Selasa, 23 Maret 2010

Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintahan Daerah Sumatera Barat 1 : Gubernur Harun Zain (1966-1977)

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum (Dosen Jur. SKI/Dekan FIBA)

Harun Zein (lengkapnya : Drs. Harun Al Rasyid Zein) adalah gubernur Sumatera Barat pertama di masa Orde Baru. Masa tugasnya sebagai gubernur diawali dengan pengangkatan oleh Presiden. Hasil sidang DPRD-GR yang dilaksanakan tanggal 17 Maret 1966, sebenarnya ia mendapatkan suara terbanyak kedua setelah Sapoetro Brotodihardjo. Ada dua calon yang diusulkan untuk jabatan gubernur Sumatera Barat pada waktu itu, yaitu Sapoetro Brotodihardjo yang didrop oleh Mendagri, dan Drs. Harun Al Rasyid Zain sendiri sebagai calon yang dimunculkan dari daerah.

Dalam pemilihan ternyata anggota dewan memberi dukungan lebih banyak kepada calon pertama. Namun karena perobahan politik nasional , maka dua bulan berikutnya (tanggal 5 Mei 1966) Presiden mengeluarkan surat Keputusan (No.93/1966) yang menyatakan bahwa Harun Zain, yang pada waktu itu menjabat sebagai Rektor Universitas Andalas, dipercayakan memimpin daerah ini. Bagi Harun Zain ini adalah awal karirnya dalam bidang politik dan pemerintahan, karena sebelumnya ia lebih banyak aktif sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi.

Sehubungan dengan pengangkatan ini, tidaklah terlalu sulit untuk memahami alasan kenapa presiden waktu itu menjatuhkan pilihan pada Harun Zain. Pertama, sebagai rektor Unand, ia banyak memberi dukungan terhadap aksi mahasiswa dalam pembersihan sisa-sisa PKI dan dalam penegakan Orde Baru di Sumatera Barat . Kedua, sebagai bekas tentara pelajar di Jawa Timur, ia memiliki banyak kerabat dekat di jajaran elit politik pemerintahan pusat. Ketiga, ia adalah putra daerah, meski memiliki basis sosial yang tidak kuat di daerahnya , karena semenjak kecil lebih banyak berada di luar daerahnya sendiri. Akan tetapi ia memiliki massa dari kalangan intelektual. Yang terakhir ini merupakan asumsi yang akan menjadi bagian yang integral pada bahasan selanjutnya terutama dalam melihat apakah basis sosial itu menjadi faktor penentu bagi prilaku politiknya dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Pada awal pemerintahan Harun Zein di Sumatera Barat, banyak kalangan yang meragukan kemampuannya untuk memimpin daerah ini, karena, kenyataan bahwa kondisi sosial di Sumatera Barat yang secara fisik dan psikis sudah begitu parah akibat PRRI, sedangkan kepemimpinan Harun Zein tidak mempunyai akar di tengah-tengah masyarakat . Karena itu, kemampuannya untuk memimpin dan memperbaiki kondisi sosial itu diperkirakan akan menghadapi banyak kendala.

Meskipun demikian, bagi Harun Zein, kritik serta sikap sinisme yang dia alami di awal kepemimpinannya, tidak melunturkan semangatnya, --malah menjadi pemicu-- untuk kemudian membuktikan bahwa dialah pemimpin yang diharapkan di Sumatera Barat . Dalam priode awal kepemimpinannya (1966-1970) ia berhasil menciptakan suasana yang kondusif untuk meletakkan kerangka dasar bagi pembangunan Sumatera Barat. Kerangka itu antara lain pertama : memperbaiki kondisi sosial dengan mengembalikan kepercayaan diri masyarakat Sumatera Barat sebagai landasan untuk pembangunan ekonomi, kedua : mengembalikan citra Sumatera Barat di mata pemerintahan pusat untuk memperoleh dukungan dana pembangunan dan perbaikan sarana fisik daerah yang sangat diperlukan dalam peningkatan perekonomian rakyat .

Kedatangannya pertama kali ke Sumatera Barat sebagai dosen terbang untuk Universitas Andalas pada tahun 1962 memberi pengalaman yang baik baginya untuk memahami kehidupan masyarakat di daerah ini, terutama menyangkut dengan akibat-akibat sosial yang dialami rakyat pasca operasi militer yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Kehidupan masyarakat yang suram tidak bergairah hampir terlihat di mana-mana, nagari-nagari yang sunyi karena ditinggalkan oleh tokoh-tokoh mereka yang frustrasi akibat tekanan-tekanan militer, ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang morat marit. Rakyat Sumatera Barat pada waktu ini seakan kehilangan kebanggaan atas daerah mereka yang pada waktu lalu banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, kebanggaan atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kemerdekaaan bangsa dan masa revolusi. Kondisi sosial seperti ini dinilai sangat tidak kondusif untuk pembangunan.

Di samping itu, situasi politik di daerah ini dilatari oleh suasana pembersihan bekas aktivis dan anggota partai Komunis beserta ormas-ormasnya di setiap jajaran pemerintahan. Aksi pembersihan ini telah mengakibatkan terganggunya kelancaran kegiatan beberapa lembaga pemerintahan, tak terkecuali juga di jajaran pemerintahan daerah dan DPRD-GR sendiri. Keadaan itu akan sangat mempengaruhi kinerja gubernur yang baru diangkat ini.

Namun demikian, Harun Zain yang dikenal terbuka dan akrab dengan segenap lapisan masyarakat dan dekat dengan kalangan intelektual dan tokoh masyarakat, bahkan dengan kalangan militer, tidak terlalu canggung untuk menghadapi situasi daerah seperti yang digambarkan itu . Dukungan yang diperolehnya dari mereka dapat dimanfaatkannya untuk secara bersama-sama memperbaiki kondisi daerah dan melaksanakan program-program pembangunan selanjutnya.

Simbiosa Pusat dan Daerah

Priode 1966-1970 bagi pemerintah Orde Baru pada dasarnya adalah priode di mana rezim ini memberi prioritas pada penyusunan strategi untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas kekuasaannya . Legitimasi mana, sebenarnya sangat ditentukan oleh dukungan politik yang diberikan oleh rakyat. Cara yang absah untuk mendapatkan dukungan itu adalah dengan melibatkan rakyat dalam proses politik, yaitu melalui Pemilihan Umum. Menjelang akhir tahun 1969 pemerintahan Soeharto membuat keputusan bagi penjadwalan pemilihan umum pada tahun 1971, lebih jauh akan dijadikan agenda politik lima tahunan di negara ini. Karena itu berbagai strategipun disusun untuk keperluan itu, terutama bagaimana kekuatan politik pemerintah (dalam hal ini adalah Golongan Karya) dapat memenangkan pemilihan itu. Untuk itu, suara rakyat di daerah akan sangat diper-lukan, terutama di wilayah pedesaan.

Apa yang dikemukakan itu bila dihubungkan dengan kondisi Sumatera Barat pada waktu yang sama, maka sebenarnya terdapat hubungan simbiosis antara pusat dengan daerah. Pemerintah pusat memerlukan dukungan daerah untuk mengumpulkan suara mayoritas rakyat di daerah ini dalam memenangkan pemilihan umum, sementara daerah memerlukan dukungan dana untuk memperbaiki kondisi daerah, terutama sarana dan prasarana fisik yang sangat diperlukan bagi peningkatan perkenomian rakyat. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi kepemimpinan Harun Zain di masa awal pemerintahannya, karena dengan demikian, untuk program meletakkan fondasi pembangunan ekonomi yang ia canangkan, yang diperlukan hanya membangun appeal politik ke pusat kekuasaan.

Salah satu cara yang efektif untuk menarik perhatian pusat pada waktu ini adalah dengan menawarkan jaminan loyalitas rakyat didaerah ini terhadap kepemimpinan Orde Baru. Artinya adalah kemenangan Golongan Karya di daerah ini akan sangat besar artinya untuk membangun kepercayaan pusat atas daerah ini. Ini sekaligus akan sangat menentukan bagi kelancaran pengaliran dana dari pemerintah pusat ter-hadap daerah.

Namun demikian, untuk memastikan kemenangan itu tidaklah mudah. Ini disebabkan pertama : Pada pemilu 1955 sebahagian besar rakyat di daerah ini memberikan suaranya terhadap Partai Islam , kedua : Golongan Karya hingga akhir tahun enam puluhan belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat di daerah ini. Bahkan organisasi kekaryaan --yang merupakan manifestasi kekuatan politik Orde Baru-- ini belum terorganisir dengan baik . Tenggang waktu menjelang Pemilu adalah merupakan hari-hari kerja keras bagi tokoh-tokoh Golkar di daerah ini untuk menggalang kekuatan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin dukungan dari masyarakat. Berbagai strategi dipasang untuk keperluan itu seperti mengadakan pendekatan dengan unsur tokoh masyarakat seperti ninik mamak, ulama, dan kalangan intelektual sebagai unsur elit yang masih dominan sebagai panutan masyarakat di daerah ini. Selain itu yang lebih penting lagi ialah peran militer dan pemerintah daerah sendiri yang dengan segenap kemampuan berupaya mensosialisasilan cita-cita Orde Baru serta menjadikan pengalaman pahit masa lalu daerah ini sebagai retorika politik yang disampaikan dalam berbagai kesempatan .

Apa yang sesungguhnya perlu kita tangkap dari masa-masa menjelang Pemilu 1971 ialah kondisi kesalingtergantungan antara pusat dan daerah telah menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kondisi ini mendorong pemerintah pusat untuk menawarkan janji kepada rakyat Sumatera Barat melalui para pemimpinnya, bahwa kepentingan etnis dan regional mereka akan dijamin, bila mereka memberikan loyalitas terhadap pemerintah . Bagi pemerintah daerah, terpenuhinya keinginan pemerintah pusat adalah merupakan jalan keluar satu-satunya untuk mengembalikan kondisi sosial ekonomi mereka.

Di samping itu, kondisi sebagai yang disebutkan, justru telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh pemerintah daerah sejak awal kepemimpinan Harun Zain. Ia berhasil menggaet dana dari pusat untuk memperbaiki sarana-sarana perekonomian yang sangat vital seperti jalan, irigasi dan sebagainya . Hal ini sangat diperlukan untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian rakyat yang sejak PRRI sangat terkendala oleh rusaknya berbagai sarana itu. Sampai pada awal tahun tujuh puluhan, kondisi perekonomian rakyat sudah mulai membaik dibanding dengan waktu sebelumya.

Terbukanya Katup Wacana Keminangkabauan

Di awal-awal kepemimpinan Harun Zain di Sumatera Barat suasana ketegangan hubungan antara pusat dan daerah masih saja terasa, meski rezim Orde Lama telah berakhir. Masyarakat di daerah ini masih merasa "sungkan" untuk menunjukkan identitas sebagai orang Minangkabau, karena dengan sendirinya akan dicap sebagai "etnis pemberontak". Kondisi ini tak terkecuali juga sangat mempengaruhi kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak banyaknya muncul wacana-wacana keminangkabauan dari tokoh-tokoh masyarakat daerah ini.

Suasana ini mulai agak mencair ketika muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini. Gagasan bagi pendirian lembaga ini sebenarnya bukanlah muncul dari kalangan pemuka adat, namun justru dari kalangan militer tepatnya dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan kemudian direalisasikan oleh Panglima Kodam III/17 Agustus, Kolonel Poniman . Pada Tahun 1966 Panglima menugaskan bawahannya Mayor Ahmad Syahdin, Kepala Sejarah Militer Kodam III bersama Kapten Saafroeddin Bahar untuk mengkondisi-kan para ninik mamak dalam rangka menghimpun potensinya ke dalam satu wadah. Pertama sekali, melalui musyawarah ninik mamak terbentuklah Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak pada bulan Maret tahun 1966. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sebagai organisasi ninik mamak dan penghulu se-Sumatera Barat . Organisasi ini pada awalnya ditujukan untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu dalam satu wadah yang bersih dari unsur-unsur PKI, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa ini merupakan bahagian dari upaya pemerintah agar ninik mamak di daerah ini tidak lagi terlibat dengan kegiatan politik praktis . Dengan demikian akan lebih mudah diarahkan untuk memberi dukungan terhadap pemerintahan dan pembangunan.

Sebenarnya tidak banyak yang dapat diharapkan dari keberadaan lembaga itu untuk membangkitkan kembali otoritas adat yang selama ini terpinggirkan , namun setidaknya gagasan yang muncul dari atas ini dirasakan sebagai kehormatan bagi identitas Minangkabau, karena adanya perhatian dari pihak militer dan penguasa terhadap budaya daerah yang selama ini sangat terabaikan. Kebanggaan akan keluhuran adat yang selama ini telah terkuburkan seiring adanya rasa ketakutan akan kecurigaan pusat atas etnis ini, mulai sedikit terkuak. Masyarakat dan kalangan tokoh daerah tidak lagi merasa risi untuk membicarakan adat dan budaya mereka.

Dengan pembentukan LKAAM, dirasakan bahwa kesempatan untuk kembali menghidupkan wacana-wacana tentang keminangkabauan dengan segala perangkat strukturalnya, mulai terbuka. Karena itu, para tokoh dan intelektual Sumatera Barat berupaya menyelenggarakan seminar-seminar tentang kebudayaan Minangkabau. Tiga kali seminar dilaksanakan setiap tahunnya sejak 1968 setelah lebih dari sepuluh tahun kegiatan seperti ini terhenti, tepatnya sejak seminar di Bukittinggi pada tahun 1953. Mulai tahun 1968 dan berikutnya tahun 1969 diselenggarakan seminar kebudayaan Minangkabau di Padang dan kemudian pada tahun 1970 seminar yang sama dilaksanakan pula di Batu Sangkar. Seperti halnya pembentukan LKAAM, seminar ini pada dasarnya tidak banyak menghasilkan formula-formula bagi kebangkitan kembali nilai-nilai kultural daerah. Ini terlihat dari pemikiran-pemikiran yang muncul tidak memberi solusi yang aplikatif, seperti pemikiran seputar perlunya kembali kepada konsensus "Adat basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah" yang mengemuka dalam diskusi ini, ternyata tidak mengemukakan secara eksplisit tentang implementasi dan aktualisasi falsafah itu sendiri . Demikian juga keberadaan adat dengan segala struktur yang menyertainya yang makin lama makin terpinggirkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal tampaknya masih saja jadi pembicaraan pada tingkat bawah dan belum terbuka sebagai topik yang "dapat" diangkatkan pada forum formal seperti seminar itu.

Pengukuhan Kembali Sistem Nagari

Pada tahun 1968 pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat (SK. No. 015/GSB/ 1968 Tanggal 18 Maret 1968). Peraturan yang baru ini menggantikan Peraturan yang pernah dikeluarkan pada tahun 1963 (SK. Gub. No.02/Desa/GSB/Prt./1963) yang dinyatakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat nagari. Disamping itu Undang-Undang Desapradja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada bulan September 1965 (U.U. No. 19 Tahun 1965) ditunda pelaksanaannya karena masih perlu ditinjau kembali (berdasarkan Instruksi Mendagri No. 29 Tahun 1966) .

Di sini, pertimbangan internal mungkin lebih dapat diterima sebagai alasan pemerintah daerah untuk mengambil langkah mengukuhkan kembali sistem pemerintahan Nagari. Pertimbangan itu lebih didorong oleh kenyataan yang terdapat di hampir semua nagari di Sumatera Barat pada waktu ini antara lain disamping telah berakhirnya masa jabatan Kepala Nagari sejak bulan Juli tahun sebelumnya, juga terdapat sejumlah jabatan di sebahagian besar nagari di Sumatera Barat mengalami kekosongan seperti Kepala Nagari, Pamong Nagari dan anggota Badan Musyawarah Nagari sebagai akibat terjadinya peristiwa G.30 S. PKI.

Hal yang dapat dinilai positif dengan dikeluarkannya peraturan itu antara lain adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal. Dengan demikian sistem kepemimpinan nagari otonom seperti yang berlaku pada waktu-waktu sebelumnya tetap dapat dipertahankan. Di beberapa bahagian wilayah lain di Indonesia, --sebagai akibat kekosongan peraturan perundangan ini--,telah mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kehidupan desa tradisional demokratis sebagaimana digambarkan oleh Fraksi PDI dalam Pemandangan Umum Fraksi PDI Mengenai Rencana Undang-Undang Pemerintahan Desa :
… Di sementara tempat tidak ada lagi pemilihan kepala desa… Kepala Desa diganti dengan kepala desa yang diang-kat oleh Bupati yang kebanyakan terdiri dari pensiunan yang didatangkan dari luar….Umumnya mereka menunjukkan sikap yang otoriter ….pemerintahan desa yang tadinya ditata menurut sistem demokrasi sekarang telah menjurus kepada absoluut bestuur stelsel….

Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dari sistem pemerintahan Nagari dengan sistem pemerintahan Nagari tradisional namun tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat ini setidaknya telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memim-pin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat . SK yang ter-akhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK sebelumnya, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan Nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.

Intervensi Pusat : Beberapa Gejala Awal

Persoalan hubungan antara pusat dan daerah sering ditentukan sejauh mana daerah punya keleluasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan seberapa jauh pula otoritas kekuasaan pemerintahan pusat ikut mencampuri urusan-urusan internal mereka. Di Sumatera Barat, pengaturan sistem pemerintahan terendah hanya sampai tingkat kecamatan. Sedangkan Nagari sebagai wilayah kesatuan hukum adat, meskipun berada di bawah kecamatan, namun tetap memiliki otonomi untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, sistem, serta nilai-nilai tradisional yang mereka anut.

Pada priode pertama kepemimpinan Harun Zain, hubungan pusat dan daerah terlihat "mesra", meskipun kondisi internal sendiri sebenarnya masih sangat runyam dan belum pulih sepenuhnya dari keadaan sebelumnya. Kemesraan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya kondisi saling membutuhkan, apalagi di masa-masa awal pemerintahannya, rezim Orde Baru belum memiliki legitimasi yang kuat atas kekuasaaan yang dipegangnya. Setidaknya sejak akhir tahun 1960 dan awal tahun 70an, masyarakat di daerah ini telah merasakan "budi baik" pemerintah pusat dengan pa-sokan dana pembangunan yang sangat mereka butuhkan .

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.6 tahun 1969 otoritas pemerintah pusat atas persoalan internal di daerah mulai dirasakan. Undang-undang ini menyatakan tidak berlakunya pelbagai Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan di daerah yang dikeluarkan sebelumnya. Sejak saat itu pemerintah pusat sebenarnya mulai menunjukkan keinginan untuk mengatur sistem pemerintahan nasional sampai ke tingkat pedesaan .

Keinginan pemerintah untuk menyeragamkan struktur pemerintahan sampai ke tingkat terendah (desa) di seluruh Indonesia telah terlihat dengan di keluarkannya beberapa kali edaran Mendagri tentang pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat pada tahun 1976. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya edaran Mendagri ini a.l.:
bahwa desa merupakan sumber potensi kekayaan alam dan tenaga kerja sehingga kedudukan, peranan dan fungsi daerah pedesaan, baik sebagai basis pemerintahan nasional maupun sebagai basis pembangunan nasional menjadi semakin nyata dan semakin menentukan terutama di bidang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang diarahkan ke daerah pedesaan

Pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat diarahkan untuk pendewasaan desa menjadi desa yang definitif dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai ketentuan-ketentuan dalam edaran pemerintah pusat Pembentukan desa yang definitif ditetapkan dengan Surat Keputusan Mendagri yang dikeluarkan setiap tahunnya. Ini ditujukan untuk persiapan penentuan jumlah anggaran di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, baik untuk Inpres, Bantuan Pembangunan Desa, maupun subsidi-subsidi lainnya .

Sumatera Barat sendiri, selama pelita I, menerima bantuan desa sebanyak jumlah Nagari yang ada, yaitu : 543 nagari, karena pada waktu ini di Sumatera Barat Nagari masih ditetapkan sebagai unit pemerintahan terendah setingkat desa dan berada di bawah kecamatan. Karena di dorong oleh keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi jumlah bantuan desa, maka pada bulan Juli tahun 1977 pemerintah daerah mengambil kebijaksanaan untuk menetapkan Jorong (yang pada waktu ini merupakan bagian dari nagari) menjadi setingkat desa. Beberapa bulan berikutnya pemerintah daerah mengeluarkan penjelasan tentang penetapan itu dan kembali menegaskan bahwa pengertian desa yang sesuai dengan keputusan Mendagri tentang pemerintahan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyeleng-garakan rumah tangganya sendiri, tidak dapat dilaksanakan di Sumatera Barat, karena itu hak otonomi tersebut tetap dimiliki oleh Nagari . Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak ingin kehilangan status dan fungsi Nagari sebagai lembaga kepemimpinan yang diakui di dalam masyarakat.

Keputusan pemekaran/pembentukan desa atau daerah yang setingkat ini, oleh Pemerintah Daerah, pada awalnya ditujukan untuk semata menampung realisasi bantuan desa yang disediakan oleh pemerintah sebanyak desa yang ditetapkan dan disahkan dengan Keputusan Mendagri itu. Pemerintah daerah masih mengakui keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah dengan penegasan bahwa untuk status, kedudukan, dan fungsinya dalam bidang pemerintahan tetap mempedomani SK. Gubernur No. 155/ GSB/1974. Pemerintah daerah sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan dikeluarkan peraturan perundangan tentang pemerintahan Desa , akan tetapi Keputusan tentang pemekaran/ pembentukan desa tersebut tetap dikeluarkan. Pada waktu ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan bahwa penetapan yang beriming-iming bantuan desa itu akan menjebak pemerintah daerah untuk "menerima" keputusan pemerintah pusat menjadikan desa (jorong) sebagai unit pemerintahan terendah dan pada gilirannya tentu akan mengkebiri otoritas Nagari sebagai struktur pemerintahan tradisional yang otonom di Sumatera Barat.

@ Irhash A. Shamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar