Sabtu, 08 Mei 2010

Dinamika Kaligrafi di Sumatera Barat (Sebuah Pengantar)

Oleh : Siti Aisyah, MA (Dosen Kaligrafi FIB-Adab)

Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang istimewa diantara cabang-cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang seni Islam yang lain – musik, arsitektur misalnya, yang dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya lokal dan sejumah seniman non muslim – kaligrafi mencapai puncak keindahannya di tangan-tangan piawai seniman muslim sepenuhnya, tanpa campur tangan pihak lain.

Tanpa Islam barangkali huruf Arab tidak akan berarti apa-apa. Hal ini dapat dilihat dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang berawal dari perhatian mereka terhadap al-Qur’an. Wahyu Allah yang turun melalui Nabi Muhammad adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan kepada hamba-Nya. Pertalian langsung antara tulisan dengan nilai-nilai keagamaan yang sakral menjadikan umat Islam selalu termotivasi untuk terus mengembangkannya. Pandangan ini kemudian dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa liturgis umat Islam. Tulisan Arab menjadi terangkat fungsi dan statusnya, bukan sekedar sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga merupakan tulisan religius yang sakral.
Kehadiran Islam dengan berbagai atribut yang dibawanya, telah membawa perubahan besar dan cepat pada perkembangan tradisi Arab. Betapa tidak, ketika orang-orang Arab tengah asyik-masyuk dengan tradisi verbal yang mereka banggakan, wahyu pertama (al-‘Alaq:1-5) yang berisi perintah Tuhan agar membaca, menelaah, menganalisis justru menghentakkan mereka dari tidur panjangnya seolah menjadi “bom” yang menghempaskan idealisme bangsa Arab, sekaligus “proklamasi” kemestian budaya tulis-menulis dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw (baca: Islam). Wahyu pertama itu segera disusul dengan pengertian lain seperti ‘Tuhanmu yang mengajari manusia dengan pena’. Kemudian dalam surat al-Qalam (Pena) (Q.S: 68: 1) Allah berfirman ; ‘Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis’.

Di samping itu, pengertian-pengertian simbolis pentingnya tulisan juga terdapat dalam banyak ayat, misalnya al-Qur’an yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz (Q.S. 85:21-22), dua malaikat yang mencatat perbuatan manusia (Q.S. 82: 10, 50: 16), pemberian buku catatan perbuatan manusia pada hari akhir kelak (Q.S. 17:73, 10:62, 34:4 dan sebagainya), perumpamaan seluruh pohon di bumi dijadikan pena tidak akan cukup menulis kekuasaan Allah (Q.S.31: 27), dan perumpamaan air laut sebagai tinta yang tidak akan cukup untuk menuliskan kekuasaan Allah meskipun ditambah lagi dengan tujuh kali air laut yang ada di bumi (Q.S. 31:27, 18: 109). Semua ayat diatas merupakan penghargaan yang sangat tinggi terhadap pena, tinta, buku, dan tulisan. Dari sini dapat dipahami bahwa kaligrafi atau tulis-menulis memperoleh asal-usul yang langsung dari Allah lewat firman-firman-Nya. Dalam sejarah perkembangan kaligrafi, nilai-nilai dalam al-Qur’an ini menjadi ruh, spirit bagi para kaligrafer untuk terus mencipta dan berkarya.
Penghargaan yang demikian tinggi terhadap tulisan juga terdapat dalam beberapa Hadist Nabi. Kata Qalam (pena) misalnya disinggung dalam sebuah hadist tentang nasib manusia yang telah tertulis dan tidak dapat diubah, qad jaffa al-qalam (pena telah kering). Hadist lain mengatakan ‘Ajarilah anakmu membaca dan menulis’, serta penjelasan hadist nabi yang merupakan penghargaan terhadap tulisan indah, ‘bahwa siapa yang menulis Bismillahirrahmaniirahim dan memperindahnya, dia akan masuk surga’. Dalam sejarah Islam juga diperoleh keterangan bahwa Nabi mengerahkan para tawanan perang- yang notabene non muslim- untuk mengajari membaca dan menulis anak-anak Madinah. Kecintaan kepada tulis-menulis seperti dicontohkan Nabi akhirnya menjadi tauladan bagi para sahabatnya termasuk Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Budaya tulis-menulis dalam Islam telah memulai sejarahnya dan terbangun kuat sejak masa-masa awal Islam ini.

Memandang kaligrafi dari perspektif agama, hal ini juga didukung oleh citra bahwa kaligrafi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi semangat religiusitas. Ini bermula dari pernyataan-pernyataan Allah sendiri dalam al-Qur’an dan beberapa Hadist seperti yang dikemukakan di atas. Kualitas religius yang suci ini akhirnya menjadi ciri yang sangat tipikal dalam apresiasi kaligrafi sepanjang peradaban Islam. Melihat betapa dekatnya dunia seni dengan dunia agama dalam visi Islam dan peran besar kaum sufi – yang turut meniupkan ruh keilahian dalam seni Islam – kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Hal ini dikarenakan ia tersembul dari spiritualitas (rohani) yang seimbang, serasi, dan harmonis. Keindahannya bukan muncul dari imajinasi tak terarah atau selera egois senimannya.

Dalam kaligrafi Islam tidak ada kesan rebelli (memberontak), yang ada hanya bebas tetapi harmonis, tenteram. Dan keindahannya, keelastisannya adalah peta batin sang kaligrafer yang telah dinafasi oleh ruh religiusitas tertentu.

Pada masa sekarang ini, perkembangan seni kaligrafi di Indonesia semakin cemerlang, seiring dengan irama perkembangan peradaban Islam. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bermacam-macam sayembara dan atraksi kebebasan berkarya dalam ”ranah” kaligrafi serta pameran-pameran kaligrafi di berbagai tempat, baik pada tingkat wilayah sampai tingkat nasional dan internasional. Apalagi dalam pengolahan seni kaligrafi, para kaligrafer semakin bebas dalam menampilkan ekspresi dalam seni mereka, sehingga bermacam-macam gaya dan corak kaligrafi yang mereka tampilkan dalam pameran dan perlombaan kaligrafi tersebut. Corak kaligrafi yang berkembang tersebut tidak dalam bentuk kaligrafi dekoratif saja, melainkan sudah mulai muncul berbentuk seni lukis. Pada mulanya pengolahan karya seni lukis ditampilkan dengan corak yang sederhana dan memiliki kecenderungan senada. Karena pengetahuan mereka terhadap cara penggarapan lukisan ini belum begitu berkembang. Perkembangan ini semakin tampak setelah adanya Festival Istiqlal II 1995 dengan dicanangkannya program pengembangan sanggar kaligrafi, sehingga muncul berduyun-duyun peserta sayembara kaligrafi dalam festival tersebut. Para kader khattat ini membentuk suatu karya kolektif yang dipelopori dengan kelahiran Mushaf Istiqlal (19995) dan Mushaf Sundawi (1997). Akhirnya, setelah ini banyak bermunculan sanggar-sanggar pembinaan seni kaligrafi di berbagai daerah.

Dalam peradaban Islam, seni kaligrafi ini mendapat posisi yang terhormat dan penting dalam kebudayaan Islam. Pernyataan demikian pernah diungkapkan oleh Al-Faruqi bahwa of all categiries of islamic art, calligraphy is the most significant, the most widely appreciated and the most revered by muslim. Dari seluruh kategori seni dalam Islam, seni kaligrafi yang palig umum dan penting serta banyak diapresiasikan dan dihormati oleh kaum muslim. Karena yang ditulis itu adalah firman Allah, yang mempunyai nilai kesucian sangat tinggi dibandingkan dengan tulisan lainnya.

Dengan semakin bebasnya kaligrafer dalam berkarya dalam mengembangkan corak dan warna, sehingga kaidah kaligrafi sudah terabaikan. Pesan utama dari ayat tersebut tidak lagi dipertimbangkan. Mereka hanya lebih mementingkan ilustrasi warna dan latar belakang serta ornamen hias yang dipadukan dalam melukis kaligrafi tersebut. Akhir-akhir ini sudah ada kecenderungan baru yang ditampilkan pada kaligrafi kontemporer. Pasangan al-Faruqi mengelompokkan kecenderungan ini pada empat macam, yaitu : kaligrafi figural, ekspressionis, simbolik dan abstraksionis murni. Dalam kaligrafi ini, kaligrafer semakin bebas dalam menentukan corak kaligrafi yang mereka sajikan. Kebebasan ini menurut Edi Amin (1999) dapat dikelompokkan dalam dua jalur yang melatarbelakanginya yaitu ekspresi bebas penuh tanpa bertolak pada kaidah huruf dan kebebasan pada pemburuan gaya yang bertolak mazhab-mazhab huruf atau pengembangan huruf dan pengembangan gaya-gaya baku dan penempatannya dalam posisi yang beragam dan penuh kebebasan. Siradjuddin AR dalam pengantarnya mengatakan mereka telah disarati kekayaan wawasan melalui pendalaman yang lebih jauh merasuki seni rupa baru yang lebih elegan.

Kaligrafi adalah satu-satunya seni yang dihasilkan oleh ummat Islam. Kaligrafi merupakan suatu seni yang harus dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat muslim. Karena seni kaligrafi ini disamping dapat mengembangkan dan membudayakan kreatifitas seni, juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya seni kaligrafi itu dimasukkan pada cabang perlombaan MTQ Nasional di Indonesia. Pada MTQ Nasional ke-13 di Sumatera Barat, cabang kaligrafi ini diperlombakan di Padang tahun 1983. Pada waktu itu Sumatera Barat sebagai tuan rumah MTQ tersebut. Cabang ini dikenal dengan cabang Musabaqah Khattil Qur’an (MKQ).

Sebelumnya pergelaran perlombaan ini berbentuk sayembara pada tahun 1981 di Aceh. Irhash A. Shamad, seorang tokoh kaligrafi Sumatera Barat mengatakan pada waktu itu utusan dari Sumatera Barat meraih juara pertama dalam perlombaan kaligrafi. MTQ Nasional ke-13 ini dilaksanakan di Padang dan meraih juara I ini diraih oleh Darami Yunus yang berasal dari kontingen Padang. Pada MTQ Nasional ke-13 cabang kaligrafi ini dijadikan sebagai bagian komponen lomba MTQ. Kemudian, selanjutnya masing-masing daerah mulai memasukkan cabang khath kaligrafi ini pada MTQ, termasuk Sumatera Barat. Untuk tingkat daerah, Pariaman merupakan daerah yang pertama kali mengadakan lomba seni kaligrafi. Berawal dari lomba MTQ tersebut, para peserta lomba kaligrafi ini mengembangkan kemampuan seni mereka berkarya. Masing-masing peserta lomba kaligrafi berusaha membuat karya kaligrafi yang terbaik. Semakin lama hasil karya peserta lomba kaligrafi ini semakin meningkat, karena pada setiap lomba para kaligrafer ini berusaha menambah wawasannya dalam kaligrafi, baik dalam bentuk tulisan, motif dan pewarnaan, agar karya mereka berhasil menjadi yang terbaik, karena perlombaan kaligrafi pada MTQ ini juga bertujuan sebagai pengembangan budaya menulis indah al-Qur’an pada masyarakat Islam.

Pada awalnya, sajian hasil karya yang digelar para peserta lomba kaligrafi itu lebih mementingkan kaidah murni sebagaimana yang telah dikembangkan oleh salah seorang master kaligrafi Hasim al-Baghdadi yang menulis buku Qawaid al-Khat al-Araby. Karya peserta disini lebih mementingkan kaidah murni, tidak menonjolkan dekoratifnya, sekalipun dilengkapi dengan illuminasi warna, senantiasa melahirkan warna-warna yang lembut dan serasi. Sesuai dengan tujuannya, menyajikan karya mendatangkan kesejukan di hati yang melihatnya.

Arah perkembangan seni kaligrafi di Sumatera Barat secara historis belum ditemukan secara jelas, karena belum begitu banyak yang berminat menulis tentang perkembangan seni kaligrafi ini sebagai salah satu seni kebudayaan Islam. Sementara Sumatera Barat selama ini dikenal sebagai Serambi Mekkah dengan ditemukannya berbagai pesantren yang berdiri di Sumatera Barat. Disamping itu, Sumatera Barat pernah menjadi pusat siarnya agama Islam seperti Ulakan sebagai tempat asalnya perkembangan Islam di Sumatera Barat. Jadi mustahil tidak adanya perkembangan dalam karya seni kaligrafi ini. Memang dari segi kuantitas, perkembangan kaligrafi di Sumatera Barat memperlihatkan trend yang meningkat. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat terutama generasi muda, ada keinginan untuk mendalami bidang kaligrafi. Pada masa lalu, kaligrafi Islam di Sumatera Barat ini dikuasai oleh segelintir orang saja, namun dari segi kualitas mempunyai kemampuan yang sangat menonjol, seperti Darami Yunus, tokoh yang hampir menguasai jenis khath, dan H. Azhari yang karyanya telah banyak menghiasi masjid-masjid di berbagai daerah di Sumatera Barat.

Sekarang perkembangan baru dalam kaligrafi di Sumatera Barat, sudah banyak bermunculan corak lukisan kaligrafi yang beraneka ragam. Berbagai kombinasi aksara dengan latar belakang artistik arahan para illuminasi yang disajikan para kaligrafer. Ada perkembangan baru dalam kreatifitas serta pengolahan seni lukis kaligrafi ini. Dalam kaligrafi dekoratif, sudah banyak menempatkan ornamen-ornamen hias Minangkabau yang sangat variatif dalam karya mereka, sehingga mampu melahirkan karya seni kaligrafi yang semakin trendi dan dapat beradaptasi dengan perkembangan seni lukis modern.

Tetapi pada perkembangan tersebut, terjadi penyimpangan dari kaidah-kaidah kaligrafi yang ideal. Pada dasarnya kaligrafi itu dibuat untuk menyampaikan pesan melalui yang ditulis dengan tulisan kaligrafi yang indah. Sementara dalam pengolahan seni kaligrafi masa sekarang, kaidah sering diabaikan. Sebagaimana yang terjadi pada kaligrafi dekoratif, keberadaan ayat tidak menonjol, karena adanya penyajian kreasi warna yang berlebihan. Dengan kreasi yang berlebihan tersebut, sering memposisikan ayat yang ingin disampaikan tidak ditonjolkan. Sebaiknya dalam penyajian kaligrafi dekoratif tersebut keberadaan ayat yang mesti lebih ditonjolkan. Dan penulisan ayat itu tetap dipertahankan sesuai dengan kaidah masing-masing khath.

Demikian juga dalam pengolahan seni lukis kaligrafi, karena semakin banyaknya peminat lukis ini, sehingga di antara pelukis tersebut ada yang tidak menguasai kaidah kaligrafi, tetapi mereka telah melukis kaligrafi. Dalam pengolahan seni lukis ini, sering tuntutan artistik itu mengabaikan kaidah. Tulisan ayat pada lukisan seolah-olah tunduk pada lukisan, sehingga akhirnya pesan yang terkomunikasikan hanya sekedar apresiasi. Sedangkan ayat tidak tersampaikan. Kenapa bisa terjadi demikian ? Seharusnya dalam penulisan kaligrafi itu, kaidah kaligrafi tersebut haruslah dipertahankan. Warna dan komposisi lukisan seharusnya tunduk pada tulisan. Apalagi dalam kaligrafi murni, dengan semakin banyaknya peminat kaligrafi pada seni lukis dan dekoratif sehingga peminat kaligrafi murni menjadi berkurang. Pada umumnya orang-orang lebih banyak berminat mempelajari dan mendalami seni lukis dan seni kaligrafi dekoratif. Kenapa demikian ? Padahal untuk menjadi kaligrafer itu seharusnya telah menguasai kaidah-kaidah dari jenis khath tersebut. Maka setelah kaidah-kaidah terkuasai, barulah kemudian dapat mengolah kaligrafi kepada cabang kaligrafi yang diinginkan.

Berdasarkan data-data perkembangan historis kaligrafi di Sumatera Barat tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan buku yang pada prinsipnya (epistimologis) bertujuan untuk mengetahui sejarah perkembangan seni kaligrafi di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat, dilihat dari jumlah peminat dan pecinta kaligrafi, serta mendeskripsikan perkembangan pengolahan seni kaligrafi dan penggunaan alat dan bahan yang digunakan, serta corak pengolahan yang dikembangkan. Disamping itu juga untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan corak (trend) yang berkembang pada fase perintis, pertumbuhan dan perkembangan. Diharapkan buku ini bisa memberikan kontribusi pengayaan khazanah referensi bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang yang mengikuti perkuliahan mata kuliah (wajib-non Sks) ”Praktikum kaligrafi” dimana didalamnya juga diajarkan sejarah pertumbuhan kaligrafi di Indonesia dan Sumatera Barat. Keberadaan buku ini, diasumsikan juga signifikan bila dikaitkan dengan rencana Penyelenggaraan Jurusan Seni Islam dan Kaligrafi Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang yang izin operasionalnya telah diurus sejak tahun 2009 yang lalu, dan Insya Allah, operasionalnya akan dimulai pada Tahun Ajaran 2011/2012 yang akan datang (Sinopsis Mata Kuliah Jurusan SIK, terlampir).

Kesenian sebagai ekspresi estetik keislaman, tampaknya banyak hal yang mesti dikaji, dipikirkan dan dikembangkan sebagai bagian dalam pengembangan wawasan. Guna menumbuhkembangkan hal tersebut, sewajarnya apabila ada wadah pendidikan tinggi seni Islam, selain menyelenggarakan proses belajar mengajar, sekaligus menjadi pusat kajian, pusat dokumentasi, dan pusat berlangsungnya proses penciptaan (kreatifitas).

Pergeseran pusat budaya dan pusat kesenian yang awalnya di kalangan priayi keraton terjadilah pergeseran ketika Islam masuk ke Indonesia. Pendidikan tidak lagi dari garis vertical –tembok keraton- tetapi berada pada hubungan garis horizontal. Kesejajaran sesama insani yang diselenggarakan di masjid-masjid, pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah. Pergeseran tersebut juga menjalar ke bidang kesenian, lewat akulturasi budaya etnik, maka muncul babakan baru dimana Islam memainkan perannya. Hal ini terlihat pada wayang kaligrafi asal Cirebon, ukiran kaligrafi asal Jepara, keramik berkaligrafi asal Plered dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa seni Islam diterima oleh masyarakat luas ketika itu. Budaya Islam menjadi sumber inspirasi yang beragam di dalam proses kreatif, baik seni kriya maupun seni murni. Selain itu dalam perkembangan selanjutnya, tatanan masyarakat juga terjadi perubahan sikap, dari agraris ke industri, dari segala yang tadinya bersifat tradisional menjadi modern dari didasarkan pada konvensi menjadi individu. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran kita bahwa di tengah-tengah globalisasi terjadi beragam spesialisasi begitu juga dalam bidang pendidikan.
(artikel lengkap belum diperbaharui ....... karena belum dipublish dalam jurnal Khazanah)

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum.
    Saya lagi mencari data untuk bahan skripsi saya bu,,menurut ibu presentase pencinta kaligrafi islam atau peminat kaligrafi islam setiap tahunnya berapa ya bu? Terimkasih Sebelumnya, Wassalam

    BalasHapus