Oleh : Nofel Nofriadri, SS., M.Pd (Dosen Jur. Bahasa dan Sastra Inggris)
Ada beberapa bahasan-bahasan tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan yang sangat terkait dengan kesantunan berbahasa. Bahasa dapat dikatakan sebagai alat atau sarana kebudayaan dan juga disebut sebagai bagian kebudayaan. Bahasa dapat juga sebagai hasil dari kebudayaan. Makna dari bahasa itu sendiri juga tidak terlepas dari kontek budaya. Bahasa berupa representasi dari sebuah budaya yang juga dapat dikatakan bahwa setiap budaya berbeda dapat dilihat cara berfikir yang terefleksi dalam bahasa sebagai wujud kekhasan sebuah kebudayaan. Melihat fungsi bahasa sebagai sarana berfikir dan sebagai alat komunikasi, tentunya tata cara berbahasa dipengaruhi oleh norma-norma budaya. Kesantunan berbahasa merupakan fenomena nilai dan makna yang berfungsi dalam proses komunikasi antar personal dalam wadah budaya (satuan nilai) tertentu. Kesantunan mencerminkan pola pikir dan nilai kebudayaan, atau sebaliknya.
DIlihat secara formalis dengan pengertian bahasa sebagai bentuk, ujaran-ujaran merupakan wujud dari pemikiran atau ide yang dikemas menjadi kalimat. Kalimat tersebut dilihat dari secara semantic sehingga menjadi kesatuan pesan yang bermakna. Pesan itu kemudian ditangkap oleh lawan bicara dan kemudian terjadi proses komunikasi (paradigm funsional). Ketika proses interaksi yang memfungsikan bahasa tersebut makna merupakan sesuatu yang dinamis. Makna cendrung dipengaruhi oleh partisipan, kontek wacana dan konteks budaya. Nilai dan makna tuturan tidak hanya dicerminkan oleh makna leksikal tetapi siapa yang mengatakan, bagaimana dia mengatakan serta kapan dan dimana ia mengatakan. Disinilah kajian pragmatic yang menyangkut dengan speech act dan speech event. Nilai-nilai kesantunan berbahasa juga tercermin disini.
Dalam suatu proses komunikasi sebagai wujud tindak tutur terdapat prinsip kerjasama dalam bertutur (cooperative principle). Prinsip kerjasama dalam percakapan ini kemudian berkembang menjadi sub-prinsip yang disebut dengan maxim (quantity, quality, relation and manner). Hal-hal tersebutlah yang kemudian mencerminkan kesantunan dalam berbicara.
Secara ringkas, teori kesantunan bahsa menurut Brown dan Levinson (1978) berkisar atas nosi muka (face). Yule menyebutnya dengan face wants yang dibagi menjadi dua yaitu face threatening act dan face saving act. Muka terancam disebut sebagai muka negative dan muka positif adalah sebaliknya. Karena ada ancaman terhadap tindak ujar itu maka terdapat pula strategi untuk mengurangi atau, kalau dapat menghilangkan ancaman itu. Pilihan-pilihan itu adalah:
- Bald-On-Record Melakukan ujaran secara terus terang ‘apa adanya’, tanpa basa basi memenuhi prinsip Grice (maxim)
- Negative politeness, melakukan tindak ujar dengan kesantunan negatif.
- Positive politeness, melakukan tindak ujar dengan kesantunan positif.
- Off-Record , secara samar-samar dan tidak transparan.
- Tidak melakukan tindak ujaran.
Leech mendasarkan pada nosi-nosi:
- Maksim timbang rasa
- Maksim kemurahan hati
- Maksim pujian
- Maksim kerendahan hati
- Maksim kesetujuan
- Maksim simpati
Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan beberapa cara:
- Menerapkan prinsip kesopanan: prinsip yang berusaha untuk memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan dan kesimpatikan. Menerapkan prinsip kerjasama merupakan hal yang penting.
- Menghindari kata-kata tabu
- Penggunaan eufemisme
- Penggunaan kata yang honorific
- Menerapkan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act)
- Penggunaan konstruksi berpagar, yaitu konstruksi kalimat yang menggunakan klausa subordinatif atau kelompok kata yang dapat mengurangi paksaan terhadap lawan bicara. (kalau boleh, jika tidak keberatan)
- Memperhatikan aspek-aspek non linguistic (paralinguistics)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar