Sabtu, 25 Juli 2009

Membangun Otomasi Perpustakaan Berbasis Open Source Software (OSS)

Oleh : Arwendria, S.Sos., M.Si (Dosen Prodi PAD)

Istilah otomasi perpustakaan mulai populer di Indonesia sekitar 1990-an. Walaupun saat ini paradigma tersebut mulai bergeser kearah perpustakaan elektronik (e-library) atau perpustakaan digital, tetapi konsep ini masih tetap “nyaring” didengungkan oleh pemula paham teknologi informasi. Beberapa perpustakaan perguruan tinggi telah lebih dahulu memanfaatkan tenologi ini.

Bahkan telah dimulai semenjak tahun 1990-an. Selain dari kecukupan dana untuk membangun otomasi perpustakaan, perhatian pemerintah (Departemen Pendidikan) terhadap pengembangan otomasi perpustakaan juga relatif lebih besar. “Keberuntungan” ini memang lebih banyak diterima oleh perpustakaan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri. Tercatat beberapa kali perpustakaan perguruan tinggi negeri memperoleh bantuan software otomasi untuk meningkatkan layanan perpustakaan. Hampir sama halnya dengan perguruan tinggi, Perpustakaan Nasional juga beberapa kali menyediakan fasilitas software gratis kepada jaringan perpustakaannya. Bahkan setelah gagal beberapa kali, Perpustakaan Nasional tidak pernah patah arang untuk menyediakan software gratis untuk jaringan perpustakaannya.
Namun seiring berjalannya waktu, pengelola perpustakaan mulai frustasi dalam memanfaatkan sistem otomasi perpustakaan yang telah mereka bangun. Kegalauan ini muncul antara lain akibat dari kegagalan sistem informasi (software), terutama menyangkut purna jual. Dari sinilah muncul stigma bahwa software “gratis” cendrung bermasalah. Konsep gratis disini sebenarnya bukan absolut. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Perpustakaan Nasional membeli software dari suatu vendor, kemudian didistribusikan kepada perpustakaan di bawah jaringannya. Namun, bagaimana dengan perpustakaan lain, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, dan beberapa perpustakaan perguruan tinggi yang tidak memiliki cukup biaya untuk membangun otomasi perpustakaan? Apakah dalam era teknologi informasi ini, mereka masih tetap bertahan dengan sistem tradisional? Saat ini telah terbuka kesempatan bagi perpustakaan yang memiliki keterbatasan dana dalam membangun otomasi perpustakaan, yaitu Open Source Software (OSS). Untuk itu, pada kesempatan ini akan dibahas seputar pemanfaatan OSS untuk perpustakaan.
Apa itu Open Source?
Secara gamblang open source dapat diartikan sebagai free software (bebas mendownload, bebas untuk digunakan, dan bebas untuk dilihat dan dimodifikasi. OSS adalah software yang menyediakan kode sumbernya (source code) dan dapat dimanfaatkan tanpa perlu mengeluarkan biaya. Selain itu, software tersebut dapat didistribusikan lagi tanpa ada diskriminasi. Hampir semua OSS didistribusikan melalui web dan tanpa perlu menandatangani persetujuan lisensi.
Gerakan OSS telah dimulai pada tahun 1980an. Kemudian pada tahun 1998 beridiri organisasi Open Source Initiative (OSI). OSI bertujuan untuk memperoleh dukungan untuk OSS, artinya software tersebut juga menyediakan kode sumber seperti program (binary) yang sudah dapat dijalankan. OSI tidak menyediakan lisensi khusus, tapi mendukung berbagai macam tipe lisensi open source yang ada.
Tujuan OSI adalah untuk merangkul perusahaan berbasis open source, perusahaan tersebut dapat menentukan sendiri bentuk lisensi open source yang mereka inginkan dan lisensi tersebut disahkan oleh OSI. Menurut Bimagets (2009:1) bahwa banyak perusahaan yang ingin me-release source code -nya tapi tidak ingin menggunakan lisensi GPL, mereka menawarkan lisensi sendiri yang telah disetujui oleh OSI.
Software yang memiliki lisensi di bawah lisensi open source atau yang lebih dikenal dengan General Public Licences (GPL) dapat dikembangkan oleh masyarakat pengembang software di seluruh dunia yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan software tersebut dan memperbaiki kegagalan software (bug fixes). Sebagai contoh software Linux (www.linuxfoundation.org), semenjak tahun 2005 telah lebih dari 3700 pengembang yang telah memberikan kontribusinya pada proyek tersebut (Schneider, 2008:1).
OSS tidak sama dengan “public domain” software (milik maysarakat). Hak cipta masih melekat pada software tersebut, dan masyarakat tidak bisa mengklaim bahwa software tersebut tidak memiliki hak cipta (Library Technology Reports, 2008:6). Perlu diingat GPL juga tidak mengatur apapun tentang harga. Meskipun terdengar aneh, namun orang dapat menjual Free Software. Maksudnya ‘free’ adalah kita memiliki kebebasan untuk melakukan segala sesuatu terhadap source code program tersebut, tapi tidak dalam hal ‘free’ harga (hal ini tergantung dari para developer, meskipun developer telah menjual atau bahkan memberikan software GPL, developer juga berkewajiban untuk memberikan source code nya juga) (Bimagets, 2009:1). Terkadang beberapa perusahaan yang menyediakan OSS tidak selalu bebas dari biaya. Biasanya mereka menawarkan layanan tambahan yang mengisyarakatkan pula biaya tambahan.
Menurut Chudnov (2009:22) bahwa free software bukanlah tentang biaya, dan bukan tentang propaganda, dan bukan tentang memangkas bisnis vendor, tetapi ini tentang kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah bebas untuk menggunakan, bebas untuk mempelajari, bebas untuk memodifikasi, dan bebas untuk menyalin (GULA ASIN). Prinsip dasarnya adalah sbb:
1. Bebas menjalan program tersebut untuk tujuan apa saja
2. Bebas mengkaji bagaimana program tersebut bekerja, dan mengadaptasinya sesuai dengan kebutuhan
3. Bebas mendistribusikan salinannya kembali untuk membantu pengguna lainnya
4. Bebas untuk mengembangkan program tersebut dan merilisnya ke publik
Lebih lanjut dapat dilihat pada www.fsf.org/licensing dan http://open source.org/licenses.
Plus minus OSS
Pengembangan software berbasiskan open source selain memberikan beberapa keuntungan, terutama menyakangkut harga (Corrado, 2006:2), tetapi juga memiliki kelemahan. Hariyanto (2001:3) menemukan beberapa permasalahan seputar OSS, antara lain bahwa adakalanya proyek software tidak dapat terlaksana karena semakin banyakanya perbedaan pendapat dalam pengembangan software tersebut. Bahkan tak jarang terjadi konflik. Mereka berdebat tentang hal-hal yang tidak berguna. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan karena perdebatan tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa. Bilamana hal ini telah terjadi dapat mengakibatkan tertundanya proyek yang sedang mereka kerjakan, bahkan tidak tertutup kemungkinan proyek tersebut menjadi gagal. Jika seorang pengembang merasa tidak puas dengan para pengembang lain dalam membuat suatu proyek, maka ia dapat berpisah dan mengeluarkan proyek baru, Oleh karenanya diperlukan seorang pemimpin yang mampu bekerja sama dengan rekan-rekannya yang lain untuk membuat suatu arahan yang jelas tentang proyek.
Namun penunjukan seorang pemimpin terkadang juga mengandung resiko. Proyek-proyek open source biasanya dimulai oleh satu atau beberapa orang, sehingga ketergantungan menjadi sangat tinggi. Dengan berlalunya waktu, para pemimpin tersebut mungkin menjadi bosan, burn-out, dipekerjakan oleh organisasi lain. Akibatnya proyek-proyek yang mereka tangani dapat menjadi tertunda atau bahkan mungkin hilang. Sebagai contoh dua orang pembuat aplikasi GIMP, aplikasi open source untuk image editing seperti Adobe Photoshop, setelah mereka lulus dari Universitas California di Berkeley dan bekerja di organisasi lain, maka aplikasi GIMP yang mereka tulis sewaktu masih menjadi mahasiswa tertunda selama dua tahun pada saat versi 0.9, sebelum akhirnya diteruskan oleh para pengembang baru lain.
Lebih lanjut Heryanto mengatakan bahwa umumnya software-software yang dikembangkan disebabkan karena menarik minat pengembang baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya kecendrungan model open source yang dimulai oleh seorang individu maka pengembangannya akan lebih bersifat developer oriented, yang berarti software yang lebih kompleks, namun belum tentu lebih bermanfaat. Pengembang akan membuat software-software yang terlihat menyenangkan, seperti membuat themes untuk GNOME, KDE maupun editor, dibandingkan dengan membuat aplikasi-aplikasi yang dianggap membosankan seperti Office Suites. Tanpa adanya insentif lain maka akan banyak proyek mati karena pengembang awal telah kehilangan minat dan tidak ada yang meneruskan.
Sama halnya dengan pendapat di atas, Mustafa (2009:1) juga membandingkan antara kekuatan dan kelemahan OSS, seperti terlihat pada tabel berikut ini.
Kekuatan FOSS Kelemahan FOSS
Banyak tenaga programmer yang terlibat mengerjakannya sehingga hasilnya terjamin. Masalah yang timbul berkaitan dengan intelectual property atau masalah pelaggaran hak cipta
Adanya peer review meningkatkan kualitas software Para hacker justru akan memanfaatkan keterbukaan kode program dalam melakukan hal-hal yang dapat merugikan pengguna aplikasi
Masa depan software lebih terjamin. Tidak ada ketakutan akan kehilangan programmer yang akan melanjutkan pengembangan dan pemeliharaan program Sejumlah bukti menunjukkan model pengembangan free open source software justru membutuhkan dana yang besar dan waktu yang lama dalam implementasinya
Kesalahan (bugs) lebih cepat ditemukan Tidak banyak SDM yang dapat memanfaatkan program secara optimal
Terbentuknya banyak pilihan dan “rasa”. Fleksibilitas tinggi karena banyak pilihan Pengalaman menunjukkan bahwa para pengembang yang mengakses kode program cenderung hanya mengubahnya untuk kepentingan sendiri dari pada menganalisis kelemahan dan memperbaikinya untuk kepentingan orang banyak
Tidak harus mengulangi pekerjaan yang sudah dilakukan programmer lain (prinsip reuse) Beberapa jenis dan versi hardware sering tidak dikenali
Relatif bebas dari gangguan virus yang sering menjengkelkan Tidak ada perorangan atau lembaga yang bertang-gungjawab khusus dalam memelihara sistem
Tabel 1. Keunggulan dan kelemahan OSS
Rahardjo (2004:3) mencoba membandingkan pro dan kontra penggunaan software dengan kode tertutup dan kode terbuka. Berikut ini akan dipaparkan hasil perbandingan tersebut.
Pro Kontra
Langsung pakai, tidak perlu pusing mengembangkan lagi Mahal
Adanya support dari pembuat software. Institusi tidak memiliki SDM untuk melakukan support. Ketergantungan kepada pembuat software. Terima apa adanya dari vendor. Bagaimana jika mereka gulung tikar? Tidak dapat memperbaiki sendiri jika ada masalah
Hanya ada satu produk yang perlu dikuasai. GUI konsisten. Training menjadi lebih sederhana. Monoculture (kultur tunggal) berbahaya untuk keamanan. Jika ada masalah (misal virus) maka semua kena dan menunggu solusi dari vendor. (Bagaimana kalau vendor lambat memberikan solusi?)
Dikarenakan tidak dapat dikembangkan sendiri, tidak ada jaminan bahwa sistem tidak dimasuki kuda troya (trojan horse) sehingga kurang disukai untuk sistem yang bersifat rahasia.
Tabel 2. Penggunaan software closed source
Pro Kontra
Bisa diubah, dimodifikasi, diperbaiki sendiri. Feature yang dibutuhkan bisa ditambahkan sendiri bila pengembang tidak bersedia. Kadang-kadang tidak bisa langsung dipakai dan harus “dioprek” dulu. Membutuhkan SDM yang bisa melakukan utak-atik.
Umumnya murah atau gratis Kadang-kadang tidak memiliki support yang dapat bertanggung jawab. Meski demikian ada komunitas yang dapat dimintai bantuan.
Cream of the crop. Software merupakan yang terbaik di bidangnya. Banyaknya software yang harus dipelajari yang kadang-kadang berbeda-beda cara penggunaannya. (GUI tidak konsisten.) Training menjadi merepotkan. Interoperability juga bisa dipertanyakan.
Jika software tidak dioprek, untuk apa menggunakan open source?
Tabel 3. Penggunaan software open source


Terlepas dari kelemahan, pro dan kontra OSS yang perlu disikapi adalah bahwa OSS merupakan pilihan yang bijak bagi perpustakaan yang memiliki keterbatasan biaya.
Pemanfaatan OSS untuk Sistem Informasi Perpustakaan
Ketika suatu perpustakaan berencana membangun otomasi perpustakaan, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa otomasi bukanlah masalah besar. Secara gamblang Hakim (2008:14) berpendapat bahwa apabila pengelola perpustakaan sekolah atau pimpinan sekolah memiliki pengetahuan tentang komputerisasi perpustakaan, maka mereka akan menyadari bahwa komputerisasi perpustakaan bukanlah hal yang sulit dan mahal.
Hanya dengan sebuah komputer, perpustakaan sudah dapat membangun otomasi perpustakaan. Selain bertindak sebagai alat untuk menginput data, dan alat telusur (OPAC), komputer tersebut juga berfungsi sebagai server. Namun sebaiknya, perpustakaan minimal memiliki dua unit komputer.
Selanjutnya adalah ketersediaan software aplikasi untuk otomasi perpustakaan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini telah banyak beredar Sistem Informasi Perpustakaan yang bebas pakai. Perangkat lunak yang dapat digunakan gratis untuk membangun sistem informasi perpustakaan, antara lain Athenaeum Light, OpenBiblio, PhpMyLibrary, Otomigen-X, X-igloo, Sanayan, dan lain-lain.
Namun sebelum memulai memanfaatkan OSS tersebut, yang perlu dipertimbangkan adalah apakah perpustakaan hanya akan merencanakan untuk otomasi saja atau direncanakan untuk perpustakaan elektronik atau digital? Dalam bahasa sederhana apakah berbasis web sehingga pemakai dapat mengakses koleksi perpustakaan via internet atau tidak?
Athenaeum yang dirilis oleh Light Sumware Consulting, New Zealand (dimodifikasi oleh Didik Witono) adalah pilihan yang baik apabila suatu perpustakaan hanya berencana untuk otomasi saja. Tercatat beberapa perpustakaan telah memanfaatkan software ini, seperti Perpustakaan Universitas Paramadina, Perpustakaan LSM dan Pribadi, Perpustakaan Umum Kebumen, dan beberapa perpustakaan sekolah.
Fitur yang ditawarkan cukup komplet untuk ukuran software yang gratis, mulai dari fasilitas input data bibliografi, penelusuran, sampai pada peminjaman, pengembalian yang didukung oleh barcode, dan laporan. Selain itu, software ini juga menyediakan fasilitas administrasi yang berfungsi untuk merubah beberapa setting seperti memasukkan data organisasi, memasukkan nama administrator, merubah setting athenaeum menjadi multi-user, menetapkan jumlah maksimal buku yang dapat dipinjam, membuat batasan masa atau waktu peminjam dan juga merubah default kertas yang akan dicetak.
Athenaeum Light juga menyediakan fasilitas untuk membuat barcode yang berfungsi untuk memudahkan pengelola perpustakaan/taman bacaan dalam melakukan transaksi peminjaman, pengembalian dan juga perpanjangan buku. Untuk membuat barcode yang diperlukan adalah meng-install font barcode terlebih dahulu ke komputer.
Saat ini, beberapa perpustakaan sudah mulai mengembangkan perpustakaannya ke arah perpustakaan elektronik berbasis web. Ide dasarnya adalah untuk memudahkan pemakai memanfaatkan jasa perputakaan dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak saja dimanjakan dengan kemudahan akses, tetapi juga dapat membaca, mendengarkan, menonton, bahkan mengunduh media tertentu secara online. Software OtomigenX, OpenBiblio, dan Senayan adalah beberapa contoh OSS berbasis web.
Untuk menjalankan software tersebut, terlebih dahulu harus menginstal web server, seperti apache (www.apache.org), atau apachefriends, seperti XAMPP, dan WAMP yang dapat diunduh pada http://www.sourceforge.net/. Berikut ini contoh gambar web server yang menggunakan XAMPP.

Web server digunakan untuk menguji atau menjalan software berbasis web secara lokal (seolah-olah sedang browsing di internet). Dengan demikian, software tersebut sudah dapat dijalan melalui jaringan lokal (LAN) atau intranet. Untuk menguji apakah web server sudah berjalan dengan benar atau tidak, dapat dilakukan dengan membuka browser (firefox, Internet explorer, opera, dll) dengan mengetikan http://localhost/phpmyadmin/. Apabila muncul seperti gambar di bawah ini, maka web server tersebut sudah dapat menjalankan program aplikasi yang akan digunakan.

Gambar 3. Tampilan phpMyadmin
Langkah selanjutnya adalah menginstal program aplikasinya. Untuk itu, memang disarankan dilakukan oleh mereka yang memahami dasar-dasar pemograman, terutama bahasa program yang digunakan oleh software tersebut, misalnya PHP. Beberapa software terkadang tidak menyediakan fasilitas installer. Pengguna harus mengedit beberapa file utama dari program tersebut secara manual. Biasanya file-file utama yang harus diedit tersebut adalah config.php, db.php, dan settings.php.
Setelah itu, membuat database pada kolom “ciptakan database baru.” Kemudian salin database software yang akan digunakan tersebut (biasanya berekstensi *.txt yang dapat dibaca dengan notepad) ke toolbar SQL. Secara otomatis tabel-tabel akan terbentuk dan siap digunakan. Apabila, setingan telah diubah dan database sudah jalan, maka otomasi perpustakaan sudah dapat dijalankan. Sebelum itu, sangat dianjurkan membaca manual atau pedoman penggunaan software tersebut. Berikut ini akan diperlihatkan tampilan depan dan ruang administrasi dari software OpenBiblio, OtomigenX, dan Senayan.

Gambar 4. Tampilan OPAC OtomigenX

Gambar 5. Tampilan Ruang Administrator OtomigenX
OpenBiblio merupakan salah satu Library Software yang 'free' dengan lisensi GNU/GPL. Walaupun ”free‘, OpenBiblio cukup handal dengan modul yang lengkap seperti modul penelusuran (Online Public Access Catalog = OPAC), sirkulasi, cataloging, reports dan admin, mendukung LAN dan juga nomor barcode. Dan yang tak kalah penting adalah struktur database OpenBiblio sesuai dengan standar perpustakaan yang dikenal dengan format MARC (Machine Readable Catalog). Software opensource (perangkat lunak bebas) ini dikembangkan oleh seorang programmer bernama Dave Stevens. OpenBiblio dijalankan bersamaan dengan software - software lain, yang juga opensource, yaitu Apache - MySQL - Php (AMP Applications).

Gambar 6. Tampilan OPAC OpenBiblio

Gambar 7. Tampilan Ruang Administrator OpenBiblio
Senayan adalah OSS yang sedang marak diperbincangkan oleh orang-orang di dunia perpustakaan karena perangkat lunak ini dirasa memiliki fasilitas paling komplet di antara aplikasi berbasis free open source yang pernah ada. Software ini dikembangkan dari software Alice yang digunakan oleh Perpustakaan British Council.
Senayan merupakan aplikasi berbasis web dengan pertimbangan cross-platform. Sepenuhnya dikembangkan menggunakan Software Open Source yaitu: PHP Web Scripting Language, (www.php.net) dan MySQL Database Server (www.mysql.com). Untuk meningkatkan interaktitas agar bisa tampil seperti aplikasi desktop, juga digunakan teknologi AJAX (Asynchronous JavaScript and XML). Senayan juga menggunakan Software Open Source untuk menambah fittur seperti PhpThumb dan Simbio (development platform yang dikembangkan dari proyek Igloo). Karena pengembangan senayan dibiayai dengan dana dari APBN maka sudah sepantasnya semua rakyat Indonesia bisa memperolehnya secara bebas. Untuk itu Senayan dilisensikan dibawah GPLv3 yang menjamin kebebasan dalam mendapatkan, memodi_kasi dan mendistribusikan kembali (rights to use, study, copy, modify, and redistribute computer programs).


Simpulan
Dengan segala keunggulan dan kelemahan OSS, para pengelola perpustakaan patut bersyukur bahwa sekarang telah banyak hadir software “bebas” yang dapat dengan mudah diperoleh melalui internet. Perlu disadari bahwa OSS dikembangkan bukan untuk individu, melainkan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan software perpustakaan harus mendorong dan pro aktif mengembangkan OSS ini. Dengan harapan bahwa perpustakaan berperan aktif dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
*) Terima kasih kepada para pengembang OSS Perpustakaan, terutama kepada Pengembang OSS Senayan.

Selengkapnya...

The Bombers and Suicide Theory

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

"Jakarta meledak lagi", demikian penggalan nyanyian Kaka "Slank" yang menjadi musik pengiring Breaking News Metro TV. J.W. Marriot dan Ritz Carlton pun menjadi pusat perhatian dunia. Jum'at, pukul 07.46 dan 07.48 menjadi waktu "keramat" yang membuat Indonesia kembali kehilangan kepercayaan dunia. Terorisme Thopian (pengikut Noordin M. Thop), menjadi kesimpulan awal dan terkuat dalam menyimpulkan subjek pelaku dibalik peristiwa ini.

Walaupun pernyataan Presiden SBY dan kemudian diperkuat oleh "ompung" Syamsir Siregar (Kepala Badan Intelijen Negara) yang tidak menunjuk kelompok tertentu (baik agama ataupun partai politik), namun nuansa "Islam garis keras" sebagai subjek pelaku sudah menjadi opini yang terbentuk, mulai dari pendapat para pengamat yang "samar-samar" maupun diskusi "kelas" kedai kopi di pelosok negeri. Genderang perang dengan mantra "persumpahan SBY" hari Jum'at lalu, nampaknya memberikan kepada kita sebuah kenyataan bahwa peristiwa tersebut sungguh sangat menyakitkan bagi kita. Proses membangun kepercayaan internasional akhirnya terkesan hampa-tak bermakna.
Jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) ini menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu :


1. Keputusasaan dan Kehilangan Harapan (Hopeless).

Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia.
Menurut White, sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid.
Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror (konsep ini bertendensi negatif : pen.) yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs.

2. Cinta dan Investasi

Demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya.
Surat-Surat Cinta DR. Azahari kepada istrinya terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Devi Saripati (Tamil), Hanadia (Palestina), Ayip Firdaus (Bom Bali II) dan Misno (Bom Bali II). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".


3. Faktor Kepahlawanan (heroisme) dan Inspirasi.

Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya).
Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Pada malam sebelum ia ditembak mati, Jose Rizal menulis puisi yang salah satu bait dari puisinya tersebut adalah : "Kematianku untuk Tanah Airku, Kematianku untuk Bangsaku". Kalimat ini kemudian menjadi inspirasi luar biasa bagi perlawanan bangsa Filiphina pasca kematian Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia : "kematianku bukanlah sebuah kekakalahan dan ketakutanku. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang". Penggalan tulisan koran diatas tentang Saeed Hotari memperkuat asumsi ini : "begitu idealnya Saeed Hotari dimata anak-anak tetangganya bahkan mereka bercita-cita untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Hotari, kelak". Suatu ketika Lembaga Survey Indonesia (LSI) pernah melakukan penelitian tentang Islam Politik dan Politik Islam. Ada salah satu item pertanyaan yang dikhususkan kepada ummat Islam Indonesia tentang Radikalisme Islam di Indonesia yaitu : "bagaimana pendapat saudara tentang tindakan yang dilakukan oleh Amrozi cs.?". Jawabannya : 14,17 % menyetujui dan dianggap sebagai sumber inspirasi. Woow, menakutkan.



4. Kebanggaan Individual-Komunal.

Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal.
Salah seorang wartawan perang CNN terkenal, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Bagi kultur dan kondisi kontekstual-temporal Iran pada waktu itu, ini sangat membanggakan. Bagaimana dengan fenomena di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Menurut laporan dari www.detik.com, prosesi penguburan DR. Azahari di Melaka diikuti oleh ratusan pelayat. Memang banyak yang menyesalkan tindakan DR. Fisika ini tapi tidak menghujat.


5. Eskapisme

Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam konteks ini, mungkin tidak begitu banyak pelaku bom bunuh diri melakukan tindakan bom bunuh diri karena faktor ini. Tapi kasus DR. Azhari yang kemana-mana selalu membawa bom dalam rompinya bisa dipahami. Sebelumnya, DR. Azahari telah dianggap sebagai Target Operasi Terdepan Pemerintah Indonesia (Bukan lagi Polisi, tapi sudah Pemerintah dan Negara Indonesia). Mungkin menyadari hal ini, daripada ditangkap hidup-hidup -- dan hal ini hampir dilakukan oleh Polisi Indonesia, tapi karena pertimbangan bahwa DR. Azahari diasumsikan membawa bom dalam rompinya sedangkan pada waktu penggerebekan pertama DR. Azahari berada ditengah-tengah masyarakat dan dikhawatirkan banyak korban yang akan tewas apabila DR. Azahari meledakkan dirinya -- DR. Azahari lebih merasa "aman" memakai rompi yang terdapat di dalamnya bom.

6. Kegilaan

Ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan seperti fenomena David Koresh di Amerika Serikat dan beberapa peristiwa tragis lainnya yang berakhir dengan ritual bunuh diri para pengikutnya. Dalam kasus Islam di Asia Tenggara, peristiwa dalam skala yang lebih rendah bisa terlihat dari kasus Madi di Sulawesi dan Ayah Pin di Malaysia baru-baru ini.

7. Fanatisme

Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meuntut para penganutnya untuk mengorbankan diri. Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif (19-11-2005) dalam wawancara eksklusif di Liputan Petang SCTV mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Sayangnya, demikian kata Maarif, pelaku bom bunuh diri tersebut mayoritas adalah mereka yang memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang tidak begitu mapan, sehingga mereka mudah direcoki dengan pemahaman-pemahaman yang salah dan pada akhirnya menimbulkan rasa fanatisme yang tinggi dan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut merupakan sesuatu yang benar dan sesuatu yang harus dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.




8. Ketenangan atau Ketenteraman

Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi (ini bisa dipahami ketika kita melihat kasus Devi Saravati diatas). Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.



Sebuah Epilog : Bagaimana Antisipasinya ?

Dalam makalah ini, saya akan mengemukakan beberapa pendapat dari beberapa ilmuan dan tokoh Islam Indonesia bagaimana caranya mengantisipasi fenomena terorisme, bahkan bagaimana mengantisipasi fenomena puncak dari terorisme tersebut : Bom Bunuh Diri. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?


Selengkapnya...