Minggu, 22 Februari 2009

Hikayat Kalilah wa Dimnah

Oleh : Syofyan Hadi, M.Ag

Dalam kehidupan manusia, kisah-kisah menempati posisi yang unik. Kisah tidak hanya mencerminkan fakta yag terjadi dalam kehidupan manusia tetapi juga mengkomunikasikan tentang sesuatu tentang mereka, pengalaman mereka, persepsi mereka serta pandangan mereka tentang dunia ini. Bahkan, akhir kehidupan mereka adalah kisah yang akan menjadi cerita bagi generasi berikutnya. Kisah, cerita, ataupun sebagian orang menyamakannya dengan dongeng, menjadi peralatan yang cukup ampuh dalam rangka mengajak orang untuk mengikuti nilai tertentu. Dengan kisah orang tidak merasa digurui untuk mengikuti sebuah nilai, terutama sekali nilai-nilai religius. Pentingnya kisah dalam wacana pendidikan sufi melahirkan mutiara-mutiara kisah yang tak terkira jumlahnya.

A. Pendahuluan
Kisah adalah gambaran dan reflekasi kehidupan umat manusia. Inilah yang melatarbelakangi munculnya beragam kisah sepanjang perjalana kehidupan manusia dan peradaban yang mereka bangun. Baydaba –seorang filsuf agung India- telah membuat sebuah karya yang ditujukan kepada Raja Dabysyalim (seorang raja India yang ditaklukan Iskandar Agung pada 226 SM). Karya ini, yang kemudian disadur al-Barzawiy ke dalam bahasa Persia , dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn al-Muqoffa’. Kisah ini menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat dengan menggunakan model fabel (kehidupan binatang yang dipakai sebagai kiasan untuk mendidik masyarakat) agar tulisannya mudah dicerna oleh dan dipahami oleh siapa saja yang membaca.
Komposisi karyanya dibuat dengan cerita berbingkai yang bersifat didaktis. Diantara empat belas bab yang ditulis ada yang diberi judul Kalilah dan Dimnah yang merupakan kisah fabel yang sengaja guna menjadi tamsil dan perumpamaan kehidupan manusia, agar mudah dipahami khalayak umum dan bisa dicerna semua kalangan serta menjadi kajian yang menarik bagi mereka yang merenungkannya. Nama tokoh dalam kisah ini kemudian dijadikan sebutan untuk menamakan karya monumental ini.
Dalam karya Kalilah dan Dimnah, Baydaba memulai pembahasannya tentang jalinan persahabatan dua kawan karib dan bagaimana keduanya mulai membangun persahabatan. Juga bagaimana persahabatan tersebut bisa menjadi putus akibat ulah pihak ketiga yang hipokrit. Alasan Baydaba menggunakan para hewan sebagai tamsil pembelajaran kepada manusia dikarenakan dia pernah mendengar seorang ahli hikmah yang berkata: “Jika hikmah diungkapkan dengan bahasa yang lugas, akan hilang nilai hikmahnya, sebab sentuhan hikmah adalah sentuhan hati, bukan hanya sekedar sentuhan akal. Dengan menggunakan perilaku binatang, tidak akan ada orang yang tersinggung. Dengan begitu bisa diperoleh dua target sekaligus, orang umum akan bisa mudah memahami dan orang cendikia akan bisa menajamkan pikirannya untuk merenungkan.”
Kisah Kalilah dan Dimnah walaupun berasal dari India dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, akan tetapi kemudian menjadi karya yang mendunia berkat andil Ibn al-Muqaffa’ seorang pujangga Islam yang hidup pada akhir dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah. Sehingga, para pengkaji hanya mengenal Ibn al-Muqaffa’ sebagai pengarang buku ini. Kalilah dan Dimnah telah diterjemahkan ke berbagai bahasa semenjak masa silam, tidak terkecuali ke bahasa Melayu. Penterjemahan kitab Kalilah dan Dimnah dalam bahasa melayu dilakukan di Algemeen Secretari sebuah lembaga ilmu pengetahuan Belanda di Batavia pada abad 19. Naskah ini berjudul Hikajat Kaleyla dan Damiena dan disimpan di sana.
Teks Kalilah dan Dimnah yang merupakan terjemahan dari karya Ibn al-Muqaffa’ tersebut secara struktur dan urutan cerita penyajianya seperti kitab aslinya yang berbahasa Arab. Akan tetapi, jika diperhatikan jalan cerita yang telah diterjemahkan, terdapat beberapa perobahan dari teks aslinya. Ada beberapa hal yang dikurangi dan ditambah oleh sang penterjemah, sekalipun ending ceritanya tetap sama. Pengurangan dan penambahan alur cerita tersebut agaknya memiliki keterkaitan dengan situasi politik dan sosial di mana sang penterjemah hidup. Naskah terjemahan hikayat Kalilah dan Dimnah tersebut semakin nampak perbedaannya jika dibandingan dengan terjemahan yang muncul belakangan. Oleh karena itullah, penulis mengajukan proposal penelitian dengan judul; Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kajian Filologis dengan analisis tekstual dan kontekstual). Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana bunyi teks kalilah dan Dimnah dan suntingan teksnya, dan Bagaimana keterkaitan situasi poilitik dan sosial terhadap peterjemahan naskah hikayat Kalilah dan Dimnah ? Kemudian, Apa pesan moral yang hendak disampaikan oleh penterjemah hikayat Kalilah dan Dimnah?
Mengingat begitu banyaknya cerita yang di tuangkan dalam hikayat Kalilah dan Dimnah, maka penulis membatasi penelitian pada satu kisah saja, yaitu cerita kera dan kura-kura. Cerita ini dipilih karena cerirta ini merupakan salah satu kisah yang merupakan karya asli ibn al-Muqaffa’. Karena, ibn al- Muqaffa’ sendiri menterjemahkan hikayat ini dari bahasa persia yang sebelumnya juga diterjemahkan dari bahasa India. Namun, Ibn al-Muqaffa’ menambah beberapa kisah di dalamnya yang aslinya hanya lima kisah. Kisah kera dan kua-kura merupakan kreatifitas dan tambahan sang penterjemah. Di samping, cerita ini adalah cerita yang paling dikenal penulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang berlaku dalam filologi dengan tahapan dan metode sebagai berikut: Tahap pertama pengumpulan data berupa inventarisasi naskah. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan naskah kalilah dan Dimnah. Tahap kedua pengolahan data dengan menggunakan metode deskriptif. Naskah Kalilah dan Dimnah yang ada, dideskripsikan dengan pola yang sama, seperti judul naskah, nomor naskah, asal naskah, ukuran naskah, ukuran teks, keadaan naskah, tebal naskah, jumlah halaman, jumlah baris tiap halaman, bentuk karangan, umur naskah, bahasa naskah, dan ringkasan isi. Pendeskripsian ini dilakukan untuk memudahkan tahap penelitian selanjutnya berupa pertimbangan (recensio) dan perbandingan naskah. Tahap ketiga perbandingan naskah dengan teks aslinya dalam bahasa Arab. Perbandingan naskah meliputi perbandingan kalimat dan penggunaan kata-kata antara naskah yang merupakan terjemahan dengan teks aslinya dalam bahasa Arab untuk mengetahui beberapa bentuk perubahan yang dilakukan oleh penterjemah. Tahap kelima transliterasi/Trinskripsi yaitu pengalihan huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam hal ini, penulis malakukan transkripsi dari huruf Arab-Melayu ke dalam aksara latin.
B. Sejarah asal-usul dan TerjemahanTeks kalilah dan Dimnah
Kalilah dan Dimnah merupakan kitab karya filosof India yakni Baidaba. Karya tersebut diterjemahkan Ibnu al-Muqoffa’ tanpa mengubah inti arti karya aslinya. Ia menyisipkan cerita-cerita berbingkai di dalam karya tersebut. Menurut Bahnud Ibn Sahwan atau dikenal dengan Ali bin Syah al-Farisi, tujuan Baidaba membuat karya Kalilah dan Dimnah adalah atas permintaan raja Dabsyalim dan untuk dipersembahkan kepada raja Dabsyalim, raja India pada abad ke-3 SM. Setelah karya ini selesai dibuat selama beberapa kurun waktu. Baginda raja Dabsyalim bermaksud memberi penghargaan terhadapnya namun ia menolak untuk menerima imbalan tersebut. Namun permintaannya kepada sang raja adalah agar sang raja bisa menjaga dan menyimpan dengan baik kitab karyanya tersebut agar tidak ada yang mengambilnya.
Pada pertengahan abad VI atau tepatnya 672 M, Persia dipimpin raja yang bernama Anusirwan Ibnu Qudaba. Ia mendengar bahwa di India ada karya Kalilah dan Dimnah yang terkenal atau masyhur. Karena Ia adalah orang termasuk suka terhadap ilmu pengetahuan maka timbul dalam hatinya berambisi untuk memilikinya. Akhirnya Ia memerintahkan Barzawy untuk pergi ke India, mengambil dan membawa kitab itu ke hadapannya. Rencananya itu berhasil. Barzawy dapat membawa manuskrip itu kepada raja dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia atau bahasa Pahlewi. Kemudian teks ini hilang, namun untungnya teks ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria, sehingga melalui inilah karya Ibnu al-Muqoffa’ diterjemahkan dalam bahasa Arab sehingga sampai sekarang bisa kita baca. Kitab ini ditulis berdasarkan teks sansekerta berjudul pancatranta. Teks aslinya, pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Tibet. Teks asli dalam bahasa Sanskrit hilang dan tidak pernah diketemukan. Dan kemudian teks dalam bahasa Tibet pun juga hilang. Yang dijumpai adalah teks yang terdiri dari lima bagian yang disebut pancatranta, padahal sebelumnya terdiri dari tujuh bagian. Teks yang tidak lengkap inilah yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa India. Dikatakan dalam sejarahnya bahwa Kalilah dan Dimnah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, ada yang menerjemahkan dalam bahasa Tibet, bahasa Parsi, bahasa Suryani, dan bahasa Arab. Terjemahan-terjemahannya sebagai berikut:
1. Terjemahan ke Bahasa Tibet
2. Hikayat Kalilah dan Dimnah, pada awal sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Tapi sekarang tak ada lagi buku yang cukup berisi semua cerita itu. Hanya sebagian saja daripada cerita-cerita masih tersua sekarang dalam bahasa itu. Lalu, Banyak orang yang mengira bahwa kareya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Disebabkan jangka waktu yang lama sehingga karya (kitab) dalam bahasa tersebut hilang tidak diketemukan.
3. Terjemahan ke Bahasa Parsi Tua
4. Ketika abad ke-6 Masehi, ada seorang raja yang memimpin Persi, yang bernama Anusyirwan. Ia adalah seorang yang senang akan ilmu pengetahuan sehingga ia menjadi masyhur karena hal tersebut. Saat Ia mendengar bahwa ada sebuah karya (kitab) yang menarik dan terkenal di negeri India yang kitab itu dijaga baik oleh rajanya, akhirnya Ia mengutus Barzuwih seorang dokter istana sekaligus orang kepercayaannya. Baginda raja untuk mengambil kitab tersebut dan menerjemahkannya ke Bahasa Parsi. Akhirnya rencana itu berhasil. Begitulah kronologis hikayat tersebut ke dalam bahasa Parsi.
5. Terjemahan ke Bahasa Suryani
6. Pada awalnya banyak orang yang menyangka bahwa karya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun kenyataaannya tidak demikian. Salinan itu ternyata diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, kira pada tahun 570 M, oleh seorang pendeta Kristen.Penyalinan itu terbukti, dengan dinamai Qalilaj dan Damnaj. Boleh jadi demikianlah hikayat itu dinamai oleh penerjemah ke bahasa Parsi, dan penyalin ke bahasa Arab yang kemudian mengubahnya jadi Kalilah dan Dimnah. Orang pandai-pandai Barat telah memperoleh naskah salinan bahasa Suryani itu, dan telah diterjemahkan ke bahasa terjemahkan ke bahasa Jerman di Leipzig pada tahun 1876 yang isinya hanya berisi sepuluh bab saja.
7. Terjemahan ke Bahasa Arab
Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang terpenting, karena dapat diterjemahkan ke bahasa Tamil. Sehingga karangan itu dapat diterjemahkan yang terdiri lima cerita ke dalam bahasa Jawa dan Madura. Dikatakan bahwa dalam bahasa Melayu, ada empat versi yang masyhur. Pertama ialah versi abad ke-17 yang oleh Wrendly disebutkan dalam bukunya Tata Bahasa Melayu yang judulnya, “Hikayat Kalilah dan Dimnah” dan salinannya dalam bahasa latin ditulis oleh J.G. Gonggrijip pada tahun 1873. Versi kedua yaitu abad ke-19, kira-kira pada tahun 1835 yang disalin oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari bahasa Tamil yang berjudul Hikayat Pancatanderan. Versi ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1942 oleh Ismail Djamil yaitu karya yang langsung diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqoffa’.Para Sejarawan mengadakan penelitian terhadap versi abad ke-17 M. setelah penelitian itu disimpulkan bahwa karya yang paling dekat dengan versi Persia adalah yang dikarang oleh Nasrullah tahun 1142, yang diberi judul Dalang atau Sagala Cerita dan Dongeng.
Sebagaimana yang sudah disebutkan, kisah atau cerita yang masih tersisa dalam karya Baidaba adalah berjumlah lima buah cerita pokok, sedangkan yang lainnya merupakan cerita-cerita sisipan Ibnu al-Muqoffah di dalam karya itu. Kelima cerita-cerita utama tersebut adalah sebagai berikut:
Rangka pertama: Diceritakan seekor srigala bernama Dimnah memutuskan tali persahabatan antara Singa dan lembu Syatrabah. Temanya mengenai bahaya fitnah dan hasutan yang berjung pada pembunuhan dengan motif politk.
Rangka kedua: Kebersalahan kelompok dhuafa yang berhasil mengalahkan musuh yang kuat disebabkan mampu menghimpun solidaritas
Rangka ketiga: menceritakan persoalan yang menyangkut seluk-beluk politik dan siasat dalam peperangan
Rangka keempat: Menceritkan bagaimana orang yang bodoh terpedaya oleh perkataan yang halus dan bujuk rayu.
Rangka kelima: Menceritkan bahaya dari orang yang kurang pertimbangan dan suka tergopoh-gopoh dalam melakukan sesuatu.
Pada cerita-cerita pokok tersebut terdapat cerita-cerita sisipan dari tulisa Ibnu al-Muqoffah yang berjumlah dua belas dan cerita sisipan tersebut menyampaikan pesan moral untuk melengkapi cerita pokoknya.
Cerita-cerita sisipan tersbut sebagai berikut: Hikayat Singa dan Lembu, Hikayat Burung Merpati dengan Tikus, Hikayat Burung Hantu dengan Gagak, Hikayat Kera dengan Kura-kura, Hikayat Orang Saleh denga Cerpelai, Hikayat Tikus dengan Kucing, Hikayat Raja denga Burung Kakatua, Hikayat Singa denga Srigala yang Saleh, Hikayat Singa Betina dengan Pemanah, Hikayat Raja Balad dengan Permaisuri Irah, Hikayat Musafir dengan Tukang Emas, dan Hikayat Anak Raja dan Kawan-kawannya
C. Inventarisasi, Deskripsi, dan Isi Ringkas
Kitab Kalilah dan Dimnah telah diterjemah ke dalam bahasa Melayau dengan aksara Arab ini diduga merupakan terjemahan yang pertama ke dalam bahasa Melayu. Dugaan itu di dadasari kepada lembaga yang menjadi sponsor penterjemhan yaitu Alegmeen Secretari yang merupakan lembaga ilmiah Zaman Belanda yang eksis pada abad ke 19. Di samping itu, juga ditemukan naskah terjemahan di Perputakaan nasional RI dalam bahasa Melayu namun dengan aksara laitn. Akan tetapi, naskah ini sudah sangat rusak dan sulit dibaca yang mungkin disebabkan karena tidak terpeliharanya dengan baik. Terjemahan yang lain adalah terjemahan oleh Ismail Djamil yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan terjemahan Ismail Djamil ini dianggap terjemahan yang sangat dekat dengan teks aslinya yang berbahasa Arab. Judul Kitab Hikajat Kalejla dan Damiena, Nomor catalog ML.135, Rol 169.01 Koleksi Perpustakaan Nasional. Pemilik naskah disebutkan pada halaman pertama adalah Governemeen Belanda yang berkantor di Algemeen Secrretary di Batavia. Kitab ini merupakan kitab kategori sastra dengan bentuk cerita berbingkai dalam uraian prosa.
Kitab ini pada mulanya berasal dari India kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia lalu Ibn al-Muqaffa’ menterjemakannya ke dalam bahasa Arab dengan memberikan banyak penambahan di dalamnya. Dari bahasa Arab inilah kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Melayu. Dalam kitab ini tidak ditemukan tahun penterjemahan. Adapun jenis kertasnya adalah kertas eropa, namun tanpa ada cap kertas. Sampul berupa kertas tebal dengan jilid kain. Jumlah halaman yang ditemukan 109 halaman, dan diduga kuat kitab ini tidak utuh karena dipastikan ada sebagain halaman terakhir yang hilang. Dugaan tersebut didasari tidak sempurnya kisah terakhir, dan ada sebagian kisah yang tidak ditemui seperti terdapat dalam kitab aslinya yang berbasa Arab.
Jumlah baris perhalaman rata-rata 13. Ukuran naskah 28x21 cm, ukuran teks 26x17 dengan jarak baris 0,8 cm. Penomoran halaman plano. Jenis dan warna tinda adalah hitam dan ditemukan tinta warna merah pada beberepa bagian tulisan. Halaman I-VII adalah bagian halaman yang kosong. Jenis tulisan adalah naskhi dan hanya terdapat 1 jilid. Tidak ditemukan adanya kolofon, tanggal koleksi, biografi penulis atau penyalin naskah, nama pengarang atau penyalin, tahun penterjemahan atau penyalianan, serta halaman yang ada iluminasi dan ilustrasi. Kondisi naskah secara keseluruhan bisa dikatakan baik, sekalipun ada sebegain halaman yang sudah rusah, robek dan berlobang karena dimakan serangga. Ada beberapa halaman yang sudah rusak tulisannya akibat kertas yang dimakan tinta.
Kitab Kalilah dan Dimnah adalah cerita berbingkai dengan mengambil tokoh beberapa biantang. Dalam kisah ini disebutkan nama Baidaba yang sedang memberikan nasehat kepada raja Dabsyalim melalui kisah-kisah ini. Raja Dabsyalim berkata kepada Baidaba, sang filosof, “Buatkan contoh alegoris untukku tentang dua orang bersahabat yang saling menjalin cinta kasih, kemudian ada pihak ketiga seorang pendusta pintar dan licik, yang melakukan tipu muslihat dan menyulut api fitnah agar hubungan mereka retak dan timbul permusuhan”Sang filosof Baidaba berkata, “Jika dua orang bersahabat yang saling mencinta diuji dengan seorang pendusta yang licik dan pintar melakukan tipu muslihat, maka tidak lama kemudian hubungan mereka akan putus dan hancur karenanya. Mereka bahkan saling membenci dan memusuhi. Diantara contoh alegorisnya adalah kisah Singa dan Sapi Banteng.”
Srigala yang bernama Dimnah iri melihat eratnya persahabatan antara Raja Hutan Singa dan Lembu Syatrabah. Tekad dan hasratnya begitu kuat untuk mengadu domba dan memutuskan tali persahabatan dan hubungan politik di antara keduanya. Dengan melalui tipu muslihatnya dan fitnah halusnya yang ditebarkan di antara kedua sahabat itu. Semua yang dilakukan Dimnah tidak lain hanya karena Ia haus akan kekuasaan dan rasa hasudnya belaka.
Akhirnya intrik-intrik yang diterapkan Dimnah berhasil berhasil menghancurkan persahabatan dan hubungan politik mereka. Ketika Dimnah berhadapan dengan Singa, mengatakan bahwa Lembu, Syatrabah secara tersembunyi menyimpan taktik dan rencana untuk merampas kekuasaan dari tangan Singa. Sedangkan ketika Dimnah berhadapan dengan Syatrabah, melemparkan fitnah bahwa di balik sikap baik Singa ada ambisi politik yang berbahaya. Dari fitnah yang dilontarkan Dimnah kepada Syatrabah dan Singa, berhasil membuat keduanya jadi terbakar api kemarahan dan benci. Dengan kejeniusan Dimnah, keduanya dapat dipengaruhi oleh kata-katanya. Akhirnya Singa merencanakan intrik-intrik bagaimana membinasakan Syatrabah, yang sebenarnya teman baik baginya. Dikatakan Dimnah kepada Syatrabah bahwa Singa ingin membunuhnya karena di dalam hatinya Singa sebenarnya benci kepada Sytarabah.
Karena Sytrabah pun termakan hasutannya akhirnya Syatrabah pun menyiapkan rencana dan taktik untuk mengadakan perlawanan, sebelum ia dilawan oleh Singa. Namun sayangnya, rencana Sytrabah gagal karena Dimnah telah membocorkan rencanaya kepada Singa. Sehingga akhirnya Syatrabah pun diamankan atau ditangkap dan kemidian dihukum mati oleh polisi penegak hukum. Namun kemudian, ada kabar yang memberitahukan kepada Singa, bahwa Dimnah telah menyebarkan fitnah. Semua kata yang digembar-gemborkan di antara kedua sahabat itu adalah dusta, karena Dimnah mempunyai hati yang busuk, berniat menghancurkan persahabtan mereka. Dan akhirnya kejahatan Dimnah terbuka sehingga Singa menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Dimnah ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan dihukum mati sehingga menakhiri karir politiknya dan sekaligus hidupnya.
Atas Semua kejadian itu, Singa pun menyesal atas perbuatannya karena terhasut oleh fitnah Dimnah. Singa sedih apalagi ketika mengenang masa-masa indah bersama Syatrabah. Ia menjadi menjadi kesepian karena semenjak Syatrabah meninggal, tak ada kawan yang sebaik Syatrabah menurutnya.Pada cerita di atas dengan tema “memutuskan tali persahabatan politik” dapat dianalisis yang luas tentang politik dan intrik. Misalnya pembicaran berkenaan dengan niat dan ikhtiar pembunuhuan politik tidak langsung sebagaimana yang nampak pada opercakapan antara Dimnah dengan sahabatanya Kalilah. Dikatakan bahwa melakukan pembunuhan politik tidak langsung dikemukakan dalam bagian cerita ini.
Diceritakan bahwa burung gagak ingin membunuh ular. Gagak sebelumnya mencuri rantai emas dari pemiliknya kemudian ia taruh di lubang ular. Ketika pemilik rantai emas tahu rantainya ada di lubang tersebut, ia membunuh ular yang ada di lubang itu. Cerita lain contohnya, Si Lemah menyelamatkan diri dari ancaman musuh yang kuat dengan menghimpun solidaritas dan kerjasama, menyiapkan siasat yang cerdas. Penulis karya ini, berpesan agar kita waspada terhadap tukang fitnah dan kita harus berusaha menjauhkan diri dari orang jahat, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, dan masih banyak lainnya pesan yang disampaikan.
Di samping itu juga diceritakan kisah kera dan kura-kura yang pada mulanya bersahabat, namun akibat ketidaksenangan sang isteri kura-kura persahabatan mereka menjadai hancur. Kisah ini intinya memberikan ajaran agar mansuai tidak dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperoleh. Lalu disambung dengan kisah keledai dan ruba. Di mana ruba dengan kepintarannya berhasil mengelabuhi singa dan keledai. Cerita ini berpesan kepada pembaca bahwa ketidaktahuan menjadi penyebab seseorang dengn mudah ditipu.
Di bagian terakhir, dikisahkan cerita merpati, burung bangau dan srigala. Dengan kecerdasannya bangau bisa menyelamatkan merpati dari ketakutan terhadap srigala. Namun, akibat mabuk pujian akhirnya burung bangau menghadapi nasib yang sangat tragis, tewas dan menjadi santapan srigala.


D. Suntingan Teks Kalilah dan Dimnah
Hikayat kera dan kura-kura ……., ada suatu pulau terlalu amat
Banyak kera dalamnya maka dalam antara kera banyak itu ada seekor kera dirajakannya namanya dia nida maka raja itu terlalu adil lagi bijaksana
Dan budiman serta gagah berani lagi hebat, setelah raja itu sudah tuha maka dirajakan seekor kera dari daripada keluarganya juga yang dapat
Memeliharakan negri dan segala rakyatnya sebermula segala rakyatnya pun berkenanlah bahwa ia naik raja itu maka raja tua itupun pergilah duduk
Ketepi laut nantiasa ia duduk pada sepohon kayu Ru di tepi laut itu maka dimakannya buah ru itu pada suatu hari tergugurlah sebuah
Dari tangannya ke dalam air maka bunyinya itupun terlalu amat merdu pada telinganya maka sebagai digugurkannya buah ru itu ke dalam air itu
Maka di bawah ru itu ada seekor kura-kura maka barang yang gugur itu dimakannya oleh kura-kura itu maka pada hati kura-kura bahwa dimakannya ini
Akan daku juga digugurkannya oleh raja kera itu jika demikian baik daku berbuat kebaikan kepadanya siang malam aku berkasih-kasihan dengan
Dia lagi demikian kebaikannya pada aku maka berseru-seru lah kura-kura kepada raja kera itu olehnya hendak berkasih-kasih dengan dia maka kata raja
Kera siapa gerang menyeru aku itu maka sahdan kura-kura, hambamu kura-kura oleh hamba hendak berkasih-kasihan dengan tuan hamba hatta (hingga) maka
Berkasih -kasihanlah raja kera itu dengan kura-kura itu seperti suatu nyawa dua badan lakunya daripada segangat ia berkasih-kasihan itu
Sebarmula akan raja kerapun lupalah ia akan segala kera keluarganya dan kura-kurapun lupalah ia akan rumah tangganya maka isteri
Kura-kurapun terlalu amat tercintakan suaminya maka datang segala kura-kura mengunjungi dia maka kata keluarganya itu mengapakah maka engkau
Berusuk [h] dirimu ini karena aurat suamimu telah bersahabatlah ia dengan raja kera maka lupalah ia akan dikau jika engkau
Hendak dapat, aku pergi kepada suamimu itu kukatakan engkau sakit sangat maka sahut isteri kura-kura hai saudaraku jika
Ada kasih tuan hamba kiranya akan hamba pergilah tuan hamba kepadanya katakan hamba sakit maka kata keluarganya itu hendaklah engkau
Berbuat sakit supaya jangan kedapatan dusta aku kepadanya maka sahut isteri kura-kura itu baiklah hatta (arab, akhirnya) maka pergilah ia
Kepada kura-kura bersahabat dengan raja kera itu setelah ia datang maka katanya bahwa aku datang ini disuruh oleh isterimu kepadamu
Bahwa ia sakit sangat apakan kerjamu duduk di sini lupakan untuk isterimu setelah didengar oleh kura-kura itu maka iapun
Bermohonlah kepada raja itu hendak pulang kenegerinya hatta [Arab:akhirnya] maka kembalinya kura-kura itu setelah ia sampai ke rumahnya maka didapatinya
Isterinyapun dalam sakit maka ditanyainya akan sakitmu itu katakan padaku supaya kucarikan obatnya maka sahut handai
Isterinya itu yang yang sakit isterimu itu tiadalah dapat diobati lagi setelah didengar oleh kura-kura itu kata yang demikian itu
Maka hatinyapun amat dikecutlah dengan percintaannya yang tiada dapat dicahari dalam negeri ini orang mengobati isteriku
Jikalau diobatinya pada negeri yang lain sekalipun niscaya akulah pergi mencahari dia jikalau kiranya nyawaku itupun kata
Tabib akan obatnya isteriku itu akan ku tukarkan juga maka kata handai isterinya bahwa penyakit isterimu
Itu penyakit perempuan melainkan sesama perempuan juga yang dapat mengobati ditetapi akan obat isterimu itu
Hati kera juga maka sembuh penyakitnya itu sahut kura-kura itu, mana kita peroleh hati kera itu karena amat sukar kita
Peroleh karena ia diatas kayu kita ini dalam air dengan sebagaimana […………] kita peroleh dia maka sahut handai isterinya
Itu sebenarnyalah katamu itu oleh itulah maka kami memanggil engkau kalau ada bicaramu dikarenakan penyakit isterimu ini kata orang
Mengobati dia tiadalah akan sembuh lagi melainkan jikalau ada diperoleh hati kera itulah obatnya yang diketahui oleh dukun
Itu akan segera sembuh tetapi jangan engkau menyesal pada kemudian harinya setelah saya kata kepadamu dalam itu mana katamu
Apa kepada kami lebih engkau dengan isterimu setelah didengar oleh kura-kura kata yang demikian itu maka iapun amat becintalah ia
Akan isterinya bahwa akan isterinya pun sangat dikasihinya dan akan sahabatnya pun dikasihinya tetapi lebih juga kasihnya
Akan isterinya maka fikir dalam hatinya jika tidak ku turuti kata handaiku ini niscaya matilah isteriku dan bercerailah aku
Dengan isteriku jika demikian baiklah aku bicarakan syair yang terlebih berbuat fitnah pada segala manusia orang yang bengis juga
Karena bengis kasih akan suatu seperti buta tuli oleh ia hendak membunuh suami kura-kura itu kata fitnah […………] akannya supaya
Mati suaminya hatta maka kura-kura pun pergilah kepada raja kera setelah sampai maka katakan apa hal isterimu sakit itu maka sahut
Kura-kura itu olehku bercerai dengan dikau terlalu amat rindu rusuh hatiku akan dikau sabarmula akan isteri hamba
Pun telah sembuhlah ia daripada sakitnya jika ada kasih tuanhamba akan hamba baik juga tuan hamba pergi ke rumah hamba berlihat
Dengan anak isteri hamba dan segalakan keluarga hamba sekalian supaya sempurnalah kasih tuan hamba kepada hamba dan kelihatanlah
Kebajikan tuan hamba berkasih kasihan dengan tuan hamba hendaklah tuan hamba turut kata hamba ini supaya segala anak isteri hamba
Mengunjungi […………] maka sahut raja kera janganlah engkau memberi bicara akan daku bahwa aku duduk di sinipun serasa di rumahmu
Juga karena menyeberangi laut itu amat sukar padaku maka sahut kura-kura itu apa sukarnya tuan hamba menyeberangi lamun mau juga
Tuan hamba pergi itu naiklah ke atas belakang hamba supaya hamba bawa menyeberang dari pulau ini maka Kabul (arab: menerima) oleh raja kera itu menuruti
Kata kura-kura itu, lalu naiklah ke atas belakang kura-kura itu setelah datang pada sama tengah laut itu maka kura-kurapun berhenti
Setelah diliaht oleh raja kera akan kura-kura berhenti itu maka fikir dalam hatinya apa juga maksud ia berhenti hendak dibinasakankah
Aku ini maka kata raja kepada kura-kura apa […….] maka engkau berhenti penatkah tuan hamba berenangkan hamba maka sahut kura-kura tiada hamba penat
Sekedar merenungkan tuan hamba sekian ini karena tiada berapa jauhnya sediakannya kenang hamba akan isteri hamba sakit ditinggalkan
Dirumah hamba siapa tahu dalam sakitnya itu bahaya mati datang kepadanya niscaya suatu pekerjaan yang hamba kerjakan inipun tiadalah
Sempurna, inilah fikir hamba maka iapun berenang pulak maka kata raja kera pada bicaraku tiada kemuliaan bahwa sahabat itu diperdayakan maka
Kura-kurapun berenang juga seketika lagi maka berhenti pula ia maka dalam hatinya kera ada juga angannya dijahati akan daku maka berkata
Pulak [pula] raja kera apa mulanya berhenti pulak [pula] barang yang ada dalam hatimu hendaklah engkau katakan padaku supaya aku membicarakan pekerjaanmu
Itu maka sahut kura-kura tiada ada fikir hamba melainkan terkenang hamba akan isteri hamba sakit tiada berobat maka obatnya itu
Amat sukar hamba peroleh maka kata raja kera katakan juga olehmu kepadaku mudah-mudahan obat isterimu itu aku mencahari
Dia, jangan kau bunyikan juga maka sahut kura-kura bahwa yang obat isteri hamba itu kata orang yang mengobati dia hati
Kera, maka yaitu amat sukar hamba peroleh setelah didengar raja kera kata kura-kura demikia itu ,maka berdebar rusuh hatinya serta berfikir ia wah
Dikaram aku daripadanya melainkan [……........] maka sekian risau maka dengan upaya yang mana aku akan
Melepas diriku daripadanya melainkan kata dustaku kepada dia kan [……..] pulak [pula] mak lepas aku daripada bahayanya jika aku bercerai daripadanya
Niscaya lamunlah aku dalam laut ini hatta maka kata raja kera hai handaiku mengapatah kiranya maka tuan hamba tiadakatakan kepadaku
Darimulanya akan obat isterimu itulah tanda tiada harap dan tulus […………………………] jikalau obat itu
Dalam laut api sekalipun daripada kasih hamba akan tuan hamba niscaya hamba upayakan jikalu hilang dengan nyawa hamba
Sekalipun karena mencari obat itu tiada akan hamba sayangkan-sayangkan sekarang ini apatah dayaku karena hatiku tiada ku bawa marilah
Bersamalah dengan daku karena adat pada kami kera barangkali dipanggil oleh jamuan atau handai taulannya kami tinggalkan hati kami
Dirumah supaya kami di rumah handai kami jika kami bawa hati kami niscaya tiadalah tetap segala pekerjaan kami maka sekarang
Jikalu kau kehendaki hatiku hantarkanlah aku ke rumah ku niscaya kuberilah hatiku akan obat isterimu itu atau hati kera yang lain
Pulak [pula] kau hendaki niscaya kuberi juga akan dikau tetapi [………………]
Kasih rupanya engkau akan daku diri karena tiada ditanyakan padaku dari mulanya setelah didengar oleh kura-kura kata raja kera demikian itu dalam
Hatinya benarlah kata raja kera ini daripada kasihnya [……….] akan daku maka demikian katanya maka lalu dibawanya kembali raja itu kepada
Tempatnya setelah sampai raja kera itu ke tempatnya maka ia melompat ke atas pohon kayu maka dikatakan oleh kura-kura seraya berseru-seru
Katanya, manatah janjimu hendak memberi obat isteriku karena aku hendak pulang lekas apakah hal isteriku peninggal ku ini
Maka sahut raja kera hai kekasihku di luar sahaja rupanya bahawa yang dalam hatimu itu bencana juga rupanya ada iyakah janjimu
Berkasihan-kasihan dengan aku demikian ada jahat pekertimu ada iyakah hatiku akan obat isterimu jika kiranya sudah keluar hatiku dimana
Aku akan hidup lagi………





Terjemahan Kalilah dan Dimnah versi Ismail Djamil
Konon, ada seekor kera yang bernama Mahir. Ia adalah seekor raja kera yang telah tua renta. Pada suatu waktu, muncullah seekor kera muda dari keluarga kerajaan kera tersebut yang memberontak dan mulai menjatuhkan kedudukannya. Si kera muda ini mampu mengalahkan si Mahir sampai akhirnya si Mahir melarikan diri ke pantai. Di pantai itu, ia mendapati sebuah pohon Tin, kemudian ia memanjat pohon itu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Pada suatu hari, ketika ia sedang makan buah Tin, tiba-tiba jatuhlah buah tersebut dari tangannya ke dalam air dan ia menyukai bunyi berirama yang timbul akibat jatuhnya buah Tin itu. Maka ia pun mulai menjatuhkan buah yang dimakannya itu terus-menerus.
Di dalam air itu ternyata ada seekor kera. Setiap kali buah Tin jatuh ke dalam air, ia memakannya. Ketika hal tersebut terus berlangsung, si kura-kura mengira bahwa si kera melakukan hal itu karena ingin bersahabat dengannya. Akhirnya, mereka pun mulai berteman akrab.
Kepergian si kura-kura ke pantai sudah terlalu lama berlangsung dan membuat istrinya gelisah. Ia mengadukan hal ini kepada tetangganya.
“Aku takut terjadi hal buruk yang dapat mencelakakan suamiku,” kata istri kura-kura.
“Suamimu baik-baik saja,” jawab tetangganya. “Ia ada di pantai bersama temannya, si kera, yang selalu memberinya makanan dan minuman. Hal itulah yang membuat ketidakhadirannya selama ini dan itu akan terus berlangsung sebelum kamu dapat menyingkirkan si kera.”
Istri kura-kura pun bertanya kepada tetangganya, “Bagaimana caranya?”
Si tetangga menjawab, “Kalau suamimu pulang, kamu harus pura-pura sakit. Jika ia bertanya tentang keadaanmu, jawablah bahwa para tabib mengatakan hanya jantung keralah obatnya.”
Tidak beberapa lama kemudian, si kura-kura pulang ke rumahnya. Ia mendapati istrinya terbaling lemah dan pucat. Ia bertanya, “Kenapa kamu?”
“Sungguh malang istrimu!” jawab si tetangga. “Ia sakit parah dan kata para tabib hanya jantung keralah obatnya.”
“Ini sulit sekali, dari mana aku bisa mendapatkan jantung kera, sedangkan kita hidup di air? Tapi aku akan coba menipu temanku si kera,” kata kura-kura. Maka pergilah si kura-kura ke tempat temannya itu.
“Apa yang kau rahasiakan dariku, teman?” tanya si kera.
“Aku tidak merahasiakan apa pun darimu,” jawab kura kura. “Aku hanya malu karena tidak tahu bagaimana membalas segala kebaikanmu. Oleh karena itu, aku ingin mengundangmu untuk berkunjung ke rumahku. Semoga kamu berkenan, karena aku tinggal di sebuah pulau yang dipenuhi beraneka ragam buah.”
Akhirnya, si kera pun mau memenuhi undangan temannya. Ia pun naik ke punggung si kura-kura dan mulai menyebrangi lautan. Tetapi, sesampainya di tengah lautan, muncullah niat jahat si kura-kura untuk menipu daya temannya itu.
“Apa yang membuatmu bimbang, teman?” tanya si kera.
“Aku bimbang karena teringat bahwa istriku sedang sakit keras,” jawab kura-kura. “Itulah yang sangat menghalangiku untuk membalas segala kebaikanmu.”
Si kera berkata, “Aku rasa usahamu memanggulku di pundakmu adalah sebuah hal yang mulia dan itu sudah cukup bagiku.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab kura-kura.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Namun, setelah berjalan beberapa saat, si kura-kura berhenti sekali lagi. Si kera pun mulai berfirasat buruk terhadapnya dan ia pun mulai bertanya-tanya dalam hati. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan si kura-kura sehingga ia memperlambat jalannya. Aku merasa sudah tidak aman lagi, mungkin niatannya telah berubah dan ia ingin menghianati persahabatan kami, bahkan, mungkin ia ingin berbuat jahat terhadapku. Bukankah niat itu adalah hal yang paling cepat berubah?
Ada pepatah yang mengatakan, “Si cerdik tidaklah lalai mengamati istri, anak, saudara, dan temannya pada setiap saat, setiap perkataan, dan setiap perbuatannya, karena semuanya itu dapat menunjukkan apa yang ada di hati mereka. Orang-orang bijak juga mengatakan bahwa jika sebuah keraguan telah merasuki hati seorang teman, maka berhati-hatilah terhadapnya! Kemudian, selidiki kebenarannya! Jika persangkaanmu benar, engkau akan selamat. Sebaliknya, jika persangkaanmu salah, engakau tidak akan rugi.
“Apa lagi yang kamu rahasiakan?” tanya kera. “Aku lihat kamu kembali khawatir dan seakan-akan kamu berbicara dengan dirimu sendiri.”
“Aku khawatir jika kamu sampai di rumahku nanti, kamu tidak akan mendapati seperti apa yang aku inginkan, karena istriku sedang sakit,” jawab si kura-kura.
“Jangan khawatir! Karena kekhawatiranmu tidaklah berarti apa pun,” kata kera. “Lebih baik kamu cari obat-obatan dan makanan untuk menyembuhkan istrimu. Aku siap membantu, karena ada yang mengatakan bahwa hendaknya orang yang berharta mendermakan hartanya pada tiga hal; sedekah, pada saat dibutuhkan, dan untuk para wanita.”
“Aku telah melakukannya,” kata kura-kura. “Namun, para tabib mengatakan bahwa hanya jantung keralah obatnya.”
Di dalam hatinya, si kera mengeluh. Betapa sial dirinya! Meskipun ia telah berhati-hati dalam segala tindakannya sampai usianya sekarang, ia tetap bisa jatuh dalam kesulitan yang rumit ini. Benarlah perkataan orang yang menyatakan bahwa orang yang rela dan menerima dengan lapang dada apa yang diperolehnya, akan hidup tenang dan tentram. Sebaliknya, orang yang ambisius dan rakus akan hidup dalam kepenatan dan kesulitan. Meskipun demikian, si kera segera berusaha memikirkan jalan keluar dari permasalahan ini.
“Kenapa kamu tidak mengatakan hal itu ketika masih di rumah?” tanya si kera. “Kalau kamu katakan sejak tadi, aku pasti membawa jantungku. Sudah menjadi kebiasaan kami, para kera, selalu menginggalkan jantung kami jika mengunjungi teman. Jadi, saat ini aku tidak membawa jantungku.”
“Kalau begitu, di mana jantungmu?” tanya kura-kura.
“Aku sembunyikan di pohon. Jika kamu mau, kita kembali ke sana agar aku dapat memberikannya padamu,” jawab kera.
Akhirnya, dengan perasaan senang karena temannya tidak menolak permintaannya, si kura-kura kembali mengantar kera ke pantai.
Ketika mereka telah mendekati pantai, si kera melompat dari punggung kura-kura lalu memanjat pohon Tin. Setelah lama menunggu, si kura-kura memanggil temannya.
“Hai, temanku! Bawalah jantungmu dan cepatlah turun, karena kau telah berjanji padaku,” kata kura-kura.
“Jangan konyol, kamu kira aku seperti keledai yang dikatakan serigala tidak punya jantung dan telinga?” kata si kera.




D. Analisis
Seperti yang diketahui, bahwa sebuah karya yang muncul pada suatu masa tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh zamannya, baik politik, sosial budaya dan sebagainya. Begitulah yang terjadi terhadap buku Kalilah dan Dimnah. Semenjak awal ditulis dengan bahasa India, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, lalu Ibn Muqaffa’ menterjemhkan ke dalam bahasa Arab, hingga terjemahan ke dalam bahasa melayu seperti yang ditemukan dalam naskah yang penulis bahas. selalu memiliki keterkaitan dengan kepentingan penguasa zamannya. Pengarangan kitab Kalilah dan Dimnah dalam bahasa India didasrkan oleh perintah raja Dabsyalim kepada pujangga Baidaba. Terjemahan ke dalam bahasa Persia juga atas perintah Kisra Anusirwan kepada pujangga Bazrawi. Terjemahan ke dalam Bahasa Arab oleh Ibn al-Muqaffa’ juga atas perintah Penguasa Abbasiyah. Dan terjemahan ke dalam bahasa Melayu juga atas inisiatif penguasa yang dalam hal ini Penajajah Belanda.
Terhadap terjemahan kitab Kalilah dan Dimnah, bahwa kepentingan penguasa yang dalam hal ini penjajah Belanda tentu tidak bisa dipungkiri. Berikut kita akan lihat beberapa perubahan yang terjadi dalam terjemahan kitab Kalilah dan Dimnah dari bahasa aslinya dalam hal ini bahasa Arab yang menggambarkan kepentingan penajajah.
Pertama, Tidak disebutkan kudeta yang dilakukan kera muda terhadap raja kera yang dianggap sudah tua dan tidak mampu lagi menjaga negeri kera. Nasib buruk yang menimpa raja kera tua yaitu kalah, terusir hingga melarikan diri dari kerajaannya seperti pada kitab aslinya juga dihilangkan. Penghilangan terjemahan seperti ini tentu saja memiliki maksud tertentu. Penguasa waktu itu penjajah Belanda tentu tidak ingin rakyat Indonesia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh rakyat kera. Jika pesan kudeta terhadap penguasa sampai ke telinga rakyat, maka hal ini tentu akan membahayakan kondisi penjajah.
Dua, Ditambahkannya dalam terjemahan bahwa raja kera tua yang dikudeta dan kedudukannya digantikan kera muda adalah raja adil, bijaksana, hebat, dst. Padahal ungkapan seperti itu tidak ditemukan pada teks aslinya yang berbahasa Arab. Seakan penguasa , penjajah Belanda punya kepentingan dengan pesan ini bahwa penguasa yang sedang berkuasa adalah penguasa yang adil, bijaksana dan tidak perlu digantikan.
Tiga, Tidak disebutkannya ketamakan kera terhadap buah-buahan yang banyak serta makanan yang melimpah. Sebagaimana dalam kisah aslinya diceritakan bahwa raja kera hampir celaka dan hampir saja dibunuh kura-kura adalah akibat ketamakan dan kerakusan. Kura-kura menawarkan kepada kera agar ikut bersamanya berkunjung menemui keluarganya karena ia hidup di sebuah pulau yang banyak buah-buahannya. Inilah yang membuat raja kera menyahuti ajakan kura-kura.
Tidak disebutkannya terjemahan ini karena penguasa ingin menyembunyikan sikap mereka yang sebenarnya mirip dengan sikap raja kera. Mereka khawatir kalau rakyat jajahan mengetahui akan ketamakan mereka.
Empat, dalam kisah itu disebutkan bahwa kera menipu kura-kura akibat ketidaktahuannya bahwa hati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh. Kebodohan inilah yang kemudian dilestarikan oleh para penjajah terhadap rakyat pribumi. Belanda tentu belajar dari kisah ini bahwa orang bodoh akan dengan mudahi ditipu. Mungkin inilah sebabnya kenapa masyarakat jajahan Belanda selalu menjadi masyarakat jajahannya yang terbelakang.
Lima, untuk memisahkan kera dan kura-kura, kura-kura lain menghasut isterinya untuk pura-pura sakit dan mengatakan obatnya adalah hati kera. Hal ini dilakukan agar persahabatan kera dan kura-kura hancur dan kura-kura akan membunuh kera sahabatnya sendiri. Inilah kemudian yang menjadi poilitik colonial Belanda “adu domba”. Politik ini menjadi modal utama Belanda menaklukan raja-raja Nusantara, dengan cara mendekati sebagian keluarga raja lalu mengajaknya bekerja sama dan kemudian melakukan pemberontakan. Setelah kerajaan itu lemah akibat perang saudara, barulah Belanda datang menawarkan bantuan kepada yang lemah dengan kompensasi penguasaan sebagian aset. Inilah yang menjadikan Belanda dengan mudah menguasai negeri jajajahnya.
Dalam kisah tersebut ada pesan inti yang ingin di sampaikan bahwa jangan dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperoleh dengan susah payah,seperti halnya kura-kura yang dengan mudah melepaskan kera yang sudah di dapatkannya. Inilah pelajaran yang diambil oleh penjajah Belanda untuk tidak mudah melepaskan negeri jajahanya. Makanya Belanda mampu menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Berbeda dengan penjajah lain yang pernah menjajah Indonesia yang waktunya relativ singkat.
Akan tetapi, pesan yang terakhir ini adalah pesan inti dari kisah kera dan kura-kura ini. Oleh karena itu, pesannya berlaku untuk semua orang. Namun demikian, seseorang yang dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperolehnya adalah akibat kebodohan dan ketidaktahuannya. Oleh karena itulah, kisah ini dilanjutkan dengan cerita kera kepada kura-kura tentang seekor ruba dan keledai, di mana ruba menipu singa dengan mengatakan kepadanya bahwa keledai adalah binatang yang memiliki telinga dan hati yang sebelumnya telah ia makan di saat singa pergi mandi.















D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulka bahwa kitab Kalilah dan Dimnah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penjajah Belanda waktu itu. Hal itu terlihat dari beberapa perubahan yang terjadi dalam teks terjemahan yang berbeda dengan teks aslinya dalam berbahasa Arab karangan Ibn al-Muqaffa’.
Kalilah dan Dimnah bentuk fabel yang menggunakan dunia hewan untuk menjadi aktor utama, setting, dan sarana yang merefleksikan dan mencerminkan dunia manusia. Walaupun di dalamnya mengandung perumpamaan binatang tapi itu menggambarkan relitas yang terjadi pada kehidupan manusia. Karya ini menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat. Di dalamnya tersurat tontonan akan tetapi tersirat tuntunan.
Hikayat Kalilah dan Dimnah memberikan pelajaran tentang politik kepada penguasa dan rakyatnya. Karena pesan moral yang diambil dari karya ini adalah pembelajaran etika dan estetika untuk seorang raja atau pemimpin, dan rakyatnya menjadi baik. Tulisan ini tentu terdapat banyak sekali kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali saran dan kritikan dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Penulis sangat terbuka menerima segala saran dan kritikan tentu yang bersifat konstruktif dan memperkaya pembahasan ini.

DAFTAR BACAAN
Burn, George W, 101 Kisah Yang Memberdayakan, Jakarta: Mizan, 2004
Djamil, Isma’il, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Ibn al-Muqaffa’, Abdullah, Kalilah wa Dimnah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989
Lubis, Nabilah, Naskah, Teks, Dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan Alo Indonesia, 2007
http://faizperjuangan.wordpress.com/2008/01/24
http://ianaja.multiply.com/journal/item/16/kera dan kura-kura




1 komentar:

  1. suke! saya belajar kisah ni ;) terima kasih sbb ada terjemahan

    BalasHapus