Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKIFIBA/Ketua PSIF@ IAIN Padang)
"Christian Snouck Hourgronje ditakdirkan disumpah dan dipuji sejarah", setidaknya sejarawan Taufik Abdullah pernah berkata pada suatu waktu. Tapi Hourgronje lebih sering dipandang sinis. Rekomendasi intelektual-akademiknya dianggap sebagai "pangkal bala" kehancuran Aceh diawal abad ke-20. Hourgronje yang antropolog serta fasih berbahasa Arab tersebut dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai figur "Malin Kundang". Masuk Islam, belajar tentang Islam, mendekati kaum Muslim Indonesia secara emik, namun bermuara pada kepentingan kolonial Belanda.
Tapi tak sedikit yang mengaguminya. Kekaguman atas totalitas akademik, pemetaan sosio-kultural kaum muslimin dan rekomendasi-rekomendasinya yang amat brilyan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Semua ini bisa kita lihat dalam buku Surat-Surat Snouck Hourgronje pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diterbitkan INIS. Sekian jilid, didominasi oleh karakter sosial budaya Aceh - sebuah daerah yang amat sulit ditaklukkan Belanda.
Snouck Hourgronje yang amat dikagumi oleh Raja Faisal anak Raja Saud pendiri kerajaan Arab Saudi (sebelumnya bernama Hejaz) ini, pernah dicatat dalam sejarah memiliki "jasa lain". Karena kredibilitas intelektualnya yang otoritatif, membuat pemerintah kolonial Belanda selalu mempercayai rekomendasinya. Salah satu rekomendasinya adalah "jangan menghambat orang Indonesia pergi ber-haji". Ini pernah disinggung oleh salah seorang sejarawan Belanda yang pernah melaksanakan studi tentang sejarah haji di Indonesia, namanya Vredenbergt. Menurut Vredenbergt, pada tahun 1926-1927, jumlah jemaah haji dari Indonesia mencapai 43% dari seluruh jamaan haji Indonesia. Dari segi ekonomis, jumlah jamaah haji Indonesia ini cukup menguntungkan. Namun dari segi politik, jumlah ini menggetarkan. Hal ini tersebabkan oleh kekhawatiran Belanda akan pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipimpin oleh para haji, setidaknya sebelum tahun 1920-an. Pemberontakan Cilegon 1888 merupakan salah satu pemberontakan yang dipimpin oleh kaum haji yang cukup fenomenal. Bersamaan dengan pembukaan Terusan Suez dan kekhawatiran akan preseden sejarah, pemerintah kolonial Belanda yang sebenarnya ingin mengurangi orang Indonesia pergi ber-haji ke Mekkah, akhirnya justru membiarkan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan karena alasan ekonomis, melainkan karena pandangan Hourgronje. Ia membuka mata pemerintah kolonial Belanda atas kebutaan mereka selama ini terhadap mitos Islam.
"Dalam Islam, tidak ada lapisan klerikel dan kere, kata Hourgronje meyakinkan. "Kiai bukan Paus seperti dalam agama Katholik. Mereka tidak lebih dari suatu anggota hirarki agama dari pelaksana komando Khalif Konstantinopel. Seorang khalifah tidak dilengkapi dengan kekuasaan agama untuk menetapkan dogma, tapi ia hanyalah simbol bagi kesatuan semua orang Islam" lanjut Hourgronje. Gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang "mekar" pada masa itu (bahkan hidup hingga sekarang) telah menggetarkan Belanda, karena gagasan tersebut tersebar kedaerah jajahannya - dalam hal ini Indonesia - melalui penunaian ibadah haji. Anggapan ini kemudian ditepisHourgronje. "Mekkah tak akan merubah ribuan jamaah haji Indonesia menjadi haji-haji fanatik yang penuh semangat pemberontakan", ujarnya. Pemerintah kolonial Belanda nampaknya harus mempercayai ucapan Hourgronje. Bukan saja karena ia sangat lama menetap di sana dan kemampuannya memadamkan Perang Aceh secara kultural, tapi ia juga memiliki hubungan yang amat sangat akrab dengan keluarga kerajaan Arab Saudi. Akhirnya mau tidak mau kita mengakui "jasa" Hourgronje karena pemerintah kolonial Belanda tak membatasi atau menghentikan orang Indonesia pergi ber-haji ke negeri Ibnu Saud ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar