Jumat, 08 Mei 2009

Tasauf Akhlaqi Abd al-Samad al-Palimbani

Oleh : Afnidanengsih, S.Ag., MA (Dosen LB Jur. SKI & BSA)

Hubungan antara umat Islam di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengan, telah terjalin sejak awal Islam, para pedagang muslim yang beasal dari Persia, Arab dan India mendatangi kepulauan Indonesia, tidak hanya untuk berdagang tetapi juga menyampaikan dan menyebarkan Islam. Setelah adanya penetrasi Islam di masa belakangan, ini dilakukan oleh para guru pengembara sufi yang dilakukan pada akhir abad ke XXII, datang dalam jumlah yang banyak dikepulauan nusantara ini adalah Aceh.

A. Pendahuluan
Daerah Aceh yang terletak dipenghujung pulau Sumatera telah memainkan peranan penting dan cukup berpengaruh di kepulauan nusantara dala Malaka di abad XVI dan XVII. Pengaruh dan kekuasan yang sangat kuat ketika berada di bawah kekuasaan pemerintah Sultan Iskandar Muda (w.1636 M). Kemajuan dan kemakmuran kerajaan Islam di Aceh sehingga mendapat kunjungan berbagai lapisan masyarakat, pedagang dari Barat dan Timur, kalangan sarjana dan ilmuan yang umumnya berasal dari Timur Tengah (Daudi, 1992: 21).
Pesentuhan kebudayaan Aceh dengan kebudayaan pendatang mengakibatkan adanya perkembangan keagamaan dan sosial budaya. Khususnya perkembangan tasauf dan tarekat tidak kalah pentingnya, sehingga Aceh menjadi pusat studi Islam dan dakwah ketika itu. Kedudukan Aceh sebagai pusat studi Islam dan dakwah apada abad XVI dan XVII di nusantara yang mayoritas peneliti mengakuinya. Karena daerah Aceh dilihat secara geografis letaknya sangat strategis lalu lintas niaga di Asia Tenggara yang dilalui oleh kapal-kapal besar dan kecil dan kuat pengaruh Islam.
Kemasyhuran Aceh dikenal dengan kota “Serambi Mekkah”. Sebutan Ace sebagai kota Serambi Mekkah merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Karena munculnya beberapa tokoh yang terkenal keilmuannya, kealimannya dan ketaqwaannya seperti Hamzah Fansuri (w.1016H/1607M), Syam al-Din al-Sumatrani (w.1040H/1630M), Abd al-Rauf al-Sinkili (w.1105H/1693M) dan Nur al-Din al-Raniri (w.1068H/1658M). Empat tkoh tersebut memainkan peranan penting di Aceh ketika jayanya dan memiliki dua kubu pemikiran yang saling bertentangan. (Duski Samad, 2000 :3).
Dua ulama pertama (Hamzah Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani) dikenal sebagai ulama yang berpengaruh tulisan dan pengajiannya dalam mengembangkan tasauf berpaham wahdatul wujud, dengan corak pemahaman khusus yang dikenal dengan martabat tujuh. Sedangkan dua ulama lagi (al-Raniri dan al-Singkili) merupakan ulama yang menentang keras paham wahdatul wujud dan martabat tujuh. Pelarangan paham wahdatul wujud mendatangkan goncangan terhadap kehidupan sosial keagamaan masyarakat ketika itu. Keadaan inilah yang dinetralisir oleh al-Singkili dengan piawai bisa mengakomodasikan kedua paham yang berlawanan tersebut. Ketokohan al-Singkili terletak pada kemampuannya untuk memberikan kebebasan pada masyarakat yang menganut keagamaan masing-masing. Dan juga keberhasilannya dalam mem-posisi-kan tasauf abad XVI dan XVII di Aceh ditandai dengan paham wujudiyah dan paham pembaharuan.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, penulis akan mengupayakan mengkaji tentang wacana tasauf akhlaqi Abd al-Samad al-Palimbani .
B. Pembahasan
Membicarakan kajian tasauf akhlaqi dalam perspektif al-Palimbani adalah kajian cenderung menggunakan paham tasauf al-Gazali. Jika doktrin paham wujudiah banyak berakar pada karya Ibn :Araby dan al-Jilli, maka mazhab al-Palimbani yang lahir abad XVIII berakar pada ajaran sufi yang berasal dari Bagdad yaitu al-Junaid dan karya al-Gazali.
Al-Palimbani sebagai sosok ulama yang berpendidikan di Haramayn (Mekkah dan Medinah) ketika itu telah terjadi usaha pembaharuan rasauf dari corak wujudiah kepada corak akhlaqiyah melalui karya al-Gazali. Tasaufnya lebih banyak berorientasi pada penyucian pikiran dan moral daripada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis, sehingga tasaufnya lebih kelihatan tasauf akhlaqi-nya ketimbanga tasauf falsafi (Azra, 1996 : 273).
Pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasauf, seseorang murid diharuskan melakukan amalan-amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat yang bertujuan untuk menguasai hawa nafsunya. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan beberapa kategori dalam sistem pembinaan akhlak para sufi yaitu :
1. Takhalli
Takhalli adalah uasaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan segala bentuknya serta berusaha untuk melenyapkan hawa nafsu tersebut yang menjadi penyebab utama dari segala sifat yang tidak aik. Pendapat ini kelihatan agak berbeda dengan pendapat sekelompok sufi moderat. Ia menyatakan bahwa kebencian terhadap dunia cukuplah agar jangan lupa dengan tujuan hidupnya sehingga hawa nafsu dapat dikuasai serta selalu berhati-hati dalam kehidupan. Maksudnya, mendapatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya sehingga tidak terlalu mencintai serta membenci dunia dengan menggunakan pola hidup yang seimbang dan serasi (Team Penyusun, 1983 : 99).
2. Tahalli
Tahalli yaitu menghiasi diri dengan cara membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Agar setiap perilaku sesuai dengan ketentuan agama, baik amalan lahir dan batin. Amalan lahir yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti; sholat, puasa, zakat dan hajji. Sedangkan amalan batin yaitu: iman, ketaatan, kecintaan kepada Allah, redha dan lain sebagainya. Hal itu akan bisa dilalui dengan latihan-latihan yang menjadi kebiasaan sehingga membentuk kepribadian. Sikap mental dan perbuatan yang baik ini akan diisi dengan ke dalam qalbu rohani yang dibiasakan dalam perbuatan, antara lain ;
a. at-Taubah, yaitu taubat yang sebenar-benarnya dan tidak membawa kepada dosa lagi. Dalam hal ini para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis besar taubat dibagi dalam 3 kategori yaitu :1). Taubat dalam arti, meninggalkan segala perbuatan maksiat dan melakukan perbuatan yang baik secara kontinu; 2). Taubat dalam arti kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena akut akan kemurkaan Allah; 3). Terus-menerus bertaubat walaupu tidak pernah berbuat dosa lagi.
Zunnun al-Misri menyatakan bahwa taubat itu ada 2 macam yaitu; taubat orang awam yang merupakan taubat dari segala dosa dan taubat orang khawas merupakan taubat dari kelalaian (Ibrahim Basyuni, 1969 : 119). Fungsi taubat bukanlah hanya sebagai penghapus dosa tetapi juga sebagai syarat mutlak agar dekat dengan Allah. Karena Rasulullah sendiri sudah bersih dari dosa/ terpelihara juga masih memohon ampunan dan bertaubat, apalagi manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Orang yang bertaubat kata al-Huwairi adalah orang yang cinta kepada Allah yang senantiasa menggunakan kontemplasi dengan Allah.
b. az-Zuhud, yaitu melepaskan diri dari sifat ketergantungan terhadap kehidupan duniawi, terutama al-Gazali menyatakan bahwa zuhud merupakan sikap yang mampu mengurangi keterikatan kepada keduniawian untuk menjauhi dengan penuh kesadaran. Juga al-Qusyairi mengemukakan bahwa zzuhud adalah suatu sikap menerima dan memadakan rezeki yang ia terima (al-Qusyairi, 1966 : 66). Jadi manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
c. as-Sabru, merupakan suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam berpendirian, serta menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan iradah dari Tuhan yang mengandung ujian. Berani mengahadapi kesulitan dan tabah menerima cobaan, hal ini erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Kata al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin, sabar merupakan kondisi jiwa yang muncul karena dorongan keimanan,. Oleh sebab itu karakter sabar adalah respon dari adanya keyakinan kebenaran prinsip, sementara keyakinan merupakan landasannya sabar (Qamar Kailani, 1969 : 34).
d. al-Wara’,adalah mampu meninggalkan segala yang berkaitan dengan syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Menurut Qamar Kailani, orang sufi membedakan wara’ itu ada 2 macam; 1) wara’ lahiriyah, yaitu mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diredhai Allah; 2) wara’ bathin, adalah tidak mengisi hati dengan yang lainnya kecuali Allah. Orang sufi tidak mau menerima sesuatu yang tidak jelas ( syubhat ).
e. al-Faqru, tidak menuntut lebih dari apa yang telah ia miliki, tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai oleh apa-apa (al-Kalabazi , 1969: 114). Sikap ini merupakan rangkaian dari pertalian dari sikap zuhud karena juga dijadikan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi kehidupan material.
f. at-Tawakkal, kepasrahan terhadap Allah setelah melakukan aktivitas atau usaha. Manusia hanya berusaha dan berencana, tetapi yang meberikan kepututsan akhirnya adalah Tuhan. Menerima dengan ikhlas serta bersyukur terhadap pemeberian nikmat-Nya serta bersabar terhadap cobaan-Nya sesuai dengan ketentuan Tuhan.
g. al-Redha, merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang menerima segala situasi dan kondisi. Munculnya perasaan senang ketika ditimpa musibah sebagaimana senangnya menerima nikmat, juga tidak meminta balasan surga atas perbuatan baik yang dilakukannya. Kata Zunnun al-Misri tentang tanda-tanda orang yang sudah redha ada 3 yaitu; 1) meninggalkan usaha setelah terjadi ketentuan, 2) lenyap rasa gelisah sesuadh terjadi ketentuan, 3) cinta kepada Allah selalu ada sekalipun mendapat malapetaka (Ibrahim Basyuni, 1969 : 139). Redha juga merupakan sikap mental yang paripurna dan bagikan mutiara akhlak yang tinggi nilainya dan paling diutamakan oleh seorang sufi.

3. Tajalli
Untuk pemantapan terhadap sikap mental para sufi dilengkapi oleh tajalli yaitu, terungkapnya nur ghaib bagi hati para sufi. Apabila jiwa diisi dengan butir-butir mutiara akhlak serta organ tubuh telah terbiasa melakukan perbuatan baik, maka iai akan memperoleh penghayatan rasa ketuhanan. Dan untuk memperdalam rasa ketuhanan itu perlu dibekali dengan beberapa hal :
a. Munajat, melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktivitas yang telah dilakukan, serta menyampaikan semua keluhan dan memuji keagungan Allah dengan cara berkontemplasi seakan-akan berhadapan langsung dengan Allah (Suhrawardi, 1939 : 250). Adanya rasa berhadapan dengan Allah, ia melihat Allah melalui “mata hatinya” (vision of the heart). Doa dan air mata adalah munajat sebgai manifestasi dari rasa rindu kepada Allah. Latihan ibadah seperti ini, perenungan, kontemplasi adalah untuk memperdalam rasa penghayatan nilai-nilai Ilahiyah dalam jiwa para sufi.
b. Zikir, ingat terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebut namanya dengan lisan (al-Kalabazi, 1969 : 124), yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam hati sehingga perbuatannya tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan Allah. Adanya ketenangan jiwa dan kebahagiaan sehingga batinnya dekat pada Allah, ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 28. al-Palimbani mengemukakan tingkatan-tingkatan zikir sebagai berikut : 1) tingkatan mubtadi, yaitu orang-orang yang masih nyata sifat basyariat-nya dan was-wasnya dalam waktu berzikir, artinya belum dapat menghilangkan atau melupakannya maka ia baca kalimat zikirnya itu “la ma’bud illallah”. 2) tingkatan mutawassit, yaitu orang yang telah bersih sifat basyariat dan was-was padanya, hanya ia mengarah kepada Tuhan dengan zauq dan kalimat zikir yang dibaca “la mathlub illallah”. 3) tingkatan muntahi, yaitu dimana segala kekhawatiran dan was-was apa saja dalam hatinya telah hapus dan lenyap sama sekali dalam zikir, ingatannya hanya semata, karena saat itu ia memandang dan merasakan bahwa Allah, dan zikir yang diucapkan “la maujud illallah” (DA.Ringkes, 1909 : 48).
Seorang sufi juga eksis dalam lapisan sosial serta beradaptasi dalam dunia pranata sosial kemasyarakatan tetapi sangat selektif. Mereka mengukuti jejak Rasulullah dalam kehidupan dan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan kepribadian. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir sufi, mereka berusaha agar kesempurnaan akhlaknya mampu diwarnai dengan sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan, akan tetapi mereka juga bergaul dengan para ulama dan ilmuan yang telah menjadi kebiasaan bagi sufi (Suhrawardi, 1939 : 166).
Pengendalian diri merupakan salah satu kode etik yang fundamental dalam kehidupan para sufi sebagai anggota komunitas sosial. Dalam pergaulannya selalu memperlihatkan sikap “wajar” adalah identitas gaya hidupnya. Yang dimaksud dengan “wajar” disini adalah tidak merasa lebih atau unggul dari orang lain, tetapi menempatkan diri setaraf serta sejajar dengan orang lain.
Juga adanya sikap mengasingkan diri untuk berkontemplasi di kenal dengan sebutan “uzlah” yaitu, menjauhkan diri dari keramaian dan pengaruh negatif sehingga dapat merusak nilai-nilai moral dan ketaqwaannya. Jadi mereka tetap bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat (Abu Bakar Aceh, 1997 : 110).
Jadi, konsep tasauf akhlaqi yang ditampilkan oleh al-Palimbani ini lebih cenderung mengambil rujukan dari al-Gazali. Pengaruh pemikiran al-Palimbani ini bukan berarti dia tidak punya pemikiran tersendiri, tetapi al-Palimbani mencoba memadukan tasauf akhlaqi yang disusun oleh al-Gazali dengan bentuk pemahaman tasauf filofis yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Araby dan al-Jilli.


DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung : Mizan
Ahmad Daudi, Majalah Sinar Darussalam, Banda Aceh, No. 89, 1978
Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi, Kairo, 1966
Al-Kalabazi, al-Ta’arif li Mazhabi ahl al-Tasawuf, Kairo, Maktabah Kulliyatul al- Azhariyah, 1969
Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah & Tasawuf, Solo, Ramadhani, 1994
Duski Samad, Sufi Nusantara dan Pemikirannya, The Minang Kabau Foundation, 2000
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta , Bulan Bintang 1985
Ibrahim Basyumi, Naskah al-Tasawuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1934
M. Chotib Quzwain, Mengenal Allah, Jakarta, Bulan Bintang, 1985
Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, Kairo, al-Maktabah al-Alawiyah, 1934
Qamar Kailani, Fi at-Tasawuf al-Islam, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1969
Team Penyusun IAIN Sumut, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta, Proyek PPTA, 1982





Tidak ada komentar:

Posting Komentar