Rabu, 29 September 2010

Pola Keberagamaan Pengikut Front Pembela Islam Dalam Perspektif Posmodernisme

Oleh : Andri Rosadi, Lc., M.Hum (Dosen Antropologi FIBA)

Jakarta merupakan kota yang menjadi simbol perubahan menuju modernisasi di Indonesia. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, tapi juga dalam pola keberagamaan. Walaupun banyak terjadi perubahan dalam pola keberagamaan masyarakat kota Jakarta, pola-pola lama yang masih bertumpukan pada figur tunggal, pemahaman lebih berbasis pada konsumsi daripada produksi masih bisa ditemukan, yang direpresentasikan dengan baik oleh para pengikut Front Pembela Islam (FPI).


Pemahaman tersebut akhirnya lebih banyak menciptakan unifikasi interpretasi daripada diversitas; lebih menciptakan structur yang hegemonik daripada sebaliknya. Saya akan membahas lebih lanjut dalam tulisan ini pola-pola keberagamaan para pengikut FPI tersebut dalam kaca mata posmodernisme yang lebih menekankan pada produksi daripada konsumsi; diversitas daripada unifikasi; dan decentering daripada centering. Saya melihat bahwa pola keberagamaan para pengikut FPI tersebut, dalam banyak hal, bertolak belakang dengan spirit posmodernisme. Penggunanaan konsep-konsep posmodernisme untuk memahami pola keberagamaan FPI semata-mata bertujuan untuk meletakkan pola-pola keberagamaan tersebut dalam kerangka masa kini tanpa ada pretensi untuk mengatakan ada yang lebih baik dan unggul di antara kedua pola tersebut. Sebagai kota yang terletak di negara yang masih tergolong dalam Dunia Ketiga, saya akan menerangkan terlebih dulu berbagai perubahan yang terjadi di Jakarta dan efeknya terhadap perubahan pola keberagamaan. Kota Jakarta penting untuk diuraikan disini karena statusnya sebagai tempat lahir dan berkembang FPI.

Dunia Ketiga dalam perubahan
Dalam tulisannya, Joe Holland memaparkan permasalahan yang dihadapi oleh masing masing Dunia, mulai dari Dunia Pertama hingga Dunia Ketiga (Holland 2005: 65). Pada Dunia Ketiga, permasalahan utamanya adalah ekonomi. Apapun permasalahan kultural dan politik yang mereka hadapi, yang utama tetap permasalahan ekonomi. Pada Dunia Kedua, sisi yang menonjol adalah masalah politik. Sementara pada Dunia Pertama, yang paling menonjol adalah masalah kultural (Holland 2005: 65). Permasalahan kultural pada Dunia Pertama ini bisa juga disebut dengan permasalahan pemaknaan. Lebih lanjut, menurut Holland, inti suatu kultur adalah spiritualitasnya, karena setiap kultur pada dasarnya adalah sebuah visi spiritual tentang realitas. Artinya, krisis kultural di Dunia Pertama bisa juga dikatakan sebagai krisis spiritualitas.
Sebagai kota yang terletak di Dunia Ketiga, Jakarta dihadapkan pada permasalahan ekonomi dengan tingginya jumlah pengangguran, kemiskinan dan ketiadaan jaminan sosial dari pemerintah. Penduduk Jakarta yang bekerja pun lebih banyak di sektor informal yang tidak memiliki jaminan sosial. Permasalahan ekonomi tersebut kemudian mencapai klimaknya akibat krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998. Menurut salah seorang tokoh FPI, krisis ekonomi tidak hanya menambah beratnya beban ekonomi masyarakat, tapi juga menimbulkan permasalahan kultural dan sosial.
Secara umum, warga dunia berbeda dalam merespons permasalahan yang mereka hadapi. Jika krisis kultural pada Dunia Pertama mengakibatkan orang lari dari agama, krisis ekonomi di Dunia Ketiga, dalam hal ini Indonesia, justru mengakibatkan hal yang sebaliknya: masyarakat justru memperkuat pola keberagamaan mereka, namun bukan relijiusitasnya. Agama menjadi wadah terpenting sebagai faktor pemersatu dan pembentuk identitas. Pola keberagamaan yang saya maksud di sini lebih dalam tataran ekspresi dan simbol-simbol formal, sementara relijiusitas merupakan aspek terdalam dari kualitas keberagamaan seseorang yang sudah tidak tergantung pada ekspresi dan simbol lagi. Perilaku pengikut Front Pembela Islam di Jakarta, yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan budaya akan saya lihat dalam konteks pola keberagamaan, bukan kualitas relijiusitas dalam perspektif posmodernisme.

Posmodernisme dan Agama
Berbicara tentang posmodernisme, berarti masuk ke dalam wilayah yang penuh ambiguitas, ketidakpastian dan disensus. Istilah ini menjadi lebih umum sejak terbitnya buku Lyotard, the Postmodern Condition, pada tahun 1979 (Mats dan Kaj 2000: 148). Istilah ini digunakan untuk mencirikan kecenderungan kontemporer dalam berbagai bidang: sastra, filsafat, arsitektur dan kajian-kajian sosial, terutama antropologi. Secara pasti, tidak ada kepastian ‘setan’ apakah posmodernisme ini. Bahkan pada tingkat yang paling jelas pun, posmodernisme tetap tidak jelas (Gellner 1994: 39). Bagi pendukung modernisme, posmodernisme adalah simbol absurditas yang berkembang ketika manusia (baca: barat) mencari kepastian dengan menggugat kepastian lama, tapi kemudian, ia dikhianati oleh setiap kepastian baru yang dipegangnya. Namun, bagi pendukung posmodernisme, gerakan ini merupakan simbol dari penolakan terhadap adanya kepastian atau Kebenaran (dengan K besar). Kebenaran sebenarnya yang boleh dipegang bersifat fragmentaris dan lokal, tanpa ada kecenderungan untuk menggeneralisasi, apalagi mendominasi.

:: makalah lengkap, (akan) diterbitkan dalam Jurnal Tabuah/Khazanah Edisi mendatang !
Selengkapnya...

Kamis, 16 September 2010

Naskah Fakih Saghir ‘Alamiyah Tuanku Saming Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo (1161 H./1748 M. - 1180 H./1766 M.)

Oleh : Drs.H. Rusydi Ramli, MA (Dosen Jur. SKI)

Naskah Fakih Saghir ‘Alamiyah Tuanku Saming Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adalah sebuah naskah/teks yang ditulis oleh Fakih Saghir sendiri dengan tulisan Arab Melayu. Naskah ini diterbitkan oleh DR.JJ.Hollander di Leiden pada tahun 1857 sebagai buku pelajaran bahasa Melayu (Maleisch Leesboek) dengan judul “Verhaal van denaanvang der Padri Onlusten Op Sumatra door Sjekh Djilal Eddin (cerita dari permulaan Perang Padri di Sumatera oleh Syekh Jilal Eddin). Sumber dari penerbitan naskah ini berasal dari dua naskah tulisan tangan yang bersumber dari naskah asli yang sama.

Pertama, dari naskah yang tersimpan pada perpustakaan Akademi Kerajaan di Delf yang dialih tulis oleh Meursingge, sebagai tulisan tangan yang dinilai baik dan dapat dipercaya oleh Hollander. Kedua, berasal dari naskah tulisan tangan DR.Lenting melalui alih tulis pada tahun 1824 di Batavia dengan bantuan juru tulisnya Muhammad Tjiang Said Allah.

Menurut Karel J. Steenbrink, naskah Jalaluddin ini adalah naskah yang paling menarik sebagai informasi tentang gerakan Padri, karena kebanyakan dari informasi mengenai Padri berasal dari orang-orang yang menentang gerakan tersebut. Naskah ini pernah dilampirkan dalam tulisan De Stuers pada tahun 1849. Dari edisi DR.Hollander diatas, diusahakan menjadi sumber untuk mendapatkan gambaran pemikiran dari salah seorang pelaku gerakan Padri dan gambaran tentang pembaharuan di Minangkabau. Keabsahan dari naskah edisi Hollander ini tidaklah diragukan lagi karena pemilihan sumber yang selektif dari DR.Hollander sendiri.

Judul asli dari naskah ini adalah “ ‘Alaamah dari saya Fakih Saghir ‘Ulamiyah Tuanku Saming Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo jua adanya”. Judul diiringi dengan doa “Allah jualah yang memberi petunjuk kepada jalan kecerdasan”. Hal ini memberi gambaran tentang harapan masyakarat paling kurang harapan sipenulis pada sa’at itu, ialah kecerdasan atau intelektual. Isi naskah Jalaluddin menyebutkan tentang pribadi dan pengetahuan yang diperolehnya serta gambaran masyarakat Minangkabau waktu itu, lengkapnya beliau bagi sebagai berikut : (1). Asal perkembangan ilmu syari’at dan hakikat, (2). Asal teguh larangan dan pegangan agama Allah, agama Rasulullah, (3). Perang hitam dan putih, dan (5). Kedatangan kompeni Belanda.

Fakih Saghir Tuanku Saming Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adalah salah seorang murid Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek Agam. Berdua dengan Tuanku Nan Renceh, Fakih Saghir adalah murid yang cerdas dan harapan guru. Adalah suatu keharusan pada waktu itu bagi murid yang telah tamat dan berhasil untuk membuka surau (tempat) pengajian baru. Fakih Saghir disamping tetap mendamping gurunya Tuanku Nan Tuo, beliau juga membuka tempat pengajian pada surau Bapaknya di Batu Tebal (Agam). Tetapi sewaktu terjadi perselisihan antara Tuanku Nan Tuo dengan kaum adat dan parewa, surau (madrasah). Fakih Saghir dibakar. Menurut Hamka, Fakih Saghir adalah putera dan murid Tuanku Nan Tuo. Tetapi dalam naskah tidak kita jumpai bukti yang menunjukkan bahwa beliau adalah putera dari Tuanku Nan Tuo. Fakih Saghir merupakan murid yang paling setia mendampingi Tuanku Nan Tuo disamping adanya hubungan keluarga. Dalam naskah kita jumpai kata-kata Tuanku Nan Tuo memanggil Fakih Saghir dengan kalimat “hai mushaharah”.

:: Pembahasan mengenai isi Naskah, lihat Artikel sebelumnya (Naskah Otobiografi Syekh Djalaluddin Faqih Saghir Bagian 1 dan 2)

Selengkapnya...

"Mencurigai" Soeharto di Balik Gerakan 30 September 1965

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI/Ketua PsIF@ IAIN Padang)

Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi. Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu.

Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain.

Dalam pleidoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965). Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora), dalam Memoir of Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu. Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.

Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional. Ditemui wartawan melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.“ Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangai Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa, “ ujar Kemal Idris.

Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloid berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September – 5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brogade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan “perlengkapan tempur garis pertama.” Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan “perlengkapan tempur garis pertama” ? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari angota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggotanya juga terlibat dalam peristiwa G30S. Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S paling tidak sejak tanggal 21 September 1965 atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu “perlengkapan tempur garis pertama”, Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan “gerakannya”. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.

Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu ? Ah ... biarlah sejarah yang akan terus "berbicara" !!

Sumber : dari berbagai sumber, terutama J. Luhulima

Selengkapnya...