Oleh : Ahmad Taufik Hidayat, M.Ag (Dosen Jur. BSA)
Bila menyebut naskah Melayu, maka orang akan dihadapkan dengan dua pertanyaan penting: Apakah ruang lingkup naskah Melayu itu? apakah batasan geografis atau batasan kultural dalam hal ini agama Islam sebagai sebuah konsep keyakinan masyarakat Melayu? Bahasa atau logat apa yang dipakai dalam naskah Melayu? Arab, Jawa, Makasar, Sunda, Rejang atau perpaduan antara unsur lokal dan Asing?
Harus diakui, sulit menjawab petanyaan ini. Kebanyakan ahli hanya memakai satu pedoman, misalnya batasan geografis, persamaan kultur dan sebagainya. Tetapi pengertian naskah Melayu itu sendiri tentu belum sepenuhnya terjawab dengan hanya memilih satu pilihan saja. Hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Melayu di satu sisi, memiliki karakteristik yang beragam seiring dengan perkembangan yang mewarnai pembentukkan budaya yang disebut Melayu itu sendiri. Sedangkan di sisi lain, perkembangan ragam kebahasaannya mesti dilihat sebagai garis kontiunitas warisan-warisan lama yang memperkaya kultur Melayu. Keduanya dapat diletakkan dalam satu paket, dinamika Melayu. Namun sebelum sampai pada pembahasan tentang pemahaman naskah Melayu, perlu dipisahkan terlebih dahulu antara pengertian Melayu sebagai satu suku bangsa, dengan pengertian Melayu sebagai kultur yang luas, baik menyangkut perkembangan budaya tulis ataupun batasan geografis. Yang pertama, Melayu sebagai suku bangsa, yakni Melayu dalam batasan sempit. Sama dengan suku-suku lainnya di nusantara, seperti Jawa, Minang dan lain sebagainya. Melayu dalam pengertian demikian bukanlah yang dimaksud dalam buku ini. Sedangkan yang kedua adalah Melayu dalam batasan luas, yakni Melayu dengan segala dinamika sejarahnya. Pengertian terakhir inilah yang menjadi concern penulis dalam buku ini.
Ras Melayu yang mendiami kawasan maritim Asia tenggara terdiri dari ratusan etnis dengan variasi logat yang berjumlah ratusan pula. Akan tetapi untuk beberapa abad ke belakang kerajaan-kerajaan bandar di kawasan pesisir telah terikat ke dalam agama Islam dan secara bersama-sama menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi dalam perdagangan dan diplomasi. Di seluruh wilayah ini—dari Sumatera hingga Philipina Selatan—terdapat kultur penulisan dan penyebaran naskah yang bisa diasosiasikan bercorak Islam: ditulis di atas kertas dengan menggunakan aksara Arab, lay out kitabnya yang khas bergaya Islam, dekorasi simetris dengan dua halaman serta kolofon berbentuk segi tiga yang tampak sangat indah.
Aktifitas penulisan ini menjadi sebuah warisan budaya yang secara umum dapat dianggap karya sastra. Sedangkan kolaborasi antara tardisi penulisan dengan kultur Islam, kenyataannya melahirkan karya sastra yang sangat kuat ciri keislamannya. Hal ini lah yang menyebabkan ras Melayu dan karya-karya kesusasteraannya sangat identik dengan Islam. Maka tidak lah berlebihan bila banyak kesimpulan yang mengatakan bahwa yang memperkuat basis kultural ras Melayu, terutama dalam ranah aktifitas tulis menulis, adalah Islam. Atau boleh dikata bahwa Melayu secara keseluruhan telah berhutang budi sangat besar atas keberadaan Islam di wilayah ini yang telah memperkenalkan bahasa Arab, sehingga mereka menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar dan dengan sarana bahasa Arab itu pula mereka memajukan peradaban mereka.
Tetapi, untuk sebagian besar wilayah pedalaman, agaknya ras Melayu sudah mendapat sentuhan aksara sansekerta. Beberapa karya ketatanegaraan dan prasasti sebelum abad ke-16 banyak ditulis dalam bahasa palawa. Namun setelah abad-abad itu, seiring dengan dominannya kultur Islam, maka karya-karya yang muncul pada rentang abad ke-17 hingga abad ke-19, umumnya beraksara Arab dengan logat Melayu dan Arab. Hal ini mengindikasikan bahwa sebelum Islam secara kultural mewarnai budaya lokal, telah terjalin proses penyerapan bahasa Sansekerta baik pra maupun pasca pamalayu. Penting dicatat, bahwa karya-karya dalam bahasa palawa pun akhirnya mendapat sentuhan Islam dan bercorak Islam. Mengapa hal itu bisa terjadi? untuk mengetahui lebih jauh, ada baiknya kita menelaah sedikit ke belakang, yakni masa-masa sebelum Islam secara kultural mendominasi budaya Melayu di kawasan Nusantara.
Pada prinsipnya, kerajaan-kerajaan Hindu di kawasan Nusantara mendapat pengaruh dari India. Namun tidak ada catatan yang pasti mengenai kapan terjadinya atau awal mula pengaruh tersebut. Bukti yang sedikit otentik adalah adanya penemuan tertulis berangka tahun 400 M berupa prasasti Yupa dari Raja Mulawarman di Kutai Kalimantan Timur. Ada dugaan kuat, bahwa sejak saat itu pengaruh India sudah masuk ke wilayah Nusantara. Namun berdasarkan penemuan lain, karya kesusasteraan Jawa yang paling tua baru muncul 4 abad setelah itu, yakni sebuah teks berangka tahun 856 M yang berisi puisi 29 bait dengan menggunakan aksara Jawa Kuna. Teks tersebut ditulis di atas batu berukuran 112 x 51 cm. Walaupun beraksara Jawa kuna, karakter Sansekerta India terlihat masih dipakai dalam naskah tersebut.
Mulai dari tahun 400 M hingga 1755 kesusasteraan Jawa mengalami setidaknya tiga periode penting: Periode pra sejarah yang berakhir tahun 732 M, periode Hindu-Jawa yang berakhir dengan runtuhnya kerajaan Maja Pahit tahun 1527 dan periode perkembangan kejayaan kerajaan Islam sekitar tahun 1511 hingga 1755. Pada rentang waktu itu kesusasteraan Jawa telah mengalami beberapa pergeseran dari segi corak, isi maupun format dan media penyampaiannya.
Pada periode pertama produk yang lahir adalah berupa kesusasteraan lisan yang disampaikan secara turun temurun. Dari segi kandungan dan bahasa yang dipakai, kesusasteraan pada periode ini dapat digolongkan kepada 2 corak; profan dan sakral. Sastra profan menggunakan bahasa sehari-hari, sedangkan sastra sakral menggunakan tinggi yang dikenal dengan bahasa Sangiang.
Memasuki periode ke-2, periode Hindu-Jawa, sistem aksara mulai banyak dipakai dalam penulisan karya sastra. Periode ini dapat pula dibagi kepada 2 periodeisasi pula: periode Jawa Tengah dan periode Jawa Timur.
Periode Jawa Tengah
Kesusasteraan yang muncul pada periode ini dikenal dengan sebutan karya sastra Jawa kuna. Umumnya berangka tahun abad ke-8 dan ke-9 M. Beberapa sastra awal dapat disebut misalnya, Inskripsi Sanjaya tahun 732 M, inskripsi Karang tengah yang berangka tahun 824 M serta inskripsi D 28 yang berangka tahun 856. Kesusasteraan Jawa Kuna awal ini banyak mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Jawa pada masa itu. Inskripsi Sanjaya secara garis besar menekankan figur raja Sanjaya sebagai tokoh yang memiliki kekuatan Siwa. Namun dari aspek struktur kebahasaannya, inskripsi ini terlihat masih sangat tergantung dengan kesusasteraan India. Pengaruh itu sangat jelas terlihat pada tembang puisi yang menggunakan bahasa Palawa yang digubah mirip atau persis dengan puisi India Sardulawikridita, terutama pada bait 1-7 dan bait 12, Sragdhara pada bait 3,8 dan 11, puisi Vasantatilaka bait ke 9 dan Prhatiwi pada bait ke 10. Adapun inskripsi Karang Tengah memuat secara umum berita tentang pembangunan Candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Sedangkan inskripsi D 28 yang sekarang disimpan di museum Nasional Jakarta berisi tentang pembuatan 3 lingga di Jawa. Kedua inskripsi ini telah merintis interes yang besar terhadap kandungan lokal baik dari segi kebahasaan maupun penyerapan informasi yang bersifat lokal.
Untuk jangka waktu yang lama, kultur kesusasteraan yang dibangun banyak memanfaatkan bangunan-bangunan suci semacam candi. Dari sini lahir karya-karya besar, meskipun pada dasarnya bersumber dari ajaran Hindu di India, yang telah mengapresiasi warna lokal. Karya-karya yang masyhur dari periode Jawa Tengah ini antara lain:
• Ramayana, karya epos kakawin (secara harfiah berarti lagu atau sajak). Meski sama dengan Ramayana sansekerta di India, tetapi muatan sejarah dalam sastera kakawin Jawa kuna ini sangat kental.
• Mahabharata, sebuah cerita peperangan besar dalam keluarga Bharata. Merpakan epos terbesar dalam sastra dunia karena berisi 180.000 puisi. Versi aslinya terangkum dalam 18 kitab.
Periode Jawa Timur
Pada periode ini, karya sastra Jawa terlihat sudah sangat otonom dalam pengertian menjangkau aspek yang lebih luas dan lebih menyerap prristiwa-peristiwa yang berlangsung. Pada periode ini pula lahir karya-karya ketatanegaraan yang sangat penting dalam pembentukkan struktur masyarakat Jawa pada tahap-tahap selanjutnya. Beberapa karya yang lahir pada masa ini antara lain:
• Pararaton, berisi tentang raja Singosari dan pernikahan ken Angrok dan ken dedes, isteri Tunggul Ametung.
• Negarakertagama-kakawin, berisi tentang perjalanan Hayam Wuruk yang ditulis pada tahun 1365
• Mahabharata Kakawin. Berbeda dengan Mahabharata dari periode Jawa Kuna, kitab ini ditulis dalam bentuk prosa.
• Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa, berisi tentang perkawinan Arjuna dengan Suprabha
• Bharatayuda kakawin karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Berisi tentang peristiwa peperangan keluarga di padang Kuru Ksetra yang terjadi karena perebutan kekuasaan, kerajaan Hastina.
• Hariwangsa kakawin karangan Mpu Panuluh. Berisi tentang cerita perkawinan Kresna dan Rukmini.
• Sutasoma, ditulis oleh Mpu Tantular pada masa Hayam Wuruk. Banyak memuat prinsip ketatanegaraan.
Selain karya-karya berupa naskah, kultur Jawa Timur (sering juga disebut Jawa tengahan; maksudnya masa pertengahan dalam kebudayaan Jawa) mewariskan ragam sastra lisan berupa kidung dan cerita-cerita, baik dalam format prosa maupun puisi.
Di tengah semaraknya tradisi sastra Jawa abad pertengahan ini, Islam mulai menyentuh kebudayaan Jawa. Walaupun naskah-naskah yang berbau Islam di Jawa marak sekitar awal abad ke-16, namun penetrasi kultural tersebut sudah berlangsung jauh lebih awal dari abad itu, tepatnya sekitar tahun 1478 M. Setidaknya ada dua peristiwa penting yang patut dicatat mengawali perubahan agama di Jawa dari Hindu ke Islam:
1. Runtuhnya kerajaan Majapahit oleh pasukan muslim pada tahun 1478 dalam sebuah peperangan, di mana pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Raden Patah bersama dengan adipati Terung, Tuban, Surabaya, Gresik dan Madura. Dalam keterangan yang diperoleh dari cerita sumir, terlihat bahwa peperangan ini sesungguhnya lebih bercorak pemberontakan, karena sebelumnya, wilayah-wilayah yang tersebut di atas pada dasarnya berada di bawah kekuasaan Majapahit.
2. Pembangunan mesjid Demak yang ditengarai terjadi pada tahun 1506 M. Peristiwa ini tercatat Dalam babad Tanah Jawi dengan penekanan keterlibatan 9 wali dalam poses pembangunannya.
Kedua peristiwa inilah—meminjam istilah Titik Pudjiastuti—yang menjadi momentum perubahan agama di Jawa yang sangat penting, karena setelah masa-masa itu, kesusasteraan Hindu-Jawa boleh dikata tidak lagi memiliki gezah-nya dalam peradaban yang sudah berubah. Lalu mengapa Majapahit (baca:Jawa) menjadi penting diletakkan sebagai isyu perubahan corak naskah Melayu? Jawabannya jelas, bahwa setelah Majapahit runtuh, praktis pengaruh kekuasaannya untuk kawasan Melayu juga meredup dan bahkan padam. Demikian pula pengaruh kesusasteraannya, lambat laun namun pasti, segera pudar dari kancah kesusasteraan Melayu. Apalagi setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, kerajaan Aceh di Utara Sumatera berjaya menjadi kerajaan Islam paling kuat di wilayah Melayu secara khusus dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Kenyataan ini jelas membawa dampak besar bagi perkembangan paradigma kesusasteraan di wilayah ini, terutama pada abad ke-16 dan ke-17. Dengan terbukanya akses dagang antara negeri-negeri Muslim, maka aktifitas tulis menulis juga diakselerasi oleh gelombang besar pedagang-pedagang Arab, Persi, India dan Melayu Islam yang tertarik melakukan kontak dagang dengan Jawa, sebagai wilayah yang juga secara kontekstual telah tunduk dalam aturan perkongsian dengan penguasa Islam di Aceh.
Selain itu, penting dicatat bahwa kontak perdagangan juga berakibat pada akulturasi antara masyarakat pendatang di Jawa yang umumnya mendiami pantai Utara pulau ini dengan penduduk lokal, di mana para pedagang tersebut banyak yang menetap dan akhirnya menikah dengan wanita Jawa. Iklim seperti ini membantu terciptanya etnis yang heterogen yang relatif terpelajar dalam pengertian banyak bersentuhan dengan dunia tulis menulis. Dengan adanya pergesekan budaya antara Melayu Islam dan Jawa tentu berakibat pula pada perkembangan sastra Jawa. Berbeda dengan sastra pedalaman yang bercorak aristokrat, karya-karya sastra yang muncul di wilayah pesisir lebih kaya dengan sentuhan khas Islam dalam warna lokal, yang memiliki ciri-ciri antara lain:
• Sebagian besar adalah hasil terjemahan atau saduran dari karya-karya berbahasa Arab atau Parsi. Aktifitas penyaduran ini dilakukan oleh orang Melayu yang belajar dan menetap dalam jangka waktu yang lama di tanah Arab dan para pedagang dari India Selatan dan tanah Arab yang datang ke pelabuhan dan bandar-bandar di kawasan Melayu. Para pelajar melahirkan karya-karya berupa kitab keagamaan. Sedangkan para pedagang mewariskan karya-karya berupa hikayat yang lebih bernuansa hiburan. Karya saduran kelompok terakhir ini sering disebut sebagai karya sastra dagang.
• Hampir semua hasil karya naskah Islam Melayu tidak diketahui nama pengarang dan penanggalannya.
Setelah Majapahit runtuh, adalah kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang juga memberi andil signifikan terjadinya transmisi nilai-nilai keislaman di Pulau Jawa, khususnya wilayah pesisir. Dari sini perkembangan tradisi penulisan ke wilayah timur Nusantara mulai bergeliat. Bertebarnya naskah-naskah Islam di kepulauan Lombok dan Bima mungkin merupakan indikasi paling kuat untuk menangkap gejala ini. Setidaknya dari perspektif budaya, naskah-naskah tersebut sulit dilepaskan dari pengaruh jawa Islam secara spesifik. Meski juga memuat unsur lokal sebagai manifestasi dari proses akulturasi, namun banyaknya persamaan corak kesusasteraan antara Jawa Islam dan wilayah Nusa tenggara adalah faktor penting lain yang bisa diajukan sebagai mata rantai perjalanan naskah-naskah Islam ke wilayah Timur.
Sumber penting yang menjelaskan islamisasi di wilayah Lombok dan penyebaran selanjutnya Islam ke wialayah Timur adalah Babad Lombok. Di dalamnya disebutkan bahwa agama Islam dibawa dari Jawa kemudian berkembang ke Nusa Tenggara Kalimantan dan terus ke Sulawesi. Selain keterangan dalam babad tersebut, dari segi kebahasaan penggunaan bahasa Kawi jelas menyadur pola puisi Jawa kuno. Meski beberapa jenis aksara ditemukan dalam penulisan naskah di Lombok, seperti Jejawen, Arab, Bali dan dalam jumlah yang sedikit, aksara Bugis. Tetapi harus, diakui bahwa komposisi penggunaan bahasa naskah lebih banyak menggunakan Jawa Kuno, Sansekerta dan Jawa. Kemudian baru diikuti oleh bahasa Arab, Melayu dan Bali.
Sebagaimana di Lombok, di wilayah Bima proses transmisi dan akulturasi antara budaya lokal dan Islam juga beragam, namun tetap tidak bisa dilepaskan dari sebuah frame geliat Islam di wilayah Melayu. Bukti tertulis yang tersebar di pulau ini ditulis dalam aksara Arab, Jawa kuno, Makasar dan Melayu. Khusus yang terakhir ini sejak abad ke-17 banyak difungsikan untuk dokumen resmi di Bima. Hal ini jelas sangat terkait dengan islamisasi dan hubungan timbal balik antara perkembangan kreatif tradisi tulis di satu sisi dengan membuminya bahasa Melayu di daerah ini khususnya dan wilayah Asia Tenggara secara umum pada sisi lain. Dalam kaitan ini penting melihat sebuah dokumen yang diterbitkan dari Sultan Bima II, Sultan Abdul Khair Sirajuddin tertanggal Maret 1645 yang menitahkan bahwa mulai sejak itu dokumen resmi istana haruslah: “ditulis dengan memakai bahasa Melayu dengan Rupa tulisan yang diridhai oleh Allah ta’ala. Dengan penegasan ini, jelas bahwa bahasa Melayu sudah mulai menjadi bahasa resmi dan bahasa pergaulan yang diakui di dunia Melayu seperti yang telah diterapkan terlebih dahulu di Aceh dan Sumatera pada umumnya, kemudian Jawa dan kepulauan timur wilayah nusantara.
Perkembangan Naskah Melayu di beberapa wilayah lainnya boleh dikata tidak jauh berbeda dengan pola-pola yang terjadi dikedua wilayah ini. Melayu Islam dalam muatan naskah-naskah lokal mengalami vernakularisasi (pribumisasi) dimana sistem kebahasaan dan penggunaan aksara Arab dan Melayu dalam ranah penulisan lokal berdampingan dengan aksara dan bahasa lokal, yang tentunya digunakan untuk tujuan dan produk naskah yang berbeda; untuk surat resmi, sastra rakyat, naskah keagamaan, penulisan sejarah dan beragam maksud lainnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang memicu pribumisasi naskah melayu Islam dalam konteks ini:
• Kepentingan diplomasi, dimana kesultanan Islam menjadi faktor paling menentukan bagi meluasnya nakah ini.
• Ketiadaan sistem aksara di berbagai wilayah di Asia Tenggara dan Nuantara. Untuk kawasan Nusantara tercatat hanya 8 kelompok etnis yang memiliki sistem huruf, yakni: Jawa, Sunda, Bali, Batak, Rejang, Melayu, Bugis dan Makasar. Kenyataan ini membuat dominannya kultur yang lebih unggul dan mudah diterima berdasarkan kesamaan konsep keyakinan. Dalam hal ini, Melayu Islam pada kurun waktu yang sangat panjang mendominasi wilayah Asia Tenggara pada Umumnya dan Nusantara khususnya.
• Aktifitas dakwah para ulama di berbagai pusat-pusat Islam masa lalu. Dalam aktifitas ini, para ulama tersebut membutuhkan sarana pembelajaran yang efektif dalam bentuk tertulis dalam berbagai bidang keagamaan, yakni mushaf al-Quran sendiri, tafsir, fiqh, tashauf, bahasa Arab dan lain sebagainya. Beberapa sentra dakwah Islam yang ramai pada abad-abad ke-16 dan sesudahnya antara lain: Aceh, Pariaman, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Madura, Banjarmasin dan lain-lain.
2. Klasifikasi Naskah Melayu
Untuk melihat dinamika kerangka perkembangan naskah-naskah di wilayah Melayu sejak abad ke-16, hal itu bila diasumsikan bahwa wilayah yang dahulunya dikuasai oleh Hindu-Jawa telah membaur ke dalam koridor paradigma Melayu Islam, maka dapat diklasifikasikan melalui dua cara:
• Klasifikasi melalui pemilahan wilayah antara pesisir dan pedalaman
• Klasifikasi melalui pemilahan ragam produk naskah melayu berdasarkan fungsi dan konten naskah, yang terbagi kepada 5 ragam:
a. Naskah-naskah ketatanegaraan
b. Naskah-naskah keagamaan
c. Naskah-naskah sejarah dan silsilah kerajaan
d. Naskah-naskah kesusasteraan yang bersifat hiburan
e. Naskah-naskah yang berisi tentang obat-obatan dan mantra-mantra
Naskah-naskah Melayu Pedalaman
(Referensi: Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Gramedia, Jakarta:1999) bisa di download di Google Book
Naskah-Naskah Melayu Wilayah Pesisir
(Referensi: Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Gramedia, Jakarta:1999)
3. Naskah Melayu di Minangkabau
Referensi: M.Yusuf, M.hum, Katalogus Manuskrip Minangkabau; Ernst Ulrich Kartz, Southeast Asian Languages and Literatures: a bibliographical Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Javanese, Malay, Minangkabau, Thai and Vietnamese. I.B. Tauris. (bisa didownload dari google book); Liaw Yock Fang (buku saya ada pada Syahrial); Edwar Jamaris. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau YOI, Jakarta:2002. (bisa download di Google Book):
4. Naskah Melayu Dalam Angka
Penelusuran tentang jumlah naskah Melayu telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, dan melibatkan sejumlah besar ahli dari dalam dan luar negeri. Namun hingga sekarang, belum ada angka pasti berapa jumlah persisnya. Selain karena penyebaran naskah-naskah Melayu sangat luas, masih banyak naskah-naskah yang berada di tangan perorangan, kolektor ataupun situs-situs naskah yang belum terdeteksi dan terdaftar dalam catatan para ahli. Baru beberapa tahun belakangan, ada gairah untuk mendata naskah-naskah Melayu.
Nurcholish Madjid, pernah memprediksikan bahwa jumlah naskah-naskah Nusantara bisa mencapai angka jutaan. Meskipun bersifat perkiraan, namun sebaiknya perlu disikapi secara proaktif agar melalui langkah-langkah yang sistematis kita tidak kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan khazanah budaya kuno tersebut.
Sementara ini koleksi naskah di Perpustakaan Nasional berjumlah lebih kurang 10.000 naskah. Jumlah ini sebagian besar diperoleh dari masa penjajahan saat lembaga ini masih bernama Koninklijk Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Watenschapper--Perpustakaan Perkumpulan Pencinta Seni dan Budaya, yang berdiri pada 1778. Perpustakaan Nasional hanya meneruskan menyimpan koleksi naskah. Hanya sebagian kecil naskah yang berasal dari pembelian serta pencarian oleh Perpustakaan Nasional di era kemerdekaan hingga sekarang. Koleksi-koleksi yang berada di tangan perorangan dibeli oleh pihak Perpusatakaan dan dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Namun, akhir-akhir ini, banyak dari pemilik/pewaris yang memahami nilai komersil sebuah naskah. Mereka tidak segan-segan mematok harga tinggi. Bahkan ada yang berani menawar satu bangunan mesjid untuk koleksi yang mereka miliki. Lantaran tingginya harga, banyak naskah kuno yang lepas ke tangan kolektor, baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini, paling banyak dalam setahun hanya tiga naskah yang berhasil dibeli atau diperoleh dari pemilik naskah, meskipun sudah dilakukan survai ke sejumlah situs naskah.
Koleksi naskah di Perpustakaan Nasional kebanyakan berasal dari wilayah Jawa. Sebagian besar berbahasa Jawa kuno, dan sebagian lagi Arab Melayu, Sansekerta dan Sunda. Sisanya adalah naskah-naskah yang berasal dari luar Jawa yang ditulis dalam bahasa Lombok, Batak, Bali, Minang dan Makassar. Naskah-naskah tersebut ditulis dengan media-media seperti kayu, lontar, rotan, tulang, nipah, labu hutan, beluang, dan kemudian juga ada dari kertas Eropa.
Naskah kuno tertua yang dimiliki Perpustakaan Nasional kebanyakan berasal dari abad ke-14 dan 15. Salah satunya naskah lontar Arjuna Wiwaha yang ditemukan di lereng Gunung Merapi-Merbabu, Jawa Tengah. Naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Merbabu dan menggunakan bahasa Jawa kuno. Sejumlah naskah kuno besar, seperti Pararaton, Sutasoma, dan Serat Catur Kanda dari Cirebon juga terdapat di Perpustakaan ini. Perpustakaan Nasional juga menyimpan naskah asli Negerakertagama yang merupakan hibah dari Leiden pada 1990an.
Dalam berbagai pertemuan kebahasaan dan kesusastraan Melayu/Indonesia, senantiasa diperdengarkan bagaimana penyebaran bahasa maupun kesusastraan Melayu dalam berbagai bidang ilmu dibentangkan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1985, misalnya, Dr Sri Wulan Pudjiati dalam Pertemuan Kebudayaan Daerah di Pekanbaru telah memaparkan bagaimana sekitar 10.000 naskah tersebut menyebar pada 28 negara. Di sisi lain, dalam beberapa kali pertemuan dengan Tan Sri Ismail Hussein disebutkan, tidak kurang dari 15.000 naskah Melayu beredar sampai jauh dari wilayah ciptaannya sendiri. Dalam catatannya tahun 1994, Sri Wulan memperkirakan bahwa total naskah Nusantara sedikitnya berjumlah 29.000 dengan perincian 10.000 naskah Melayu dan 19.000 naskah Jawa. Angka-angka ini diperoleh berdasarkan naskah-naskah yang tercatat di berbagai lembaga dan katalogus.
Di Inggris, misalnya naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan MC Ricklefs dan P Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya. Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapih pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah, para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan. Justru karena tersimpan rapih dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.
5. Katalogus Naskah-Naskah Melayu
Katalogus merupakan buah karya para filolog, peneliti dan pemerhati naskah untuk mendata keberadaan dan koleksi naskah di suatu wilayah dan menyusunnya secara sistematis guna memudahkan pelacakan naskah di wilayah tersebut pada tahap-tahap selanjutnya. Dengan adanya katalogus, maka orang akan terbantu khususnya pada tahap awal penjajakan naskah tanpa harus memeriksa secara langsung koleksi naskah-naskah tersebut, karena hal itu akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Berikut beberapa rangkuman katalogus yang dihimpun dari berbagai sumber:
Asma Ahmat, Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat / Catalogue of Malay Manuscripts in West Germany, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1992. Siri bibliografi manuskrip no.8.
Asma Ahmat, Katalog Manuskrip Melayu di Library of Congress, USA, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1993. Siri bibliografi manuskrip no.12.
T.E. Behrend (ed.), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Ecole française d’Extrême-Orient, 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, jilid 4.
Chambert-Loir, Henri, Catalogue des catalogues de manuscripts malais, Archipel 20 (1980): 45-69.
Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia / World Guide to Indonesian Manuscript Collections, Ecole française d’Extrême-Orient / Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Richard Greentree & E.W.B. Nicholson, Catalogue of Malay manuscripts relating to the Malay language in the Bodelian library, Oxford: Clarendon Press, 1910.
Mohammed Haron, Towards a Catalogue of Islamic MSS in South Africa with special reference to Melayu MSS at the Cape, Tradisi Penulisan Manuskrip Melayu, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1997: 243-263.
Harun Mat Piah & Ismail Hamid, Koleksi manuskrip-manuskrip Melayu di Brunei: satu maklumat awal, Sari 1.2 (1983) 103-123.
Joseph H. Howard, Malay MSS: A Bibliographical Guide, Kuala Lumpur: University of Malaya Library, 1966.
B.A. Hussainmiya, Malay manuscripts in Sri Lanka, Indonesia Circle 17 (1978) 39-40.
Teuku Iskandar, Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands, 2 vols, Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom, 1999.
Russell Jones, Six undescribed manuscripts: a preliminary note, Indonesia Circle 19 (1979) 26-31.
H.H. Juynboll, Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handshriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek, Leiden: Brill, 1899.
George Miller, Indonesian and Malayan traditional manuscripts in public collections in Australia, Canberra: ANU Library, 1982.
Munazzah Haji Zakaria, Katalog Manuskrip Melayu di Afrika Selatan, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1998. Siri bibliografi manuskrip no.16.
[Perpustakaan Negara Malaysia,] Katalog Ringkas Manuskrip Melayu di Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur: Pusat Manuskrip Melay, Perpustakaan Negara Malaysia, 1987.
... Tambahan Pertama, 1990.
... Tambahan Kedua, 1993.
... Tambahan Ketiga, 1997.
... Tambahan Keempat, 1999.
M.C. Ricklefs & P. Voorhoeve, Indonesian manuscripts in Great Britain: a catalogue of manuscripts in Indonesian languages in British public collections, Oxford UP, 1977.
M.C. Ricklefs & P. Voorhoeve, Indonesian manuscripts in Great Britain: addenda et corrigenda, Bulletin of the School of Oriental and African Studies 45.2 (1982): 300-322.
Rogayah Haji Md. Yasin et al., Katalog Koleksi Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.
Ph.S. van Ronkel, Catalogus der Maleische Handschriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht: Batavia, 1909. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel 57.
Ph. S. van Ronkel, Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabaushe Handschriften in de Leidsche Universiteits-Biblioteek, Leiden: Brill, 1921.
Siti Mariani Omar, Katalog Manuskrip Melayu di Perancis / Catalogue of Malay Manuscripts in France, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1991. Siri bibliografi mansukrip no.9.
[University of Malaya Library,] Katalog Koleksi Melayu Perputakaan Universiti Malaya / Catalogue of the Malay Collection, University of Malaya, Kuala Lumpur: Perpustakaan University Malaya, 1980.
Wan Ali bin Haji Wan Mamat, Catalogue of Malay manuscripts in the Netherlands, KL: Perpustakaan Negara Malaysia, 1985.
Wan Ali bin Haji Wan Mamat, Katalog Manuskrip Melayu di Singapura, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1998. Siri bibliografi manuskrip no.13.
E.P. Wieringa, Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and other collections in the Netherlands. Volume one, comprising the acquisitions of Malay mansucripts in Leiden University up to the year 1896. Compliled by E.P. Wieringa, edited by Joan de Lijster-Streef and Jan Just Witkam, Leiden: Legatum Warnerianum, 1998.
Russell Jones & Clare Rowntree, An essay at description and dating of a Malay manuscript, Kajian Malaysia 1.2 (1983) 1-13.
Sri Wulan Rudjiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, Lembaran Sastra 24 (1994), edisi khusus.
Annabel Teh Gallop with Bernard Arps, Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia | Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia, London: The British Library, 1991.
Annabel Teh Gallop with an essay by E. Ulrich Kratz, The Legacy of the Malay Letter / Warisan Warkah Melayu, London: British Library, 1994.
Proudfoot & V. Hooker, Mediating Time and Space: The Malay Writing Tradition, A. Kumar & J. McGlynn (ed.), Illuminations. The Writing Traditions of Indonesia, New York: Weatherhill, 1996: 49-78
Achadiati Ikram (ed.), Katalogus Naskah Palembang. C-Dats-Unand. 2004
M. Yusuf (ed.), Katalogus Manuskrip dan Skritorium Minangkabau. C-Dats-Unand. 2006
Oman Fathurrahman & Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh. C-Dats-Unand. 2007
T.E.Behrend & Titik Pudjiastuti, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’extreme Orient. 1997. 3-A/3-B
Zunaimar, Tgk. M. Dahlan al-Fairusy. Katalog Manuskrip Perpustakaan Pesantren Tanoh Abe Aceh Besar. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Buku I. 1980
Zunaimar, Tgk. M. Dahlan al-Fairusy. Katalog Manuskrip Perpustakaan Pesantren Tanoh Abe Aceh Besar. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Buku II. 1993
6. Perkembangan Naskah Melayu Saat ini
Hingga saat ini jumlah naskah-naskah Melayu Klasik yang belum tertangani dan diolah dengan baik masih sangat banyak. Jones mengatakan setidaknya ada sekitar 10.000 naskah yang belum mendapat sentuhan para ahli, sedangkan menurut Henri C. Loir, jumlahnya ada sekitar 4000.
Subandi Sardjoko mengungkapkan, di beberapa daerah, jual- beli manuskrip sudah lama dilakukan masyarakat pewaris manuskrip dari nenek moyang mereka. Beberapa manuskrip penting hanya dijual sekitar Rp 2 juta kepada kolektor atau pedagang. Harga murah itu jelas tidak sebanding dengan kerugian yang diderita bangsa Indonesia akibat kehilangan kekayaan sejarah dan budaya tersebut. "Kehilangan manuskrip itu merugikan bangsa karena naskah tersebut banyak memuat ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal masa silam. Ada manuskrip yang bersisi resep obat-obatan, tata niaga, politik, etika pelestarian lingkungan, atau arsitektur rumah yang tahan tsunami. Semua itu memberikan alternatif pemikiran di tengah modernitas sekarang," katanya. Menurut Razak Zaidan, manuskrip dari Riau dan Medan— tentang hikayat Kesultanan Deli beraksara Arab-Melayu—juga sudah banyak yang dibeli warga Malaysia, Singapura, atau Australia. Manuskrip itu dijual seharga Rp 2 juta sampai Rp 17 juta. Tetapi, ada juga pemilik naskah yang rela menyerahkan manuskrip kepada lembaga pemerintah atau museum untuk disimpan. "Kalau manuskrip sudah jatuh di orang asing, bangsa ini harus pergi ke luar negeri untuk mempelajari sejarahnya sendiri. Generasi mendatang juga kesulitan mendapat akses untuk melacak akar budaya sendiri," katanya. Bahkan, Henri Chambert-Loir dari Ecole Francaise d"Extreme-Orient (EFEO; Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh) mencatat, ada teks naskah Nusantara yang sangat langka saat ini telah dikoleksi oleh Library of Congress, AS. Sementara satu turunan naskah Bustanus Salatin dari Riau saat ini tersimpan di Afrika Selatan. Selain itu, beberapa naskah unik dari sebuah taman bacaan di Batavia pada awal abad ke-20 berada di Saint Petersburg, Rusia. Yumi Sugahara memperkirakan, saat ini masih banyak manuskrip yang tidak tercatat secara resmi karena disimpan masyarakat secara diam-diam, seperti terdapat di Aceh. "Kesadaran masyarakat tentang pentingnya manuskrip perlu ditingkatkan," katanya
Untuk banyak kasus di wilayah nusantara, gerbang kemusnahan naskah-naskah Melayu benar-benar sudah sangat dekat. Dalam laporan kompas yang lain tercatat sekitar 200 dari total 400 naskah kuno Melayu Riau yang berada di tangan perorangan terancam akan segera musnah. Hal itu disebabkan pola penanganan naskah yang tidak baik. Selain terancam kepunahan, naskah-naskah tersebut juga tidak lepas dari incaran para kolektor yang tertarik membeli naskah-naskah tersebut. Penanganan naskah yang relatif baik dilakukan oleh Raja Hamzah Yunus melalui lembaga non-pemerintah Yayasan Inderasakti, yang menyimpan sekitar 200 naskah Melayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar