Sabtu, 11 Februari 2012

Nilai-Nilai Budaya Minangkabau Dalam Karya HAMKA : Analisis Sosipragmatik Terhadap Roman Dibawah Lindungan Ka’bah

Oleh : Hetti Waluati Triana, M.Pd., Ph.D (Dosen Ilmu Bahasa FIBA IAIN Padang)

Karya sastra merupakan hasil karya yang dibangun melalui kemampuan pengarang memilih dan menyusun kata, di samping kemampuan merangkai peristiwa sebagai cermin realitas sosiobudaya tempo karya itu dihasilkan. Oleh sebab itu, karya dapat menunjukkan ketinggian dan kepiawaian pengarangnya. Melalui analisis sosiopragmatik dapat dikemukakan aspek sosiobudaya yang tersirat di balik karya Hamka, yaitu nilai-nilai kesantunan dan religius budaya Minangkabau. Temuan itu sekaligus menunjukkan bahwa roman Di Bawah Lindungan Kabah dapat memperlihatkan dan kepiawaian Hamka sebagai pengarangnya.


A. Pendahuluan

Hamka (Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah) adalah putra tokoh pelopor gerakan Islam kaum muda di Minangkabau , Dr. Syekh Malik Karim Amrullah, yang lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau Sumatera Barat, (Hamka, 2002: 1). Hamka adalah seorang tokoh pergerakan nasional, politikus, dan juga pemikir. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, beliau lebih dikenal sebagai seorang ulama yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan.

Karya sastra beliau sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan. Salah satu karya sastra beliau yang boleh mencerminkan kedua nilai itu ialah roman Di Bawah Lindungan Kabah.


B. Pembahasan

Bagian pembahasan ini terlebih dahulu dimulai dengan memaparkan sinopsis roman Di Bawah Lindungan Kabah sebagai latar tinjauan pada kertas kerja ini. Selanjutnya, perbincangan akan difokuskan kepada analisis sosiopragmatik terhadap roman Di Bawah Lindungan Kabah dengan menghuraikan aspek linguistik dan aspek sosiobudaya Minangkabau di masa lampau.
1. Sinopsis Roman Di Bawah Lindungan Kabah
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan keluarga miskin. Ia mempunyai keinginan yang sungguh untuk memajukan diri dan meningkatkan martabat keluarga meskipun dalam kesengsaraan yang tiada berkeputusan. Masa kecil Hamid lebih banyak dilalui bersama ibunya di sebuah dangau. Di dangau itu jua, Hamid mempelajari doa dan bacaan dari ibunya, menolong apa-apa yang dapat dilakukannya untuk membentengi air mata ibunya, menyembunyikan keinginan, dan menelan kegembiraan yang hanya dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Sampai suatu ketika ia mendapat kesempatan untuk dapat menghirup dan menikmati dunia yang penuh dengan harapan dan azam, sebagaimana impian almarhum ayahnya. Kesempatan itu diperolehnya atas bantuan dari keluarga kaya yang baru saja menjadi tetangganya, yaitu keluarga Engku Haji Ja’far.
Engku Haji Ja’far mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Zainab. Zainab adalah anak perempuan yang baik, rendah hati, dan alim; anak yang tidak pernah menyombongkan diri meskipun kepada Hamid, anak yang mendapat pertolongan dari ayahnya. Usia Zainab sememangnya lebih kecil daripada usia Hamid. Oleh sebab itu, mereka menggunakan kata sapaan “abang” dan “adik”, dua perkataan yang manis yang timbul dari hati yang suci.
Kebersamaan pada masa kanak-kanak itu akhirnya melahirkan rasa lain, rasa yang hanya disadari ketika mereka telah tidak bersama-sama ke sekolah, tidak bersama-sama bermain, dan tidak kerap bertemu lagi. Rasa itu jua yang kemudian mempenjarakan kebebasan hati dan nurani keduanya dari kebahagiaan yang lazimnya dipunyai oleh orang muda-muda. Keterpenjaraan itu tak dapat dilepaskan daripada tradisi budaya yang pada masa itu cenderung menjadikan mereka tak kuasa mewujudkan kehendak hati secara terbuka. Bahkan, perasaan itu sangat susah untuk dilafazkan sampai akhir hayat keduanya. Hanya Di Bawah Lindungan Kabah-lah, keterpenjaraan itu dapat terungkap, yaitu melalui surat Rosna, sahabatnya Saleh, dan dalam doa Hamid sebagai hamba yang lemah.

2. Sosiopragmatik dan Budaya Minangkabau
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan :
a. Sosiopragmatik sebagai Kaedah Analisis
Sosiopragmatik merupakan salah satu paradigma daripada pendekatan pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1983). Istilah sosiopragmatik dimaksudkan sebagai upaya untuk membedakan kajian tentang kondisi umum dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi kepada kajian yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa yang bersifat setempat atau khusus. Kajian yang demikian dimaksudkan sebagai upaya menggali aspek sosiobudaya yang menjadi latar penggunaan bahasa. Secara tegas Leech (1983: 11) menyebutkan bahwa sosiopragmatik merupakan sociological interface of pragmatics yang dibedakan daripada pragmalinguistik, iaitu the study of the more linguistic and pragmatics. Ini menunjukkan bahwa sosiopragmatik melihat penggunaan bahasa sebagai hal yang berkaitan dengan persoalan sosial.

Pandangan Leech (1983) di atas didukung oleh pandangan Salmani-Nodushan (2006) yang menyebutkan bahawa dalam kajian sosiopragmatik, ada dua set kategori yang dikontraskan, yaitu set linguistik dan set sosiologi. Salmani-Nodushan juga menegaskan bahwa:


Sociopragmatics refers to the way conditions of language use derive from the social situation. In other words, it involves the study of both the forms and functions of language in the given social setting. The term linguistic forms refers to the abstract phonological and/or gramatical characterization of language, social functions, however, refers to the role language plays in the context of society or the individual.


Di sisi lain, penggunaan bahasa tidak hanya mencakup aspek-aspek morofologis dan sintaksis saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek sosiobudaya yang hadir bersamaan ataupun tersirat di balik penggunaan bahasa tersebut. Dalam konteks inilah sosiopragmatik diperlukan kerana ia dapat digunakan untuk menganalisis aspek linguistiknya dan di sisi lain dapat menganalisis praktis sosialnya (Triana, 2009: 100-101). Dengan demikian, analisis sosiopragmatik dapat menjelaskan maksud bahasa dan fenomena sosiobudaya penggunaanya yang dalam hal ini difokuskan kepada nilai kesantunan dan keagaamaan budaya Minangkabau dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah.

b. Budaya Minangkabau
Meskipun Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu . . . Walaupun budaya Minang adalah bahagian daripada budaya Melayu dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.
Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh; yang membentuk seluruh sistem penilaian; yang menjadi dasar daripada sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum.
Oleh sebab itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia. Dengan demikian, setiap individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat berikut ini.

Bak adat bapiek kulik,
Sakik dek awak sakik dek urang,
Sanang dek awak sanang dek urang,
Nan elok dek awak katuju dek urang.

( Seperti adat berbalut kulit,
Sakit bagi kita sakit bagi orang
Senang bagi kita senang bagi orang
Yang baik bagi kita suka bagi orang )

Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahawa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).
Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.
Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaedah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Sikap yang demikian itu dimuat dalam mamangan “raso dibaok naiak, pareso dibao turun” (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun). Mamangan ini menggambarkan bahwa koreksi dan keseimbangan diperlukan dalam bersikap dan berperilaku.
Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluahkan ide dan perasaannya dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah. Justru itu, analisis sosiopragmatik dalam kertas kerja ini lebih difokuskan kepada nilai kesantunan dan religius yang tercermin melalui penggunaan bahasa Buya Hamka dalam karyanya Di Bawah Lindungan Kabah.

3. Hamka dan Dibawah Lindungan Ka’bah : Analisis Sosiopragmatik
Roman Di bawah Lindungan Kabah dibangun dengan 13 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Melalui judul-judul itu dapat diketahui bahwa roman ini sememangnya merupakan sebuah narasi yang menggambarkan pengembaraan tokoh utama (Hamid) di perantauan. Pada roman ini, rantau yang dijadikan latar oleh Buya Hamka ialah kawasan Islam di belahan dunia Timur, yaitu Mesir, Medinah, dan Mekah. Di kawasan inilah tokoh utama meredam dan menelan semua kenangan hidupnya di alam Minangkabau; alam yang meniupkan dan membesarkan Hamid sebagai seorang anak, kawan, dan pemuda yang taat beragama dan menghormati adat. Pernyataan itu dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.

... Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya....
Melihat kebiasaannnya yang demikian dan sifatnya yang salih, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya.... Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi.
Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa (Hamka, 2008: 5-6).

Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas, pada asasnya menggambarkan sifat dan perilaku pemuda Minangkabau yang selalu berkait rapat dengan nilai-nilai kesantunan dan dan nilai-nilai religius sebagai wujud nilai budaya etnik Minangkabau. Perkataaan azan subuh, pergi ke mesjid, salih (saleh), beribadat, dan buku-buku agama merujuk kepada ranah religius, sedangkan perkataan halus, tiada terasa, dan kehalusan budi pekerti, serta ketinggian kesopanan agama merujuk kepada ranah kesantunan. Maksud daripada perkataan tersebut dapat dipahami melalui tuturan daripada perkataan itu digunakan, sebagaimana dapat disimak dalam kutipan di atas.
Perkataan azan Subuh dan pergi ke mesjid dapat dikelompokkan pada kumpulan nilai-nilai religius kerana disokong oleh frasa dan klausa biasanya sebelum..., ia telah lebih dahulu bangun, dan seorang dirinya yang menjadi konteks kalimat. Berdasarkan konteks tersebut dapat dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada kalimat “Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya” digunakan untuk menyatakan sosok tokoh utama (Hamid) yang selalu menghambakan dirinya kepada Sang Khalik. Maksud yang demikian lebih dikesan lagi oleh penuturan pengarang melalui perkataan saleh, beribadat, dan buku-buku agama yang dibangun dalam kalimat “Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi”.

Pelukisan sosok Hamid yang demikian juga dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.

(i) Satu kali terlihat oleh saya, ketika saya mengerjakan tawaf keliling Kaabah, ia bergantuang kepada Kiswah, menghadapkan mukanya ke langit, air matanya titik amat derasnya membasahai serban yang membalut dadanya, kedengaran pula ia berdoa, Ya Allah! Kuatkanlah hati hamba-Mu ini!” (Hamka, 2008: 7).
(ii) Memang, saya harap Tuan simpan cerita perasaan saya hidup, tetapi jika saya lebih dahulu meninggal daripada Tuan, siapa tahu ajal di dalam tangan Allah, saya izinkan Tuan menyusun hikayat ini baik-baik... Moga-moga air matanya akan menjadi hujan yang dingin memberi rahmat kepada saya di tanah pekuburan (Hamka, 2008: 9).
(iii) “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Kaabah yang suci, yang terpisah dari pergaulan manusia lain. Di sinilah saya selalu bertafakur dan bermohon kepada Tuhan sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan. Setiap malam saya duduk beriktikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya... (Hamka, 2008: 49).

Perkataan serban, berdoa, ya Allah, hamba-Mu, tangan Allah, pekuburan, Kaabah (ka’bah), bertafakur, bermohon, Tuhan sarwa sekalian alam, beriktiraf, dan masjidil haram sememangnya merujuk kepada ranah keagamaan. Perkataan-perkatan tersebut dapat difahami sebagai upaya penggambaran sosok alim tokoh utama (Hamid) oleh pengarang melalui konteks tuturan. Begitu juga dengan perkataan halus dan kehalusan budi pekerti yang merujuk kepada kesopanan kerana disokong oleh frasa dan klausa “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat, dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada ..., serta sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” yang menjadi konteks tuturan. Berdasarkan konteks tersebut boleh dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada tuturan “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” digunakan untuk menggambarkan watak dan kepribadian tokoh utama yang berbudi pekerti dan bersopan santun.
Watak dan keperibadian Hamid dilengkapi pengarang dengan menggambarkan rasa sayang dan hormat yang teramat dalam kepada ibunya. Penggambaran yang demikian menegaskan kesantunan watak dan kepribadian Hamid yang dapat disimak melalui penceritaan pengarang berikut :

(i) Pada waktu teman-teman bersuka ria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai teman-teman itu, kerana kegembiraan bukanlah saduran dari luar... Apalagi kalau saya ingat, bagaimana dia kerap kali menyembunyikan air matanya di dekat saya, sehingga saya tak sanggup menjauhkan diri darinya (Hamka 2008: 13).
(ii) Terima kasih ibu, nasihat ibu masuk benar ke dalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian.... (Hamka, 2008: 34).

Perkataan yang dicetak tebal pada contoh di atas menunjukkan bagaimana pengarang membangun watak dan kepribadian Hamid yang lebih mulia dengan mengedepankan rasa hormat dan kasih sayang anak kepada ibunya. Maksud demikian boleh ditafsirkan melalui konteks tuturan yang menampung pilihan dan susunan perkataan pengarang. Upaya pengarang yang demikian juga dapat dilihat dari pelukisan tokoh lainnya, yaitu Zainab. Zainab digambarkan sebagai perempuan yang patuh dan sopan, sebagaimana dapat disimak pada tuturan “Apa perintah ibunya, diikuti dengan patuh”.

Selain itu, pengarang juga melakukan upaya tersebut dengan menggunakan pilihan kata ganti nama sebagai penanda kesantunan hakiki dalam interaksi sosial Minangkabau, yaitu kesantunan kunci yang telah sedia ada dalam budaya etnik Minangkabau dan menjadi dasar berperilaku bagi masyarakatnya (Triana, 2009: 289). Penggunaan kata ganti nama yang menunjukkan kesantunan itu dapat disimak melalui kutipan berikut.

(i) “Saya tinggal dekat saja, Mak” jawab saya, “itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah meninggal dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang membuat kuih muih ini....” (Hamka 2008: 17).
(ii) Amat besar budi engku Haji Ja’far kepada saya.... (Hamka 2008: 21).
Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas merupakan kata ganti nama yang digunakan tokoh utama ketika bertutur dengan tokoh tambahan lainnya. Kata saya digunakan selalu sebagai kata ganti diri pertama tunggal yang menunjuk kepada Hamid, termasuk ketika menyebutkan pemilik, seperti ayah saya dan ibu saya. Beliau merupakan kata ganti nama yang digunakan untuk merujuk kepada orang tuanya, sedangkan perkataan engku Haji Ja’far digunakan untuk merujuk kepada orang ketiga yang sedang diperbincangkan tokoh utama kepada sahabatnya. Pilihan yang demikian sesungguhnya sesuai dengan kaedah bertutur etnik Minangkabau yang dikenal dengan langgam kato atau kato nan ampek.
Apabila dikaitkan dengan aspek sosiobudaya yang menjadi latar pengarang, maka tuturan-tuturan tersebut dapat dipahami sebagai upaya pengarang untuk menggambarkan sosok pemuda Minangkabau tempo dulu. Sosok itu yang sememangnya bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar adat Minangkabau. Upaya itu tersurat melalui penggambaran tokoh yang menghabiskan masanya untuk merendahkan diri di hadapan Sang Khalik dan meningkatkan martabatnya melalui sifat dan perlakuan yang bersandarkan kepada ajaran agama Islam. Upaya penggambaran yang demikian, pada asasnya merupakan cermin daripada amalan pengarang sebagai pemuda Minangkabau yang taat pada nilai budaya dan agama, di samping memperlihatkan latar sosiobudaya pengarangnya.
Kesimpulan yang demikian juga tersirat melalui pandangan Audah (2008) yang menyebutkan bahawa berdasarkan tema dan peristiwa dasarnya, roman yang ditulis oleh Hamka berkait rapat dengan budaya dan agama. Mulai pada halaman pertama nafas agama sekaligus adat Minangkabau segera terasa. Semua itu pada asasnya disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang, yaitu adat- istiadat Minangkabau.

C. Penutup
Hamka bukan hanya sekedar memilih dan menjalin kata demi kata. Akan tetapi, Hamka mencoba mengemukakan nilai-nilai budaya Minangkabau melalui penggambaran dilematik tradisi yang kadangkala mesti mengorbankan perasaan dan naluri kemanusiaan. Ada dua nilai yang ditonjolkan oleh Hamka pada roman Di bawah Lindungan Kabah. Dua nilai itu ialah nilai kesantunan dan nilai religius; nilai dasar yang “wajib” dimiliki oleh etnik Minangkabau dalam mengkontruksi perilakunya di setiap aspek kehidupan. Nilai-nilai tersebut dikemas Hamka dalam tuturan yang penuh implikatur. Justeru itu, pemahaman akan maksud tuturan Hamka hanya dapat dijelaskan secara tepat dengan memahami konteksnya, baik konteks gramatikal, situasional, maupun sosialbudaya. Justru itu, dengan analisis sosiopragmatik dapat dijelaskan nilai-nilai budaya yang tersirat di balik penggunaan bahasa Hamka yang sesungguhnya menjadi unsur utama dalam membangun perilaku sosial etnik Minangkabau.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Aswar, Sativa Sutan. 2006. ”Menyikapi Perubahan Nilai-nilai Adat di Tengah Masyarakat Minangkabau.” Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang, 29-30 November 2006

Audah, Ali. “Hamka: Sastrawan, Ulama, Mufassir”. Horison. XLIII/9/2008

Hakimy, Idrus. 1997. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya

Hamka. 2008. Di Bawah Lindungan Kaabah. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini

Hamka, Rusydi. 2002. Hamka Pujangga Islam: Kebanggaan Rumpun Melayu. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Navis, A.A. 1986. Alam Takambang jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers

Rasyid. 2006. ”Pelestarian adat dan pengembangan budaya Minangkabau”. Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang 29-30 November 2006

Salmani-Nodoushan, Mohammad Ali. 2006. “The Socio-pragmatics of greeting forms in English and Persia”. The international Journal of Language, Society an Culture. http://www.educ.utas.edu.au. [28 Januari 2009

Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau tematis. Padang: Sentra Budaya

Triana, Hetti Waluati. 2009. ”Bahasa, Kesantunan, dan Perubahan Sosial: Analisis terhadap lakuan tutur menolak etnik Minangkabau moden.” Thesis Ph.D. pada Program Linguistik, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia.


Selengkapnya...

"Pantun Lama" Tentang Melayu : Suara-Suara Kolonialis-Orientalis

Oleh : Deddy Arsya, S.Hum (Alumni FIBA IAIN Padang)

Wacana poskolonial dalam kesastraan Indonesia tidak begitu populer Narasi-narasi kolonial dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan utuh dalam mempengaruhi karya-karya sastra modern Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia tidak sepenuhnya dijajah. Kolonialisasi atas Indonesia hanya bersifat politis, penguasaan dalam ranah kuasa-negara. Atau dengan kata lain, Belanda tidak berhasil melakukan penaklukkan atas kultur dan bahasa daerah jajahannya. Pada aspek bahasa, misalnya, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional Indonesia. Bahasa nasional Indonesia bukanlah bahasa penjajah-nya (bahasa Belanda), tetapi adalah bahasa nasional yang lahir dari hasil modifikasi bahasa Melayu pesisir atau bahasa perdagangan.


A. PROLOG

Namun, meskipun tidak utuh, tidak dapat dinafikan memang, terkadang karya-karya sastra Indonesia telah mengikatkan dirinya dalam aspek-aspek tertentu pada wacana-wacana milik kolonial secara luas, yaitu imperialis Eropa secara umum (tidak Belanda secara khusus). Wacana Barat tentang dunia Timur tetap meng-hegemoni Timur. Dalam beberapa sisi, karya sastra Indonesia, dalam memandang dirinya sendiri, terlihat masih mengadopsi kerangka pikir yang pernah dipakai penjajah-penjajah Barat-Eropa. Pandangan terhadap dunia Timur oleh Barat yang dikembangkan dan dikawal sedemikian rupa oleh para orientalis sejak berabad-abad yang silam juga dilanjutkan oleh elit-elit terdidik Timur sendiri paska penjajahan. Sejak berabad-abad yang silam itu sampai kini Timur tetap menjadi laboratorium raksasa bagi ilmuan-ilmuan Barat. Timur dikaji, ditelaah, diteliti, dengan kacamata berpikir Barat.
Cinta di Dalam Gelas merupakan novel kedua dari dwilogi Padang Bulan karya penulis fenomenal Melayu Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang Pustaka Juli 2010 ini. Mengikuti sukses tetralogi Laskar Pelangi, tercatat, dua minggu setelah diterbitkan, novel ini telah laku terjual 25 ribu kopi. Bulan Agustus 2010, novel ini telah kembali dicetak ulang.
Dalam novel ini, secara sekilas, corak berpikir kolonialis yang diwakilkan orientalis-Barat tampak ‘menyumbulkan dirinya’ diam-diam seperti topi baja menyumbul di bibir parit pertem-puran. Terminologi 'Orang Melayu', 'Lekali Melayu', 'Watak Melayu', misalnya, beberapa kali diulang-ulang novel ini sebagai generalisasi atas tingkah-polah beberapa orang di Pulau Belitong sebagai latar tempat novel ini. Generalisasi semacam ini dilihat mengindikasikan adanya pikiran-pikiran kolonial dalam novel yang ditulis hampir enam dasawarsa setelah Indonesia merdeka ini. agaimana novel ini melihat dan menilai Melayu sebagai entitas budaya? Benarkah terdapat hegemoni corak pikir kolonial-orientalis dalam proses penilaian dan penglihatan itu? Lantas, bagaimana bentuk hegemoni intelektual kolonialis-orientalis yang terdapat dalam novel ini? Tulisan ini akan mencoba membidiknya dari 'parit' yang lain; tulisan ini akan melihat bagaimaan hegemoni narasi-narasi orientalisme itu terdapat dalam karya sastra, Cinta di Dalam Gelas, dengan melihatnya melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarangnya.

B. PRESENTASI DAN GENERALISASI MELAYU DALAM CINTA DI DALAM GELAS

Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.
Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu. Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai.
Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).
Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu. Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah. “Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea (pemiringan tulisan dari penulis).
Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.”
Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya. Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.

C. PENCATAT MELAYU YANG BUKAN-MELAYU
Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat.
Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya. Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109)
Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu.
Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.” Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.
Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya.

D. SUPERIOR BARAT DAN INFERIOR MELAYU (TIMUR)

Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi. (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001). Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan.
Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Atau dalam kata lain, Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.
Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky. “Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.”
Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya! Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar.
Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern (1984: 89). Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.
Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.

E. EPILOG

Cinta di Dalam Gelas mengukuhkan kembali narasi-narasi tentang Timur (dalam hal ini, secara khusus, tetang dunia Melayu) yang ditulis dan dilisankan orientalis-kolonialis berabad-abad silam dan menjadi kokoh di kalangan bangsa-bangsa terjajah kemudian. Andrea Hirata tidak berniat untuk, meminjam Edwar Said lagi, “menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang sudah mantap itu.”


Selengkapnya...

Gender dan Kekuasaan

Oleh : Mhd. Ilham, S.Ag., S.Sos., M.Hum (Ketua PSIFA IAIN Padang/Ketua Jur. SKI FIBA IAIN Padang)

Artikel ini ingin melihat (melalui tiga kasus) tentang kesewenang-wenangan penguasa dalam mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan).

A. (Sekedar) Pengantar : “Salah Kurung !”

Pernah ada anekdot feminis yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menje-laskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.

Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh. Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender.

Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.
Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus sosial. Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan. Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan tersebut. Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.


B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus

1. Kasus Alya Rohali

Pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya. Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).

Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ?

Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.

Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan ”bertensi tinggi”.

Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.
Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”.
Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.

Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra , wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.

2. Kasus Pasal Zina Bagi Kepala Daerah

Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :

“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”

Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian.

Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno , Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup. Maka, Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.

Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit karena film horor (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang. Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi.

Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah) “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan hingga injury time.

Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah.

Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya.

Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.

3. Kasus Anggelina Sondakh


Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik, itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan libido, beda dengan memandang Malinda Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart. Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya. Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid. Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar , tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.

Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo.

Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat. Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Walikota Padang Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang.

Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer, Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene¬-nya tidak permanen.

Karena ia tak bisa mengalahkan kharisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan, kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).


C. Refleksi dan Simpulan

Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini publik untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.


Catatan Pendukung :

1. Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.

2. Nyi Ontosoroh, dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.

3. Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.

Tulisan ini tidak sistematis. Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus per kasus untuk kemudian, secara kualitatif, bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia. Semoga dikritisi.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999

Edward Said, Terorisme : Sejarah dan Konflik Global, terjemahan, Bandung: Mizan, 1994

Goenawan Mohammad, “Mithe Sysiphus”, Catatan Pinggir (Jakarta: Grafiti Press, 1999)

Hassan Hanafi, “Perempuan, Kejahatan Negara dan Teror, terjemahan, Jakarta: Ummat, 1994

Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, bandung: Mizan, 2005.

Michael Foucault, Sejarah dan Seksualitas, terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999


Muhammad Ilham, “Seks dan Kekuasaan : Cleopatra” dalam ilhamfadli.blogspot.com diunggah tanggal 13 Desember 2010.

Nawel el-Sa’adawi, “Wawancara Eksklusif Tempo tentang Gerakan Feminisme di Dunia Arab” Edisi bulan September 2008

Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006

Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999

Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996


www.tempointeraktif.com
www.duniaesai.com
www.detik.com
www.vivanews.com
www.anggelinasondakh.com
www.kalyanamitra.org



Selengkapnya...

Perempuan Minangkabau dalam Teks Media Tahun 1932 : Kasus Surat Kabat Semangat Pemoeda

Oleh : Erman, MA (Dosen Ilmu Sejarah FIBA-IAIN Padang)

Kaum perempuan Minangkabau, khususnya pada era 1920-an/1930-an, dikenal sebagai kaum yang aktif dalam dunia pendidikan serta politik, dua ranah yang dianggap menjadi ranah “laki-laki” pada masa itu. Hal ini terlihat dari beberapa teks media yang muncul pada era ini, satu diantaranya surat kabar Semangat Pemoeda. Suara Putri merupakan rubrik khusus perempuan yang disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda. Perempuan yang biasa memanfaatkan rubrik ini sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Artikel ini mengetengahkan pembahasan historis mengenai eksistensi kaum perempuan Minangkabau sebagaimana yang ternukilkan dalam teks media.

A. Pendahuluan

Perjuangan perempuan dalam menuntut hak mereka pada sektor publik bukan hal yang baru dalam sejarah perjalanan dan kehidupan bangsa Indonesia. Sejak awal abad kedua-puluh sudah muncul perjuangan perempuan di berbagai daerah, baik yang bersifat individual maupun organisasi, untuk melawan sistem sosial yang mengebiri hak-hak perempuan dan penjajahan kolonial Belanda. Di pulau Jawa muncul Raden Ajeng Kartini (1901) yang mengilhami perempuan untuk bangkit menunjukkan jati dirinya. Di Minangkabau muncul pula Rohana Kudus (1884-1972) yang memulai perjuangannya di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah kerajinan, Amai (Ibu) Setia, di kampuang halamannya pada tahun 1911. Ia juga berjuang di media massa sebagai pimpinan redaksi koran Soenting Melayoe yang didirikan oleh Sutan Maharadja di kota Padang tahun 1912. Koran ini membuka kesempatan luas bagi dirinya untuk memperjuangkan nasib perempuan di Hindia Belanda. Selain Rohana Kudus, muncul pula nama Rasuna Said (1910-1965) sebagai tokoh perempuan yang banyak melibatkan dirinya dalam bidang politik. Keterlibatannya pada bidang politik tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitasnya memperjuangkan perempuan pada masa pergerakan. Cita-cita besarnya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan diwujudkannya pula dengan memimpin sekolah kursus untuk perempuan di kota Padang. Selanjutnya ia mendirikan perguruan putri dan memimpin Majalah Menara Putri di Medan.

Pengalaman historis yang mendorong lahirnya tuntutan perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak ketika itu, baik yang dilakukan secara individual maupun organisasi, adalah keterbelakangan yang pada giliranya menempatkan perempuan sebagai kelompok sosial yang selalu tersubordinasi dalam wilayah publik. Penyebab keterbelakangan itu bermula dari konstruksi sosial budaya Minangkabau yang hingga awal abad kedua-puluh masih menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan berada satu tingkat di bawah kaum laki-laki. Di Kota Gadang, misalnya, sebagai daerah yang paling maju di Minangkabau ketika itu, kaum perempuan sesuai tradisi yang berlaku belum dibolehkan mendapat pendidikan formal. Padahal laki-laki jauh sebelumnya sudah dengan leluasa memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan.

Selain pendidikan, perempuan Minangkabau juga belum memiliki hak yang sama dalam bidang politik. Hal ini terungkap dalam berbagai artikel yang dimuat oleh surat kabar yang terbit Hindia Belanda pada awal abad kedua-puluh, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Salah satunya adalah Majalah Isteri Indonesia yang memuat artikel yang ditulis oleh Djoes’a Burhan dengan judul “Dewan Minangkabau Menolak Kaum Ibu ?”. Artikel ini merefleksikan bahwa di Minangkabau yang menganut sistem matrilinial masih mengabaikan hak-hak perempuan. Tiga orang anggota Dewan Minangkabau, yakni S.M. Latief, Tjon Sin Soen dan Datoek Sakato, begitu kata Djoes’a Burhan, menolak kehadiran tokoh perempuan dalam dewan tersebut.

Penguasa kolonial Belanda berusaha pula melanggengkan situasi sosial yang mengabaikan peran perempuan. Kecendrungan ini tercermin dari sikap mereka yang tidak memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan Bumi Putera untuk memperoleh pendidikan. Munculnya Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan oleh Rahma el-Yunusiyah pada tahun 1923 merupakan kritik dan perlawanan terhadap situasi yang ada. Melalui Sekolah Diniyah Putri, Rahma el-Yunusiyah mulai membangun tradisi baru pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Nusantara.

Bagian pertama abad ke-20 merupakan masa penting bagi perempuan Minangkabau untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan jalan melibatkan diri dalam wilayah yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pendidikan, ekonomi dan politik. Untuk memperjuangkan hak-haknya, perempuan Minangkabau mulai menggunakan media massa, baik media yang didirikan oleh atau untuk kaum perempuan maupun media yang khusus menyediakan rubrik bagi perempuan. Media massa perempuan pertama adalah Soenting Melayoe yang didirikan oleh Datuek Maharadja di kota Padang pada tahun 1911 atas usulan Rohana Kudus yang langsung menjabat pimpinan redaksi. Pada tahun 1919 terbit pula Koran Soeara Perempoean di Kota Padang yang dipimpinan oleh Mei Saadah. Kemudian pada tahun 1925 muncul lagi di tempat yang sama koran perempuan yang bernama Asjraq.

Selain surat kabar dan majalah perempuan, muncul pula surat kabar yang menyediakan secara khusus rubrik bagi kaum perempuan di Minangkabau pada awal abad ke dua puluh. Salah satunya adalah Surat Kabar Semangat Pemoeda yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Islamic College (PIC) di kota Padang pada tahun 1932. Edisi pertama Surat Kabar Semangat Pemoeda terbit pada tanggal 15 Maret 1932 di Alang Lawas, Padang dan berikutnya secara berkala diterbitkan satu kali setiap bulan. Surat kabar ini memiliki rubrikasi yang menarik dan mampu memikat hati para pembacanya, seperti tajuk/editorial, halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri, kronik, aneka warna dan kaca perbandingan. Rubrik “Soeara Poetri” disediakan secara khusus untuk para penulis perempuan agar mereka memiliki kesempatan menyampaikan gagasan dan pemikiran. Sejalan dengan ini, suatu pertanyaan menarik untuk dijawab adalah, isu-isu apa saja yang ditulis oleh perempuan Minangkabau dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda ?.

B. Sekilas tentang Surat Kabar Semangat Pemoeda

Perhimpunan Pelajar Islamic College sebagai pelopor lahirnya Surat Kabar Semangat Pemoeda sesuai konteks sekarang adalah organisasi mahasiswa. Islamic College yang mewadahi organisasi tersebut merupakan perguruan tinggi setingkat diploma tiga (D3) atau sarjana muda yang didirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) di kota Padang pada tahun 1931. Pendirian perguruan tinggi ini bertujuan untuk menyempurnakan pendidikan di Sumatera Barat yang dipandang oleh tokoh-tokoh Permi ketika itu belum lagi memadai. Pelajaran yang diperoleh di sekolah-sekolah, seperti Sumatera Thawalib dan Diniyah belum lagi mencukupi dan perlu ditambah dengan cara menyediakan institusi pendidikan yang lebih tinggi.

Perguruan Tinggi Islamic College dibuka oleh Pengurus Besar Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) pada tanggal 1 Mei 1931. Sejalan dengan pembukaan perguruan tinggi tersebut, mahasiswa yang sudah mendaftarkan diri langsung mengikuti proses belajar-mengajar. Satu tahun belajar di Perguruan Tinggi Islamic College, para mahasiswa sudah menerbitkan pers pertama dalam bentuk surat kabar bulanan yang bernama Semangat Pemoeda, tepat tanggal 15 Maret 1932. Sejak edisi pertama hingga ketiga, redaksi dipimpin oleh Habladin, seorang pelajar yang berasal dari Maninjau. Pada masa berikutnya, redaksi Surat Kabar Semangat Pemoeda dipimpin oleh Riva’i Ali dan M. Dien Yatim.

Sejak penerbitan pertama, Surat Kabar Semangat Pemoeda mendapat apresiasi dan respon yang luas dari berbagai lapisan masyarakat Sumatera Barat. Para pembacanya tersebar di beberapa daerah, seperti Pariaman, Padang Panjang, Maninjau dan Bukittinggi. Surat Kabar Semangat Pemoeda juga memiliki para pembaca dari daerah lain di pulau sumatera, seperti Bengkulu, Tanjung Enim, Palembang, Medan dan Banda Aceh. Selanjutnya, surat kabar ini juga sudah dibaca oleh masyarakat di pulau Jawa. Beberapa tulisan yang masuk ke meja redaksi dan daftar iklan untuk masing-masing penerbitan merefleksikan bahwa Surat Kabar Semangat Pemoeda sudah dibaca oleh masyarakat Batavia, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Bahkan surat kabar ini juga memiliki pelanggan di Semenanjung Malaya. Untuk masa itu, perkembangan Surat Kabar Semangat Pemoeda sudah sangat luar biasa maju. Sebagai surat kabar yang hanya dikelola oleh para pelajar, Semangat Pemoeda bukan lagi sebagai pers yang bersifat lokal, melainkan sudah bersifat nasional.

Salah satu yang menarik para pembaca Surat Kabar Semangat Pemoeda adalah kemasan dan penyediaan rubriknya yang sesuai dengan semangat zaman pergerakan. Halaman editorial, misalnya, sengaja diisi dengan tulisan-tulisan di seputar masalah politik dan pergerakan, seperti sejarah perjuangan pergerakan di Indonesia, cita-cita kebangsaan dan Islamisme, pemuda dan politik, serta pemuda dan rasa persatuan. Penyediaan rubrik dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda juga mampu menarik perhatian para pembaca. Rubrikasi tersebut adalah halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri, kronik, aneka warna dan kaca perbandingan.

Halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri dan kaca perbandingan merupakan rubrik yang selalu disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda pada setiap penerbitan. Pada rubrik halaman sejarah dimuat tulisan tentang tokoh-tokoh besar dunia yang berpengaruh dalam kehidupan bangsa mereka masing-masing. Tokoh Indonesia yang diangkat pada halaman tersebut adalah Rangga Warsita dan Raden Ajeng Kartini. Rangga Warsita ialah seorang pujangga, intelektual dan pengarang besar Indonesia yang muncul pada permulaan abad kesembilan belas di daerah Solo.

Sementara, RA. Kartini ialah pejuang perempuan Indonesia yang menentang tradisi Jawa yang dalam pandangannya ketika itu sangat membelenggu hak-hak perempuan. Tokoh besar negara lain yang dimuat adalah Dr. Rabindranath Tagore (pujangga, intelektual dan juru pendidik India), Thomas Garique Masaryk (pejuang kemerdekaan Cekoslowakia), Mahandas Karamchan Gandi (tokoh India), Sri Mati Saojini Naidoe (srikandi dan penyair India), George Washington (pejuang kemerdekaan Amerika) dan Dr. Sun Yat Sen (pejuang Tiongkok). Berikutnya rubrik sambil lalu menyajikan masalah-masalah psikologi dengan tema yang disesuaikan dengan kebutuhan para pembaca, seperti dasar kemajuan diri, cita-cita dan cinta, dan lain sebagainya. Rubrik pemandangan luar negeri juga memiliki topik yang menarik dan variatif, seperti badai politik di lautan pasifik, percaturan dunia, aliran politik di dunia, revolusi di Siam perputaran politik, krisis dan peredaran politik dunia, serta dunia Islam.

Secara umum rubrikasi yang ditampilkan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda mampu memikat hati para pembaca. Sayangnya, karena keterbatasan dana, penerbitan surat kabar tersebut hanya bertahan hingga penerbitan yang kesepuluh, tanggal 15 Desember 1932. Meskipun umur hanya setahun jagung, kehadirannya tetap penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bagi kaum perempuan, Surat Kabar Semangat Pemoeda merupakan media untuk memperjuangkan hak-hak mereka.


C. Diskursus Perjuangan Kaum Perempuan dalam Semangat Pemoeda


Suara Putri merupakan rubrik khusus perempuan yang disediakan oleh Surat Kabar Semangat Pemoeda. Perempuan yang biasa memanfaatkan rubrik ini sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka ialah Daniar Zainoeddin, Rohana Kudus dan Noeraini. Dahniar Zainoeddin melalui artikel pertama yang dimuat pada edisi ketiga Surat Kabar Semangat Pemoeda dengan judul “Aroes Pergerakan dan Dimanakah Poetri Islam ?” mengangkat isu perjuangan kaum perempuan tentang pendidikan yang pada awal abad kedua puluh jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum lelaki. Padahal pendidikan, begitu kata Dahniar, sangat penting bagi kaum perempuan agar mereka memiliki pengetahuan yang mampu mendatangkan keselamatan dan kemajuan bangsa.

Pengetahuan juga penting bagi perempuan, sekalipun mereka hanya memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga. Pengetahuan yang cukup dan pendidikan yang baik dapat mengalir dari seorang perempuan ke dalam dada anak-anaknya, sehingga mereka memiliki kecakapan dan keberanian untuk memperjuangkan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Sejalan dengan pandangan ini, perempuan tegas Dahniar Zainoeddin merupakan guru yang paling utama dalam menciptakan keselamatan generasi muda. Justru itu pendidikan perempuan ketika itu patut menjadi perhatian dan renungan berbagai pihak di Indonesia.

Pada tulisannya yang lain dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda yang berjudul “Perempoean dan Pergerakan”, Dahniar Zainoeddin menyinggung kembali masalah pendidikan perempuan yang jauh tertinggal dibanding dengan kaum laki-laki. Selain itu ia juga mengangkat wacana tentang keterlibatan perempuan dalam pergerakan nasional. Perempuan Minangkabau menurut Dahniar jauh tertinggal dengan perempuan di pulau Jawa yang dalam banyak hal sudah berjuang untuk merebut hak-hak mereka dengan cara mengadakan protes, terlibat dalam berbagai perkumpulan dan ikut-serta bersama laki-laki memikirkan penderitaan rakyat, bangsa dan tanah air.

Untuk mendorong perempuan Minangkabau melakukan hal sama, seperti perempuan di pulau Jawa, Dahniar Zainoeddin mengukap dalam tulisannya pengalaman historis pada masayarakat Arab Jahiliyah, di mana perempuan ketika itu berada dalam kondisi tertindas. Kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa penerang bagi perempuan untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka sehingga muncul putrid-putri Islam, seperti Siti Khadijah dan Aisyah yang ikut bersama nabi dalam wilayah pergerakan untuk memperjuangkan Islam. Jauh setelah masa nabi, muncul pula perempuan muslimah, Chalida Edib Chonum, pada masa pergerakan di Turki yang sangat membuat kagum perempuan di benua Eropa. Ia adalah perempuan hebat yang menghalau pasukan Yunani dari Turki dan pernah pula menjabat sebagai menteri pendidikan.

Dahniar Zainoeddin juga menguak kondisi perempuan Minangkabau sebelum abad kedua-puluh, terutama di bidang pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan perempuan negara lain yang masih berada dalam masa kegelapan. Konstrusi sosial di Minangkabau yang dibangun oleh kaum laki-laki hingga awal abad kedua-puluh senantiasa mengibiri hak-hak perempuan. Di mana-mana seorang bapak memandang bahwa anak perempuan tidak perlu di sekolah untuk memperoleh pengetahuan secukupnya. Setinggi-tinggi melanting, perempuan itu jatuh ke dapur juga. Padahal perempuan tegas Dahniar merupakan pendidik yang paling utama bagi segenap anak-anaknya di kemudian hari. Selain itu perempuan memiliki peran sebagai seorang yang beragama, berbangsa dan bertanah air. Sebagai seorang yang beragama, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam membayar semua kewajiban. Sementara, sebagai seorang yang berbangsa dan bertanah air, perempuan juga memiliki peran dan tanggung jawab bagi keselamatan dan kemajuan bangsa dan tanah airnya. Sebagai respon terhadap artikel Dahniar Zainoeddin, muncul pula tulisan dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda dengan judul “Hak-hak Kaoem Perempoean” yang ditulis oleh Rohana Kudus. Di dalamnya Rohana menunjukkan keprihatinannya terhadap nasib perempuan Indonesia pada masa lalu yang masih memiliki pengaruh hingga abad kedua-puluh. Malu rasanya kata Rohana Kudus jika kita membicarakan kemunduran perempuan Indonesia, terutama perempuan Minangkabau pada abad kedua puluh karena di sekeliling kita orang sudah berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan.

Kemunduran perempuan Indonesia bermula pada pengalaman masa lalu, yaitu ketika dunia mengekang kaum perempuan dan menghinakan mereka dengan serendah-rendahnya. Memasuki abad kedua puluh, meskipun ibarat mencuci muka pada saat matahari sudah tinggi, perempuan Indonesia sudah mulai bergerak menuntut hak-hak mereka bagi kemajuan bangsa. Banyak pula perempuan yang sudah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Hasilnya perempuan mulai memiliki peran di berbagai wilayah publik, seperti pekerja kantor, jurnalis, guru dan pemimpin politik.

Keterlibatan perempuan di berbagai sektor publik memang merupakan bagian dari diskursus yang diangkat oleh Rohana Kudus dalam tulisannya pada Surat Kabar Semangat Pemoeda. Pada sisi lain, ia memperingatkan kaum perempuan dengan idiom yang dikutip dari Dahniar Zainoeddin, yaitu perempuan tetaplah perempuan. Sesuai adat ketimuran, perjuangan perempuan di berbagai sektor publik itu jangan melupakan hakikat keperempuannya dan tradisi selama tidak bertentangan dengan kemajuan.

Selain Dahniar dan Rohana Kudus, penulis perempuan yang dimuat artikelnya dalam Surat Kabar Semangat Pemoeda ialah Noeraini dengan judul “Perempoean Bergerak”. Pada awal tulisannya Noeraini menyoroti lemahnya pergerakan perempuan di Indonesia, meskipun mereka yang sudah terjun ke dunia politik. Peran perempuan di bidang politik itu hanya berfungsi sebagai penguat peran yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki. Penyebab lemahnya pergerakan perempuan di Indonesia berasal dari dalam diri mereka sendiri, yaitu perasaan minder (rendah diri) jika berhadapan dengan kaum laki-laki. Justru itu perasaan tersebut mesti dibuang oleh kaum perempuan, sehingga lahir perbinca-ngan yang lebih adil sekalipun berhadapan kaum laki-laki.

Perasaan rendah diri kaum perempuan menurut Noeraini disebabkan oleh kesalahan kaum perempuan dalam memahami sexs diferences antara laki-laki dan perempuan. Persoalan mengandung, melahirkan dan menyusui anak, misalnya, membuat perempuan merasa lemah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan pada akhirnya mengakui bahwa sudah suratan takdir mereka terlahir ke dunia sebagai makhluk yang lemah. Pengakuan perempuan itu dimanfaatkan oleh laki-laki dan dengan nafsu serakah mereka mendominasi berbagai sektor publik,seperti pergerakan politik. Semboyan yang menyatakan bahwa peran perempuan berkisar pada dapur, sumur dan kasur tidak lagi compatible dengan semangat zaman abad kedua-puluh. Ketika dapur sulit berasap, perempuan harus berjuang melawan kemiskinan dan kemalaratan.


D. Penutup

Bagian pertama abad ke-20 merupakan masa penting bagi perempuan Minangkabau untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan jalan melibatkan diri dalam wilayah yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pendidikan, ekonomi dan politik. Untuk memperjuangkan hak-haknya, perempuan Minangkabau mulai menggunakan media massa, baik media yang didirikan oleh atau untuk kaum perempuan maupun media yang khusus menyediakan rubrik bagi perempuan. Media massa perempuan pertama adalah Soenting Melayoe yang didirikan oleh Datuek Maharadja di kota Padang pada tahun 1911 atas usulan Rohana Kudus yang langsung menjabat pimpinan redaksi. Pada tahun 1919 terbit pula koran Soeara Perempoean di Kota Padang yang dipimpinan oleh Mei Saadah. Kemudian pada tahun 1925 muncul lagi di tempat yang sama koran perempuan yang bernama Asjraq.

Selain surat kabar dan majalah perempuan, muncul pula surat kabar yang menyediakan secara khusus rubrik bagi kaum perempuan di Minangkabau pada awal abad ke dua puluh. Salah satunya adalah Surat kabar Semangat Pemoeda yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Islamic College (PIC) di kota Padang pada tahun 1932. Perempuan yang biasa memanfaatkan surat kabar tersebut sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka ialah Daniar Zainoeddin, Rohana Kudus dan Noeraini. Diskursus yang mereka perjuangkan berkisar pada peran perempuan di sektor domestik dan publik. Khusus perjuangan di sektor publik, diskursus peran perempuan di bidang pendidikan dan politik sangat mendominasi tulisan masing-masingnya.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abdullah, Taufik, (1990), Schools and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, terjemahan Lindayanti dan Gutur, Universitas Andalas, Padang.

Ajisaka, Arya , (2004), Mengenal Pahlawan Indonesia, Kawan Pustaka, Jakarta.

Djaya, Tamar, (1980), Rohana Kudus Srikandi Indonesia, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Mutiara, Jakarta.

Etek, Azizah dkk, (2007), Kota Gadang Masa Kolonial, LkiS, Yogyakarta.

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Umminda, Jakarta.

Husein, Ahmad dkk, (1991), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950, Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau BPSIM, Jakarta.

Martamin, Mardjani dkk, (1977/1978), Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah Sumatera Barat 1900-1942, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sumatera Barat, Padang.
Navis, Anas, (1986), Katalog Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang, Padang.
Noer, Deliar, (1980), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,LP3ES, Jakarta.

Sumartana, Th. (1993), Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Wieringa, Saskia E., (2010), Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Galangpress, Yaogyakarta.

Woodward, Mark R., (2008), Jalan Baru Islam, Mizan, Bandung.

Majalah Isteri Indonesia No. 5 tahun 1941

Majalah Raya, Edisi I, Tahun I, November 1933

Majalah Raya, Edisi II, Tahun I, Desember 1933

Medan Ra’yat, No. 9, I Juni 1931

Semangat Pemoeda, edisi ke-2, 15 April 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-3, 15 Mei 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-4, 15 Juni 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-5, 15 Juli 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-6, 15 Agustus 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-7, 15 September 1932

Semangat Pemoeda, edisi ke-8, 15 Oktober 1932

Soenting Melayoe, 27 Juli 1912

Selengkapnya...

Dimensi Keislaman Perjuangan Syafruddin Prawiranegara

Oleh : Prof. Dr. H. Saifullah SA., MA (Dosen FIBA IAIN Padang)

Syafruddin Prawiranegara (selanjutnya hanya disebut Syafruddin saja), dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 di Anyar Kidul, Serang, Banten. Beliau anak kedua dari pasangan Raden Arsyad Prawiraatmadja dan Nur’aini, yang masih keturunan Pagaruyung, Minangkabau. Banten yang merupakan daerah kelahiran Syafruddin merupakan wilayah yang terkenal karena keislamannya. Sebelum ditaklukkan Belanda, Banten merupakan kesultanan yang dipimpin oleh Sultan-sultan, yang berposisi sebagai pimpinan politik sekaligus pembela dan penegak keagamaan. Selanjutnya Minangkabau, sebagai daerah asal ibunya memiliki kultur yang terbuka, egaliter namun kuat dalam memegang prinsip. Gabungan dua kultur dari dua wilayah budaya tersebut antara lain yang menjadikan Syafruddin memiliki watak yang populis, demokratis dan kuat dalam bersikap. Semasa kecil, kehidupan keluarga yang merupakan keluarga yang taat pada agama, ternyata sangat kuat dalam membentuk kepribadian dan sikapnya dalam beragama


A. Biografi Kejuangan

Pendidikan formalnya berawal di ELS Serang, tetapi menamatkannya di Ngawi, karena ayahnya dipindahkan ke Ngawi. Kemudian berturut-turut MULO di Madiun dan AMS di Bandung (1931). Sebenarnya Syafruddin ingin masuk Fakultas Sastera, tapi karena waktu itu belum ada di Indonesia dan harus ke Negeri Belanda, akhirnya beliau melanjutkan pendidikannya ke RHS (Rechts High School/ Sekolah Tinggi Hukum), dan tamat 1939 .
Ketika menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam organisasi USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis), yang merupakan awal pengenalannya dengan dunia social politik. Pada masa remaja ini Sjafruddin kecanduan membaca. Buku apa saja, mulai dari buku sastera, politik, social kemasyarakatan dan masalah keislaman, bahkan buku-buku Komunis seperti Das Kapital dan manifesto Komunis karangan Karl Marx dilahap habis.

Setelah mendapatkan gelar Mr, kariernya bermula dari penyiar dan redaktur penerbit siaran radio swasta, pegawai Departemen Keuangan dan ditempatkan di Kantor Pajak Kediri. Pada masa pendudukan Jepang beliau diangkat menjadi Kepala Kantor Pajak Kediri, kemudian dipindahkan menjadi Kepala Kantor Pajak Bandung.

Sewaktu bekerja di Kediri ini Sjafruddin melangsungkan pernikahan dengan Tengku Halimah yang sehari-hari dipanggil dengan Lily, anak dari Radja Sahaboeddin dan Siti Lodaya, pada tanggal 31 Janauari 1941. Radja Sahaboeddin ini ternyata juga berasal dari Minangkabau, dan bahkan masih ada hubungan jauh dengan ibu kandungnya Nur’aini.

Menyaksikan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang, membawa Syafruddin sering berdiskusi dengan teman-teman bekas aktifis USI, yang belakangan banyak membantu St. Syahrir dalam gerakan bawah tanah menentang Jepang . Kondisi dan berbagai peristiwa di awal Agustus 1945 yang bergerak begitu cepat, mendekatkan St. Syahrir dan Syafruddin kedalam satu garis perjuangan, sekalipun akhirnya berbeda partai.
Setelah Republik Indonesia berdiri, dan dibentuk KNIP dan KNI di daerah-daerah, maka Syafruddin diangkat menjadi Sekretaris KNI daerah Kresidenan Priangan. Pada ketika St. Syahrir diangkat menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP, maka Syafruddin diminta menjadi salah seorang dari 15 orang anggota Badan pekerja KNIP dan selanjutnya Syafruddin pindah ke Jakarta .

Segera setelah Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3 Nopember 1945, tentang perubahan pemerintahan dari presidential menjadi parlementer dan pemerintah menghimbau agar dibentuk partai-partai, maka Sayfruddin masuk Partai Masyumi.

Ada beberapa alasan Syafruddin memilih masuk Masyumi. Beliau datang dari lingkungan keluarga priyayi Banten yang taat dalam beragama. Ayah beliau Raden Arsyad pernah aktif dalam Sarekat Islam cabang Serang, dan setelah pindah ke Ngawi, terrpilih menjadi anggota Provinciale Raad (Dewan Propinsi) Jawa Timur. Jadi kedekatannya dengan Islam sudah ada sejak lama, dan kemudian bermuara pada pilihannya pada partai Masyumi .

Namun begitu, ternyata hubungan baiknya dengan St. Syahrir tidak terganggu dengan perbedaan aliran politik yang dianut. Pada waktu St. Syahrir membentuk Kabinet, Syafruddin diminta menyertai Kabinet, sehingga pada waktu Kabinet Syahrir II, Syafruddin menjadi Menteri Muda Keuangan, dan pada waktu Kabinet Syahrir III, Syafruddin menjadi Menteri Keuangan. Adalah pada waktu Syafruddin menjadi Menteri Keuangan, ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) lahir untuk pertama kali.

Pada periode Kabinet Hatta, Syafruddin masuk menjadi Menteri Kemakmuran. Pada masa ini berlakulah aksi polisionel Belanda yang kedua dengan menduduki Yogyakarta dan menangkap para pemimpin Indonesia, termasuk Sukarno, Hatta dan beberapa orang menteri lainnya.

Pada waktu itu Syafruddin sedang ditugaskan oleh Wapres Bung Hatta di Bukittinggi untuk menyelesaikan masalah keuangan Sumatera . Sebenarnya, sebelum ditangkap Presiden dan Wakil Presiden sempat mengirim telegram kepada Syafruddin yang memberi kuasa untuk membentuk pemerintahan darurat. Meskipun ternyata telegram itu tidak pernah sampai pada Syafruddin, namun Syafruddin dengan inayah Allah dan initiative sendiri membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember 1948 .

Dari hutan-hutan di Sumatera, beliau melakukan hubungan dengan para pemimpin militer seperti Jenderal Sudirman, Kolonel TB. Simatupang, Kolonel A.H. Nasution di Jawa dan dengan para pejabat lain di Luar Negeri, seperti Mr.A.A. Maramis di New Delhi. Melalui hubungan radio pemerintahan darurat pimpinan Syafruddin berjalan dengan efektif, menyampaikan informasi dan instruksi, menerima berita dan masukan, sehingga tidak terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan dalam tubuh Republik Indonesia.

Mengenai hal tersebut Amrin Imran dkk dalam buku PDRI dalam Perang dan Damai, menyatakan :

“Yogyakarta jatuh. Akan tetapi nadi Republik tetap berdenyut. Pusat nadi itu pindah ke pedalaman Sumatera Barat dalam wujud PDRI dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Dari sana denyut itu menjalar ke seluruh wilayah RI bahkan ke perwakilan RI di luar negeri, termasuk perwakilan RI di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), L.N. Palar. Denyut itu juga menggetarkan tubuh Angkatan Perang di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang melalui radiogram menyatakan mendukung dan berdiri di belakang PDRI pimpinan Sjafruddin Prawiranegara”

Akhirnya, karena desakan dunia internasional, Belanda terpaksa mengajak berunding dengan para pemimpin Indonesia yang sedang ditahan di Pulau Bangka. Setelah beberapa perundingan, antaranya Perundingan Roem-Royen membawa kedua bangsa yang berperang itu ke meja perundingan KMB di Den Haag yang berakhir dengan penyerahan kedaulatan kepada Pemerintahan Republik Indonesia (RIS) pada akhir Desember 1949. Namun sebelum KMB dilangsungkan agar tidak terjadi dualisme kekuasaan Syafruddin menyerahkan kembali mandat pembentukan PDRI kepada Presiden Sukarno.

Dalam kabinet pertama RIS, yang dipimpin oleh Hatta, Syafruddin ditunjuk sebagai Menteri Keuangan. Pada bulan Maret 1950, dalam posisinya sebagai Menteri Keuangan, Syafruddin melakukan suatu tindakan yang kemudian terkenal dengan “Gunting Syafruddin”, yaitu suatu kebijakan yang memotong menjadi dua uang kertas Rp 5 ke atas, untuk mengurangi inflasi dan mengisi kekosongan kas pemerintah .
Pada Agustus 1950, dengan didahului oleh “Mosi Intergral M. Natsir”, maka berakhirlah pemerintahan Negara federal (RIS) berubah menjadi pemerintahan Negara kesatuan (NKRI), dan pemerintah berubah dari sistem parlementer menjadi presidential. Presiden Sukarno menunjuk M.Natsir membentuk kabinet yang juga memasukkan Syafruddin sebagai Menteri Keuangan. Kemudian pada waktu pemerintahan Sukiman, Syafruddin diminta menjadi Presiden De Javasche Bank yang terakhir sebelum dilikuidasi dan sebagai gantinya dibentuk Bank Indonesia dengan Syafruddin pula sebagai Gubernurnya yang pertama. Dengan demikian maka Syafruddin menjadi Presiden De Javasche Bank yang terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama. Bahkan kelak jabatan Syafruddin diperpanjang untuk masa bakti yang kedua .

Tapi masa jabatan Syafruddin yang kedua ternyata tidak sampai selesai, karena yang bersangkutan tergerak hatinya untuk mendukung aspirasi daerah yang diprakarsai oleh beberapa orang perwira militer di Sumatera, yang merasa ditinggalkan atau dianak tirikan oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Terdapat beberapa alasan yang membawa Syafruddin untuk bersedia mendengarkan dan mendukung aspirasi daerah waktu itu : Presiden dengan “Konsepsi Presiden”-nya (21 Februari 1957) telah menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur cabinet, presiden mengajak PKI masuk kabinet Gotong Royong, pemerintahan pusat mengabaikan pembangunan wilayah dan kesejahteraan rakyat daerah.

Syafruddin yang akhirnya menyertai PRRI, berusaha mendesak Sukarno supaya surut dari langkah-langkahnya yang menyeleweng dari Konstitusi, ternyata mendapat reaksi keras, yakni menganggap PRRI sebagai pemberontakan yang harus ditumpas habis . Setelah berakhirnya PRRI pada 1961, dan pemberian amnesty umum bagi sisa-sisa PRRI, justru beberapa tokoh – baik yang terlibat PRRI maupun yang tetap ada di Jakarta tapi tidak menyalahkan PRRI -- dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain : Syafruddin, Natsir, St. Syahrir, Mohammad Roem, E.Z. Muttaqien, HAMKA dan lain-lain. Seluruhnya baru dibebaskan setelah munculnya Orde baru (1966).

Selama dalam tahanan, Syafruddin aktif memberikan khutbah. Sebahagian dari khutbahnya itu kemudian diterbitkan berjudul Renungan dari Penjara. Ketika ada upaya dari kawan-kawannya bekas pimpinan Masyumi untuk merehabilitasi Masyumi gagal dan akhirnya membentuk partai baru Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) Syafruddin tidak mau ikut, tapi mencoba mencari saluran lain dengan membentuk Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (HUSAMI) yang antara lain bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi umat pada umumnya dan penguasaha Muslim khususnya. Usaha-usaha yang cukup berhasil adalah memberangkatkan jemaah haji Indonesia secara lebih efisien dan murah, namun sayang usaha mulia ini dilarang oleh pemerintah. Mungkin pemerintah tidak siap untuk melepaskan monopoli pengurusan haji (yang menghasilkan financial) dan bersaing secara fair.
Ketika sejumlah mubaligh Indonesia membentuk organisasi Korps Muballigh Indonesia (KMI) di Jakarta pada 1983, mereka mendesak agar Syafruddin bersedia untuk menjadi Ketua Umum organisasi tersebut. Pada mulanya Syafruddin tidak bersedia, tapi akhirnya karena panggilan hati nurani dan mengingat berbagai masalah yang menyangkut dakwah di tanah air, Syafruddin bersedia menjadi Ketua Umum dengan beberapa catatan, a.l. dakwah harus dengan mematuhi peraturan yang ada, tidak boleh dengan kekerasan dan menyebabkan rakyat gelisah dst. Begitupun, Syafruddin yang cukup toleran itu sering tidak diizinkan memberikan ceramah atau khutbah di beberapa tempat.

Sjafruddin tidak keberatan untuk menyatakan “ya” untuk hal yang memang seyogianya harus didukung, tetapi lebih tidak keberatan lagi untuk menyebut” tidak” untuk hal yang memang harus ditolak. Berpegang pada prinsip itulah, pada usianya yang ke-69, Sjafruddin bersama 49 orang tokoh lainnya menandatangani Pernyataan Keprihatinan yang kemudian popular dengan “Petisi 50”.

Pernyataan Keprihatinan itu antara lain berisi : “Kekecewaan rakyat yang sedalam-dalamnya atas ucapan-ucapan Presiden Soeharto dalam pidatonya di muka Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan Pidato HUT Kopassus di Cijantung 16 April 1980”.
Pandangan kritis itu terutama sebagai upaya penyadaran terhadap kehidupan berkonstitusi, khususnya mengenai penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Ketika terjadi insiden berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984, Sjafruddin sekali lagi menunjukkan keperdulian beresiko dengan membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Letjen TNI (Pur) H.R. Dharsono, dengan anggota Sjafruddin Prawiranegara, Slamet Bratanata, Anwar Harjono dan A.M. Fatwa, untuk mengumpulkan bahan secara mendalam disekitar insiden berdarah Tanjung Priok. Hasil kerja Panitia Kecil ini adalah “Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok” , yang ditandatangani oleh 22 orang tokoh. Seperti kita tahu, tiga orang tokoh Panitia Kecil/Penandatangan Lembaran Putih Tanjung Priok, yakni HR. Dharsono, HM. Sanusi dan AM. Fatwa ditangkap, diadili dan dihukum penjara masing-masing 8, 19 dan 18 tahun. Adalah datangnya era reformasi, yang menyebabkan ketiganya dibebaskan dari hukuman dan dipulihkan hak-haknya oleh Presiden B.J. Habibi.


B. Menyimak Dimensi Keislaman dari Buku/karangan/tulisan Syafruddin

Terdapat setidak-tidaknya 86 buah tulisan/karangan Syafruddin yang dapat didokumentasikan mulai sejak tahun 1946 s/d 1985, dalam berbagai bidang, untuk berbagai keperluan . Beberapa tulisan tersebut ada yang berbentuk buku, makalah, hasil editing bahan ceramah. Umumnya tulisan beliau berupa ceramah atau khutbah (lebaran dan Jum’at), karena memang banyak yang ditulis untuk memenuhi permintaan ceramah. Dengan memperhatikan 86 tulisan tersebut, terdapat perimbangan antara : Ekonomi/Keuangan Syari’ah, masalah khusus keagamaan dan politik.

Walaupun tidak mungkin untuk memilah tulisan-tulisannya, mana yang berdimensi keislaman dan mana yang tidak, sebab ternyata hampir seluruh karangan beliau sebenarnya berdimensi keislaman. Namun untuk memudahkan penganalisaan, kami mengarahkan pembahasan hanya pada buku Islam Sebagai Pedoman Hidup, yang merupakan kumpulan karangan terpilih jilid I, yang disunting oleh Ajip Rosidi dan diterbitkan oleh Yayasan Idayu, Jakarta, 1986. Adapun judul-judul yang terdapat dalam kumpulan karangan tersebut :

1. Islam dalam Pergolakan Dunia,
2. Akal dan Kepercayaan.
3. Israk dan Mi’raj Ditinjau dari Sudut Watenschap,
4. Membangun Islam secara positif,
5. Peranan Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia.
6. Israk dan Mi’raj Ditinjau dari sudut Falsafah, Psikologi dan Ilmu Alam.
7. Al-Qur’an Bukti Kebenaran Nabi Muhammad SAW.
8. Masa Depan Islam.
9. Islam Dilihat dengan Kacamata Modern.
10. Sejarah Sebagai Pedoman untuk Membangun Masa Depan.
11. Peranan Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan.
12. Memetik Pelajaran dari Iqbal.

Karena kebanyakan tulisan tersebut merupakan jawaban dari berbagai masalah aktual yang muncul, dan karena beliau merupakan sosok yang tidak suka menyembunyikan pendiriannya, kalau itu memang diyakininya sebagai benar, maka didalam tulisan Syafruddin kita sering menemukan semacam imbauan atau peringatan yang tidak semua orang mampu dan mau melakukannya, dan tidak semua orang pula mau dan mampu mendengarkannya.

Dalam tulisan-tulisan beliau, semua masalah dikemukakan dengan spektrum luas dan mendalam. Pandangan-pandangan beliau disampaikan secara filosofis, bernuansa sejarah dan tidak emosional, sekalipun pada lawan-lawan politiknya.
Karangan-karangan Syafruddin memuat informasi tangan pertama tentang berbagai hal yang bersangkut-paut dengan kehidupan bangsa dan Negara kita, dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan penegakan demokrasi. Membaca kembali karangan-karangan Syafruddin berarti menghayati kembali sejarah bangsa dan Negara kita sejak awal kelahirannya, tetapi kemudian lenyap begitu saja tanpa penyelesaian yang tuntas.
Kalau diteliti isi dari karangan-karangan diatas, maka dapat ditarik benang merah antara satu dengan lainnya, yakni manusia tidak dapat mengatasi masalah kehidupan nya hanya semata dengan mengandalkan akal/rasio semata, tapi harus dilengkapi dengan “keimanan” yang teguh pada kuasa Allah. Dengan Keimanan penuh Abu Bakar percaya pada Israk Mi’raj, hal yang sama juga diamalkan Sjafruddin.

Menurut Deliar Noer, pengalaman batin Sjafruddin yang sangat kuat tingkat keyakinannya, lumrah terjadi pada seorang yang dibesarkan dalam pendidikan barat, dan sangat minim pendidikan dan pengalaman keagamaannya. Penghayatan dan pengamalan keagamaan yang sedikit radikal itu merupakan cara untuk menjemput kekurangan dan ketertinggalannya.


C. Menyimak Dimensi Keislaman dari sepak-terjang Perjuangan

Pengalaman demi pengalaman hidup yang dialami Sjafruddin secara beruntun sangat menyentuh hatinya dan nalarnya : kematian ayahnya secara tiba-tiba dalam tahun 1939 ketika sedang berpidato, kejatuhan Belanda yang juga secara tiba-tiba baik di Eropah atau di Indonesia, penderitaan rakyat yang tidak terperikan zaman pendudukan Jepang. Proklamasi yang terjadi dalam puasa Ramadan dan tidak mungkin terjadi kal;au tidak ada bantuan “kuasa yang diatas”. Kawan-kawannya sesama USI yang kemudian terkenal sebagai kelompok Sosialis namun memberi kesempatan baginya untuk berperan dalam politik, bermula sejak Badan Pekerja KNIP, kemudian dalam berbagai kabinet diantaranya yang dipimpin Syahrir, yang notabene tidak didukung partainya.

Dalam setiap fase dalam kehidupannya, dari masa muda, mempunyai jabatan tinggi (malah pernah tertinggi dalam tahun 1948-1949), jabatan empuk seperti Presiden De Javasche Bank dan Gubernur Bank Indonesia, ia bagai tak berhenti membuat renungan. Ia malah dengan mudah serta rela meninggalkan jabatan-jabatannya bila keyakinannya memanggil.
Kita perlu menggaris bawahi kembali proses batin ketika ia memasuki partai Islam Masyumi. Ia berusaha mendasarkan sikap, tingkah laku dan pandangannya pada ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Ia melihat usahanya dalam mendirikan PDRI sebagai cermin dari imannya kepada Allah, bahkan usahanya dalam menegakkan PRRI menentang rezim Orde Lama juga sebagai impressi keislamannya.

Dalam renungan yang ia tulis dalam buku Politik dan Revolusi kita, Sjafruddin secara sangat jelas menarik garis pemisah yang amat tegas antara Islam dan Komunis, dan menutupnya dengan kalimat “seorang yang mengaku Muslim seharusnya tidak menjadi anggota ataupun pengikut PKI”.
Bagaimana seorang Sjafruddin mengkolaborasikan pendekatan ilmiah dengan pendekatan imani, kelihatan dalam membahas system ekonomi yang paling sesuai dengan kebutuhan manusia secara personal dan komunal. Maka diujung pencahariannya muncul system ekonomi Islam yang merupakan gabungan pendekatan akademik dan pendekatan falsafah serta sejarah kehidupan manusia.

Yang agak controversial dari pandangan Sjafruddin tentang riba, adalah bahwa bunga bank yang diamalkan pada perbankan Indonesia bukanlah termasuk riba, karena bunganya disepakati kedua belah pihak (tidak sepihak), dan para pihak dapat mengelak dari transaksi tersebut (tidak terpaksa).

Bagi Sjafruddin tidak cukup hanya berislam dalam bentuk konsep, gagasan dan alam batin semata, tapi perlu diimplementasikan dalam bentuk konkrit dan nyata. Pendirian disampaikan dalam berbagai ceramah, diskusi dan khutbah-khutbah, tapi juga dijabarkan dalam bentuk berbagai usaha, seperti mendirikan Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI) dan Yayasan Dana Tabungan Haji dan Pembangunan (YDTHP) yang membantu Umat Islam dapat menunaikan ibadah haji secara mudah dan murah . Menurut perhitungan Sjafruddin, kebijakan pemerintah tahun 1969, yang memonopoli penyelenggaraan haji dengan harga yang mahal, termasuk kategori etatisme, yang tidak sejalan dengan falsafah Negara. Seharusnya penyelenggaraan haji dapat dilakukan oleh swasta, dan pemerintah bertugas mengawasi para penyelenggara swasta tersebut.

Keikut sertaanya dalam Petisi 50, atau Penyusun Lembaran Putih Tanjung Priok yang sudah dapat dipastikan mempunyai resiko sangat buruk baginya yang belum pulih dari status “pemberontakan” PRRI, adalah juga merupakan bagian dari implementasi “Katakanlah yang haq walaupun pahit”, ia merasa bersalah bila ia tidak bersuara, membiarkan segala yang tidak benar berjalan, padahal bukankah memberi ingat itu suatu kewajiban ?.
Seluruh pemikiran dan aktifitasnya, konsep/gagasan dan implementasinya serta resiko-resiko berat yang akan dijalaninya, tersimpul dalam kata kunci
” SYAFRUDDIN LEBIH TAKUT KEPADA ALLAH SWT,” seperti yang digunakan menjadi judul buku biografinya.


D. Kesimpulan dan Penutup

1. Mengenang Mr. Sjafruddin adalah mengenang tiga mutiara yang saat ini hamper hilang : (a). keberanian mengambil keputusan di saat kritis, yang dibuktikan dengan keberanian Sjafruddin mengambil initiative membentuk PDRI pada saat seluruh pimpinan Negara ditawan Belanda pada agresi II 19 Desember 1948. Walaupun pada awalnya Mr. Teuku Mohd. Hasan mempersoalkan segi yuridis gagasan Sjafruddin, karena tidak ada mandaat tertulis untuk pembentukan PDRI tersebut. Namun kekuatan dan rasa tanggung jawab Sjafruddin atas kelangsungan Negara bangsa lebih kuat ketimbang pertimbangan yuridis formal. (b). keutuhan kepribadian dan konsistensi pada pilihan, (c). kejujuran.

2. Seluruh pemikiran, gagasan dan ide Sjafruddin, serta implementasinya dalam bentuk berbagai kegiatan, aktifitas, pilihan-pilihan politik, keberanian mengambil keputusan, seluruhnya didasarkan pada kolaborasi amat sempurna dari pertimbangan rasional (yang didapatnya dalam pendidikan formal dan aneka bacaan) serta pertimbangan keagamaan (yang diterimanya dari keluarga, lingkungannya, serta kepercayaannya pada kuasa Allah, kasih sayang dan mukjizat Allah.

3. Akhirnya dari berbagai pengalaman, penderitaan, tekanan/intimidasi, kekalahan demi kekalahan, dia sampai pada kata kunci “Sjafruiddin lebih takut (hanya) pada Allah”, dan itu berarti selainnya tidak perlu ditakuti.






LAMPIRAN I



Lampiran II





DAFTAR PUSTAKA
Ajip Rosidi (Penyunting), Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepoada Allah SWT, (Biografi), Pustaka Jaya, bekerjasama dengan Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, cetakan kedua, Februari 2011.
------------- (Penyunting), Sjafruddin Prawiranegara 75 Tahun Dalam Pandangan Tokoh-tokoh, Jakarta, 1986.
George McTurnan Kahin, Isael Hassan, Iwan Satyanegara Kamah dan Lukman Hakim, Sjafruddin Prawinegara Penyelamat Republik, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI” bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, 2011
Sjafruddin Prawiranegara, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I, Islam Sebagai Pedoman Hidup, (disunting oleh Ajip Rosidi), Inti Idayu Press, Jakarta, 1986.
------------------------------, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II, Ekonomi dan Keuangan : Makna Ekonomi Islam, (disunting oleh Ajip Rosidi), Inti Idayu Press, Jakarta, 1986.
------------------------------, Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI”, bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, 2011.
--------------------------------, Aspirasi Islam dan Penyalurannya, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI” bekerjasama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), Jakarta, cetakan kedua Februari 2011.
----------------------------------------, Sejarah sebagai Pedoman Untuk Membangun Masa Depan (Peranan Mu’jizat Dalam Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia), Ceramah pada tanggal 30 Juli 1975 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, Yayasan Idayu, Jakarta, 1976.
Supardi Dwima Putra, Prinsip-prinsip Aqidah dalam Ekonomi Islam Menurut Syafruddin Prawiranegara, tesis S.2 (Magister), Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2005.



Selengkapnya...