Oleh : Yulfira Riza (Dosen Filologi FIBA)
Manuskrip (naskah) kuno merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir setiap bangsa yang memilikinya untuk memberitahu betapa tinggi peradaban yang pernah terbentuk. Melalui manuskrip kuno tersebut, dapat terkuak data dan fakta yang dapat dijadikan sebagai dokumen otentik untuk membuktikan kapan suatu bangsa mengenal budaya, menyusun kehidupan yang teratur, dan mempunyai suatu keyakinan yang teguh kepada Tuhan. Semua itu merupakan mahakarya para leluhur yang diwariskan kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, bukan untuk dijadikan pajangan dan perhiasan di lemari emas. Namun, niat awal penulisan adalah untuk dipelajari isinya, dimaknai setiap goresan aksaranya, dan tentunya diabadikan ilmu yang terkandung di dalamnya dengan penyelamatan kerapuhan raga manuskrip tersebut.
Minangkabau merupakan satu dari sekian banyak tempat penyimpanan manuskrip di dunia. Masuknya Islam pada abad ke-13 menggiring rang Minang untuk mulai mengabadikan hasil pemikiran mereka dalam bentuk tulisan dengan menggunakan aksara Arab Melayu. Sejak saat itulah, naskah-naskah yang antara lain tentang agama Islam, sastra, budaya, undang-undang, ilmu perobatan, ilmu kebatinan, mantra, dan rajah mulai berwujud dalam bentuk tulis. Hingga saat ini, melalui inventarisasi yang dilakukan oleh M.Yusuf, dkk. telah ditemukan hampir 200-an manuskrip yang tersebar di ranah Minang. Hal ini membuktikan betapa kayanya orang Minangkabau dengan ilmu pengetahuan dan betapa Minangkabau telah memiliki peradaban yang tinggi dengan adanya warisan budaya berupa hasil tulisan tangan yang menyimpan ilmu yang sangat bermanfaat. Secara tidak sengaja, sebenarnya nenek moyang orang Minang sangat menginginkan ilmu yang telah mereka pelajari dulu juga diwarisi oleh generasi setelah mereka melalui pengabadian dalam lembaran kertas yang ditinggalkan kepada generasi setelah mereka.
Namun yang terjadi adalah para pemilik manuskrip atau naskah kuno ini di lapangan lebih menganggap manuskrip yang diwariskan kepada mereka adalah benda keramat yang tidak dapat disentuh oleh umum. Manuskrip yang ada pada mereka merupakan benda yang dibiarkan disimpan di tempat yang tinggi (loteng rumah) sebagai penghargaan terhadap naskah tersebut. Hal ini merupakan tindakan yang keliru sekali. Manuskrip, tidak akan pernah ada gunanya jika ia hanya disimpan, dipajang, ataupun dijadikan hiasan. Manuskrip tersebut akan bernilai tinggi bila kita para generasi muda yang mengerti dengan aksara dan bahasa yang terdapat di dalamnya mulai mempelajari dan memahami isi dari manuskrip tersebut atau paling tidak meremajakan isinya.
Tindakan yang paling ringan adalah dengan mengabadikan lembaran-lembarannya melalui kegiatan digitalisasi, memotret dengan peralatan khusus. Hal ini dilakukan agar para peneliti naskah selanjutnya tidak lagi membolak-balik naskah yang telah rapuh tersebut. Mereka cukup melihat hasil digitalisasi melalui Compact Disk (CD). Dengan cara seperti ini manuskrip tersebut akan tetap terjaga fisiknya dari semakin rapuh dan rusak.
Hadirnya para peneliti naskah dan orang-orang yang mencintai naskah dapat membantu upaya untuk menyelamatkan dokumen bangsa yang hampir punah tersebut. Golongan ini merupakan sekelompok orang yang mencoba menyelamatkan isi naskah dengan cara menelusuri tempat-tempat penyimpanan naskah, kemudian menyadarkan para pemilik naskah tentang arti petingnya naskah yang dimilikinya. Mereka datang ke lapangan atau ke tempat-tempat penyimpanan naskah (scriptorium), menemui para pemilik naskah ataupun para pemegang ‘kunci’ penyimpanan naskah kemudian memberikan pengarahan kepada para pemilik naskah untuk menyimpan dan merawat warisan budaya yang dipercayakan berada di garis keturunan mereka.
Langkah untuk mewujudkan sebuah inventarisasi naskah tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Halangan dan rintangan yang ditemui di lapangan kadang sempat menguji nyali para peneliti naskah. Terkadang jauh berjalan mencari naskah, yang ditemukan hanyalah informasi-informasi untuk terus mencari dan mengunjungi orang-orang ataupun tempat-tempat yang ‘diperkirakan’ memiliki dan menyimpan naskah. Informasi scriptoria (tempat penyimpanan naskah) yang didapat dari informan sebelumnya kadang harus menempuh perjalanan yang melelahkan. Namun nyali kecintaan terhadap warisan budaya berupa manuskrip kuno yang menyimpan berbagai ilmu dan budaya bangsa ini terkalahkan oleh semua rintangan yang dihadapi.
Penelitian tentang naskah-naskah kuno sangat berbeda dengan penelitian untuk bidang kajian ilmu lain. Berdasarkan akar kata yang melandasi penelitian naskah yaitu philein yang membentuk kata filologi yang bermakna cinta, member gambaran kepada peneliti naskah bahwa hanyalah orang yang cinta terhadap goresan tangan leluhur bangsa ini sajalah yang dapat meneliti dan menelusuri keberadaannya. Sangat tidak berlebihan kiranya jika orang yang ingin meneliti naskah adalah orang yang lebih dulu mengedepankan rasa cintanya terhadap warisan budaya, rasa cintanya terhadap kandungan isi yang terdapat di dalam lembaran-lembaran kuno itu, dibandingkan dengan kecintaan terhadap materi yang akan dihasilkan setelah naskah itu didapatkan. Penelitian naskah merupakan penelitian yang lebih menanamkan kejujuran, ketekunan, dan keinginan para peneliti tersebut terhadap hasil penelitian yang akan dilakukannya.
Dalam pengerjaannya pun seorang peneliti naskah harus lebih dahulu memunculkan kejujurannya, ketelitian, dan ketekunan dalam menggarap barang yang sudah berdebu tersebut. Itulah sebabnya di dalam setiap hasil penelitian naskah, selalu dicantumkan aparat kritik, sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti terhadap hasil penelitian dan perubahan yang dilakukan selama menggarap naskah tersebut.
Naskah tidak dibenarkan dipisahkan dari tempatnya. Biarkan naskah berada di habitatnya karena naskah tersebut merupakan warisan keluarga naskah yang bersangkutan. Mereka merupakan pemiliknya yang kalau naskah itu diambil dari tempatnya dan dibawa ke tempat lain sama artinya dengan membawa warisan sebuah keluarga atau kasarnya merampas warisan orang lain untuk menjadi milik kita sendiri. Hal ini harus dihindari oleh para peneliti naskah atau orang yang berkepentingan dengan pencarian naskah baik untuk kepentingan pribadi ataupun kolektif.
Tindakan memisahkan naskah dari pemiliknya ini sama halnya dengan membawa harta orang lain utuk dimanfaatkan demi kepentingan sendiri. Apabila orang luar, ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap isi naskah tersebut ingin mendapatkan ilmu dari manuskrip tersebut, cukuplah mereka mempelajari saja isinya dengan tidak mengambil fisiknya. Mengambil isinya itu dapat dengan cara membuat digitalisasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bukan memfotokopinya. Tindakan memfotokopi naskah sama halnya dengan merusak fisik naskah secara perlahan-lahan. Semoga kesadaran untuk tetap mencintai hasil karya bangsa sendiri masih tetap menyelimuti diri kita. Selengkapnya...