Oleh : Asril, MA (Dosen Ilmu Sejarah Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)
Ilyas Ya’kub adalah seorang tokoh yang hidup pada masa pra dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ketokohanya dihargai oleh pemerintah melalui anugrah gelar seorang Pahlawan Nasional, yang dikukuhkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Dalam gerak perjuangannya, ia menggunakan tulisan-tulisan di berbagai media, terutama Medan Rakyat yang ia pimpin sendiri serta partai PERMI sebagai alat penghimpun masa. Keberanian dan kebrilianan pemikiran Ilyas dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, menyebabkab ia ditangkap dan ditahan. Ia dipenjarakan mulai dari Muaro Padang, terus ke Digul, Australia, Kupang Pulau Timor, Singapura, Brunai, kembali ke Singapura dan selanjutnya baru di pulangkan ketanah air.
A. Pendahuluan
Seiring bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, maka terbuka jalan pengembangan demokrasi. Implementasi dari pengembangan tersebut, pada pemilu tahun 1999, bermunculan partai politik yang masing-masing mengklaim peduli kepada rakyat. Partai-partai politik tumbuh dengan subur bagaikan tanah yang subur sesudah disiram hujan. Didukung media yang semakin modern, dalam waktu yang tidak terlalu lama partai-partai ini sudah berkembang sampai kedaerah-daerah termasuk Sumatera Barat. Dari 24 partai yang ikut pemilu tahun 1999, tak satupun yang tumbuh dari local, semuanya tumbuh dari pusat (Jakarta). Begitu pula di Sumatera Barat atau alam Minangkabau, tak ada satupun partai yang tumbuh dari daerah ini. Kalau dibuka lembaran sejarah, orang Minangkabau sangat berperan dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Diantara tokoh pejuang tersebut adalah Imam Bonjol, Agus Salim, Bung Hatta, serta M Natsir. Dalam hal wadah penyampaiaan aspirasi, disini pernah lahir dan berkembang dengan baik sebuah organisasi politik yaitu, Persatuan Muslim Indonesia.
PERMI, merupakan partai politik pertama yang tumbuh di Minangkabau, berasaskan Islam dan Kebangsaan. Walaupun partai ini tumbuh dari local, namun perkembangannya sangat cepat. Organisasi ini, sebelum menjadi partai politik bernama PMI yang juga singkatan dari Persatuan Muslim Indonesia, organisasi biasa yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan social. Tetapi, semenjak kongres PMI yang kedua tanggal 24 Oktober sampai 1 November 1931, PMI di robah menjadi PERMI dan ditetapkan sebagai partai politik yang bertujuan Kebangsaan dan Kesentosaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia, Kesempurnaan dan Kemuliaan Islam, Khususnya di Indonesia Umumnya di Seluruh Dunia. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengungkapkan kiprah salah seorang tokoh PERMI yaitu Ilyas Ya’kub. Ia adalah seorang pengurus yang trampil dalam membesarkan partai dan juga seorang pejuang kemerdekaan. Keunikan tokoh ini terletak pada keahliannya mempergunakan media dalam mensosialisasikan partai serta meluncurkan tulisan-tulisan menuntut kemerdekaan terutamanya melaui majalah “ Medan Rakyat”.
Dalam kurun waktu lebih kurang dua tahun setelah kelahirannya, PERMI berkembang menjadi salah satu partai berpengaruh di Sumatera Barat, dan menyebar kedaerah-daerah lain seperti Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Pada bulan Desember 1932, partai ini sudah memiliki 7. 700 anggota pria dan 300 orang wanita. Perkembangan ini, tidak hanya terlihat melalui bidang politik saja, namun juga dalam bidang yang lain. Seperti dalam bidang pendidkan, lebih kurang 58 perguruan atau sekolah di bawah naungan PERMI telah membagun sekolah yang dinamai dengan Al-Kulliyat_Al-Islamiyah (Islamic College).
Sementara itu dibidang ekonomi, secara intens mempropogandakan agar selalu memakai produk-produk sendiri. Untuk memenuhi anjuran itu, PERMI cabang Payakumbuh mendirikan pabrik minyak goring, cabang Pariaman mendirkan pabrik sabun, cabang Kayutanam mendirikan pabrik roti sedang di Parabek Eli Erman Jamal mendrikan toko buku. Semua hasil produk warga simpatisan dicantumkan logo PERMI, yang berlogokan keris terhunus dan matahari. Kebesaran PERMI dikala itu, tak terlepas dari upaya tokoh-tokoh yang termashur, diantarannya adalah Haji Ilyas Ya’kub.
Setelah lebih kurang 7 tahun PERMI menghiasi pentas perpolitikan di Sumatera Barat, akhirnya mengalami kemunduran yang berlanjut dengan kehancuran. Kemunduran ini di sebabkan oleh larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Setiap upaya-upaya, selalu mendapat tantangan dari pihak pemerintahan Kolonial. Puncak kemarahan pemerintah Kolonial adalah dengan ditangkapnya tokoh-tokoh partai tersebut. Mereka di penjarakan kemudian dibuang ke Digul. Sementara itu, para guru-guru Thawalib yang bergabung dengan PERMI dilarang mengajar, para pelajarnya ditekan dan diintimidasi oleh penjabat-penjabat pemerintah agar meninggalkan sekolah mereka. Akibat dari larangan itu, PERMI jadi meredup. Walau diusahakan bangkit dengan cara lain seperti, mengalihkan kegiatan dengan aksi-aksi yang di salurkan lewat majalah, surat kabar dan pamplet, ini juga dilarang oleh pemerintah. akhirnya pada tanggal 18 Oktober 1937 partai politik PERMI resmi dibubarkan oleh pemerintah.
Dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk meneliti riwayat dari salah seorang tokoh pendobrak keberhasilan PERMI yaitu, Ilyas Ya’kub. Ia selain seorang tokoh partai, juga seorang ilmuan, pendidik dan jurnalis pada majalah “Medan Rakyat” yang ia pimpin sendiri. Disamping itu, Ia juga dianugerahi oleh pemerintah sebagai seorang Pahlawan Nasional. Keputusan tersebut di tuangkan dalam keputusan presiden RI No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Bahwa H. Ilyas Ya’kub resmi ditetapan sebagai Pahlawan Nasional. Dibanding dengan tokoh-tokoh yang lain separti, H. Jalaluddin Thaib dan H. Muchtar Lutfi, Ilyas Ya’kub dipandang lebih berperan sebagai seorang tokoh nasional, sehingga beliau di anugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Nasional. Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk melihat bagai mana riwayat hidup Ilyas Ya’kub terutama seputar latar belakang keluarga, pendidikan, pemikiran dan kiprahnya dalam PERMI, karier serta sejarah kematian. Dalam penelitian ini, penulis memakai pendekatan studi tokoh dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Artinya penelitian ini selain mengumpulkan data-data dari perpustakaan berupa tulisan dan yang sejenis, maka tulisan ini juga mangambil sumber dari lapangan berupa wawancara kepada orang-orang yang diperkirakan mengetahui dengan permasalahan yang di teliti.
B. Latar Belakang Keluarga.
Ilyas Ya’kub, dilahirkan pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 1903 M, di Asam Kumbang Painan, Kabupaten Pesisir Selatan. Ia terlahir dari pasangan keluarga Haji Ya’kub dan Siti Hajir. Bapaknya berprofesi sebagai seorang pedagang kain sementara ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Kakek dari pihak ayahnya bernama Haji Abdurrahman seorang ulama terkemuka di Pesisir Selatan bahkan sampai ke Kerinci. Dalam keluarga, Ilyas anak ketiga dari empat bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Dari silsilah keturunan, Ilyas adalah cucu dari seorang ulama. Kakeknya banyak mempunyai murid, baik yang berdomisili di Painan maupun di Kerinci. Selain seorang ulama, ia juga seorang yang haus dengan ilmu, ini terlihat dari kemauanya menuntut ilmu, mulai dari kampung halaman, ke Aceh bahkan sampai ke Makkah.
Pada tahun 1932, setahun sekembalinya dari Mesir, Ilyas menikah dengan Tinur seorang putri kesayangan Haji Abdul Wahab guru mengaji Ilyas sebelum berangkat ke Makkah. Pesta pernikahannya tidak dilaksanakan di kampung, tetapi di Semurut Kerinci. Di daerah ini, banyak terdapat murid-murid calon mertuanya, serta letak daerahnya juga jauh dari kota Padang. Pesta pernikahan dilaksanakan secara sederhana, tapi cukup berkesan walau jauh dari kota Padang. Walau pesta ini sudah dilaksanakan di daerah, namun mata-mata Belanda dapat juga mengetahuinya, sehingga perhelatan itu terpaksa diundurkan beberapa hari. Ilyas ditangkap dengan tuduhan mengadakan rapat raksasa untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses dengan pemerintahan Belanda, beberapa hari kemudian Ilyas dilepas.
Dari hasil pernikahan Ilyas dan Tinur, mereka dikaruniai 13 orang anak. Ketika penulis mewawancarai salah seorang dari anak Ilyas Ya’kub yang bernama Mulyetri Ilyas, ia mengungkapkan, dari ketiga belas mereka bersaudara yang masih hidup adalah 10 orang, sedang yang tiga orang lainnya telah meningal dunia. Ketiga orang yang telah meninggal dunia itu, satu meninggal di Digul dan satunya lagi di Australia keduanya meninggal pada masa pembuangan. Sedangkan yang satu lagi, meninggal di Padang sekembalinya dari pembuangan. Adapun yang masih hidup adalah: Ali Syaidi Ilyas, Fikri Ilyas, Rostila Ilyas, Rawasi Ilyas, Fauzi Ilyas, Silmi Ilyas, Hayati Ilyas, Surihati Ilyas, Mulyetri Ilyas dan Tisri Yeni Ilyas. Putri ke duabelas Ilyas ini mengungkapkan, melalui informasi dari ibu dan kakak-kakaknya, ia mengetahui bahwa ayahnya mempunyai hobi, suka menulis dan senang mendengarkan lagu-lagu apa saja. Disela-sela hari libur di rumah, ia juga sering bercanda dan bermain dengan kami seperti main kuda-kudaan dan sulap-sulapan. Walaupun begitu, disisi lain beliau selalu serius dalam setiap kali menghadapi masalah, tegas dan pantang di sogok walau dengan apapun.
C. Pendidikan
Pendidikan formal Ilyas Ya’kub, berawal dari sekolah Gouverment Inlandsche School di daerah Asam Kumbang Painan, Kab. Pesisir Selatan. Pada malam hari setelah selesai sholat magrib, ia belajar mengaji dan pelajaran agama pada kakeknya di surau desa. Setelah menamatkan pendidikan formal, Ilyas bekerja di sebuah perusaan tambang batu bara, Ombilin Sawahlunto sebagai juru tulis. Pekerjaan ini ia tekuni selama lebih kurang dua tahun antara tahun 1917 sampai dengan tahun 1919. Di perusaan tambang ini, Ilyas melihat dengan langsung bagaimana nasib buruh kuli yang diperintah oleh penjajah. Pada suatu hari, Ilyas menyaksikan seorang mandor Belanda melakukan perbuatan yang diluar prikemanusian. Ia menyiksa seorang pekerja tambang yang sedang duduk istirahat karena lelah akibat beratnya pekerjaan yang mereka lakukan semenjak pagi. Tidak tahan bekerja dibawah tekanan penjajah, Ilyas keluar dari pekerjaan dan kembali ke kampung halaman.
Di kampung, Ilyas kembali belajar agama kepada seorang ulama terkemuka di koto Merapak, yaitu Syekh Abdul Wahab yang selanjutnya nanti gurunya ini menjadi mertuanya. Setelah dua tahun belajar pada Syekh Abdul Wahab, Ilyas diajak gurunya menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Di sana ia mempergunakan kesempatan itu untuk melanjutkan pendidikan. Dari Makkah, Ilyas terus ke Mesir dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo.
Selama jadi mahasiswa, Ilyas tidak hanya sekedar kuliah, tetapi juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Baginya, suatu kewajiban moral untuk memperjuangkan nasib bangsa dari penjajahan kolonial Belanda. Tugas mahasiswa bukan hanya belajar, lebih dari itu merupakan komitmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha demi kemajuan bangsa, agar terbebas dari kekuasaan penjajah. Untuk itu, bersama rekan-rekan mahasiswa lain yang sama-sama berasal dari Indonesia, juga bergabung dengan mahasiswa lainnya yang berasal dari negeri jiran Malaisyia, ia mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairriyyah, yaitu organisasi social kemahasiswaan yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperlancar anggotanya. Terlepas dari tujuan utama tersebut, organisasi ini juga merupakan wadah dari mahasiswa dua negeri serumpun guna mendiskusikan masalah kolonialisme.
Selain aktif di organisasi, Ilyas juga aktif dalam bidang jurnalistik. Dalam bulan September 1925, ia menerbitkan majalah “Seruan Al-Azhar”, yaitu majalah bulanan mahasiswa. Kedua majalah ini adalah, untuk bacaan orang-orang Indonesia, baik yang berada di Mesir maupun yang berada di tanah air. Melalui kedua majalah ini, Ilyas banyak merefleksikan sikapnya terhadap praktek kolonial yang tengah melanda di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Fikiran-fikiran serta ide-ide yang ada di benak Ilyas, disampaikannya melalui kedua majalah ini. Tak lupa pula untaian semangat dan cinta tanah air, selalu ditebarkan. Pokoknya semangat untuk bebas dari kungkungan penjajah serta cinta tanah air selalu diselipkan dalam majalah ini. Tulisan-tulisan yang cukup pedas dan tegas anti penjajahan Belanda, tampaknya telah menyinggung perasaan Pemerintahan Belanda. Melalui kedutaan pemerintahan Belanda di Mesir, mereka mencoba mengupayakan penangkapan, namun usaha ini gagal, karena Ilyas dilindungi oleh beberapa tokoh Nasionalis Mesir. Jalan lain yang ditempuh oleh pemerintahan Belanda adalah dengan memblok majalah-majalah pimpinan Ilyas yang beredar di Indonesia.
Kesibukan Ilyas dibidang organisasi, jurnalistik serta sikapnya yang anti kolonial, mendapat atensi yang cukup besar dari kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir. Bahkan Ilyas menjadi tamu tetap di markas besar Partai Hizbul Wathan dan sering di ikut sertakan dalam acara-acara kepartaian. Keikut sertaan Ilyas dalam acara-acara Partai Hisbul Wathan telah mempengaruhi jalan fikirannya terutama menyangkut kolonial. Dua media yang ia pimpin, seakan-akan telah menjadi pelancar tujuan dan pikiran-pikiran para tokoh Nasionalis Mesir tersebut, dan juga merupakan suatu keuntungan besar bagi perjungan Ilyas dan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, pergerakan yang terjadi di Mesir pada awal abad ke dua puluh, semakin memperkuat rasa kebangsaan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Indonesia, dengan ideologi yang berasaskan Islam dan Kebangsaan. Rasa ke Islaman merupakan cerminan perjuangan Muhammad Abduh, sedang kebangsaan cerminan dari anjuran Mustafa Kamil. Selanjutnya cerminan perjuangan yang ada di Mesir, merupakn isnspirasi bagi Ilyas untuk melancarkan perjuangan setelah kembali ketanah air. Lantaran keaktifan di bidang politik dan jurnalistik, mengakibatkan ia tidak menamatkan kuliahnya di Al-Azhar. Kondisi ini kelihatanya tidaklah mematahkan semangat anti kolonial Ilyas. Karena selama di Mesir lebih kurang enam tahun, telah banyak memberinya pengalaman berharga yang tak mukin di dapati di bangku kuliah.
D. Pemikiran dan Kiprah Ilyas Ya’kub
Dalam bidang politik, Ilyas memantapkan hatinya berkiprah dalam tubuh partai Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Ia sekaligus telah ikut ambil bagian dalam membidani kelahiran PERMI. Pada kongres pertama partai ini tanggal 20-21 Mei 1930 di Bukittinggi, diputuskan Ilyas Ya’kub diangkat sebagai wakil ketua dalam kepengurusan. Sebagai seorang yang pertama kali memformulasikan landasan ideology PERMI, Ilyas dengan penuh keyakinan mempropagandakan ide-ide Islam dan Kebangsaan, sebagai lambang bagi pergerakan nasional Indonesia. Sebuah surat kabar “Medan Rakyat” ia terbitkan sebagai alat propaganda. Melalui majalah ini, Ilyas menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai PERMI dan nasionalisme serta aktivitas pergerakan bangsa Indonesia. Ketika azas PERMI Islam dan Kebagsaan banyak diserang oleh berbagai pihak, Ilyas tampil dengan ide-ide yang cemerlang lewat Medan Rakyat. Ia menuliskan bahwa Islam dan Kebangsaan adalah perasaan yang suci dan pantas meresap pada setiap dada pemuda dan mengalir ke seluruh tubuhnya setiap saat. Nantinya diharapkan menjadi tunas unggul dan mempunyai kemampuan serta keberanian dalam membela agama, bangsa dan tanah air.
Menurut Ilyas, sampai tahun 1931, persatuan dan kesatuan belum juga terwujud di kalangan rakyat Indonesia. Ia masih melihat pertikaian dalam hal basis ideologi pergerakan nasional, masih saja mewarnai perjuangan kelompok-kelompok pergerakan. Pada saat itu, Ilyas mulai menyerukan tentang persatuaan tampa harus berpedoman pada satu agama. Hal ini terlihat dalam salah satu artikel yang ditulisnya sebagimana yang dikutip oleh Taufik Abdullah dalam Medan Rakyat No. 5 bulan April 1931, sebagai berikut: “Pabilakah masanya Indonesia dapat mengemukakan ukuran yang diletakkan di tengah-tengah satu bangsa dalam pergerakan. Kalau kita belum bisa bersatu atas nama satu agama, apakah salahnya kita bersatu atas naungan panji-panji sebangsa dan setanah air”. Lebih lanjut Ilyas mengatakan, bahwa perpecahan di tubuh pergerakan nasional adalah merupakan sebuah tragedi, sedang kelahiran PERMI yang berlandaskan Islam dan Kebangsaan, merupakan jalan untuk mengakhiri tragedi tersebut. Dengan kata lain, Ilyas hendak mengatakan bahwa utuk suatu pergerakan janganlah kita hanya terkotak pada satu kesatuan saja, tetapi bergeraklah dari berbagai kesatuan. Apakah itu melalui organisasi politi, keagamaan atau bahkan kesukuan. Menurut Ilyas, PERMI hanyalah salah satu wadah untuk menuju persatuan dan kesatuan tersebut.
Pada tanggal 19 Juli 1931, dalam sebuah rapat umum PERMI cabang Padang, Ilyas tampil sebagai pembicara. Pertemuan ini menggagas tentang hal-hal pembangunan pikiran dan semangat untuk pergerakan. Ilyas tampil dengan judul pidato “Semangat pergerakan yang dilandasi oleh Islam dan kebangsaan”. Menurut Ilyas kemerdekaan adalah cita-cita bagi setiap insane yang tertindas. Siapapun yang merasa hari ini tertindas oleh penjajah yang bercokol di negeri tumpah darah kita, bangkit dan bangunlah untuk menapak hari esok nan cerah. Jadikan Islam dan Kebangsaan sebagai landasan utama buat modal meraih kemerdekaan.
Tentang disiplin partai, Ilyas sebagai salah seorang pimpinan partai, juga harus menegakkan kedisplinan dan mengontrol anggota partai. Kasus Darwis Thaib, sebagai mana yang dikutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat, merupakan pelajaran bagi PERMI terhadap tindakan indispliner yang dilakukan pengurus partai. Kasus itu bermula dari adanya desas-desus yang menyebutkan bahwa Darwis Thaib, selain aktif di PERMI juga aktif di PNI. Desas-desus ini menarik perhatian Ilyas, ia segera menangani kasus tersebut. Setelah melakukan penelitian, Ilyas melaporkan kasus ini dalam sidang PB PERMI, yang akhirnya memutuskan untuk memecat Darwis Thaib dari keanggotaan.
Berdasarkan pengalaman ini, Ilyas mengusulkan bahwa untu menjadi pengurus PERMI, terlebih dahulu harus lulus tes disiplin partai. Selain itu para kandidat pengurus partai harus menunjukan kemampuan intelektualnya, sebagai cendikiawan partai. Demikian juga halnya dengan cabang-cabang partai yang berada di daerah, baru akan disetujui sebagai cabang, apabila telah luluis tes disiplin diantara cabang serta telah membuktikan kepatuhannya kepada dewan sentral. Namun usulan ini ditolak oleh PB PERMI. Yang menarik dari usulan Ilyas ini adalah, keinginannya untuk menjadikan PERMI sebagai sebuah partai yang mempunyai disiplin tinggi dan lebih bersifat sentralistis. Alasan penolakan usulan Ilyas, agaknya berkaitan dengan ketakutan dewan sentral yang ingin menjadikan PERMI sebagai organisasi politik masa, yang radikal dan revolusioner.
Dalam dunia Pers, Ilyas Ya’kub telah memperlihatkan kepiawaianya. Ia mendirikan majalah Medan Rakyat dan menyampaikan ide-ide kreatifnya lewat majalah tersebut serta melalui media-media lainnya. Memang kalau kita lihat eksistensi pers di Indonesia pada awal abad ke-20, maka akan kelihatan parallel sekali dengan cita-cita kebangsaan. Pers dijadikan salah satu media yang efektif untuk mendidik masyarakat, sekaligus untuk membangkitkan semangat dan cita-cita pergerakan kebangsaan. Hampir setiap tokoh atau organisasi pergerakan senantiasa memerlukan pers, guna membangkitkan kesadaran rakyat dalam menasionalisasikan cita-cita kebangsaan sekaligus memberikan pendidikan dari berbagai segi. Maka tidaklah mengherankan, kalau Ilyas juga memahami arti penting pers bagi pendidikan dan pergerakan nasionalisme. Seperti yang tertera dalam sebuah tulisanya pada editorial pertama Medan Rakyat :
“Apa sadja jang di bangoen bangsa dan tjita2 jang di harapkan berhasil dengan boeah pergerakan, perlu mempounyai samboungan lidah (pers). Ia akan membawa dan menyampaikan pemandangan, perasan dan tjita2 itoe. Kita rakyat Indonesia jang djoega masoek golongan bangsa jang bangoen dan bergerak, perloe mempoenyai samboengan lidah soepaya pergerakan kita itoe djangan tuli dan keloe”.
Keyakinan Ilyas menjadikan pers sebagai salah satu media, untuk mendidik dan membangkitkan semangat rakyat, tidak saja melalui surat kabar Medan Rakyat, namun ia juga aktif membantu surat kabar yang terbit di pusat pergerakan (Jakarta dan Surabaya), yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Misalnya Indonesia Berdjoeang, adalah sebuah surat kabar yang terbit di Jakarta yang dipimpin oleh Soekarno dan M. Yamin. Dalam surat kabar ini, Ilyas bersama-sama dengan Ali Sastro Amidjojo dan Amir Syarifudin, bertindak sebagai redaktur pelaksana. Disamping itu, pada majalah terbitan Surabaya, Ilyas Ya’kub juga duduk sebagai redaktur bidang luar negeri, serta juga ikut membantu surat kabar yang terbit di Padang.
Kalau kita perhatikan, perjuangan untuk bangsa melalui pers pada era 1920-an, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak saja karna faktor modal yang pas-pasan di tengah-tengah persaingan pers Belanda dan Tionghoa yang menjadi kendala, melainkan harus berhadapan dengan kepolisian Belanda. Ilyas pernah dipanggil komisaris polisi, karena dituding tidak mengirimkan satu eksemplar terbitannya kepada pihak yang berwajib, padahal ia selalu mengirimkan satu eksamplar setiap kali terbit. Dari perspektif ini, dapat kita pahami bahwa Ilyas Ya’kub, telah berperan aktif melalui media surat kabar, mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme kedalam dada masyarakat. Ia telah berhasil mengambil simpati masyarakt melalui aksi-aksinya di dunia jurnalis. Mulai dari ketika ia jadi mahasiswa di Mesir, sampai di tanah air. Melalui Medan Rakyat Ilyas telah banyak merobah pola pikir masyarakat, sehingga telah membuka mata dan pikiran masyarakat terhadap kondisi bangsa yang sedang dijajah.
Dalam bidang pendidkan, usaha Ilyas untuk kemajuan masyarakat tentu tidak terlepas dari usaha-usaha PERMI. Program pokok tentang pendidikan adalah ingin menyebarkan pelajaran dan pendidikan kepada rakyat yang berdasarkan ke Islaman dan Kebangsaan. Sehingga dalam usaha untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, PERMI berusaha mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Disamping itu, juga membuka tempat kursus-kursus dalam berbagai keahlian. Pendidikan ini bertujuan selain untuk meningkatkan kecerdasan, juga untuk tujuan politik kemerdekaan. Dengan berkembangnya pendidikan, diharapkan meningkat kesadaran rakyat untuk bergerak dalam menuntut kemerdekaan Indonesia.
Setelah kongres ke II PERMI di Padang tahun 1931, Ilyas Ya’kub terpilih sebagai Ketua Departemen Pendidikan. Dalam waktu yang relatif singkat, dari tahun 1930 sampai tahun 1931, PERMI telah berhasil mendirikan Islamic College. Usaha itu tentulah didorong oleh cita-cita dan kemauan yang tinggi untuk merealisasikan apa-apa yang pernah di programkan PERMI, khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari isi pidato pembukaan Islamic College pada hari Jum’at tanggal 1 Mei 1931, Ilyas Ya’kub menyampaikan bahwa berdirinya Islamic Kollege, tidaklah terlepas dari partisipasi rakyat dan bukanlah semata-mata hasil jerih payah pengurus. Berkaitan dengan hal itu, partisipasi yang diberikan rakyat merupakan perwujudan respon positif masyarakat terhadap PERMI. Konsekwensinya menurut Ilyas, PB PERMI di tuntut untuk lebih giat lagi bekerja dalam mengembangkan pendidikan serta meningkatkan derajat Islam dan Kebangsaan.
Berdirinya Islamic College, dimotori oleh IlyasYa’kub dan Basa Mandaro. Menurut mereka, Islamic College didirikan dalam rangka menciptakan “Manusia seutuhnya dengan pribadi yang khusus”. Para mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang khusus baik dalam bidang pengetahuan umum, maupun agama. Lembaga pendidikan yang bertujuan selain melatih guru, juga pimpinan politik masa depan. Sekolah ini mempunyai dewan penasehat yang diketuai oleh Kusuma Atmadja. Dewan ini bertugas sebagai penanggung jawab penyusunan kurikulum dan kemajuan perguruan. Pimpinan dari perguruan itu di jabat oleh Abdul Hakim, seorang ahli hukum. Sedangkan majlis gurunya direkrut dari orang-orang tamatan Mesir dan AMS. Pada sisi lain, Ilyas dan Jalaluddin Thaib adalah orang-orang yang sesungguhnya mengawasi dan menjalankan sekolah itu sebagai sebuah perguruan tinggi. Selain di Islamic College, Ilyas juga menjadi staf pengajar di sekolah Training Guru Wanita yang dipimpin oleh Muchtar Luthfi. Sekolah ini menjadi suatu tempat kursus politik yang sangat efektif, hal ini sangat di mukinkan karena aktivitas dari anggota dewan sentral yang sering mengajar di sekolah itu. Di sekolah ini, Ilyas dipercayai memegang mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu Usulul Qawanin.
Ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang untuk menertibkan sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh bumi putra. Pada saat itu, perkembanngan pendidikan Indonesia semakin meningkat. Kemajuan itu terlih dari banyaknya muncul lembaga-lembaga pendidikan swasta yang dikelola oleh tokoh-tkoh pergerakan Indonesia. Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tersebut atau yang dikenal dengan Ordonansi, menurut Ilyas adalah sebuah cara pemerintah untuk menghalangi dan merusak kemajuan serta keselamatan dari sekolah rakyat di masa depan.
Lebih lanjut Ilyas jelaskan, bahwa ordonansi itu secara tidak langsung telah menghambat cita-cita kaum pergerakan, untuk mencapai kemerdekaan bagsa dan tanah air. Bahkan ia berucap, untuk suatu tindakan yang menghambat cita-cita bangsa, haruslah disingkirkan dengan segenap kemampuan yang ada. Keberadaan ordonansi, pasti akan mempengaruhi perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, yang juga merupakan sekolah swasta, sebagaimana yang dituntut oleh ordonansi tersebut. Hal itu mendorong Ilyas untuk menentukan sikap dalam hal ordonansi. Melalui konferensi PERMI pada tanggal 26 Desember 1932, atas nama Ilyas Ya’kub sebagai Kepala Departemen Pendidikan PERMI, menentukan sikap terhadap ordonansi. Diantaranya adalah:
1. Menolak ordonansi sekolah liar dan berusaha untuk menghapuskannya.
2. Menentang ordonansi sekolah liar secara bersama-sama dengan kehalusan budi dan kesabaran, dalam membayarkan kewajiban dan mempertahankan hak suci.
3. Sekolah-sekolah Thawalib dari dewan Pelajar dan Pendidikan PERMI serta sekolah-sekolah yang di bawah naungan PERMI, akan melanjutkan perjalanannya sebagai mana sedia kala.
Ilyas Ya’kub, terpaksa bekerja ekstra keras untuk menentang ordonansi itu. Medan Rakyat, ia pergunakan sebagai alat ampuh untuk menentang kebijakan tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ilyas mengunjungi cabang-cabang partai di daerah-daerah, untuk menerangkan sikap PERMI terhadap ordonansi. Semasa Ilyas menjabat Ketua Departemen Pendidikan PERMI bersama Muchtar Luthfi, ia juga berusaha untuk menanamkan sistem pendidikan modern pada sekolah Sumatera Thawalib, seperti yang terdapat di sekolah-sekolah yang terdapat di Mesir. Ilyas mencoba memecah Sumatera Thawalib dua tingkat, dengan lama waktu pendidikan tetap tujuh tahun. Tingkat itu masing-masing adalah, Tasnawiyah dengan lama belajar empat tahun, dan Ibtidaiyah lanjutan dari Tasnawiyah, dengan lama belajar tiga tahun. Disamping itu, Ilyas Ya’kub bersama dengan Jalaluddin Thaib juga memimpin departemen khusus guna memeriahkan semangat kemerdekaan nasional. Departemen ini dibentuk untuk menumbuhkan semangat kesadaran politik di kalangan rakyat dengan memberikan kursus politik, serta pengelolaan propaganda-propaganda PERMI keluar.
E. Karier
Ilyas Ya’kub, memulai karirnya sebagai seorang juru tulis di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto. Selama lebih kurang dua tahun di sini, baginya serasa bertahun-tahun karena tidak tahan melihat penderitaan kaum buruh. Kendatipun dalam usia yang begitu muda, namun situasi kehidupan kaum buruh yang disaksikan tiap hari benar-benar telah mengobarkan semangat perjuangan. Akan tetapi untuk melawan secara langsung dalam umur 14 tahun, tentu saja belum bisa ia laksanakan. Apalagi untuk menghimpun atau mengorganisir suatu kekuatan untuk melawan penjajah dan kebathilan, tentu saja belum memungkinkan. Karena selalu menyaksikan kondisi yang tidak ia inginkan, maka Ilyas mengundurkan diri sebaga juru tulis dan kembali ke Asam Kumbang Painan.
Setelah dua tahun di kampung, Ilyas dibawa oleh gurunya menunaikan ibadah Hajji ke Makkah. Semenjak berada di Makkah, ciri-ciri seorang tokoh mulai kelihatan pada diri Ilyas. Karena selam berada di Mesir, ia tidak saja aktif di organisasi kemahasiswaan namun juga aktif di organisasi sosial lainnya. Baginya, tugas mahasiswa bukan sekedar belajar tapi yang lebih penting adalah mempunyai komikmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, Ilyas bersama-sama dengan mahasiswa Indonesia dan Malaysia, mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairiyah. Organisasi ini selain bertujuan untuk memperlancar studi, yang terpenting adalah sebagai tempat mendiskusikan masalah kolonialisme dan imperialisme. Dalam organisasi ini, Ilyas duduk sebagi sekretaris dan diketuai oleh Djanan Thaib.
Persahabatan Ilyas dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir, seperti Mustafa Kamil, Syekh Mahmoud Abdul Youm dan Abdul Hamid Bey, menyebabkan ia semakin berkecenderungan di bidang politik. Pada tanggal 12 April 1926, Ilyas bersama sahabatnya Muchtar Luthfi, mendirkan sebuah organisasi yang berorientasi politik yaitu Perhimpunan Penjaga Indonesia (PPI) kemerdekaan Indonesia adalah tujuan dari organisasi ini. Lebih kurang enam tahun mulai dari tahun 1923-1929 Ilyas belajar dan melakukan kegiatan politik anti kolonialisme di Mesir. Ketika ia hendak kembali ketanah air tahun 1929, pemerintah Belanda berusaha menghalang-halanginya untuk sampai ke tanah air, dengan mengupayakan kapal yang ditumpangi Ilyas singgah di Singapur, kemudian ke Jambi. Namun halangan-halangan itu tidak sedikitpun mematahkan semangat Ilyas kembali ke kampung halaman.
Sesampai di tanah air, Ilyas menyaksikan iklim pergerakan nasional Indonesia sedang diwarnai oleh konflik ideology antar golangan nasionalis sekuler yang berideologikan kebangsaa, dengan golongan nasionalis agama yang beridiologikan Islam. Perbedaan paham antar kedua golongan ini, pada prinsipnya didasari oleh masalah basis ideology yang cocok bagi pergerakan nasianal Indonesia. Antara kedua golongan saling melemparkan tudingan dan kritikan-kritikan. Kondisi seperti ini, membangkitkan semangat Ilyas untuk ikut terlibat dalam kancah pergerakan nasional, guna memperjuangkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan ini, tak lama berada di kampung, Ilyas pergi ke Jawa untuk membuka hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti, PNI, dan Syarikat Islam. Dari hasil kunjungan ke Jawa, ia berkesimpulan bahwa perpaduan antar kedua ideologi yang sedang berseteru adalah model yang sangat cocok buat partai baru yang akan dilahirkan di Minangkabau, yaitu Islam dan Kebangsaan.
Ketika PERMI didirikan tahun1930 di Bukittinggi, Ilyas langsung mengumumkan konsep tentang ideologi yang harus dipakai, yaitunya Islam dan Kebangsaan. Ide yang ditawarkan itu pada dasarnya, adalah usaha untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam. Selain itu, ia seolah-olah ingin memperngatkan kaum pergerakan, bahwa perpecahan dalam dunia pergerakan nasional Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat menghambat cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Pada kongres PERMI pertama, terpilih Dewan Eksekutif yang terdiri dari: H. Abdul Majid sebagai ketua, H. Ilyas Ya’kub sebagai wakil ketua, Mansur Daud sebagai sekretaris dan H. Syu’ib el-Junusi sebagai bendahara. Berdasarkan jabatan sebagai wakil ketua, Ilyas mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang cukup besar. Untuk mempropagandakan PERMI beserta azasnya, Ilyas menerbitkan sebuah surat kabar yang bernama Medan Rakyat. Dalam editorialnya yang pertama, sebagaimana yang di kutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat nomor 1, Februari 1931. Ilyas menyebutkan, bahwa azas dari Medan Rakyat adalah Islam dan Kebangsaan, dan berdiri netral diatas semua partai. Melalui editor ini, tergambar kiranya bahwa Ilyas Ya’kub akan mempublikasikan Islam dan Kebangsaan. Seperti yang tercermin dalam artikel-artikel terbitan Medan Rakyat yang banyak memuat tulisan-tulisan tentang Islam dan Kebangsaan serta aktifitas pergerakan bangsa Indonesia untuk menuju gerbang kemerdekaan.
Aksi-aksi yang dilancarkan Ilyas di atas, ternyata mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam penggeledaan yang dilaksanakan pada hari selasa tanggal 5 September 1933, dalam tas Ilyas Ya’kub ditemukan beberapa buah majalah Madjou dan dua buah buku politik. Selesai penggeledaan, Ilyas ditangkap dan ditahan di tahanan Muaro Padang. Setelah melalui proses yang cukup panjang mulai 5 September sampai 22 Desember 1933, maka diputuskan oleh pemerintah untuk membuang Ilyas ke Digul. Dengan merinci seluruh aktifitas politik Ilyas, mulai dari semenjak ia berdiam di Mesir sampai pada saat penangkapannya. Telah di jadikan sebagai alasan oleh pemerintah Belanda untuk membuangnya.
Tindakan pemerintahan Belanda menangkap dan membuang Ilyas, mendapat reaksi yang keras dari berbagai kalangan. Seperti simpatisan PERMI, dan kelompok pergerakan lainnya. Reaksi yang jelas sebagai rasa simpati terlihat dari dimuatnya riwayat perjungan Ilyas Ya’kub pada Head line surat kabar Persatuan Indonesia. Selain itu, Majalah Raya juga menulis riwayat perjuangan Ilyas Ya’kub dalam salah satu rubriknya. Dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa rakyat telah memberikan kepercayaan kepada Ilyas Ya’kub. Ia seorang yang bersifat pendiam tapi banyak bekerja, apa yang dikatakannya memerlukan suatu bukti yang nyata. Lebih lanjut ditulis bahwa alasan ditulisnya riwayat hidup Ilyas Ya’kub, bertujuan untuk cerminan bagi bangsa Indonesia, agar dapat melihat bahwa ia telah menggunakan umurnya untuk kepentingan umum dan kepentingan yang suci, yakni kemerdekaan Indonesia.
Majalah Raya yang diterbitkan oleh pelajar-pelajar Islamic College, sebuah sekolah tempat Ilyas mengajar juga memberikan apresiasi dengan mengatakan “Ilyas seorang Jurnalis dan Laider yang tenang, lautan yang tak beriak, ia juga seorang yang tenang dan kalem. Lebih-lebih dalam berpidato, sekalipun sekelilingnya telah bergemuruh bunyi tepukan tangan, namun ia tetap tenang”. Reaksi demi reaksi diteriakan oleh para simpatisan, karena penahanan itu merupakan pukulan hebat bagi simpatisanya terutama kelangsungan PERMI. Apalagi bersama dengan Ilyas, kedua temannya yang dijuluki Trio PERMI juga ditangkap dan di asingkan. Dengan demikian berakhirlah perjungan Ilyas bersama PERMI dalam merintis kemerdekaan. Karena setelah ia dibebaskan tahun 1946, Indonesia telah merdeka. Puncak serta akhir dari karir politik Ilyas Ya’kub pada masa kemerdekaan, adalah setelah dua tahun pulang dari pembuangan tahun 1948, Ilyas terpilih sebagai ketua DPRD Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi, sekaligus merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Kemudian dalam pemilihan umum tahun 1955, Ilyas terpilih menjadi anggota Konstituante Repoblik Indonesia.
F. Sejarah Kematian.
Ilyas Ya’kub dikenal dengan seorang yang ideolog, namun ide-ide yang ia ungkapkan selalu mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan Hindia Belanda. Akibat dari kritikan-kritikan terhadap pemerintahan Hindia Belanda, membuat pemerintah jadi gerah. Akhirnya, awan mendung mulai menyelimuti Ilyas. Ini berawal dari penggeledahan oleh pemerintahan terhadap kantor PB PERMI. Dalam penggeledahan itu, ditemukan Majalah Madjou yang di dalamnya memuat tulisan-tulisan Ilyas. Menurut pemerintahan Hindia Belanda, isinya meremehkan pemerintahan dan menghasut rakyat untuk menentang otoritas pemerintahan Hindian Belanda. Ilyas kemudian ditangkap dan setelah melalui proses penyidangan di putuskan untuk membuang Ilyas ke Digul. Kondisi Digul kala itu, sangat menakutan. Iklimnya yang membunuh, serangan nyamuk malaria dan hutan belantara serta para penjaga penjara yang sangat tidak bersahabat, adalah suasana baru yang mesti dihadapi Ilyas Ya’kub. Walaupun demikian, situasi semacam ini bagi Ilyas bukanlah suatu kendala untuk tetap kukuh pada pendirian, tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda.
Ketika para penghuni kamp hendak di pindahkan ke Australia, Ilyas menolak. Sementara para penghuni lainnya, telah dipindahkan. Atas nasehat beberapa perwira Australia yang berada di Digul, akhirnya ia bersedia pindah ke Australia. Kesediaan Ilyas ini bukan berarti ia telah bekerjasama dengan Belanda, tetapi merupakan salah satu taktik agar segera dipulangkan ketanah air. Sebagai konsekwensi penolakan kerjasama dengan Belanda, ketika ia dipulangkan ke Indonesia, ia dilarang turun di Tanjung Periuk bersama teman yang lainnya, tetapi di asingkan lagi ke Kupang Pulau Timor. Selanjutnya dikirim ke Labuhan Singapura, Serawak, ke Brunai dan akhirnya kembali ke Labuhan. Sewaktu mereka berada di Labuhan Singapura, anak mereka yang ketujuh Iqbal meninggal dunia. Kemudian dari sana, istri dan keenam anak tercintanya, dipulangkan ketanah air, sedangkan Ilyas belum di perbolehkan.
Diakhir tahun 1946, Ilyas Ya’kub baru dipulangkan ke tanah air. Setelah menikmati alam kemerdekaan selama lebih kurang sepuluh tahun dan telah ikut pula mengisi kemerdekan melalui ketua DPRD Sumatera Tengah serta penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Dikarenakan sakit yang menghinggapinya selama lebih kurang dua bulan, menjadi salah satu penyebab berpulangnya ia kerahmatullah. Ilyas Ya’kub meninggal pada hari sabtu tanggal 2 Agustus 1958, jam 18,00 W.S.U, di Koto Merapak Painan. Ilyas dimakamkan secara militer pada hari Minggu tanggal 3 Agustus 1958, di depan Masjid Raya Kapencong Koto Merapak Painan. Upacara pemakaman, juga turut di hadiri oleh penjabat-penjabat sipil dan militer setempat. Sebagai tanda penghargaan dari pemerintahan daerah, pada tanggal 17 Agustus 1975, Ilyas Ya’kub di beri piagam penghargaan sebagai “Pejuang Umum” oleh Gubernur Sumatera Barat, No. Kesra 82/9-1975. Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh unsur pemerintahan daerah dan pelajar-pelajar setempat, selalu mengadakan upacara bendera di pusara Ilyas, guna mengenang jasa-jasanya. Sedangkan pemerintahan Indonesia, juga menghargai perjuangan Ilyas, dengan dianugerahinya ia sebagai seorang “Pahlawan Nasional.” Hal ini ditetapkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999, bahwa Haji Ilyas Ya’kub resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Selengkapnya...