalah (labu) atau juga nama hewan laut seperi Quraisy (singa laut). Bahkan, nama orang sekalipun diberi nama bintang atau tumbuhan, seperti Kilab dan Hanzhalah.
Penyembah berhala
Bangsa Arab pada masa pra Islam mengenal dua istilah untuk sebutan berhala; ashnâm dan autsân. Perbedaan keduanya terletak dalam bahan materialnya dan tujuan. Jika patung itu dibuat dari emas, perak, kayu maka disebut dengan shamam atau ashnâm. Dan biasanya dipakai untuk ritual ibadah, penyembahan, tempat berdo’a serta meminta kesembuhan dan keselamtan. Sedangkan, jika patung itu dibuat dari batu, maka disebut dengan watsni atau autsân. Dan biasanya diapakai untuk acara ritul korban dan mempersembahkan sesajen, yang memang ritual seperti itu sudah dikenal oleh masyarakat Arab semenjak lama.
Orang yang pertama membuat patung dari bani Isma’il adalah Huzail bin Mudrikh dan orang pertama meperkenalkan berhala kepada masyarakat Quraiys adalah Umar bin Luhaiy. Sementara, kabilah Arab yang pertama menyembah berhala adalah bani Huzail dari bani Mudar yang menyembah patung Siwa. Seperti yang diungkapkan peyair berikut
تراهم حول قيلهم عكوفا كما عكفت هزيل على واع
Engkau lihat mereka tunduk dan sujud kepada raja mereka, seperti tunduk dan sujudnya bani Huzail kepda Siwa
Kemudian, penyembahan berhala berkembang di kalangan masyarakat Arab waktu itu, setelah Umar bin Luhaiy memperkenalkan kepada mereka patung yang dibawanya dari lembah Qudaid (tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah), patung itu kemudian diberi nama Manat, dan diletakan di Ka’bah. Bahkan, ritual penyembahan Manat tidak hanya dilakukan orang Arab Quraisy, namun juga orang-orang Arab Madinah Aus dan Khazraj yang selalu berkunjung dan mengadakan penyembahan dan korban kepada patung Manat. Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Uza al-Mazini
إني حلفت يميني صدق برة بمناة عند محل آل الخزرج
Saya benar-benar bersumpah dengan Manat, ditempat kelurga Khazraj bisanya beribadah
Yahudi dan Nashrani
Sebelum kedatangan Islam, agama Yahudi dan Nashrani sudah tersebar di Jazirah Arab. Agama Yahudi diperkirakan masuk ke Jazirah Arab dari Palestina pada tahun 70 M, ketika mereka mendapat tekanan dari penjajah Romawi raja Titus. Sebagian mereka berpindah ke wilayah Hijaz seperti Madinah (Yatsrib), Khaibar dan Thaif. Sementara agama Nashrani berpinadh ke Jazirah Arab pada masa kekuasaan Dzu Nuwas (510-525 M) yang melakukan tekananan terhadap masyarakat Nashrani Najran di Yaman dan memaksa mereka menjadi Yahudi. Seperti yang diceritakan dalam surat al-Buruj [85] ayat 4-8.
Kedua agama ini bersaing untuk menyebarkan pengaruhnya. Namun, agama Nashrani lebih mengungguli Yahudi, disebabkan karakter kedua agama ini yang berbeda. Nashrani adalah agama misionaris dan bersifat progresif, sedangkan Yahudi adalah agama yang kurang progresif. Sehingga, agama Nashrani dipeluk oleh banyak suku-suku Arab, namun tidak dalam pengertian mereka berpindah agama secar total. Akan tetapi, masyarakat Arab waktu itu memadukan antara ajaran lama mereka dengan ajaran Nashrani. Hal itu, seperti yang telihat dalam ungkapan Adi bin Zaid al-Ibadi berikut
سعى الأعداء لا يألون شرا علي ورب مكة والصليب
Musuh-musuh selalu berusaha berbuat jahat kepadaku, aku bersumpah demi Tuhan Ka’bah dan shlaib
Dalam syair di atas orang arab menyebutkankan Tuhan Ka’bah dan shalib dan ungkpan bersamaan. Selanjutnya, terihat di dalam beberapa syairnya para penyair betapa pola kehidupan serta istilah-istilah dalam agama Nashrani sudah sangat familiar di kalangan orang Arab sendiri. Simak misalnya syair Umrul Qais berikut ini;
يضئ سناه كمصابيح راهب أهان السليط فى الذبال المفتل
Lampunya tetap bersinar seperti lampu pendeta, sekalipun lidah orang yang fasih menghinanya dengan untaian kata yang tajam
Penganut Agama Hanif
Sebelum kemunculan Islam, di Jazirah Arab muncullah sebuah gerakan keagamaan yang pengikutnya adalah para cendikiawan dan pemikir Arab zamannya. Mereka menjauhkan diri dari penyembahan berhala dan juga tidak iku melakukan ibadah seperti halnya umat Yahudi dan Nashrani. Mereka disebut sebagai kelompok hanif, hunafa’ atau mutahannifin. Penamaan ini dinisbahkan kepada sifat Ibrahim as. seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 135
Di antara mereka yang terkenal adalah Qis bin Sa’idah, Zaid bin Umar bin Nufail, Umayyah bin Abi Shalt, Suwaid bin Amir, As’ad Abu Karab al-Himyari, Waraqah bin Naufal al-Quraisy, Zuhair bin Abi Sulma dan lain-lain. Merekalah yang berupaya memurnikan keyakinan sebagian masyarakat Arab dari kemusyrikan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka inilah yang kemudian berpengaruh besar terhadap perubahan keyakinan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.
Bentuk pemikiran kelompk hanif ini seperti telihat dalam syair Zaid bin Umar berikut,
أربا واحدا أم ألف رب أدين أذا تقسمت الأمور
عزلت اللات والعزى جميعا لذلك يفعل الجلد الصبور
فلا عزى أدين ولا ابنتها ولاصنمي بنى عمرو أزور
ولاغنما أدين وكان ربا لنا فى الدهر إذا حلمي يسير
بأن الله قد أفنى رجالا كثيرا كان شأنهم الفجور
وأبقى آخرين يبر قوم فيربل منهم الطفل الصغير
ولكن أعبد الرحمن ربي ليغفر ذنبي الرب الغفور
Apakah satu Tuhan yang saya sembah atau seribu tuhan, jika urusan telah tebagi
Saya meninggalkan Latta dan Uza semuanya, begitulah yang dilakukan oleh orang kuat dan sabar
Saya bukanlah penyembah Uza dan tidak pula kedua anak perempuannya, dan saya tidak juga mengunjungi patung bani Amar
Saya tidak pula menyembah kambing, karena kami memiliki Tuhan sepanjang masa semenjak masih bayi.
Allah telah membinasakan berapa banyak tokoh dan manusia, akibat dosa dan kejahatan yang mereka lakukan
Kemudia Dia meninggalkan kelompok yang berbuat baik, lalu tumbuh lagi genarasi baru dari mereka
Saya pasti menyembah Tuhan Yang Penyayang, agar Tuhan ku yang Maha Pengampun mengampuni dosaku.
Begitulah aspek kehidupan agama masyarakat Arab pra Islam yang digambarkan oleh syai-syair Arab masa itu. Agaknya, hal itu menjadi bukti betapa syair tidak boleh dikesampingkan ketika kita menguraikan sejarah suatu bangsa, khsusnya ketika kita berbicara kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Jika kita berbicara sejarah mereka, tentulah syair sesuatu yang mesti dirujuk agar gambaran sejarah tentang masyarakat Arab zaman itu bisa lebih utuh dan menyeluruh.
Mau minta sumber rujukan untuk syair2 arab yg berhubungan dengan agama dan keyakinan
BalasHapus