Selasa, 17 Agustus 2010

Dasar Historis Lahirnya Kerajaan Mughal

Oleh : Aisyah, MA (Dosen Kaligrafi FIB-Adab)

Tercatat dalam sejarah Islam, kerajaan Mugal ini berdiri pada pereode pertengahan. Setelah masa pertengahan usai, maka muncullah tiga kerajaan besar yang dapat membangun kembali kemajuan umat Islam. Diantara kerajaan besar tersebut termasuk juga kerajaan Mugal. Harun Nasution (1996 :103) mengatakan bahwa ketiga kerajaan ini sudah dapat dikategorikan sebagai negara Adikuasa pada zaman itu. Karena kebesaran kerajaan tersebut sudah mampu menguasai perekonomian, politik serta militer dan mampu mengembangkan kebudayaan yang monumental.


Diantara ketiga kerajaan tersebut Badri Yatim (1997 :145) mengatakan kerajaan Mugal adalah kerajaan yang termuda usia berdirinya. Kerajaan ini berdiri setelah dua puluh lima tahun setelah berdirinya kerajaan Safawi, dapat diperkiarakan sekitar seperempat abad jarak usia keduanya. Namun kerajaan ini cukup lama berkuasa, lebih kurang selama tiga abad. Kerajaan in berdiri sejak awal abad ke-16 sampai abad ke 19 sehingga mampu membawa pengaruh besar bagi perkembangan Islam, mulai dari bidang sastra hingga arsitektur.
Pada makalah ini, penulis akan mengungkapkan tentang pembentukan kerajaan mugal, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta kemundurannya dan sebab-sebab dari kemunduran tersebut.

B. Pembentukan Kerajaan Mugal
Agama Islam masuk ke India diperkirakan abad ke-7 M. melalui perdagangan (Taufik Abdullah dkk. (ed), 2002: 281). Dalam keterangan sejarah tahun 871 telah ada oran Arab yang menetap disana (India) (Syed Mahmundunnasir,1981 :163). Hal ini menunjukkan suatu indikasi bahwa sebelum kerajaan Mugal berdiri, masyarakat India sudah mengenal Islam. Realita ini dapat dilihat dikota Delhi adanya sebuah bangunan masjid yang dibangun oleh Qutubuddin Aybak pada tahun 1193 M (Maidir Harun, 1979: 92). Sedangkan kerajaan Mugal berdirinya pada tahun 1526. Jadi kerajaan Mugal ini sebagai penerus Islam sebelumnya di India.
Pada masa khullafaurrasyidin, memang sudah ada niat penyebaran Islam ke India, hal ini diketahui pada masa khalifah Umar bin Khatab dan Usman sudah pernah mengirim ekspedisi kesana, tetapi rencana ini gagal karena mendengar rawannyan daerah India. Kemudian pada masa Ali bin Abi Thalib juga pernah mengirim suatu ekspedisi di bawah pimpinan Al-Harits bin Murah Al-Abdi untuk menyerbu India dan berhasil menaklukkanya, malangnya sang pemimpin terbunuh pada tahun 42 H disuatu daerah Al-Daidin yang terletak antara Sind dan Khurasan (H. Nurul Makin,1995 :70). Pada masa Umawiyah baru dapat terlaksana secara efektif. Muawiyah juga mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh seorang jendral parang yang masih muda berusia sekitar delapan belas tahun yang bernama Muhammad bin Qasim. Pada saat itu tahun 713 wilayah Multan dapat dikuasai (Taufik Abdullah dkk.(ed), 2002: 281). Setelah itu juga berhasil menaklukkan daerah Sind dan Punjab bagian bawah, maka satu persatu daerah sekitarnya dengan mudah dapat dikuasai. Hal inilah yangmenjadikan wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Bany Umaiyyah semakin luas.
Ada sebuah prestasi yang sukses dalam sejarah sebelum terwujudnya kerajaan mugal di India. Ketika dinasti Ghaznawi di bawah pimpinan Mahmud Ghaznawi (1020.M), ia berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan Hindu di India, sekaligus juga mengislamkan sebagian masyarakatnya, karena sebelumnya mayoritas masyarakat India beragama Budha dan Hindu (Hasan IbrahimHasan, 1979: juz III :92). 8 Tekad Mahmud ini memamg sangat kuat untuk merubah keyakinan oarang India, sehingga ia berhasil mewujudkan cita-citanya. Akhirnya ketika Mahmud berhasil menaklukan daerah Punjab yang ibu kotanya Lahore. Dia mendirikan sekolah tinggi Universitas Islam) beserta sebuah taman pustaka yang besar(Maidir Haru dan Firdaus, 2002: 191). Fakta ini juga memperlihatkan ada bekas jejak Islam pernah jaya di India.
Setelah dinasti Ghaznawi ini hancur,maka muncul dinasti-dinasti kecil menguasai India, seperti Mamluk (1206 M -1290 M), Khalji (1296 M – 1316 M) dan Tulug (1230 M – 1412 M), serta dinasti-dinsti lainnya (Harun Nasution, 1985: 191). Dan terakhir dinasti Lodi tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasannya dari kekacauan kondisi politik pada aktu itu. Maka pada saat itu muncul Zahiruddin Babur memamfaatkan situasi politik ini, dan ia berhasil menegakkan Kerajaan Mugal di India (Taufi Abdullah dkk. (ed),2002: 281). Sejak saat itulah berdiri kerajaan Mugal di India di bawah kekuasaan Babur dengan ibukotanya Delhi.
Zahiruddin Babur (1482 M-1530 M) adalah generasi Timur Lenk yang ke-5 dari pihak bapaknya Umar Syeik Mirza dari etnis mongol (penguasa fergana di Turkistan),memulai kekuasaanya di India (Ira M. Lapidus, 1998: 676). Ia mewarisi kekuasaan bapaknya ketika usianya masih sangat muda, sehingga Ia tidak bisa mempertahankan kekuasaanya di Ferghana. Kemudian Ia mengalihkan perhatiannya ke India, sampai akhirnya Ia behasil menancapakan kerajaan Mugal di sana.
Setelah Babur meninggal kerajaan ini diwariskan kepada anaknya Humayyun. Pada masa Humayyun kerajaan ini mengalami kemunduran, karena Humayyun tidak sanggup mengatasi tantangan dan pergolakan politik yan terjadi pada waktu itu. Selain dari serangan Afganistan,termasuk juga serangan dari saudara-saudaranya yang berambisi merebut kekuasaan, sehingga akhirnya Ia terusir dari Delhi dan menetap di Umarkot (1542) (Ensiklopedi Islam,1994:240). Untung penguasa Safawi waktu itu memberi dukungan dan Kabul dapat dikuasai oleh Humayyun kembali.
Sepeninggal Humayyun, tahta kerajaan jatuh pada anaknya Akbar yang saat itu berusia empat belas tahun. Karena usianya masih sangat muda dan pengalamannya pun masih kurang, maka urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan. Pada awal pemerintahan Akbar ini banyak tantangan dan beberapa pemberontakan yang nyaris mengancam kerajaan Mugal. Kemudian di Agra juga muncul kekuatan Hindu yang dipimpin oleh Himu mengancam kekuasannya. Pada wilayah Barat Laut juga muncul kekuatan dibawah pimpinan Mirza Muhammad Hakim, saudara seayah dengan Akbar. Sementara itu Kasmir juga berusaha melepaskan diri dari kerajaan Mugal yang dipimpin oleh Muslim setempat (K. Ali,1997: 353). Akirnya pada saat itu terjadilah suatu peperangan yang sangat dasyat yang dikenal dengan Panipat II tahun 1556, namun semua itu dapat dipatahkan oleh Bairam Khan.(Badri Yatim, 1997: 149). Himu akhirnya ditangkap, dan Agra dapat dikuasai, maka kemenangan ada dipihak Bairam Khan. Cukup besar jasa Bairam Khan dalam mengokohkan kembali kerajaan Mugal.
Setelah Akbar dewasa, Bairam Khan disingkirkan oleh Akbar, Karena menurut Akbar Bairam Khan ini terlalu keras memaksakan paham Syi’ahnya. Bairam Khan mengetahui gelagat tersebut mencoba mengadakan perlawanan. Tetapi perlawanan itu dapat dipatahkan oleh Akbar dalam peperangan di Julandur pada tahun 1591.
Setelah semua komplit itu berakhir, Akbar dapat menguasai Mugal secara penuh. Kekuasaan Mugal dapat direbutnya kembali secara pemerintahan Militerisme. Akbar dapat mewujudkan Mugal ini menjadi suatu kerajaan besar, dan mencapai pada puncak keajayaanya. Sehingga pada masa Akbar inilah merupakan masa keemasan kerajaan Mugal di India.
Disamping itu Akbar membentuk landasan georafis bagi kekuasaan imperiumnya. Pemerintahan Akbar dijalankan oleh sebuah elit milite dan politik yang umumnya terdiri dari pembesar-pembesar Afghan, Irak, dan Turki sert muslim asli di India. Meskipun secara resmi elit pemerintahan mereka adalah warga muslim, namun terdapat 20 % penduduknya beragama Hindu sebagai aristokrasi Mugal (Ira. M.Lapidus, 1998:695).

:: Makalah lengkap diterbitkan pada Jurnal Tabuah Edisi 14/2010
Selengkapnya...

Minggu, 01 Agustus 2010

Tuanku Rao @ Pongki Nangolngolan Sinambela : "Genetis Batak, Sosiologis Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI/Ketua PSIFA)

Menurut tradisi lisan Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan yang disia-siakan Sisingamangaraja...... (Christinne Dobbin, 1992: 219)
Kutenggalamkan engkau dalam Danau Toba, bila kau selamat..... Kau juga akan mati tenggelam di lain waktu (Cerita Rakyat tentang Tuanku Rao)

Tentang asal usul Tuanku Rao sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan. Beberapa buah buku yang khusus meneliti tentang Tuanku Rao dan yang menyinggung sedikit tentang Tuanku Rao dalam pembahasannya, memberikan klaim asal Tuanku Rao pada dua daerah yaitu dari Batak dan dari Minangkabau.


Onggang Parlindungan mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari daerah Batak. Pendapat Onggang Parlindungan ini kemudian dibantah oleh HAMKA dalam bukunya Antara Fakta dan hayal Tuanku Rao. HAMKA mengatakan bahwa Tuanku Rao bukan berasal dari daerah Batak. Tuanku adalah orang Minangkabau. Sementara itu, Christinne Dobbin (1992: 218) mengarakan bahwa Tuanku Rao secara genetik adalah keturunan daerah penguasa Bakkara, Batak. Karena interaksi yang intens dengan gerakan Paderi yang identik dengan Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya serta area perjuangannya melawan kolonial Belanda berada di wilayah Minangkabau (tepatnya di Pasaman), membuat timbul "kesan" bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau.

Bila dilihat dari argumentasi dan dukungan fakta yang dikemukakan, pendapat Onggang Parlindungan dan Christine Dobbin lebih masuk rasional dan argumentatif. Dalam tradisi oral history (sejarah lisan) Batak disebutkan bahwa Sisingamangaraja X mempunyai adik perempuan yang bernama Nai Hapatin. Ia kawin dengan seorang laki-laki dari klan Sisingamangaraja, Ompu Pelti. Sisingamangaraja X yang bernama asli Ompu Tua Nabolon tidak menyukai perkawinan ini. Tidak didapatkan data latar belakang pasti mengapa beliau tidak menyukai Sisingamangaraja Ompu Pelti. Namun secara asumtif mungkin bisa dikemukakan bahwa Sisingamangaraja tidak menginginkan perkawinan ini berlangsung disebabkan mereka sama-sama satu marga, sama-sama berasal dari klan Sisinga mangaraja. Perkawinan antara satu marga merupakan perkawinan yang dianggap tabu dalam adat Batak, terutama pada masa dulu. Untuk itu, Sisingamangaraja X berusaha menghalang-halangi agar perkawinan ini tidak jadi dilangsungkan. Karena Ompu Pelti dan adik perempuannya sama-sama keras, maka sesuai dengan adat Batak yang berpegang pada Dalih Natolu yaitu berpegang pada tiga : Marhula-hula, Mardongan Sabutuha dan Maranak Boru (O. Parlin-dungan, 1969: 59) akhirnya mereka dibuang ke daerah Bakkara selanjutnya mereka pindah ke daerah Aceh Tengah. Padahal secara adat, hukuman yang harus diberikan bagi mereka yang melanggar adat adalah sangat berat seperti dirajam atau dipukul dengan batu sampai mati. Karena mereka berasal dari kelompok "darah biru" maka huku-man yang diberikan kepada mereka hanya sebatas dibuang dalam masa tertentu. Secara sosiologis bisa saja masa tertentu tersebut bisa dilihat dari kajian stratifikasi sosial. Didaerah "rantau" inilah anak mereka lahir, yang kemudian mereka beri nama Sipongki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Rao.

Data diataslah yang menjadi pijakan Onggang Parlindungan untuk mengatakan bahwa secara genetik Tuanku Rao adalah orang Batak. Klaim ini dibantah oleh HAMKA yang berpijak pada buku Study Over Batak an Batak Schelanden tahun 1866 yang ditulis oleh JB. Newmen Kontrelir BB (HAMKA, 1974: 239). Di dalam buku itu dijelaskan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Pendapat HAMKA ini kemudian diperkuat oleh hasil wawancara dengan Sya'ban Sutan Ibrahim yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. Bahkan Sya'ban Sutan Ibrahim mengatakan bahwa keturunan-keturunan beliau sampai hari ini bisa ditelusuri di daerah ini. Jubah beliau masih disimpan sebagai pusaka sejarah oleh anak cucunya. Jubah tersebut adalah salah satu Jubah yang selalu dipakai oleh Tuanku Rao ketika bertempur melawan kolonial Belanda.

Bila dirunut secara objektif dan memenuhi kaedah-kaedah epistimologis yang dilakukan Onggang Parlindungan, maka bisa didapatkan kesimpulan bahwa Sipongki Na Ngolngolan alias Tuanku Rao adalah orang Batak. Beliau berasal dari marga Sinambela dari keturunan Sisingamangaraja. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada dikenal marga atau suku Sinambela. Lain ceritanya apabila Tuanku Rao berasal dari Marga Lubis atau Tanjung. Namun terlepas dari perdebatan mengenai asal usul Tuanku Rao diatas, dalam konteks tema tulisan ini, Tuanku Rao bisa ditempatkan sebagai salah seorang ulama Minangkabau. Bisa saja secara genetik beliau tidak berasal dari "darah" Minangkabau, akan tetapi area perjuangannya dan "peristirahatannya yang terakhir berada di daerah Minangkabau. Bisa saja secara genetik beliau adalah orang Batak, tapi secara sosiologis beliau bisa dikategorikan sebagai orang Minangkabau.

Si Pongki "Tuanku Rao" Na Ngolngolan : Interaksi Ajaran Islam hingga Gerakan Paderi di Minangkabau

Setelah Tuanku Rao lahir, orang tuanya membawa beliau ke kampung halamannya di tanah Bakkara dan menitipkan kepada kakeknya dari pihak ayah. Sementara itu, kedua orang tua Tuanku Rao kembali lagi ke Aceh Tengah. Kabar kepulangan adik beserta kemenakannya membuat "luka lama" Sisingamangaraja kambuh lagi. Rasa benci dan harga diri yang tercoreng membuat Sisingamangaraja kemudian berusaha membunuh kemenakannya dengan jalan membuang Tuanku Rao ke tengah-tengah Danau Toba. Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun niat Sisingamaraja tersebut tidak kesampaian karena setelah diikat dengan tali yang diberati batu tersebut dan dibuang ke Danau Toba, Tuanku rao berhasil melepaskan ikatan tali itu dan langsung berenag ke tepian. Selanjutnya, mengingat keamanan diri dan kakeknya yang tidak terjamin apabila ia tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao berangkat menunuju Aceh Tengah dan meninggalkan kakeknya di Bakkara. Di Aceh Tengah inilah (di daerah ini beliau tidak bergabung atau menemui kedua orang tuanya) Tuanku Rao pertama sekali mengenal dan mempelajari ajaran Islam yang pada akhirnya beliau masuk Islam. Kemudian untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya Sisinga mangaraja, maka Tuanku Rao hidup berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain yang didaerah tersebut tidak ada orang yang bermarga Sinambela.

Berapa lama Tuanku Rao belajar Agama Islam di Aceh ?. Menurut salah satu Sumber Lisan di daerah Rao Mapattunggul, Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu ia kembali ke Padang Matinggi untuk menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarganya dan masyarakat Batak disekitarnya. Diperkirakan Tuanku Rao pulang ke Padang Matinggi pada tahun 1801 M. Selanjutnya beliau bekajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M., diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Fakta sejarah beliau belajar kepada beberapa ulama terkenal Minangkabau juga dikemukakan oleh Onggang Parlindungan yang mengatakan : "Pada tahun 1804 hingga tahun 1806 Tuanku Rao belajar Tulisan Arab serta mendalami Islam dan ilmu lain dengan ulama-ulama Islam di Minangkabau seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin dan lain-lain. Pada waktu itu ulama-ulama tersebut merupakan ulama populer yang baru pulang dari Mekkah dan memiliki gerakan yang terkenal dengan sebutan gerakan Wahabi (Onggang Parlindungan, 1969: 68).

Dengan ulama-ulama tersebut diatas, Tuanku Rao belajar secara mendalam tentang seluk beluk hukum Islam. Terhadap gerakan Wahabi yang dibawa dan dipopulerkan oleh para gurunya ini, Tuanku Rao hanya memberikan apresiasi dan menghormati pilihan media gerakan gurunya tersebut, namun Tuanku Rao tidak masuk intens ke dalam unsur gerakan yang berasal dari Saudi Arabia ini. Disamping belajar dengan Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin, Tuanku Rao juga belajar tentang ilmu agama pada sahabat karibnya Tuanku Tambusai4 sampai ia mendapat gelar Fakih, sebuah gelar yang berarti ilmu agama yang dimiliki Tuanku Rao telah memuaskan. Setelah kepulangannya dari Aceh dan kemudian pergi menambah ilmu keislaman kepada beberapa orang ulama terkenal Minangkabau, Tuanku Rao kemudian termotivasi dan berkeinginan untuk menegakkan kemurnian Islam di daerah Lembah Rao dan daerah sekitarnya. Pada awal gerakannya, cita-cita Tuanku Rao hanyalah sekedar untuk memurnikan ajaran Islam yang telah disalahjalankan oleh kalangan adat. Dalam sejarah, gerakan Tuanku Rao dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Batak cenderung keras. Sikap keras beliau ini banyak yang memunculkan sikap pro dan kontra. Area gerakan dakwah Islam Tuanku Rao tidak hanya diwilayah Rao saja, akan tetapi sampai ke daerah Tarutung, Balige, Porsea dan daerah-daerah Batak lainnya dengan pola yang cenderung sama, menyebarkan Islam dengan kecenderungan kearah kekerasan. Gaya Tuanku Rao inilah yang kemudian mendapat tantangan yang sangat serius dari kalangan adat baik di daerah Batak maupun didaerah Rao Mapattunggul.

Namun cita-cita Tuanku Rao ini, sebagaimana hanya ini juga terjadi dalam nelihat latar belakang lahirnya gerakan atau Perang Paderi di Minangkabau, mendapat tantangan berat karena adanya intervensi politik dari kalangan adat yang mengundang kolonial Belanda untuk "campur tangan". Mulai sejak itu Tuanku Rao bergerak dengan dua tujuan yakni memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang menyelewengkan ajaran Islam terutama kalangan adat dan mengusir kaum kolonial Belanda yang berusaha menduduki daerah Lembah Rao dan sekitarnya yang kaya akan rempah-rempah dan emas.5 Kolonial Belanda yang "bermurah hati" mau membela kepentingan kalangan adat sebenarnya menginginkan tanah dan kekayaan Lembah Rao. Sesuatu yang sebenarnya tidak disadari oleh kalangan adat ketika itu atau kalangan adat menyadari implikasi negatif yang akan ditimbulkan apabila mereka meminta bantuan kolonial Belanda menghadapi Gerakan Tuanku Rao dan Gerakan Paderi, akan tetapi mengingat eksistensi "darah biru" mereka digerogoti kalangan ulama maka implikasi negatif diatas dinafikan kalangan adat. Sejak itu, dengan memusatkan Rao sebagai pusat gerakannya, Tuanku Rao bersama pengikutnya mulai berperang melawan kolonial Belanda yang "bertopeng" dibelakang kepentingan kalangan adat. Kondisi perang ini makin bertambah "heroik" setelah perlawanan terhadap kolonial Belanda menjadi perlawanan kolektif dibawah payung Gerakan Paderi yang dipimpin oleh ulama kharismatis asal Bonjol, Peto Syarief yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol. Dan selanjutnya, Tuanku Rao mulai bergabung dalam "arus umum" Perang Paderi dimana beliau termasuk menjadi orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol.

Perlawanan sengit yang diberikan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol membuat pihak militer kolonial Belanda kalang kabut. Untuk mengantisipasi hal ini, pihak militer Belanda di daerah Pasaman meminta tambahan pasukan kepada pemerintah pusat di Batavia. Maka pada bulan Juni 1832, pasukan Belanda dari Jawa tiba di Padang kemudian langsung diberangkatkan menuju Rao. Pasukan ini dipimpin oleh seorang opsir muda bernama Mayor van Amerongen. Kedatangan pasukan ini kemudian diketahui oleh pasukan Paderi yang berada di daerah Lembah Rao. Tuanku Rao kemudian mengadakan perundingan kilat dengan Tuanku Tambusai dan kemudian diambil keputusan bahwa apabila pasukan Belanda datang untuk berdamai maka para pejuang Paderi akan bersikap seolah-olah akan menerima perdamaian tersebut, tetapi apabila datang dengan kekerasan maka pihak Paderi Rao-pun akan menghadapi mereka dengan kekerasan pula.

Kemudian dilakukanlah pembagian tugas. Tuanku Rao bertugas mempertahankan benteng dari jurusan Timur, Tuanku Tambusai dari jurusan Barat, Imam Perang Muhammad Jawi dari jjurusan Utara dan Haji Muhammad Saman bertugas sebagai penghubung diantara mereka. Rupanya Belanda tidak menyodorkan perdamaian. Belanda menyodorkan pilihan perang atau angkat kaki dari daerah Lembah Rao. Jawaban yang diberikan pasukan Tuanku Rao dan pasukan lainnya yang tergabung dalam pasukan Paderi sudah jelas, menerima tawaran perang. Selanjutnya perang-pun terjadi. Berpuluh-puluh kali benteng Rao diserang dari berbagai jurusan tapi berpuluh-puluh kali pula pasukan Belanda mendapat balasan yang cukup keras dari pasukan Paderi. Melihat hal ini, Mayor van Amerongen merasa khawatir dan kemudian beliau meminta tambahan pasukan ke Padang. Pasukan bantuan tambahan dari Padang tiba di Rao pada bulan September 1932, segera Mayor van Amerongen kemudian melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Rao. Setelah melakukan pertempuran selama 16 hari, akhirnya benteng para pejuang Paderi terdesak. Untuk menghindari banyaknya jatuh korban, mereka kemudian mengosongkan benteng. Tuanku Rao bersama pasukannya mengundurkan diri ke Air Bangis, sedangkan Tuanku Tambusai bersama pengikutnya termasuk Muhammad Saman mundur ke arah barat memasuki daerah Mandahiling. Sedangkan benteng Rao berhasil direbut pasukan von Amerongen. Atas jasanya ini, nama benteng Rao kemudian dirubah menjadi Benteng Von Amerongen.

Kekalahan yang diderita pasukan Paderi di Rao dan jatuhnya benteng Rao ke tangan pasukan Belanda, membuat masyarakat yang ada disekitar Lubuk Sikaping merasa panas dan berencana untuk menyerang Rao serta membebaskan benteng Rao dari cengkeraman p asukan Belanda. Sebelum penyerangan dilakukan, utusan Belanda berangkat ke Lubuk Sikaping untuk menemui para penghulu dan membujuk mereka untuk "mengamankan" serta mengurungkan rencana anak kemenakan mereka menyerang benteng Rao. Akan tetapi para penghulu tidak mau tunduk dengan permintaan utusan Belanda ini. Akibatnya, para penghulu yang dianggap sebagai otak non-kooperatif ini ditangkap dan dipenjarakan. Tindakan ini nampak nya cukup efektif karena membuat takut masyarakat Lubuk Sikaping bertindak lebih jauh sebagaimana yang telah mereka rencanakan pada awalnya.

Kepergian Tuanku Rao dan pasukannya ke daerah Air Bangis pada tahun 1883 sebenarnya merupakan strategi untuk menyusun kekuatan kembali setelah pasukannya kalah dalam perang mempertahankan benteng Rao melawan pasukan Von Amerongen. Air Bangis merupakan daerah terjauh dari Rao di wilayah Kabupaten Pasaman. Secara asumtif, kemungkinan besar karena pertimbangan jarak inilah, maka Tuanku Rao berfikir akan mudah menyusun kekuatan kembali untuk melawan pasukan Belanda dan merebut benteng Rao. Namun setibanya di Air Bangis, daerah pantai dan daerah dagang di pantai Barat Sumatera ini telah diduduki oleh pasukan Belanda. Kedatangannya ke Air Bangis kemudian dicium penguasa Belanda setempat. Berita kedatangan Tuanku Rao ke Air Bangis dikabarkan ke Benteng Rao di Rao Mapattunggul. Maka segeralah dikirim seorang kurir beserta pasukan Belanda dari Rao. Kurir tersebut bernama Letnan Muda J.H.C. Schultze. Disamping mengirimkan pasukan dari Rao, bala bantuan juga dikirimkan dari Padang yang mengirim satu buah kapal perang yang bernama Circe. Pasukan Belanda di Air Bangis dibantu oleh pasukan Letnan Muda J.H.C. Shultze serta penguasaan medan laut oleh kapal Circe, mereka mengepung ruang gerak Tuanku Rao dan pasukannya di sekitar Air Bangis. Pada akhirnya, dalam tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 19 Januari 1833, Tuanku Rao kemudian ditangkap hidup-hidup tanpa perlawanan berarti dari beliau.

Kemudian proses selanjutnya, sejarah tidak mencatat secara jelas. Bagaimana Tuanku Rao meninggal dan dieksekusi. Apakah ditembak, dirajam atau dibenamkan di laut. Kemudian dimana beliau dikuburkan. Siapa saja dari pasukannya yang mati terbunuh, kemudian apa saja kegiatan utamanya di Air Bangis, serta mengapa ia ditangkap, apakah beliau tidak bisa menghilangkan identitasnya. Sejarah tidak mencatat secara tuntas. Yang diketahui hanyalah, Tuanku Rao ditangkap dan dihukum mati dengan cara yang sangat keras.6 Dua kata terakhir ini, kata "sangat keras" sampai hari ini belum bisa diinterpretasikan analisis sejarah makna kata tersebut. Tapi yang pasti, Tuanku Rao tidak meninggal dalam peperangan karena menurut Chritinne Dobbin, beliau ditangkap hidup-hidup dalam sebuah pengepungan yang dilakukan secara kolektif dari darat dan dari arah laut Air Bangis.

Kematian Tuanku Rao sampai hari ini, baik yang bersumber dari fakta sejarah (pendapat dari beberapa sejarawan yang pernah meneliti tentang Tuanku Rao) maupun dari cerita-cerita rakyat yang berkembang, masih dianggap sebagai sebuah kematian yang tragis dari perjalanan hidupnya yang juga tragis, keras dan penuh dinamika. Namun kematian Tuanku Rao bukanlah kematian sia-sia. Dalam ranah sejarah Islam di Minangkabau dan Tanah Batak, "posisi dan peran" Tuanku Rao menempati posisi dan peran yang cukup penting. Beliau adalah figur yang sangat banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan Islam di daerah-daerah pinggiran Minangkabau (daerah-daerah tansisi spasial Batak-Minangkabau atau daerah perbatasan kultur Minangkabau dengan Batak) dan sebagian besar daerah-daerah di Tapanuli. Terlepas dari gayanya yang keras dalam menyebarkan agama Islam, yang pasti pembicaraan mengenai Islamisasi di Minangkabau dan daerah-daerah di Tapanuli, sejarah tidak akan bisa melupakan posisi dan peran penting Sipongki "Tuanku Rao" Na Ngolngolan ini.

Begitu juga halnya ketika kita berbicara mengenai sejarah perjuangan Indonesia dalam melawan penjajahan kolonial Belanda. Tuanku Rao adalah seorang pahlawan yang sangat berani dalam melawan secara fisik keberadaan kolonial Belanda di daerah Pasaman dan Batak. Bersama-sama dengan para kawannya yang tergabung dalam Gerakan Paderi, mereka "menguras" energi dan kekayaan kolonial Belanda. Perlawanan yang mereka lakukandalam rentang waktu hitungan tahun yang panjang membuat pemerintah kolonial harus mengeluarkan biaya besar. Disamping itu, Tuanku Rao merupakan orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pahlawan nasional dari Minangkabau. Memang beliau tidak mendirikan pesantren ataupun membuat sebuah surau dengan seperangkat sistem belajar mengajar. Beliau tidak seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli ataupun Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang memiliki kesempatan membuat lembaga pendidikan dan mentransfer ilmu mereka kepada para murid secara sistematis. Beliau juga tidak terlibat secara intens dengan perdebatan-perdebatan teologis sebagaimana halnya yang terjadi pada ulama-ulama besar Minangkabau sesudahnya. Walaupun sebenarnya pada waktu itu perdebatan teolgis "terbuka" dengan satu objek perdebatan yaitu Gerakan Wahabi. Tapi beliau tidak begitu tertarik. Tuanku adalah "orang lapangan". Beliau lebih suka berada diatas punggung kuda, dan menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan tugas "laki-laki"nya yaitu berperang sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol. Maka pembicaraan tentang Peperangan Paderi, posisi dan perang penting Tuanku Rao tidak bisa dilupakan.

Sumber : (Basyral Hamidi Harahap, 2001; Christine Dobbin, 1996; M. Onggang Parlindungan, 2002; HAMKA, 1974 dan Muhammad Ilham, "Tuanku Rao dan Air Bangis", 2000)
Selengkapnya...

Kaligrafi Islam Kontemporer : Antara ‘Ijtihad’ dan ‘Pemberontakan’

Oleh : Drs. Muhapril Musri, M.Ag (Dosen Kaligrafi FIB-Adab)

Di Indonesia, keberadaan kaligrafi Islam kontemporer dapat dilihat dari beberapa karya pelukis kaligrafi professional, seperti terlihat pada karya A.D. Pirous (Bandung), Syaiful Adnan (Yogyakarta), Amang Rahman (Surabaya), Abdurrahman Mansur Dompu (NTB), dan lain-lain. Jika dilihat dari asal-usul pengalaman, maka pelukis kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia berbeda dengan pelukis kaligrafi kontemporer dunia Islam lain.



A. Pendahuluan

Dalam suatu kesempatan di forum dialog nasional kaligrafi Islam di Bengkulu tanggal 09 Juni 2010 dalam rangka MTQ Nasional ke-23, penulis mendapat kehormatan memandu (sebagai moderator) acara yang berskala nasional tersebut. Ada dua hal menarik dari dialog kaligrafi saat itu, pertama, bahwa seluruh hadirin yang terdiri dari para guru, pembina, pelatih dan peserta musabaqah kaligrafi disuguhkan sebuah tema berkaitan dengan kaligrafi Islam kontemporer. Sebuah tema yang barangkali bagi sebagian besar insan kaligrafi di Indonesia terbilang baru. Di katakan demikian karena selama ini para khattat lebih banyak bergelut dengan kaligrafi tradisional yang lebih terikat kepada qawa’id al-khat al-Araby. Lima orang narasumber tidak ada satupun berasal dari kalangan pelukis kaligrafi kontemporer, semuanya para khaththath. Kedua, jika ditelusuri latar sejarah berkembangnya kaligrafi dalam tradisi Islam adalah bahwa sejarah kaligrafi adalah sejarah penemuan gaya-gaya (style) tulisan Arab. Mulai dari bentuk yang sangat sederhana hingga bentuk yang paling anggun dan standar. Dari satu macam gaya hingga ratusan gaya tulisan. Oleh karenanya berkembangya gaya kontemporer kaligrafi Islam, merupakan upaya ‘pembukaan pintu ijtihad’ bagi mereka yang tidak mau puas hanya dengan gaya yang sudah ada. Atau bagi mereka yang ingin mencari warna baru kaligrafi Islam dengan suatu catatan aspek imlaiyyah tidak dikorbankan walaupun belum memiliki standarisasi.
Berbagai asumsi diberikan oleh para ahli berkaitan dengan munculnya istilah kontemporer. Secara terminologis, kata ‘kontemporer’ berasal dari bahasa Inggris yakni contemporary , dalam bahasa Arab digunakan kata ma’âshir atau hadîts berarti, “zaman sekarang” atau “masakini” . Kata “kontemporer” menunjukkan “suatu periode” atau “suatu angkatan” yang paling baru. “Angkatan kontemporer” berada pada beberapa puluh tahun berselang (1970-an).
Dalam hubunganya dengan perkembangan seni rupa, maka istilah ‘kontemporer’ secara umum diartikan senirupa yang berkembang masa kini, karena kata ‘kontemporer’ itu sendiri berarti masa yang sezaman dengan penulis atau pengamat saat ini. Istilah ini tidak merujuk pada satu karakter tertentu. Karena istilah ini menunjuk pada sudut waktu, sehingga yang terlihat adalah trend yang terjadi dan banyak mewarnai pada suatu masa atau zaman. Latar belakang yang muncul dalam seni rupa kontemporer sangat beragam, karenanya belum ada kesepakatan yang baku untuk memberi tanda pada senirupa kontemporer. Berikut beberapa hal yang dianggap sebagai nafas baru seni rupa kontemporer:

a. Dari sudut teknis munculnya kecenderungan baru dalam seni rupa seperti seni
Instalasi (yang bersifat instalatif/site specific installation).
b. Menguatnya seni lokal (indigenous art), sebagai jawaban atas masalah-masalah yang
muncul dalam praktek dan perilaku artistic yang menyimpang dari konvensi
sebelumnya(modernisme)
c. Menguatnya pengaruh ideology postmodern dan wacana postcolonialism dewasa ini.
d. Hanya dianggap sebagai pergantian istilah semata dari kata modern pada praktik artistik
yang sama.

Jika dihubungkan dengan kaligrafi Islam, maka kaligrafi Islam kontemporer adalah kaligrafi Islam yang muncul dengan gaya baru sebagai hasil ‘ijtihad’ pelukis kaligrafi masa kini. Sebagai hasil sebuah ‘ijtihad’, bentuk dan gayanya-pun berbeda dengan perkembangan kaligrafi sebelumnya yang lebih berpatokan kepada kaidah-kaidah standar. Kaligrafi dengan gaya baru tersebut merupakan karya ‘pemberontakan’ atas kaidah-kaidah murni kaligrafi tradisional. Mazhab kaligrafi Islam kontemporer berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni seperti Naskhi, Tsuluts, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.

Diantara ciri-ciri kelainan gaya kontemporer dengan gaya klasik tradisional:
a. Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai gaya khas pelukisnya.
b. Merupakan kombinasi antara hasil imaji pelukis dengan gaya murni tradisional

B. Kategori Kaligrafi Islam Kontemporer

Dijadikannya kaligrafi sebagai tempat penuangan ekspresi estetik seniman muslim telah menempatkan kedudukan seni Islam yang satu ini pada tempat yang terhormat. Berabad-abad lamanya kaligrafi Islam menempuh berbagai ujian, eksperimen dan reformasi hingga sampai kepada bentuknya yang anggun, artistik, fleksibel dan mapan hingga menjadi standar untuk dipedomani oleh kaligrafer yang datang kemudian.
Pada abad modern ini muncul kecenderungan baru di kalangan seniman muslim. Para kaligrafer modern secara tidak langsung telah memberikan pengakuan terhadap kemapanan kaidah kaligrafi Islam yang eksistensinya sudah teruji semenjak awal Islam hingga kini. Kecenderungan baru perkembangan kaligrafi di masa modern ini telah menjadi suatu “trend” dimana gaya kaligrafi yang dihasilkan lebih bernuansa ”pemberontakan” dari kaidah-kaidah yang telah disepakati umum. Walaupun pada dasarnya para kaligrafer yang menempuh jalur ini berasal dari mereka yang sangat mengerti dan paham kaidah-kaidah baku kaligrafi Islam, namun tetap saja karya mereka bertolak belakang dari apa yang sudah disepakati itu. Kecenderungan ini terjadi justru di negara-negara di mana al-khat al-mansub itu dirumuskan secara mapan oleh para pendahulu mereka menjadi sebuah kaidah standar.
Ismail al-Faruqi, mengamati perkembangan kecenderungan baru kaligrafi di dunia Islam yang disebutnya sebagai “kaligrafi kontemporer”. Menurutnya, ada lima kategori kaligrafi yang berkembang di dunia Islam pada abad modern ini, yakni Kaligrafi tradisional, kaligrafi figural, kaligrafi ekspresionis, kaligrafi simbolis dan kaligrafi abstrak murni.
Kategori pertama, kaligrafi tradisional, adalah kaligrafi yang menunjukkan kesesuaian dengan rumus-rumus dan kaidah-kaidah baku kaligrafi Islam.Kaligrafi ini tidak keluar dari unsur-unsur yang lebih standar dalam tradisi kaligrafi Islam. Oleh karenanya pengertian tradisional dalam hal ini bukan hanya berkaitan dengan masa lalu, akan tetapi juga berkaitan dengan kesesuaian umum dengan aspek-aspek dominan dari keseluruhan hasil karya pelukis kaligrafi muslim. Para kaligrafer muslim kontemporer yang banyak menggubah gaya tradisional ini biasanya lebih banyak mencoba menerapkan suatu sistem untuk diajarkan kepada siswa-siswa madrasah. Berdirilah banyak madrasah di beberapa negara Islam yang menghasilkan kaligrafer-kaligrafer handal. Dari segi karya, muncul gubahan-gubahan kaligrafi dengan pola dekoratif yang berbagai macam ragam dengan tetap berpedoman keda kaidah standar kaligrafi Islam.

Gambar di bawah ini adalah dua contoh desain kaligrafi tradisional


Gaya Kufi square Gaya Sulus

Dari segi komposisi yang berkembang saat ini, ada pola dekoratif simetris yang menitikberatkan komposisi kepada keserasian susunan antara satu karakter huruf dengan huruf lainnya. Kaligrafi Pola simetris ini memilki berbagai bentuk. Ada bentuk dekoratif mendatar, bundar, persegi, figurative, muta’akis (berpantulan atau berlawanan arah), gaya tughra (tanda tangan), dan gaya-gaya lainnya yang simetris.
Sedangkan kaligrafi pola a-simetris lebih menekankan kepada susunan huruf yang tidak terikat kepada keserasian garis. Pada pola dekoratif a-simetris ini, sering terjadi penonjolan beberapa karakter huruf yang tidak terikat kepada susunan garis. Penonjolan bebrapa karakter huruf itu biasanya memperlihatkan sifat huruf yang lugas, tajam dan ekstrim. Bentuk ini terlahir dari imajinasi kaligrafernya yang agak terkesan “menggila”. Dengan demikian, susunanya lebih berorientasi menurut keinginan sang seniman tanpa mau terikat dengan keteraturan komposisi.
Kategori kedua, kaligrafi figural, yakni susunan kaligrafi yang terbentuk dari gabungan motif-motif figural,. Motif-motif figural yang didesain meliputi beragam bentuk seperti bentuk daun-daun, binatang. Pada motif figural ini kadangkala huruf demi huruf didesain dengan dengan karakter dipendekkan, dipanjangkan, dikembangkan atau ditekan. Kadangkala diperluas dengan hiasan tambahan sebagai pengisi spasi kosong supaya sesuai dengan bentuk non kaligrafis, geometris, tumbuhan, binatang atau figure manusia. Kata atau kalimat yang tercantum pada desain figural adalah sebuah integrasi yang memuat ketidakmungkinan pemisahan elemen pilihan yang menjadi bagian integral dari desain, yakni kaligrafi dan figuran tersebut. Pengalihan tata letak huruf dikhawatirkan merusak harmonisasi desain. Sayyid Naquib al-Atas adalah salah seorang dari beberapa muslim kontemporer yang telah menggubah berbagai bentuk kaligrafi figural.
Kategori ketiga, kaligrafi ekspresionis, yakni gubahan stilir huruf dan komposisi kaligrafi yang sudah menyimpang dari kaidah standar kaligrafi Islam. Sekalipun para pelukisnya mengatakan karyanya adalah sebagai warisan kesenian Islam, namun substansi hurufnya sudah menyalahi aturan baku kaligrafi Islam yang standar. Melihat karakter gubahan dan bentuk hurufnya, maka aliran kaligrafi ini sangat erat kaitannya dengan estetika Barat. Karena secara umum para pelukisnya sudah mengenyam pendidikan seni di lembaga-lembaga pendidikan Barat. karena kategori ini lebih tepat disebut dengan seni Islam yang sudah mendapat pengaruh dari tradisi seni Barat. Term ekspresionis dalam karya kaligrafi telah digunakan untuk mengkategorikan bahwa kaligrafi dalam emosinya atau elemen emotif, biasanya diekspresikan dengan geliat kekerasan dan berlebihan.
Nafas ini muncul setelah terjadinya gerakan modern di dunia Barat pada abad ke-19 dan abad ke-20 M. Ini dijadikan contoh dalam karya-karya seniman yang membawa penikmat seni ke dalam emosi subjektif yang mereka miliki. Mereka juga mengharap untuk melukis kpersonal, visual dan respon emosional kepada objek person atau peristiwa yang dimunculkan. Secara pasti mereka tidak bertujuan menggambarkan dengan realistis. Pada ketegori ekspresionis ini, seniman muslim mencoba menggambarkan objek dengan mengambil jarak dan personal dari alam menuju suatu konsentrasi atau transendensi. Seni Ekspresionis mengutamakan emosi manusia, potret suasana hati, perasaan subjektif dan perhatian individualistis.

Gambar berikut adalah salah dua contoh kaligrafi Islam kontemporer gubahan Hassan Masoudi


“Yâ Lail ! Aina Huwa ‘l-Irâq” Hassan Masoudi “Lâ akhudz bi dûni ‘athâ`in”, Hassan Masoudi

Terhadap perkembangan ini, Bulan al-Haidari, salah seorang kritikus seni Islam dalam sebuah tulisannya yang dimuat di majalah “Arts and the Islamic Wolrd”, mengatakan bahwa walaupun berbeda dengan premis seni ekspresionis, beberapa kaligrafer muslim kontemporer mencoba mengadaptasi karakteristik keindahan tersebut pada kaligrafi Islam. Mereka terlalu terpengaruh oleh tradisi asing, melebihi premis dasar idiologi dan tradisi Islam. Mereka tidak menyadari bahwa karya kaligrafi ekspresionis mereka sudah masuk ke dalam area mode yang tidak Islami. Meskipun mereka menggunakan motif warisan Islam, namun karya mereka sesungguhnya adalah hadiah dari tradisi seni Barat. Di Indonesia, gaya ekspresionis ini pada umumnya dianut oleh para pelukis kaligrafi, seperti A.D. Pirous, Syaiful Adnan, Amang Rahman, Amri Yahya, Hatta Hambali, dan lain-lain.


Kaligrafi ekspresionis karya Syaiful Adnan (kiri) dan A. D. Pirous (kanan)

Bentuk keempat kaligrafi kontemporer adalah kaligrafi simbolis. Menurut al-Faruqi, aliran kaligrafi ini juga mendapat pengaruh dari tradisi seni Barat. Ini dapat dilihat dari hasil karya jenius pelukisnya yang mengintegrasikan kata-kata Arab sebagai simbol (lambang) dari gagasan mereka. Contoh, huruf sin ( س ) diasosiasikan dengan saif ( سيف ) berarti pedang atau sikkin ( سكين ) berarti pisau.
Dalam penggabungan simbol yang tersamar seprti disebutkan di atas, seniman kaligrafi aliran ini sering membuat komposisi pernyataan sebuah pesan protes atau reformasi sosial. Kombinasi hanya dipandang sebagai ilham perasaan sang seniman. Oleh karena dipaksa mengabungkan diri dengan kombinasi makna artifisial, hruf-huruf itu seakan-akan dibuat melingkari perannya sebagai pembawa pesan. Bertitik tolak dari kebangkitan aliran kaligrafi simbolik ini, bagi sebahagian kalangan, hampir semua huruf dapat dipahami secara simbolik (metafora), walaupun sebagian lainnya tidak menyetujuinya.
Kategori kelima, kaligrafi abstrak murni atau kaligrafi semu. Disebut dengan istilah abstrak murni atau kaligrafi semu, menurut al-Faruqi, sebagaimana dikutip D. Sirajuddin AR, karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan, tapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna linguistik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk tujuan-tujuan seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu seniman kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagai corak tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Bagi sebagian seniman kaligrafi aliran ini, ternyata huruf demi huruf yang digabung menjadi motif-motif tertentu adalah sebuah kreasi yang kaya makna. Naja al-Mahdawi, misalnya, seorang kreator kaligrafi kontemporer dari Tunisia, melihat bentuk kemurnian itu lebih dari sekedar sesuatu yang dapat dibaca. Dalam karya-karyanya, Naja al-Mahdawi cenderung menuju ke ekspresionisme dan ia berusaha bebas mengutak atik huruf namun tetap sarat makna.

Kaligrafi ekspresionis karya Naja al-Mahdawi (Tunisia)

Gambar di atas memperlihatkan corak ekspresi kaligrafi Islam yang dibuat oleh Naja al-Mahdawi. Di sini terlihat bagaimana huruf demi huruf yang digabung menjadi motif-motif tertentu menjadi sebuah kreasi yang kaya makna.

C. Kaligrafi Islam Kontemporer di Indonesia

Di Indonesia, keberadaan kaligrafi Islam kontemporer dapat dilihat dari beberapa karya pelukis kaligrafi professional, seperti terlihat pada karya A.D. Pirous (Bandung), Syaiful Adnan (Yogyakarta), Amang Rahman (Surabaya), Abdurrahman Mansur Dompu (NTB), dan lain-lain. Jika dilihat dari asal-usul pengalaman, maka pelukis kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia berbeda dengan pelukis kaligrafi kontemporer dunia Islam lain. Jika kaligrafer Naja al-Mahdawi, Hassan Masoudi, Syakar Hassan, Jalil Rasouli, Murtadha Ja’fari, dan lain-lain berasal dari kalangan khaththath yang paham dengan kaidah-kaidah dasar kaligrafi, maka di Indonesia sebaliknya, para pelukis kaligrafi justru berasal dari para pelukis konvensional yang sama sekali tidak memiliki akar pemahaman yang memadai tentang kaidah baku kaligrafi, sehingga bagi mereka berkaligrafi merupakan suatu pengalaman yang sangat memberikan kesejukan tidak saja bagi jiwa tetapi juga bagi para pemerhati karya mereka. Di samping itu karya-karya lukis kaligrafi mereka lebih didasarkan kepada kekayaan dan akar budaya tempat kelahiran mereka.
Pada karya lukisan kaligrafi A. D. Pirous, pengungkapan ide dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter imajinatif. Dengan prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam warna redup yang syahdu, sesuatu juga bisa muncul dalam kekayaan warna yang menggetarkan. Sentuhan ragam hias etnis Aceh, yang memuat ornamen-ornamen atau motif buraq, juga memberikan nafas sosiokultural yang Islami dalam lukisannya. Sebagai puncak kunci nafas spiritual itu, adalah aksentuasi kaligrafi Arab yang melafaskan ayat-ayat Suci Al Qur’an.
Dengan demikian kekuatan akar budaya daerah kelahirannya begitu melekat dalam setiap karya-karyanya. Ini dapat ditelususri dari karya-karya A. D. Pirous yang lebih banyak bertemakan potongan-potongan abstrak batu-batu pualam yang terdapat pada nisan-nisan kuburan para ulama dan penyair Islam yang ada di daerah Aceh. Ataupun mozaik-mozaik yang bersulam benang emas, sebagai bentuk kekayaan budaya Aceh.
Pada karya lukisan kaligrafi Syaiful Adnan, karakter budaya Minangkabau terlihat begitu kental. Ini dapat dibuktikan dengan adanya lengkungan-lengkungan tajam pada huruf-huruf tertentu yang mirip arsitektur rumah gadang.

Dua karya Syaiful Adnan terlihat karakter budaya Minangkabau dari beberapa huruf.




Selain itu beberapa pelukis kaligrafi kontemporer yang berlatar belakang khaththath, saat ini juga sudah bermunculan, ini dapat dilihat dari beberapa karya lukis kaligrafi kontemporer karya D. Sirojuddin AR, Said Akram, Effendi Le’ong, dan lain-lain.

Dua kaligrafi Kontemporer karya D. Sirojuddin AR
Ini menunjukkan bahwa nafas baru kaligrafi Islam sudah mulai dipelajari dan dimasyarakatkan di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, dalam upaya lebih mendekatkan kaligrafi Islam kontemporer ke pada khalayak dan komunitas muslim di Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui kegiatan pada beberapa ajang lomba dan kompetisi secara berjenjang, seperti pada MTQ nasional ke 24 tahun 2012 di Prop. Maluku dan pada setiap penyelenggaraan Pospenas. Dengan dimasukannya lomba kaligrafi Islam kontemporer di beberapa ajang lomba tingkat nasional, maka masyarakat akan semakin paham apa sebetulnya kaligrafi Islam kontemporer itu. Apakah ia hanya semata-mata hasil sebuah ijtihad kontemporer atau hanya semata-mata hasil sebuah pemberontakan atas kaidah-kaidah standar yang sudah dibakukan yang terkesan monoton dan membosankan atau memang perpaduan dari kedua-duanya. Yang jelas kehadiran kaligrafi Islam kontemporer telah memberikan angin baru bagi tradisi budaya Islam bahwa kaligrafi Islam itu bagaimanapun juga adalah suatu tradisi yang dinamis.


Selengkapnya...