Oleh : Yulfira Riza, M.Hum (Dosen Filologi FIB-Adab)
Minangkabau merupakan sebuah suku bangsa yang telah dikenal sejak zaman pra-sejarah, mulai dari masa kejayaan Hindu dan Budha, mulai dari gunung merapi sebesar telur itik. Suku bangsa ini sejak dahulunya telah menancapkan rekonsiliasi adat melalui pepatah Alam takambang manjadi guru yang berurat dan berakar sehingga menjadikan sebuah kebanggaan buat pulau Andalas ini.
Sejak dahulu itu pulalah, di Minangkabau ini telah lahir orang-orang besar, sampai ke tanah Negeri Sembilan, Pattani di Thailand, bahkan ke tanah Moro di Filipina. Hal ini membuat nama Minangkabau menjadi masyhur sebagai pengisi lembar-lembar sejarah dan dicatat orang-orang timur dan barat.
Masuknya Islam abad ke-7 Masehi telah membawa perubahan besar dalam tata kehidupan orang Minangkabau. Islam diterima bukan hanya sebagai agama belaka, namun juga dijadikan tuntunan hidup bermasyarakat. Islam dan adat dipersenyawakan, sehingga lahirlah rumusan undang-undang Minangkabau, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Syara’ mangato, Adat mamakai. Andagium tersebut menggambarkan keadaan jiwa orang Minang yang lekat dengan Islam, sesuai pula dengan norma-norma adat pusako usang tersebut. Setelah perang Paderi abad ke-19, terjadi pula perjanjian antara pemangku adat dan ulama untuk membuhul tali Adat dan Agama, yang dikenal dengan Perjanjian Bukit Marapalam, seperti digambarkan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Candung) dalam Saripati Sumpah Satie Bukit Marapalam. Melihat realitas sejarah tersebut, tak pelak lagi bahwa unsur-unsur keislaman begitu membaur dengan masyarakat, berurat, berakar, dan kokoh mendiami jiwa orang-orang minang. Begitulah gambarannya kira-kira.
Masuknya Islam ke Minangkabau menurut para ahli sejarah melewati pesisir barat Sumatera, sejak lama telah dicatat sebagai pintu masuk dari berbagai pengaruh asing, termasuk pengaruh Islam. Islam yang lebih awal datang dan berkembang di Aceh ternyata begitu cepat telah sampai ke Pariaman, yang ditandai oleh kehadiran Syekh Abdul ‘Arif atau yang lebih dikenal dengan Tuanku Madinah.
Eksistensi dan kejayaan Islam di Minangkabau tak terlepas dari ketokohan seorang Ulama besar, mahaguru sekian banyak ulama-ulama masa silam, yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan. Beliau merupakan murid utama sekaligus khalifah Syekh Abdurra’uf Singkel Aceh. Di lembaga surau yang beliau pimpin itulah lahir ribuan ulama-ulama, penyebar Islam ke pedalaman Minangkabau. Murid-murid beliaulah yang nantinya banyak memainkan peranan penting dalam perjuangan Islam di Minangkabau. Para murid beliau ini pun kemudian memberi warna pilar-pilar Islam melalui lembaga surau yang tumbuh menjamur sejak periode Syekh Burhanuddin ini. Akhirnya, Islam di Minangkabau hadir dengan dinamika sendiri, mencapai kecemerlangan dalam kurun-kurun waktu berikutnya.
Hadirnya lembaga surau tidak diragui lagi telah memberi identitas sendiri terhadap Islam di Minangkabau. Surau tidak hanya identik sebagai pusat ibadah, tetapi lebih daripada itu. Surau juga menempati posisi sebagai pusat keilmuan Islam sebab di sana ada Tuanku/Syekh yang memberi pelajaran siang dan malam. Di sana ada murid-murid yang mengikuti mengajian dalam jumlah yang besar, di sana ada referensi-referensi yang lengkap dalam bentuk-bentuk naskah tertulis. Di samping itu, surau juga menempati posisi yang kuat bagi pengajaran adat dan sosial kemasyarakatan. Di surau diajarkan seluk beluk adat yang akan dijadikan pakaian hidup sekaligus menjadi nadi perjuangan melawan penjajah dulunya dan sebagai tempat bermusyawarah. Begitu komplit fungsi dari surau ini, sehingga tak berlebihan bila dikatakan bahwa Islam di Minangkabau tak bisa dilepaskan dari keberadaan surau itu sendiri, di masa lalu pastinya.
Awal dari kebangkitan surau ini, dimulai dari keberhasilan surau Tanjung Medan Ulakan dalam mendidik para intelektual Islam dalam jumlah yang banyak pada kala itu. Di samping letaknya yang strategis di pesisir barat Sumatera, keberhasilan inipun pastinya didukung oleh dedikasi keilmuan yang tinggi dan kharisma Syekh Burhanuddin sebagai pendirinya. Ribuan murid datang silih berganti ke Ulakan, membahas ajaran Islam secara mendalam dan konprehensif, sehingga banyak yang lulus dengan prediket yang baik. Nantinya mereka-mereka inilah yang menjadi perpanjangan tangan dari sang guru untuk mengajar Islam ke daerah-daerah mereka, yaitu melalui surau.
Disamping mengajar syari’at secara dalam, Syekh Burhanuddin secara khusus juga membentang kaji hakikat kepada murid-murid pilihan. Bertasawwuf dengan membersihkan hati sanubari. Membai’at ala tarekat Syathariyah, mengajar tata cara dekat dengan Allah, hingga merasa benar-benar dekat dengan Allah. Lulusnya seseorang dalam bertarekat ini ditandai dengan diangkatnya sebagai khalifah, yang berarti telah mempunyai otoritas mengajar tarekat kepada murid-murid yang baru.
Gaya khas pendidikan tradisional yang dijalankan di Surau Ulakan begitu sangat terkenal kala itu. Seantero daratan melayu tak ada yang meragui ketokohan Syekh Burhanuddin. Ribuan murid yang datang dan lulus dari lembaga Ulakan ini membuktikan betapa besar kejayaan kaum intelektual kala itu. Begitupun dari banyaknya khalifah yang diangkat di Ulakan. Mereka membawa satu bentuk warna setelah mereka yang keluar dari Ulakan. Mereka lebih meresapi nilai-nilai agama, jauh dari penyelewengan prilaku. Kongkritnya, lebih konservatif.
Banyak pulalah diantara ulama yang lahir dari Surau Ulakan yang mempunyai nama besar dan ketokohan yang kuat. Mereka hadir sebagai cermin dari kasih sayang kepada guru yaitu cermin dari kepribadian Syekh Burhanuddin sendiri. Di antara sekian banyak hasil didikan Ulakan yang berhasil, maka Syekh Bintungan Tinggi adalah yang menonjol di antaranya.
Syekh Bintungan Tinggi atau Syekh Abdurrahman adalah satu di antara sederetan khalifah-khalifah Syekh Burhanuddin yang tersohor. Namanya melambung, semasyhur Surau yang beliau pimpin, Surau Bintungan Tinggi. Di samping darah beliau yang asli dari keturunan Khalifah ke-3 Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrahman Ulakan, keberhasilan beliau sangat ditentukan oleh kealiman dan ketinggian ilmu serta kepahaman yang dalam, juga prestasi beliau sebagai khalifah dalam Tarekat Syatariyah, tarekat yang berkembang pesat kala itu.
Kemasyhuran Surau Bintungan Tinggi telah menjadi buah bibir para penuntut ilmu zaman itu, banyak sekali diantara mereka yang menyampaikan niatnya menuntut ilmu di Surau Bintungan Tinggi, bersufaha dengan guru Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Bukan hanya yang datang dari selingkung alam Minangkabau, namun ada juga dari negeri jauh, Bengkulu, Sumatera Utara, Riau misalnya. Konon kabarnya murid-murid beliau mencapai ribuan orang banyaknya.
Dengan adanya tradisi mengaji yang berkembang di Bintungan Tinggi masa itu, maka banyak pulalah kegiatan salin menyalin, yang dikenal dengan istilah kuttab. Salinan materi ajaran Islam itu dalam bentuk naskah, tulisan tangan dengan aksara Arab tanpa mengenal titik dan koma. Tradisi menyalin secara manual ini merupakan konsekuensi logis karena kala itu belum ada mesin cetak untuk mencetak kitab-kitab pelajaran.
Eksistensi Surau Bintungan Tinggi dan tradisi pewarisan naskah-naskah kuno begitu sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji. Dengan kajian tersebut akan nampak jelas bagaimana kedudukan surau dalam membentuk pribadi-pribadi muslim yang berilmu kala itu, dan berbekas hingga sekarang. Dengan deskripsi naskah tersebut nantinya akan terbuka cakrawala berpikir dalam menggali khazanah Islam yang kaya di Minangkabau, ranah nan tacinto ini.
B. Tradisi Keagamaan Bintungan Tinggi : Gambaran Umum
Bintungan Tinggi, sebuah daerah yang terletak di Nagari Padang Bintungan Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Berbicara tentang keadaan geografis Bintungan Tinggi, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan daerah Pariaman, karena memang Bintungan Tinggi adalah satu unit kecil daerah Pariaman. Seperti halnya muslim tradisional lain, maka masyarakat Bintungan Tinggi dalam ajarannya merupakan warisan dari Ulakan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh para Ahli, bahwa Ulakan sangat taat mengikuti mazhab Syafi’i , hal ini tercermin dari setiap amalan ibadah yang selalu berlandaskan konsep yurisprudensi Syafi’iyah. Begitupun dengan kitab-kitab yang diajarkan, merupakan referensi wajib mengunakan referensi dari ulama-ulama Syafi’iyyah.
Begitu halnya dengan Bintungan Tinggi, mereka yang secara umumnya berkiblat ke Ulakan memang pemegang teguh mazhab Syafi’i. dalam hal ini tak ada tawar menawar, apakah merupakah kepatuhan kepada guru ataupun karena faham Syafi’iyah sebagai mazhab yang pertama kali masuk ke nusantara, pastinya mereka sangat menjunjung dan mentaati menjunjung konsep hukum Syafi’iyyah, sampai saat ini.
(Sesuai dengan permintaan penulis, artikel lengkap silahkan hubungi penulis lewat korespondensi)
Terimakasi atas tulisan nya ibu yulfira saya sangat apresiasi dg tulisan nya. Untuk mendapatkan referensi ttg syek bintungan tinggi dmana ya buk ? Saya ingin lbh tau lg ttg syekh bintungan tinggi
BalasHapusTerima kasih menjadi tolak ukur bagi kita generasi muda agar lebih mengenal para pendahulu kita khususnya para ulama yg menyebarkan islam ditanah nusantara. Sudi kiranya penulis dapat memberikan saya referensi lebih terkait dengan syekh burhanudin syekh abdul rahman bintungan tinggi dan syekh tuangku saliah. Terima kasih
BalasHapus