Oleh : Erman, MA (Dosen Ilmu Sejarah FIB-Adab IAIN Padang)
Sebagai sebuah enclave sosial, Sumatera Barat dikenal dalam sejarah sebagai salah satu basis gerakan sosial pada awal abad ke-20. Salah satunya adalah gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi. Secara ideologis gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi adalah penentangan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik tersebut.
A. Pendahuluan
Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai tempat gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Sebelum gerakan ordonansi sekolah liar pada tahun 1932-1933, sekurang ada tiga kali perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat terhadap pemerintah kolonial Belanda, yaitu pemberontakan pajak (1908), pemberontakan komunis (1927) dan perlawanan terhadap ordonansi guru (1928). Pemberontakan pajak (1908) terjadi pada dua tempat di Sumatera Barat, yaitu di Kamang dan Manggopoh yang dipelopori oleh para ulama tarekat Syattariyah. Pemberontakan ini bermula dari kekecewaan masyarakat terhadap sistem pembayaran pajak langsung yang diterapkan di Minangkabau karena merosotnya harga kopi pada tahun pertama abad ke-20 yang mendorong Belanda mengingkari perjanjiannya dalam Plakat Panjang guna menghapuskan sistem tanaman paksa. Secara ideologis pemberontakan pajak yang melibatkan kaum ulama digerakkan oleh ideologi yang kental dengan spirit keagamaan dan anti-Barat yang sudah tertanam sejak gerakan golongan Paderi (1821-1837).
Pemberontakan komunis muncul pada tahun 1927 di suatu daerah Minangkabau yang bernama Silungkang. Pemberontakan ini secara ideologis merupakan representasi campuran ideologi keagamaan dengan ideologi marxis yang menjadi salah satu ideologi nasionalisme modern yang muncul di Indonesia pada awal abad ke-20. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya pemberontakan adalah semakin menguatnya interaksi berbagai kelompok sosial di Minangkabau ketika itu yang melahirkan keprihatinan tentang persamaan nasib dan sulitnya hidup di bawah penjajahan kolonial Belanda.
Perlawanan berikutnya adalah gerakan ordonansi guru yang muncul pada tahun 1928 dan dipandang berhasil menentang rencana kebijakan kolonial yang berhubungan dengan pendidikan agama. Secara ideologis gerakan ini murni digerakkan oleh spirit keagamaan (Islam), sehingga sikap menentang kebijakan tersebut merupakan jihad di Jalan Allah. Strategi gerakan dirancang sedemikian rupa mulai propaganda sejak kedatangan Dr. de Vries ke Minangkabau pada bulan Juni 1928 hingga aksi massa (protes) yang melibatkan masyarakat pada tanggal 19 Agustus 1928.
Pemberontakan pajak, pemberontakan komunis dan perlawanan terhadap ordonansi guru merupakan wujud kongkrit perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap kolonial Belanda yang oleh pelaku sejarah masing-masing dipandang sangat merugikan dan menindas rakyat. Pola dan bentuk perlawanan itu sendiri sangat berbeda-beda sesuai dengan pengalaman historis dan ideologi yang menggerakkannya. Selain itu dua pemberontakan pajak dan komunis berakhir dengan kekalahan yang menimbulkan kesengsaraan rakyat Minangkabau dan dalam banyak hal membuat mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi penguasa kolonial.
Pada tahun 1932 muncul lagi perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kolonial Belanda, yaitu perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Salah satu kelompok sosial di Sumatera Barat yang begitu kuat melakukan perlawanan adalah partai politik Persatuan Muslim Indonesia yang disingkat dengan PERMI. Sesuai ideologi yang dianut oleh PERMI, perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar digerakkan oleh semangat Islam dan kebangsaan. Pola perlawanan dilakukan oleh PERMI adalah dengan cara melakukan rapat khusus, propaganda di media massa dan dan rapat umum untuk menentang kebijakan ordonansi sekolah liar secara bersamaan.
Seiring dengan keterlibatan partai politik Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dalam perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar pada tahun 1932, muncul beberapa pertanyaan yang jawabannya akan ditelusuri melalui tulisan ini. Mengapa PERMI melakukan perlawanan ?, pra-kondisi yang bagaimana yang mendorong PERMI melakukan perlawanan?, bagaimana pula pola perlawanan dan akibat yang ditimbulkannya ?.
B. Kebijakan Pendidikan Kolonial dan Modernisasi di Sumatera Barat
Pengalaman historis yang melatarbelakangi lahirnya gerakan perlawanan PERMI terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sangat kompleks dan bersifat interdependen. Karena itu, tulisan yang sederhana ini tidaklah mungkin untuk mengukap satu-persatu faktor yang beragam itu. Sekedar membantu memahami kenapa gerakan perlawanan itu muncul, tulisan ini hanya menguraikan secara sederhana kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad ke-20.
Kebijakan pendidikan kolonial bersentuhan langsung dengan politik etis yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Salah satu aspek yang mendapat perhatian kolonial Belanda dalam politik etis tersebut adalah pemberian perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi masyarakat pribumi. Sejalan dengan kebijakan ini, penguasa kolonial mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia yang diprioritaskan untuk keluarga raja-raja dengan tujuan untuk direkrut sebagai pegawai rendahan di pemerintahan. Jumlah sekolahpun sangat terbatas di tengah meningkatnya minat dan kebutuhan rakyat Bumi Putera untuk memperoleh pendidikan modern. Untuk mengatasi kekurangan tersebut masyarakat pribumi di Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah swasta dan hingga tahun tiga puluhan diperkirakan jumlahnya tidak kurang dari 2200 buah. Sekolah-sekolah inilah yang oleh penguasa kolonial Belanda dianggap sebagai sekolah liar (partikelir).
Sejalan dengan pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, di Sumatera Barat muncul modernisasi pendidikan yang diawali dengan didirikannya sekolah (madrasah) Adabiyah oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di kota Padang. Pada tahun 1911 modernisasi memasuki institusi surau dan surau Jembatan Besi Padang Panjang merupakan yang pertama berubah nama menjadi Perguruan Sumatera Thawalib di bawah pimpinan Haji Abdul Karim Amrullah. Terinspirasi oleh Zainuddin Labai El-Yunusiyah yang mendirikan Sekolah Diniyah dengan sistem berkelas, Sumatera Thawalib melaksanakan hal yang sama pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1919 Syeikh Ibrahim Musa Parabek mengganti pula suraunya, Moezakaratoel Ikhwan menjadi Sumatera Thawalib dan tanggal 15 Februari 1920 dilakukan kesepakatan untuk menyatukan surau tersebut dengan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Perkembangan Sumatera Thawalib tahun 1920 semakin luas dan sudah tersebar ke berbagai kawasan di Minangkabau, seperti di Padang Panjang, Parabek (Bukittinggi), Sungayang (Batusangkar), Maninjau (Agam) dan Padang Japang (Lima Puluh Kota).
Mengingat semakin luas perkembangan Sumatera Thawalib, pada tahun 1922 para pelajarnya membentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib sebagai organisasi untuk mempersatukan semua pelajar Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Djalaluddin Thaib, seorang guru Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sejak masa ini muncul pemikiran untuk mengembangkan kegiatan Sumatera Thawalib selain bergerak dalam bidang pendidikan, juga bergerak dalam bidang politik. Haji Datuek Batuah, seorang guru yunior dan penasehat pelajar Sumatera Thawalib Padang Panjang, sangat tertarik dengan politik. Pada tahun 1923 Datuak Batuah mulai memperkenalkan ideologi komunis kepada murid-muridnya seiring dengan kampanye politik menentang pemerintah kolonial Belanda yang semakin meningkat di Minangkabau dan murid Sumatera Thawalib sudah ditetapkan pula untuk belajar politik.
Sementara itu semakin menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi politik pada tahun dua puluhan dinilai pemerintah kolonial sudah cukup membahayakan kekuasaannya. Klimaks dari propaganda komunis itu adalah munculnya pemberontakan di suatu daerah Sumatera Barat yang bernama Silungkang. Pemberontakan tersebut dapat digagalkan dengan mudah dan komunis dibubarkan oleh penguasa kolonial Belanda.
Enam bulan pasca pemberontakan komunis di Silungkang, tepatnya bulan Juni 1927, muncul keinginan pemerintahan kolonial Belanda untuk menerapkan kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Kebijakan ini pada dasarnya adalah bersifat nasional dan sudah diterapkan pertama kali di pulau Jawa dan Madura sejak tahun 1905. Reaksi yang berarti sebagaimana diungkap oleh Deliar Noer hampir tidak dijumpai ketika kebijakan ordonansi guru diterapkan di kedua pulau tersebut. Sejak tanggal 1 Januari 1927 kebijakan ini berlaku pula di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok. Kemudian pada tahun tigapuluhan diterapkan pula di Bengkulu.
Penerapan kebijakan ordonansi guru di Sumatera Barat kelihatannya sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan mengingat pemberontakan komunis di Silungkang yang baru saja terjadi (1927) banyak melibatkan ulama yang menjadi guru di sekolah-sekolah Islam. Sejalan dengan tujuan ini, pemerintah kolonial Belanda mengutus Dr. de Vries melakukan penyelidikan tentang kemungkinan dilaksanakannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Selama di Minangkabau Dr. de Vries banyak melakukan pertemuan dan diskusi dengan para elit lokal, baik dari golongan agama maupun golongan adat. Dalam setiap pertemuan Dr. de Vries menjelaskan tujuan diterapkannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan elit lokal yang ditemui de Vries. Ada di antara mereka yang menerima, ragu-ragu dan menolak. Salah seorang ulama dari kaum muda yang begitu kuat menolak dan menentang kebijakan ordonansi guru adalah Haji Rasul. Atas prakarsanya gerakan perlawanan menentang kebijakan ordonansi guru semakin hari semakin meluas di kalangan masyarakat Minangkabau.
Sebelum Gerakan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi guru muncul di Minangkabau tahun 1928, hal yang sama sudah pernah dilancarkan oleh organisasi sosial keagamaan di berbagai daerah di Indonesia. Kongres al-Islam di Bogor tanggal 1-5 Desember 1926 sudah menolak kebijakan tersebut. Organisasai Muhammadiyah juga sudah melakukan hal sama pada kongres ke-17 tanggal 12-20 Februari 1928. Tetapi gerakan perlawanan yang demikian hebat terjadi di Minangkabau pada tahun 1928 dan masyarakat setempat melihat bahwa kebijakan ordonansi guru jika diterapkan akan mengekang kebebasan pengajaran agama dan penyebaran ajaran Islam.
Bagi pemerintah kolonial, ordonansi guru memang bertujuan untuk mengontrol lembaga pendidikan agama dan membendung kekuatan umat Islam yang dipandang sebagai bahaya laten yang dapat menggoyahkan kekuasaanya di Indonesia. Para ulama dianggap berpotensi membangkitkan rasa permusuhan rakyat dengan cara menjadikan agama sebagai pembangkit sentimen anti-kolonial, sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban. Selain itu para ulama dianggap oleh penguasa sebagai sumber protes dan penggerak perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Kebijakan ordonansi guru tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) 925 Nomor 219 tentang Pengajaran Agama (Islam). Lembaran Negara ini terdiri dari dua belas pasal. Pasal pertama menyebutkan bahwa setiap orang yang akan memberikan pengajaran agama kepada orang lain selain keluarganya sendiri harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut secara tertulis dengan menguraikan pemberian pengajaran tersebut kepada Regent dan Pemerintah Patih di mana pengajaran itu diberikan. Pemberitahuan itu diberikan kepada Kepala Pemerintahan Daerah dari pemerintahan dalam negeri yang berwenang atau pejabat pemerintahan yang berwenang dalam lingkungan daerah di mana pengajaran itu akan dilaksanakan.
Dalam pandangan masyarakat Minangkabau ordonansi guru dalam prakteknya digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menghambat agama Islam dan mengekang kebebasan para guru agama (ulama) dalam menyampaikan ajaran agama. Pandangan semacam ini pada akhirnya semakin memperkuat semangat anti-kolonial dan kebencian masyarakat Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial.
Pada tahun tiga puluhan seiring dengan krisis ekonomi memaksa Belanda untuk menekan anggaran belanja pendidikan. Sebaliknya minat dan kebutuhan masyarakat pribumi di Hindia Belanda semakin bermunculan yang ditandai oleh lahirnya sekolah-sekolah swasta sekalipun tanpa subsidi pemerintah. Ironisnya pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat dengan ordonansi sekolah liar. Ordonansi ini tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) Nomor 494-495 tahun 1932.
Di antara pasalnya berbunyi bahwa setiap guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta non-subsidi diharuskan memperolah izin terlebih dahulu dari kepala daerah setempat. Surat izin ini hendaknya diminta dengan surat dan boleh diberikan kepadanya buat beberapa tempat dalam daerah itu. Pasal lain menyebutkan bahwa izin hanya diberikan jika tidak dikuatirkan akan menimbulkan gangguan keamanan umum, inspektur pendidikan tidak keberatan dan dilampirkan satu formulir yang berisi keterangan lengkap sebagai bahan pertimbangan.
Bagi pemerintah kolonial Belanda, ordonansi sekolah liar mungkin saja untuk menertibkan administrasi pendidikan di Hindia Belanda. Namun pada sisi lain, karena ordonansi ini dikaitkan dengan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan menimbulkan reaksi yang hebat dari masyarakat Indonesia. Hampir di semua wilayah di Hindia Belanda menolak penerapan kebijakan ordonasi sekolah liar dan di Sumatera Barat penolakan yang begitu keras berasal dari persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Secara umum, kebijakan pendidikan kolonial pada awal abad ke-20, mulai dari kebijakan yang tercantum dalam politik etis (1901) hingga munculnya ordonansi sekolah liar dipandang oleh masyarakat Hindia Belanda dan Sumatera Barat khususnya sangat tidak adil dan merugikan kehidupan umat Islam yang berujung pada lahirnya rasa ketidak-puasan. Rasa ketidakpuasan ini muncul di tengah modernisasi pendidikan yang semakin memperkuat semangat anti-penjajahan. Dalam kerangka pengalaman historis semacam ini, Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) melakukan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang mau diterapkan oleh pemerintah kolonial di Sumatera Barat tahun 1932.
C. Gerakan Permi di Sumatera Barat
Pasca-pemberontakan komunis di daerah Silungkang dan pembubaran partai tersebut oleh penguasa kolonial Belanda menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan sekolah dan organisasi kaum muda, terutama Sumatera Thawalib Padang Panjang. Pemberontakan komunis tentu bukan hanya memiliki dampak terhadap sekolah Sumatera Thawalib, melainkan juga terhadap semua masyarakat Minangkabau. Mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda. Pasca perlawanan terhadap ordonansi guru kondisi Sumatera Thawalib yang semulanya mengalami krisis mulai berangsur pulih dan puncaknya adalah dengan diadakannya konferensi di Bukittinggi tanggal 20-21 Mei 1930.
Dalam konferensi tersebut diputuskan perubahan nama Persatuan Sumatera Thawalib menjadi menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Dalam kongres PMI di Padang tanggal 24 Oktober hingga 1 November 1932 diputuskan pula bahwa PMI berubah nama menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Perubahan ini seiring dengan perubahan haluan organisasi dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik yang mengambil sikap non-koorporatif dengan penguasa kolonial Belanda.
Dalam membangun jaringan organisasi langkah pertama yang dilakukan Permi adalah melakukan ekspansi ke daerah pedesaan dan memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Di berbagai kota yang termasuk daerah darat Permi memperluas pengaruhnya dengan cara mengadakan rapat umum, tabligh, partisipasi dalam organisasi sosial dan infiltirasi terhadap organisasi lokal. Cara yang hampir sama juga digunakan oleh Permi untuk menanamkan pengaruhnya di berbagai kota di Sumatera Barat yang tidak memiliki sekolah Sumatera Thawalib.
Kemudian sejak tahun 1930 Permi memindahkan pusat kegiatannya ke kota Padang, Ibu kota Resident Sumatra’s Westkust. Langkah ini sejalan dengan tekad dan keinginan untuk menjadikan organisasi Permi sebagai partai politik yang bersifat nasional. Di pusat aktivitasnya yang baru Permi ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang ada. Permi pernah ikut dalam rapat protes menentang untuk pemberhentian ekspansi HIS yang dipelopori oleh Asosiasi Guru Pemerintah (PGHB) tahun 1932. Permi juga meningkatkan kerja sama dengan organisasi keagamaan dan perkumpulan pedagang yang ada di kota Padang. Sejalan dengan ini Permi mendapat dukungan dari pedagang Minangkabau di Pasar Gadang melalui seorang pedagang yang sangat berpengaruh di kota Padang, yaitu Basa Mandaro. Permi juga mampu membuat hubungan yang erat dengan pimpinan Perhimpunan Saudagar Indonesia (HSI). Hal ini memungkinkan Permi untuk membiayai program pendidikannya, terutama mendirikan Islamic College di kota Padang.
Secara ideologis gerakan Permi jauh berbeda dengan gerakan sosial dan politik yang muncul di Sumatera Barat. Sebelum munculnya Permi organisasi sosial dan politik lebih banyak digerakkan oleh ideologi Islam atau nasionalisme. Permi mencoba menggabungkan kedua ideologi tersebut dengan istilah ideologi Islam dan Kebangsaan. Sang ideolog Permi, Ilyas Ya’qub, menyampaikan ideologi Islam dan kebangsaan itu pada kongres pertama Permi tahun 1930. Alasan yang dikemukan oleh Ilyas Ya’qub ketika mengemukakan ideologi ini adalah bahwa perasaan keagamaan dan kesadaran untuk memiliki satu bangsa merupakan bagian dari kebutuhan hidup manusia. Islam sendiri kata Ilyas Ya’qub mengenal ide-ide kebangsaan. Dalam hubungan ini, agama menekankan kepada para pengikutnya untuk memberikan prioritas kepada saudara-saaudara mereka sebelum memberikannya kepada orang lain. Dalam pandangan politik kata Ya’qub saudara dapat disamakan dengan bangsa dan sebangsa berarti suatu keluarga besar.
Pertengahan tahun 1931, Muchtar Luthfi pulang ke Minangkabau dan menjadi juru bicara Permi. Atas usahanya ideologi Islam dan kebangsaan sebagai azas perjuangan Permi mendapat sambutan yang baik dari berbagai lapisan masyarakat di Sumatera Barat. Pada pertengahan Juli 1933 Permi sudah memiliki cabang sebanyak 200 buah di 180 nagari di Minangkabau dan pengikut dengan jumlah sekitar 10.000 orang. Selain itu Djalaluddin Thaib adalah juga tokoh penting yang mensosialisasikan ideologi Permi sehingga pengikutnya di Sumatera Barat semakin bertambah hari demi hari.
Melihat perkembangan Permi dan ideologi partai yang dibangunnya diterima oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Barat muncul pula perdebatan dan kritik dari berbagai pemimpin muslim, serta kecurigaan partai lain. Sebagian pemimpin Islam memandang bahwa Permi meskipun dipimpin oleh tokoh yang dibesarkan dan dididik dalam tradisi Islam ternyata telah merusak kesempurnaan agama. Muhammad Natsir, seorang intelektual yang berasal dari Minangkabau dan pemimpin organisasi persatuan Islam, menyebut bahwa pemimpin Permi tidak puas dengan Islam mereka sehingga perlu menambahkan sesuatu di belakang kata Islam. Islam yang mereka pahami secara esensial dalam prakteknya mau diganti dengan paham kebangsaan. Islam dalam ideologi Permi hanyalah berfungsi sebagai pendukung paham kebangsaan.
Pada bulan Juli 1932 Permi semakin mempertegas sikap politiknya yang non-koperatif dan bersifat radikal. Muchtar Luthfi, salah seorang pemimpin Permi, dalam rapat umum di tahun yang sama menyampaikan pidato yang mempertegas tujuan Permi, yaitu menciptakan Indonesia baru yang dipimpin oleh seorang presiden Republik Indonesia. Pidato ini menurut pandangan Jaksa Agung tidak bisa ditolerir dan tepat pada tanggal 13 Juli 1932 Gubernur Jenderal memerintahkan penangkapan Muchtar Luthfi. Meskipun seruan para penghulu di nagari Balingka menjamin bahwa Muchtar Luthfi akan melepaskan aktivitas politiknya, namun pada bulan Maret 1934 ia tetap saja dibuang dan ditahan di penjara Digul.
Beberapa bulan setelah Permi menentukan sikap politik dan tujuan perjuangan organisasi, pemerintah kolonial menetapkan kebijakan ordonansi sekolah liar di Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1932 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1932. Sesuai dengan ideologi dan tujuan organisasinya, Permi menolak kebijakan ini dan strategi yang dilakukan adalah propaganda yang berisi ajakan kepada berbagai elemen masyarakat di Sumatera Barat untuk melakukan perlawanan.
D. Perlawanan Permi Terhadap Ordonansi Sekolah Liar
Puncak perlawanan Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sebagaimana dilaporkan oleh koran Medan Ra’yat terjadi dalam bentuk rapat umum (algemeene aktie) di berbagai daerah di Sumatera Barat pada tanggal 25-26 Desember 1932. Di Bukittinggi, rapat umum itu dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu :
1. Kampuang Kajai Bukittinggi
2. Normal Kursus Putri
3. Padang Luar
4. Ampat Angkat
5. Sungai Puar
6. Candung-Baso
7. Sianok
8. Kubang Putih
9. Balai Gurah
10. Koto Panjang
11. Jambak
12. Bukit Batabuah dan,
13. Pakan Sinayan.
Rapat umum ini bukan hanya dilaksanakan oleh Permi Putra, melainkan juga oleh Permi Putri. Rapat umum yang dilaksanakan oleh Permi di Bukittinggi ini secara umum tidak berjalan sampai selesai dan hanya sampai penyampaian dasar dan tujuan Permi. Ketika ketua masing-masing ketua rapat mulai membicarakan kebijakan ordonansi sekolah liar, maka kemudian pihak yang berwajib langsung mengambil tindakan untuk membubarkannya.
Pada hari yang sama, rapat umum (algemeene actie) juga dilaksanakan oleh Permi di Padang Panjang. Rapat tersebut semula direncanakan di beberapa tempat, seperti kota Padang Panjang, Gunung, Batipuh Baru, Koto Baru, Koto Lawas, Sumpur, Bungo Tanjung dan Tanjung Barulak. Karena tidak memperoleh izin akhirnya aksi menentang kebijakan ordonanasi sekolah liar untuk wilayah Padang Panjang hanya dilaksanakan pada empat tempat, yaitu Kota Padang Panjang, Gedung Sinema Teater (Padang Panjang), Gunung dan Batipuh Baru. Keempat rapat umum di Padang Panjang ini berakhir dengan pembubaran oleh pihak berwajib ketika rapat baru saja membacakan kebijakan penerapan ordonansi sekolah liar.
Di kota Padang, rapat umum menentang kebijakan ordonansi sekolah liar dilaksanakan Permi di Gedung Permi Islamic College dan Lubuk Begalung pada tanggal 25 Desember 1932. Rapat umum di kedua tempat di kota Padang ini juga berakhir dengan pembubaran. Aksi serupa juga direncana pada beberapa tempat di Bandar Sepuluh, seperti Asam Kumbang, Koto Berapak, Pasar Baru, Gurun Panjang, Salido dan Tarusan. Karena terhambat oleh masalah izin, aksi tersebut hanya berlangsung pada dua tempat saja dan kedua berakhir dengan pembubaran, yaitu Koto Berapak dan Tarusan.
Aksi serupa yang dilaksanakan di Kerinci (26-12-1932) dan Maninjau (25-12-1932) juga berakhir dengan pembubaran. Tempat lain di Sumatera Barat sebagai tempat pelaksanaan aksi protes terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar adalah wilayah Batu Sangkar dan Payakumbuh. Beberapa daerah di sekitar Batu Sangkar yang dijadikan oleh Permi sebagai tempat aksi tersebut adalah Batu Sangkar, Sumanik dan Tanjung Limau. Sedangkan di Payakumbuh, aksi dilaksanakan di Batu Hampir, Air Tabik, kota Payakumbuh dan Piladang. Kedua tempat ini aksi protes yang dilancarkan Permi juga dibubarkan oleh pihak berwajib.
Meskipun rapat umum untuk memprotes pelaksanaan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat yang diadakan oleh Permi berakhir dengan pembubaran, namun hal itu tidak membuat Permi berhenti untuk memperjuangkan penolakan terhadap kebijakan pendidikan kolonial tersebut. Sehari setelah aksi tersebut Dewan Pelajaran dan Pendidikan Permi langsung mengadakan konferensi di Bukittinggi pada tanggal 26-27 Desember 1932. Konferensi itu dihadiri oleh 214 guru dan pengurus dari 59 Sekolah Thawalib di Sumatera Barat. Peserta yang terlibat dlam konferensi juga berhasil mengambil sikap bahwa ordonansi sekolah liar bertentangan dengan dasar ke-Islaman dan kemanusiaan, sekolah-sekolah Thawalib yang berada dalam naungan Permi dan sekolah lain yang serupa mendapat pukulan hebat dengan diterapkannya ordonansi tersebut, ordonansi sekolah liar menyempitkan hak kemerdekaan rakyat dalam memilih dan menyusun pelajaran dan pendidikan yang selaras dengan keadaannya, serta ordonansi sekolah liar menghambat kecerdasan dan keinsafan rakyat Indonesia. Selain berhasil mengambil sikap, konferensi tersebut juga memutuskan penolakan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar.
Gerakan menentanag kebijakan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat bukan hanya dilakukan oleh partai politik Permi, tetapi juga dilakukan oleh organisasi sosial dan politik yang ada ketika itu. Pada bulan Februari 1933 diadakan konferensi di Padang Panjang yang diikuti oleh 129 organisasi politik dan pendidikan di Minangkabau. Dalam konferensi itu diputuskan perlunya usaha mengintensifkan gerakan oposisi menentang ordonansi sekolah liar, menjalin kerja sama dengan semua organisasi di Indonesia dan membangun hubungan yang erat dengan organisasi Islam di luar negeri.
Seiring dengan munculnya usaha mengintensif gerakan perlawanan terhadap ordonansi guru, agaknya, bulan Februari 1933 merupakan akhir semua gerakan perlawanan atas kebijakan tersebut. Melalui surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda pada bulan yang sama tahun 1933 kebijakan ordonansi sekolah liar dihapuskan oleh penguasa kolonial. Seiring dengan penghapusan kebijakan tersebut, Pemerintah kolonial mulai mengambil sikap terhadap gerakan yang dilakukan oleh Permi. Pada tahun 1933, beberapa sekolah kaum muda digrebek dan tujuh dari dua belas orang guru Thawalib Padang Panajng dilarang mengajar dalam waktu yang tidak ditentukan. Langkah ini dikuti pula dengan penutupan sekolah-sekolah Permi. Pada awal tahun 1934, sekolah Diniyah Putri dipaksa oleh penguasa kolonial untuk melepaskan dua orang gurunya bekas pimpinan Permi.
Di hadapan penindasan pemerintahan kolonial, Permi terpaksa membubarkan Departemen Pelajaran dan Pendidikannya pada tahun 1933 yang pada akhirnya semakin memperlemah daya juang partai politik tersebut. Pada tahun yang sama, tepat bulan Agustus 1933, pemerintah kolonial menerapkan pula kebijakan pelarangan rapat-rapat umum untuk semua perkumpulan, organisasi dan partai politik di Sumatera Barat.
Sejak masa itu, Permi hanya mampu melakukan berbagai gerakan dan kegiatan secara diam-diam dan tersembunyi. Pukulan berat diterima oleh Permi pada akhir tahun 1933 dengan ditangkapnya tiga orang pemimpin partai tersebut, yaitu Muchtar Luthfi, Ilyas Ya’qub dan Jalaluddin Thaib yang kemudian diasing ke Digul tahun 1934. Sejak masa ini sulit mencari pimpinan yang mampu melanjutkan perjuangan Permi. Meskipun muncul sosok Ratna Sari, seorang tokoh perempuan, yang melanjutkan kepemimpinan partai politik Permi, namun saja hanya mampu berjalan dalam waktu yang tidak lama. Tepat tanggal 18 Oktober 1937, penguasa kolonial Belanda membubarkan partai yang berideologi Islam dan kebangsaan itu.
E. Kesimpulan
Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad kedua puluh sebagai tempat munculnya gerakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda. Salah satu dari gerakan tersebut adalah perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang dipelopori oleh Permi tahun 1932. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya gerakan itu sebenarnya sangatlah kompleks dan bersifat interdependen. Di antaranya adalah kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad kedua puluh.
Secara ideologis perlawanan yang dipelopori oleh Permi menentang kebijakan ordonansi sekolah liar digerakan oleh ideologi Islam dan kebangsaan. Sejalan dengan ideologinya, Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan.
Untuk membangun jaringan langkah pertama yang dilakukan Permi adalah memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum tanggal 25-26 Desember 1932. Hasilnya pada bulan Februari 1933 melalui Surat Keputusan Gubernur Jendral kebijakan ordonansi sekolah dihapuskan oleh penguasa kolonial. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik itu pada tahun 1937.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar