Kamis, 26 Mei 2011

Ikhlas Menurut Al-Qur'an : Sebuah Kajian Tematik

Oleh : Drs. Syamsir, M.Ag (Dosen Ulumul Qur'an & Fiqh FIBA)

Islam merupakan sebuah sistem yang universal dan sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan tonggak utama Islam, sekaligus sebagai jawaban universal dan sempurna bagi problema duniawi dan ukhrawi yang meliputi segala masa dan tempat. Namun kesempurnaan ajaran Islam tersebut tidak ada artinya jika pemeluknya hanya menjadikan sebagai formalitas belaka tanpa ada usaha untuk mengimaninya dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajarannya dalam realitas kehidupan.



A. Pendahuluan
Dalam Islam keselarasan antara aspek lahiriyah dengan batiniah merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Mengabaikan salah satunya dapat berakibat pada kurang sempurnanya tindakan seseorang. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an Allah SWT menolak pengakuan beriman orang-orang badui, karena pengakuan mereka itu hanya sekedar ucapan yang tidak disertai dengan ketulusan hati, dan tidak dibuktikan pengaruhnya dalam realitas kehidupan yang berupa amal dan jihad di jalan Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firmannya yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 14 dan 15 yang artinya sebagai berikut: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas dalam al-Qur’an dengan pendekatan metode tafsir tematik (maudhu’i).

B. Makna Ikhlas dalam al-Qur’an
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
Demikianlah beberapa makna ikhlas yang terdapat dalam al-Qur’an. Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada makna ikhlas dalam arti yang keempat (mengesakan).

C. Ikhlas dalam Beragama
Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.

Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Jika kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari—diikuti oleh banyak penyusun hadits lainnya—meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.
Selain itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang, artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)

Selanjutnya bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik. Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid, aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan, terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..
Lawan dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.
Meskipun riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang yang riya’ sebagai berikut:
1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.
2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.
3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.
4. Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada manusia.

Sikap riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan, Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.

Di dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.
Hal yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.
Dari beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah digariskan syari’at islam.



D. Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut:
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.

Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Selain ayat di atas, penjelasan yang serupa juga terdapat dala surat Al Ankabut : 65 dan Yunus : 22. Dalam ayat tersebut diterangka tentang diselamatkannya orang-orang yang ingkar dari amukan badai dan gelombang lautan disebabkan do’a mereka yang penuh keikhlasan. Ketika menafsirkan ayat tersebut (Yunus : 22), al-qurthubi berkomentar, bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah seraya berdo’a kepada-Nya ketika menghadapi kesulitan, dan sesungguhnya orang-orang yang dalam keadaan terjepit (bahaya) akan dikabulkan do’anya sekalipun ia orang kafir, disebabkan keikhlasan mereka kembali kepada Allah.
Di samping beberapa ayat di atas, juga terdapat hadits Rasulullah SAW. Yang menerangkan tentang dikabulkannya do’a orang yang ikhlas. Di antaranya dikisahkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang mengenai tiga orang yang terperangkap dalam sebuah goa yang tertutup oleh sebongkah batu besar akibat longsor. Kemudian ketiga orang itu bertawassul kepada Allah dengan perbuatan yang telah dilakukannya yang benar-benar ditujukan kepada Allah seraya berdo’a : Ya Allah, jika aku melakukan perbuatan ini karena mencari ridha-Mu, maka mudahkanlah kesulitan kami. Maka Allah-pun memudahkan kesulitan mereka, mereka dikeluarkan dari dalam goa dengan selamat.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.

E. Penutup
Sikap ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif pada diri seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya. Mudah – mudahan kajian yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala aktivitas yang diredai Allah.
Penulis menyadari bahwa menafsirkan ayat al_Qur’an bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, apalagi dengan menerapkan metode maudhu’i yang membutuhkan kemampuan yang tinggi, kemauan yang keras , dan dibarengi waktu yang cukup. Mudah-mudahan Allah menilai sajian dalam tulisan sebagai amal yang ikhlas .

2 komentar: