Kamis, 11 Agustus 2011

Di Bawah Lindungan Ka'bah HAMKA : ” Novel Ta'limi, Imajinatif dan Berakidah"

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Sastra Arab FIBA/Kapuslit IAIN Padang)

Skh. Haluan menurunkan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” sebagai cerbung setiap hari mulai selasa ini, patut diberi apresiasi. Setidaknya ada tiga hal yang paling mendasar. Pertama penting bagi penikmat sastra di kalangan muda. Fakta ilmiah, Tim Universitas Insaniah Kedah kerjasama Puslit IAIN Imam Bonjol, meneliti Hamka 2010, ditemukan anak muda Malaysia dan Indonesia nyaris tak kenal lagi Hamka sebagai seorang sastrawan, karena di sekolah tidak muncul lagi ada kajian karya sastranya, guru dan pelajaran bahasa Indonesia tidak berpihak lagi kepada sastra lama, Bahasa Indonesia hanya untuk UN saja.


Kedua penting bagi sastrawan muda. Secara faktual dewasa ini, hampir karya sastra termasuk yang disinetronkan di tv terkesan tidak at home di negeri sendiri, konflik panjang-panjang menghilangkan kesan natural dan tak berakar pada budaya sebagai roh dan identitas bangsa sendiri. Ketiga, penting bagi ulama sekarang. Hamka sebagai seorang ulama memandang sastra, sangat intens dan fenomenal. Beda dengan ulama sekarang nyaris meninggalkan sastra dan dunia imajinasi, padahal sastra tak lepas dari kehidupan umat dan sering menyulut akidah. Hamka seperti juga ulama legendaries Minangkabau sampai abad ke-20, justru mereka sudah menciptakan tradisi menulis sastra sekaligus menemukan sistem sastra klasik meminjam istilah Braginsky (1998) sebagai sistem antropomorfik untuk membentuk manusia menjadi makhluk rohani.

Hamka dengan novelnya ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” mengesankan betapa seorang ulama mentradisikan menulis sastra untuk mengikat kuat pertalian imajinasi dengan akidah dan membuat orang punya nurani, halus dan santun. Sepertinya tidak mau terulang fenomena Panjikusmin dalam berimajinasi menyulut akidah dan membuat heboh umat. Hamka dalam novel agungnya ini dan sudah difilmkam, mampu mempertautkan imajinasi dengan basis akidah yang kuat, tanpa disadari novel ditulisnya untuk aghradh (misi tema) meminjam istilah Emil Ya’qub (1987) sebagai al-adab al-ta’limiy (sastra didaktik) mentransformasikan fakta pengetahuan empiris dengan teknik bersastra dan ”ta’lim” (pengajaran) serta karakter prilaku akhlak Islam yang kukuh akidah dan syari’ahnya. Kepiawaian Hamka dalam menjalin unsur sasta Islami: pengajaran yang indah, hikmah dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) plus unsur estetika, erotika yang tidak terlepas dari kontrol etika, tidak kurang membuat cerita dua kekasih Hamid – Zainab ini dapat yuhadhid sami’ (membuai penikmat sastra), terempati, hanyut berlinang air mata dalam alur cerita. Pasalnya Hamka pandai benar menceritakan bagaimana Hamid – Zainab terhalang menyatukan kasihnya bukan karena norm adat, tetapi terkekang prilaku orang/ mamak minang dalam sistem penjodohan. Zainab sakit-sakitan menahan rindu sampai mati dalam pingitan. Hamid sedih dan sakit, karena sayup, kekasihnya duluan wafat, saat ia sudah bertekad dari Mekah pulang menemui kekasihnya ini. Konvensasi Hamid teguh pada sikap muslimnya menyempurnakan ibadah haji di Baitullah. Namun juga tak tercapai oleh nafasnya, sehabis wuquf di Arafah besama temannya Saleh suami dari Rosna teman akrab Zainab, menjelang ke Mina ia terjatuh, digendong seorang Badui ke Ka’bah. Dalam lidahnya bermunajat kepada Allah yang maha pengasih maha penyayang, suaranya tertelan, ia wafat saat memegang kain kiswah penutup ka’bah. Novel ini imajinatif antara dimensi cinta – prilaku tokoh adat – akidah, yang mengajarkan berimajinasi perlu kuat akidah dalam prilaku.
Selengkapnya...

Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim”

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI FIBA/Ketua PSIFA IAIN Padang)

Tiga dari empat khalifah/mati terbunuh/darah tetes di tengah rumah – Ya Rasulullah ! (Taufiq Ismail)

Diantara empat orang Khulafaur Rasyidin, hanya satu orang yang wafat secara “wajar” – Abu Bakar ra. Dua Khalifah, ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ra., tumbang mengenaskan dalam lumuran darah persengketaan. Utsman dibunuh dalam satu huru hara yang teramat mirip dengan mass coup de etaat (kudeta massa). Huru hara terhadap Utsman ini bermula dari rasa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahannya yang diidentikkan dengan nepotisme dan kolusi serta korupsi di “lingkaran” terdekat klan-nya. Sedangkan Utsman, khalifah yang mulai uzur ini, pada akhir-akhir masa jabatannya (25-30 H.) praktis tenggelam dalam mengontrol dan mengikuti perkembangan proyek penyatuan penulisan al-Qur’an.


Dan, nukilan sejarah mengatakan, Utsman ditikam (sebagian sejarawan mengatakan Utsman ditikam kala sedang mengaji, dari “proyek” mushaf barunya yang baru saja digandakan). Penikaman terhadap Utsman ini tersebabkan karena massa gagal mendesaknya untuk menyerahkan Marwan bin Hakam (sekretaris dan penasehat pribadi sekaligus familinya). Marwan dianggap sebagai “biang” dari kezaliman elit penguasa. Sebenarnya, ketidaktegasan Utsman berkaitan dengan nepotisme-birokrasinya ini, sudah pernah diperingatkan oleh ‘Aisyah ra. Aisyah bahkjan pernah didatangi oleh para perwira untuk mengkudeta Utsman. Namun keinginan para perwira ini ditentang oleh janda Rasulullah nan pintar, cantik serta muda ini. Pada sisi lain, tawaran dari putra-putri Ali bin Abi Thalib serta Abdullah putra Umar bin Khattab ra. serta beberapa kerabat lainnya yang mendatangi Utsman untuk mem-back up Khalifat yang sudah mulai uzur ini, ditanggapi Khalifah yang baik hati ini dengan perkataan : “Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menyelisihi Rasulullah, dikalangan ummatnya, dengan membunuh” (Qurthubi, XVI: ?). Pada akhirnya, Utsman putra Affan ini-pun “rubuh”.

Sementara itu, khalifah yang ke-empat, Ali bin Thalib dihadang ketika ia keluar dari rumah mau ke masjid, menjelang subuh. Ia dibunuh mantan pengikutnya sendiri yang kecewa terhadap Ali karena mau mengikuti perundingan (yang akhirnya “dikerjai”) pihak Mua’awiyyah bin Abi Syofyan ra. Pembunuhan terhadap Utsman dan Ali, kental dengan aroma “kekuasaan”. Mereka berdua “ditikam” orang dalam Islam. Hal ini beda dengan apa yang terjadi pada Khalifah ke-dua, Umar bin Khattab. Berawal dari dendam. Umar bin Khattab yang pintar dan tegas ini, ditikam kala sedang berjalan meluruskan saf jama’ah (konon, dengan tongkatnya) sebelum mengangkat takbir sholat Subuh. Seorang budak Persia “milik” Mughirah bin Syu’bah ra bernama Fairuz alias Abu Lu’lu-ah, menikamnya. Ketika Umar bin Khattab diberitahu siapa yang menikamnya, Umar berkata : “Alhamdulillah, aku tak dibunuh oleh orang Islam”. Abu Lu’Lu-ah berasal dari Persia. Belakangan, ummat Syi’ah menganggap Fairuz alias Abu Lu’lu-ah yang beragama Majusi ini sebagai orang yang “berani karena agama” karena menikam Umar bin Khattab. Wallahu A’lam bish Shawab.“Darah tetes ditengah rumah”, kata penyair Taufik Ismail. Aisyah ra. bersama-sama dengan Talhah bin Ubaidillah serta Zubeir bin Awwam ra., mengangkat senjata melawan Ali bin Abi Thalib ra, setelah gagal mendesak sepupu Nabi Muhammad SAW. ini untuk mengusut tuntas dan terang benderang pembunuhan terhadap Utsman bin Affan.

Ketidakmauan Ali mengusut secara tuntas pembunuhan ini, memunculkan “opini liar” ditengah-tengah masyarakat kala itu, Ali merestui gerakan para perusuh yang membunuh Utsman. Dan, ketegangan antara Aisyah ra. (cs) ini berakhir dengan perang. Thalhah dan Zubeir gugur (kedua orang mereka ini termasuk sahabat paling utama Rasulullah, bahkan dianggap memiliki “tiket-jaminan” masuk sorga). Sementara Aisyah ra. – janda Rasulullah – ditangkap dan dipulangkan dengan baik-baik ke Madinah. Ketika putra Ali bin Abi Thalib – Al-Hasan bin Ali ra. menyerahkan hak pemerintahan ke tangan Mu’awiyyah anak Abi Syofyan dan Hindun (Hindun dalam sejarah dicatat sebagai wanita yang pernah memakan jantung/hati Hamzah paman Rasulullah setelah Hamzah gugur dalam peperangan). Ini terjadi pada 41 H. Saudara kembar Al-Hasan, Al-Hussein bin Ali ra., dibujuk oleh penduduk Kuffah – tempat Muawiyyah “bersemayam” – untuk datang dan dibai’at. Abdullah bin Abbas, sepupunya, serta Abdullah bin Umar bin Al-Khattab, sudah merayunya untuk tidak berangkat. Namun ini ditolak oleh Al-Hussein. Takdir kemudian menentukan : Al-Hussein bin Ali ra. bersama keluarga dan para pengawalnya dibantai oleh bala tentara Gubernur Basrah di Padang Karbala. Ini tejadi pada era Yazid bin Mu’awiyyah. Inilah salah satu episode heroic berbasis etos dendam yang kelak menentukan karakter pembentukan kelompok keagamaan (Syi’ah). Kepala Al-Hussein dipenggal dan kemudian diarak-arak di seputar kota Damaskus. ………….. “Darah Tetes di tengah rumah, Ya Rasulullah!”.

Dan pertumpahan darah “ditengah rumah” terus berlanjut hingga periode dan dinasti-dinasti berikutnya. Teringat saya dengan tulisan “Viking dan Tartar”nya Syu’bah Asa. Syu’bah Asa mengutip Thantawi Jauhari yang mengatakan bahwa andai saja musyawarah bisa dilestarikan, takkanlah sejarah Islam ini dipenuhi kisah-kisah perebutan kekuasaan yang begitu brutal. Menurut Thantawi Jauhari, apa yang ditempuh para penguasa muslim itu tidaklah berbeda kekejaman dan “gaya” pengkhiatannya dari tingkah raja-raja dan kaisar despotic Eropa, Cina atau dari manapun jua. Bahkan juga tidak berbeda dengan Amangkurat II pada masa Mataram (Islam) yang pernah membantai sekaligus ratusan – bahkan ribuan – santri dan kiai. Apa yang dilakukan Amangkurat II tak kalah “serunya” dengan apa yang diperbuat oleh Abul Abbas As-Saffah – pendiri Dinasti Abbasiyah – yang tangannya banyak dilumuri darah kaum muslimin (As-Saffah secara harfiah bisa diartikan “penumpah darah”). As-Saffah bersama pasukannya dicatat dalam sejarah membunuhi klan Umayyah dan diakhir pembunuhan itu, As-Saffah memerintahkan untuk membentangkan karpet diatas gundukan mayat-mayat yang mereka habisi. Lalu mereka makan minum diatas bentangan karpet itu, diantara rintihan tubuh-tubuh menggeliat yang masih terdengar. Fantastis !!. Cerita memilukan ini, dinarasikan dengan luar biasa sehingga bisa membawa bulu kuduk “bergidik” oleh George (Jirji) Zaidan dalam novelnya Bendera Hitam dari Khurasan.

Menurut Jirji Zaidan, pada orang Arab, referensi kebrutalan memiliki referensi histories : tradisi Jahiliyah. Bahkan Nabi Muhammad SAW. pernah mengingatkan akan hal ini agar mereka jangan (nanti) kembali pada kekafiran jahiliyah dimana “sebagian dari kamu akan menebas leher yang lain” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi). Kekhawatiran Rasulullah inilah yang kemudian mereka lakukan belakangan. Ini juga yang (mungkin) sekarang juga dilakukan oleh Bashar Al-Assad yang “membantai” ratusan rakyatnya di Suriah (dahulunya menjadi salah satu enclave utama basis Islam politik). Tapi, apapun kebrutalan yang dinukilkan oleh etnik Arab dalam sejarah, bagi beberapa sejarawan (Thantawi, Ira Martin Lapidus, JE. Bosworth, Martin DGS. Hodgson – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), tetap memiliki “beda” dengan kebrutalan Viking, Tartar apalagi Amangkurat II (yang terakhir ini, hanya improve saya). Di luar kekuasaan, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah (dua dinasti besar yang pondasi-nya diletakkan oleh klan dari etnik Arab) dikenal mempraktekkan “puncak keadilan dan peradaban”, ini yang membedakan mereka dengan dari para despotic Eropa, Jepang dan Cina dan dibelahan manapun jua - tentunya pada masa mereka – dimana tempat kekuasaan raja memungkinkan mereka untuk menjadikan leher seorang rakyat hanya untuk (sekedar) mencoba ketajaman sebuah pedang. Sementara para penguasa muslim justru mempraktekkan ajaran Qur’an, namun dalam soal politik, itu berbeda. Dalam soal politik itulah terjadinya pengingkaran kemanusiaan. Di bagian hidup yang lain, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memiliki catatan manis peradaban dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.

Referensi : Thantawi Jauhari (1981 ed.ter), Jirji Zaidan (1992), Ira Martin Lapidus (1999), DGS. Hodgson (1998), Syu'bah Asa (1998).Foto :luvislam.com

Foto : dejavu.com
Selengkapnya...