Oleh : Suci Humairah, MA (Dosen Jur. BSI)
Artikel ini kami beri judul: “Threshold Reality Dalam Proses Perubahan Budaya”. Istilah threshold reality kami gunakan untuk melihat dan menganalisis proses perubahan budaya suatu masyarakat. Istilah tersebut kami posisikan dalam dua pengertian: pertama, secara harfiah, kedua, dalam arti khusus. Dalam arti harfiah, threshold reality dipahami sebagai realitas ambang atau kenyataan ambang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989: 26) kata “ambang” berarti kayu melintang antara dua tiang pintu atau dua tiang jendela atau kayu palang antara dua tiang. Kalau dikatakan bahwa seseorang “berdiri diambang pintu”, artinya seseorang itu berdiri di bawah kayu melintang atau di bawah kayu palang dari sebuah pintu. Pada posisi yang demiikian, sesorang memang masih dapat melihat ke “bagian dalam” dan ke “bagian luar” dari rumah tersebut. Artinya, orang itu masih menjadi bagian dari rumah tersebut, sehingga masih mengetahui kondisi di dalam rumah dan juga kondisi diluar rumah, namun demikian tidak seutuhnya lagi; karena posisinya diambang.
Apabila konsep realitas ambang dipakai untuk melihat dan menganalisis proses perubahan budaya suatu masyarakat—seperti ditulis pada judul artikel ini, itu berarti bahwa disatu sisi individu-individu anggota masyarakat sebagai pemilik, penganut dan pelaku perubahan itu tidak sepenuhnya lagi berada didalam kebudayaanya sendiri, dan di sisi lain, yang bersangkutan juga tidak berada secara utuh di luar kebudayaannya. Dalam arti harfiah ini dapat disimpulkan bahwa realitas ambang itu adalah suatu kondisi dimana proses perubahan sedang berlangsung secara alamiah melalui berbagai cara, individu-individu anggota masyarakat yang menjadi pemilik, penganut, dan pendukung budaya itu masih dalam keadaan mengetahui dan sadar tentang nilai-nilai budayanya sendiri dan juga menyadari bahwa di luar kebudayaannya ada kebudayaan asing dengan nilai-nilai tertentu pula yang sedang dan akan mempengaruhi. Realitas ambang dapat digambarkan sebagai suatu kenyataan dimana proses dialektika—proses tawar-menawar antara dua kecenderungan yang bertentangan sedang berlangsung di tengah masyarakat, pro dan kontra bahkan konflik bisa terjadi, kemudian akan melahirkan suatu sintesa, bisa jadi sintesa itu berupa kecenderungan baru yang lain diluar dua kecenderungan yang berseberangan tadi dan bisa jadi sintesa tersebut berupa solusi dalam bentuk kesepakatan sosial yang tidak ada hubungannya dengan kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan tadi.
Dalam pengertian yang kedua, dalam arti khusus seperti yang pernah dikemukakan oleh Saini KM, seorang guru besar dan penulis buku Seni Teater dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, katanya, dalam pementasan suatu karya seni di atas panggung, misalnya seni teater, pada dasarnya pada pementasan karya di panggung tersebut menyuguhkan dua macam realitas sekaligus, pertama, realitas pancaindera, dan kedua, realitas nilai. Realitas pancaindera disatu sisi adalah segala bentuk aktifitas dan/atau perilaku seniman di atas pentas yang dapat diserap oleh pancaindera penontonnya, sedangkan realitas nilai disisi lain adalah realitas yang disuguhkan melalui peran-peran yang dimainkan oleh pemain sandiwara. Misalnya, sebagai salah satu contoh adalah pementasan drama Malin Kundang. Realitas pancaindera pada pementasan itu antara lain adalah perilaku /tindakan Malin Kundang terhadap seorang wanita tua, ibu kandungnya sendiri. Malin Kundang sebagai seorang saudagar yang kaya-raya merasa malu kalau orang tua yang buruk rupa itu mengaku-ngaku sebagai ibunya. Realitas nilai yang dibawa oleh cerita/sandiwara itu antara lain adalah: “terkutuklah anak durhaka”. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa sebagai manusia yang berakal janganlah sekali-kali terjerumus menjadi anak durhaka.
Dalam hubungan dengan pembahasan dan analisis ini, pergaulan hidup dan interaksi sosial dalam masyarakat yang kami amati, kami anggap dan kami pandang sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana di atas pentas itu ada beberapa realitas sekaligus yang sedang berlaku, pertama, realiatas ambang; kedua, realitas pencaindera; ketiga, realitas nilai (ketiganya jalan bersama pada waktu yang sama).
C. Orientasi Teori
Teori-teori yang dijadikan pedoman dalam membahas dan menganalisis perubahan kebudayaan ini diantaranya adalah teori-teori kebudayaan dan perubahan kebudayaan, serta teori perubahan sosial. Pengertian kebudayaan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah pengertian kebudayaan menurut tokoh antropologi aliran ideasionalisme, seperti dikemukakan Goudenough (1961: 521), bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan, sistem ide atau sistem kognitif dari suatu kelompok masyarakat, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berada dalam alam pikiran individu-individu anggota masyarakat, yang tersusun sebagai suatu pedoman dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih alternatif yang ada.
Berdasarkan pengertian kebudayaan yang dikemukakan di atas, maka perubahan kebudayaan suatu masyarakat dipahami sebagai perubahan pada tatanan ideasional—pada sistem gagasan, sistem ide, sistem kognitif, yaitu pada aspek pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Perubahan pada tatanan ideasional akan membawa pada perubahan pola perilaku, interaksi sosial, dan tindakan-tindakan; perubahan-perubahan itu akhirnya akan menimbulkan perubahan sosial.
Mengacu pada konsep kebudayaan yang dikemukakan di atas, berarti mempelajari perubahan kebudayaan suatu masyarakat dapat dilakukan dengan mempelajari perubahan sosial, yaitu perubahan pada pola-pola perilaku dan interaksi sosial anggota masyarakat yang bersangkutan, karena perilaku dan tindakan itu merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan (manunggal) dengan sistem kognitif; dengan kata lain, perilaku dan tindakan adalahg konsekwensi logis dari sistem gagasan sebagai pedoman hidup.
Berkenaan dengan perubahan sosial kami petik pandangan seorang ahli , katanya, perubahan sosial merupakan perubahan penting dari struktur sosial. Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Dengan demikian, perubahan struktur sosial adalah perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Menurut pakar lain, perubahan sosial adalah variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.
Perubahan kebudayaan menurut ahli yang lain dapat terjadi antara lain melalui proses akulturasi, asimilasi, dan inovasi; dan perubahan kebudayaan itu pada dasarnya merupakan modifikasi yang terjadi pada perangkat-perangkat ide dan disetujui secara sosial oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perubahan terjadi antara lain melalui proses substitusi, inkrepentasi, difusi atau karena adanya inovasi, sementara perubahan tersebut melalui tahapan tertentu, seperti (1) tahap inovasi, (2) tahap pengintegrasian inovasi, dan (3) tahap terminal .
D. Perubahan Budaya: Perubahan World-View
Pertanyaan pertama sebagai pembuka diskusi diawal bulan Juli yang lalu adalah pertanyaan yang muncul dari penulis muda. Pertanyaannya adalah: “Sepengetahuan Bapak, bagaimana kondisi kehidupan kaum lelaki dan kaum perempuan di lingkungan pedesaan kita pada dekade 1980-an?” Jawaban: Pada dekade 1980-an relatif sudah sama dalam banyak hal, kalau lelaki bisa menuntut ilmu sampai ke Perguruan Tinggi, para wanita pun dapat melakukan hal yang sama; kalau lelaki bisa bekerja kantoran di kota, kaum wanita juga demikian. Namun demikian, dalam beberapa hal atau pada bidang atau ranah tertentu tetap masih ada perbedaan. Misalnya dalam hal tradisi merantau. Kaum lelaki dari pedesaan sudah sejak lama mempunyai kebiasaan pergi merantau sebelum masa perkawinan. Kecuali lelaki yang masih dalam pendidikan, pada umumnya kaum lelaki berusia muda tinggal bersama orang tua mereka di kampung. Kaum wanita, terutama yang masih berusia muda atau belum menikah, pada dekade 1980-an dianggap sebagai wanita tidak baik, dianggap sebagai wanita yang berperilaku tidak ideal kalau dia pergi merantau sendirian atau merantau tanpa suami atau merantau sebelum menikah.
Pandangan dunia kaum wanita umumnya di pedesaan—yang diterima secara turun-temurun sampai dekade 1980-an pada umumnya adalah bahwa yang bisa merantau secara bebas itu adalah kaum lelaki, sedangkan wanita tidak bisa demikian, wanita bisa pergi merantau kalau dibawa/diboyong oleh suaminya. Adalah merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial dan dianggap wanita berperilaku menyimpang (deviant) apabila ada seorang wanita muda yang nekad untuk pergi merantau sendirian pada masa itu.
Pada dekade 1980-an ini, kalau ada sepasang orang tua (ibu-bapak) yang melepas/mengizinkan anak wanitanya yang berusia muda untuk mencari pekerjaan, misalnya ke Malaysia atau ke Batam, maka kedua orangtua beserta anak wanitanya itu akan menjadi bahan gunjingan orang sekampung, keluarga mereka akan menjadi bahan cemoohan semua orang.
Bagaimana keadaannnya pada dekade 2000-an, setelah 20-an tahun kemudian, apakah ada perubahan? Ada perubahan, bahkan sangat kontras, kalau dulu menjadi bahan gunjingan—dalam artian mendapat nilai yang negatif, dewasa ini anak perempuan berusia muda malah dianggap biasa saja pergi merantau sendirian, bahkan menjadi TKI ke negeri jiran Malaysia dilepas oleh ibu-bapaknya tanpa ragu dan was-was. Perubahan pada tataran wordl-view ini terjadi melalui pengaruh budaya asing, dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi akses untuk mendapatkan informasi terbuka lebar, sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengetahui perubahan dan perkembangan dunia luar. Setelah kami coba melakukan klarifikasi dan verifikasi kepada beberapa orang tua yang mengizinkan anak perempuannya merantau sendirian, terbukti bahwa mereka pada umumnya tidak merasa keberatan lagi kalau anak wanita muda mereka pergi merantau sendirian. Ketika ditanya, kenapa tidak keberatan lagi seperti dulu? Jawaban mereka hampir sama, bahwa merantau juga dapat dilakukan oleh wanita yang masih muda sepanjang tempat bekerjanya aman dan tidak merupakan tempat maksiat. Ukuran yang dipakai akhir-akhir ini adalah sepanjang tidak melakukan hal-hal yang maksiat. Sepanjang tidak berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti menjadi PSK, wanita penghibur, dan sejenisnya, maka seorang wanita boleh saja pergi merantau diusia muda, meskipun tidak mengikuti suami.
Pertanyaan mendasar dalam hal ini adalah: Apa perbedaan budaya berbusana para generasi muda 1980-an dengan budaya generasi muda dekade 2000-an? Budaya berbusana generasi muda 1980-an masih mengikuti aturan-aturan agama, menutup aurat dan berbusana sopan, lapang, tidak menunjukan perilaku aneh, sempit dan terbuka sebagian tubuh. Pada generasi muda dekade 2000-an terutama wanita sudah banyak yang meninggalkan nilai-nilai ideal yang dipelihara dan dipertahankan selama ini. Ukuran atau parameter yang menjadi dasar utama dalam melihat serta menilai budaya berbusana ini, terutama bagi kaum perempuan adalah masalah model yang dipakai. Sepanjang masih dalam aturan-aturan etika menurut tradisi, misalnya busana yang dipakai perempuan masih menutup aurat, maka busana tersebut masih dianggap sopan dan diterima secara sosial, tetapi kalau sempit, memperlihatkan bentuk tubuh dianggap melanggar etika berpakaian secara adat.
Pada tahun 1980-an, kalau ada seorang seorang wanita (tua atau muda) memakai celana panjang dengan dasar jean dan berjalan di pedesaan di Minangkabau, mereka akan dianggap sebagai wanita yang berperilaku menyimpang. Kalau memakai celana panjang dengan dasar jean itu seorang wanita berusia tua, mereka akan dianggap sebagai wanita-wanita yang “tidak baik”, namun lama-kelamaan perubahan cara dan kebiasaan berbusana itu juga terjadi, nilai berubah, cara berbusana dengan memakai celana panjang dasar jean sudah diterima secara sosial, sehingga sekarang pada dekade 2000-an ini cara berbusana dengan memakai dasar jean itu tidak menjadi masalah sama sekali.
Kalau pada dekade 1980-an ada seorang wanita muda yang berpakaian minim berjalan di tengah kampung, maka wanita muda itu akan dinilai masyarakat, termasuk oleh kaumnya sendiri (wanita) sebagai wanita tidak berakhlak, wanita liar, wanita yang tidak perlu dihargai dan dihormati. Namun pada dekade 2000-an ini kelihatannya perubahan berlangsung dengan sangat dahsyat, kaum wanita semakin berani membukia auratnya di depan umum, bahkan menjadi kebanggan bagi mereka kalau mereka memakai busana minim dan sempit di depan umum. Perubahan yang terjadi pada budaya berbusana ini berawal dari pengaruh nilai-nilai budaya asing yang merambah segenap aspek kehidupan, seperti nilai-nilai dalam aspek etika, dan estetika, aspek sosial, aspek ilmu pengetahuan, aspek ekonomi, aspek religi, dsb. Dengan kuatnya pengaruhnilai-nilai budaya asing itu akhirnya sedikit demi sedikit individu anggota masyarakat terpengaruh, lambat-laun terjadilah penerimaan unsur-unsur budaya asing tersebut.
E. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil diakhir pembahasan ini, antara lain sbb.:
1. Bahwa threshold reality atau realitas ambang adalah suatu kondisi dimana budaya suatu kelompok masyarakat sedang berada dalam proses perubahan.
2. Dalam kondisi threshold reality itulah terjadinya proses dialektika, proses tawar menawar antara kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan, bahkan pro-kontra itu bisa jadi sampai menjadi konflik yang dapat berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat.
3. Bahwa perubahan budaya suatu kelompok masyarakat dapat berlangsung melalui berbagai cara dan proses, misalnya melalui proses substitusi, inkrepentasi, asimilasi, dan proses inovasi. Proses substitusi, yaitu penggantian unsur yang lama dengan unsur yang baru yang secara fungsional dapat diterima oleh unsur yang lainnya atau kehilangan suatu unsur atau seperangkat unsur-unsur tanpa ada penggantinya. Perubahan juga dapat berlaku melalui proses inkrepentasi, yaitu penambahan unsur-unsur baru dalam sebuah kebudayaan tanpa mengganti unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaan tersebut. Perubahan dapat terjadi karena adanya persebaran unsur-unsur budaya dari luar, dan karena adanya upaya pembaharuan atau inovasi.
4. Setiap individu warg pendukung dan penganut budaya hendaklah waspada menghadapi kondisi yang disebut realitas ambang jika keaslian budayanya ingin dipertahankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar