Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)
Beberapa malam yang lalu, saya menonton salah satu acara paling favorit saya "Kick Andy" di Metro TV. Isu yang diangkat bertajuk "Mengapa Mereka Dibungkam ?". Topik ini dilatarbelakangi oleh kebijakan dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang mem-breidel peredaran beberapa buku yang dianggap "membahayakan" stabilitas sosial politik Indonesia. Pelarangan penerbitan buku atau bredel sejak rezim Soeharto hingga reformasi di Indonesia sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA.
Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi. Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.
Diantara beberapa pembahasan Buku-Buku yang dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung RI dalam acara KICK Andy beberapa malam yang lalu, ada satu buku yang menarik perhatian saya yaitu Buku "Dalih Pembunuhan Massal". Buku yang ditulis oleh sejarawan spesialis India (Hyderabad) John Rossa ini kembali mengangkatkan tentang kekacauan dalam debat mengenai Gerakan 30 September atau G-30-S. Orde Baru bersikeras mempertahankan tafsirnya mengenai peristiwa G-30-S karena semua tindakannya untuk menghabisi PKI – mulai dari menangkapi dan menghukum sebagian pemimpin dan membunuh ratusan ribu orang – bersandar pada sejarah resmi itu. Penulisan sejarah di sini terkait dengan legitimasi politik dan tanggung jawab hukum. Selanjutnya Orde Baru menggunakan tangan besi untuk menjadikan tafsirnya terhadap peristiwa G-30-S sebagai kebenaran umum. “Sejarah” yang dibuat oleh Orde Baru pun menjadi lebih penting dari masa lalu itu sendiri. John Roosa membuat sumbangan penting melalui Dalih Pembunuhan Massal karena keluar dari perangkap teori dalang ini. Ia tidak sibuk membantah atau membela versi tertentu, atau mencari-cari dalang, tapi melakukan hal yang sangat elementer dan fundamental sekaligus: membuat rekonstruksi G-30-S sebagai sebuah gerakan melalui keterangan mereka yang terlibat di dalamnya.
Terlepas dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, semua teori tentang dalang G-30-S berasumsi bahwa gerakan itu adalah persekongkolan politik yang direncanakan dengan baik, memiliki rencana yang jelas, dan berada di bawah garis komando. Sebagian mengatakan bahwa dalang itu adalah Soeharto dan komplotan Angkatan Darat yang dipimpinnya, sementara Orde Baru bersikukuh bahwa PKI adalah dalangnya dengan restu dari Presiden Soekarno. Sebagian lain mengatakan pemerintah Amerika Serikat, melalui dinas rahasianya CIA, adalah dalang yang dengan lihai memainkan anak wayangnya di Indonesia. Tidak semua teori mengenai G-30-S dilengkapi bukti-bukti dan karena itu pantas untuk diperhatikan secara serius. Sebagian malah lebih banyak memberi informasi tentang kesadaran dan psikologi politik penyusunnya daripada tentang gerakan itu sendiri.
Walau telah cukup banyak buku-buku sejenis (maksudnya : seputar perdebatan mengenai "dalang" G 30/S) seperti "Catatan Cornell" Bennedict Anderson serta buku-buku lain yang juga mengalami nasib yang sama (baca: dibreidel), kehadiran Buku karangan John Rossa ini menarik perhatian saya. Dalam perbincangannya dengan Andy F. Noya (presenter/host Kick Andy), penyunting dan penerbit buku tersebut, Hilmar Farid mengatakan bahwa : "kemajuan sarana IT saat sekarang ini membuat pembreidelan buku ini oleh Kejaksaan Agung jadi tidak efektif karena John dan pihak penerbit telah memposting dan bisa didownload versi bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia secara gratis". Karena itulah ...... besok harinya, saya download di internet ........ mudah sekali (via google : ketik Dalih Pembunuhan Massal/John Rossa). Setelah berhasil saya download dan print-out, kemudian saya "nikmati" membacanya ..... hingga dua kali.
Dalih Pembunuhan Massal berbeda dengan berbagai teori ini dalam hal yang sangat mendasar, yakni perangkat pertanyaannya. Jika yang lain meyakini bahwa G-30-S adalah sebuah persekongkolan jahat yang dirancang dan dimainkan dengan sangat lihai oleh “sang dalang”, maka Dalih Pembunuhan Massal justru menyoroti bahwa G-30-S sebenarnya sama sekali tidak tepat disebut sebagai gerakan. Dengan penelitian yang cermat terhadap rangkaian bahan yang belum pernah digunakan, dan penafsiran ulang terhadap bahan yang sudah pernah digunakan, ia mereka ulang perjalanan “gerakan” yang berusia singkat itu. Ia menunjukkan bagaimana para pemimpin gerakan sebenarnya tidak pernah punya kesamaan pandangan dan sikap, apalagi rencana lain seandainya “rencana utama” (yang juga tidak jelas) gagal. Ia merekam bagaimana sebagian pemimpin bersikeras menekankan bahwa “kita tidak bisa mundur lagi” dan menutup diskusi dan perdebatan dengan otoritas. Dan setelah mereka yakin bahwa gerakan itu gagal pun tidak ada rencana penyelamatan yang jelas: semua pihak harus menyelamatkan diri masing-masing. Dengan kata lain, G-30-S sama sekali tidak punya script yang bisa dijadikan pegangan. Analisis Brigjen Supardjo yang menjadi salah dokumen andalan dalam buku ini – karena merupakan satu-satunya keterangan tangan pertama yang dapat diandalkan – dengan jelas menggambarkan kekacauan rencana dan pelaksanaan gerakan itu dari perspektif militer dan politik.
Adalah penguasa Orde Baru yang kemudian membuat script setelah panggungnya ditutup. Dalam studinya mengenai historiografi militer, Katharine McGregor (2007), lihat Buku "Ketika Sejarah Berseragam" menceritakan dengan rinci proses penulisan script oleh tim yang dibentuk Angkatan Darat di bawah pimpinan Nugroho Notosusanto. Buku pertama diterbitkan dalam 40 hari, yang menunjukkan betapa pentingnya perang tafsir untuk memaknai G-30-S ini bagi penguasa Orde Baru. Isinya jelas: PKI adalah dalang dari gerakan itu yang sebenarnya bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.1 Buku kedua terbit tidak lama kemudian pada akhir 1965, ketika script pertama sudah digunakan oleh penguasa untuk melancarkan pemusnahan massal terhadap anggota, pendukung dan simpatisan PKI serta keluarga mereka.
Dalam Buku ini, diperlihatkan hubungan antara peristiwa G-30-S dengan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan pendukung PKI dan organisasi gerakan kiri. Penguasa ORBA selama ini menjelaskan pembunuhan massal sebagai “ekses” karena masyarakat marah melihat pengkhianatan PKI. Seolah-olah reaksi terhadap PKI adalah sesuatu yang wajar/alamiah karena perilaku PKI sendiri. Dalih Pembunuhan Massal dengan cermat memisahkan antara apa yang kita ketahui telah terjadi berdasarkan bukti-bukti yang ada dengan segala teori, tafsir dan juga fantasi mengenai peristiwa itu. Pembunuhan massal dengan begitu bukan sebuah konsekuensi logis dari apa yang sesungguhnya terjadi, tapi reaksi langsung terhadap script yang disusun oleh penguasa Orde Baru. Ben Anderson (1987) menulis artikel di jurnal Indonesia yang diterbitkan Universitas Cornell dengan judul “Bagaimana Para Jenderal itu Tewas?” berdasarkan visum et repertum yang dibuat oleh tim dokter yang ditunjuk oleh Soeharto. Visum itu bertolak belakang dengan berita-berita yang dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha – yang dikelola oleh Angkatan Darat – bahwa para jenderal yang diculik pada dini hari 1 Oktober 1965 mengalami penyiksaan keji seperti pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin. Visum itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mata yang dicungkil dan semua kemaluan utuh pada tempatnya. Pertanyaannya, mengapa Angkatan Darat tidak mengumumkan kebenaran itu melalui media yang dikontrolnya, dan justru membiarkan cerita-cerita yang tidak benar memenuhi halaman-halamannya?
Kita juga tahu dari kesaksian dan keterangan mereka yang terlibat dalam pembasmian PKI bahwa “kemarahan” massa yang seolah tidak bisa dikontrol sebenarnya adalah reaksi terhadap berita-berita yang tidak benar dan diketahui tidak benar oleh mereka yang menerbitkannya. Sampai sekarang belum diketahui peran dari tim Angkatan Darat yang menyusun script tentang G-30-S dalam fantasi tentang kekejaman di Lubang Buaya ini. Hal ini juga merupakan misteri yang masih harus diselidiki karena akibatnya yang luar biasa. Di mana-mana pejabat militer berpidato tentang “kekejaman” G-30-S yang tidak pernah terjadi dan menuntut balas dengan membunuh sebanyak mungkin orang komunis. Tapi penyulut reaksi massal yang paling penting adalah pernyataan bahwa jika PKI menang dan G-30-S berhasil maka banyak orang non-komunis, apalagi anti-komunis, akan diperlakukan sama seperti cerita Angkatan Darat mengenai kekejaman di Lubang Buaya (yang tidak pernah terjadi). Di banyak tempat beredar daftar orang yang akan akan dihabisi oleh PKI seandainya G-30-S berhasil: pemimpin agama, tokoh politik, pemuda dan mahasiswa. Dalam banyak wawancara, termasuk dengan mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap orang kiri, terungkap bahwa daftar itu diumumkan oleh pemimpin militer yang “menemukannya” di kantor PKI atau organisasi massa kiri. Bersamaan dengan itu kadang “ditemukan” juga senjata api, uang dalam jumlah luar biasa, timbunan makanan, dan yang paling menghebohkan alat pencungkil mata, yang di banyak daerah penghasil karet lebih dikenal sebagai alat penyadap getah karet. Aksi kekerasan dan pembunuhan massal karena ini bukanlah reaksi alamiah terhadap “kekejaman” G-30-S, tetapi terhadap representasi atau script yang ditulis oleh Orde Baru mengenai peristiwa itu. Cerita-cerita bohong tentang kekejaman di Lubang Buaya itulah yang membuat orang kemudian mengambil tindakan. Tapi tentu itu tidak cukup. Di banyak tempat kita tahu bahwa pembunuhan massal disulut langsung oleh pasukan militer, dan di beberapa tempat tidak akan terjadi seandainya tidak dipimpin oleh militer.
Jika pembunuhan massal tidak dapat dilihat sebagai reaksi alamiah terhadap G-30-S, tapi sebagai tindakan yang disulut oleh script karangan Angkatan Darat, maka kita juga tidak dapat melihat pembunuhan itu sebagai konflik antara PKI dan kekuatan politik lainnya. Tidak ada pertempuran antara dua pihak seperti layaknya sebuah konflik. Di beberapa tempat orang dengan sukarela pergi ke tempat-tempat penahanan untuk “mengklarifikasi” posisi mereka terhadap G-30-S, tapi tetap ditahan. Pembunuhan massal sepenuhnya merupakan orkestrasi dari penguasa militer yang juga melibatkan elemen sipil di dalamnya. Masalahnya, dalam script karangan penguasa Orde Baru, keterlibatan elemen sipil ini menjadi “bukti” bahwa kemarahan terhadap PKI adalah sesuatu yang genuine tumbuh dari bawah, dan bahwa peran tentara dalam semua urusan ini justru menyelamatkan negara dari kehancuran. Teringat pepatah, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.” Buku Dalih Pembunuhan Massal menegaskan hal yang sangat penting, bahwa G-30-S disalahtafsirkan secara sengaja, dipelintir dan dihadirkan kembali secara salah pula agar menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah satu kengerian terbesar dalam sejarah modern dunia. Walau masih ada beberapa lubang dan misteri yang belum terungkap, karya John Roosa ini sudah memberikan tilik-dalam yang baik tentang G-30-S sebagai sebuah gerakan. Tentu tidak dapat dikatakan sebagai karya final. Tapi jika masih ada “teori dalang” lain yang muncul berdasarkan dugaan dan desas-desus, maka itu hanya mungkin dilakukan dengan resiko mempermalukan diri sendiri dan menunjukkan ketidaktahuan tentang apa yang sudah diketahui luas. Setiap penulisan sejarah yang serius akan mempertimbangkan dengan serius apa-apa yang sudah diketahui dan ditulis sebelumnya. Tulisan tentang masa lalu yang disusun berdasarkan fantasi atau khayalan dan desas-desus karena itu tidak layak mendapat perhatian serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar