Oleh : DR. Firdaus, M.Ag (PD III/Dosen Fiqh FIB-Adab)
Harta peninggalan atau yang dikenal dengan sebutan tirkah/tarikah adalah sesuatu yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda, hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan (Muhammad Ali al-Shabuni, 1988:41). Sebelum harta ini menjadi harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris, harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayat tersebut, yang terdiri dari zakat harta, biaya pemeliharaan mayat, utang-utang si mayat, dan wasiat.
Harta Warisan dan Harta Peninggalan
Wasiat di sini adalah wasiat bukan untuk kepentingan ahli waris dan jumlah keseluruhan wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta keseluruhan peninggalan si mayat. Berkaitan dengan utang si mayit, dalam pandangan Syafi’i dibayar melalui harta si mayit. Bila harta itu tidak cukup, kewajiban ahli waris untuk membayarkannya. Pengikut mazhab Hanafi berpendapat utang si mayit dibayar melalui harta peninggalannya, tetapi apabila tidak mencukupi maka menjadi tanggung jawab ahli waris dari sisi bir al-walidain atau berbuat baik kepada orang tua.
Harta warisan menurut hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli waris. Tegasnya, harta warisan adalah apa yang ditinggalkan pewaris yang telah terlepas dari tersangkutnya segala macam hak orang lain di dalamnya.
Dalam Kompilasi hukum Islam penjelasan mengenai harta peninggalan terdapat dalam Buku II tentang Kewarisan pada Bab 1 tentang ketentuan umum poin d dan e. Pada poin d dijelaskan bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Pada poin e dijelaskan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluaan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya-biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat (Kompilasi Hukum Islam, 1992:81).
Hukum Belajar dan Mengajarkan Hukum Kewarisan
Bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan berkewajiban mengerti dan memahami hukum kewarisan Islam melalui proses pembelajaran. Selanjutnya, bagi siapa yang telah memahami dan menguasai hukum kewarisan Islam, ia berkewajiban pula mengajarkannya kepada orang lain. Namun, kewajiban mempelajari dan mengajarkan hukum kewarisan Islam ini, menurut Ali bin Qasim sifatnya fardhu kifayah. Artinya, apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam terbebas dari kewajiban itu. Sebaliknya, apabila tidak satu pun umat Islam pada suatu tempat yang mempelajari dan mengajarkannya, maka seluruh kaum muslimin berdosa lantaran mengabaikan dan melalaikan perintah Allah tentangnya.
Hukum membagikan harta Warisan
Seorang muslim mempunyai kewajiban menjalankan hukum Islam selama hukum tersebut didasarkan pada dalil-dalil atau nash-nash yang sharih atau menunjukkan wajib. Apabila diamati secara cermat dalil-dalil yang membicarakan tentang kewarisan yang bersumber pada al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 7,8,9,10, 11,12,13,14,33,176 dan surat al-Anfal ayat 75, dapat disimpulkan bahwa melakukan pembagian kewarisan secara hukum Islam adalah wajib. Dalil tentang kewarisan ini didukung pula oleh sejumlah hadis Nabi, ijma’ ulama dan ijtihad para ulama.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam atau disebut pula Hukum Faraid merupakan salah satu bagian dari keseluruhan Hukum Islam yang khusus mengatur peralihan harta seorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi, hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan lain. Selain itu, hukum kewarisan Islam mempunyai beberapa asas, yaitu:
1. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam, peralihan harta orang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari.
Kata ijbari secara bahasa mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Hukum kewarisan Islam menjalankan asas ijbari berarti bahwa peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Dilihat dari segi pewaris sebelum meninggal, ia pun tidak dapat menolak peralihan harta tersebut.
Selain itu, asas ijbari dalam kewarisan Islam terlihat pula dari segi jumlah harta dan dari segi kepada siapa harta itu beralih. Dari segi jumlah harta bahwa jumlah bagian masing-masing ahli waris jelas sudah ditentukan, hingga pewaris maupun ahli waris tidak dapat menambah atau menguranginya. Sementara asas ijbari dari segi siapa-siapa yang akan menerima peralihan harta berarti bahwa orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti; tidak ada kekuasaan manusia untuk mengubahnya. Adanya asas ijbari ini dipahami dari kelompok ahli waris seperti terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176.
2.Asas bilateral
Asas bilateral yang dimaksud dalam hukum kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini dapat diamati dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat, 7,11,12 dan 176.
3. Asas Individual
Hukum kewarisan Islam menganut asas individual dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat pada ahli waris lain. Ini didasarkan atas prinsip bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fikih disebut ahliyatu al-wujub.
Sifat individual dalam kewarisan Islam dapat diamati dari surat al-Nisa’ ayat 7. Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa laki-laki berhak menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya. Begitu pula perempuan berhak untuk menerima harta warisan dari orang tua atau kerabatnya dan bagian mereka masing-masing telah ditentukan.
4. Asas Keadilan berimbang
Dalam al-Qur’an terdapat kata adlu atau yang seakar dengan kata itu sebanyak 28 kali. Kata adlu ini dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula. Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang berkaitan dengan kewarisan, adil dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Sejalan dengan pengertian ini, asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam tidak menjadikan perbedaan kelamin sebagai penentu hak kewarisan. Tegasnya, laki-laki mendapat hak kewarisan, begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki. Ini sejalan dengan firman Allah pada surat al-Nisa’ ayat 7, yang menyamakan kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam hak kewarisan.
Mengenai jumlah bagian laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk:
1. Laki-laki mendapat jumlah yang sama dengan perempuan seperti ibu dan bapak sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak sebagaimana terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11. Saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris kalalah sebagaimana dijelaskan ayat 12 al-Nisa’.
2. Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat bagian yang diperoleh perempuan dalam kasus yang sama; yaitu antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat 11 al-Nisa’ dan antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 176. Dalam kasus terpisah, duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh janda yaitu setengah dan seperempat dalam keadaan pewaris tidak meninggalkan anak atau seperempat dan seperdelapan bila pewaris meninggalkan anak.
Ditinjau dari segi jumlah bagian ketika menerima hak; memang terdapat ketidaksamaan. Namun, ini bukan berarti tidak adil; karena keadilan tidak hanya diukur dengan pendapatan waktu menerima hak tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Secara umum dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan materi yang lebih banyak daripada perempuan, karena laki-laki memikul kewajiban ganda yaitu terhadap dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk di dalamnya perempuan, seperti dijelaskan pada surat al-Nisa’ ayat 34. Bila dikaitkan pendapatan dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa laki-laki akan merasakan manfaat dari apa yang diterimanya sama dengan apa yang dirasakan pihak perempuan. Inilah keadilan dalam konsep Islam.
Meskipun kerabat garis ke atas yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah yaitu anak-anak sama berhak atas harta warisan dalam kejadian yang sama, bahkan kedua pihak itu disamakan kedudukannya oleh Allah sebagai terdapat pada akhir surat al-Nisa ayat 11, tetapi dalam kadar pendapatan terdapat perbedaan. Anak dalam keadaan bagaimanapun mendapat bagian lebih banyak dari pada orang tua. Perbedaan ini dapat pula dikaji dari segi hak, kewajiban dan tanggung jawab.
Hak warisan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris; hingga kadar yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga (yang kemudian menjadi ahli waris).
Bagi seorang laki-laki, tanggung jawab utamanya adalah terhadap anak dan isterinya. Ini adalah kewajiban agama yang harus dipikulnya (S. al-Baqarah ayat 233) yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuannya (S. al-Talaq ayat 7). Kewajiban itu harus dijalankannya, baik anak dan isterinya itu mampu atau tidak, memerlukan bantuan atau tidak.
Terhadap kerabat yang lain, tanggung jawab seseorang hanya dalam bentuk tambahan dan tidak utama. Tanggung jawab itu dipikulnya bila ia mampu berbuat demikian di satu pihak; dan di pihak lain kerabat itu membutuhkan bantuan. Tanggung jawab kerabat ini disebutkan Allah dalam S. 2:215.
Dengan demikian, anak menerima hak dari seseorang ayah melebihi yang diterima orang tua dari anaknya. Karena kewarisan dikaitkan kepada tanggung jawab pada waktu masih hidup, maka adalah adil bila dalam hak kewarisan jumlah yang diterima anak lebih banyak daripada yang diterima oleh orang tua.
Dalam kedudukan yang sama, umur tidak menjadi suatu faktor yang membedakan hak ahli waris. Dilihat dari segi kebutuhan sementara yaitu pada waktu menerima hak terlihat bahwa kesamaan jumlah penerimaan adalah tidak adil karena kebutuhan orang yang dewasa melebihi kebutuhan anak kecil. Namun, peninjauan kebutuhan bukan hanya bersifat sementara yaitu pada waktu menerima saja, tetapi juga dalam jangka waktu yang lama. Dari tinjauan ini, anak kecil mempunyai kebutuhan materil yang lebih lama daripada orang dewasa.
Bila dihubungkan besar keperluan bagi orang dewasa dengan lamanya keperluan bagi anak kecil dan dikaitkan pula kepada pendapatan yang sama dalam hak kewarisan, maka hasilnya ialah kedua pihak akan mendapatkan manfaat yang sama atas apa yang mereka terima. Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam.
5. Kewarisan semata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, berlaku setelah meninggalnya pemilik harta. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara kewarisan selama pemilik harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup secara langsung, maupun terlaksana sesudah kematiannya tidak termasuk dalam istilah kewarisan hukum Islam.
Dengan demikian, hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau dalam Hukum Perdata atau BW disebut kewarisan “ab intestato” dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuatnya pada waktu masih hidup yang disebut kewarisan secara “testamen”.
Sebab Adanya Hak Kewarisan dan Hilangnya Hak itu
Sebab Adanya Hak Kewarisan
1. Hubungan Perkawinan
Salah satu syarat yang menyebabkan kewarisan adalah hubungan perkawinan yang didasarkan atas akad perkawinan yang sah. Perkawinan sah yang dimaksudkan adalah perkawinan yang memenuhi unsur rukun dan syarat perkawinan dan terbebas dari halangan perkawinan. Atas dasar ini, suami isteri saling mewarisi karena telah melakukan akad perkawinan secara sah dan antara suami istri itu masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat meninggalnya salah satu pihak (Amir, 1984:38-41).
2. Hubungan Nasab
Seseorang dapat memperoleh harta warisan disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekerabatan/kekeluargaan dengan si mayat. Mereka yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain (Suhrawardi dan Komis, 1995: 53).
3. Hubungan Memerdekakan Budak (Wala’)
Hubungan wala’ dalam konteks kewarisan bahwa seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi, apabila seseorang telah dimerdekakan tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas tuannya.
4. Hubungan agama Islam. Seorang muslim yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan ke Baitul Maal dan selanjutnya akan dipergunakan untuk kepentingan umat Islam.
Hilangnya Hak Kewarisan
1. Halangan kewarisan
Dalam hukum kewarisan Islam, yang menghalangi orang mendapatkan warisan adalah pembunuhan. Ini didasarkan hadis Nabi yang menjelaskan bahwa pembunuh tidak berhak mendapat waris. Pembunuhan dimaksud adalah pembunuhan yang melawan hukum atau tidak hak, yaitu pembunuhan yang dilarang syara’ atau hukum dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia atau akhirat. Pembunuhan secara tidak hak ini dibagi pada beberapa tingkat, yaitu pembunuhan sengaja dan terencana, maka pelakunya dikenakan hukuman qisas, lihat al-Baqarah ayat 178 dan al-Nisa’ ayat 92. Selanjutnya pembunuhan tersalah, yaitu pembunuhan yang dalamnya tidak terdapat unsur sengaja, baik arah atau perbuatan. Pelakunya bebas dari sanksi akhirat, tetapi karena perbuatannya menghilangkan jiwa orang, maka pelakunya tetap dikenakan sanksi dunia dalam bentuk diyat ringan yang harus diserahkan ke pihak keluarga si korban. Di samping itu, pembunuhan seperti sengaja, yaitu pembunuhan yang terdapat unsur kesengajaan yaitu berbuat dan arah tetapi alat yang digunakan bukan alat yang menurut biasanya dapat mematikan. Pembunuhan seperti sengaja ini dikenakan sanksi membayar diyat berat. Selain itu, ada pembunuhan yang diperlakukan seperti tersalah; yaitu bila pembunuhan itu tidak ada unsur kesengajaan arah, tetapi membawa kematian seseorang. Sanksi pembunuhan ini sama dengan sanksi terhadap pembunuhan tersalah.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan pembunuhan yang menghalangi kewarisan. Kalangan ulama Syafi’i berpendirian bahwa pembunuhan dalam bentuk apapun mencegah pembunuhnya dari hak kewarisan. Menurut imam Malik dan pengikutnya, pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan ialah pembunuhan yang disengaja saja. Menurut ulama Hanafiah bahwa pembunuhan yang menghalangi kewarisan ialah pembunuhan yang dikenai sanksi qisas. Sedangkan menurut ulama mazhab Hanbali, pembunuhan yang tidak dengan haknya dalam segala bentuknya menghalangi hak kewarisan.
Perbedaan agama, maksudnya antara dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi. Tegasnya, seorang muslim tidak mewarisi dari yang bukan muslim; begitu pula yang bukan muslim tidak mendapat warisan dari pewaris muslim.
2. Keutamaan dan hijab
Hukum kewarisan Islam menetapkan pengelompokan ahli waris kepada kelompok keutamaan, misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah lebih utama kepada anak dibandingkan dengan saudara, ayah lebih dekat kepada anak dibandingkan dengan kakek. Kelompok keutamaan ini juga dapat disebabkan kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari saudara seayah atau seibu. Namun, yang perlu dicatat bahwa penentuan kelompok keutamaan ini lebih dominan ditentukan oleh “jarak hubungan” daripada “garis hubungan” kekerabatan. Oleh karena itu, seorang keturunan ke bawah seperti anak dari si mati tidaklah lebih utama dibandingkan dengan seorang garis keturunan keatas seperti ayah dari si mati.
Adanya kelompok keutamaan di antara para ahli waris ini, dengan sendirinya menimbulkan akibat adanya pihak keluarga yang tertutup (terhalang/ terhijab) oleh ahli waris lain. Ahli waris yang lebih utama lebih berhak menerima warisan dibandingkan dengan kerabat yang lebih jauh derajat kekerabatannya. Seseorang yang hubungan kerabatnya lebih jauh, baru berhak mendapat warisan bila yang lebih utama sudah tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Parman Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: RajaGrafindo, 1995.
Sarmadi, A, Sukris, Transenden Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: RajaGrafindo, 1997.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Selengkapnya...