Oleh : Havid Ardi, SS., M.Pd (Dosen LB Jur. BSI)
The aim of this article is to clarify the categorization of interpretation, also understood as oral translation. There are many types of interpretation proposed by scholars. Some of the categorizations are similar, but some are overlapping and show inconsistency. First, existing definitions and classifications of interpretation are reviewed in terminological, conceptual and classification confusions are pointed out. Then, based on analysis, the new interpretation classifications are proposed.
A. PENDAHULUAN
Seperti penerjemahan pada umumnya, penerjemahan lisan (interpretation) merupakan proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang dilakukan secara lisan. Penerjemahan lisan atau pengalihbahasaan memiliki berbagai jenis dan kategorisasi. Beberapa jenis pengalihbahasaan seperti: consecutive interpreting, simultaneous interpreting, whispered interpreting, liaison interpreting, community interpreting, conference interpreting dan lain sebagainya. Namun, beberapa istilah di atas merujuk pada konsep yang sama. Selain itu, kategorisasi yang ditawarkan para ahli dalam pengelompokan jenis pengalihbahasaan juga tumpang tindih dan inkonsisten.
Artikel ini dimaksudkan untuk mereview dan mendiskusikan beberapa jenis penerjemahan lisan dan ciri-cirinya serta kategorisasi yang ada saat ini. Berikutnya mengajukan model kategorisasi pengalihbahasaan. Artikel ini juga dimaksudkan sebagai kajian awal dalam merancang pelatihan atau pendidikan untuk melahirkan alihbahasawan (interpreter).
B. TINJAUAN PENERJEMAHAN LISAN
Banyak definisi pengalihbahasaan yang telah dikemukan para ahli. Misalnya, Brislin (1976:1), menyatakan:
Interpretation … refers to oral communication situations in which one person speaks in the source language, an interpreter processes this input and produces output in a second language, and a third person listens to the source language version.”
Definisi ini menegaskan bahwa pengalihbahasaan terjadi dalam setting komunikasi lisan antara komunikator dan komunikan yang menggunakan bahasa berbeda, sehingga alihbahasawan bertugas memproses input (Bsu) dari pembicara pertama dan menghasilkan output dalam versi bahasa (Bsa) yang dipahami oleh orang ke tiga. Input di sini berbentuk lisan.
Phelan (2001:6) menyatakan pengalihbahasaan adalah penerjemahan secara lisan apa yang didengar ke dalam bahasa lain. Ia menambahkan bahwa alihbahasawan terfokus pada gagasan bukan pada kesepadanan pada tataran kata secara terpisah (ibid: 7). Sependapat dengan Phelan, Seleskovitch (1976:92-93) menegaskan bahwa pengalihbahasaan yang dituturkan secara langsung, lebih ditekankan pada kesepadanan ide atau gagasan, daripada kesepadanan linguistiknya (frasa atau kata). Jadi alihbahasawan berkonsentrasi pada pemilihan redaksi kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan sesuai waktu dan konteks pada saat itu, bukan menyampaikan sesuai dengan kata-kata seperti pada bahasa sumber (Shuttleworth & Cowie, 1997; Arjona, 1978).
Weber (1984) menambahkan “interpretation is the oral transposition of an orally delivered message at a conference or a meeting from a source language into a target language, performed in the presence of the participants”. Pendapat ini lebih menekankan fungsi pengalihbahasaan dalam menjembatani hambatan komunikasi lisan karena perbedaan bahasa. Namun pada konteks sekarang kehadiran di sini tidak selalu berada di tempat dan ruang yang sama.
Sementara, Edwards (dalam Kelly, 2005), menyatakan bahwa “Interpetation means the unrehearsed transmitting of a spoken or signed message from one language to another.” Edwards lebih menekankan proses pengalihbahasaan ini terjadi secara langsung atau spontan dan ia tidak terbatas pada bentuk lisan semata, namun juga dari dan ke bahasa isyarat. Definisi ini mengakomodir pengalihbahasaan dari bentuk lisan ke bentuk bahasa isyarat karena beberapa kesamaan, seperti aspek tekanan kognitif dan kecepatan.
Sementara, Gile (2000:40) menyebutkan, “interpreting is the oral translation of oral discourse, as opposed to the oral translation or written texts. The latter is known as sight translation or translation-at-sight.” Gile membatasi pengalihbahasaan merupakan penerjemahan secara lisan dari wacana lisan, dan hal ini berbeda dengan penerjemahan lisan dari teks tertulis. Sehingga sight translation menurut Gile (2000) tidak termasuk pengalihbahasaan. Hal ini berdasarkan beberapa perbedaannya dengan pengalihbahasaan - misalnya cognitive stress yang hampir tidak ditemui pada sight-translation (lihat Gile, 1995: xiii & 183). Namun, ia tetap memasukkan sight translation sebagai jenis pengalihbahasaan (lihat Gile, 1995:183). Kemungkinan disebabkan kesamaannya disamping perbedaannya diantara penerjemahan dan pengalihbahasaan (ibid: xiii).
Berdasarkan definisi di atas diperoleh simpulan bahwa pengalih-bahasaan merupakan penggantian bahasa ujaran lisan dan diproduksi kembali dalam bentuk lisan atau bahasa isyarat. Selain itu, pengalihbahasaan selalu terjadi dalam setting komunikasi yang melibatkan paling sedikit dua orang pembicara dan adanya pendengar/peserta yang memiliki bahasa berbeda dan tidak menutup kemungkinan bisa lebih dari dua orang. Pengalihbahasaan dapat melibatkan lebih dari dua bahasa jika yang terlibat dalam komunikasi lintas bahasa tersebut juga lebih dari dua orang dengan latar bahasa dan budaya yang jelas berbeda.
C. KATEGORISASI PENERJEMAHAN LISAN
Banyak kategori atau klasifikasi penerjemahan lisan yang telah diajukan para ahli penerjemahan selama ini, namun, beberapa kategori tersebut masih tumpang tindih dan inkonsisten. Selain itu juga terdapat beragam istilah yang merujuk pada konsep yang sama. Mari kita cermati beberapa kategorisasi penerjemahan lisan berikut.
Kreser dan Weber (dalam Nababan, 2003: 115) mengklasifikasikan penerjemahan lisan berdasarkan cara pengalihbahasaan, yaitu: pengalih-bahasaan secara simultan, konsekutif, berbisik, dan sight translation. Namun, sebenarnya, ada yang tumpang tindih pada klasifikasi ini, misalnya, dalam pengalihbahasaan secara simultan atau konsekutif dapat juga dilakukan secara berbisik. Selain itu juga terdapat keinkonsistenan, misalnya konsekutif dan simultan jika dibandingkan sama-sama berdasarkan waktu pengalihan (time atau moment of speaking) langsung atau menunggu, sementara, sight-translation karena bahasa sumbernya dalam bentuk wacana tulis yang dapat dibaca.
Sementara, Gentile, et al (1996:22) mengkategorikan penerjemahan lisan menjadi dua genre utama, yaitu liaison interpreting dan conference interpreting, sebagai prototipe pengalihbahasaan. Jika kita cermati makna kamus, liaison bermakna agen komunikasi atau penghubung yang merujuk pada fungsi, sementara konferensi merujuk pada tempat. Jadi penamaan ini belum konsisten satu sama lain.
Berikutnya, klasifikasi pengalihbahasaan yang ditawarkan Phelan (2001:6) ada tiga jenis pengalihbahasaan, yaitu: bilateral/liaison, konsekutif, dan simultan. Pengalihbahasaan bilateral (liaison) adalah pengalihbahasaan dua arah oleh alihbahasawan yang sama. Tipe ini biasanya dilakukan dalam setting masyarakat. Sementara simultaneous interpreting dan consecutive interpreting dibedakan berdasarkan cara atau saat alihbahasawan berbicara. Jika kita bandingkan, klasifikasi yang ditawarkan ini juga belum konsisten. Pengalihbahasaan bilateral dibedakan karena sifatnya yang dilakukan dalam bentuk dialog, alihbahasawan yang sama harus mengalihbahasakan ke dalam dua arah. Sementara, pengalihbahasaan konsekutif dan simultan berbeda berdasarkan saat bicara.
Selain berdasarkan genre, Gentile, et al (1996:22) juga mengklasifikasi penerjemahan lisan berdasarkan mode (metode atau cara pengalihbahasaan), yaitu: pengalihbahasaan secara simultan dan konsekutif sebagai dua cara dasar dalam pelaksanaan pengalihbahasaan. Baik liaison maupun conference interpreting dapat menggunakan kedua mode tersebut (ibid: 22). Klasifikasi kedua yang ditawarkan Gentile ini terlihat lebih konsisten karena sama-sama dibedakan berdasarkan mode. Namun, penggunaan istilah mode juga tumpang tindih, misalnya Clifford, berdasarkan mode pengalihbahasaan, ia membagi menjadi conference interpreting (antar dua bahasa lisan) dan sign language interpreting (antara bahasa lisan dan bahasa isyarat) (2001:366). Mode di sini sebenarnya merujuk pada alat atau channel komunikasi yang digunakan..
Dari diskusi sementara terlihat adanya perbedaan dan kesamaan pendapat dari beberapa ahli Secara umum kategorisasi jenis penerjemahan lisan yang telah ditawarkan para ahli dapat kita bandingkan dalam bentuk tabel berikut:
Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Pengalihbahasaan
Kategori Gentile, et al
(1996:22) Kreser & Weber
(dlm Nababan) Pöchhacker (2001) Clifford
(2001) Phelan
(2001: 6)
Genre/tipe
Spektrum prototipe Liaison,
Conference, Community,
Conference bilateral/liaison,
konsekutif,
simultan.
Mode Simultan
Konsekutif
simultan,
konsekutif,
berbisik,
sight translation conference,
sign language
Selain klasifikasi di atas, berdasarkan spesilisasi pekerjaan, liaison interpreting ini juga dibedakan berdasarkan jenis setting pekerjaannya seperti pengalihbahasaan medis (Kelly, 2008) & kesehatan mental, legal setting (court interpreting), bisnis, dan speech pathology (Gentile, 1996: 77-134). Selain itu, berdasarkan jarak antara dan alat yang digunakan juga muncul remote interpreting, yang menggunakan: telephone, video, videoconference (Kelly, 2008; Phelan, 2001), dan pasangannya face-to-face atau on-site interpreting (Kelly, 2008; Angelelli, 2004:49-50; Phelan, 2001).
Berdasarkan diskusi di atas dan di atas, ditawarkan kategorisasi pengalihbahasaan berdasarkan: setting interaksi, cara pengalihbahasaan, jarak dan alat yang digunakan, kekhususan bidang pekerjaan, dan berdasarkan wacana input & output.
1. Berdasarkan situasi dan interaksi (mode of interaction & setting)
Berdasarkan situasi dan dan interaksi terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu: pengalihbahasaan dalam setting konferensi (conference interpreting) dan masyarakat (community interpreting). Pembagian ini berdasarkan spektrum perbedaan yang ada diantara kedua pengalihbahasaan tersebut. Spektrum perbedaan ini antara lain, dari segi interaksi (multinasional dan nasional), institusi, masyarakat (Pöchhacker, 2001:411).
Pengalihbahasaan di masyarakat biasanya dilakukan untuk kebutuhan layanan masyarakat, misalnya pasien dan dokter (Angelelli, 2001; Gentile et al, 1996). Sementara alihbahasawan dalam konferensi biasanya melayani para pejabat negara. Karena perbedaan klien ini, alihbahasawan dalam konferensi biasanya memiliki prestise yang lebih tinggi, sehingga Robert (dalam Angelelli, 2001) lebih memilih istilah community interpreting di samping liason interpreting.
a. Pengalihbahasaan dalam setting konferensi (Conference interpreting)
Pengalihbahasaan ini dilakukan dalam setting konferensi, alihbahasawan duduk di tempat terpisah (booth) yang dapat melihat klien/atau peserta konferensi. Masing-masing booth biasanya terdiri dari dua alihbahasawan yang hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa saja (Gentile et al, 1996). Mereka dapat dibedakan menjadi alihbahasawan aktif dan alihbahasawan pasif (Gile, 1995). Alihbahasawan aktif bertugas mendengarkan dan mengalihbahasakan wacana lisan yang didengarnya ke dalam bahasa sasaran, sementara alihbahasawan pasif menjadi asisten yang sewaktu-waktu harus siap memberi informasi jika ada bagian yang tertinggal (ibid). Sementara di booth lain alihbahasawan berbeda mengalihbahasakan ke bahasa yang berbeda. Peserta konferensi tinggal memilih saluran bahasa yang tersedia.
Berdasarkan saat bicara, pengalihbahasaan dalam setting konferensi seringkali dilakukan secara simultan, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan gagasan yang disampaikan pembicara dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran yang ditugaskan padanya pada saat yang sama (Phelan, 2001; Pöchhacker, 2001; Gentile et al, 1996). Namun tak jarang juga dilakukan secara konsekutif/bergantian yaitu alihbahasawan diberi waktu untuk mengalihbahasakan, hal ini apabila acara tersebut banyak melibatkan tanya jawab (Gentile et al, 1996).
Dalam conference interpreting, prose pengalihbahasaan hanya dalam bentuk interaksi satu arah, biasanya dari L2 ke L1. Lebih lanjut, berdasarkan: jarak fisik relatif berjauhan, informasi yang dimiliki antar klien dan status antar klien relatif sama, bekerja dalam tim (Gentile, et al, 1996:18).
b. Pengalihbahasaan dalam setting masyarakat (Community interpreting)
Pengalihbahasaan ini terjadi dalam sektor layanan publik untuk memfasilitasi komunikasi antara petugas dan masyarakat awam, seperti di kantor polisi, imigrasi, pusat kesejahteraan sosial, medis dan kesehatan mental, sekolah, dan istitusi sejenis lainnya (Wadensjö, 2000:33; Pöchhacker, 2001; Gile, 2000). Pengalihbahasaaan ini memiliki banyak nama, namun konsepnya merujuk pada konsep yang sama. Misalnya, Gentile menggunakan istilah liaison interpreting yang disebutnya sebagai genre pengalihbahasaan yang menuntut alihbahasawan yang sama untuk melakukan pengalihbahasaan dalam dua arah (bi-directional) yang terjadi dalam setting masyarakat (Gentile et al, 1996:17) yang dilakukan secara konsekutif maupun simultan. Sementara, Phelan (2001) menggunakan istilah pengalihabahasaan bilateral atau liaison, dan pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) atau liaison interpreting (Gentile, 1996).
Alihbahasawan liaison bertugas mengalihkan bahasa ke dalam bentuk interaksi dua arah dalam setting lingkungan masyarakat umum (Gentile, et al, 1996:17). Di beberapa negara istilah pengalihbahasaan ini juga berbeda, seperti di UK pengalihbahasaan jenis ini disebut ad hoc atau public service interpreting, di Skandinavia disebut contact interpreting, dan di Australia disebut three-concerned interpreting atau pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) (Gentile et al, 1996). Namun prinsip kerjanya sama, alihbahasawan yang sama harus menerjemahkan secara lisan untuk menjembatani dialog antara dua orang (atau lebih) ke dalam bahasa mereka masing-masing.
Lebih lanjut Pöchhacker, (2001:415) menjelaskan bahwa dalam community interpreting, dialog antar dua klien lebih dominan dilakukan secara konsekutif bilateral pendek-pendek. Sementara dari segi kliennya, pihak pertama lebih menguasai percakapan biasanya merupakan wakil dari institusi atau layanan publik (service provider atau jasa profesi) yang menyediakan layanan umum. Sementara klien kedua adalah pengguna layanan tersebut yang biasanya tidak menguasai bahasa yang umum dipakai di tempat tersebut.
Persamaan dan perbedaan antara conference dan community interpreting masih sangat sedikit dipelajari (Angelelli, 2000). Roberts (dalam Angelelli, 2000), misalnya, membandingan lima elemen berikut: 1) cara pengalihbahasaan (modes of interpreting) yaitu, simultan, konsekutif, konsekutif pendek; 2) bentuk discourse (modes of discourse) yaitu: monolog & dialog; 3) jenis wacana (discourse types) misal: naratif, prosedur; 4) kriteria evaluasi, misal: gaya penyampaian (style of presentation), akurasi isi; dan 5) prinsip etika, (kerahasian, ketentuan syarat keahlian). Sehingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa kedua jenis penerjemahan ini sama berdasarkan jenis keterampilan yang diperlukan. Roberts menambahkan bahwa perbedaan sesungguhnya diantara kedua pengalihbahasaan tersebut hanya lebih banyaknya dialog dalam community interpreting, sementara dalam konferensi waktu untuk tanya-jawab biasanya terbatas (Roberts, dalam Angelelli, 2000: 581-2).
Berdasarkan situasi interaksi dapat dilihat pada tabel berikut (Angelelli, 2000:582-583 & 586):
Tabel 2. Perbandingan Community interpreting dan Conference interpreting
(modifikasi dari Angelelli, 2000)
Community interpreting Conference Interpreting
Bentuk dialog (dialogic mode) Bentuk monolog (monologic mode) (Sebagian besar)
Pengalihbahasaan ke dalam kedua bahasa seimbang (2 arah)
Sebagian besar pengalihbahasaan ke satu bahasa saja (ke bahasa dengan penguasaan A alihbahasawan)
Ada kemungkinan untuk mengontrol arus atau lalu lintas komunikasi.
Tidak dapat mengontrol pembicara (kecuali permintaan untuk mengurangi kecepatan, itupun apabila peralatan memungkinkan - dengan menekan tombol speaker)
Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi kemungkinal bukan pilihan/mutlak (misal pada kasus pasien) Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi mungkin opsional (misalnya seorang peserta)
Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat besar Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat kecil
Potensi variasi linguistik dari kode yang sama (dalam kedua bahasa) besar Potensi variasi linguistik dari kode yang sama kecil (biasanya hanya dalam 1 bahasa atau pembicara)
Potensi penggunaan register yang berbeda besar. Potensi penggunaan register yang berbeda kecil
Situasi komunikasi memungkin alihbahasawan untuk mengklarifikasi yang tidak jelas (Angelelli, 2000:586) Situasi komunikasi tidak memungkinkan alihbahasawan untuk melakukan klarifikasi.
Alihbahasawan mengalihbahasakan kedua partisipan (speaker dan hearer) Alihbahasawan hanya mengikuti satu pembicara saja dalam bentuk monolog.
Channel input yang digunakan biasanya hanya lisan Alihbahasawan mungkin menerima lebih dari satu input (lisan, tertulis atau visual pada proyektor)
2. Berdasarkan cara pengalihbahasaan (mode of interpreting)
Genre pengalihbahasaan berikutnya dibedakan berdasarkan waktu bicara. Beberapa ahli menggolongkan dua jenis pengalihbahasaan berdasarkan mode (cara) yaitu konsekutif dan simultan (misalnya Gentile et al 1996) dan summary interpreting (Kelly, 2005).
a. Pengalihbahasaan simultan (Simultaneous interpretation)
Pengalihbahasaan simultan disampaikan pada saat alihbahasawan mendengarkan bahasa sumber. Pengalihbahasaan secara simultan sering dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dalam booth kedap suara mendengarkan pembicara melalui headset dan mengalihbahasakanya ke dalam bahasa target dengan menggunakan mikropon sembari tetap mendengarkan. Pembicara dan penerjemah berbicara hampir dalam waktu bersamaan dalam bahasa yang berbeda. Delegasi dalam ruang konferensi mendengarkan alihbahasaanya dalam bahasa target melalui headset (Gile, 2000: 41).
Sebagai mode dasar dalam pengalihbahasaan, simultan dapat dilakukan dalam setting konferensi atau masyarakat Gentile et al (1996). Namun demikian, pengalihbahasaan ini lebih sering dilakukan dalam konferensi. Pengalihbahasaan ini biasanya melibatkan banyak bahasa, alihbahasawan hanya mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa pertamanaya atau jenis bahasa A/B. Dalam masyarakat, pengalihbahasaan simultan ini biasanya dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dekat partisipan yang memerlukan bantuannya yang disampaikan dengan cara berbisik (chuchotage) (Gentile et al, 1996:26). Ahli lain menyebutnya whispered interpretation karena alihbahasawan memang berbisik agar tidak mengganggu peserta lain. Namun perlu diingat bahwa hal ini dilakukan bila partisipan yang membutuhkan alihbahasaan dalam bahasa tersebut jumlahnya sedikit sehingga tidak perlu diberikan melalui perangkat sound sistem.
b. Pengalihbahasaan Konsekutif (Consecutive interpretation)
Pengalihbahasaan konsekutif dilakukan secara bergantian (successive) dengan pembicara. Sehingga ada yang menyebut pengalihbahasaan konsekutif dengan successive interpretation. Menurut Gile dalam consecutive interpreting, alihbahasawan mendengarkan segmen-segmen gagasan yang disampaikan pembicara selama beberapa menit dan membuat catatan (bila perlu), kemudian alihbahasawan menyampaikan ulang gagasan tersebut dalam bahasa target, sementara pembicara diam. Selanjutnya pembicara kembali meneruskan segmen berikutnya dan akan dialihbahasakan setelah ia memberi jeda (Gile, 2000:41). Durasi segmen tuturan pembicara bervariasi mulai dari 6-7 menit (Gentile et al, 1996). Terlihat bahwa waktu berbicara alihabahasawan dan pembicara dilakukan secara bergantian. Pelaksanaannya alihbahasawan dapat duduk bersama dengan peserta/partisipan komunikasi dalam satu ruangan atau diruang terpisah (booth), mencatat apa yang dikatakan pembicara. Bila pengalihbahasaan ini dilakukan dalam masyarakat, terkadang pengalihbahasaan dilakukan kalimat per kalimat..
Pengalihbahasaan konsekutif dapat dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Bila partisipan yang memerlukan alihbahasa tersebut banyak maka diperlukan peralatan untuk memudahkan tugasnya. Terkait setting, mode konsekutif bisa dilakukan dalam masyarakat maupun konferensi tergantung kondisinya (Gentile et al, 1996:22). Hal yang menjadi pembeda adalah saat alihbahasawan berbicara dan arahnya. Terkait bahasa yang digunakan, pengalihbahasaan konsekutif dalam setting masyarakat biasanya terjadi pada even komunikasi yang hanya melibatkan dua bahasa dan peserta yang terbatas. Mode pengalihbahasaan konsekutif dalam konferensi dilakukan jika kegiatan konferensi memiliki porsi tanya jawab yang banyak dengan peserta multibahasa dan namun tetap setiap alihbahasawan hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa.
c. Pengalihbahasaan secara ikhtisar (Summary Interpreting)
Summary interpreting merupakan cara pengalihbahasaan dengan memparafrase dan memadatkan informasi atau pernyataan dari pembicara. Hal ini berbeda dengan pengalihbahasaan simultan dan konsekutif yang berusaha mengungkapkan pesan tersebut sesuai bahasa aslinya. Biasanya mode pengalihbahasaan ini dilarang dalam legal setting (Kelly, et al, 2005).
3. Berdasarkan Spesialisasi Jenis pekerjaan (work speacialty)
Kekhususan masing-masing bidang pekerjaan seperti medis, bisnis, hukum yang banyak menggunakan istilah, register, kosakata, prosedur, dan konteks tertentu yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan alihbahasawan yang profesional untuk masing-masing bidang pekerjaan. Gentile et al (1996), membagi jenis pengalihbahasaan ini menjadi bidang kesehatan mental, bidang hukum & pengadilan (legal setting), bisnis, dan speech pathology. Ahli lainnya juga membedakan antara alihbahasawan medis biasa dan alihbahasawan kesehatan mental (lihat Kelly, 2008).
a. Pengalihbahasaan medis (medical interpreting/Health Care Interpreting)
Pengalihabahasaan medis terkait dengan kekhususan bidang medis atau kedokteran. Alihbahasawan perawatan kesehatan merupakan alih-bahasawan yang dilatih mengenai etika profesional dan protokol, memahami istilah medis, dan mampu menjembatani komunikasi dari satu bahasa ke bahasa lain (Dower, 2003). Pengalihbahasaan ini terdapat di negara yang mempunyai penduduk yang tidak menguasai bahasa yang umum dipakai, seperti California dengan 20% penduduk tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, UU dan peraturan pemerintah mensyaratkan adanya alihbahasawan untuk membantu kesulitan komunikasi pada layanan publik.
b. Pengalihbahasaan dalam bidang kesehatan mental (Mental health setting)
Alihbahasawan kesehatan mental sebenarnya masih termasuk dalam pengalihbahasaan dalam pelayanan kesehatan (health care interpreting) (Kelly, 2007). Namun kesulitan komunikasi pada pasien yang memiliki masalah kesehatan mental berbeda dengan setting layanan kesehatan lainnya sehingga Gentile et al, (1996) menempatnya secara tersendiri. Pasien di rumah sakit kesehatan mental terkadang menunjukkan sikap kurang bekerjasama, aneh dan juga perilaku yang dapat mengancam keselamatan orang lain sehingga menyebabkan komunikasi yang sangat berbeda dengan pasien medis biasa (Gentile, 1996). Dalam setting layanan kesehatan mental alihbahasawan harus memahami maksud wawancara yang dilakukan oleh psikiater dan sesi-sesi terapi, serta peran komunikasi tersebut diantara mereka. Interview ini biasanya mengalami distorsi atau penyimpangan dari pola percakapan biasa, tetapi hal merupakan informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan yang didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan paralinguistik.
c. Pengalihbahasaan untuk bidang gangguan bicara (speech pathology)
Pengalihbahasaan dalam pelayanan gangguan bicara sebanarnya juga termasuk pada pengalihbahasaan dalam seting pelayanan kesehatan, perbedaannya dengan alihbahasawan kesehatan mental, pengalihbahasaan dalam bidang gangguan bicara atau speech therapy ditujukan untuk penyembuhan pada pasien dengan gangguan organ bicara atau mengalami kelainan organ bicara pada anak-anak atau pasca stroke. Jadi kendala komunikasi tidak hanya disebabkan perbedaan bahasa tetapi juga kesulitan menggunakan organ bicara bukan gangguan mental. Seperti terapi kesehatan mental dalam alihbahasawan juga harus memahami bahwa informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan karena didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan para linguistik yang akan dilakukan therapist.
d. Pengalihbahasaan dalam bidang hukum/pengadilan (Court Interpreting)
Pengalihbahasaan jenis ini berlangsung di lingkungan legal formal. Partisipan yang terlibat adalah jaksa, hakim, pengacara, saksi dan tersangka yang seringkali dilaksanakan secara konsekutif. Orang yang melakukan tugas pengalihbahasaan ini disebut alihbahasawan pengadilan yang bekerja di bawah sumpah. Dia harus menjaga kerahasiaan informasi (confidentiality). Tugas utamanya memperlancar komunikasi dalam proses pengadilan pada aspek kebahasaan bukan memberi nasehat hukum, seperti yang dilakukan oleh pengacara atau pembela. Alihbahasawan tidak boleh memihak siapapun (impartiality).
Dalam wilayah hukum, komunikasi memiliki fungsi penting dalam mencapai tujuan dalam sistem hukum, namun tak jarang pola komunikasi yang muncul menyimpang dari pola komunikasi normal (Gentile et al, 1996:89). Misalnya, dalam ruang sidang, pola komunikasi akan sangat berbeda dengan wacana harian karena keperluan untuk memenuhi aturan legalistik yang ketat (Conley & O’Barr dalam ibid: 89). Beberapa aturan pengalihbahasaan dalam setting legal formal, misalnya, alihbahasawan hukum harus mampu melakukan alihbahasa dan sight translation dengan akurat dan lengkap, tanpa mengubah, menghilangkan, menambah apa yang dituturkan atau tertulis, dan ia juga tidak boleh memberikan penjelasan jika tidak diminta atau harus meminta izin terlebih dahulu. Alihbahasawan tidak boleh menunjukkan sikap lebih menyukai atau simpati pada salah satu pihak. Alihbahasawan tidak boleh melakukan percakapan dengan pihak-pihak yang terlibat, saksi, juri, penuntut, atau teman maupun keluarga kedua pihak diluar fungsinya sebagai alihbahasawan selama persidangan. Ia juga harus menghindari mengganggu pandangan dari individu yang terlibat, kecuali jika menggunakan bahasa isyarat atau mode visual lainnya.
Kemudian Edwards menyatakan “Two modes of interpreting are used in court by qualified interpreters —“simultaneous” and “consecutive.” A third common mode is “summary” interpreting, which should not be used in court settings” (dalam Kelly, 2005). Alihbahasawan dalam setting legal formal tidak terbatas hanya mengalihbahasakan ujaran lisan namun juga dilakukan secara sight translation, konsekutif, dan simultan. Alihbahasawan hukum tidak hanya mengalihbahasakan dalam pengadilan, tetapi mulai dari interogasi dengan polisi (di sini tertuduh memiliki hak diam untuk tidak bicara dan tidak boleh dipengaruhi oleh alihbahasawan), dalam pengadilan saat pembacaan tuduhan, pembicaraan dengan pengacara, selama persidangan, pemberian keterangan oleh saksi-saksi & penunjukan bukti-bukti dan cek-silangnya, sehingga tersangka bisa mengikuti proses tersebut (Gentile et al, 1996: 90-100).
e. Pengalihbahasaan dalam bidang bisnis (Business setting)
Gentile et al (1996) menggunakan istilah pengalihbahasaan dalam seting bisnis, yang dalam arti sempit adalah membantu dalam pembicaraan bisnis. Pembicaraan ini tidak hanya di kantor namun bisa di berbagai tempat seperti, pabrik, dalam pesawat, perkebunan, hingga restoran. Pada beberapa lokasi alihbahasawan mungkin saja menggunakan mode yang berbeda seperti chuchotage –simultan tanpa alat dengan berbisik- untuk partisipan terbatas (seperti di pabrik), sementara dalam presentasi publik alihbahasawan menggunakan mode konsekutif untuk partisipan yang lebih banyak.
Dalam seting bisnis, biasanya alihbahasawan disediakan oleh tuan rumah, sehingga biasanya alihbahasawan lebih menjadi agen bagi tuan rumah yang akan lebih banyak memperoleh informasi daripada pihak tamu. Pada saat negosiasi mendekati deadlock, biasanya suhu komunikasi akan meningkat dan melibatkan emosi saat pembicaraan, alihbahasawan harus mampu berdiplomasi dengan penggunaan kata-kata yang lebih lunak agar proses tetap berjalan baik (ibid:122). Sehingga alihbahasawan tidak harus mengutamakan akurasi pada saat tersebut, tapi lebih mengusahakan agar kesepakatan dan proyek bisnis tetap bejalan daripada saling menyakiti.
4. Berdasarkan Jarak dan Alat bantu (physical proximity & modality)
Berdasarkan jarak dan alat bantu terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu:
a. Jarak dekat (On-site interpreting/face-to-face interpreting)
Pengalihbahasaan jarak dekat adalah proses pengalihbahasaan berada dalam seting lokasi yang sama sehingga alihbahasawan dapat melihat partisipan secara langsung. Berdasarkan beberapa literatur on-site interpreting ada yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat.
1) Tanpa alat: berbisik (Whispered interpreting)
Whispered interpretation adalah suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Proses dilakukan dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Saat bicara antara pembicara dan alihbahasawan dapat dilakukan secara bergantian (consecutive) atau hampir bersamaan (simultaneous). Tetapi penerjemah hanya boleh berbisik-bisik tidak berbicara keras. Ciri khususnya alihbahasawan membisikkan pesan dari bahasa sumber dalam bahasa sasaran ke telinga partisipan agar ia dapat memahami maksud dari pembicara. Pengalihbahasaan ini digunakan jika partisipan yang tidak memahami bahasa yang umum digunakan hanya sedikit dan hanya untuk 1 atau 2 bahasa saja (Gentile et al 1996). Selain itu juga pada lokasi tertentu.
2) Menggunakan alat:
Pengalihanbahasaan jarak dekat yang menggunakan alat cukup banyak yang telah kita kenali seperti menggunakan ruang kaca atau booth kedap suara sebagai tempat kerja alihbahasawan yang dilengkapi dengan headset dan mikropon. Pengalihabahasaan dengan alat ini biasa dilakukan dalam konferensi baik secara simultan maupun konsekutif. Selain itu juga dalam persidangan yang melibatkan tersangka yang berbeda bahasa. Perbedaannya terletak pada jumlah partisipan yang memiliki bahasa berbeda banyak (setting multinasional dan multilingual) sehingga tidak mungkin tanpa menggunakan peralatan.
b. Pengalihbahasaan jarak jauh (Remote Intepreting/RI)
Remote interpreting sebenarnya bukan sebuah ide baru, hal ini sudah dimulai sejak tahun 70-an, (Mouzourakis, 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini telah memungkinkan komunikasi dapat dilakukan dari jarak jauh baik melalui jaringan telepon, internet maupun televisi. Sehingga layanan pengalihbahasaan menggunakan media komunikasi terkini yang dapat menghubungkan komunikator & komunikan yang berbeda bahasa dengan bantuan alihbahasawan walaupun terpisah jauh. Layanan pengalihbahasaan dengan jarak jauh ini biasa disebut remote interpreting. Namun, juga terdapat beragam definisi mengenai remote interpreting Mouzourakis (2006:46) misalnya menggunakan RI untuk menyatakan keadaan proses pengalihbahasaan yang dilakukan dari tempat terpisah, alihbahasawan tidak berada di tempat rapat. Ia lebih menganggap RI sebagai variasi dari conference interpreting yang telah digunakan di PBB dan Uni Eropa. Namun, di Amerika remote interpreting hanya dilakukan dalam seting konferensi.
Alasan penggunaan RI sebenarnya untuk mengatasi ketidaktersedian alihbahasawan dan penghematan biaya perjalanan. Berdasarkan alat yang digunakan kita dapat membedakan jenis remote interpreting, yaitu:
1) Pengalihbahasaan telepon (telephone interpreting)
Pengalihbahasaan ini memiliki beragam istilah seperti “telephone interpreting”, “over-the-phone interpreting (OPI)”, “telephonic interpreting”, atau “phone interpreting”, namun maksudnya sama, yaitu layanan pengalihbahasaan dua arah yang dilakukan seorang alihbahasawan yang berada lokasi yang jauh untuk menjembatani komunikasi dua individu yang berbeda bahasa melalui telepon (Kelly, 2008; Kelly, 2007). Peralatan yang digunakan seperti headset dan jaringan telepon. Pengalihbahasaan ini biasa diberikan dari rumah atau melalui call center yang disediakan sebuah provider. Institusi yang menyediakan layanan call center ini biasanya menyediakan booth anti suara seperti dalam konferensi (Kelly, 2008).
2) Pengalihbahasaan Videokonferens (videoconference interpreting)
Dilakukan bila alihbahasawan tidak berada di ruang pertemuan tetapi melalui layar dan earphone dan speaker (Mouzourakis, 2006:46). Berbeda dengan definisi videoconference yang biasanya dilakukan untuk membantu komunikasi bagi partisipan yang mengalami memiliki gangguan pendengaran atau bicara sehingga memerlukan bantuan visual karena tidak dapat dilakukan dengan audio saja (telephoning interpreting). Pengalihbahasaan ini dilakukan untuk mengatasi ketidaktersediaan alihbahasawan, mengurangi biaya perjalanan, dan keterbatasan booth. Dengan videoconference, alihbahasawan dapat bekerja dari rumah dengan proses yang sama dengan melalui telepon (Mouzourakis, 46-47).
3) Pengalihbahasaan televisi (television interpreting)
Merupakan pengalihbahasaan jarak jauh yang dilakukan secara live dan disiarkan melalui televisi untuk masyarakat banyak sehingga juga disebut media interpreting. Berbeda dengan subtitling, television interpreting masih mengalami “kognitive stress” yang sama dengan alihbahasawan biasawa. Biasanya tamu atau sumber berada dari luar negeri yang harus dialihbahasakan ke bahasa sasaran hadir di studio atau dari jarak jauh (remote). Alihbahasawan harus mengalihbahasakan tuturan narasumber pada saat yang hampir bersamaan dan langsung disiarkan. Pada saat serangan ke Palestina beberapa saat yang lalu kita dapat menyaksikan proses pengalihbahasaan dari reporter TV Al Jazeera oleh alihbahasawan ke bahasa Indonesia yang dilakukan secara simultan.
4) Pengalihbahasaan radio (radio interpreting)
Merupakan variasi pengalihbahasaan jarak jauh, biasanya alihbahasawan menerjemahkan secara lisan tuturan lisan dari sumber berita, proses ini juga berlangsung secara simultan atau telah direkam sebelumnya. Seperti television interpreting hal ini juga berlangsung secara langsung pada saat mendengar tuturan nara sumber, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan tuturannya dan disiarkan secara langsung ke pendengar.
5. Berdasarkan input & output (mode of discourse)
Masih belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai klasifikasi ini. Penerjemahan teks tertulis ke dalam wacana lisan dalam bahasa lain menurut Gile masih tergolong sebagai penerjemahan, ia menyebutnya sebagai sight translation atau translation at sight (bukan sight interpretation). Jika kita bandingkan, baik sight translation maupun dan sign laguage interpretation merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan bentuk input dan output wacana yang berbeda (tulis atau lisan).
a. Sight translation
Sight translation merupakan bentuk penerjemahan dari teks tertulis dan dialihbahasakan menjadi bentuk lisan. Ada dua cara pelaksanaan sight translation, yaitu dilakukan secara simultan pada saat pembicara berbicara, atau hanya pada delegasi tertentu yang memerlukan saja (Gile, 1995). Selain itu Kelly (2005) menyatakan bahwa alihbahasawan dalam pengadilan juga harus mampu melakukan penerjemahan ini untuk menerangkan isi dari bukti-bukti tertulis.
b. Pengalihbahasaan bahasa isyarat (sign language interpreting)
Merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan partisipan memiliki bahasa berbeda dan juga memiliki gangguan pendengaran atau bicara (tuna grahita), sehingga penerjemah harus mengalihkan bahasa sumber ke dalam bahasa isyarat. Di Amerika dan New Zealand, hal ini sudah dilakukan sebagai bentuk layanan bagi masyarakat. Di Amerika digunakan ASL sementara di New Zealand menggunakan NZSL.
D. PENUTUP
Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama terdapat beragam jenis pengalihbahasaan tergantung dari sisi pandang dalam melihat antara satu pengalihbahasaan dan pengalihbahasaan lain. Dari perbedaan interaksi, bentuk wacana (mode of discourse), cara pengalihbahasaan (mode of interpreting), peralatan yang digunakan (modalities), jarak antara alihbahasawan dan klien (space proximity), spesialisasi kerja. Dari beragam jenis tersebut memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, sehingga juga menuntut penguasaan kompetensi yang berbeda satu sama lain. Pemahaman akan pola kerja dari masing-masing jenis penerjemahan di atas akan memberi arahan mengenai pola pelatihan dan tantangan dalam hal tekanan kognitif yang akan dihadapi oleh alihbahasawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar