Selasa, 31 Mei 2011

Mohammad Natsir : Ulama Politisi Minangkabau (Nilai Demokrasi dan Negara Islam)

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Ilmu Politik dan Filsafat Sejarah FIBA)

Sulit untuk dibantah, Muhammad Natsir menjadi salah satu "legenda" demokratisasi dan Islam politik Indonesia. Natsir yang dikatakan George Kahin sebagai demokrat-religius nan bersahaja (karena hanya memiliki sehelai kemeja ketika ditunjuk menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 ini) sampai hari ini dianggap sebagai "Bapak" intelektual Islam Indonesia sekaligus figur utama dalam mengakomodasi partai a-la "barat" dengan keteguhan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan teologis (Islam).


Ia bukan seperti Ba'asyir yang "mencita-citakan" negara ini seperti Taliban - sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmad Syafii Maarif. Natsir adalah pribadi teguh dalam menyerukan nilai-nilai demokratisasi di Indonesia, dan ini secara intens diserukannya setelah beberapa saat Soekarno mengumumkan eksperimen Demokrasi Terpimpin-nya. Ketika Masyumi berada dibawah kendali putra Alahan Panjang Minangkabau ini, partai ini mampu mengharubirukan pentas politik Indonesia, di era 1950-an. Di saat posisi Islam politik Indonesia "terdesak" pada masa Orde Baru, Muhammad Natsir kembali menjelaskan posisinya, "Indonesia sudah menjauh dari demokrasi". Bukan itu saja, Ruth Mc Vey bahkan pernah mencatat ungkapan "pedih" dari Natsir tentang sikap rezim Orde Baru terhadap keinginan Islam politik mempraktekkan demokrasi, "Mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap". Dalam konteks ini, Natsir tetap memperjuangkan demokrasi yang konon merupakan "produk" historis dan kultural "barat" sono.

Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.

Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto :www.ircf.wordpress.com
Selengkapnya...

Fundamentalisme Islam di Indonesia

Oleh : Andri Rosadi, M.Hum (Dosen Antropologi FIBA)

Dari permukaan, kita bisa melihat bahwa globalisasi dan fundamentalisme Islam merupakan dua fenomena yang kontras. Globalisasi menggiring seluruh dunia menuju universalitas budaya yang direpresentasikan oleh kultur Barat, dan lebih khusus lagi, Amerika Serikat. Sementara fundamentalisme Islam menolak segala sesuatu yang berbau barat, kecuali beberapa produk teknologi yang berkaitan dengan militer dan informasi. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, sebenarnya fundamentalisme Islam memiliki semangat yang sama dengan globalisasi: universalisasi budaya. Gerakan-gerakan Islam trans-nasional, seperti Hizbu Tahrir dan Gerakan Salafi secara jelas menunjukkan kecenderungan tersebut.


Pengantar
Hizbut Tahrir memiliki cabang di puluhan negara, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat; sementara Gerakan Salafi lebih banyak berkembang di negara-negara yang memiliki konflik langsung dengan kekuatan Barat. Dalam konteks ini, maka pertentangan antara hegemoni Barat dan fundamentalisme Islam sebenarnya terjadi karena adanya kontestasi pengaruh untuk merebut dominasi, dan oleh sebab itu, gerakan-gerakan tersebut lebih bercorak politik daripada agama. Secara sederhana, ada dua sasaran perlawanan para fundamentalis Muslim: far enemy yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dan close enemy yaitu rezim di negara Muslim (Gerges 2005: 1). Dalam konteks ini, saya akan meletakkan kontestasi pengaruh tersebut dalam kerangka challenge and response, dalam pengertian bahwa respons kelompok-kelompok fundamentalis Islam lebih merupakan jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi akibat penetrasi langsung ataupun tidak langsung dari kekuatan Barat. Universalitas budaya Barat, di mata kelompok fundamentalis, telah mengancam universalitas Islam, dan oleh sebab itu muncul reaksi perlawanan. Maka hal yang sangat wajar bila kita melihat bahwa kebangkitan fundamentalisme Islam selalu berjalan seiring dengan menguatnya dominasi Barat di dunia Muslim, terutama yang ditandai dengan kehadiran militer. Sebagai representasi gerakan fundamentalis, saya akan lebih terfokus pada Gerakan Salafi Indonesia yang bersifat trans-nasional.
Perspektif Memahami Gerakan Salafi
Fundamentalisme merupakan konsep yang pemaknaannya merujuk pada seluruh kelompok-kelompok keagamaan--apapun agamanya--yang ingin dan berusaha untuk hidup sesuai dengan pemahaman mereka terhadap wahyu (Mousally 1999: 66-67), yang biasanya dipahami sangat literal. Pemaknaannya merujuk baik pada tataran diskursus ataupun aktivisme (ibid: 120). Selain istilah fundamentalisme yang digunakan oleh Tibi (1998), Azra (1996), Watt (1997), Choueri (1997), Burrel (1995) dan Karyono (2003), para sarjana juga menggunakan beberapa istilah lain dengan makna yang relatif sama, seperti radikal (lihat Sivan (1985); Anderson (1997); Zada (2002); dan Turmudi, et. al. (2005)), Islamist (lihat Ismail: 1993) dan neofundamentalisme (Roy: 2005). Dalam makalah ini, saya menyebut Gerakan Salafi sebagai kelompok fundamentalis berdasarkan luas cakupan perubahan yang mereka inginkan dan strategi perjuangan yang mereka pilih untuk mencapai perubahan tersebut. Secara sederhana, cakupan perubahan yang mereka inginkan meliputi seluruh dunia, dengan strategi yang mentoleransi penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam gerakan radikal fundamentalis, perubahan ditandai dengan penolakan secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, karena adanya kejengkelan moral yang kuat terhadap kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa (Kartodirjo 1984: 38). Berdasarkan uraian tersebut, gerakan Salafi saya letakkan dalam konteks respons terhadap kondisi yang terjadi di Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki, mengurangi ataupun menolak berbagai pelanggaran agama yang terjadi, baik karena pengaruh internal maupun eksternal. Ada anggapan yang kuat di kalangan para Salafi bahwa Indonesia sudah jauh dari cita-cita negara Islam yang ideal. Absennya penerapan syariah Islam, kuatnya pengaruh Barat, terutama Amerika Serikat, dan seringnya orang Islam menjadi korban kekerasan seperti yang terjadi di Poso, Ambon dan Aceh adalah bukti dari anggapan tersebut.
Kata Salafi berasal dari bahasa Arab salaf, secara etimologis berarti masa lalu atau telah terjadi di masa lalu (Ma’luf 1986: 346). Dari kata salaf ini, kemudian berkembang istilah Salafiah, Salafiyun dan Salafi. Salafiah adalah khazanah ilmu atau ajaran salafusshaleh (pious ancestors); Salafiyun (bentuk tunggalnya: Salafi) adalah orang-orang yang mengikuti ajaran salafusshaleh (al-Thalibi 2006: 8-9). Seiring perkembangan, Salafiah kemudian menjadi mazhab Islam yang menyandarkan pendapat dan perilakunya berdasarkan apa yang telah dilakukan para sahabat Nabi Muhammad di masa lalu (Ma’luf 1986: 346; al-Thalibi 2006: 8; Buthi 1998: 9; Adonis 1998). Proses penyebaran mazhab Salaf ini disebut Gerakan Salafi yang berintikan seruan agar umat Islam kembali pada aqidah yang murni, sebagaimana yang dipraktikkan para sahabat Nabi. Menurut Lembaga Riset WAMY (2006) yang berpusat di Mekkah, Gerakan Salafi sebenarnya nama lain gerakan Wahhabi yang berkembang di Saudi Arabia. Secara genealogis, pemikiran Salafi bisa dirunut sebagai berikut: Salafusshaleh—Ibnu Taymiyah—Muhammad bin Abdul Wahhab—Ulama Saudi dan Yaman (lihat Samudera: 2004; Baabduh: 2005; Abdul Haq al Makky: 1998; Buthi: 1998; al Thalibi: 2006).
Salafisme merupakan gerakan keagamaan yang muncul sebagai respons terhadap penyimpangan internal dalam tubuh umat Islam sendiri dan ancaman eksternal yang dihadapi. Berkaitan dengan pengertian gerakan keagamaan, saya merujuk pada definisi Nottingham (1985: 155) yaitu: setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru, atau interpretasi baru mengenai agama yang sudah ada. Untuk kepentingan operasional, definisi ini kemudian saya perluas mencakup juga revitalisasi dan kontekstualisasi tafsir yang pernah ada. Gerakan Salafi berusaha untuk merevitalisasi ajaran-ajaran yang mereka anggap berasal dari Nabi dan para salafusshaleh, dan pada saat yang sama menolak bahkan mengkafirkan semua praktik-praktik yang mereka anggap tidak berasal dari Nabi. Sebagai organisasi keagamaan, Salafi juga memiliki acuan duniawi dan ukhrawi yang terrefleksi dari target-target kekuasaan dan ekonomi yang mereka perjuangkan. Dalam tataran ini, operasinya tidak berbeda dengan pemegang kekuasaan politik. Sementara acuan ukhrawi merujuk pada digunakannya teks suci sebagai basis legitimasi gerakan. Penggunaan doktrin agama sebagai basis legitimasi gerakan inilah yang membedakan Geraka Salafi dengan komunitas ekslusif lainnya.
Para aktifis Salafi saya posisikan sebagai komunitas eksklusif, bercirikan pola pikir dikotomis dan menolak yang tidak sesuai dengan prinsip dan keyakinan mereka. Dalam komunitas ekslusif, ada batas-batas, hierarki, kohesi sosial dan loyalitas kelompok yang jika diterapkan terlalu rigid, akan menghasilkan kekerasan terhadap kelompok lain (Ahmed 2003: 43). Pola-pola inklusi dan ekslusi yang dipraktikkan dalam komunitas Salafi bisa disebut sebagai identitas sosial yang mempengaruhi proses pemaknaan dalam hidup mereka sehari-hari. Proses konstruksi identitas sosial tersebut bersifat dialektis, yang mengandung klaim dan anti klaim, yang berujung pada terbentuknya suatu identitas tersendiri (Lukens-Bull 2004: 26). Dalam proses konstruksi tersebut, negara dan rezim keagamaan memainkan peranan penting (Doja 2004: 75) yang akan menentukan karakter politik suatu gerakan keagamaan.
Setiap komunitas eksklusif biasanya berusaha melakukan perubahan mendasar dengan kekuatan yang bertumpu pada kekuatan sosial dalam hubungan komunal mereka (Calhoun 2000: 894-895). Berdasarkan cakupan perubahan, Giddens, sebagaiman dikutip Azhar (1999: 26) membatasi perubahan yang diinginkan oleh kelompok ekslusif tersebut sebatas pada tatanan yang menyimpang dan merugikan, bukan keseluruhan. Azhar (1996: 26) menambahkan ciri lain dalam proses perubahan tersebut: kekerasan. Sebagai kelompok yang saya posisikan sebagai komunitas ekslusif, kekerasan yang dilakukan oleh para Salafi ada yang bersifat simbolik dengan menyalahkan, bahkan mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham, dan ada juga kekerasan fisik seperti yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudera.
Sebagai suatu komunitas, para Salafi yang bersifat trans nasional tidak merasa terikat pada wilayah tertentu. Basis loyalitas mereka adalah agama, bukan negara. Dalam kerangka ini, komunitas Salafi bersifat non teritorial, dan para anggotanya memiliki ciri-ciri serupa, biasanya dihimpun oleh suatu rasa memiliki, ikatan dan interaksi sosial tertentu sehingga menjadi entitas sosial tersendiri (Azarya 2000: 145). Ikatan kebersamaan yang dibangun dalam komunitas Salafi lebih bersifat emosional yang bersumber dari ikatan kesamaan agama, sejarah, nasib, nilai dan pandangan yang bersifat trans nasional. Rasa memiliki dan solidaritas yang bersifat trans nasional ini memainkan peran yang sangat penting pada kebangkitan aktivisme Salafi. Para Salafi tersebut, menurut Bubalo dan Fealy (2005) ibarat caravan yang bergerak lintas negara bahkan benua. Oleh sebab itu, sangat lazim jika para pengikut Salafi tidak memiliki rasa nasionalisme pada negara tertentu. Banyak di antara mereka yang melibatkan diri dalam konflik di Afghanistan, Asia Tengah, Thailand Selatan dan Filipina Selatan, walaupun mereka tidak berasal dari kawasan tersebut.
Satu hal penting lain yang harus dipahami pada komunitas Salafi adalah tentang cara mereka membayangkan masa lalu, karena pemahaman dan ide yang mereka kembangkan berbasis pada praktik pengalaman masa lalu di era Nabi dan sahabatnya; suatu era yang digambarkan sebagai sebaik-baik zaman, semakin jauh dari era tersebut dianggap semakin mengalami degenerasi. Ironisnya, perilaku-perilaku simbolik yang tampak menonjol untuk mengikuti pola hidup para salafusshaleh tersebut adalah memelihara janggut, memakai jubah dan pakaian di atas mata kaki dan makan dengan tiga jari. Dalam varian Salafi yang menekankan jihad, seperti kelompok Imam Samudra, yang mereka bayangkan bukan hanya masa lalu di era Nabi, tapi juga penderitaan yang dialami umat Muslim di Palestina, Irak, Afghanistan, Philipina Selatan, Asia Tengah dan kawasan lainnya. Inilah yang kemudian menggerakkan mereka untuk berjihad. Bisa dikatakan bahwa, para Salafi berusaha untuk menggiring masa kini ke masa lalu, dan menjadikan masa lalu sebagai satu-satunya basis legitimasi perilaku di masa kini (Adonis 2002).

Membayangkan masa lalu adalah permasalahan yang berkaitan dengan memori, yang disebut oleh Sorabji sebagai individual’s awareness of memory (Sorabji 2006: 3). Dalam proses pembentukannya, memori tersebut, menurut Halbwachs dipengaruhi oleh suatu konteks sosial (dikutip via Sorabji 2006: 2). Artinya, faktor eksternal memiliki peran penting dalam proses konstruksi dan rekonstruksi. Karena Gerakan Salafi bersifat kolektif, maka memori individu pada konsep Sorabji bisa dikembangkan ke memori sosial yang dibagi (share), dirasa dan pada saat yang sama mengontrol kehidupan para Salafi sehari-hari. Dalam pengertian ini, memori bisa juga dipahami sebagai a form of practical wisdom (Lambek, dikutip via Sorabji 2006: 3).

Ada dua klasifikasi memori yang berkembang dalam psikologi: episodic memory dan semantic memory. Episodic memory mengacu pada episode dalam kehidupan yang dialami langsung oleh seseorang, sementara semantic memory mengacu pada suatu fakta yang dipelajari (Sorabji 2006: 12). Berdasarkan pengertian ini, keterlibatan langsung Tarmiji dalam konflik di Ambon dan Poso, Imam Samudra, Jafar Umar Thalib dan Umar Patek di Afghanistan serta Dulmatin di Mindanao bisa dilihat sebagai bagian dari episodic memory dalam hidup mereka. Sementara keinginan para Salafi lainnya untuk makan dengan 3 jari tangan, memelihara janggut dan memakai jubah putih khas Arab merupakan bagian dari memori yang dipelajari (semantic memory). Menurut saya, sangat penting bagi kita untuk meneliti lebih dalam bagaimana memori sosial tersebut membentuk gagasan dan perilaku para Salafi. Dalam hal ini, konteks sosial politik, seperti penderitaan kaum muslim di tempat tertentu, ataupun ancaman dari penetrasi budaya asing berperan sangat penting. Hal ini sejalan dengan Novak dan Rodseth yang menganalisa memori sosial melalui massacre dan collective violence yang terjadi (Novak dan Rodseth 2006: 2).

Gerakan Salafi di Indonesia
Dalam sejarahnya, gerakan Salafi pertama kali muncul di Saudi Arabia dengan nama gerakan Wahabi, kemudian tersebar ke Afrika, Anak Benua India hingga Asia Tenggara. Azra (1996: 110-112) menggolongkan Gerakan Salafiyah Wahhabi sebagai fundamentalisme Islam pra modern, yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari segala penyimpangan. Saat ini, gerakan Wahabi di seluruh dunia masih dibiayai oleh Saudi Arabia (Haghayeghi 2002: 318). Ada 1500 masjid, 210 Islamic Centers dan hampir 2000 colleges yang dibiayai Saudi, dimana paham Wahabi kemudian diajarkan dan ditransformasikan (Gadzey 2005: 303).
Di Indonesia, Gerakan Salafi dalam pengertian umum telah lama muncul. Muhammadiyah, Persis dan gerakan Paderi yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam sangat dipengaruhi paham Wahhabi yang berkembang di Saudi Arabia. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) juga punya hubungan erat dengan Saudi Arabia dalam membendung gerakan Kristenisasi (Bruinessen 2004: 39). Gerakan-gerakan tersebut muncul dalam konteks kebangkitan Islam, yang dipengaruhi oleh interaksi antara tradisi dan modernitas, pengaruh internasional dan ketegangan politik (Mehden 2001: 266-270).
Gerakan Salafi di Indonesia bergerak secara institusional maupun individual. Di Yogyakarta, komunitas Salafi membangun lembaga pendidikan sendiri yang bertujuan untuk mendidik kader-kader muda Salafi. Sekolah Salafi Madukismo, Pesantren Jamilurrahman, Pesantren Imam Bukhari dan Pesantren Bin Baz merupakan contoh dari beberapa lembaga tersebut. Para santri belajar setiap hari tanpa terikat oleh hari libur nasional. Walaupun kenyataan ini secara sekilas menunjukkan adanya perbedaan antara lembaga pendidikan Salafi dengan negara, namun, terlalu dini untuk menilai bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan kita dalam memahami konsep negara kebangsaan Indonesia. Dibutuhkan informasi yang lebih mendalam untuk memahami secara lebih baik seluruh perilaku, pandangan dan juga memori sosial para Salafi tersebut. Ketergesaan dalam memberikan klaim dan ‘tuduhan’ terkadang sama sekali tidak menambah pemahaman kita terhadap mereka.
Secara individual, gerakan ini berjalan melalui relasi personal antar kenalan. Suatu ketika, pada bulan November 2006 di Yogyakarta, ada sebuah pengumuman tentang kamar kos yang ditempel di beranda Masjid UGM. Berbeda dari biasanya, mahasiswa yang akan diterima disyaratkan menganut mazhab salaf. Dalam kasus ini, tampak bahwa mazhab salaf telah menjadi identitas yang menetukan, apakah seseorang menjadi bagian dari self atau other.
Kecenderungan untuk membangun boundary di kalangan para Salafi ini terrefleksi dari adanya penilaian bahwa gerakan Islam lainnya kurang berpijak pada syariah (Karim al-Aql 2003: 114-115). Kecenderungan tersebut terekspresi dalam perilaku sosial politik mereka, sehingga menimbulkan perlawanan dari komunitas lain yang dituduh tidak Islami, seperti yang terjadi di desa Sesele Lombok, Nusa Tenggara Barat, dimana sebuah pesantren Salafi diserang dan para Salafi diusir dari desa oleh masyarakat (Kompas: 18 Juni 2006). Tampak jelas bahwa kecenderungan untuk memonopoli kebenaran ini memiliki implikasi sosio-relijius yang sangat besar pada, terutama, keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan politik, kecenderungan ekslusifitas para Salafi menyebabkan mereka mengambil sikap yang bertentangan dengan kebijakan negara. Sebagai contoh, para Salafi menolak berpartisipasi dalam pemilu di Indonesia dengan alasan: (1), pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi yang bertentangan dengan syariat Islam; (2), nilai suara seorang muslim dan non muslim sama, seharusnya, suara muslim lebih tinggi; (3), nilai suara seorang laki-laki dan perempuan sama, seharusnya, suara seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan. Disini terlihat perbedaan kategori sosial budaya antara para Salafi dengan negara.
Monopoli kebenaran yang dilakukan oleh para pengikut Salaf didasarkan pada hadits Nabi yaitu: (artinya): “sesungguhnya umat Islam akan terpecah belah menjadi 71 golongan. Semua golongan tersebut di neraka, kecuali satu: al jamaah”. Menurut para Salafi, maksud al jamaah di sini adalah ahlu sunnah wal jamaah, dan Salafisme adalah nama lain ahlu sunnah wa al jamaah. Berarti, satu-satunya golongan yang selamat hanyalah Salafisme (Karim al Aql 2003: 16-18).
Di tengah eksklusifitas tersebut, realitas internal Salafi sendiri menunjukkan banyak varian, masing-masing mengaku paling benar. Akibat kuatnya kecenderungan untuk mengklaim kebenaran ini, perbedaan-perbedaan paham dan pandangan terhadap berbagai permasalahan selalu diikuti dengan aksi saling menyalahkan di antara mereka. Sebagai contoh, Luqman Baabduh, tokoh Salafi Yogyakarta dituduh Murjia oleh kelompok Ngruki Solo. Sebaliknya, kelompok Ngruki dianggap Khawarij oleh kelompok Luqman Baabduh (2005). Baabduh juga mengecam model perjuangan yang dilakukan oleh Imam Samudera dan Hasan al-Banna (As Syariah, vol. II no 20: 2005). Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Baabduh ini kemudian dibantah oleh Zulfidar (2006), tokoh yang juga sering diafiliasikan sebagai pengikut Salaf dengan grup al-Kautsar di Jakarta. Tokoh Salafi lainnya, Imam Samudera dalam bukunya Aku melawan Teroris (2004: 3) secara eksplisit membagi Salafisme menjadi dua: Salafi murni dan yang telah terdistorsi. Salafi pertama adalah mereka yang konsisten dengan idealisme perjuangan untuk menegakkan agama Islam; sementara kelompok kedua adalah mereka yang takut untuk berjuang demi agama. Di Yogyakarta, istilah Salafi merujuk pada dua kelompok penting: Salafi Lor yang menjadi markas Lasykar Jihad di bawah kendali Jafar Umar Thalib, dan Salafi Kidul yang berpusat di Bantul.
Perbedaan paham dalam Gerakan Salafi, dalam tataran tertentu, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan, tapi juga afiliasi politik. Para pengikut Salaf biasanya memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan patron politik mereka. Secara garis besar, ada dua patron tertinggi yang mendominasi pengikut Salaf di Indonesia pada saat ini: Syaikh Muqbil bin Hadi di Yaman, dan Syaikh Bin Baz di Saudi Arabia. Pemahaman lebih lanjut mengenai Gerakan Salafi di Indonesia harus mampu mengungkap pola relasi patron-client antara para Salafi di Indonesia dengan guru-guru mereka di Yaman dan Saudi Arabia. Perbedaan utama antara Salafi Yamani dan Saudi Arabia adalah, yang pertama lebih memiliki kecenderungan pada aktivisme, sehingga sering terlibat pada konflik fisik, sebagaimana yang terlihat pada kasus Lasykar Jihad yang dikirim ke Ambon.
Transformasi ajaran Salafiyah ke Indonesia, secara umum masuk melalui tiga jalur (lihat Bubalo dan Fealy 2005: 47-64) yaitu: (1) pendidikan, dengan banyaknya mahasiswa Indonesia yang menuntut Ilmu di Saudi Arabia dan Yaman, baik dalam pendidikan formal maupun non formal; (2) human movement yang masuk ke dalam caravan Salafi internasional dan mereka bergerak lintas negara, terutama di daerah-daerah konflik seperti Afghanistan, Pakistan, Asia Tengah, Thailand Selatan dan Filipina Selatan; (3) internet dan penerbitan buku-buku yang menyebarkan ajaran Salaf. Baik Salafiyah Yaman ataupun Saudi Arabia masuk melalui ketiga jalur ini.
Untuk tataran yang lebih lanjut, ada indikasi bahwa kelompok Salafi yang menganut garis keras (aktivisme) sudah merasa kurang aman berada dalam payung Salafisme disebabkan faktor keamanan seiring gencarnya Densus 88 melakukan operasi. Informasi awal yang saya dapatkan tentang ini baru sebatas wilayah Sumatra Barat dan Riau. Kelompok yang dijadikan sebagai ‘tempat pelarian’ adalah Jamaah Tabligh yang selama ini dikenal tidak pernah terlibat dalam kegiatan politik apapun. Akibatnya, karakter non politik yang selama ini melekat pada Jamaah Tabligh mulai dipertanyakan seiring ditemukannya keterlibatan beberapa orang anggota Jamaah sebagai pelaku pemboman di Jakarta. Dalam konteks ini, hal yang perlu diteliti lebih lanjut sebenarnya adalah: (1) apa dan bagaimana konteks relasi antara Salafi di Indonesia dengan Salafi Timur Tengah? (2) Bagaimana proses transformasi mazhab Salafi menjadi suatu tindakan dan gerakan sosial yang berbasis keagamaan dengan segala variannya?; dan (3) bagaimana jaringan dan gerakan sosial tersebut memberi pengaruh pada gerakan Islam di Indonesia?
Keberhasilan dalam menemukan informasi mengenai pertanyaan di atas akan sangat membantu kita untuk memahami penyebab eksternal kemunculan Gerakan Salafi Indonesia dan bagaimana bentuk relasi patron-client antara murid dan syaikh yang memegang otoritas keputusan tertinggi. Di samping itu, informasi tersebut juga akan membantu kita untuk memetakan Gerakan Salafi dan varian-variannya, memberikan pemahaman mengenai proses terbentuknya identitas keagamaan di kalangan Salafi, dan bagaimana identitas ini kemudian menggerakkan para Salafi untuk melakukan suatu gerakan.
Untuk konteks ke depan, konfrontasi antara kelompok fundamentalis Muslim--termasuk Salafi--dengan pemerintah akan sangat bergantung pada tiga hal: kebijakan pemerintah, apakah memihak pada isu-isu yang menjadi concern kelompok fundamentalis atau sebaliknya; rangsangan eksternal yang dipicu oleh kebijakan Barat yang dianggap tidak adil dan menzalimi kaum Muslim; dan inisiatif dari kelompok fundamentalis itu sendiri sebagai jawaban dari challenge yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (Dekmejian 2001: 24). Kondisi ekonomi yang semakin memburuk dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran merupakan sebab-sebab yang juga dominan dalam mendorong kemunculan gerakan fundamentalis. Kenyataan tersebut mereka pahami sebagai simbol kegagalan sistem sekuler dalam memakmurkan rakyatnya. Berdasarkan kenyataan ini, mereka kemudian merasa memiliki alasan kuat untuk menerapkan sistem yang mereka yakini Islami dan mampu menciptakan keadilan ekonomi sebagai ganti dari sistem sekuler yang terbukti gagal. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis harus diletakkan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik, baik dalam skala lokal, regional maupun global.
Penutup
Makalah singkat ini sebenarnya lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban disebabkan keterbatasan informasi primer mengenai Gerakan Salafi. Sangat sedikit, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, studi-studi yang berbasis pendekatan etnografi--sehingga memungkinkan penulisnya untuk hidup lebih dalam dengan para Salafi—yang dihasilkan oleh para peneliti tentang kehidupan para fundamentalis, terutama para Salafi. Oleh sebab itu, pemahaman kita tentang Gerakan ini masih bersifat parsial dan terkadang menyimpang dari yang sebenarnya. Riset lanjutan sangat diperlukan dalam kerangka untuk pemahaman yang lebih baik, dan dalam tataran tertentu, juga untuk mencegah semakin berkembangnya social boundary di masyarakat akibat menguatnya semangat ekslusifitas para Salafi. (Andri Rosadi, Staf Jurusan SKI).

Selengkapnya...

Pergumulan Islam dengan Kolonialisme (Kajian tentang kolonialisme Belanda di Indonesia)

Oleh : Siti Aisyah, M.Ag (Dosen SKI dan Kaligrafi FIBA)

Koloniasme adalah sistem suatu negara menjalankan politik pendudukan atau penjajahan terhadap wilayah lain (Hasan Sadili, 10982 : 18812). Tujuan dari kolonialisme itu untuk mencari keuntungan dari negara yang dijajahnrya. Selain untuk mendapat keuntungan pada wilayah yang dijajah, tujuan kedatangan dari bangsa colonial ini juga menjalankan misi agama mereka. Sedangkan pergumulan Islam dapat diartikan dengan pergulatan. Pergumulan Islam dengan kolonilisme merupakan suatu bentuk pejuangan umat Islam terhadap bangsa colonial yang telah ada ditanah airnya dengan berbagai upaya yang dilakukan. Upaya itu dilakukan agar pihak colonial bisa melepaskan diri, atau beranjak dari tanah airnya.



A. Pendahuluan

Negara Indonesia termasuk salah satu korban kolonialisme. Sebelum kedatangan bangsa colonial kei Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam. Kedatangan bangsa colonial ke Indonesia merupakan bencana besar bagi umat Islam. Keberadaan pemerintah colonial tersebut telah melumpuhkan masyarakat Islam, membekukan pemikiran, bahkan sampai menguburkan masa lalu umat Islam. Kedatangan colonial ini telah mempengaruhi upaya pencapaian cita-cita umat Islam di Indonesia.
Sebelum bangsa colonial ini memasuki wilayah Indonesia, mereka juga mengirim orientalis untuk mempelajari Islam di Indonesia. Berdasarkan informasi dari orientalis tersebut, mereka dapat mengetahui kondisi masyarakat Islam di Indonesia yang sesungguhnya. Sehingga mereka dengan mudah memasuki wilayah Indonesia. Mereka berusaha merubah cara pandang tentang Islam serendah-rendahnyab bahkan sampai menjatuhkan martabat Islam. Akbar S. Ahmed (1992: 130) mengatakan bahwa cara pandang mereka ini telah dipengaruhi oleh rasisme yang bejat dan praduga agamis. Namun cara pandang ini juga yang nantinya justru menggetarkan naluri kemerdekaan masyarakat muslim di Indonesia.

Jika dilihat dari akibat kolonialisme ini menjadikan umat muslim di Indonesia tertinggal dan mengalami kelumpuhan total. Namun dibalik kebijakan yang diterapkan oleh colonial tersebut, tanpa disadari telah mengantarkan bangsa Indonesia kepada gerbang kemajuan. Proses Islamisasi menjadi semakin lancar dan menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok daerah. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan antara Islamisasi dengan Kristenisasi. Karel Steenbrink( 1995: 156) mengutip artikel Simon yan ditulis tahun 1905 bahwa pada abad 14 Islam berhasil menebus seluruh daerah pesisir Sumatera, Pada abad ke-19 sebagian besar daerah pedalaman belum diislamkan. Ketika Belanda berhasil memiliki daerah Batak bagian selatan pada tahun 1837, mereka juga membuka jalan untuk Islam. Demikian juga dalam bidang pendidikan, pada saat colonial ini sebagian besar pemuda Indonsia telah ada yang mengecap pendidikan sampai keluar negeri. Untuk lebih jelasnya pada makalah sederhana ini berikut penulis paparkan tentang bagaimana benruk pergumulan Islam dengan kolonialisme, khususnya yang terjadi di Indonesia.

B. Kolonialisme di Indonesia
Negara Indonesia dikenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Kekayaan akan rempah ini yang menjadi daya tarik bangsa colonial datang ke Indonesia. Terjadinya pemerintahan colonial di Indonesia ini berawal dengan kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia pada tahun 1511. Mereka datang ke Indonesia melalui Malaka. Motif kedatanganya, selain karena factor ekonomi, juga karena factor petualang. Mereka berusaha mencari negara yang banyak menghasilkan keuntungan bagi ekonominya.
Disamping itu, dalam mencari keuntungan ekonomi dengan cara menopoli, mereka juga menjalankan misi agama mereka. Faktor agama agi bangsa Portugis, juga mempunyai peranan penting. Hal ini dapat dirasakan pada daerah Ternate dan Tidore. Dengan menerima ajaran agama yang baru tersebut, berarti mereka menerima dan meyakini kekuatan asing yang merugikan bangsanya ( Marwati Djoened Poponegoro Noto Susanto, 1993 : 42)
Akan tetapi pemerintahan kolonial Portugis ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1521 kolonial Spanyol datang ke Indonesia melalui Filipina dan sampai ke Kalimantan Utara (Marwati Dj. , 1993 : 44) Kedatangan. Sehingga terjadilah persaingan antara kedua bangsa colonial tersebut. Pada abad ke 16-17, muncul lagi giliran Belanda, Inggris dan Prancis ke Indonesia. Tujuan kedatangnya tidak jauh berbeda dengan bangsa Portugis dan Spanyol. Pelayaran pertama mereka ke Indonesia pada tahun 1595 terdiri dari empat kapal yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman ( Marwati Dj., 1993 : 45). Kemudian pada tahun 1602 Belanda mendirikan serikat dagang (VOC) dalam rangka menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat. Mereka datang atas nama-nama perusahaan. Semua perusahaan tersebut bergabung dalam VOC yang punya administrasi dengan negara Belanda
Selain dari factor ekonomi tersebut, terjadinya colonial Belanda di Indonesia juga disebabkan karena ulah masyarakat Indonesia itu sendiri. Dilihat dari awal masuknya Belanda ke daerah-daerah di Indonesia, ditemukan ada masyarakat yang pro terhadap bangsa colonial tersebut. Akhirnya penjajahan itu terjadi, karena tidak adanya persatuan dalam tubuh masyarakat Indoesia. Sebagian dari masyarakat pribumi ada yang berpihak kepada Belanda, bahkan daerah Aceh yang dikenal paling kuat pertahanannya dapat dikalahkan. Hal ini disebabkan Said Abdurrahman juga sudah berpihak kepada Belanda dan membongkar rahasia Aceh kepada Belanda.
Pecahnya perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa pada awalnya bersifat perang saudara, kemudian berlanjut disebabkan karena anti terhadap colonial Belanda. Belanda telah banyak campur tangan terhadap masalah yang terjadi di daerah tersebut ( Karel A. Steenbrink, 1984 : 17-18). Disamping itu penyebab perang ini juga karena unsure agama. Sebagian ulama ada yang ingin mencari hak istimewa dari pengikutnya, sehingga mereka berjuang bukan lagi demi kepentingan agama.
Demikian juga dalam perang Paderi (1800-1837) di Minang Kabau. Taufik Abdullah (ed), (2002: 321) mengatakan pada awalnya terjadinya perang Paderi ini karena adanya pertentangan antara kaum adat dengan kaum Paderi. Kaum Paderi yang terdiri dari para ulama yang bertujuan untuk menyiarkan agama dan menentang kebiasaan kaum adat yang bertentangan dengan agama. Tetapi kaum adat meminta bantuan kepada Belanda untuk membela diri dari serangan pembaharu Muslim ( Alwi Sihab, 1988 : 63). Akhirnya Belanda juga turut campur tangan dalam masalah yang terjadi daerah tersebut sampai perang tersebut berhenti.

C. Pergumulan Islam dengan Kolonial Belanda

1. Sebab terjadinya pergumulan Islam dengan Kolonial

Apabila dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol, Bangsa colonial Belanda yang paling lama menjajah di Indonesia. Adanya perjanjian London tahun 1824, membuat bangsa-bangsa colonial membagi wilayah jajahanya. Berdasarkan perjanjian tersebut menurut Alwi Sihab (1988 : 326) bangsa Belanda mulai menguasai wilayah di negara Indonesia. Kemudian sejak abad 19, penguasa Belanda memperluas wilayah control mereka sehingga wilayah kekuasaan mereka mencakup seluruh kepulauan nusantara.
Perluasan wilayah ini juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Para pendatang baru dari Belanda dan Eropa semakin banyak berdatangan ke Indonesia. Mereka bertindak sebagai agen yang membawa kebudayaan dan peradaban Barat ke tengah masyarakat Indonesia. Akhirnya peran pemimpin tradisional mulai tersingkirkan, mereka telah dikooptasi oleh pemerintah colonial. Kelompok elit politik yang mengabdi kepada Belanda secara perlahan mulai mengalami perubahan peran; dari pemimpn tradisional menjadi agen yang memperlancar penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Dengan adnya perubahan tersebut, maka muncullah para pemimpin baru yang berasal dari para guru agama dan ulama yang selalu menjalin kontak dengan Mekah. Mereka menentang tindakan para elit politik ini, sehingga sering terjadi pemberontakan local yang menimbulkan kekawatiran dari Belanda. Akhirnya para pejabat Belanda merasa perlu menerapkan kebijakan yang dikenal “Kebijakan Liberal” ( Alwi Sihab, 1988 : 65). Kebijakan ini muncul karena Belanda khawatir sering terjadinya pemberontakan local di daerah.
Pemberontakan ini sering terjadi karena adanya tekanan dari bangsa colonial yang akhirnya menimbulkan kebencian di hati masyarakat daerah. Pada umumnya pemberontakan itu muncul dari kalangan umat Islam. Belanda yang selalu mencurigai para ulama pulang dari Mekah, dikhawatirkan ada kontak dengan Pan-Islamisme di Turki. Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan Indonesia diilhami ide Pan-Islamisme dari Turki, karena adanya ransangan yang sangat besar dari Aceh yang terus berlanjut sampai abad ke-19. Sudah berbagai upaya dilakukan Belanda untuk menghadapi dinamika Islam ini, akhirnya colonial Belanda membuat langkah menjinakkan agama. Dengan membuat surat keputusan No. 78 tanggal 4 Februari 1859, secara rahasia menginstruksikan kepada gubernur jenderal untuk menentukan langkah dan tindakan professional (Azyumardi Azra, 1989)
Dalam surat tersebut dibenarkan mencampuri masalah agama, bahkan sampai mengawasi setiap gerak-gerik para ulama untuk kepentingan keamanan. Sebagai langkah panjang dari kebjakan menjinakkan Islam, colonial Belanda juga mengangkat orang muslim pribumi menjadi pegawai pemerintah untuk mengatur kehidupan beragama sendiri. Pengaturan itu dimaksudkan untuk membantu bupati dalam mengatur umat Islam.
Dengan semakin banyaknya campur tangan Belanda terhadap permasalahan masyarakat, menimbulkan beberapa pemberontakan di berbagai daerah. Masyarakat sudah mulai memahami dan mendapat gambaran tentang pendatang asing. Pada mulanya mereka beranggapan tentang Belanda itu sebagai gangguan terhadap budaya dan agama yang berbeda, semakin meningkat anggapannya tentang Belanda itu sebagai orang kafir yang licik yang mudah ingkar janji dan berbagai konotasi negative lannya. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya konflik, sehingga terjadilah pergumulan antara colonial dengan masyarakat Islam.

D. Bentuk Pergumulan Islam dengan Kolonial

a. Perang Bersenjata
Bentuk pergumulan Islam dengan bangsa colonial dalam perang bersenjata ini berupa perlawanan yang terdapat di berbagai daerah. Konflik ini sudah mulai terjadi pada abad ke-17-19. Perang tersebut dilatari oleh ideology Jihad fi sabilillah. Hal ini pula yang menjadi penentangan Sultan al Fatah yang dikenal dengan Sultan AgengTirtayasa (1651-1962) sejak bulan februari 1982 terhadap putra mahkota sultan Haji bersekutu dengan Belanda. Penentangan ini dilanjutkan oleh Syekh Yusuf Al-Makasari (Moncong Loe,Goa, Sulawesi Selatan, 3 juli 1626-Tanjung Harapan 1699 ) hingga bulan Desember 1683 M. Kemudian pada abad ke-18 adalagi pemberontakan yang dimotori di kalangan aristocrat seperti Pengeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam perangan Jawa (1825-1837). Adalagi perlawanan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia dalam perang Aceh, dan Sultan Taha Syaifuddin yang diturunkan dari jabatannya (Taufik Abdullah, 2002 : 322).




b. Perang Intelektual

Perang intelektuak itu terjadi berbentuk diskusi tentang perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda. Dari pihak muslim dipimpin oleh Haji Agus Salim, dan dari perpecahan dipimpin oleh Kramer. Kramer ini masuk dalam perhimpunan Jong Java dengan tujuan melenyapkan unsure Islam. Selama periode 1925-1942 Jong Islamieten Bond (JIB) ternyata berkembang menjadi sebuah organisasi intelektual muda muslim yang percaya diri. Mereka dengan gigih menghasut untuk menentang Khatolik dan Protestan. Penentangan tersebut dilakukan baik dari dalam maupun dari luar Dewan Rakyat. Mereka juga menerbitkan sejumlah artikel anti Kristen dalam majalah Het Licht serta berbagai publikasi lainnya.
Pergumulan secara intelektual ini secara perlahan membentuk pemikiran lebih terbuka dan berkembang. Adanya diskusi dan saling tukar pendapat antara masing-masing kelompok, maka masing-masing pihak akan lebih mengetahui tujuan dari sesama mereka. JIB ini sebenarnya bukan anti Belanda, mereka adalah sebuah kelompok kritis yang mengutarakan pemikiran berupa tulisan dan diskusi. Pemuda JIB sering mendukung Belanda, namun terakhirnya selalu berakhir dengan pembelaan terhadap Islam. Di dalam Het Licht berbagai contoh pandangan negative Belanda terhadap Islam, seperti yang terlihat dalam teks-teks Sejarah dan Geografi yang dipakai di sekolah-sekolah.
Segala macam bentuk pergumulan tersebut tidak selamanya merugikan pihak Islam. Semenjak adanya colonial tersebut masyarakat Indonesia menjadi lebih maju dari sebelumnya. Masyarakat Indonesia menjadi lebih berkembang dan dapat mengenal dunia luar negeri. Namun dalam perlawanan pisik selalu dimenangkan oleh Belanda, karena dalam alat persenjataan Belanda lebih unggul dari Indonesia.
E. Pengaruh Kolonial terhadap Islam

1. Bidang Hukum

Kekhawatiran Belanda terhadap Islam fanatic dan berbagai kemungkinan bahaya yang ditimbulkan menjadikan Belanda membuat beberapa kebijakan. Belanda berusaha memperkecil pengaruh Islam dengan cara mengkristenkan orang-orang Indonesia. Snouk Houranje merumuskan kebijakan tersebut berdasarkan tiga prinsip utama. Prinsip utama dalam masalah ritual dan aspek ibadah, umat Islam di Indonesia dibiarkan bebas menjalankannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjinakkan hati rakyat agar mengurangi perlawanan terhadap Belanda.
Prinsip kedua berhubungan dengan lembaga-lembaga social Islam, atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawianan, warisan, wakaf, dan hubungan social lainnya. Hal ini dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia mengganti lembaga-lembaga social umat Islam di atas lembaga social Barat.
Sedangkan prinsip ketiga yang dirumuska Snouk Houranje itu adalah masalah politik. Pemerintah dinasehatkan untuk tidak mentoleran kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim ; kegiatan yang dapat menyebarkan seruan-seruanPan Islamisme atau kegiatan yang menyebabkan seruan-seruan perlawanan politik bersenjata yang menentang pemerintah colonial Belanda. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap Habib Abdurrahnman az-Zahir yang dianggap sebagai seorang lawan yang sangat berbahaya. Maka diadakanlah usaha untuk mengeluarkan Habib ini dari Aceh. ( Muhammad Syamsu As., 1999 : 188). Berdasarkan catatan sejarah Habib ini pernah dikenal sebagai salah seorang ulama Arab yang yang mempunyai peranan penting dalam perang Aceh. Selain itu Habi juga pernah memperoleh ‘ Bintang Usmani’ atas jasa-jasanya dari pemerintah Turki.
Di sini Belanda berusaha mengembangkan seluruh hukum adat pribumi yang sesuai dengan norma-norma bangsa Eropah, dan juga mendirikan suatu system yang seragam. Belanda memberikan Indonesia sebuah system hukum yang terdiri darihukum adat, hukum muslim, dan hukum perundang-undangan Belanda (Ira M. Lapidus, 1999 : 319)
Sikap Belanda yang terlalu mengatur tentang agama ini lebih tepat dikatakan sebagai campur tangan dari pada bersikap netral, meskipun alasan melaksanakan hukum tersebut demi ketertiban dan keamanan umum. Pengawasan yang dilakukan Belanda terhadap Islam ini antara lain dengan meresmikan Lembaga Peradilan Agama (1893) dan melakukan pengawasan masjid (1905), dan juga mengeluarkan ordonasi perkawinan dan perceraian bagi orang Islam.
Belanda membuat hukum-hukum tersebut bertujuan untuk mengurangi perkembangan Islam, namun dengan adanya aturan-aturan tersebut masyarakat Indonesia telah diperkanalkan kepada hukum dan perundang-undangan yang lebih baik dari sebelumnya. Keberadaan hukum tersebut menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang hukum.


2. Bidang Pendidikan

Pada awal abad ke-19, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan sesudah pengajian al-Quran di wilayah Indonesia. Pada masa ini Belanda aktif mendirikan lembaga pendidikanyang tidak berhubungan dengan Islam. Belanda memilih jalan lain dengan mendirikan system pendidikan tersendiri yang lepas dan terpisah dari system pendidikan Islam.
Pada awal abad ke-20,Taufik Abdullah (ed) (2002 : 317) mengatakan masuk isolasi untuk menyesuaikan kepada syarat-syarat pemerintah agar dapat adanya pengakuan resmi dan batuan darp pemerintah. Akhirnya muncullah pemisahan antara system pendidikan umum dengan pendidikan agama pada abad ke-19 . Sistem ini dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20. Sedangkan pendirian sekolah untuk penampungan anak pegawai Belandadan anak kalangan pribumi terkemuka dimulai pada tahun 1840 di Jawa (Karel A. Steenbrink, 1995 : 319).
Dalam hal ini Hougrounje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum muslimun dengan peradaban Barat melalui pendidikan Barat yang terbuka bagi rakyat pribumi. Dengan adanya penetrasi pendidikan model Barat, pengaruh Islam bisa disingkirkan. Reaksi negative terhadap penetrasi misi Kristen ini masuk melalui kerjasama pemerintah mengakibatkan nilai-nilai Islam semakin merosot. Kaum muslimin sangat khawatir akan perubahan ini dan menuntut pemerintah agar menarik dukungan tersebut. Hal ini dianggap sebagai kebijakan yang bertentangan dengan semua konsep modern mengenai hubungan antar agama dan negara.
Akibat dari kebijakan tersebut muncul sekelompok elit terdidik yang mampu menyuarakan frustasi masa yang mengagetkan orang Belanda yang telah mendidik mereka (Alwi Sihab, 1998 : 88). Kelompok kecil elit politik ini belakangan tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri. Selain itu juga tumbuh gerakan-gerakan modernis dipelopori sarjana muslim sebagai respon terhadap kebijakan colonial Belanda dalam bidang pendidikan.
Pada awalnya sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan ini mengembangkan sikap toleransi dan represi. Mereka beranggapan kesadaran politik itu timbul suatu konsekuensi logis. Tetapi setelah gerakan mulai menunjukkan giginya, maka pemerintah mengambil sikap lebih keras terhadap mereka. Manifestasi dari gerakan tersebut dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, yang kemudian disusul dengan organisasi politik yang merakyat dengan kecenderungan kepada Islam yang kuat ; Sarekat Islam dan hampir bersamaan dengan berdiri pula Muhammadiyah (Alwi Sihab, 1998 : 90).
Adanya kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya berbagai perubahan penting pada masyarakat. Perubahan tersebut bukan dari penggagasnya, tetapi merupakan hasil lansung dan reaksi masyarakat terhadap tindakan pemerintah. Sekolah pesantren semakin berkembang di Jawa dan Sumatera, meskipun belum ada organisasi khusus yang mempersatukan pesantren tersebut. Bentuk pesantren tersebut juga beragam tergantung ulama yang memimpin pesantrennya.

3. Bidang Ekonomi

Kebijakan VOC yang didirikan Belanda di Indonesia mempunyai pengaruh besar dalam perekonomian Islam di Indonesia. VOC telah mengambil alih penguasaan hak atas tanah atau wilayah dan juga menopoli produksi perdagangan dan tenaga kerja. Bahkan makin mempersempit peran dagang muslim di Nusantra, karena satu persatu VOC makin mengambil alih pusat perdagangan di Nusantara.
Akibat dari perluasan VOC ini tidak saja menurunkan peran politik dan ekonomi, bahkan secara tidak lansung berpengaruh terhadap kemerosotan ekonomi penduduk Bumi Putera yang didukung oleh pedagang danpenguasa muslim santri (Alwi Sihab, 1988 : 90). Mata rantai yang semula telah dikuasai dan berkembang oleh Bumi Putera jadi terputus, karena tiba-tiba dihadapkan dengan kompetisi yang tidak seimbang.
Sistem menopoli VOC ini kadang kala mengakibatkan pertentangan politik, bahkan secara tidak lansung melibatkan Inggris. Hal ini disebabkan karena para muslim Bumi Putera dan Inggris ada hubungan dagang yang baik dan saling menguntungkan. VOC berusaha menguasai perdagangan tersebut dengan system menopoli dengan mengambil alih sentralisasi industry kaum pribumi.
Belanda menguras kekayaan alam Indonesia dengan melaksanakan system perdagangan yang licik. Mereka memanfaatkan kebodohan pribumi dalam menjalankan perdagangan tersebut. Karena negara Indonesia bukan saja penghasil rempah-rempah, tetapi juga banyak mengandung bahan tambang yang terpendam . Pada tahun 1883 konsesi pertambangan exploitasi minyak bumi diberikan pada Royal Nederland Company. Minyak tersebut ditemukan dalam jumlah besar di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Demikian juga halnya dengan pertambangan batu bara juga mengalami kemajuan besar pada abad ke-19 di Sumatera Barat, Kalimantan dan Palembang.
Pada saat VOC berkembang masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal kelicikan Belanda dalam menjalankan transaksi perdagangan. Situasi psikologis inilah yang melatarbelakangi organisasi nasional dan gerakan Islam. Diantaranya gerakan nasional tersebut berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905-1911, Organisasi Budi Utomo yang didirikan dikalangan ningrat Jawa pada tahun 1908, berdirinya Jamiat Khair pada tahun1901, juga berdirinya Sarekat Islam di Surakarta pada tanggal 10 September 1912.
Gerakan-gerakan tersebut berdiri sebagai refleksi dari revitalisasi sikap kaum muslimin dengan persepsi baru terhadap Islam dan perannya ketika berhadapan dengan kaum kafir Belanda dan Tionghoa. Sebagaimana adanya Sarekat Islam berdiri sebagai refleksi sikap persaingan antara Bumi Putera dan Tionghoa. Berdirnya SI (1912) ini dilatarbelakangi adanya konflik antara orang Cina dan orang Jawa. Akan tetapi konflik tersebut lebih bersifat politik dan social dari pada persoalan ekonomi. Untuk lebih tepatnya dapat dikatakan adanya bentrokan antara dua aliran emasipasi dan gejala situasi yang menyebabkan ketegangan politik (A. P.E. Korver, 1985 : 21).
Kegiatan SI ini bertujuan untuk meningkatkan kedudukan para anggoatanya dengan membentuk took-toko koperasi dan usaha lainnya, seperti sekolah-sekolah dan sebagainya. Selanjutnya juga bertujuan untuk meniadakan keluhan-keluhan dan memperjuangkan perbahan dalam bidang pemerintah, peradilan dan politik keagamaan dan social. Awalnya usaha yang dilakukan dengan mendirikan koperasi konsumen. Pada tahun 1913, SI juga sudah merencanakan suatu proyek yang sangat hebat sampai akhirnya SI dapat berhasil sukses dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

F. Kesimpulan

Negara Indonesia sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, Kekayaan negara Indonseia akan rempah-rempah menjadikan negara Indonesia sebagai incaran bagi negara Eropah untuk datang ke Indonesia. Kedatangannya bngsa colonial itu ke Indonesia bertujuan untu perdagangan dan kristenisasi. Sehingga terjadilah pergumulan antara penduduk muslim Indonesia dengan Kristen Belanda. Pergumulan tersebut ada yang berbentuk perang bersenjata, dan ada juga berbentuk perang inteletual.
Akibat dari pergumulan tersebut mengakibatkan berbagai perubahan bagi masyarakat Indonesia. Dampak perubahan tersebut memang sangat merugikan bangsa Indonesia karena Belanda telah menguras kekayaan alam Indonesia. Namun akibat dari semua itu secara tidak lansung telah mengantarkan bangsa Indonesia kepada kemajuan, baik dalam bidang hukum, pendidkan, dan ekonomi.

Selengkapnya...

Kamis, 26 Mei 2011

Ikhlas Menurut Al-Qur'an : Sebuah Kajian Tematik

Oleh : Drs. Syamsir, M.Ag (Dosen Ulumul Qur'an & Fiqh FIBA)

Islam merupakan sebuah sistem yang universal dan sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan tonggak utama Islam, sekaligus sebagai jawaban universal dan sempurna bagi problema duniawi dan ukhrawi yang meliputi segala masa dan tempat. Namun kesempurnaan ajaran Islam tersebut tidak ada artinya jika pemeluknya hanya menjadikan sebagai formalitas belaka tanpa ada usaha untuk mengimaninya dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajarannya dalam realitas kehidupan.



A. Pendahuluan
Dalam Islam keselarasan antara aspek lahiriyah dengan batiniah merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Mengabaikan salah satunya dapat berakibat pada kurang sempurnanya tindakan seseorang. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an Allah SWT menolak pengakuan beriman orang-orang badui, karena pengakuan mereka itu hanya sekedar ucapan yang tidak disertai dengan ketulusan hati, dan tidak dibuktikan pengaruhnya dalam realitas kehidupan yang berupa amal dan jihad di jalan Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firmannya yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 14 dan 15 yang artinya sebagai berikut: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas dalam al-Qur’an dengan pendekatan metode tafsir tematik (maudhu’i).

B. Makna Ikhlas dalam al-Qur’an
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
Demikianlah beberapa makna ikhlas yang terdapat dalam al-Qur’an. Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada makna ikhlas dalam arti yang keempat (mengesakan).

C. Ikhlas dalam Beragama
Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.

Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Jika kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari—diikuti oleh banyak penyusun hadits lainnya—meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.
Selain itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang, artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)

Selanjutnya bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik. Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid, aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan, terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..
Lawan dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.
Meskipun riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang yang riya’ sebagai berikut:
1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.
2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.
3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.
4. Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada manusia.

Sikap riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan, Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.

Di dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.
Hal yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.
Dari beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah digariskan syari’at islam.



D. Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut:
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.

Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Selain ayat di atas, penjelasan yang serupa juga terdapat dala surat Al Ankabut : 65 dan Yunus : 22. Dalam ayat tersebut diterangka tentang diselamatkannya orang-orang yang ingkar dari amukan badai dan gelombang lautan disebabkan do’a mereka yang penuh keikhlasan. Ketika menafsirkan ayat tersebut (Yunus : 22), al-qurthubi berkomentar, bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah seraya berdo’a kepada-Nya ketika menghadapi kesulitan, dan sesungguhnya orang-orang yang dalam keadaan terjepit (bahaya) akan dikabulkan do’anya sekalipun ia orang kafir, disebabkan keikhlasan mereka kembali kepada Allah.
Di samping beberapa ayat di atas, juga terdapat hadits Rasulullah SAW. Yang menerangkan tentang dikabulkannya do’a orang yang ikhlas. Di antaranya dikisahkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang mengenai tiga orang yang terperangkap dalam sebuah goa yang tertutup oleh sebongkah batu besar akibat longsor. Kemudian ketiga orang itu bertawassul kepada Allah dengan perbuatan yang telah dilakukannya yang benar-benar ditujukan kepada Allah seraya berdo’a : Ya Allah, jika aku melakukan perbuatan ini karena mencari ridha-Mu, maka mudahkanlah kesulitan kami. Maka Allah-pun memudahkan kesulitan mereka, mereka dikeluarkan dari dalam goa dengan selamat.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.

E. Penutup
Sikap ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif pada diri seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya. Mudah – mudahan kajian yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala aktivitas yang diredai Allah.
Penulis menyadari bahwa menafsirkan ayat al_Qur’an bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, apalagi dengan menerapkan metode maudhu’i yang membutuhkan kemampuan yang tinggi, kemauan yang keras , dan dibarengi waktu yang cukup. Mudah-mudahan Allah menilai sajian dalam tulisan sebagai amal yang ikhlas .

Selengkapnya...