Kamis, 03 Juni 2010

Kontribusi Islam Dalam Sejarah

Oleh : Dr.H. Ahmad Shafwan N., M.Ag (Dosen Jur. Bahasa dan Sastra Arab)

Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Islam berkembang dengan adanya interaksi dengan peradaban-peradaban out-siders, salah satunya peradaban Barat. Dari proses interaksi antar peradaban tersebut, tercipta hubungan simbiosis mutualis, interaksi saling menguntungkan, saling melengkapi dan saling mengadopsi serta saling mengilhami. Dalam konteks tersebutlah, tulisan ini hadir, dengan mengupas kontribusi peradaban Islam terhadap capaian-capaian peradaban Barat.


A. PENDAHULUAN

Abad ke delapan sampai dengan abad tiga belas merupakan masa kejayaan kebudayaan Is¬lam. Umat lslam berhasil mengua¬sai dunia, setelah lebih dulu menak¬lukkan dua imperium besar dan berkuasa saat itu. Islam menjadi kekuatan politik, sosial, dan kebu¬dayaan yang tidak terkalahkan dan telah menggeser tatanan dunia se¬belumnya, serta menggantikannya dengan struktur politik, sosial, dan kebudayaan Islam. Wilayah Islam melebar ketiga, benua, termasuk Eropa. Umat Is¬lam, selain telah menundukkan bangsa-bangsa di daerah ekspan¬sinya, mampu menggunakan sum¬ber daya setempat, termasuk sum¬ber daya non muslim, dalam mengolah warisan budaya bangsa yang dikuasainya untuk kepentingan Islam dan pengembangan bu¬dayanya.

Perhatian Para khalifah Islam, khususnya Para khalifah dekade pertama dinasti Abbasiyah, dorongan ajaran agama. Islam ter¬hadap pengembangan ilmu penge¬tahuan serta adanya kebebasan dan kemampuan mengkaji dan menggali sumber-sumber pengetahuan, telah mengantarkan Para filosof dan ilmuan muslim ke puncak ke¬jayaan falsafat dan ilmu yang men¬jadi cikal bakal kemajuan perada¬ban modern. Sementara itu dunia barat (baca: Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan yang terefleksi pada bentuk sistem kekuasaan teokratis-dogmatis. Akal tidak diberi hak untuk mengkritik atau memi¬liki persepsi dengan pandangan dan doktrin gereja. Kesinambungan sejarah Eropa dengan Yunani kuno terputus. Bahkan Dr. Omar Amin Housin mengatakan, peradaban Latin dan Yunani kuno tidak pemah tumbuh di Eropa.

Dalam kondisi demikianlah ekspansi Islam memasuki wailayah Eropa hingga menimbulkan reaksi perlawanan fisik berupa perang salib yang ter¬jadi akibat terhalanginya mereka, sebagai penganut Katolik, melakukan kunjungan ke Palestina. Perang ini terjadi kurang lebih dua abad dengan sejumlah kekalahan yang memalukan di pihak mereka. Kenyataan ini menyentak kesadaran mereka untuk mengintrospeksi diri di satu pihak dan memikirkan bagaimana mengenal dan mengalahkan musuh di pihak lain. Buah dari instrospeksi tersebut, munculnya kritik para ahli pada ajaran Katolik dalam berbagai hal, dan puncaknya adalah protes Martin Luther yang melahirkan Kristen Protestan.
Namun secara kontroversial mereka juga ingin mengalahkan umat Islam di samping ingin menangguk kelebihan ilmu dan fil¬safat yang mereka miliki. Maka tidak heranlah bila dalam setiap peperangan dengan umat Islam, mereka menyertakan sejumlah tenaga yang berperan meneliti as¬pek-aspek ilmu pengetahuan dan falsafat di dunia Islam. Dalam konteks demikianlah kita mencoba melihat apa yang mereka dapat, atau dengan sudut pandang kita. Apa yang telah disumbang¬kan Islam terhadap pemikiran barat, bagaimana proses tranfomasinya, macam apa bentuk pemikiran, apa substansi dan bagaimana pengembangannya. Karena persentuhan Islam dan barat berangkat dari kontroversi agama, politik dan sosial, maka aspek-aspek ini menjadi subjek dan menganalisa fakta-fakta se¬jarah, dalam upaya memberikan penilaian secara objektif.


B. TRANSFORMASI DUNIA ISLAM KE BARAT

Sebelum kita membicarakan apa sumbangan Islam terhadap pemikiran barat secara jelas, perlu dike¬tahui lebih dulu bagaimana kondisi riil pemikiran barat saat itu, apa yang mereka miliki dan apa yang belum. Dari sini akan diketahui, apa yang mereka dapat dari dunia Islam, bagaimana tranformasinya serta bagaimana perkembangan¬nya di barat. Kecuali pernyataan DR. Omar Amin Housin di atas, Maryam Jamilah, sebagaimana juga Muhammad Al-Bahiy menjelas¬kan, abad pertengahan bagi Eropa, sungguh dapat dikatakan memiliki peradaban yang khas. la tidak memiliki gambaran se¬rupa, baik dengan masyarakat Yu¬nani kuno maupun Romawi atau Eropa sebagai adanya sekarang. Peradaban Eropa abad pertengah¬an bertolak belakang dengan Eropa modern.

Kata Maryam, bila orang Amerika atau Eropa dihadapkan pada masa ini maka asosiasi vang mun¬cul di benak mereka adalah kebiadaban, kebodohan, feodalisme dan takhayyul. Agama rnereka (baca: gereja) memiliki kekuasaan untuk menuntun manusia, baik dalam tin¬dakan, ataupun untuk mengatur masyarakat, atau dalam memaha¬rni alam: Sistem Paus (Papisme) meletakkan "kekuasaan" terting¬gi di tangan Paus. Kedudukan Paus menempatkan ucapannya sedera¬jat dengan kitab suci. Sistem ini rnenjadikan ajaran “trinitas” se¬bagai doktrin keimanan dan pengakuan dosa serta pengampunan dosa sobagai ibadah.
David E. Aptor mengatakan, di tangan para Paus, kesatuan doa menjadi kesatuan politik. Gereja memungkinkan keselamatan dengan menjanjikan komunitas ke¬hidupan yang ditransedensikan oleh komunitas jiwa jiwa yang kekal. Alam semesta yang rasional orang Yunani terlalu besar untuk dapat diterima oleh manusia abad pertengahan. Para ilmuan yang rnembuat pernyataan bertentangan dengan ajaran gereja akan memperoleh sanksi hukum dari gereja seperti yang dialami Galilio, misalnya.

Jadi Eropa, pada masa ini berada dalam pemikiran statis, atau seper¬ti yang dikatakan H. SMc Neill, kebudayaan Kristen sedang mengalami masa surut yang rendah. Atau dengan ibarat lain, agarna benar-benar jadi penghalang bagi kemajuan ber¬pikir, dan ilmu pengetahuan. Bila diukur dengan teori perubahan sosial, Eropa tidak akan mengalami perubahan yang cepat tanpa adanya paradigma perubahan sosial, seperti dialektisme historis, misal¬nya. Sementara dialog historis satu-¬satunya di Eropa hanyalah dengan adanya ekspansi Islam ke dunia ¬barat dengan pemikiran falsafat dan pandangan rasional-objektif ¬eksperimental yang dibawa para filosof dan ilmuan Islam.

Jadi secara langsung atau tidak, umat Islamlah yang membangun¬kan kesadaran dan semangat kebe¬basan kaum intelektual Eropa un¬tuk berontak terhadap "tangan besi" gereja selama ini, hingga mengantarkan mereka kepada re-¬nesans. Maryam Jamilah mengatakan, renesans bersamaan waktunya dengan penolakan kekristenan oleh kaum intelektual Eropa terkemuka, dipadukan dengan pemu¬jaan mereka kepada Yunani kuno dan Romawi tanpa memberikan kritik sedikitpun. Pernyataan Jamilah ini sekaligus rnenunjuk¬kan, kaum intelektual Eropa tidak menerima Islam, kendati mereka memperoleh falsafat Yunani kuno melalui tangan-tangan kaum filosof muslim.

Fakta ini pula metnberikan pe¬tunjuk kuat, melalui falsafat orang mampu mentbangkitkan rasional berpikir, tapi tidak menjamin membangkitkan kesadaran beraga¬ma Islam secara keyakinan dan prakteknya. Dan inilah yang terja¬di di Eropa. Mereka berubah dengan pesat, baik pemikiran dan peradaban. Tanpa adanya umat Islam, perkembangan Eropa akan berjalan secara evolusi, bahwa yang memberi pemicu dan buah pemiki¬ran Eropa itu Islam dinyatakan oleh Lois Hoyack, Pemberi de¬mokrasi dunia bukanlah Romawi Latin atau Yunani, tapi Islam.

Adanya ekspansi Islam yang begitu besar dan drastis ke dunia barat, menjadi tantangan langsung bagi peradaban barat yang dikuasainya gereja saat itu. Masalah kekuasaan dan agama merupakan masalah strategis dan sensitif bagi bangsa manapun. Kedatangan Is¬laim yang berangkat dari kekuatan asing, serta kekuatan politik dan kekuasaan menggoncangkan posi¬si gereja yang mapan. Adalah suatu keadaan yang logis bila kehadiran Islam jadi bahaya besar di satu pihak, tapi juga membawa pelaja¬ran besar bagi mereka di pihak lain. Karena itu, merupakan faktor pula bila penerimaan Falsafat Yu¬nani yang merupakan akar sejarah nenek moyang Eropa dan kompen-sasi fanatisme mereka, sebagai alternatis para intelektual Eropa. ketimbang menerima Islam sebagai panutan keyakin.

Bagaimapun gereja selama ini mengekang mereka dalam dunia pemikiran, tetapi karena islam datang, menurut kacamata mereka sebagai musuh, maka tentu rasa apriori menutup pintu hati mereka untuk menerima Islam sebagai pa¬nutan. Setidaktnya dalam menghadapi Islam dan umat Islam sebagai musuh, antara kaum gereja dan intelektual sebagaimana faktanya demikian. bersatu dalam barisan melawan dan bahkan dalam barisan perang. Dalam kondisi demikianlah terjadi transformasi pemikiran yang dimiliki dunia Islam terjadi ke barat. Adapun jalannya tranfor¬masi tercatat pada wadah-wadah berikut :

1. Lembaga-lembaga Keilmuan

Sejak abad VIII, Andalusia saja misalnya, sudah menjadi pusat kebudayaan yang kuat, sebagaimana Bagdad dan Mesir, sebagai tempat belajarnya para yang da¬tang dari berbagai penjuru. Cordo¬va, Sevilla dan Granada merupakan tempat-tempat yang menjadi sasa¬ran bagi mahasiswa-mahasiswa kiriman atau yang datang sendiri, untuk belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan. Spanyol merupakan daerah pertama dan utama kontak orang-orang Eropa Latin dengan falsafat dan filosof muslim, khususnya orang-orang gereja. Menurut Syalabi, mereka ini semua yang menyebabkan terbangunnya bangsa Ero dari "tidur”.
Pusat-pusat ilmu pengetahuan di Spanyol dengan cepat menyaingi Bagdad dalam penyebaran pe¬mikiran Islam ke Eropa, apalagi saat itu keluar masuk suatu wilayah tidak seketat seperti masa kini. Guillaum le Bond berpendapat, sebelum orang Norman merebut pulau Sicilia dari tangan umat Is¬lam, mereka lebih dulu menerima pengaruh Islam. Hal ini terbukti, ketika jatuhnya pulau Sicilia, mereka mempertahankan Univer¬sitas Islam agar berjalan seperti blasa.


2. Peran Lembaga Penerjemahan

Yang dimaksud terjemahan di sini ialah penerjemahan buku¬-buku yang ditulis oleh fiolosof dan ilmuan muslim dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Kadang-kadang se¬belum ke bahasa Latin, diterjemah¬kan ke bahasa Spanyol lebih dulu. Para filosof muslim, selain menerjemahkan buku-buku falsafat Yunani kuno, melakukan kajian terhadap pemikiran Yunani kuno, kemudian mengolahnya hingga Menjadi pemikiran khas mereka. Atau mereka memberikan ulasan-¬ulasan yang memberikan kejelasan bagi falsafat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Di samping itu para ilmuan muslim memformulasikan berbagai disip¬lin ilmu terapan dan ekstra serta ilmu-ilmu sosial lainnya.

Apalagi umumnya mereka berkapasitas ganda sebagai filosof dan sebagai ilmuan. Hasil pemikiran dan olahan mereka dituangkan secara ilmiah dalam tulisan-tulisan atau buku. Tulisan dan buku-buku inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh lembaga-lembaga penerjemahan atau individu barat. Banyak dari buku-buku filosof dan ilmuan muslim menjadi literatur pemikiran dan ilmu di barat. Inilah yang menyebabkan nama Al-Kin¬di, Al-Farabi, Ibnu Haitsam, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Rusyd Jabir bin Hayyan dan lainnya menjadi populer di barat.

Tema-tema yang diterjemahkan mencakup berbagai bidang disiplin ilmu falsafat dan ilmu-ilmu eksakta seperti kedokteran, kimia, biologi, optik, astronomi, matematika dan lainnya. Sejarah mencatat, ada 265 karya Al-Kindi, 22 di antaranya khusus falsafat, 19 mengenai as¬tronorni, 16 tentang Astrologi, 1 tentang musik, 11 tentang matem¬atika, 22 mengenai hal ihwal nomor 9 tentang logika dan lain-lain, se¬mua diterjemahkan kebahasa Latin oleh Gerard dari Ceromona (1187).
Zakaria al-Razi yang dikenal di Barat dengan Razes, menurut Ensyclopedia of Islam, hingga abad 17 otoritasnya tidak perlu diragukan. la menulis 200 buku, dan yang berkaitan dengan kedokteran diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan berbagai bahasa Eropa. Ada yang dicetak ulang sampal 40 kali. Yang terbesar di antaranya sebuah eksiklopedi pengobatan Al-Hawi, 20 jilid. Begitu juga dengan karangan-karangan Ibnu Sina yang mencapai 238 buku dalam bidang logika, kedokteran, falsafat, mate¬matika, teologi, politik, tafsir dan lainnya disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menu¬rut Ensyclopaedia Of Islam, telah memantapkan sistem belajar di Eropa berabad-abad.

Jabir bin Hayyan juga seorang ilmuwan muslim yang tidak bisa dipungkiri sebagai pemberi aset dasar kemajuan Eropa modern. 100 karya ilmiahnya di bidang kim¬ia, dengan berbagai istilah teknis kimia kemudian diserap oleh ilmu kimia modern. Selain buku-bukunya yang lain dalam bidang kedok¬teran, astronomi, dan matematika, juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Masih banyak lagi data yang berkaitan yang tidak disebut di sini. Pada prinsipnya ratusan, bahkan ribuan buku tulisan filosof-filosof muslim diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi khazanah ilmu bagi Eropa barat.


3. Kurikulum Pengajaran dan Pendidikan

Pada abad XII dan XIII M berdiri di Eropa beberapa universitas. Menurut keterangan DR. Marsel Davies, universitas yang berasal dari kata "al-Jami'a" bahasa Arab memakai dan memasukkan buku-buku Islam dalam kurikulum pendidikan, setelah mendapat izin dari Paus. Pada masa itu buku-¬buku amat sukar dan kalau ada yang punya buku harus diserahkan pada gereja. Sementara di Spanyol yang menjadi pusat pengetahuan di Eropa memiliki perpustakaan rakyat di setiap kota. Sejarah men¬catat, banyak buku tulisan filosof dan ilmuan muslim dipakai dalam kurikulum pendidikan Eropa be¬rabad-abad lamanya.


4. Pengakuan dari para ahli barat sendiri

Pengakuan para ahli barat ten¬tang besarnya transformasi pemikiran dari dunia Islam ke barat, yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan pemikiran bar¬at selanjutnya, baik falsafat mau¬pun sains serta ide-ide lainnya, diungkapkan oleh sejumlah pakar barat. Di sini dicontohkan sebagaim¬ana pengakuan penulis higgris, Robert Briffault.

“Ide kebebasan bagi seluruh umat manusia, ide persaudaraan antar umat manusia, ide persa¬maan antara umat manusia ter¬hadap hukum dan pemerintahan yang demokratis dengan cara konsultasi dan hak pilih yang umum, ide-ide yang mengilhami revolusi Perancis dan Deklarasi Hak-Hak manusia yang menuju penyusunan konstitusi Amerika dan membakar semangat per¬juangan pembebasan di negara¬-negara Amerika Latin, bukanlah ciptaan barat. Ide-ide itu mendapatkan ilham dan sumber dalam kitab suci al¬-Qur’an. Ide-ide itu merupakan sari pati yang diperoleh para sarjana Eropa abad pertengahan dari Is¬lam dalam masa berabad-abad melalui berbagai ragam masyarakat yang berkembang di Eropa setelah perang salib, dengan meni¬ru persaudaraan Islam. Sangat mungkin terjadi, tanpa adanya orang-orang Arab (mus¬lim) itu kebudayaan Eropa mod¬ern tidak akan ada sama sekali. Dan dapat dipastikan pula tanpa orang-orang Arab itu tak dapat diperkirakan ciri-ciri yang memungkinkan Eropa melebihi semua fase evolusi sebelumnya.


C. SUBSTANSI PEMIKIRAN DUNIA ISLAM

Substansi dari pemikiran yang ada di dunia Islam ke dunia Barat dapat dibagi kepada dua bagian pokok. Pertama pemikiran falsafat dan kedua konsep ilmu-ilmu dasar kealaman (eksakta ). Para filosof Islam, seperti Al¬-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Al-Gazali dan Iainnya telah menggali falsafat Yunani kuno, mulai dari menerjemahkannya, mengolahnya sampai kepada komentar dan ulasan dan formulasi pemikiran mereka sendiri. Inilah yang kemudian ditransfonnasikan ke dunia barat. Inti dari falsafat Yunani ialah berpikir rasional liberal dalam mencari kebenaran untuk kepentingan dan kebahagiaan hidup manusia tanpa bantuan atau keterikatan pada keyakinan agama atau lainnya.

Maryam Jamilah mengatakan, falsalat Yunani kuno berlandaskan premis yang beranggapan bahwa suatu bangsa yang harmonis, sem¬purna, diliputi keindahan dan keadilan, dapat dicapai dengan menerapkan penalaran manusia secara cerdas dan rasional tanpa bantuan kekuatan supranatural apapun. Manusialah satu-satunya peng¬huni jagad raya ini yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan, apa, dari mana, hendak ke¬ mana, kenapa dan bagaimana. Tumpuan terakhir dari semua per¬tanyaan itu adalah kenapa. Ini mencakup masalah hakekat wujud universal, pengetahuan manusia, dan nonna-norma yang dipakai manusia.

Visi inilah yang diambil barat dari kajian falsafat yang ditransformasikan filosof muslim, khususnya pemikiran Aristoteles yang diulas oleh Ibnu Rusyd. Pengaruh ini terlihat pada Albertus Magnus (1206-80), dan Thomas Aquinas (1266-74) serta Siger dari Brabat (1235-82). Umberto Eco menerangkan pentingnya Ibnu Rusyd dalam perkembangan pemikiran Eropa. Katanya orang yang bertanggung jawab, satu abad sebelumnya, adalah Ibnu Rusyd, berkultur Muslim dari ras Bar-bar, berkebangsaan Spanyol dan berbahasa Arab. Ibnu Rusyd lebih memahami Aristoteles dari siapapun, dan mengerti ke mana arah ilmu Aristotelian: Tuhan bukanlah manipulator yang ikut campur dalam segala sesuatu secara sembarangan.

Dia menciptakan alam dengan tata mekanis dan hukum matematisnya, yang diatur determinasi bintang-bintang. Dan karena Tuhan abadi. Falsafat mempelajari tatanan ini, dengan kata lain alam (Eco 1986:263-4)25. Dari pernyataan Eco ini terlihat bahwa yang diterima Barat dari filosof muslim adalah filsafat Yunaninya, bukan ajaran Islamnya, dan filsafat itu bagi mereka menjadi pegangan kebenaran untuk menggeser peranan gereja yang dalam realitas abad pertengahan terlalu ikut campur dalam segala sesuatu yang mengatasnamakan Tuhan, hingga sebenarnya telah terjadi manipulasi atas konsep Tuhan itu sendiri.

Maka tidak heranlah ketika para intelektual barat memperoleh kemenangan dari gereja, mereka benar-benar memanfaatkan kebebasan berfikir secara liberal, sehingga melahirkan pandangan-pandangan hidup yang beragam, seperti ateisme, sekularisme, humanisme, individualisme, kapitalisme, dan isme-isme lainnya, yan g secara keseluruhan sebenarnya merupakan wujud dari sikap menghindari norm a-norma agama yang selama ini mengikat mereka secara tidak rasional dan menjadi penghalang bagi kebebasan hidup mereka dalam berbagai aspek.

Inilah juga barangkali mereka tidak menerima Islam. Pertama karena Islam itu sendiri adalah agama, kekuatan yang selama ini menjadi penyebab terhalangnya mereka kepada kemajuan dan tertekannya hak dan kebebasan mereka, ulah gereja (kekuasaan agama), di samping Islam juga belum mereka kenal secara objektif. Islam hadir dalam kehidupan barat sebagai kekuatan yang berada pada pihak musush mereka sendiri, musuh dalam perang Salib. Dari sini kita juga berprediksi, Ibnu Rusyd lebih diterima oleh barat bukan dalam kapasitasnya sebagai penyebar pemikiran Islam, tetapi sebagai transformator pemikiran rasional Yunani di saat mereka dalam kondisi intern dibelenggu oleh pandangan agama yang dogmatis dan bertentangan dengan rasional. Atau dengan kata lain, Ibnu Rusyd dengan hantaran filsafat Yunaninya pada barat telah memberi mereka alternatis baru bagi kegelapan pemikiran barat sebelumnya.

Kemajuan barat kemudian (positif dan negatifnya) berangkat dari masa renaisansnya itu. Dan ini juga berarti bahwa tanpa adanya para filosof Islam, Eropa relative tidak mungkin bangkit dari masa kegelapan. Namun, dengan kembalinya barat pada pemikiran Yunani, seperti kata Maryam Jamila, berarti mengembalikan kehidupan mereka kepada sekularisme seperti masyarakat Yunani kuno itu sendiri. Menurut hemat kita umat Islam tidak perlu bangga dengan hasil Ibnu Rusyd di Eropa hanya karena ia filosof muslim, sebab statusnya hanyalah menolong orang Eropa yang dalam kegelapan dengan mengantar “cahaya filsafat Yunani” sebagai penerangan, dan bukan “cahaya Islam” itu sendiri.

Kita justeru berkeyakinan bahwa sumbangan dunia Islam yang besar terhadap Eropa terletak pada warisan khazanah ilmuan muslim dalam bidang-bidang eksakta yang secara keseluruhannya menjdi dasar pengembangan sains dan teknologi oleh barat. Para filosof yang sekaligus ilmuan muslim, seperti Ibnu Sina, al-Razi dan lain-lain telah menyusun dan membuat beberapa furmulasi dasar keilmuan yang menjadi azas sains dan teknologi. Tanpa adanya angka Arab saja misalnya, tidak mungkin sains di barat berkembang seperti saat ini, bagaimanapun jeniusnya Einsten, misalnya.
Fakta-fakta sejarah mengenai masalah ini telah disebutkan dalam pembicaraan transformasi. Begitu juga dengan ilmuan muslim yang lain, Jabir bin Hayyan, penemu al-jabar dan angka Ibnu al-Haitsam merupakan perintis ilmu optik, al-Razi dinyatakan sebagai perintis latsrokimia di zaman rainaisans, Ibnu sina penemu bedah dalam kedokteran dan lain-lain yang juga disebutkan sebelumnya. Masalahnya sekarang, bidang-bidang ini, setelah mereka meninggal tidak dilanjutkan oleh dunia Islam, sementara barat melanjutkannya secara akademis, ilmiah dan berkesinambungan berabad-abad lamanya, sampai lahir poenemu-penemu barat sendiri yang kemudian dianggap dan diakui oleh mereka sebagai innovator dalam bidang masing-masing. Namun fakta sejarah juga menunjukkan bahwa tidak satu orangpun dari para bapak ilmu pengetahuan barat yang lahir dan hidup pada abad pertengahan, zaman kegelapannya barat.

Padahal secara teoritis, ilmu-ilmu eksperimental tidak mungkin langsung bisa berdiri sendiri tanpa ada teori dan eksperimen-eksperimen sebelumnya. Dr. Ali Abdullah al-Difa’ mengatakan, andil umat Islam amat besar dalam ilmu-ilmu aksakta ini, kendati sebagian ahli barat menyangkalnya, namun diantara mereka ada juga yan g secara jujur mengakui , seperti Rom Londou yang menulis dalam majalah: “al-‘Alam al-‘Arabi”. Sebenarnya ilmuan Arab (muslim) dan umat Islam lebih dulu maju dalam ilmu-ilmu kealaman (eksakta) seperti kedokteran, farmasi dan kimia. Tidak seperti dakwaan barat bahwa ilmuan Arab hanya unggul (lebih dulu maju) di bidang ilmu falak, sastra dan filsafat saja.


D. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa umbangan Islam terhadap pemikiran barat besar dan mendasar serta berbekas sepanjang sejarah. Pengaruh filosof dan ilmuan muslim telah merubah pola berfikir barat dari dogmatis-irrasional menjadi rasional liberal yang kemudian melahirkan isme-isme baru. Barat tidak mengenal filsafat Yunani dan juga tidak mungkin mengembangkan sains dan teknologi tanpa adanya kontribusi pemikiran dari para filosof dan ilmuan muslim. Para ilmuan barat sendiri mengakui sumbangan muslim tersebut. Kelemahan umat Islam tidak melanjutkan apa yang telah dirintis para pendahulunya, sementara orang barat melanjutkannya secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA


Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, terj., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1984

Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj., Jakarta: Rajawali Press, 1996

Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1985

Jurji Zaidan, tarikh al-Tamaddun al-Islami, Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayyah, 1967

Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam, terj., Jakarta: Paramadina, 1999

Maurice Lombard, The Golden Age of Islam, Amsterdam, North-Holland Publishing Co., 1975

Nourouzzaman Shiddiqie, Jeram-Jeram Peradaban Islam, Yogyakarta: LKiS, 1993

S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Jakarta: Giri Mukti Pusaka, 1981

Sayyed Hossein Nashr, Sains dan Peradaban Dalam Islam, terj. Bandung: Pustaka, 1986

William Montgomerry Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis Dari Orientalis, terj., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990

Selengkapnya...

Dinasti Muwahhidun

Oleh : Erasiah, MA (Dosen Jur. SKI)

Kekuasaan Muwahhidun tumbuh dan berkembang di Afrika Utara dan Spanyol. Kelahiran Muwahhidun ini bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam yang telah dikotori orang-orang Murabhitun pada fase akhir kekuasaannya. Dinasti ini mampu meraih kejayaan karena pemimpin yang kuat serta cinta ilmu pengetahuan. Kehadiran dinasti ini telah membuka mata orang barat tentang capaian peradaban ummat manusia. Tulisan ini mengupas tentang capaian peradaban pada masa Muwahhidun.



A. PENDAHULUAN

Umat Islam sekitar abad ke-12 secara mentalitas boleh dikatakan semangatnya sudah pudar, apalagi untuk mengembangkan intelektualitasnya. Apalagi kekalahan yang diderita ketika pasukan salib berhasil menguasai beberapa daerah kekuasaan Islam di Timur Tengah, sehingga secara perlahan tradisi keilmuan mulai hilang di dunia Islam yang membawa kepada sebagian umat Islam menyibukkan diri dengan beribadah kepada Tuhan untuk mendapatkan posisi yang baik di sisi Allah. Akibatnya muncullah kelompok-kelompok kecil yang lebih memfokuskan pikiran untuk memberantas kelompok-kelompok yang telah salah paham dalam memahami Islam.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah waktu itu, tetapi juga merembes ke daerah-daerah luar, terutama di Afrika bagian utara yang secara keseluruhan sudah dikuasai Islam. Namun, di tengah besarnya pengaruh Islam, umat Islam juga tidak terlepas dari perselisihan intern yang mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan kecil yang membawa terbentuknya sebuah dinasti. Kasus seperti ini bisa terlihat dalam proses terbentuknya Dinasti Muwahhidun yang bermula dari gerakan keagamaan dan berubah menjadi gerakan politik.

Gerakan keagamaan tersebut dipelopori oleh Ibn Tumart yang beraliran Asy’ariah. Para sejarawan menyebutnya sebagai Dinasti Muwahhidun (orang yang mengesakan Tuhan) ketika kekuasaan politik telah dikuasainya. Berkat usaha dan perhitungan yang matang maka tercapailah sebuah kekuasaan politik oleh gerakan tersebut meliputi Afrika bagian utara dan Spanyol (Andalusia) di barat yang pada masa sebelumnya di bawah kekuasaan Murabitun. Namun karena kondisi yang kurang mendukung, sekitar abad ke-13M dunia Barat bangkit dengan kekuatan baru membuat Muwahhidun enyah dari Andalusia kecuali Islam di Cordova yang mampu bertahan sampai abad ke-15 dikarenakan wilayahnya yang berbukit dan sulit untuk dijangkau.

B. ASAL USUL

Terbentuknya Dinasti Muwahhidun beranjak dari kondisi Afrika Utara pada waktu kekuasaan Murabithun mulai melemah. Wafatnya Yusuf bin Tasyufin pada tahun 1106 M, berakibat buruk bagi Murabithun, karena pemimpin-pemimpin setelah dia adalah orang-orang yang lemah. Kondisi semakin kacau ketika pimpinan fuqaha’ dipegang oleh seorang sufi yang ekstrim dan mulai menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah (paham tajassum/ mengatakan bahwa Tuhan mempunyai bentuk seperti tubuh manusia). Kehidupan masyarakat sudah materialistis, di samping terjadinya stagnasi dalam pemikiran para pengikut Imam Malik, yang menyatakan tidak perlu lagi mempelajari Tafsir al-Qur’an dan hadits karena semua itu telah dilakukan oleh Imam Malik.

Dalam kondisi demikian muncul Ibn Tumart dari kabilah masmudah pasca belajar dari beberapa daerah pusat penyebaran Islam (Cordova, Alexandria, Makkah dan Bagdad) dan juga belajar kepada al-Ghazali yang beraliran asy’ariah. Sekitar tahun 1100 M dia kembali ke Maroko dan menyebarkan ajarannya yang mendapat sambutan baik dari masyarakat. Inti ajarannya adalah tauhidullah, mengesakan Tuhan dan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam dia kritik secara tajam. Di samping memperkenalkan ajaran itu Ibn Tumart juga mendakwakan dirinya sebagai al-Mahdi yang akan membangkitkan kebenaran dan keadilan.

Gerakan yang dibangun berdasarkan kebenaran dan kemurnian ajaran Islam tersebut berhasil merangkul banyak pengikut dari masyarakat, walaupun terkadang dakwahnya tidak selalu mulus. Pada tahun 1117 M Ibn Tumart dan pengikutnya terusir dari tempat tersebut, sehingga dia pergi ke Marakesy . Namun, karena ditempat tersebut kehadirannya tidak begitu mendapat sambutan, akhirnya dia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Dari tempat inilah dia menyusun kekuatan yang berwujud menjadi sebuah dinasti di temani oleh Abdul Mu’min yang ia dapatkan di Marakesy.
Untuk menyebarkan dakwahnya dia kirim da’i keberbagai daerah untuk mengajak kepada kebenaran (amar ma’ruf) dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk (nahi mungkar). Kepada pengikutnya dia menyerukan supaya mendirikan shalat tepat waktu, berakhlak terpuji, taat pada undang-undang, membuat wirid yang dibuat oleh imam Mahdi dan mendalami kitab-kitab aqidah al-Muwahhidun. Adapun untuk menggalang (membentengi) diri dari dalam, maka dibentuklah dewan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dewan Menteri (ahlal-syarah/ahl-al-jama’ah) terdiri dari sepuluh orang pembai’ah al-Mahdi sebagai kepala da’i kalangan murid-murid, seorangnya adalah Abdul Mu’min

2. Dewan Majelis pemuka suku yang menjdai wakil tiap suku, jumlahnya lima puluh orang (al-Khamain), dan

3. Majelis Rakyat, terdiri dari para murid (al-Thalabah), keluarga al-Mahdi (ahl al-dar), kabilah Hurghah dan orang awan (ahl Timal) Tanmaal

Tujuan dibentuk dewan tersebut adalah untuk mengkoordinir anggota dalam pengembangan agama dan juga untuk memudahkan mengkoordinir pemerintahan dari segi politik. Waktu kekuatan telah terhimpun dengan rapi datang serangan dari dinasti Murabitun kepada suku Masmudah yang membangkang kepada pemerintahan resmi, serangan tersebut dipimpin oleh Gubernur Sus dengan kemenangan dipihak Muwahhidun. Akibatnya Muwahhidun mengalami kemajuan yang pesat, dan pada tahun 1125 M di bawah pimpinan Abdul Mu’min pasukan ini menyerang kota Marakesy tetapi mengalami kegagalan.

Pada tahun 1130 M Ibn Tumart menemui ajalnya, sehingga melalui kesepakatan Dewan Menteri dinobatkanlah Abdul Mu’min menjadi khalifah pengganti al-Mahdi dengan sebutan Amiru al-Mu’minin. Setelah dinobatkan sebagai khalifah kerjanya adalah mengakhiri Dinasti Murabithun dan menundukkan kabilah yang ada di Maroko. Akibatnya secara resmi berdirilah Dinasti Muwahhidun di Maroko dan menjadikan Maroko sebagai pusat pemerintahannya setelah daerah ini ditaklukan pada tahun 1146 M dengan para pemimpin sebagai berikut :

1. Ibn Tumart (w.1130 M)
2. Abdul Mu’min (w.1163 M)
3. Abu Yaqub Yusuf ibn Abdul Mu’min (w.1184 M)
4. Abu Yusuf Yaqub ibn Abu Yaqub Yusuf (w.1199 M)
5. Muhammad ibn al-Nashir (w.1214 M)
6. Al-Muntashir (w.1223 M)
7. Abdul Wahid ibn al-Muntashir (w.1224 M)
8. Abu Muhammad al-Adil(w.1227 M)
9. Al-Ma’mun (w.1233 M)
10. Abdul Wahid II (w.1243 M)
11. Al-Mutamid (w.1266 M)
12. Al-Wasiq.


C. CAPAIAN

Semenjak Abdul Mu’min dinobatkan sebagai khalifah, dengan secara cepat dia melakukan penaklukkan terhadap daerah-daerah kekuasaan Murabitun, dengan ditaklukkannya kekuasaan Murabitun yang merupakan lahan-lahan yang subur serta jalur perdagangan, maka terciptalah kemajuan pada dinasti tersebut. Kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti ini adalah sebagai berikut :


1. Bidang Politik

Ketangguhan Abdul Mu’min sebagai pengganti al-Mahdi, telah membuka jalan mulus bagi penguasa berikutnya untuk mengembangkan kekuasaan Muwahhidun di Spanyol dan Afrika Utara. Pada awal kekuasaannya Abdul Mu’min telah melakukan penaklukkan besar-besaran untuk memperluas kekuasaan Muwahhidun. Adapun daerah-daerah yang ditaklukan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tahun 1141 M wilayah di Fez, Couta, Tangier dan Aghmath.
b. Tahun 1145 M negeri Spanyol
c. Tahun 1159 M Almenia, dan Gilbartan dijadikan pusat pemerintahan, dan
d. Tahun 1160 M Aljazair, Tunisia dan Tripoli.

Tidak jauh berbeda dengan ayahnya, sehingga usaha yang ditinggalkan oleh ayahnya dia lanjutkan. Dengan hasil, pada tahun 1172 M ia menguasai kota Seville yang ia lanjutkan ke Toledo, namun ketika pasukannya tiba di Santarem dekat Lisabon, mereka dihadang oleh tentara Kristen mengakibatkan Abu Yakub Yusuf meninggal pada tahun 1181 M karena terluka waktu pertemuan tersebut. Sepeninggal Abu Yakub Yusuf pimpinan pemerintah dipegang oleh puteranya yang bernama Abu Yusuf Yakub al-Manshur. Masalah yang dihadapi oleh al-Manshur ini juga tidak jauh berbeda dengan masa-masa penguasa sebelumnya, yaitu menumpas para pemberontak, yang ada di Andalusia. Semua dapat diatasi dan kota Bijaya (Bogie) dapat dikuasainya.


2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat

Kekuasaan Dinasti Muwahhidun yang meliputi Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol), sangat berimbang dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Boleh dikatakan bahwa tradisi keilmuan yang telah hilang di dunia Islam bagian timur, apalagi akibat kesalah pahaman masyarakat terhadap saran al-Ghazali tentang 3 (tiga) hal pemikiran para filosof dengan mengatakan mereka kafir. Telah bangkit kembali di dunia Islam bagian barat yang menjadi batu loncatan bagi transmisi (berpindah) peradaban Islam ke barat, terutama pemikiran-pemikiran dari Ibn Rusyd. Adapun para ilmuwan yang muncul pada masa dinasti Muwahhidun ini terutama pada masa kepemimpinan Abdul Mu’min dan Abu Yakub Yusuf adalah sebagai berikut :

a. Ibrahim bin Malik bin Mulkun adalah seorang pakar al-Qur’an dan ilmu Nahwu

b. Al-Hafidz Abu Bakr bin al-Jad seorang ahli figh. Dan Ibnu al-Zuhr ahli kedokteran, dan

c. Ibn Bajjah (533 H/1139 M), seorang filosof dengan karyanya The Rule of Solitary. Ia juga berada di bidang musik yang disebut Avenpace atau Abenpace.

d. Ibnu Thufail (581 H/ 1105-1185 M), seorang filosof dengan karyanya Hayy bin Yaqzhan. Ia juga dikenal sebagai seorang dokter, ahli geografi dan juga dianggap sebagai penyair Andalusia atau yang dikenal dengan nama Al-Andalusi, Al-Kurtubi, Al-Isibily.

e. Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ia adalah seorang filosof , dokter, ahli matematika, fikih, ahli hukum, ahli astronomi juga seorang poplemik atau dikenal dengan sebutan Averrous/Averroisme di Barat.

f. Bidang arsitektur dapat dilihat bangunan menara Giralda di Selville, rumah sakit di Marakesy dan bangunan lain yang tidak kalah pentingnya seperti masjid jami’ di Sevilla.

g. Bidang ekonomi dijalaninya hubungan perdagangan dengan beberapa daerah di Italia, seperti dengan Pisa, pada tahun 1154 M, Marseie, Voince dan Syalia pada tahun 1157 M.



D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN

Pada tahun 1198M, Abu Yusuf Yakub al-Manshur wafat dan digantikan oleh Muhammad al-Nashir. Namun kondisi Dinasti Muwahhidun tidak lagi seperti sebelumnya dan sudah mulai lemah setelah mengalami kemajuan selama 69 tahun. Kelemahan ini salah satu penyebabnya karena al-Nashir tidak mempunyai pandangan serta wawasan politik yang luas seperti para pendahulunya. Apalagi pengganti dari Muhammad al-Nashir dan pengganti-pengganti berikutnya, mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai semangat juang tinggi seperti para pendahulunya.

Terjadinya kemunduran dinasti ini juga disebabkan karena orang-orang Kristen Spanyol setelah mereka memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari umat Islam membuat mereka sadar akan kondisi yang mereka hadapi, dengan penuh semangat mereka bangkit dari ketertinggalan dan melakukan penyerangan kepada umat Islam di Spanyol. Penyerangan tersebut terjadi sekitar tahun 1212 M, oleh kondisi raja-raja Kristen (Leon, Costile, Navarge dan Aragon) di Spanyol.

Kekalahan yang diderita oleh Muwahhidun dalam pertempuran tersebut menyebabkan semakin mudahnya orang Kristen menaklukkan daerah-daerah kekuasaan Islam lain di Spanyol. Apalagi al-Nashir menyerahkan kekuasaan kepada anaknya yang baru berusia 15 tahun, yaitu Abu Yakub Yusuf II(al-Muntashir) yang tidak memiliki kematangan politik untuk menjalankan pemerintahan. Kemunduran semakin meningkat setelah wafatnya al-Muntashir pada tahun 1221 M, karena muncul perpecahan di kalangan pembesar Muwahhidun.

Perpecahan terjadi karena al-Munthasir tidak mempunyai anak laki-laki untuk menggantinya. Seperti Tunisia berdiri daulah Bani Nafs, sedangkan Tripoli menjadi wilayah kekuasaan Bani Ayubiyah. Melihat umat Islam terpecah, Kristen semakin gencar melakukan gerakan untuk mengambil alih kekuasaan Islam, sehingga tahun 1238 M, seluruh kawasan Spanyol jatuh ke tangan Kristen kecuali Granada yang mampu bertahan sampai tahun 1492 karena terletak di perbukitan. Dengan hilangnya pengaruh Muwahhidun di Spanyol serta diikuti keruntuhan kekuasaan di Afrika telah membawa kehancuran dinasti ini pada tahun 1269 dengan didudukinya Maroko oleh Dinasti Marin (Mariniyyah)


E. PENUTUP

Kekuasaan Muwahhidun tumbuh dan berkembang di Afrika Utara dan Spanyol adalah karena ingin memurnikan ajaran Islam yang telah dikotori orang-orang Murabhitun pada fase akhir kekuasaannya. Dinasti ini mampu meraih kejayaan karena pemimpin yang kuat serta cinta ilmu pengetahuan. Kehadiran dinasti ini telah membuka mata orang barat untuk mengejar ketertinggalannya dari umat Islam, apalagi setelah ajaran Ibn Rusyd (Averoisme) telah mempengaruhi para pelajar barat.

DAFTAR PUSTAKA


Adjid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar- akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999

Bosworth, C. E, Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta; Proyek PPSTA, 1992

Hitti, Phillip K., History of the Arabs, New York: Mactniland Student Edition, 1970

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam Jil. I &II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1992.

Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam I, Padang, IAIN IB Press, 2001

Sirajuddin Zar Filsafat Islam: Dari al-Ghazali ke Ibnu Rusyd, Padang : IAIN IB Press, 1999

Siti Maryam, ddk (ed), Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI Yogyakarta, 2003

Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Bogor : Kencana, 2003

Yahja Mahajudin, Islam di Spanyol dan Sicilia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa, 1990


Selengkapnya...

Sains dan Teknologi di Era Dinasti Umaiyyah

Oleh : Dra. Sismarni, M.Pd (Dosen Jur. SKI)

Tulisan ini membahasa tentang capaian-capaian peradaban pada masa Dinasti Umayah di Andalusia. Terutama capaian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Capaian-capaian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dalam konteks historis memiliki pengaruh yang sangat implikatif terhadap perkembangan peradaban dunia, khususnya peradaban ummat Islam pada masa-masa berikutnya.



A. PENDAHULUAN
Pemikiran ilmiah selalu berada dibelakang setiap kemajuan yang dicapai oleh manusia dari masa kemasa. Langkah pertama dimulai ketika manusia menemukan bagaimana caranya belajar melalui cara mencoba coba (trial and error) dan cara inilah yang kemudian membimbingnya kepada pengetahuan yang ilmiah yaitu ilmu pengetahuan yang melibatkan observasi dan eksperimentasi yang mencakup ilmu-ilmu kealaman dasar seperti astronomii, geologi, fisika, botani, zoology, farmasi, kedokteran dan lain-lain. Dalam Islam ilmu pengetahuan tumbuh subur melalui kerja keras ratusan sarjana-sarjana yang berhasil menerjemahkan karya-kaya saintifik kuno kedalam bahasa Arab. Hasil terjemahan tersebut mereka tambahkan dengan pikiran-pikiran Islam dan akhirnya melahirkan bebagai karya-karya ilmiah.
Ketika Islam berkembang di beberapa negara seperti, Persia, Irak, Mesir, Andalusia dan lain-lain, maka,sains dan teknologi juga ikut berkembang. Berkembangnya sains dan teknologi di Andalusia khususnya telah memberikan pengaruh ke Eropah. Bangsa-bangsa Eropa tertarik untuk mempelajarinya, hal ini terbukti dengan banyaknya mahasiswa.yang berdatangan dari berbagai negara untuk menuntut ilmu pengetahuan di sana. Karya-karya para ilmuan Islam tersebut merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi kemajuan Eropa terutama dalam menghantarkan Eropa kepada zaman renesance. Kemudian juga dimanfaatkan sebagai standar di universitas-universitas Eropa sampai abad ke 17 M. Bagaimana perkembangan sains dan teknologi di Andalusia pada masa pemerintahan dinasti Umaiyah? itulah yang ingin diungkapkan dalam tulisan ini.
B. MASUKNYA ISLAM KE ANDALUSIA
Sebelum kedatangan umat Islam, daerah ini berada di bawah kekuasaaan bangsa Gothia. Penguasa Visigoth di Andalusia kurang disenangi oleh rakyatnya termasuk umat Kristen (Romawi ) yang berada diluar Andalusia. Hal ini disebabkan bangsa Gothia berkuasa dengan semena-mena. dan berlaku kejam serta selalu melakukan penekanan terhadap rakyat. Penduduk golongan menengah mereka bebani dan diharuskan membayar pajak, di samping itu penguasa juga melakukan berbagai pungutan yang memberatkan. Selain dari itu rakyat Andalusia mereka jadikan budak dan petani-petani kecil yang harus menggarap tanah untuk tuan-tuan tanah bangsa Gothia. Nasib rakyat ini sama seperti yang dialami sewaktu wilayah ini dikuasai oleh penguasa Romawi. Penduduk golongan menengah termasuk kaum pedagang dan lain-lain merasa dilukai perasaannya karena mereka dalam bidang keuangan, politik, sosial dan perekonomian sangat jauh dari azas-azas kemanusiaan.
Kepada pria dan wanita tidak dibenarkan melakukan pernikahan tanpa izin tuan-tuan tanah feodal yang menjadi majikan mereka, Jika mereka mendapat izin dari majikan mereka untuk melakukan pernikahan, maka bila kemudiaan mempunyai anak, maka mereka harus menyerahkan anak-anak tersebut kepada majikan mereka. Dalam bidang politik bangsa Gothia selalu memperebutkan kekuasaan sehingga mereka terpecah menjadi 2 golongan, masing-masing mereka selalu mempertahankan dan membela rajanya. Pengangkatan raja tidak melalui warisan tetapi berdasarkan pemilihan yang ditentukan oleh tuan-tuan tanah bukan oleh rakyat kecil. Dalam bidang keagamaan pada waktu itu Andalusia merupakan Negara Nasrani dalam nama saja, sebab semasa penjajahan Romawi Barat maupun semasa pemerintahan bangsa Gothia samapai masuknya Islam ke daerah ini, tidak ada usaha menasranikan penduduknya. Situasi keamanan waktu itu dapat dikatakan menguntungkan bangsa Gothia, Bangsa Frank sudah mulai lemah di Perancis, bangsa Romawi tidak lagi sampai ke Spanyol hanya sampai ke Afrika setelah menyerang bangsa Vandal, dengan demikian kehidupan bangsa Gothia mulai lemah dan bermalas-malas, Mereka nerasa puas dengan menikmati tanah-tanah yang digarap budak-budaknya,
Raja-raja berikut menjelang berakhirnya kekuasaan Gothtia, dipimpin oleh Egica (berkuasa 690-701M), Achila ( 701-710 M ), kemudian Rouderik yaitu salah seorang cendekiawan Gothia. Ketika Rouderik berhasil merebut kekuasaan munculllah golongan yang kuat dibawah pimpinan Achila. Stuasi semakin tidak stabil tatkala utusan dari golongan yang menentang raja-aja baru. Kepada tentara Arab diminta agar mau membantunya membangun kerajaannya yang direbut Rouderik. Seiring dengan kejadian itu Count Yulian penguasa di Ceuta menghubungi Thariq ibn Ziad penguasa di Tanger yang seterusnya menghubungi Musa Ibn Nushair untuk menyerang Andalusia/Spanyol,
Dalam bidang peradaban Andalusia sebelum kedatangan Islam umumnya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Eropa, masih dalam kebodohan atau keterbelakangan.,menurut Dozi serang orientalis Belanda mengatakan bahwa di seluruh Andalus tidak terdapat orang-orang yang buta huruf, sedang di Eropa yang tahu baca tulis hanya lapisan atas saja. Di Andalusia sudah maju dalam bidang ilmu , Eropa masih dalam zaman kegelapan. Kemudian Abu Ubaid Al-Bakri menggambarkan keadaan suku bangsa Galichia ( Utara Spanyol ) pada abad ke 14 H/10 M bahwa bangsa tersbut dalam setahun mandi sekali atau dua kali dengan air segar, demikian pula dengan pakaiannya tidak dicuci sejak pakaian itu dipakainya.

C. BERDIRINYA DINASTI UMAYAH DI ANDALUSIA
Setelah kekuasaan dinasti Umaiyah yang berpusat di Damaskus digulingkan oleh Bani Abbasiyah pada 750 M, maka dinasti itu bukanlah berarti lenyap sama sekali. Tatkala Abul Abbas ( Khalifah pertama dinasti Abbasiyah) menduduki jabatan ke khalifahan terjadi pembunuhan dan pengejaran terhadap anggota keluarga Bani Umaiyah, salah seorang diantaranya, Abdur Rahman ad Dakhil, cucu dari Hisyam ibnu Malik (724), khalifah ke sepuluh dari dinasti Umaiyah, berhasil meloloskan diri dari pengejaran bani Abbas. Untuk menyelamatkan dirinya beliau melintasi Palestina, Mesir, terus ke Afrika Utara dan akhirnya sampai di Spanyol/Andalusia. Ia di gelari dengan ad-Dakhil karena ia merupaka pangeran Bani Umaiyah pertama yang memasuki daerah tersebut. Lima tahun setelah runtuhnya dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus, Abdurrahman I yang bergelar Al-Dakhil berhasil mendirikan Kekhalifahan Umayyah baru di Andalusia. Pada tahun 756 M ia memproklamasikan wilayah itu lepas dari kekuasaan dinasti Abbasiyah. Namun demikiam, ia asih menyebut dirinya sebagai Amir karena menurut “ doktrin teori hukum ortodok (fiqh). Kekhalifahan itu satu dan tidak bisa dibagi”. Selama 32 tahun masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai permasalahan baik di dalam maupun luar negeri.
Pemerintahan yang baru ini bahkan mampu mengimbangi kejayaan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, Iraq terutama dalam bidang sains dan teknologi. Bersinarnya sains dan teknologi di wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah di Andalusia berawal dari zaman kekuasaan Abdurrahman Al-Aushat. Abdurrahman Al-Aushat dikenal sebagai pemimpin yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Selama masa pemerintahannya ia melakukan berbagai cara untuk memajukan sains dan teknoloi diantaranya seperti mengundang para ahli dari dunia Islam untuk berpartisipasi di negeri yang dipimpinnya. Sejak itulah, aktivitas ilmu pengetahuan mulai berkembang di Andalusia. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar al-Nasir Sains dan teknologi semakin memperlihatkan perkembangannya

D. CAHAYA SAINS DAN TEKNOLOGI ISLAM DI ANDALUSIA
Pada masa pemerintahan dinasti Umaiyah di Andalusia filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M tepatnya pada masa penguasa Bani Umayyah yang ke-5,yaitu Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M). Kemudian atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu mengembangkan berbagai jenis sains dan imu pengetahuan menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam dan pada masa pemerintahan Aburrahman an_Nashir mencapai puncak kejayaannya Akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Di Barat ia lebih dikenal dengan Averroes. Ia lahir di Cordova (Spanyol pada tahun 520 H/1126 dan meninggal tahun 1198 M.). Di samping seorang failosuf ia juga astronomer dan seorang dokter. Sumbangannya yang paling berharga kappa ilmu kedokteran adalah karangannya tentang “fungsi selaput jaringan” dan kepastian yang diberikannya bahwa orang tidak mungkin dua kali dihinggapi penyakit cacar. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia adalah filosuf yang mengembangkan konsep eksistensi mendahului esensif. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid. Buah pikirannya sangat berpengaruh di Eropa Barat. Ia dipandang sebagai bapak aliran filsafat sekuler di Eropa.
Failosuf lainnya yang terkenal di Andalusia adalah Ibnu Nasarrah (883-931 M) lahir di Cordova, Ibnu Thufail, (1110-1185) lahir di Granada, kontribusinya terlihat dari hasil karyanya yang berjudul Hayy ibn Jakzan yaitu sebuah buku roman asli berdasarkan filsafat. Dasar pikirannya dalam buku tersebut adalah tentang kemempuan manusia untuk beroleh pengetahuan tentang keadaan-keadaan diluar dunia dan oleh karena pengetahuan tersebut manusia lambat laun merasa bahwa ia sebenarnya adalah bergantung pada suatu “Yang Mahasempurna” Selain dari itu adalah Maimonides yang cukup terkenal keahliannya dalam bidang astronomi, ilmu ketuhanan, sebagai thabib dan sebagai ahli Filsafat. Kemudian Ibnu Bajah, (wf 1139 M) lahir di Saragosa, karyanya yang terkenal Tadbir al-Mutawahhid.
Berbarengan dengan perkembangan filsafat, maka berkembang pula ilmu matematik dan Astronomi. Matematik/ Ilmu pasti berpangkal dari buku India Sinbad yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Ibrahim al-Fazali. Dengan perantaraan ini bangsa Arab mengenal dan menggunakan angka-angka India dan kemudian bahkan menemukan angka sifr. Salah satu dari kata-kata ilmu pasti yang digunakan dari bahasa Arab adalah “cipher” (angka) atau “ zero” (nol), orang Arablah yang mengajarkan bangsa Eropa untuk menggunakan angka tersebut. Jika tidak ada angka itu maka akan sulit untuk menyusun bilangan dan harus disusun dalam suatu daftar dengan jalur satuan , puluhan , ratusan dan seterusnya artinya kita harus menggunakan daftar- hitungan. Ahli ilmu pasti /matematik yang terkenal pada masa ini adalah Abu Ubaidah Muslim ibn Ubaidah al-Balansi ( Siti Maryam 2003:111), Abbas Ibnu Firnas (810-887) Ia adalah ahli matematika dan astronom terkemuka di zaman kekuasaan Kekhalifahan Umayyah Spanyol. Di samping ahli matematik dia juga ahli dalam bidang astronomi, Ibnu Firnas berhasil menciptakan tabel astronomi lokal, mengelola observatorium, dan mendesain sebuah jam air, sehingga ia tercatat dalam sejarah.
Ia adalah manusia pertama yang mencoba melakukan penerbangan. Uji coba ini dilakukannya pada 875 M. Sekitar 10 abad kemudian, peradaban Barat mulai mencobanya. Abbas Ibnu Firnas menemukan cikal-bakal pesawat terbang dan parasut. Teknologi kedirgantaraan di Andalusia itu dikenal sebagai yang pertama di dunia. Ia menjadi inspirator bahwa manusia bisa terbang menjelajahi angkasa. Ahli matematik yang lain adalah Abu Ishaq Al-Zarqali (1028-1087), di samping ahli dalam bidang matematik ia juga ahli astronom dan sangat terkenal dari Toledo, . Tabel Toledo merupakan salah satu kontribusinya yang sangat terkenal . Ia turut meluruskan data geografis Ptolemeus, salah satunya adalah panjang Laut Mediteranian. Ia pun sukses menciptakan peralatan astronomi yang akurat. Al-Zarqali juga mampu menciptakan sebuah astrolabe, alat astronomi yang baru berbentuk flat bernama Al-Safiha. Arzachel, begitu orang Barat menyebutnya, juga menciptakan sebuah jam air. Jam air itu mam pu menentukan jam pada siang dan malam hari.
Pada akhir abad ke-11 M, ia menemukan bahwa orbit planet itu adalah edaran eliptik bukan edaran sirkular. Penemuan astronomi yang penting lainnya dicetuskan Ibnu Bajjah. Ia juga mengusulkan adanya Galaksi Bima Sakti. Setelah itu, ada pula Nur Ed-Din Al Betrugi alias Alpetragius yang mengusulkan modelmodel planet baru. Demikian halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi. Adalah Az-Zarqalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali memperkenalkan astrolabe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan demikian, transportasi pelayaran berkembang pesat selepas penemuan astrolabe. Sementara pakar geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099 M, setelah menuntut ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang dikembangkan Mercator, empat abad kemudian.
Zarqali juga mampu menemukan sejumlah fakta penting terkait rahasia langit, seperti planet, bintang, bulan dan matahari. Penemuan-penemuan yang diciptakannya ditulis dalam kitab berjudul “al-Safiha al-Zarqaliya”. Dalam risalah itu tercatat sejumlah penemuannya seperti, astrolab universal, tabel 29 bintang serta yang lainnya. Al-Zarqali dikenal sebagai seorang ilmuwan yang mampu menggabungkan kemampuan teknik dengan teoritik. Ia juga tercatat telah menemukan salah satu peralatan komputer analog di era kejayaan Islam. Arzachel, demikian orang Barat biasa menyebut Al-Zarqali, berhasil menemukan Equatorium alat penghitung bintang. Peralatan komputer analog lainnya yang dikembangkan A-Zarqali bernama Saphaea.( http://Republika.co.id/berita/42581) Penemuan optik yang dicapai Abu Abdullah Muhammad Ibnu Mafudh pada abad ke-11 M menjadi salah satu bukti perkembangan ilmu bumi di era Dinasti Umayyah Spanyol. Karya Ibnu Mafudh begitu terkenal hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber de crepisculis.
Dalam bidang ilmu kedokteran, berkembang sangat pesat di Cordoba. Pada masa kejayaannya, terdapat 50 rumah sakit umum di era Dinasti Umayyah Spanyol. Dokter- dokter Islam yang termasyhur dari Andalusia diantaranya adalah Ahmad ibn Iyas al-Qurthubi, Harrani, yahya bin Ishaq, al-Majriti dan Abu Sulaiman ibn Hassan (Siti Maryam dkk,2003:111). Selain dari itu Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (936-1013) berasal dari Cordova, di Barat lebih popular dengan sebutan Abulcasi. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim Al-Zahrawi. Ia adalah dokter bedah terkemuka di Cordoba dan dikenal sebagai peletak dasar-dasar teknik ilmu bedah modern.
Kontribusinya bagi pengembangan dunia kedokteran, khususnya ilmu bedah. Ia dikenal sebagai seorang dokter yang mampu menciptakan peralatan bedah sendiri. Beberapa alat bedah yang diciptakannya hingga kini masih digunakan. Semua pemikirannya dalam ilmu kedokteran dituangkan dalam kitab Al-Tasrif, yaitu sebuah ensiklopedia kedokteran terbesar. Karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genua (1497 M), Basle (1541 M) dan di Oxfor (1778 M) dan menjadi rujukan para dokter di dunia Barat (Poeradisastra dalam Siti Maryam, 2003:112). Ia dijuluki Bapak Bedah Modern. Saat itu, dokter dan ahli bedah Muslim menggunakan alkohol sebagai anti septik untuk menyembuhkan luka. Dokter bedah dari Andalusia lainnya yang terkenal adalah Ibnu Zuhr alias Avenzoar.
Pada masa kejayaan Islam di Spanyol, beragam teknologi bermunculan. Hal itu ditopang oleh pesatnya industri dan ilmu pengetahuan. Teknologi kincir air dan angin digunakan untuk pabrik kertas, pabrik baja, dan pabrik-pabrik pangan. Selain itu, teknologi bendungan serta pengatur air untuk irigasi juga muncul di peradaban Andalusia Muslim. Di Spanyol Islam pula. Dalam bidang ilmu biologi terkenal Dhiyauddin bin Al Bithor (w. 1248 M) karyanya yang teenal adalah Al Mughni fil Adwiyatimufrodah dan Al jami’u fil Adwiyah, kitab-kitab tersebut berisi lebih dari 1400 obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Didalamnya dijelaskan manfaat pengobatan dengan tumbuh-tumbuhan dan cara penggunaannya. Buku tersebut merupakan kitab yang berharga pada zaman itu.

E. KESIMPULAN
Pada masa kekuasaan dinasti Umaiyah, sains dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan khalifah Abdurrahman an-Nashir (912-1013). Diantara, sains yang berkembang masa ini yaitu :fisafat, ilmu bumi, matematik, astronomi, botani, kedokteran, fisikologi, geografi, sejarah, bahasa dan sastra, dan lain-lain. Dengan berkembangnya berbagai jenis ilmu pengatahuan dan teknologi tersebut, Andalusia pada kala sudah mencapai tingkat peradaban yang sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan tidak ada seorangpun penduduknya yang buta huruf. Dari Andalusia inilah ilmu pengetahuan dan peradaban masuk ke negara-negara Eropa melalui mahasiswa-mahasiswa yang pernah belajar ke daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Salam, Sumbangsih Andalusia Terhadap Dunia Barat,
Ahmad Amin, Dhuhar Islam, Jilid III, Beirut: Dar al-Kutubal-Arabi, 1969
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo, 2002
Ali Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Binang, 1979
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993
Bosworth, CE., Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993
Brockeman, Karel, Tarekh al-Syu’ub al- Islamiyah, Jilid II, terj. Nabih Amin Paris danMunir al-Ba’labaki, Beirut: Dar Ilmu lil Malayin, 1979
Fu’ad Muhd Fachrudin, Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI-Press, 1983

Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasah al-Din wa al- Tsaqafi wa al- Ijtima’i, Kairo: Maktabah al-Nahdhal al- Misriyah, tth.
Hitti, Philip K., Dunia Arab, Sejarah Ringkas, terj. Usuludin Hutagalung dan ODP Sihombing, Bandung, Sumur Bandung, 1970.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1999
Maidir Harun & Firdaus, Sejarah Peradaban Isla Jilid I, Padang: IAIN Press, 2002

Selengkapnya...

Teori Sosial dan Epistimologi Keilmuan Islam

Oleh : Lisna Sandora, M.Pd (Dosen Antropologi Kebudayaan FIB-Adab)

Tulisan ini membahas dialog-dialog konseptual diantara beberapa grand-theory dalam ilmu sosial. Perdebatan-perdebatan teoritis-epistimologis serta pengelompokkan dalam bentuk paradigma dalam tradisi ilmu sosial, diantaranya Fakta Sosial, Defenisi Sosial, Individualisme, Perilaku Sosial, Interpretatif, Historisisme, Profetik



A. PENDAHULUAN


Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.

Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm Science. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi.


B. PARADIGMA-PARADIGMA ILMU SOSIAL

1. Paradigma Fakta Sosial

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.

Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.

Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi.

Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.

Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
2. Paradigma Defenisi Sosial

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.

Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya.

Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.


C. TEORI SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI ISLAM

Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar :

1. Masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya.

2. Setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya.

Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat. Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu:

1. Kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat.

2. Melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis :

1. Paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.

2. Pradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme.
3. Paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial.

Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen -nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian.

Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif.

Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif.

Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).

Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki.

Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk.

Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.

Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.

Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus.

Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan, yaitu :

1. Pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia.

2. Pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata.

3. Kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan.

4. Di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu.

5. Kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas.

Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.

Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi.

Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan.

Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks.

Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.

Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd. Seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmed, Akbar S., Antropologi Islam, terjemahan, Bandung: Mizan, 1998

Berry, David, Beberapa Pendekatan dalam Perubahan Sosial, terjemahan, Jakarta: Graffiti Press, 1988

Bustanuddin Agus, Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Padang: Univ. Andalas Press, 1999

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik II, terj., Jakarta: Gramedia, 1991

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik I, terj., Jakarta: Gramedia, 1991

Kuntowidjoyo, Ilmu Sosial Profetik, Yogyakarta: Salahuddin Press, 1993

Poloma, Margareth M., Perspektif Sosiologi, terjemahan, Jakarta: Rajawali Press, 1989

Ritzer, George, Sosiologi Berparadigma Ganda, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1990

Yunus, Ilyas Ba-, Epistimologi Sosiologi Islam, terjemahan, Bandung: Mizan, 1992



Selengkapnya...

Teori Motivasi Dalam Pendekatan Sejarah Budaya

Oleh : Dra. Desmaniar, M.Pd (Dosen Jur. SKI)

Tulisan ini mengetengahkan beberapa teori motivasi yang bisa digunakan dalam menganalisis perubahan sosial yang dilihat dari pendekatan sejarah budaya. Teori-teori ini pada prinsipnya bisa menjawab pertanyaan yang umum dijumpai dalam kajian sejarah yaitu faktor-faktor apa yang membuat atau memicu perubahan tersebut terjadi. Salah satu penyebab diantaranya adalah motivasi dari pelaku atau objek sejarah itu sendiri yang distimuli oleh budaya dimana mereka berada. Tulisan ini memberikan pemahaman awal tentang teori-teori motivasi tersebut.



A. PENGANTAR

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.

Dalam konteks studi psikologi, untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:


1. Durasi kegiatan
2. Frekuensi kegiatan
3. Persistensi pada kegiatan
4. Ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan
5. Devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan
6. Tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan
7. Tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan
8. Arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi yang sering digunakan dalam pendekatan sejarah sosial budaya, antara lain : Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan), Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi), Teori Clyton Alderfer (Teori ERG), Teori Herzberg (Teori Dua Faktor), Teori Keadilan, Teori penetapan tujuan dan Teori Victor H. Vroom (teori Harapan) serta Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku dan Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
B. BEBERAPA TEORI MOTIVASI

1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :

a. Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex.

b. Kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual

c. Kebutuhan akan kasih sayang (love needs)

d. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status

e. Aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow.

Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :

a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan dating

b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.

c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.


2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan : “Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :

1. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat

2. Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya

3. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

(Tulisan lengkap telah diterbitkan di Jurnal Khazanah Vol. I/No. 4-2010


Selengkapnya...