Oleh : Dra. Hetti W. Triana, M.Pd (Dosen Jur. BSA)
Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dikontemplasikan, dan apa yang telah dirasakan orang mengenai kehidupan. Pada hakekatnya, sastra adalah pengungkapan kehidupan lewat bahasa. Pengungkapan itu akan terlihat melalui daya kreasi dan daya imajinasi pengarang, tetapi daya-daya ini jualah yang dapat menjadikan sebuah karya sastra yang satu berbeda dengan karya sastra lainnya.
A. Pendahuluan
Tulisan ini mencoba memobilisasi pikiran dalam melihat teks sastra yang diasumsikan sebagai pembaharu. Karenanya, penulis memilih novel Saman karya Ayu Utami sebagai teks yang layak untuk dikaji secara rinci.
Alasan pemilihan teks itu didukung oleh gagasan dan pandangan para pakar sastra dan sejumlah sastrawan terkenal yang termanifestasikan melalui penganugerahan pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 yang lalu. Penganugerahan itu layak, menurut hemat penulis, karena novel Saman mampu menggiring pembaca kepada dunia yang seolah-olah merupakan realitas yang sesungguhnya.
Untuk mengkaji novel sebagai sebuah karya sastra yang bersifat fiktif, dibutuhkan pisau-pisau analisis dari berbagai dimensi. Pisau-pisau analisis itu itu tidak hanya berupa teori-teori, gagasan-gagasan, dan argumen-argumen para pakar sastra, tetapi dapat juga berupa pengalaman dan pengetahuan sastra penganalisis itu sendiri.
Apapun pisau yang digunakan, penganalisan atau pengkajian teks selalu berkaitan dengan unsur-unsur yang membangun terciptanya sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang terdapat dalm karya sastra itu sendiri. Maksudnya, unsur-unsur itu secara eksplisit terdapat dalam sebuah karya sastra, seperti tema, alur, latar, penokohan, dsb. Unsur-unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang terdapat di luar karya sastra tetapi sangat berpengaruh dan berpotensi dalam menentukan warna dan isi sebuah karya sastra. Unsur ini sangat berkaitan dengan latar belakang kehidupan pengarang serta latar waktu dan sosiokultural penciptaan sebuah karya sastra ( Sukada, 1993: 48).
Kedua unsur itu, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, akan menjadikan karya sastra bermakna. Secara umum, ada tiga makna karya sastra, yaitu makna objektif, makna ekspresif, dan makna dokumenter/historis ( Taher, 1999).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memahami dan menganalisis novel Saman dengan mencari ketiga makna tersebut untuk melihat tingkat kreativitas Ayu Utami dalam Saman. Agar ketiga makna itu dapat diperoleh, maka Saman tidak hanya dilihat sebagai sistem linguistik tetapi juga dilihat sebagai sistem sastra (Fokkema, 1998: 54).
Untuk keterarahan dan ketajaman analisis, penulis menggunakan beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar sastra dan budaya sebagai pisau analisis, seperti: A. Teew, Mursal Esten, Kuntowijoyo, Harris Efendi Taher, dan sejumlah pakar sastra lainnya untuk melihat tingkat kreativitas Ayu Utami dalam mengemas realitas ke dalam dunia fiksi. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami dan menghayati amanat dan makna yang tersimpan di balik Saman itu.
B. Sinopsis Novel Saman
Central Park, 28 Mei 1996
Di taman itu saya (Laila) sedang menunggu Sihar untuk menunjukkan beberapa sketsa kerinduan yang dibuatnya. Laila ingat akan pertemuan pertamanya pada tanggal 22 April tahun lalu dengan laki-laki yang dicintainya itu. Laila menikmati kenangannya itu dengan perandaian-perandaian yang membangun kebahagiaan semu.
Laut Cina Selatan, Februari 1993
Laila sampai di tubir pangkalan dan bertemu dengan Rasano ( Cano), tuan rumah perusahaan Texcoil ( perusahaan minyak) di kepulauan Anambas yang bersifat angkuh. Laila datang bersama Toni. Laila adalah seorang fotografer, sedangkan Toni merupakan seorang penulis. Keduanya merupakan tamu.
Rasano memperkenalkan orang-orang servis kepada kedua tamunya. Yang pertama, Sihar Situmorang, insinyur analisis kandungan minyak, orang yang membuat Laila tertarik karena ketidakacuhannya dan posturnya yang liat. Yang kedua, Hasyim Ali, operator mesin, laki-laki yang bermata nakal dan bersikap kurang terpelajar.
Tiba-tiba terdengar dentuman. Anjungan bergoncang hebat. Sebuah kecelakaan terjadi akibat kecerobohan Cano. Tiga orang pekerja tewas. Satu diantara pekerja yang tewas itu ialah Hasyim Ali (teman akrab Sihar) yang berasal dari Sumatera Selatan.Sihar sangat marah kepada Cano.
Laila dan Sihar berangkat menuju Palembang untuk menemui orang tua Hasyim. Atas nasehat Laila, orang tua Hasyim menyetujui penuntutan Rasano dan perusahaan minyak ke pengadilan. Sidang itu akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan bantuan Yasmin, seorang pengacara, dan Saman, seorang aktivis LSM. Keduanya merupakan teman lama Laila.
1983. Dia Belum Memakai Nama itu. Saman
Sehabis misa, Athanasius Wisanggeni dipanggil Pater Wissanggeni atau Romo Wis. Ia adalah salah seorang pastor dari tiga pastor baru lainnya. Romo Wis mengungkapkan harapannya kepada pastor pertapa, Romo Daru, untuk dapat ditempatkan di Prabumulih.
Prabumulih 1962
Wisanggeni adalah anak satu-satunya yang berhasil lahir dari rahim ibunya dan hidup. Ibunya yang masih raden ayu adalah sosok yang tak selalu bisa dijelaskan oleh akal. Bapaknya, Sudoyo, tak punya darah ningrat. Ia menjadi pegawai Bank Rakyat Indonesia di Yogyakarta sejak masih kuliah di UGM. Di sinilah Wisanggeni dilahirkan.
Saat Wisanggeni berusia empat tahun, bapaknya dipindahkan ke Prabumulih, sebuah kota minyak di tengah Sumatera Selatan. Bapaknya menjadi kepala cabang. Mereka menempati lantai atas rumah kayu yang cukup besar di ujung jalan Kerinci.
Banyak peristiwa aneh yang terjadi pada ibunya selama tinggal di sana. Ibunya memiliki kehidupan ganda, kadang-kadang seolah-olah hidup di dunia gaib dan kadang-kadang hidup dalam dunia nyata. Peristiwa-peristiwa aneh itu itu muncul ketika ibu Wis hamil.
Suatu hari, tatkala ibu Wis pulang, entah dari mana, wanita itu tidak lagi mengandung. Pak Sudoyo memeriksakan istrinya ke klinik pertamina, dan diperoleh keterangan tidak ada bayi dalam rahim dan tidak ada pendarahan. Hal itu juga terjadi lagi ketika, empat bulan berikutnya, ibu hamil lagi. Namun, tengah malam Wis terbangun karena mendengar orok menangis, lalu ibunya menyapa bayinya yang lapar. Bed besi berderit ketika ibu beranjak untuk menyusui. Ibu meninabobokkan dengan suara lembut: lela lela ledhung….
Tiga tahun kemudian, ibu berhasil melahirkan seorang bayi perempuan secara normal. Namun tiga setelah itu, misteri itu terjadi lagi. Bayi itu meninggal, tetapi Wis sering mendengarkan tangisnya.
Ketika Wis remaja, bapaknya dipindahkan ke Jakarta. Wis belajar Filsafat di Driyarkara dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Kemudian, Wis masuk seminari dan dididik untuk menjadi seorang pastor.
1984. Wisanggeni sudah berusia 26 tahun. Uskup menugaskannya sebagai pastor paroki Parid, yang melayani kota kecil Prabumulih dan Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Di kota inilah, Wis bertemu dengan Upi, seorang gadis yang gila dan bisu. Wis banyak terlibat dalam menolong Upi, keluarganya, dan orang-orang kampung transmigran Sei Kumbang Lubuk Rantau, yang rata-rata hidupnya di bawah kemiskinan. Mereka hidup dengan menyadap pohon karet.
1990. Sesuatu terjadi pada Upi.
Hampir enam tahun sudah Romo Wis bergaul dengan penduduk di sana, namun ia tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah pastor. Romo Wis sudah terlalu jauh terlibat dengan kehidupan mereka. Suatu ketika terjadilah sebuah peristiwa yang mengerikan di desa itu. Orang-orang membakar perkampungan tersebut, dan memperkosa wanita-wanitanya karena tidak mau mengubah kebun karet mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Banyak penduduk yang ditangkap dan disiksa. Romo Wis juga ditangkap, diinterogasi, disiksa, dan dituduh sebagai provokator.
Akhirnya, Romo Wis diselamatkan oleh kakak Upi, Anson, dan dirawat di suatu tempat yang sangat dirahasiakan keberadaannya, baik oleh kalangan suster dan dokter maupun Bapa Uskup, Peter Westernberg . Beberapa hari kemudian, Wis dibawa ke suatu tempat yang hanya diketahui lima orang suster dan dokter. Romo Wis dirawat di sana lebih kurang tiga bulan.Setelah sembuh dari sakitnya itulah, Romo Wis mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan dua tahun kemudian. Ia memilih nama Saman.
New York, 28 Mei 1996
Shakuntala, teman lama Laila yang tinggal di New York. Ayah dan kakak perempuannya menyebutnya sundal karena ia telah tidur dengan banyak laki-laki dan perempuan walau tidak memungut bayaran.
Shakuntala melihat Laila dalam keadaan kecewa, sedih, dan emosional karena Sihar, kekasih yang amat dicintainya, tidak juga muncul di taman itu.
1975. Shakuntala masih remaja kecil dan disekolahkan ayahnya di sebuah sekolah yang dirasa asing oleh Shakuntala. Di sinilah ia bertemu Laila.
Shakuntala menceritakan bahwa ketika umurnya sembilan tahun , ia tidak perawan lagi. Orang-orang tidak tahu karena buah dadanya belum tumbuh. Ada sesuatu yang ia rahasiakan kepada orangtuanya. Ia selalu sembunyi-sembunyi untuk menemui raksasa di dalam hutan.
Shakuntala adalah seorang penari. Ia memperoleh besiswa dari Asian Cultural Centre untuk belajar tari selama dua tahun di New York. Ia tinggal di sebuah apartemen di kawasan Chelsea, di sebuah gang yang penuh grafiti. Ia merasa amat betah tinggal di New York. Orang-orang di sini bersikap formal menyapa Shakuntala dengan Miss Tala, dan yang akrab menyapanya dengan Shakun.
Berbeda dengan Shakuntala, Laila tidak bahagia di New York. Laila sangat kecewa karena laki-laki yang ditunggunya di Central Park tidak juga memberi isyarat. Padahal Laila sudah melepas proyek-proyeknya di Jakarta dan menguras sebagian tabungannya.
Episode berikutnya, Shakuntala menceritakan keakrabannya sejak kelas enam SD. Mereka satu komplotan empat sekawan (Shakuntala, Laila, Yasmin, dan Cok). Mereka menghabiskan masa remajanya bersama-sama sampai mereka dewasa dan punya profesi yang berbeda-beda, Laila seorang fotografer, Shakuntala penari, Yasmin pengacara, dan Cok pengusaha hotel. Sekarang usia mereka sudah tiga puluh tahun.
Pada episode terakhir, novel ini lebih banyak berisikan komunikasi antara Saman dengan Yasmin. Saman telah keluar dari Indonesia dengan bantuan Yasmin dan Cok yang kemudian menetap di New York dan bekerja untuk sebuah LSM "Human Rights watch". Komunikasi antara Yasmin yang tinggal di Jakarta dengan Saman yang tinggal di New York terjadi melalui Elektronik Mail (e-mail).
C. Analisis Novel Saman
Teew (1991:12-26) mengatakan bahwa membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah hal yang mudah. Membaca merupakan aktivitas pemberian makna pada sebuah teks sastra tertentu. Oleh karena itu, proses membaca merupakan proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan bervariasi. Ada beberapa sistem kode yang harus dikuasai oleh seorang pembaca yang mau memberikan makna sebuah karya sastra. Kode-kode itu ialah kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
Pernyatan Teew di atas sejalan dengan pendapat Fokkema dan Kunne (1998:54-56) yang menyatakan bahwa pembaca teks sastra harus mengetahui kode sastra, di samping mengetahui kode bahasa yang digunakan untuk menulis teks tersebut. Lebih jauh lagi , dijelaskan bahwa membaca teks sastra identik dengan menginterpretasi teks sastra untuk mencari makna , yakni menerjemahkan informasi dari kode yang satu ke kode yang lainnya dan menghubungkannya dengan kode budaya.
Makna sebuah teks sastra dapat dianalisis dan dipandang dari berbagai sisi. Akan tetapi, secara umum sebuah teks sastra memiliki tiga tingkatan makna, yaitu: makna objektif, makna ekspresif, dan makna dokumenter. Makna objektif yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri. Makna Ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar belakang pengarangnya, sedangkan makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaan ( Mannheim dalam Kleden , 1997: 125-126).
1. Makna Objektif
Seperti yang dijelaskan pada uraian sebelumnya, makna objektif berupa hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri. Maksudnya, makna ini dibangun oleh unsur-unsur yang ada di dalam sebuah karya sastra sehingga dapat diketahui bahwa karya itu berhasil atau gagal menyampaikan pesan yang hendak disampaikannya.
Sebuah karya satra yang utuh akan memiliki beberapa unsur, yaitu tema atau amanat, latar, alur, tokoh, dan gaya bahasa. Kelima unsur itu saling berkaitan dan akan memberikan makna karya sastra secara komprehensif dan holistik. Maksudnya, peran sebuah unsur dalam sebuah karya sastra akan didukung oleh peran unsur lainnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memberikan sistematika yang bersifat vertikal terhadap kelima unsur tersebut. Akan tetapi, unsur-unsur itu akan terstruktur secara horizontal dalam menciptakan makna yang utuh.
Setelah membaca novel Saman, penulis berfikir dan berpendapat bahwa kreativitas Ayu Utami lebih terlihat pada unsur latar novel Saman. Maksudnya, Latar yang dihadirkan Ayu mampu mengangkat ide cerita dan mengemas tema novel Saman menjadi utuh. Latar juga yang mampu mewujudkan konflik-konflik itu sistematis dan hidup dalam kondisi yang seolah-olah alami. Latarlah yang menjadikan Saman berbeda dari novel lainnya. Latar yang membuat Saman seolah-olah menjadikan dunia fiktif menjadi dunia ilmiah dan dunia yang sesungguhnya.
Banyak definisi latar yang dikemukakan oleh pakar atau ahli sastra. Walaupun dirumuskan secara berbeda, hakekatnya sama. Seperti yang dijelaskan oleh Esten( 1989: 88 ), latar adalah tempat penceritaan secara umum dan waktu di mana peristiwa itu terjadi.
Menurut Sudjiman (1992: 44 - 46), latar adalah keseluruhan keterangan, petunjuk, dan penjelasan tentang tempat, waktu, dan suasana dari setting sebuah peristiwa sastra dihadirkan. Lebih lanjut, Sudjiman membagi latar itu menjadi latar fisik dan latar sosial. Latar fisik mengacu kepada latar daerah/ tempat, latar bangunan, dan latar waktu peristiwa itu dilukiskan. Latar sosial merujuk kepada penggambaran keadaan kelompok sosial, sikap, adat, kebiasaan, cara hidup dan pola pikir masyarakat dari realitas sastra yang diceritakan. Baik latar fisik maupun latar sosial, keduanya berfungsi sebagai pemberi informasi tentang situasi; sebagai proyeksi keadaan bathin para tokoh, dan menjadi metafor dari kondisi emosional dan spritual tokoh.
Berangkat dari batasan latar di atas, maka dapat diidentifikasi latar novel Saman yang dilukiskan oleh Ayu Utami itu sebagai berikut.
• Latar daerah yang menjadi setting peristiwa-peristiwa dalam novel Saman itu ialah: New York, Prabumulih, Jakarta, Laut Cina Selatan, Texas, Lubukrantau, Sei Kumbang, Muntilan, Odessa, Palembang, Yogyakarta, Gunung Sitoli, Pulau Samosir, Sibolga, Mentok, Biliton, Pulau Matak, Kepulauan Anambas, dll. Semua latar daerah itu benar-benar ada di dalam peta geografis.
• Latar tempat/bangunan yang ditampilkan Ayu Utami dalam novel Saman ialah: taman/Central Park, gereja, perkebunan, hutan, rumah tempat tinggal, rumah-rumah trasmigrans, kantor BRI, hotel, apartemen, klinik, pengadilan, bandara pulau, rumah produk si kecil, rig penggalian minyak, dll.
• Latar waktu dieksplisitkan dengan menggunakan penanggalan (menampilkan tahun-tahun), pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dsb.
• Latar sosial mengemukakan peristiwa kehidupan yang sangat primitif sampai kepada kehidupan yang kosmopolit, kesunyian desa perkebunan sampai kepada hiruk-pikuknya suasana kota metropolitan, dll.
Meskipun novel ini ditampilkan pada berbagai latar, peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita lebih bayak memilih setting di tiga kota, yakni New York, Prabumulih, dan Jakarta. Ketiga kota itu memberikan simbol-simbol yang signifikan dengan konflik yang dialami tokoh, di samping memiliki simbol-simbol yang memperlihatkan bentuk kehidupan sosial masyarakatnya.
a. Latar New York
Ayu Utami memilih kota New York sebagai latar utama penceritaan peristiwa dalam novel Saman. New York merupakan kota terbesar di Amerika yang dihuni oleh multietnis. Pemilihan kota New York, sebagai latar utama tersebut, sangat mendukung tema pokok cerita, yaitu seks, politik, dan agama. Hal ini disebabkan oleh kota New York tidak hanya memberikan gambaran kota yang sangat besar, tetapi lebih melambangkan suatu kebebasan, baik kebebasan berpendapat, kebebasan berbuat, maupun kebebasan seksual. Di samping itu, kota New York merupakan simbol dari kehidupan yang kosmopolit, yang dihuni oleh berbagai etnis dan yang menunjukkan masyarakat yang dinamis.
Kebebasan-kebebasan ditampilkan Ayu Utami melalui dialog-dialog naratif seperti pada fragmen-fragmen berikut.
Central Park 28 Mei 1996
…
Kami berada di sebuah kamar hotel…
Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan,sebab kami memang tak hendak tidur siang… (h.4).
…
Dia akan terheran dan bertanya, dari mana kini saya mendapatkan keberanian itu. Juga dari teman-teman? Saya akan katakan, kita ini seperti burung yang bermigrasi ke musim kawin. Sihar umurku sudah tiga puluh. Dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri.Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tidak ada yang perlu ditangisi… (h. 30).
…
New york, 28 Mei 1996
Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran… (h. 115).
…
Akhirnya sepucuk surat datang dari Cok. Begini kutipannya: Tala yang baik … Mama dan Papa menemukan kondom dalam tasku… (h. 151).
…
b. Latar Prabumulih
Prabumulih merupakan sebuah kota minyak di Sumatera Selatan. Di kota inilah selama enam tahun tokoh utama, Saman, menghabiskan waktunya, tepatnya di sebuah desa, Sei Rambai Lubuk Rantau. Sebuah desa transmigran yang warganya hidup sebagai petani karet. Desa yang sangat sunyi dan alami; dihuni oleh kaum marginal yang miskin dan yang terjajah. Di desa ini sering terjadi kekerasan dan pemerkosaan. Gambaran seperti ini dilukiskan Ayu Utami pada fragmen-fragmen berikut.
Prabumulih masih kota minyak di tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga orang-orang biasa membawa anak-anak bertamasya ke rig di luar kota, melihat mesin penimba minyak mengangguk-ngangguk seperti dinosaurus. Hiburan menegangkan lain adalah lutung atau siamang yang mendadak turun dari pohon…(h. 45).
…
… Ia menatap perempuan muda dalam kandang itu, namun segera membuang muka…Dusun itu rumpang. Sekitar seratus rumah petak, tiga kali enam meter berserakan di daerah itu. Namun, lebih dari sepertiganya telah ditinggalkan. Ilalang dan perdu tumbuh di ruangnya, ujung-ujungnya menyembul dari jendela dan pintu yang tak lagi berdaun-kayunya sudah lapuk dimakan ngengat dan pengabaian… Orang-orang tak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil tanam karet… Tak ada uang untuk mengobati Upi… (h. 72-73).
… Dua laki-laki menjebol rantai pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini sudah dua puluh satu tahun. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan merah di dadanya (h. 87).
… Semenit kemudian, Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani… Tapi dua orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya… (h. 101).
Kreativitas Ayu Utami semakin terlihat ketika ia menggunakan latar Prabumulih sebagai tempat yang paling bersejarah bagi tokoh utama, yaitu Saman. Tempat yang penuh dengan misteri dan sangat menarik perhatian tokoh utama. Peristiwa-peristiwa yang digambarkan di tempat ini seolah-olah merupakan fakta karna konflik yang dilukiskan dilatari perkebunan dan lokasi penambangan minyak.
Daerah ini sangat kontradiksi dengan New York yang merupakan tempat tinggal tokoh utama setelah meninggalkan desa ini, seperti yang diceritakan pada bagian akhir cerita. Kekontradiksian itu mempertajam karakteristik latar yang akan membentuk watak dari tokoh-tokoh cerita, dan pada akhirnya membentuk suatu paradigma baru bagi pembaca.
Meskipun Prabumulih merupakan desa yang penuh dengan aturan-aturan dan nilai-nilai, Ayu Utami juga melukiskan seorang tokoh yang memiliki kebebasan seks di desa itu. Akan tetapi, tokoh yang dapat bertingkah laku yang menyimpang dari nilai-nilai masyarakat itu tidak sama dengan tokoh-tokoh yang hidup di kota New York. Hanya tokoh Upi, gadis cacat dan gila desa transmigran, yang bisa menikmati kebebasan seks di desa Prabumulih, seperti pada kutipan fragmen berikut ini.
… Dia akan menoleh seperti seekor anjing yang kesepian… Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia bisa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda… Konon perempuan itu menikmatinya juga… , mencari laki-laki atau tiang listrik. Dan ia selalu mendapatkan keduanya: tiang listrik yang pasif dan laki-laki yang agresif. "Tapi, kata orang dia gila !"…(h. 64).
c. Latar Jakarta
Secara geografis, Jakarta merupakan kota yang terbesar di Indonesia, yang didiami oleh warga yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahkan berbagai latar bangsa yang berbeda. Kota nomor satu ramainya di Indonesia. Jika dibanding dengan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan, dsb, kota Jakarta lebih kompleks dan bising. Semua tentu saja tidak terlepas dari kedudukannya sebagai Ibu kota Indonesia. Secara simbolis, kota Jakarta memperlihatkan latar yang disarati oleh berbagai konflik, seperti: besarnya jurang antara warga yang kaya dengan yang miskin (banyak konklomerat di samping banyak pula geng yang paling melarat) , tempat tumbuhnya bank-bank bermasalah, tempat orang-orang berbisnis, dll. Orang-orang yang tinggal di sini memperlihatkan gejala kehidupan yang sangat modern dan dinamis, mereka biasa dengan gaya hidup bebas, individualis, erotis, dsb. Bertolak belakang dengan Prabumulih yang gelap jika matahari mulai terbenam, yang sunyi dan tidak ada tempat hiburan. Kebebasan dimiliki oleh warga kota ini, termasuk kebebasan seks, walaupun kadang-kadang mendapat tantangan dari norma-norma dan masyarakat umum. Namun semua itu seperti sudah lazim saja.
"Tapi, percaya deh, cowok itu akan punya pacar baru di Jakarta. Untuk apa dia mengingat Cok setelah dia mendapatkan semuanya"…
… Dan ia kencan dengan beberapa pria sekaligus dalam kurun waktu yang sama… Apakah kamu tidur dengan mereka semua? Tidak, jawabnya. Sebagian… Bagaimana dengan orang tuamu yang dulu membuangmu ke pelosok Republik Indonesia supaya jadi bermoral?Mereka tak bisa marah lagi, katanya. Malah mereka kadang terpaksa melindungi aku dari pacar-pacar yang ngamuk karena kuhianati (h. 152 - 153).
… Namun kini, Yasmin yang dulu alim mulai pacaran. Orang tuanya yang kaya memmelikan rumah di Depok agar dekat kampus… Senin sampai Jumat ia dan pacarnya saling mengeksplorasi tubuh… Kemudian, dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas ( h. 153).
Di daerah inilah empat tokoh wanita menghabiskan masa remajanya. Empat tokoh wanita itu ialah : saya (Laila), aku (Shakuntala), Yasmin, dan Cok. Sejak kelas VI SD mereka selalu bersama-sama memecahkan problematika yang mereka hadapi, walau sebenarnya mereka memiliki watak yang berbeda, seperti yang diuraikan Ayu Utami pada fragmen berikut.
Kami berteman sejak kelas VI SD. Waktu itu akulah yang paling jangkung di antara mereka. Laila yang paling kecil. Yasmin yang paling bagus nilai rapornya. Cok yang paling genit.
Kami berempat mulai sekongkol pada masa akilbalik. Dan seperti layaknya sebuah komplotan, kami saling tolong… (h. 147).
Dari uaraian di atas, dapat diketahui bahwa kreativitas Ayu Utami terlihat dari upaya pengemasan latar tidak hanya untuk mendukung tema , tetapi juga memperlihatkan konflik cerita yang terjadi antartokoh melalui peristiwa dan antarlatar yang kontradiksi. Konflik-konflik itu terungkap lewat gambaran kehidupan dari latar di tiga kota itu. Kehidupan di kota New York sangat bertentangan dengan kota Prabumulih, sementara Jakarta berada di antara kehidupan kedua itu. Jakarata seolah-olah sebagai penengah, baik dari segi aspek geografis maupun dari aspek sosiokultural.
Kepiawaian Ayu Utami dalam melukiskan latar lebih terlihat lagi dari kreativitasnya mengolah fakta menjadi peristiwa-peristiwa yang lebih bermakna. Ayu Utami berangkat dari latar yang betul-betul ada, namun ia mendiasain dunia nyata itu menjadi dunia fiktif yang alami atau yang disebut Kuntowijoyo sebagai dunia mungkin (Kompas, 28 November 1999).
2. Makna Ekspresif
Taher (1999) menjelaskan bahwa makna ekspresif diperoleh melalui analisis yang melihat keterkaitan antara seorang pengarang dengan hasil karyanya. Maksudnya, kita berhadapan dengan bagaimana seorang pengarang mengekspresikan emosional dan daya imajinatifnya dalam karya yang ditulisnya.
Sebagai pengungkapan baku dari apa yang dirasakan, disaksikan, direnungkan, dan dinikmati orang, proses penciptaan karya sastra terkait dengan pengalaman pengarangnya. Meskipun demikian, bukan berarti karya sastra itu merupakan rekaman kesan-kesan belaka atau luapan emosional (expression of emotion ), seperti yang diuraikan Kuntowijoyo( 28 November 1999) dalam artikelnya " Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai " . Menurut Kuntowijoyo, sebuah karya sastra itu dibangun oleh tiga struktur, yakni pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai sehingga dunia karya sastra merupakan dunia mungkin yang berbeda dengan dunia fakta, dunia jurnalistik, dunia ilmiah, dan dunia lainnya.
Jika diamati episode-episode cerita dalam novel Saman, ditemukan adanya upaya Ayu utami untuk mengekspresikan keberadaan seorang perempuan dalam konteks hegemoni patriaki secara radikal. Radikalisasi itu sangat menarik karena berhasil membongkar bagian-bagian teks di luar pemaknaan verbal. Selama ini, novel-novel Indonesia cenderung menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi seksual dan pada tingkat tertentu , perempuan dipahami secara organik. Berbeda halnya dengan Saman, yang memunculkan perempuan secara liar, sensitif, imajinatif, dan yang banyak mengundang kontroversi-kontroversi, seperti penokohan Shakuntala dan Yasmin yang tertuang pada fragmen-fragmen berikut.
… , akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kapuh… (h. 120) - aku adalah Shakuntala.
Dalam bayang-bayang perempuan yang tertawan itu mencoba menggapai sulur-sulur yang menjulur. Buah pohon itu menggelantung, merah dan bening, meneteskan manis yang tak habis-habis, yang ketika jatuh ke tanah, menumbuhkan lumut dan harum dan batu-batu krisopras. Lalu perempuan itu menjilat-jilat. Ia berusaha menggigit,…( h. 192) - dalam surat Yasmin untuk Saman.
Novel Saman mengetengahkan sosok perempuan dalam fenomena tubuh yang ideologis. Tubuh perempuan menyerupai sebuah lorong yang panjang dan digambarkan Ayu Utami sebagai sesuatu yang sangat eksis seperti pada fragmen berikut.
… Aku menari karena aku sedang merayakan tubuhku… si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin,…Maka, di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton… (h. 126).
Pada bahagian lain, Ayu Utami memperlihatkan dunia lain. Dunia yang tidak pernah disentuh oleh perempuan. Dunia laki-laki dipersoalkan dan imajinasi tentang tubuh laki-laki dibangunnya dengan serba seksis. Gaya pengekspresian Ayu Utami seperti itu memperlihatkan bagaimana cara pandangan perempuan kosmopolit terhadap dunia kesadaran laki-laki.
Melalui dialog-dialog naratif, Ayu Utami berusaha untuk membongkar makna hakiki dari peristiwa yang ditampilkan. Dengan demikian, sebuah teks akan mampu melampaui gaya ungkap secara personal, berupa dunia kesadaran atau sebaliknya. Inilah yang dilakukan Ayu dalam Saman dengan menggunakan kalimat-kalimat yang agak vulgar. Gaya pengungkapannya yang bersifat personal yang sebangun dengan strukturalisasi imajinasinya mencerminkan ambiguitas tokohnya.
Pengungkapan yang penuh simbol dan diksi-diksi yang bersifat metaforis mencerminkan upaya Ayu Utami untuk meliarkan imajinasi pada tingkatan yang radikal. Pada fragmen-fragmen tertentu, terjadi dialog intensif mengenai petualangan seksualitas yang dilukiskan secara sadar dan tidak sadar. Seksualitas dan perempuan dikemas menjadi narasi-narasi yang utuh. Inilah yang membuktikan Ayu Utami memiliki kreativitas yang tinggi dalam mengemas pengalamannya.
Ayu Utami terasah oleh komunitas utan Kayu. Dalam komunitas ini , ia membentuk dan mematangkan ketajaman visi; ia bergulat menemukan ekspresi bahasa; menemukan gaya pengungkapan yang berbeda dari gaya yang lain.
c. Makna Dokumenter
Makna Dokumenter yaitu makna yang berupa hubungan antara karya sastra dengan konteks penciptaannya, meliputi pengaruh-pengaruh sosial politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya sastra. Artinya, sebuah karya sastra adalh suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan (Mennheim, 1964:91-102).
Sejalan dengan pengertian di atas, maka makna dokumenter mengacu kepada keterkaitan penciptaan novel Saman dengan kondisi sosial politik Indonesia; kondisi kehidupan sosial politik Indonesia yang lagi sembraut.
Novel Saman lahir di tengah tuntutan gaung reformasi yang berapi-api. Pemahaman sastrawan akan akar reformasi kebudayaan, membiaskan gaya kegairahan daya imajinatif yang menyala. Kekuatan batin untuk melakukan pendobrakan publik sastra pun subur di kalangan sastrawan setelah beberapa dekade idealisme mereka terjajah oleh kesombongan kekuasaan. Akan tetapi, keterjajahan itu tidak mematikan kreativitas para sastarawan.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Esten (1999: 37) yang menyatakan bahwa:
Masalah pelarangan buku dan pelarangan berekspresi (pementasan teater, pembacaan puisi, pagelaran lagu-lagu, dan lain lain ) jela akan mengganggu berlangsunganya proses kreatif. Akan tetapi, kelahiran karya-karya agung dan bermutu, sebetulnya tidak banyak ditentukan oleh masalah-masalah seperti itu. Tradisi sastra justru hanya bisa dibentuk oleh jiwa dan batin yang merdeka. Kreativitas hanya bisa berkembang oleh ketajaman kepekaan, kemampuan intelektualitas, dan kekuatan imajinasi.
Krisis kebudayaan, yang menghimpit ruang gerak penciptaan sastra selama ini, membangkitkan kreativitas sastrawan untuk membentuk komunitas sastra beserta aktivitas-aktivitasnya. Rasa ketidakpuasan, protes, dan kritik terhadap kehidupan sosial politik di masa rezim orde baru dikemas dalam berbagai bentuk karya sastra; ada yang dalam bentuk tertulis dan ada yang dalam bentuk lisan, seperti cerpen-cerpen yang ditulis Seno Aji darma dan pembacaan- pembacaan puisi oleh W.S. Rendra.
Arus reformasi melahirkan daya dobrak pembaharuan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Semua itu mampu menggerakkan obsesi sastrawan untuk mengekspresikannya, dan membentuk komunitas sastra kontemporer, termasuk Ayu Utami.
Saman mampu mengungkap carut-marut zamannya. Suatu zaman yang hiruk pikuk dengan peristiwa informasi kultural sehingga sulit untuk terpahami secara hitam putih. Saman, yang tercipta di tengah masa krisis kebudayaan, menjadi karya yang djagokan atau karya puncak zamannya. Ada akar kebudayaan yang membusuk dan melapuk diangkat dan disempurnakan dengan pembaharuan, tidak hanya sekedar rekaan dan percobaan.
Saman mendapat dukungan dan sanjungan dari sastrawan sebelumnya dan para pakar sastra, seperti yang banyak dimuat dalam berbagai esei dan pertemuan-pertemuan sastra. Sanjungan itu bermunculan dari para pakar yang memiliki latar belakang yang berbeda, baik dari kalangan akademis maupun para praktisi. Sanjungan yang dilontarkan oleh para pakar sastrawan terkenal itu antara lain seperti berikut ini.
• Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Saman adalah novel yang dahsyat… memamerkan teknik komposisi yang belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain.
• Ignas Kleden mengemukakan bahwa pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.
• Y.B. Mangunwijaya menegaskan bahwa novel Saman dapat dinikmati dan berguna sejati bagi pembaca yang dewasa. Bahkan amat dewasa dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial, dan teristimewa lagi agama dan iman.
Tanpa berpretensi untuk membenarkan dan menolak pandangan para pakar sastra di atas, maka, menurut penulis, Ayu Utami melalui novelnya yang berjudul Saman ( 1998 ) layak diasumsikan sebagai tokoh pembaharu, khususnya dalam karya sastra roman, dewasa ini. Ayu Utami mencoba melakukan gebrakan-gebrakan baru untuk menemukan generasinya sendiri melalui Saman. Ia berusaha menampilkan aspek-aspek fiksionalitas dan faktualitas mengalir dalam alur cerita, penuh kejutan, dan menyerap empati pembaca melalui sebuah kreasi personal . Dalam konteks inilah, sebagai pembaharu, Saman menjadi penting dalam kesusasteraan Indonesia dewasa ini.
Menurut Binarto (1998) ada lima alasan yang menyebabkan pembaruan dirasakan signifikan dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Lima alasan itu ialah:
1) pembaharuan diasumsikan sebagai sesuatu yang koherensif;
2) pembaruan diandaikan sebagai piranti meningkatkan kualitas sastra Indonesia kontemporer;
3) pembaruan dipandang sebagai kekuatan sentral untuk dijadikan ukuran keberhasilan dan kegagalan;
4) pembaruan ditempatkan secara kausalistik antara karya dan tingkat perkembangan pemikiran masyarakatnya.
D. Kesimpulan
Dari Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Saman merupakan sebuah roman atau teks sastra yang diciptakan oleh pengarang, Ayu Utami, yang memiliki kreativitas yang tinggi. Kreativitas yang dimiliki Ayu Utami menempatkan Saman menjadi karya puncak di zamannya. Kreativitas Ayu Utami terlihat pada kemampuan Ayu Utami dalam:
1) menawarkan rangkaian dialog narasi yang berkaitan dengan argumen-argumen feminimismenya;
2) mengemukakan dekonstruksi atas mite-mite yang berhubungan
dengan kehidupan perempuan;
3) menggambarkan pertumbuhan moral dan konflik- konflik secara radikal; dan
4) mengangkat ragam pemaknaan terhadap wacana masyarakat kosmopolit.
Daftar Kepustakaan
Esten, Mursal. 1984. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.
_____. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.
_____. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
Fokkema, D.W. & Ibsch, Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Terjemahan dari Theories of Literature in the Twentieth Century oleh J. Praptadiharja dan Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mannheim, Karl. 1964. Essay on The Sociology of Culture. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Sujiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Thahar, Harris Effendi. 1999. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung: Angkasa.
Utami, Ayu. 1999. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Padang, 8 Desember 1999
Selengkapnya...