Oleh : Hetti Waluati Triana, M.Pd., Ph.D (Dosen Ilmu Bahasa FIBA IAIN Padang)
Karya sastra merupakan hasil karya yang dibangun melalui kemampuan pengarang memilih dan menyusun kata, di samping kemampuan merangkai peristiwa sebagai cermin realitas sosiobudaya tempo karya itu dihasilkan. Oleh sebab itu, karya dapat menunjukkan ketinggian dan kepiawaian pengarangnya. Melalui analisis sosiopragmatik dapat dikemukakan aspek sosiobudaya yang tersirat di balik karya Hamka, yaitu nilai-nilai kesantunan dan religius budaya Minangkabau. Temuan itu sekaligus menunjukkan bahwa roman Di Bawah Lindungan Kabah dapat memperlihatkan dan kepiawaian Hamka sebagai pengarangnya.
A. Pendahuluan
Hamka (Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah) adalah putra tokoh pelopor gerakan Islam kaum muda di Minangkabau , Dr. Syekh Malik Karim Amrullah, yang lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau Sumatera Barat, (Hamka, 2002: 1). Hamka adalah seorang tokoh pergerakan nasional, politikus, dan juga pemikir. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, beliau lebih dikenal sebagai seorang ulama yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan.
Karya sastra beliau sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan. Salah satu karya sastra beliau yang boleh mencerminkan kedua nilai itu ialah roman Di Bawah Lindungan Kabah.
B. Pembahasan
Bagian pembahasan ini terlebih dahulu dimulai dengan memaparkan sinopsis roman Di Bawah Lindungan Kabah sebagai latar tinjauan pada kertas kerja ini. Selanjutnya, perbincangan akan difokuskan kepada analisis sosiopragmatik terhadap roman Di Bawah Lindungan Kabah dengan menghuraikan aspek linguistik dan aspek sosiobudaya Minangkabau di masa lampau.
1. Sinopsis Roman Di Bawah Lindungan Kabah
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan keluarga miskin. Ia mempunyai keinginan yang sungguh untuk memajukan diri dan meningkatkan martabat keluarga meskipun dalam kesengsaraan yang tiada berkeputusan. Masa kecil Hamid lebih banyak dilalui bersama ibunya di sebuah dangau. Di dangau itu jua, Hamid mempelajari doa dan bacaan dari ibunya, menolong apa-apa yang dapat dilakukannya untuk membentengi air mata ibunya, menyembunyikan keinginan, dan menelan kegembiraan yang hanya dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Sampai suatu ketika ia mendapat kesempatan untuk dapat menghirup dan menikmati dunia yang penuh dengan harapan dan azam, sebagaimana impian almarhum ayahnya. Kesempatan itu diperolehnya atas bantuan dari keluarga kaya yang baru saja menjadi tetangganya, yaitu keluarga Engku Haji Ja’far.
Engku Haji Ja’far mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Zainab. Zainab adalah anak perempuan yang baik, rendah hati, dan alim; anak yang tidak pernah menyombongkan diri meskipun kepada Hamid, anak yang mendapat pertolongan dari ayahnya. Usia Zainab sememangnya lebih kecil daripada usia Hamid. Oleh sebab itu, mereka menggunakan kata sapaan “abang” dan “adik”, dua perkataan yang manis yang timbul dari hati yang suci.
Kebersamaan pada masa kanak-kanak itu akhirnya melahirkan rasa lain, rasa yang hanya disadari ketika mereka telah tidak bersama-sama ke sekolah, tidak bersama-sama bermain, dan tidak kerap bertemu lagi. Rasa itu jua yang kemudian mempenjarakan kebebasan hati dan nurani keduanya dari kebahagiaan yang lazimnya dipunyai oleh orang muda-muda. Keterpenjaraan itu tak dapat dilepaskan daripada tradisi budaya yang pada masa itu cenderung menjadikan mereka tak kuasa mewujudkan kehendak hati secara terbuka. Bahkan, perasaan itu sangat susah untuk dilafazkan sampai akhir hayat keduanya. Hanya Di Bawah Lindungan Kabah-lah, keterpenjaraan itu dapat terungkap, yaitu melalui surat Rosna, sahabatnya Saleh, dan dalam doa Hamid sebagai hamba yang lemah.
2. Sosiopragmatik dan Budaya Minangkabau
Hamid adalah seorang pemuda baik dan alim yang berlatarkan :
a. Sosiopragmatik sebagai Kaedah Analisis
Sosiopragmatik merupakan salah satu paradigma daripada pendekatan pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1983). Istilah sosiopragmatik dimaksudkan sebagai upaya untuk membedakan kajian tentang kondisi umum dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi kepada kajian yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa yang bersifat setempat atau khusus. Kajian yang demikian dimaksudkan sebagai upaya menggali aspek sosiobudaya yang menjadi latar penggunaan bahasa. Secara tegas Leech (1983: 11) menyebutkan bahwa sosiopragmatik merupakan sociological interface of pragmatics yang dibedakan daripada pragmalinguistik, iaitu the study of the more linguistic and pragmatics. Ini menunjukkan bahwa sosiopragmatik melihat penggunaan bahasa sebagai hal yang berkaitan dengan persoalan sosial.
Pandangan Leech (1983) di atas didukung oleh pandangan Salmani-Nodushan (2006) yang menyebutkan bahawa dalam kajian sosiopragmatik, ada dua set kategori yang dikontraskan, yaitu set linguistik dan set sosiologi. Salmani-Nodushan juga menegaskan bahwa:
Sociopragmatics refers to the way conditions of language use derive from the social situation. In other words, it involves the study of both the forms and functions of language in the given social setting. The term linguistic forms refers to the abstract phonological and/or gramatical characterization of language, social functions, however, refers to the role language plays in the context of society or the individual.
Di sisi lain, penggunaan bahasa tidak hanya mencakup aspek-aspek morofologis dan sintaksis saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek sosiobudaya yang hadir bersamaan ataupun tersirat di balik penggunaan bahasa tersebut. Dalam konteks inilah sosiopragmatik diperlukan kerana ia dapat digunakan untuk menganalisis aspek linguistiknya dan di sisi lain dapat menganalisis praktis sosialnya (Triana, 2009: 100-101). Dengan demikian, analisis sosiopragmatik dapat menjelaskan maksud bahasa dan fenomena sosiobudaya penggunaanya yang dalam hal ini difokuskan kepada nilai kesantunan dan keagaamaan budaya Minangkabau dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah.
b. Budaya Minangkabau
Meskipun Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu . . . Walaupun budaya Minang adalah bahagian daripada budaya Melayu dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.
Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh; yang membentuk seluruh sistem penilaian; yang menjadi dasar daripada sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum.
Oleh sebab itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia. Dengan demikian, setiap individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat berikut ini.
Bak adat bapiek kulik,
Sakik dek awak sakik dek urang,
Sanang dek awak sanang dek urang,
Nan elok dek awak katuju dek urang.
( Seperti adat berbalut kulit,
Sakit bagi kita sakit bagi orang
Senang bagi kita senang bagi orang
Yang baik bagi kita suka bagi orang )
Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahawa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).
Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.
Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaedah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Sikap yang demikian itu dimuat dalam mamangan “raso dibaok naiak, pareso dibao turun” (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun). Mamangan ini menggambarkan bahwa koreksi dan keseimbangan diperlukan dalam bersikap dan berperilaku.
Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluahkan ide dan perasaannya dalam roman Di Bawah Lindungan Kabah. Justru itu, analisis sosiopragmatik dalam kertas kerja ini lebih difokuskan kepada nilai kesantunan dan religius yang tercermin melalui penggunaan bahasa Buya Hamka dalam karyanya Di Bawah Lindungan Kabah.
3. Hamka dan Dibawah Lindungan Ka’bah : Analisis Sosiopragmatik
Roman Di bawah Lindungan Kabah dibangun dengan 13 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Melalui judul-judul itu dapat diketahui bahwa roman ini sememangnya merupakan sebuah narasi yang menggambarkan pengembaraan tokoh utama (Hamid) di perantauan. Pada roman ini, rantau yang dijadikan latar oleh Buya Hamka ialah kawasan Islam di belahan dunia Timur, yaitu Mesir, Medinah, dan Mekah. Di kawasan inilah tokoh utama meredam dan menelan semua kenangan hidupnya di alam Minangkabau; alam yang meniupkan dan membesarkan Hamid sebagai seorang anak, kawan, dan pemuda yang taat beragama dan menghormati adat. Pernyataan itu dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.
... Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya....
Melihat kebiasaannnya yang demikian dan sifatnya yang salih, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya.... Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi.
Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa (Hamka, 2008: 5-6).
Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas, pada asasnya menggambarkan sifat dan perilaku pemuda Minangkabau yang selalu berkait rapat dengan nilai-nilai kesantunan dan dan nilai-nilai religius sebagai wujud nilai budaya etnik Minangkabau. Perkataaan azan subuh, pergi ke mesjid, salih (saleh), beribadat, dan buku-buku agama merujuk kepada ranah religius, sedangkan perkataan halus, tiada terasa, dan kehalusan budi pekerti, serta ketinggian kesopanan agama merujuk kepada ranah kesantunan. Maksud daripada perkataan tersebut dapat dipahami melalui tuturan daripada perkataan itu digunakan, sebagaimana dapat disimak dalam kutipan di atas.
Perkataan azan Subuh dan pergi ke mesjid dapat dikelompokkan pada kumpulan nilai-nilai religius kerana disokong oleh frasa dan klausa biasanya sebelum..., ia telah lebih dahulu bangun, dan seorang dirinya yang menjadi konteks kalimat. Berdasarkan konteks tersebut dapat dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada kalimat “Biasanya sebelum kedengaran azan Subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke mesjid seorang dirinya” digunakan untuk menyatakan sosok tokoh utama (Hamid) yang selalu menghambakan dirinya kepada Sang Khalik. Maksud yang demikian lebih dikesan lagi oleh penuturan pengarang melalui perkataan saleh, beribadat, dan buku-buku agama yang dibangun dalam kalimat “Hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi”.
Pelukisan sosok Hamid yang demikian juga dapat disimak melalui penuturan pengarang berikut.
(i) Satu kali terlihat oleh saya, ketika saya mengerjakan tawaf keliling Kaabah, ia bergantuang kepada Kiswah, menghadapkan mukanya ke langit, air matanya titik amat derasnya membasahai serban yang membalut dadanya, kedengaran pula ia berdoa, Ya Allah! Kuatkanlah hati hamba-Mu ini!” (Hamka, 2008: 7).
(ii) Memang, saya harap Tuan simpan cerita perasaan saya hidup, tetapi jika saya lebih dahulu meninggal daripada Tuan, siapa tahu ajal di dalam tangan Allah, saya izinkan Tuan menyusun hikayat ini baik-baik... Moga-moga air matanya akan menjadi hujan yang dingin memberi rahmat kepada saya di tanah pekuburan (Hamka, 2008: 9).
(iii) “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Kaabah yang suci, yang terpisah dari pergaulan manusia lain. Di sinilah saya selalu bertafakur dan bermohon kepada Tuhan sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan. Setiap malam saya duduk beriktikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya... (Hamka, 2008: 49).
Perkataan serban, berdoa, ya Allah, hamba-Mu, tangan Allah, pekuburan, Kaabah (ka’bah), bertafakur, bermohon, Tuhan sarwa sekalian alam, beriktiraf, dan masjidil haram sememangnya merujuk kepada ranah keagamaan. Perkataan-perkatan tersebut dapat difahami sebagai upaya penggambaran sosok alim tokoh utama (Hamid) oleh pengarang melalui konteks tuturan. Begitu juga dengan perkataan halus dan kehalusan budi pekerti yang merujuk kepada kesopanan kerana disokong oleh frasa dan klausa “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat, dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada ..., serta sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” yang menjadi konteks tuturan. Berdasarkan konteks tersebut boleh dipahami bahwa pilihan dan susunan perkataan daripada tuturan “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ahwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa perbicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa” digunakan untuk menggambarkan watak dan kepribadian tokoh utama yang berbudi pekerti dan bersopan santun.
Watak dan keperibadian Hamid dilengkapi pengarang dengan menggambarkan rasa sayang dan hormat yang teramat dalam kepada ibunya. Penggambaran yang demikian menegaskan kesantunan watak dan kepribadian Hamid yang dapat disimak melalui penceritaan pengarang berikut :
(i) Pada waktu teman-teman bersuka ria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai teman-teman itu, kerana kegembiraan bukanlah saduran dari luar... Apalagi kalau saya ingat, bagaimana dia kerap kali menyembunyikan air matanya di dekat saya, sehingga saya tak sanggup menjauhkan diri darinya (Hamka 2008: 13).
(ii) Terima kasih ibu, nasihat ibu masuk benar ke dalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian.... (Hamka, 2008: 34).
Perkataan yang dicetak tebal pada contoh di atas menunjukkan bagaimana pengarang membangun watak dan kepribadian Hamid yang lebih mulia dengan mengedepankan rasa hormat dan kasih sayang anak kepada ibunya. Maksud demikian boleh ditafsirkan melalui konteks tuturan yang menampung pilihan dan susunan perkataan pengarang. Upaya pengarang yang demikian juga dapat dilihat dari pelukisan tokoh lainnya, yaitu Zainab. Zainab digambarkan sebagai perempuan yang patuh dan sopan, sebagaimana dapat disimak pada tuturan “Apa perintah ibunya, diikuti dengan patuh”.
Selain itu, pengarang juga melakukan upaya tersebut dengan menggunakan pilihan kata ganti nama sebagai penanda kesantunan hakiki dalam interaksi sosial Minangkabau, yaitu kesantunan kunci yang telah sedia ada dalam budaya etnik Minangkabau dan menjadi dasar berperilaku bagi masyarakatnya (Triana, 2009: 289). Penggunaan kata ganti nama yang menunjukkan kesantunan itu dapat disimak melalui kutipan berikut.
(i) “Saya tinggal dekat saja, Mak” jawab saya, “itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah meninggal dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang membuat kuih muih ini....” (Hamka 2008: 17).
(ii) Amat besar budi engku Haji Ja’far kepada saya.... (Hamka 2008: 21).
Perkataan yang ditebalkan pada kutipan di atas merupakan kata ganti nama yang digunakan tokoh utama ketika bertutur dengan tokoh tambahan lainnya. Kata saya digunakan selalu sebagai kata ganti diri pertama tunggal yang menunjuk kepada Hamid, termasuk ketika menyebutkan pemilik, seperti ayah saya dan ibu saya. Beliau merupakan kata ganti nama yang digunakan untuk merujuk kepada orang tuanya, sedangkan perkataan engku Haji Ja’far digunakan untuk merujuk kepada orang ketiga yang sedang diperbincangkan tokoh utama kepada sahabatnya. Pilihan yang demikian sesungguhnya sesuai dengan kaedah bertutur etnik Minangkabau yang dikenal dengan langgam kato atau kato nan ampek.
Apabila dikaitkan dengan aspek sosiobudaya yang menjadi latar pengarang, maka tuturan-tuturan tersebut dapat dipahami sebagai upaya pengarang untuk menggambarkan sosok pemuda Minangkabau tempo dulu. Sosok itu yang sememangnya bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar adat Minangkabau. Upaya itu tersurat melalui penggambaran tokoh yang menghabiskan masanya untuk merendahkan diri di hadapan Sang Khalik dan meningkatkan martabatnya melalui sifat dan perlakuan yang bersandarkan kepada ajaran agama Islam. Upaya penggambaran yang demikian, pada asasnya merupakan cermin daripada amalan pengarang sebagai pemuda Minangkabau yang taat pada nilai budaya dan agama, di samping memperlihatkan latar sosiobudaya pengarangnya.
Kesimpulan yang demikian juga tersirat melalui pandangan Audah (2008) yang menyebutkan bahawa berdasarkan tema dan peristiwa dasarnya, roman yang ditulis oleh Hamka berkait rapat dengan budaya dan agama. Mulai pada halaman pertama nafas agama sekaligus adat Minangkabau segera terasa. Semua itu pada asasnya disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang, yaitu adat- istiadat Minangkabau.
C. Penutup
Hamka bukan hanya sekedar memilih dan menjalin kata demi kata. Akan tetapi, Hamka mencoba mengemukakan nilai-nilai budaya Minangkabau melalui penggambaran dilematik tradisi yang kadangkala mesti mengorbankan perasaan dan naluri kemanusiaan. Ada dua nilai yang ditonjolkan oleh Hamka pada roman Di bawah Lindungan Kabah. Dua nilai itu ialah nilai kesantunan dan nilai religius; nilai dasar yang “wajib” dimiliki oleh etnik Minangkabau dalam mengkontruksi perilakunya di setiap aspek kehidupan. Nilai-nilai tersebut dikemas Hamka dalam tuturan yang penuh implikatur. Justeru itu, pemahaman akan maksud tuturan Hamka hanya dapat dijelaskan secara tepat dengan memahami konteksnya, baik konteks gramatikal, situasional, maupun sosialbudaya. Justru itu, dengan analisis sosiopragmatik dapat dijelaskan nilai-nilai budaya yang tersirat di balik penggunaan bahasa Hamka yang sesungguhnya menjadi unsur utama dalam membangun perilaku sosial etnik Minangkabau.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aswar, Sativa Sutan. 2006. ”Menyikapi Perubahan Nilai-nilai Adat di Tengah Masyarakat Minangkabau.” Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang, 29-30 November 2006
Audah, Ali. “Hamka: Sastrawan, Ulama, Mufassir”. Horison. XLIII/9/2008
Hakimy, Idrus. 1997. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya
Hamka. 2008. Di Bawah Lindungan Kaabah. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini
Hamka, Rusydi. 2002. Hamka Pujangga Islam: Kebanggaan Rumpun Melayu. Shah Alam, Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd
Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Navis, A.A. 1986. Alam Takambang jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers
Rasyid. 2006. ”Pelestarian adat dan pengembangan budaya Minangkabau”. Makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan dan apresiasi Seni Budaya Minangkabau. Padang 29-30 November 2006
Salmani-Nodoushan, Mohammad Ali. 2006. “The Socio-pragmatics of greeting forms in English and Persia”. The international Journal of Language, Society an Culture. http://www.educ.utas.edu.au. [28 Januari 2009
Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau tematis. Padang: Sentra Budaya
Triana, Hetti Waluati. 2009. ”Bahasa, Kesantunan, dan Perubahan Sosial: Analisis terhadap lakuan tutur menolak etnik Minangkabau moden.” Thesis Ph.D. pada Program Linguistik, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selengkapnya...