Oleh : Dra. Yulniza, M.Ag (Dosen Jur. SKI FIBA)
Al-Muwahhidun pada awalnya merupakan gerakan keagamaan yang berkuasa di Maroko dan Spanyol. Gerakan ini mendapat tempat di Arab bagian Barat. Gerakan ini mengajarkan kesadaran bahwa dunia ini berada pada dimensi kesucian karena itu mereka menamakan gerakan mereka tersebut dengan al-Muwahhidun (penegak keesaan Tuhan).
Gerakan ini dipimpin oleh Ibn Thumar (470-521 H./1077-1130 M.), seorang keturunan Barbar dari suku Masmudah di pegunungan Atlas Maroko. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau kemudian belajar di Damaskus dan Baghdad. Kemudian ia kembali ke Maroko dan kemudian mengembangkan teologi ‘Asyariyah dan pemikiran tasauf Al-Ghazali. Ia merupakan penganut teologi ‘Asyariah yang sangat fanatik. Kelahiran gerakan yang dipelopori Ibn Thumar pada masa itu merupakan antitesa dari faham yang berkembang masa ini. Disamping itu, gerakan ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi moral penguasa Murabithun yang telah mengalami dekadensi moralitas serta pendangkalan terhadap ajaran-ajaran agama Islam. Ibn Thumar mengklaim bahwa kebobrokan moral rakyat serta terdapatnya penyimpangan-penyimpangan moral ditengah-tengah masyarakat tersebut berkorelasi erat dengan moralitas penguasa Murabithun. Oleh sebab itu, menurutnya, jihad merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk menghancurkan Dinasti Murabithun.
Pada tahun 515 H./1121 M. Ibn Thumar mengklaim dirinya sebagai al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan sebuah pemerintahan. Semenjak berhasil mengaku sebagai al-Mahdi, ia mampu memikat suku Barbar Atlas yang telah menganut agama Islam, namun pengetahuan agama mereka masih dangkal. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Ibn Thumar adalah membuat komunitas pasukan agama. Dari sinilah kemudian ia menyerukan perang suci untuk menaklukkan daerah-daerah sekitarnya.
Kontak pertama yang terjadi dengan Dinasti Jurabithun adalah ketika gubernur di Sus dengan pasukannnya menyerang suku Hargu yang membangkang, namun dapat dipukul mundur. Dengan kemenangan pertama ini, pasukan al-Mahdi selanjutnya berkembang dengan pesat. Ia kemudian pindah ke dusun Timnal dan nmembangun pusat pemerintahannya yang pertama. Setelah Ia meninggal, kekuasaan diambil alih oleh penggantinya Abdul Mun’im yang kemudian berhasil menaklukkan Afrika Utara sampai dengan padang pasir Libya. Ekspansi ini secara intensif berlangsung setelah Murabithun mengalami kelemahan. Tahun 566 H./1170 M. ummat Islam Spanyol jatuh ke tangan Muwahhidun. Sevilla dijadikan ibu kotanya untuk beberapa waktu, namun penguasanya sering ke Maroko dan menjalankan pemerintahan dari Marakesy.
Dalam perkembangannya, Dinasti Muwahhidun telah mengalami berbagai bentuk kemajuan dalam berbagai bidang, namun yang paling menonjol adalah ilmu pengetahuan, filsafat dan arsitektur. Pada masa ini telah bermunculan beberapa tokoh filsafat terkenal dalam khazanah intelektual Islam maupun dunia seperti Ibn Thufail (w. 585 H./1185 M.) dan Ibn Rusyd (w. 595 H./1195 M.) serta Ibnu ‘Arabi (w. 638 H./1240 M.). Seni pahat dan arsitektur juga berkembang pesat. Dinasti ini memperkenalkan seni arsitektur khas Islam Spanyol yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk peninggalan masjid di Geraldo yang sekarang telah dirubah menjadi Kathedral Agung di Sevilla. Kemudian masjid Kutubbiyahdi Marakesy, masjid Hasan dan masjid Tlemcen di Rabat. Namun dinasti ini tidak bertahan lama, lebih kurang hanya selama satu setengah abad. Dinasti ini kemudian mengalami kemnduran dan sedikit demi sedikit digerogoti oleh penyerbuan ummat Kristen. Akhirnya dinasti ini kemudian digantikan oleh Dinasti Mariniyah.
Kehadiran dinasti-dinasti-dinasti yang dependen pada masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini, besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang.
Namun, kehadiran dinasti-dinasti kecil ini telah mampu memadamkan begitu banyak pemberontakan yang secara politis potensial dalam menggerogoti kewibawaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Aghlabiyah, misalnya, dalam sejarah Islam telah memiliki kontribusi besar dalam memadamkan pemberontakan rakyat di Tripoli, pemberontakan yang dipimpin oleh Hamdis, pemberontakan Ziyad bin Sahal, pemberontakan Ahmad, pemberontakan Mansyur ibn Nasyr, pemberontakan ‘Umar bin Salim, pemberontakan-pemberontakan lainnya yang umumnya banyak dipelopori oleh suku Barbar. Pemberontakan-pemberontakan yang berpotensi politis dan menghabiskan anggaran atau kas negara ini bisa diatasi oleh Dinasti Abbasiyah karena kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut yang secara hirarkis-politis masih menganggap Dinasti Abbasiyah sebagai “pusat pemerintahan mereka”.
Dalam bidang ekonomi, keberadaan dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah untuk memeratakan perkembangan ekonomi daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sangat luas tersebut. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil yang lahir dan berkembang tersebut telah mampu memastikan pendapatan bagi kas negara Dinasti Abbasiyah terjamin dan terjaga.
Disamping kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut dalam bidang ekonomi dan politik, kontribusi lainnya adalah kemampuan dinasti-dinasti kecil itu dalam menjaga tradisi intelektual dan peradaban Islam dengan baik. Dinasti-dinasti kecil ini dalam sejarah dianggap telah memberikan ruang untuk menumbuhkembangkan peradaban Islam dengan baik dan apresiatif. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam masa dinasti-dinasti kecil ini eksis, mereka telah mampu memfasilitasi zaman untuk melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar Islam sekaliber Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibn al-Na’im, Abu Farij al-Isfahan, al-Khaitami dan lain-lain. Dinasti-dinasti kecil ini juga dikenal sebagai dinasti-dinasti yang apresiatif dengan seni arsitektur. Jadi tidaklah mengherankan apabila pusat-pusat pemerintahan dinasti-dinasti kecil ini memiliki banyak bangunan-bangunan (terutama masjid) dengan arsitektur yang indah dan megah.
Sedangkan dalam bidang keagamaan, dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah phery-phery. Tanpa adanya “perpanjangan tangan” Dinasti Abbasiyah (baca : dinasti-dinasti kecil), besar kemungkinan penyebaran Islam ke daerah-daerah pinggiran kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak mampu berjalan dengan baik dan dengan intensif sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar