Oleh : DR. Danil M. Chaniago, M.Hum
Naskah tulisan tangan merupakan warisan budaya nasional yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta prilaku masyarakat pendukungnya pada masa silam. Benda yang menjadi cagar budaya ini masih bertebaran di tengah masyarakat. Dibanding dengan warisan budaya lainnya seperti candi, masjid, prasasti, dan peninggalan budaya material non tulisan lainnya di Indonesia jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jauh lebih banyak.
A. Pendahuluan
Naskah-naskah kuno yang menjadi salah satu sumber yang dapat memberikan informasi kepada kita tentang perkembangan teknologi, dan sejarah masa lalu itu sejauh ini masih "terbengkalai" keberadaannya. Hanya segelintir orang saja yang memberikan perhatian khususnya para filolog dan pustakawan. Padahal pada setiap naskah terkandung makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu.
Sampai saat ini penelitian naskah di Indonesia lebih mementingkan telaah teks, Persoalan yang berkaitan dengan pengkoleksian dan pemeliharaan naskah diabaikan. Padahal, menurut Robson sumber naskah hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan. Dengan kata lain penelitian tentang naskah-naskah baru dapat dilakukan apabila kondisi naskah baik fisik maupun tulisan tidak mengalami kerusakan. Naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat perlu diselamatkan dengan cara mengumpulkannya pada suatu tempat atau lembaga resmi negara. Bagaimanapun juga naskah-naskah kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan sehingga perlu dilestarikan untuk pemupukan jati diri bangsa.
Oleh karena, itu, pengumpulan dan pengoleksian naskah-naskah yang masih tersebar sebagaimana yang dilakukan museum Negeri Propinsi Sumatera Barat "Adytiawarman" sangat tepat. Pengoleksian menunjukkan bahwa Museum Adytiawarman telah menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mengumpulkan dan merawat benda-benda yang bernilai budaya untuk selanjutnya menyajikan dan mempublikasikan koleksi itu kepada khalayak ramai dalam bentuk pameran dan penerbitan. Kecuali itu, naskah-naskah tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian sejarah dan budaya serta sebagai media edukatif cultural.
Atas dasar pemikiran di atas, penelitian ini menjadikan koleksi dan konservasi naskah¬-naskah pada Museum Adilyawarman sebagai topik kajiannya. Pada museum ini banyak tersimpan naskah-naskah kuno baik yang berasal dari Sumatera Barat mau pun daerah lainnya. Setidaknya ada 63 naskah yang menjadi koleksi lembaga non profit ini. Untuk itu ada 3 (tiga) persoalan yang dapat dijadikan sebagai pokok kajian yakni : tema-tema apa saja naskah yang menjadi koleksi Adityawarman: bagaimana kondisi pisik dan cara mendapatkan naskah-naskah tersebut bagaimana system perawatannya (koservasi ). Selain itu untuk mengantar pada pokok persoalan penelitian ini juga akan memberikan gambaran sekilas tentang keberadaan museum Adityawarman.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan terutama untuk memberikan informasi tentang keberadaan naskah-naskah kuno yang ada di Sumatera Barat agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana cara Museum Adityawarman mendapatkan naskah-naskah yang tersebar di masyarakat dan cara-cara yang dilakukan untuk merawat naskah-naskah.
Pada mulanya dalam penelitian ini, peneliti juga akan melakukan penelitian kodikologi untuk melihat segala segi material naskah seperti hal-hal yang menyangkut huruf, alas atau bahan yang digunakan. ilmuniasi, ilustrasi, penyalinan, penyalin, tempat penyimpanan, dan sebagainya. Akan tetapi karena laporan penelitian ini dibatasi maksimal hanya 25 halaman maka hal itu tidak dapat dilakukan. Selain itu saat penelitian ini dilakukan. M. Yusuf dan kawan-kawan sedang melakukan penelitian dan mendigitalisasikan naskah-naskah koleksi Museum Adytiawarman. Penelitian M. Yusuf dkk tidak menyangkut tentang konservasi dan cara mendapatkan naskah-naskah tersebut. Di sinilah letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan M. Yusuf dan kawan-kawan.
Ide penelitian ini muncul setelah peneliti membaca buku yang ditulis oleh Mu'jizah dan Maria Indra Rumi yang membahas tentang penelusuran dan penyalinan naskah-naskah Riau abad 19. Meskipun kedua penulis hanya memakai naskah-naskah Riau yang berada di Indonesia namun penulis telah dapat mengeksplanasikan banyaknya seriptoria dan penyalin-penyalin naskah di kepulauan Riau. Selain itu, penelitian kodikologi yang dilakukan kedua penulis juga banyak memberikan gambaran tentang keberadaan naskah baik fisik maupun isinya.
Buku karya kedua Filolog tersebut telah membuka wawasan peneliti bahwa kajian filologi tidak melulu terfokus pada persoalan fisik dan isi naskah. Tempat koleksi dan konservasi naskah pun perlu mendapat perhatian. Sebab, bagaimana pun juga tempat-tempat koleksi naskah merupakan sarana yang tepat untuk melakukan kajian-kajian naskah mengingat di tempat-tempat tersebut menyimpan naskah-naskah dan tentu saja berikut perawatannya. Hanya naskah-naskah yang terawat dengan baik saja yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian filologi.
Buku lain yang juga menjadi rujukan awal penelitian ini The Antiquities and Work of Art: Treatmen, Repair, and Restoration. Buku ini ditulis oleh H.J. Plenderleith, Kepala Laboratorium Penelitian British Museum London. Buku ini telah diterjemahkan oleh I Wayan Suanda, tenaga Tehnis Konservasi dan Preparasi Museum Negeri Propinsi Bali dengan judul Konservasi Benda-Benda Antik dan Karya Seni: Perawatan, Reparasi, dan Restorasi. Buku yang tidak diterbitkan ini ditujukan bagi para kolektor, arkeolog, kurator museum dan tenaga¬-tenaga teknis permuseuman yang langsung berhubungan dengan konservasi koleksi. Uraian pokok dalam buku ini meliputi berbagai masalah benda sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh bagian riset laboratorium di British Museum, terutama terhadap benda-benda cetak, gambar, buku, tekstil, naskah, uang logam, seni rupa, dan benda-benda etnografi yang secara umum memiliki kerusakan. Buku ini dilengkapi dengan usaha-usaha penanggulangan berupa perawatan yang efektif dan mudah pelaksanaannya. Ada juga pembahasan tentang restorasi suatu benda purbakala agar dapat kembali nampak seperti semula. Pada bagian ketiga buku ini (hal 10-108) menguraikan tentang perawatan terhadap naskah-naskah kuno. Oleh karena itu sangat berguna pula bagi filolog dan atau pemilik-pemilik naskah.
Buku yang ditulis oleh Vera Imelda dan kawan-kawan yang berjudul Beberapa Naskah Kuno Sumatera Bara, juga menjadi rujukan. Dalam buku ini memuat 50 naskah kuno koleksi Museum Adytiawarman, 9 buah koleksi pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan. Minangkabau (PDlKM) di Padang panjang dan 3 buah koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Padang .
Dalam penelitian ini peneliti tidak berangkat dari teori-teori, akan tetapi didasarkan pada kerangka pemikiran tentang museum dan keberadaan naskah di Sumatera Barat, Menurut The International Council of Museum (ICOM) sebagai payung organisasi museum internasional museum adalah suatu lembaga yang bersifat tetap yang tidak mengambil keuntungan dan diusahakan untuk kepentingan masyarakat dengan tujuan memelihara, meneliti, memamerkan, kepada masyarakat bukti-bukti nyata manusia dan lingkungannya pada masa silam sehingga masyarakat dapat mengenal kembali sejarah alam, sejarah ilmu pengetahuan, dan sejarah kebudayaan masa lalu. Dalam pp N0. 19 tahun 1995 disebutkan bahwa museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-¬benda materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannnya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menyebutkan bahwa benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah. ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Serta benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Termasuk dalam hal ini adalah naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan ( manuskrip).
Benda-benda tersebut merupakan hasil dan tradisi yang pernah berlansung di daerah tersebut, sejak dahulu hingga Minangkabau terbiasa mentransformasikan budayanya dari generasi ke generasi. Hal inilah yang selalu menjadi kendala pada setiap peneliti sejarah Minangkabau dalam menyusun sejarah Minangkabau. Sebab, masyarakat ini tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis sebelum kedatangan bangsa Barat dan sebelum mereka mengenal tulisan Arab dan Latin.
Tradisi lisan yang sejak lama menjadi budaya masyarakat Minangkabau telah memperkenalkan masyarakat daerah ini pada beberapa karya sastra seperti kaba, dendang, sejarah alam, adat istiadat dan norma-norma dalam masyarakat, silsilah keturunan, dan lain-¬lain. Semua kesenian ini dihafal oleh para pendahulu yang kemudian disampaikan secara lisan kepada generasi-generasi berikutnya. Akibatnya transformasi budaya ini berdampak pada bertambah atau berkurangnya materi dari sebuah peristiwa, seperti kaba Malin Dewan. Tidak kurang dari 23 naskah kaba Malin Dewan tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Pada setiap naskah itu terdapat variasi-variasi dalam penyampaian atau penyalinan kaba. Begitu juga dengan tambo, walaupun isinya hampir sama namun dalam teks terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Masuknya pengaruh asing ke Minangkabau khususnya Islam pada permulaan abad ke-13 dan lebih dahsyat lagi pada pertengahan abad ke-16 telah membawa masyarakat Minangkabau untuk meninggalkan budaya lisan dan orang-orang Minangkabau berbondong¬-bondong menyalin naskah-naskah tradisi lisan ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan aksara Arab-Melayu. Pada gilirannya persentuhan dengan bangsa Barat juga melahirkan budaya menulis dengan menggunakan aksara Latin.
Akan tetapi kegiatan tulis-menulis dengan aksara Arab-Melayu sangat lambat perkembangannya jika tidak ingin dikatakan tidak pernah berkembang di masyarakat Minangkabau. Menurut Anwar sebagaimana dikutip Suryadi penggunaan aksara Arab-Melayu baru berkembang sejak munculnya golongan intelektual Islam yang tidak begitu besar jumlahnya pada awal abad ke 20 yang menggunakan aksara tersebut dalam mengkodifikasikan pemikiran-pemikirannya. Adalah golongan ulama dan atau kalangan "orang surau " yang mempelopori penggunaan aksara Arab-Melayu di Minangkabau. Pada masa itu muncul sejumlah karya sastra Minangkabau dan ini semakin meningkat sejak bangsa Eropa memperkenalkan aksara Latin, banyak sastra lisan Minangkabau yang dijadikan sebagai naskah.
Jadi, naskah yang muncul dan tersebar luas di alam Minangkabau pada umumnya merupakan penyalinan dan kelanjutan dari tradisi lisan. Hal ini tcrillustrasi dari banyaknya naskah-naskah yang pada dasarnya adalah produk tukang kaba atau produk-produk lisan. Kondisi ini menurut Yusuf dalam banyak versi tulisan. gaya lisan atau sifat keasliannya tetap kelihatan, misalnya kesatuan mengucapkan, keserasian irama akhir, dan ungkapan-ungkapan yang formulaic, sehingga sulit dikatakan bahwa kaba-kaba itu hasil tradisi lisan. Fenomena ini terus berlanjut sampai pada penulisan dalam aksara latin pada masa berikutnya. Hal yang sama juga terjadi pada setiap naskah yang beraroma keagamaan, seperti fiqhi, nahu, sharaf dan lain-lain. Naskah-naskah yang disebut terakhir ini hanya merupakan penyusunan kembali dari ajaran-ajaran yang telah diajarkan secara lisan, sedangkan tambo yang telah ditulis sebagai pegangan pokok masyarakat Minangkabau yang memuat tentang kejadian alam, raja, adat istiadat serta silsilah raja atau kaum dan pembagian daerah-daerah kesemuanya itu merupakan hasil tradisi lisan yang ditransfer ke bentuk tulisan. Akibatnya hingga saat ini di kalangan masyarakat Minangkabau ada anggapan bahwa tambo yang asli itu adalah tambo yang ditulis tangan, dengan aksara Arab-Melayu, wulaurun sekarang sudah banyak yang dicetak memakai huruf latin. Hal yang sama juga terdarat pada naskah mengenai petatah-petitih pada umumnya ditulis dengan aksara Arab-Melayu kemudian dialihkan ke aksara latin.
Sebenarnya, secara kuantitas karya sastra Minangkabau yang tertulis relatif sedikit. Naskah-naskah Minangkabau yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu belum terdokumentasi dengan baik. Walaupun demikian naskah-naskah Minangkabau banyak yang disimpan dan diselamatkan oleh bangsa-bangsa asing, khususnya Belanda.
Sampai saat ini masyarakat Minangkabau pada umumnya kurang memperhatikan keselamatan naskah-naskah kuno yang banyak menyimpan informasi kebudayaan. Hal ini disebabkan tidak mentradisinya kebudayaan tulis dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, orang Minangkabau sejak dahulu hingga sekarang lebih menyukai untuk mendengar suatu kisah atau cerita ynng disampaikan secara langsung oleh tukang kaba (penyaji) atau oleh seorang penyampai berita. Kesenangan ini didasarkan pada cara penyampaian yang unik sehingga menjadi suatu yang memuaskan bagi si pendengar.
Penelitian mengenai koleksi dan konservasi naskah-naskah koleksi museum Adityawarman dapat digolongkan sebagai penelitian yang bersifat menjelajah dengan tujuan untuk memberikan gambaran atau infonnasi secara umum tentang naskah-naskah yang berada di Museum Adityawarman agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Teknik pengumpulan data dan informasi mengenai naskah-naskah dilakukan dengan mendatangi objek. Selain itu dilakukan juga studi kepustakaan yang bertujuan memberi pemahaman yang lebih mendalam tentang objek penelitian. Untuk melengkapi data-data dilakukan juga wawancara kepada beberapa informan yang dianggap kredibel. Wawancara dilakukan kepada kepala seksi pemeliharaan, pemantauan, dan penyajian, Reza Muthia penanggung jawab konservasi dan preparasi benda-benda koleksi dan penanggung jawab penyimpanan naskah-naskah koleksi museum Adityawarman.
Penelitian ini sendiri sudah dimulai sejak pertengahan Oktober tahun 2004. Namun sempat terputus sehubungan dengan adanya tugas peneliti selaku tenaga pengajar pada IAIN Imam Bonjol Padang. Penelitian ini dilanjutkan pada awal bulan November tahun lalu dan baru selesai akhir tahun 2004.
1. Gambaran Umum Tentang Museum Adityawarman
Museum Propinsi Sumatera Barat yang diberi nama Adityawarman terletak di jalan Diponegoro Padang, jaraknya sekitar 150 meter dari pantai Muaro Padang. Bangunan gedung museum ini berada di tanah berkas lapangan Dipo yang diperuntukkan sebagai lokasi kebudayaan oleh pemerintah kota Padang. Bangunan ini berada di atas tanah kota yang diserahkan wali kota Padang, Hasan Basri Durin pada tahun 1974.
Museum Adityawarman mulai di bangun pada tahun anggaran 1974/1975 dan diresmikan pada tanggal 16 Maret 1977 oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia pada waktu itu, Sjrif Thyib. Realisasi pelaksanaan fungsionalisasi museum ini berpayung pada definisi oleh ICOM secara internasional dan pp no. 19 tahun 1995 secara nasional. Kegiatan-kegiatannya dalam mewujudkan tugas dan fungsinya selalu berorientasi pada koleksi dan publik.
Berdirinya museum Adityawarman bermula dari adanya kesepakatan antar Gubernur Sumatra Barat Harun Zein dengan kepala perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat Amir Ali pada tahun 1973 untuk mendirikan balai kebudayaan Minangkabau. Hal ini disampaikan kepada direktorat permuseuman Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan R.I. di Jakarta. Pemerintah pusat menyepakati usulan tersebut sebab bertepatan dengan rencana pemerintah membangun museum di setiap propinsi. Segera setelah itu, pemerintah pusat dalam hal ini direktorat permuseuman menurunkan tim ke Sumatera Barat mengadakan serangkaian pertemuan dan konsultasi. Hasilnya disepakati untuk membangun sebuah museum yang berlokasi di ibu kota propinsi Sumatera Barat. Pemerintah daerah kota madya Padang menyediakan tanah yang terletak di lapangan Tugu Taman Melati. Pada sisi lain perlunya mendirikan museum adalah atas kenyataan banyaknya benda warisan budaya Sumatera Barat yang perlu diselamatkan karena merupakan asset budaya bangsa.
Gedung utama museum Adityawarman berbentuk rumah Gadang Minangkabau bangunan berkolong dengan teknologi mutakhir. Lantai pertama gedung ini dipakai untuk pameran tetap yang di bagi dua oleh dinding serambi. Bagian kiri ruang ini sebagai pajangan pameran upacara daur hidup ( cycle life) menurut adat Minangkabau dilengkapi dengan peralatan dan hidangan (duplikat) pesta. Pada anjungan dipajangkan pelaminan perkawinan. Bagian kiri rumah Gadang ini dipajangkan peralatan rumah tangga, kerajinan, dan alat musik tradisional Minangkabau.
Lantai bawah (kolong), sebelah kanan sebagai Ruang khusus Mentawai, sebagai bagian dari kabupaten dalam Provinsi Sumatra Barat, adalah ruang pameran. Sebelah kiri merupakan ruang Etnografi, dipajangkan pakaian tradisional berbagai daerah di Sumatera Barat dan Nusantara
Setelah keluar dari ruangan Nusantara, masuk ke ruang terbuka. Pada ruang ini berdiri duplikat area perwujudan Adityawarman. Tingginya 4.17 m. Area aslinya didapat di Padang area di Rambahan, kabupaten Darmasraya pada tahun 1935. Area Budha bernilai seni tinggi sekarang terletak di ruang depan Gedung Museum Nasional Jakarta. Di samping itu di ruang ini terletak pula prasasti peresmian museum ini yang ditandatangani oleh Prof Dr. Sjarif Thaib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.1. Batu peresmian ini ialah batu andesit yang beratnya 200 kg diambil dari Batang Kuranji. Di ruang itu terpajang pula koleksi menhir Lima Puluh.
Di sisi ruang terbuka, di lantai dasar, dipergunakan sebagai Ruang Pameran temporer, yang ditempati perkembangan peradaban manusia zaman prasejarah sampai kini. Termasuk di ruangan ini dipajangkan batu-batuan. Ruang ini juga dipakai untuk ruang khusus sebagai ruang pameran yang direncanakan yang berhubungan dengan kehidupan masa kini. Di samping ruangan ini, terdapat Ruang Konservasi dan Reparasi Koleksi yang diperuntukkan petugas untuk mengawetkan koleksi dan dokumentasi perekaman koleksi dalam bentuk foto dan slide.
Ruang atas gedung pameran dimanfaatkan sebagai Kantor Kepala dan Administrasi yang Museum dilengkapi dengan ruang diskusi petugas museum, ruang kurator museum dan gudang koleksi, Perpustakaan, dan Kantor Bimbingan Edukasi Museum.
Pada saat ini Museum Adityawarman mempunyai tidak kurang 6442 buah benda koleksi. Benda-benda ini diklasifikasikan menurut jenisnya masing-masing yakni geologika 29 buah, etnografika 5401 buah, arkeologika 44 buah, historika 64 buah, numasmatika dan heraldika 120 buah, filologika 64 buah, keramologika 671 buah, seni rupa 27 buah, dan teknologika 9 buah. Selain itu ada juga perpustakaan yang di lengkapi dengan penerbitan museum. Lebih kurang penerbitan museum 52 buah mengenai pakaian adat (Padang Magek, Payakumbuh, Sungayang), transportasi (bendi), kerajinan (songket, tenun balapak), teknologi tradisional (ukiran rumah gadang, kincir air, kilang tebu, gambir). musik (rabab pesisir, puput batang padi, dabus), permainan (layang-layang), ibadah, dan sejarah (Padang tempo dulu Yang Dipertuan Parik Batu, Adityawarman).
Koleksi museum dilengkapi dengan buku inventaris, yang berisi catatan lengkap identitas koleksi fisik, maupun daya guna dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang matrilini. Secara berkala dilakukan penelitian koleksi melengkapi museum sebagai lembaga ilmiah dan pendidikan dan diterbitkan untuk mengantarkan museum ini sebagai lembaga ilmu, rekreasi dan kesenangan. Koleksi museum yang lain disimpan di gudang (stroge) koleksi.
Museum Adityawarman juga memiliki ruang Auditorium, yang lotengnya bergaya payung panji perangkat adat Minangkabau. Auditorium sebagai ruang bimbingan untuk siswa dan rombongan pengunjung, maupun diskusi, seminar pameran temporer.
Saat ini Museum Adytiawarman memiliki 60 orang pegawai dan dipimpin oleh Dra. Usria Dhavida, sarjana Bahasa Inggris. Semua benda-benda koleksi museum berada di bawah kontrol Kepala Seksi Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian Dra. Reza Muthia (41 thn), Sarjana Sejarah Universitas Andalas. Ironisnya pegawai museum kebanggaan masyarakat Minangkabau ini tidak seorangpun yang sarjana Filologi, padahal cukup banyak memiliki koleksi naskah-naskah kuno, mayoritas pegawainya adalah tamatan SLTA.
2. Naskah-naskah Koleksi Museum Adityawarman dan Cara Memperoleh Naskah
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Museum Adityawarman mengkoleksi 63 buah naskah yang terdiri dari berbagai jenis. Selain naskah-naskah yang berasal dari Sumatera Barat koleksi museum kebanggaan masyarakat Minang ini juga ada yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang materinya dari lontar. Jumlah koleksi naskah tersebut sebenarnya belum seberapa mengingat masih banyaknya naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat di Sumatera Barat.
Di antara berbagai kategori naskah koleksi Museum Adityawarman naskah keagamaan / (baca: Islam) merupakan jenis kategori naskah yang paling banyak jumlahnya. Dominannya naskah-naskah keagamaan itu lebih dimungkinkan oleh adanya tradisi penulisan naskah-naskah local yang masih terus berlangsung hingga saat ini, seiring dengan masih terus berlanjutnya proses transmisi berbagai pengetahuan ke-Islaman di wilayah ini. Menurut Oman di Sumatera Barat banyak dijumpai naskah-naskah keagamaan yang ditulis pada awal hingga akhir abad ke¬20 oleh para ulamanya.
Kondisi naskah koleksi Museum Adityawarman pada umumnya sangat mengkhawatirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah yang dapat dikatakan dalam kondisi baik hanya 30 buah selebihnya, 33 buah, sudah rusak. Pengertian "dalam kondisi baik" di sini juga dibedakan pada : l) baik secara keseluruhan yakni fisiknya masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas, 2) fisiknya utuh tetapi tulisannya sudah mulai suram meski masih dapat dibaca, 3). fisiknya masih utuh tetapi sampul dan sebahagian lembarannya sudah lepas. 4). Ada sobekan-sobekan pada beberapa lembaran meskipun tidak mengganggu tulisan, 5) kertasnya sudah mulai menguning meski tidak menggangu tulisan. Kriteria rusak juga dapat dibedakan pada: 1) rusak secara keseluruhan baik isi maupun tulisannya, 2) sebagian lembarannya ada yang hilang. 3) tinta tulisan sudah mulai luntur sehingga sulit dibaca, 4) naskah tidak bersampul lagi, 5) kondisi kertas sudah robek-robek dimakan rayap.
Selain dari Nusa Tenggara Timur (4 naskah), naskah-naskah koleksi museum Adytiawarman berasal dari berbagai pelosok daerah Sumatera Barat dan yang terbanyak dari lima puluh kota (26), Payakumbuh 20, Pariaman dan Padang masing-masing 2 dari Solok dan Tanah Datar masing-masing 3 buah. Naskah-naskah yang berasal dari daerah 50 kota pada umumnya naskah-naskah keagamaan seperti Kitab Fiqhi, Naskah Khutba, Kitab Barjanzi dan al-Qur’an. Sedangkan dari Payakumbuh. Selain al-Qur'an dan kitab-kitab Agama juga naskah tentang cerita-cerita rakyat.
Kecuali naskah-naskah yang terbuat dari bahan lontar yang menggunakan aksara Jawa Kuno dan naskah-naskah al-Qur'an, semua naskah koleksi Museum Adityawarman menggunakan aksara Arab melayu (Jawa) dan ditulis dengan tangan. Naskah ini dapat digolongkan kepada : 1. al-Qur'an, baik cetak maupun tulisan tangan 15 buah: ilmu Fiqhi 10 buah, Cerita-cerita rakyat 5 buah: tambo Minangkabau 3 buah; ilmu Tauhid, Syari'ah, Undang-¬undang Minangkabau, dan jimat masing-masing 2 buah, faraid (ilmu hukum waris), khotbah, tajwid, obat-obatan, nahwu sharaf, kumpulan do 'a, fiqhi anak, hikayat melayu, bajanzi, adat, adab, dan ta'wil gempa bumi masing-masing 1 buah. Sisanya, 5 naskah lagi, campuran.
Naskah-naskah koleksi ini berada dibawah pengawasan bagian Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian di bawah pimpinan Reza Muthia (41), Sarjana Sejarah Universitas Andalas. Menurut Reza, dari 63 buah naskah koleksi Museum Adityawarman 10 di antaranya adalah barang cetakan dan 4 buah lagi berasal dari Nusa Tenggara Timur yang di dapat dengan memberikan ganti rugi. Keempat naskah tersebut dari bahan lontar dan menggunakan aksara Jawa Kuno. Naskah Lontar ini didapat pada acara Pameran di Bali pada tahun 1977. Diperkirakan itulah naskah pertama yang menjadi koleksi Museum Adityawarman.
Naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman hampir semuanya diperoleh dengan ganti rugi. Hanya satu buah naskah saja yang berasal dari sumbangan masyarakat yakni naskah yang bertitel Takwil Gempa Bumi. Naskah ini berasal dari daerah Koto Nan Gadang Payakumbuh yang ditulis tangan dan menggunakan aksara Arab Melayu. Bahannya terbuat dari kertas dan jumlah halamannya 387; masing-masing halaman terdiri dari 15 baris. Tulisannya terdiri dari dua warna, merah dan hitam.
Dalam keterangannya kepada penulis, Reza mengakui sulitnya mendapatkan naskah dari masyarakat meskipun ada "ganti ruginya". Padahal naskah-naskah kuno perlu diselamatkan dan sudah menjadi tugas museum untuk mengumpulkan dan merawat benda-benda bernilai sejarah. Oleh karena itu, Museum Adityawarman menyediakan anggaran khusus untuk pengadaan koleksi naskah yang dimulai sejak tahun 1994.
Sejak tahun 1990-an, Museum Adityawarman sangat gencar "memburu" naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat. Payakumbuh, Lima Puluh Kota, dan Bukittinggi adalah tempat "para pemburu" naskah itu mendapatkan buruannya. Selain itu, tidak jarang juga "calo-calo" naskah yang menawarkan dagangannya. Para "pemburu Naskah" juga sering mendapatkan buruannya dari toko barang antik di Bukittinggi, seperti "Minang Sari". "Makmur", dan "Ganesha". Naskah-naskah didapat dengan system ganti rugi dan besarnya disesuaikan dengan kualitas naskah. Semakin tua usia dan semakin baik kondisi naskah maka, harga semakin tinggi. Bahkan ada naskah yang didapat setelah memberi ganti rugi sebesar Rp. 3.000.000.
3. Konservasi Naskah-Naskah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa naskah-naskah kuno tulisan tangan merupakan salah satu benda cagar budaya yang mesti dijaga keleslariannya. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 Bab IV Pasal 23 tentang pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 menyebutkan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.
Pada struktur organisasi Museum Adityawarman ada satu bagian yang bertugas melakukan perawatan terhadap semua benda-benda koleksi, yakni bagian Konservasi dan Preparasi. Bagian ini berada di bawah kontrol Kepala Seksi Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian, Penanggungjawab bagian Bagian Konservasi dan Preparasi itu adalah Abasrul (51) alumnis Fakultas IImu Sosial IImu Politik Universitas Terbuka tahun 2000.
Meskipun Abasrul telah sering mengikuti pelatihan-pelatihan konservasi benda-benda purbakala, namun belum pernah sekalipun mendapat pendidikan tentang konservasi naskah-¬naskah kuno. Bahkan yang bersangkutan mengakui bahwa ia tidak memiliki pengetahuan mengenai konservasi naskah-naskah kuno meskipun sudah bergelut di bidang konservasi benda-¬benda purbakala selama 20 tahun.
Konservasi naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman lakukan dengan cara yang sangat sederhana (tradisional). Semua naskah disimpan dalam sebuah lemari kayu yang bagian atas dan bawah lemari ini ditaburi bubuk-bubuk kapur barus. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan serangga pemakan kayu dan kertas. Selain itu setiap minggu lemari penyimpan naskah juga suntik dengan memamai cairan yang berisi campuran minyak tanah dengan bubuk kapur barus.
Perawatan sampul-sampul naskah yang pada umumnya terbuat dari kulit binatang dilakukan dengan cara memberi larutan desolfit. Larutan ini diberikan untuk membersihkan noda-noda. Caranya adalah dengan mengoleskan larutan tersebut dengan kuas kemudian dikeringkan dalam ruangan dan dihindari dari terkena sinar mata hari secara langsung. Kadang-¬kadang pengeringan juga dilakukan dengan memakai kipas angin. Pengeringan diberlangsung selama lebih kurang 1 (satu) jam.
Menurut Abasrul permasalahan utama berkenaan dengan upaya pelestarian naskah sebagai salah satu benda cagar budaya yang dialami oleh Museum Adityawarman adalah minimnya peralatan moderen disamping kondisi pisik naskah yang sudah banyak mengalami kerusakan karena proses alam atau perbuatan manusia baik sengaja maupun tidak. Selain itu tidak tersedianya tenaga professional yang dapat melakukan konservasi naskah-naskah. Dari sekitar 60 orang pegawai tidak satupun yang pernah mendapat pendidikan tentang konservasi naskah akibatnya perawatan naskah dilakukan secara tradisional.
Keadaan tersebut di atas diperparah lagi dengan keberadaan lokasi museum yang sangat dekat dengan laut, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut Plenderleith sangat sulit menjaga keselamatan koleksi pada museum yang lokasinya berada dekat laut. Udara laut, basah dan mengandung garam berembus ke darat menjadi lembab dan zat garamnya mengkristal dalam bentuk partikel-partikel yang sangat halus. Kristal-kristal garam ini bersifat hygroscopic yang dapat menimbulkan kelembaban local yang kemudian menyebabkan tumbuhan jamur walaupun disekelilingnya kering. Hal ini sangat membahaya koleksi terutama koleksi buku dan koleksi¬koleksi lainnya yang terbuat dari kertas dan kayu.
4. Kesimpulan
Dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya berbentuk manuskrip (naskah) kepada masyarakat Museum Propinsi Sumatera Barat telah melakukan langkah-langkah yang sangat berarti yakni mengumpulkan atau mengkoleksi puluhan naskah-naskah kuno tidak hanya yang berasal dari Sumatera Sarat tetapi juga dari daerah lainnya. Pengkoleksian ini tidak hanya sekedar menjalankan tugas dan fungsinya dalam melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya nasional untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi juga menunjukkan bahwa lembaga ini telah berperan aktif dalam mengembangkan ilmu Filologi setidaknya di Sumatera Barat. Hal terakhir yang diungkapkan ini didasarkan banyaknya tema-tema yang terkandung dalam naskah-¬naskah yang dikoleksi itu.
Akan tetapi sangat disayangkan kurangnya perhatian terhadap keselamatan koleksi naskah-naskah yang berjumlah 63 buah itu. Lebih dari separoh benda-benda cagar budaya itu mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi selain oleh factor alam atau lingkungan juga dimungkinkan oleh ketiadaan tenaga yang mengerti tentang konservasi naskah. Semua pegawai museum itu belum pernah ada yang diberi pelatihan atau didikan khusus mengenai konservasi naskah. Akibatnya konservasi naskah masih memakai cara-cara tradisional.
Adanya praktek ganti rugi yang dilakukan oleh Museum Adityawarman untuk mendapatkan naskah-naskah dari masyarakat menunjukkan adanya perdagangan benda-benda cagar budaya khususnya naskah-naskah kuno di Sumatera Barat. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih banyaknya masyarakat di Sumatera Barat yang belum memahami arti penting naskah-naskah kuno bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kelestarian warisan nenek moyang. Padahal, meminjam pendapat Robson, kita mendapat tugas moral untuk merawat apa yang telah ditinggalkan nenek moyang kepada kita.
Sebagai kata akhir dari laporan penelitian ini, peneliti ingin menyampaikan beberapa rekomendasi :
1. Penelitian ini merupakan penelitian awal sehingga masih banyak sisi yang belum terungkap, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan agar dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman secara lebih komprehensif. Sehingga dapat dimunculkan solusi-solusi cerdas untuk mengatasi segala persoalan yang menyangkut kondisi naskah-naskah tersebut terutama sekali unluk mengatasi kerusakan pada naskah-naskah tersebut.
2. Perlu diberikan pendidikan atau pelatihan khusus mengenai konservasi naskah pada penanggungjawab koleksi naskah-naskah Museum Aditywarman. Dan sudah saatnya Museum Adityawarman memiliki pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan Filologi (baca: sarjana Filologi) mengingat koleksi-koleksi naskah pada lembaga itu cukup banyak.
3. Museum Aditywarman perlu melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada anggota masyarakat yang memiliki naskah-naskah kuno tentang arti penting menjaga keselamatan benda purbakala itu dengan tujuan agar masyarakat tersebut mau mewakafkan naskah-naskah miliknya kepada Museum atau lembaga resmi lainnya yang dipandang mampu. Hal ini juga untuk memberantas praktek terselubung jual beli benda-benda purbakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar